Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

Ileus Obstruksi Letak Tinggi et causa Perforasi Apendisitis dan


Adhesi

Pembimbing:
dr. Dono Endrarto, Sp. B

Disusun Oleh:

Dhanny Jovindho

112018039

Kepaniteraan Klinik Ilmu Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Rumah Sakit Imanuel Way Halim
Periode 09 Desember 2019 – 15 Februari 2020
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Presentasi Kasus : Rabu, 25 Desember 2019
SMF ILMU PENYAKIT BEDAH
RUMAH SAKIT : RS IMANUEL WAY HALIM – BANDAR LAMPUNG

Nama : Dhanny Jovindho Tanda Tangan


NIM : 112018174
.................................
Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Dono Endrarto, Sp.B
.................................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. SR Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 23 tahun Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Swasta Agama : Islam
Alamat : Jl. WR Supratman Gg. R Danial Gunung Mas

I. ANAMNESIS

Diambil dari: Autoanamnesis dan alloanamnesis Tanggal: 25 Desember 2019 Jam: 00.30

1. Keluhan Utama: Sakit perut sejak 2 hari SMRS.


2. Keluhan Tambahan: Mual dan perut kembung.
3. Riwayat Penyakit:
Pasien rujukan dari RS Advent dengan diagnosa peritonitis ec ileus obstruksi. Pasien
mengeluh sakit perut secara tiba-tiba sejak 2 hari SMRS. Sakit terasa pada seluruh
lapang perut. Keluhan lainnya berupa mual, perut terasa kembung, tidak nafsu makan,
dan tidak bisa buang angin. Sebelum keluhan timbul, pasien mengalami BAB cair
sebanyak lima kali berupa cairan bening. Pasien mengatakan keluhan sakit perut
sebenarnya telah dirasakan sejak 1 tahun SMRS tapi hilang timbul tanpa pengobatan
sehingga dianggap bukan suatu masalah.
4. Riwayat Keluarga: -
5. Riwayat Masa Lampau:
a. Penyakit Terdahulu :-
b. Trauma Terdahulu :-
c. Operasi :-
d. Sistem saraf :-
e. Sistem kardiovaskuler :-
f. Sistem gastrointestinalis : -
g. Sistem urinarius :-
h. Sistem genitalis :-
i. Sistem muskuloskeletal : -
II. STATUS PRAESENS
1. STATUS UMUM

Keadaan Umum

Tampak Sakit Sedang

Keadaan Gizi

Cukup

Kesadaran

Compos mentis (GCS 15 : E4 M6 V5)

TTV

Frekuensi Pernapasan: Reguler, 20 x/menit

Suhu: 36,9°C

Tekanan Darah: 80/50 mmHg

Frekuensi Nadi: 98 x/menit


Kulit
Warna sawo matang, hiperpigmentasi (-), normotermi, lembab, tekstur halus, sianosis (-),
ikterik (-).
Kelenjar Limfe
Tidak membesar.
Kepala
Bentuk: Normocephali
Mata: Konjungtiva anemis (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-), refleks cahaya (+)/(+)
Hidung: Dalam batas normal
Mulut/Gigi: Dalam batas normal
Leher: Dalam batas normal
Thorax
Paru-paru
Inspeksi: Bentuk dada normal pectus excavatum (-) pectus carinatum (-) barrel chest (-),
simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (-).
Palpasi: nyeri tekan (-), massa (-), retraksi sela iga (-), vocal fremitus normal
Perkusi: sonor kedua lapang paru
Auskultasi: suara nafas vesikuler (+)/(+), rhonki (-)/(-), wheezing (-)/(-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS IV midclavicula kiri, kuat angkat
Perkusi: Batas atas di ICS II linea parasternal sinistra
Batas kanan di ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri di ICS V linea midclavicula sinistra
Batas bawah di ICS VI linea midclavicula sinistra
Auskultasi: BJ I & II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi: Warna kulit sawo matang, pelebaran pembuluh darah (-), distensi (+)
Auskultasi: Bising usus (-)
Perkusi: Timpani
Palpasi: Nyeri tekan (+) umbilikus, defans muskular (+)
Hati: Tidak teraba
Limpa: Tidak teraba
Ginjal: Nyeri ketok CVA (-)/(-), pembesaran (-)/(-)
Kandung Empedu: Tidak teraba
Kandung Kencing: Tidak teraba

Alat Kelamin
Tidak dilakukan
Rektum/Anus
Tidak dilakukan
Ekstremitas (lengan dan tungkai)
Tonus otot: Normotonus
Massa otot: Normal
Pergerakan sendi: Normal
Edema: Tidak ada
Sensibilitas: + +
+ +
Sianosis: Tidak ada
Kekuatan: 5 5
5 5
Refleks: + +
+ +
Luka: Vulnus ekskoriatum pada pergelangan tangan kiri dan lengan tangan kanan
2. STATUS LOKALIS

Abdomen
Inspeksi: Distensi
Auskultasi: Bising usus (-), bruit (-)
Perkusi: Timpani
Palpasi: Nyeri tekan (+) umbilikus, defans muskular (+)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (Hasil tanggal 25/09/2019 jam 20.23)
Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi Rutin
Hb 13.4 L: 13,5-17,5 g/dL
Ht 39 L: 40-52 %
Eritrosit 4.61 L: 4,5-6,5 juta/uL
Leukosit 13,360 4500-11000 /mm3
Trombosit 310 150-450 ribu/mm3
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 1-6 %
Batang 0 3-5 %
Segmen 84 40-70 %
Limfosit 8 22-44 %
Monosit 8 2-10 %
Indeks Eritrosit
MCV 84.8 80-100 fL
MCH 29.1 26-34 pg
MCHC 34.3 32-36 %
MPV 10.4 7,2-11,1 fL
Hemostasis
Masa Perdarahan / BT 3 Duke: 1-3 menit
Masa Pembekuan / CT 13 9-15 menit
Karbohidrat
Gula Darah Sewaktu 115 <150 mg/dL
2. Foto Polos (Hasil tanggal 24/12/2019)

Foto abdomen 3 posisi (dari RS luar tanggal 24-12-2019):

Tampak pelebaran lumen intestine dengan dinding yang menebal membentuk gambaran
“herring bone”, dengan air-fluid level (+)
Masih tampak bayangan udara di dalam sebagian colon.
Tidak tampak bayangan udara bebas intraperitoneum.
Psoas line & kontur kedua ren tidak jelas
Kesan:
Gambaran ileus obstruksi partial letak tinggi.
3. Foto Polos (Hasil tanggal 25/12/2019)

Foto abdomen 2 posisi (dibandingkan dengan foto dari RS luar tanggal 24-12-2019):

Masih tampak pelebaran lumen intestine dengan dinding yang menebal membentuk
gambaran “herring bone”; dengan air-fluid level (+)
Distribusi udara di dalam colon tampak berkurang.
Tidak tampak bayangan udara bebas itraperitoneum.
Psoas line & kontur kedua ren tidak jelas.

Kesan:
Masih tampak gambaran ileus obstruksi letak tinggi.
Tidak tampak gambaran pneumoperitoneum.
RESUME
Pasien rujukan dari Rumah Sakit Advent dengan diagnosa peritonitis et causa ileus
obstruksi.
Di IGD RS Imanuel, pasien mengeluh sakit perut secara tiba-tiba sejak 2 hari SMRS
disertai dengan mual, perut kembung, tidak nafsu makan, dan tidak bisa buang angina.
Sebelumnya pasien mengeluh BAB cair 5 kali berupa cairan bening. Pasien sudah
merasakan sakit perut hilang timbul selama 1 tahun ini.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut dalam keadaan distensi, nyeri tekan abdomen,
bising usus menghilang. Dari pemeriksaan darah lengkap didapatkan hemoglobin 13.4
g/dL, hematokrit 39%, eritrosit 4.61 juta/uL, dan leukosit 13.360/mm3. Dari pemeriksaan
foto abdomen didapatkan kesan ileus obstruksi letak tinggi.
IV. DIAGNOSIS KERJA
Ileus Obstruksi Letak Tinggi ec DD/ invaginasi, volvulus, appendicitis
V. PEMERIKSAAN ANJURAN
CT-Scan Abdomen

VI. PENGOBATAN
1. Terapi Non-Operatif
 NGT
 Antibiotik
2. Tindakan Operatif
Explorasi laparotomi

VII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : Ad bonam
2. Ad fungsionam : Ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam

VIII. LAPORAN OPERASI


1. Pasien terbaring di atas meja operasi dalam anastesi umum
2. A dan antisepsis lapangan operasi dan sekitarnya
3. Insisi midline, perdalam hingga peritonium
4. Eksplorasi : usus halus dilatasi dengan adhesi di ileocecal junction appendicitis
perforasi, pus (+). Dilakukan release adhesi, appendectomy. Hepar / Gallbladder /
Vesica felea / Ren / Spleen / Pancreas utuh
5. Ligament Treitz terdapat adhesi
6. Cuci dengan NaCl & RL
7. Jahit lapis demi lapis
8. Selesai
Temuan Operasi

Adhesi pada ligament Treitz


Instruksi Post Operasi:
1. RL 2000 cc/24 jam
Ceftriaxone 1 gram / 8 jam
Metronidazole 500 mg / 8 jam (bolus)
Omeprazole 40 mg / 24 jam
Tramadol 50 mg / 8 jam
2. PA
3. Setelah sadar penuh, mual (-), muntah (-),  NGT klem, puasa 2 hari
4. Miring kanan / miring kiri / duduk

IX. DIAGNOSIS POST OP


Ileus obstruksi et causa perforasi appendicitis

X. FOLLOW UP
26/12/2019 S: Luka bekas operasi terasa nyeri, sulit tidur, demam (+), mual (-), flatus (-)
O: TD: 130/80 mmHg, Suhu: 38.6°C, RR: 18 x/menit, HR: 92 x/menit, perut
distensi, nyeri tekan (-) di sekitar luka operasi, timpani (+), bising usus (-)
A: Post explorasi laparotomi + appendectomy
P: Obat: OMZ 1x40mg, ODR 2x4mg, Metronidazol drip 3x500mg, PCT drip
3x500 (PRN), Ceftriaxon 3x1gr
Puasa 2 hari
27/12/2019 S: Luka bekas operasi terasa nyeri, sulit tidur, demam (+), mual (+), flatus (+)
O: TD: 120/70 mmHg, Suhu: 37.7°C, RR: 20 x/menit, HR: 76 x/menit, perut
distensi, nyeri tekan (-) di sekitar luka operasi, timpani (+), bising usus (↓)
A: Post explorasi laparotomi + appendectomy
P: Terapi lanjut
Ganti verban dengan NaCl
28/12/2019 S: Nyeri luka bekas operasi berkurang, demam (+), mual (+), flatus (+),
BAB (+)
O: TD: 120/70 mmHg, Suhu: 37.5°C, RR: 20 x/menit, HR: 82 x/menit, perut
supel, timpani (+), bising usus (+)
A: Post explorasi laparotomi + appendectomy
P: Obat: Ceftriaxone 3x1gr, metronidazole 3x500mg, tramadol 3x50mg,
PCT drip 3x500mg (PRN)
Aff NGT dan kateter
Diet lunak
29/12/2019 S: Nyeri luka operasi, mules
O: TD: 120/60 mmHg, Suhu: 36.7°C, RR: 18 x/menit, HR: 68 x/menit, perut
supel, timpani (+), bising usus (+)
A: Post explorasi laparotomi + appedectomy
P: Obat: Ceftriaxone 3x1gr, PCT tab 3x500mg
Ganti verban dengan NaCl
BLPL

TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

Ileus obstruksi adalah hilangnya atau adanya gangguan pasase isi usus yang
disebabkan oleh sumbatan mekanik. Obstruksi usus dapat disebabkan karena adanya lesi pada
bagian dinding usus, diluar usus, maupun di lumen usus. Obstruksi usus dapat bersifat akut
maupun kronis, parsial maupun total. Penyebab obstruksi kolon yang paling sering adalah
karsinoma, terutama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri distal. Sebagian besar obstruksi
mengenai usus halus. Obstruksi pada usus halus dapat disebabkan oleh strangulasi, invaginasi
atau sumbatan di dalam lumen usus. 75% dari kasus obstruksi usus halus disebabkan oleh
adhesi intraabdominal pasca operasi. Penyebab tersering lainnya adalah hernia inkarserata
dan penyakit Chron. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan
diagnosis dini dan tindakan pembadahan darurat bila penderita ingin tetap hidup.1-3

II. ANATOMI

Usus Halus

Usus halus merupakan tabung yang kompleks, berlipat-lipat, dan membentang


dari pilorus hingga katup ileosekal dengan panjang sekitar 6,3m (21 kaki) dengan
diameter kecil 2,5 cm (1inci). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum,
jejenum, dan ileum.(1,4)

Duodenum merupakan bagian proksimal dari usus halus yang letakya


retroperitoneal. Duodenum berbentuk seperti huruf C yang panjangnya 25 cm yang
menghubungkan gaster dengan jejenum. Duodenum merupakan muara dari saluran
pankreas dan empedu. Duodenum terdiri dari 4 bagian yaitu (1,5)

1. Pars superior duodeni, yang hampir selalu ditutupi oleh peritoneum dan cukup
mobile.
2. Pars descenden duodenum terletak pada garis vertical dari apex pars superior
duodeni sampai sepertiga bagian horizontal. Pada bagian medialnya terdapat
ductus choledocus dan ductus pancreaticus wirsungi. Terletak di
retroperitoneum
3. Pars horizontalis duodenum, melintasi garis setinggi vertebra lumbalis ketiga.
Serta terletak di bagian depan vena cava inferior
4. Pars ascendens duodenum, terletak di anterior kiri aorta. Terdapat ligamentum
treitz yang memfiksasi pada bagian kaudal.

Duodenum diperdarahi terutama oleh arteri gastroduodenalis dan cabangnya


yaitu arteri pankreatikoduodenalis superior yang beranastomosis dengan arteri
pancreaticoduodenalis inferior (cabang pertama dari arteri mesentrica superior).
Darah dikembalikan melalui vena pankreatikoduodenalis yang bermuara ke vena
mesenterika superior. Pembuluh limfe mengalir melalui pembuluh limfe mesenteric,
ke cisterna chyli lalu menuju ducutus thoracicus dan ke vena subklavia kiri.
Persarafan duodenum diatur oleh parasimpatis dan simpatis yang berasa dari nervus
vagus dan nervus splanchnic.(1,3)

Pemisahan duodenum dan ileum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu
suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus
esophagus dan berinsersi pada perbatasan anatara duodenum dn jejenum. Ligamentum
ini berperan sebagai penggantung (suspensorium). (1)

Sekitar duaperlima dari sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga perlima
bagian akhirnya adalah ileum. Jejenum dan ileum digantung oleh mesenterium yang
merupakan lipatan peritoneum yang menyokong pembuluh darah dan limfe yang
menyuplai ke usus. Secara histologi, ileum memiliki plak peyeri dan jejenum
memiliki lapisan mukosa yang lebih tebal yang disebut plica sirkulare.

Perdarahan jejenum dan ileum berasal dari arteri mesenterika superior yang
dicabangkan dari aorta tepat dibawah arteri celiaca. Cabang cabang arteri jejenal dan
ileal muncul dari arteri mesenterka superior sebelah kiri. Mereka saling
beranastomosis dan membentuk arkade yang disebut vasa recta, yang menyupai
jejenum dan ileum dan terbentang diantarata mesenterium, jejenum memiliki arkade
lebih sedikit namun vasa recta yang lebih panjang. Sedangkan ileum memiliki 4-5
arkade dan vasa recta yang lebih pendek. Bagian ileum terbawah juga diperdarahi
oleh arteri ileokolika.(1,5)

Lapisan submukosa terdiri dari pembuluh darah dan pleksus Meissner.


Lapoisan muskularis propria terdiri dari lapisan otot yaitu lapisan otot sirkular dan
lapisan otot longitudinal dan pleksus myenteric Auerbach. Lapisan serosa
menyelimuti organ dalam rongga peritoneum yang disebut peritoneum visceral.(5)

Usus Besar

Kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5m yang
terbentang dari sekum hingga rektum. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon
asenden, kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid, dan rektum. Kolon
transversum dan kolon sigmoid memiliki penggantung sendiri yang disebut
mesokolon tranversum dan mesocolon sigmoid, sehingga letaknya intraperitoneal.
Sedangkan kolon asending dan desending letaknya retroperitoneal.(6,7)

Secara histologi, usus beesar memiliki empat lapisan morfologik seperti usus
lain. Lapisan otot longitudinal usu besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang disebut taenia koli. Panjang taenia koli lebih pendek daripada usus,
seehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut
haustrae.(7)

Perdarahan usus besar secara garis besar diperdarahi oleh arteri meenterica
superior dan arteri mesnterica inferior. Arteri mesenterica superior bercabang menjadi
arteri kolika dekstra, arteri kolika media, arteri ileokolika, dan arteri appendikulare
yang kemudian memperdarahi sekum, kolon asendens, dan duapertiga proksimal
kolon transversum. Sedangkan arteri mesenterica inferior bercabang menjadi arteri
kolika sinistra, arteri sigmoid, dan arteri rektal superior yang kemudian memperdarahi
sepertiga distal kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid, dan bagian
proksimal rektum. Pada rektum, terdapat supai darah tambahan yaitu arteri
hemoroidalis media dan inferior yang merupakan cabang dari arteri iliaka interna.(7)

Aliran balik vena usus besar melalui vena mesenterica superior, vena
mesenterika inferior dan vena hemoroidalis superior yang bermuara ke vena porta.
Vena hemoroidalis media dan inferior menuju ke vena iliaka.(7)

Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus splangnikus
dan pleksus presakralis, sedangkan serabut parasimpatis berasal dari nervus vagus.(7)

Apendiks

Apendiks memiliki panjang yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar
5-15 cm. Pangkal apendiks keluar dari aspek posteromedial sekum; akan tetapi, arah
apendiks itu sendiri sangat bervariasi. Pada sebagian besar orang apendiks terletak
pada posisi retrosekal namun sering juga ditemukan posisi lain. Apendiks memiliki
gambaran sebagai berikut:

 Memiliki mesenterium kecil yang menurun di belakang ileum terminalis. Satu-


satunya pasokan darah apendiks, arteri apendikularis (salah satu cabang
ileokolika), beralan dalam mesenterium. Pada kasus apendisitis, akhirnya
terjadi thrombosis arteri apendikularis. Bila terjadi hal ini, komplikasi gangren
dan perforasi apendiks tidak terelakkan.
 Apendiks memiliki lumen yang relatif lebar pada bayi dan perlahan-lahan
menyempit dengan bertambahnya usia, seringkali menghilang pada manula.
 Teniae koli sekum mencapai pangkal apendiks.
 Lipatan Treves tak berdarah (lipatan ileosekal) adalah nama yang diberikan
pada refleksi peritoneal kecil yang berjalan dari ileum terminal anterior ke
apendiks. Walaupun namanya demikian struktur ini tidak avascular.8

Apendektomi paling sering dilakukan melalui insisi pemisahan otot dengan


grid-iron. Mula-mula apendiks ditentukan tempatnya kemudian dikeluarkan melalui
luka insisi. Mesenterium apendiks kemudian dibagi dua dan diligasi. Apendiks
kemudian diikat pada pangkalnya, dieksisi, dan diangkat. Sebagian besar ahli bedah
masih memilih untuk melakukan invaginasi punting apendiks sebagai tindakan
pencegahan terhadap kemungkinan selipnya ligasi pada tunggul.8

III. DEFINISI

Ileus obstruksi merupakan gangguan mekanik baik parsial maupun total dari
pasase isi usus. Ileus obstuktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang
terjadi karena adanya daya mekanik yang mempengaruhi dinding usus sehingga
menyebabkan penyempitan atau penyumbatan lumen usus. Hal ini menyebabkan
pasase lumen usus tergangggu.9

Ileus obstruksi disebut juga obstruksi lumen usus, disebut demikian apabila
disebabkan oleh strangulasi, invaginasi, atau sumbatan di dalam lumen usus. Pada
obstruksi harus dibedakan lagi obstruksi sederhana dari obstruksi strangulasi.
Obstruksi sederhana ialah obstruksi yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah.
Pada strangulasi ada pembuluh darah yang terjepit sehingga terjadi iskemia yang akan
berakhir dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat, yang
disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren. Jadi strangulasi memperlihatkan
kombinasi gejala obstruksi dengan gejala sistemik akibat adanya toksin dan sepsis.
Obstruksi usus yang disebabkan oleh hernia, invaginasi, adhesi, dan volvulus
mungkin sekali disertai strangulasi. Sedangkan obstruksi oleh tumor atau obstruksi
oleh cacing askaris adalah obstruksi sederhana yang jarang menyebabkan
strangulasi.10

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendix vermiformis atau


yang dikenal juga sebagai usus buntu. Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya
penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing,
striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Apendisitis
merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui.11,12

Apendisitis perforasi adalah merupakan komplikasi utama dari appendiks,


dimana appendiks telah pecah sehingga isi appendiks keluar menuju rongga
peritoneum yang dapat menyebabkan peritonitis atau abses.12

IV. EPIDEMIOLOGI

Ileus obstruksi merupakan kelainan bedah yang paling sering ditemui pada
usus halus. Adhesi intraabdominal pasca operasi merupakan etiologi yang paling
sering yaitu 75% dari seluruh kasus. Etiologi yang sering lainnya adalah hernia dan
penyakit Crohn. Pada kolon, kanker merupakan penyebab tersering darri ileus
obstruksi. Penyebab lainnya meliputi menyempitnya lumen usus karena diverkulitis
atau penyakit infeksi usus.3,13

Apendisitis adalah salah satu keadaan yang membutuhkan pembedahan


darurat, dan salah satu penyebab nyeri abdomen. Di Amerika, 250.000 kasus
apendisitis dilaporkan setiap tahun. Insiden apendisitis akut menurun sejak tahun
1940-an dan kejadian tahunan saat ini sekitar 10 kasus per 100.00o populasi.
Apendisitis terjadi pada 7% populasi AS, dengan insiden 1,1 kasus per 1000 irang
pertahun.14

Apendisitis lebih sering terjadi pada laki-laki 3:2 pada remaja dan dewasa
muda. Pada orang dewasa, kejadian apendisitis diperkirakan 1,4 kali lebih besar pada
laki-laki daripada perempuan. Insiden apendiktomi primer sama pada kedua jenis
kelamin.14

V. KLASIFIKASI

1. Secara umum
- Ileus obstruksi sederhana : obstruksi yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah
- Ileus obstruksi strangulata: ada pembuluh darah yang terjepit sehingga terjadi
iskemia yang akan menyebabkan nekrosis atau gangren.

2. Berdasarkan letak obstruksi


 Letak tinggi : duodenum – jejenum
 Letak tengah : ileum terminal
 Letak rendah : colon sigmoid – rektum

3. Berdasarkan stadium
 Parsial : menyumbat sebagian lumen usus. Sebagian sisa makanan dan udara
masih dapat melewati tempat obstruksi.
 Komplit : menyumbat total lumen usus.
 Strangulasi : sumbatan kecil tapi dengan jepitan pembuluh darah.2
VI. ETIOLOGI

Penyebab ileus obstruksi secara umum dapat dibagi menjadi tiga mekanisme,
yaitu blokade intralumen,intramural atau lesi instrinsik dari dinding usus, kompresi
lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari usus. Lesi intraluminal seperti fekalit,
batu empedu, lesi intramural misalnya malignansi atau inflamasi, lesi ektralumisal
misalnya adhesi, hernia, volulus atau intususepsi.(3)

Ileus obstruksi pada usus halus dapat disebabkan oleh :

1. Adhesi

Adhesi umumnya berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis lokal


atau umum, atau pascaoperasi. Adhesi dapat berupa perlengketan dalam
bentuk tunggal maupun multipel, dan dapat setempat maupun luas.Sering juga
ditemukan adhesi yang bentuknya pita. Pada operasi, perlengketan dilepaskan,
dan pita dipotong agar pasase usus pulih kembali. Ileus akibat adhesi
umumnya tiak disertai strangulasi.2

2. Hernia inkarserata

Hernia disebut hernia inkarserata bila isinya terjepit cincin hernia sehingga isi
kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga perut,
sehingga terjadi gangguan pasase atau gangguan vaskularisasi. Hernia
merupakan penyebab kedua terbanyak setelah adhesi dan merupakan
penyebab tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi
abdomen. 2

3. Askariasis

Obstruksi usus oleh cacing askaris paling sering ditemukan pada anak karena
higiene kurang sehingga infestasi cacing terjadi berulang. Obstruksi umunya
disebabkan oleh gumpalan padat yang terdiri atas sisa makanan dan puluhan
ekor cacing yang mati atau hampir mati akibat pemberian obat cacing.
Diagnosis obstruksi cacing didukung oleh riwayat pemberian obat cacing atau
pencahar, demam, serangan kolik, muntah, dan cacing keluar dari mulut atau
anus. 2

4. Invaginasi

Invaginasi atau intususepsi sering ditemukan pada anak dan agak jarang pada
dewasa muda. Invaginasi adalah masukya bagian usus proksimal
(intussuseptum) kedalam bagian yang lebih distal dari usus (intussupien).
Invaginasi umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk dan naik ke
kolon asenden serta mungkin keluar dari rektum. Invaginasi dapat
mengakibatkan obstruksi ataupun nekrosis iskemik pada bagian usus yang
masuk dengan kompikasi perforasi dan peritonitis. 2

5. Volvulus

Volvulus merupakan proses memutarnya usus sehingga menyebabkan


obstruksi usus dan gangguan vaskularisasi. Volvulus jarang terjadi di usus
halus. Kebanyakan volvulus didapat di bagian ileum. 2

6. Kelainan kongenital

Dapat berupa stenosis atau atresia. Kelaianan bawaan ini akan menyebabkan
obstruksi setelah bayi mulai menyusui.2

7. Radang kronik

Morbus Chron dapat menyebabkan obstruksi karena udem, hipertrofi, dan


fibrosis yang biasanya terjadi pada penyakit kronik ini.2

8. Tumor

Lebih dari separuh tumor jinak ditemukan di ileum, sisanya di duodenum dan
yeyenum. Tumor jinak usus halus agak jarang menyebabkan obstruksi usus,
kecuali jika menimbulkan invaginasi (penyebab tidak langsung) atau karena
tumornya sendiri (penyebab langsung).
Separuh kasus tumor ganas terdapat di ileum. Keluhannya samar, seperti
penurunan berat badan dan sakit perut. Sama halnya dengan tumor jinak usus
halus, tumor ganas juga jarang menyebabkan obstruksi. 2

Ileus obstruksi pada kolon disebabkan 60% oleh malignansi, 20% oleh divertikulosis
dan 5% oleh volvulus sigmoid: 15

1. Karsinoma kolon

Obstruksi kolon yang akut dan mendadak kadang-kadang disebabkan oleh


karsinoma. Sekitar 70-75% kasinoma kolon dan rektum terletak pada rektum
dan sigmoid. Karsinoma colon merupakan penyebab angka kematian yang
tertinggi dari pada bentuk kanker yang lain. Faktor predisposisi yang dikenal
adalah poliposis multiple, biasanya terdapat tanda-tanda yang mendahului
antara lain penyimpangan buang kotoran, keluarnya darah perektal dan colon
akan mengalami distensi hebat dalam waktu yang cepat. 2

2. Volvulus

Volvulus terajadi akibar memutarnya usus (biasanya pada sekum ata sigmoid)
pada mesokolonnya sehingga menyebabkan obstruksi lumen dan gangguan
sirkulasi vena maupun arteri.

Volvulus sigmoid ditemukan jauh lebih banyak daripada volvulus sekum,


yaitu sekitar 90%.Kelainan ini terutama ditemukan pada orang yang lebih tua,
orang dengan riwayat kronik konstipasi. Volvulus sigmoid sering mengalami
strangulasi bila tidak dilakukan dekompresi.2

Volvulus sekum terjadi karena kelainan bawaan kolon kanan yang tidak
terletak retroperitoneal, jadi terdapat mesenterium yang panjang dan sekum
yang yang mobile karena tidak terfiksasi. Kelainan ini biasanya menyerang
pada usia 60 tahunan. Volvulus sigmoid terjadi karena mesenterium yang
panjang dengan basis yang sempit.2,15

3. Divertikel

Divertikel kolon paling sering ditemui di sigmoid. Divertikel kolon adalah


divertikel palsu karena terdiri atas mukosa yang menonjol melalui lapisan otot
seperti hernia kecil. Komplikasi dapat berupa perforaasi, abses terbuka, fistel,
obstruksi parsial, dan perdarahan.2

4. Intususepsi/invaginasi

Merupakan suatu keadaan masuknya suatu segmen proksimal usus ke segmen


bagian distal yang akhirnya terjadi obstruksi usus strangulasi. Invaginasi
diduga oleh karena perubahan dinding usus khususnya ileum yang disebabkan
oleh hiperplasia jaringan lymphoid submukosa ileum terminal akibat
peradangan, dengan abdominal kolik.

Intususepsi sering terjadi pada anak anak. Namun, sekitar 5-15% dari kasus
intususepsi di belahan bumi bagian Barat terjadi di orang dewasa, yang mana
dua per tiga kasusnya disebabkan oleh tumor atau polip di usus halus.2,15

5. Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschprung atau yang disebut juga megacolon dapat digambarkan


sebagai suatu usus besar yang dilatasi, membesar dan hipertrofi yang berjalan
kronik. Penyakit ini dapat kongenital ataupun didapat dan biasanya
berhubungan dengan ileus obstruksi. 16

Penyebab kongenital dari penyakit ini diakibatkan dari kegagalan migrasi dari
neural crest ke kolon bagian distal. Sedangkan megakolon yang didapat
merupakan hasil dari adanya infeksi ataupun konstipasi kronis. Infeksi
Trypanosoma cruzi menyerang sel ganglion dan menyebabkan megakolon. 16

Apendisitis

Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendisitis, antara lain:

 Obstruksi
Faktor obstruksi adalah penyebab terpenting terjadinya apendisitis, obstruksi
yang terjadi antara lain disebabkan oleh hiperplasi kelenjar getah bening
(60%), fecalit (massa keras dari feses) 35%, corpus alienum (4%), striktur
lumen (1%).
 Infeksi
Infeksi enterogen adalah faktor pathogenesis primer pada kasus apendisitis.
Bakteri yang sering menyebabkan infeksi pada apendiks antara lain
Bacteriodes fragilis, E. Coli, dan steptococcus. Kuman yang menyebabkan
perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.
 Tumor
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa
yang disebabkan oleh parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai spesies bakteri
yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

 Escherichia coli  Bacteroides fragilis

 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros

 Pesudomonas aeruginosa  Bilophila species

 Enterococcus  Lactobacillus species

Klasifikasi:

1. Apendisitis akut  merupakan infeksi bakteri sebagai pencetusnya, sumbatan lumen


appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang di duga dapat menimbulkan appendiks
adalah erosi mukosa appendiks karena parasit E. histolitica.
2. Apendisitis kronis  diagnosis apendisitis kronik dapat ditegakan jika terdapat nyeri
abdomen kanan bawah kanan lebih dari 2 minggu. Kriteria mikroskopik appendiks
kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding appendiks, sumbatan parsial atau total
lumen appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama pada mukosa serta infiltasi
dan inflamasi.
3. Apendisitis perforata  adanya fekalit didalam lumen dan keterlambatan diagnosis
merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi appendiks, perforasi
appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh abdomen dan abdomen menjadi
tegang.
4. Apendisitis abses/gangrenosa terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya terdapat di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal,
sucaecal, dan pelvik.
5. Apendisitis rekuren  diagnosis apendisitis rekurens dapat diperkirakan jika ada
riwayat serangan nyeri berulang diabdomen kanan bawah yang mendorong
dilakukannya appendectomy.11

VII. PATOFISIOLOGI

Apendiks yang mengalami sumbatan, kemungkinan oleh fekalit, tumor, atau benda
asing, akan terinflamasi dan mengalami edema. Proses inflamasi yang terjadi meningkatkan
tekanan intraluminal sehingga menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara
progesif dalam beberapa jam, yang terlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen.
Apendiks yang terinfeksi dapat menjadi nekrosis yang menimbulkan gangren sehingga
terbentuklah pus.

Hubungan antara ileus dan apendisitis cukup erat. Apendisitis dapat menyebabkan
obstruksi melalui dua patogenesis. Pertama adalah peran dalam terjadinya ileus obstruksi.
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan, makin lama
mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga
udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi.

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah(abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-
pita fibrosa. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

Peran yang kedua adalah melalui proses infeksi pada suatu segmen usus di sekitar proses infeksi
sehingga menyebabkan segmental paralitik. Bila terjadi peradangan pada caecum atau pada
appendiks maka sfingter ileocaecal akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami
paralisis sehingga pengosongan ileum sangat terhambat. Keadaan ini akan menampakan
klinis obstruksi akibat tertahannya isi usus pada suatu segmen usus karena tidak adanya
pasase pada segmen tersebut.17

VIII. MANIFESTASI KLINIS

Apendisitis

 Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan.
 Nyeri tekan local pada tititk McBurney bila dilakukan tekanan.
 Nyeri tekan lepas
 Terdapat konstipasi atau diare
 Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar dibelakang sekum
 Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rectal
 Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
 Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis
 Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
 Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai distensi abdomen.
 Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.17

Obstruksi

o Nyeri kolik
o Obstruksi usus halus : kolik dirasakan disekitar umbilikus
o Obstruksi kolon : kolik dirasakan disekitar suprapubik.
o Muntah
o Stenosis Pilorus : encer dan asam.
o Obstruksi usus halus : berwarna kehijauan.
o Obstruksi kolon : onset muntah lama.
o Perut Kembung (distensi)
o Konstipasi
o Tidak ada defekasi
o Tidak ada flatus2

IX. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pada anamnesis, perlu ditanyakan dahulu permulaan timbulnya nyeri (kapan


mulai, mendadak, atau berangsur), letaknya (menetap, pindah, atau beralih),
keparahannya dan sifatnya ( seperti ditusuk, tekanan, terbakar, irisan, bersifat kolik),
perubahannya (dibandingkan dengan awal), lamanya, apakah berkala, dan faktor
apakah yang mempengaruhinya (adakah yang memperingan atau memperberat,
seperti sikap tubuh, makanan, minuman, napas dalam, batuk, bersin, defekasi, miksi).
Harus ditanyakan apakah pasien sudah pernah mengalami nyeri seperti ini.

Muntah sering ditemukan pada penderita gawat abdomen. Pada obstruksi letak
tinggi, muntah tidak akan berhenti, bahkan biasanya bertambah hebat. Sembelit
(konstipasi) didapatkan pada obstruksi usus besar dan pada peritonitis umum.

Nyeri tekan didapatkan pada letak iritasi peritoneum. Jika ada radang
peritoneum setempat, ditemukan tandan rangsang peritoneum yang sering disertai
defans muskuler. Pertanyaan mengenai defekasi, miksi, siklus haid, dan gejala lain
seperti keadaan sebelum serangan tanda gawat abdomen, harus dimasukan dalam
anamnesis.2

Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi.18

1. Inspeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan


memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan
gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
appendikuler.18

2. Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis


lokal yaitu18:

 Nyeri tekan di Mc. Burney


 Nyeri lepas
 Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietal.
 Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang
ada nyeri pinggang.
 Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
 Nyeri tekan kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
 Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
mengedan.
 Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler teraba dengan adanya
penonjolan di perut kanan bawah.2
3. Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.18

Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12.
Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif.
Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan
nyeri.18
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan laboratorium pada darah diperlukan untuk menilai angka infeksi


dan lainnya. Peningkatan pada leukosit dapat diartikan sebagai tanda dari suatu
infeksi. Selain melihat nilai leukosit, juga harus diperhatikan nilai-nilai yang
diperlukan untuk persiapa operasi. Penliaian yang dilihat dapat berupa Hb, trombosit,
masa perdarah dan masa pembekuan.19,20

Pemeriksaan Urin

Pemeriksaan urin juga diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan


diagnosa banding dari suatu penyakit. Pemeriksaan urin ditujukan untuk melihat
adanya infeksi pada saluran kemih. Untuk wanita muda yang sudah menikah,
diperlukan pemeriksaan kehamilan untuk menyingkirkan diganosa banding dari
apendisitis.19

USG Abdomen

Pemeriksaan USG abdomen berutujuan untuk melihat bagian dalam dari perut.
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk membantu menegakkan suatu diagnosa
apendisitis jika pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah kurang kuat untuk
menegakkan diagnosa. Selain itu, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya cairan bebas pada rongga perut atau menilai suatu jepitan pada usus.
Pemeriksaan ini kurang baik dalam mengevaluasi keadaan ileus, karena dihalangi
oleh udara pada distensi abdomen.19,20

Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen dalam posisi berdiri dan posisi lateral cukup murah dan
dapat dilakukan hampir dimanapun, tetapi juga relatif tidak spesifik. Foto polos
abdomen direkomendasi pada pemeriksaan awal untuk pasien yang stabil dan tidak
memiliki bukti infeksi serta gejala yang ringan. Selain itu, penggunaan medium
konstras unuk menilai gastroinstestinal lebih baik. Sebuah insiden penting pada
medium kontras berupa pencahar dari hipertonik media kontras. Sebuah metaanalisis
menunjukkan, karena efek ini, studi efek kontras dapat mengurangi kebutuhan
laparatomi untuk adhesiolisis dan juga mempersingkat waktu perawatan di rumah
sakit. 20

CT-Scan Abdomen

CT-Scan abdomen dapat digunakan untuk menilai keadaan didalam perut.


Pemeriksaan ini juga dapat digunakan jika kesulitan dalam menegakkan suatu
diagnosa seperti apendisitis. Selai itu, CT-Scan abdomen dengan menggunakan media
kontras oral dan intravena memiliki lebih dari 90% sensitifitas dan spesifik untuk
mendiganosa ileus mekanik serta merupakan standar emas. Pemeriksaan ini dapat
menilai tingkat keparahan (ileus komplit versus tidak lengkap), lokasi yang tepat
(perbedaan klaiber), dan menetukan penyebab (hernia inkaserata, tumor, inflamasi),
dan juga mendeteksi potensi komplikasi (iskemik, perforasi).19,20

Penatalaksanaan

Ileus obstruksi di usus harus dihilangkan segera setelah keadaan umum diperbaiki.
Tindakan umum sebelum dan sewaktu pembedahan meliputi tatalaksana dehidrasi, perbaikan
keseimbangan elektrolit, dan dekompresi pipa lambung. Pada strangulasi, tidak ada waktu
untuk memperbaiki keadaan umum, sehingga strangulasi harus segera diatasi.2

1. Terapi Konservatif
 Pasien dengan ileus obstruksi bisanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan elektrolit (Natrium, kalium, dan klorida) akibat
berkuranganya intake makanan, muntah, sehingga membutuhkan
penggantian cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti
Ringer Laktat. Koreksi melalu cairan ini dapat dimonitor melalui urin
dengan menggunakan kateter , tanda tanda vital, pemeriksaan
laboratorium, tekanan vena sentral. 3,15
 Pemberian antibiotik broadspectrum dapat diberikan sebagai
profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ileus
obstruksi. Injeksi Ceftriakson 1 gram 1 kali dalam 24 jam dapat
diberikan sebagai profilaksis. Antiemetik dapat juga diberikan untuk
mengatasi muntah.3,15
 Dekompresi traktus gastrointestinal dengan menggunakan nasogastric
tube (NGT) dan pasien dipuasakan. Hal ini berguna untuk
mengeluarkan udara dan cairan dan untuk mengurangi mual, distensi,
dan resiko aspirasi pulmonal karena muntah.3,15
 Pada ileus obstruksi parsial, biasanya dilakukan tindakan konservatif
dan pemantauan selama 3 hari. Penelitian menunjukkan adanya
perbaikan dalam pasien dengan keadaan tersebut dalam waktu 72 jam.
Namun jika keadaan pasien tidak juga membaik dalam 48 jam setelah
diberi terapi cairan dan sebagainya, makan terapi operatif segera
dilakukan.3,15
2. Operatif
Secara umum, pasien dengan ileus obstruksi total memerlukan
tindakan operatif segera, meskipun operasi dapat ditunda untuk memperbaiki
keadaan umum pasien bila sangat buruk. Operasi dapat dilakukan bila
rehidrasi dan dekompresi nasogastrik telah dilakukan. (3,9)

Tindakan operatif dilakukan apabila terjadi :

- Strangulasi

- Obstruksi total

- Hernia inkarserata

- Tidak ada perbaikan pada pengobatan konservatif (pemasangat NGT,


infus, dan kateter).10

Tindakan operatif pada ileus obstruksi ini tergantung dari


penyebabnya. Misalnya pada adhesi dilakukan pelepasan adhesi tersebut,
tumor dilakukan reseksi, dan pada hernia dapat dilakukan herniorapi dan
herniotomi. Usus yang terkena obstruksi juga harus dinilai apakah masih bagus
atau tidak, jika sudah tidak viabel maka dilakukan reseksi. Kriteria dari usus
yang masih viabel dapat dilihat dari warna yang normal, dan adanya
peristaltik, dan pulsasi arteri.3

Kanker kolon yang meyebabkan obstruksi kadang dilakukan reseksi


dan anastomosis, dengan atau tanpa colostomi atau ileostomy sementara. Jika
tidak dapat dilakukan, maka tumor diangkat dan kolostomi atau ileostomi
dibuat. Diverkulitis yang menyebabkan obstruksi, biasanya sering terjadi
perforasi. Reseksi bagian yang terkena devertikel mungkin agak sulit tapi
merupakan indikasi jika terjadi perforasi ataupun peritonitis umum. Biasanya
dilakukan reseksi dan kolostomi, namun anastomosis ditunda sampai rongga
abdomen bebas radang (cara Hartman).Vovulus sekal biasanya dilakukan
tindakan operatif yaitu melepaskan volvulus yang terpelintir dengan
melakukan dekompresi dengan sekostomi temporer, yang juga berefek fiksasi
terhadap sekum dengan cara adhesi. Pada volvuus sigmoid, dapat dilakukan
reposisi dengan sigmoidoskopi, dan reseksi dan anastomosis dapat dilakukan
beberapa hari kemudian. Tanpa dilakukan reseksi, kemungkinan rekuren dapat
terjadi.9

Algoritma penatalaksanaan ileus obstruksi usus

Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada
obstruksi ileus :
a) Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-
strangulasi, jepitan oleh adhesi atau pada volvulus ringan.

b) Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian
usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.

c) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat


obstruksi,misalnya pada Ca stadium lanjut.

d) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung


ususuntuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon,invaginasi strangulata dan sebagainya.

Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap,


baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya,misalnya pada
Ca sigmoid obstruksi, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudiani dilakukan reseksi
usus dan anastomosis.

Tindakan dekompresi usus dan koreksi air dan elektrolit serta menjaga
kesimbangan asam basa darah tetap dilaksanakan pasca tindakan operasi. Pada
obstruksi lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring pasca bedah
saangat penting sampai 6-7 hari pasca bedah. Bahaya pada pasca bedah ialah
toksinemia dan sepsis. Gambaran klinisnya biasanya tampak pada hari ke 4-5
pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan
dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.

PROGNOSIS

Angka kematian pada ileus obstruksi usus non-strangulasi adalah < 5 %, dengan
banyaknya kematian terjadi pada pasien usia lanjut dengan komorbid. Angka kematian pada
operasi ileus obstruksi usus strangulasi berkisar 8-25%. (3)

Pada ileus obstruksi kolon, biasanya angka kematian berkisar antara 15 – 30 %. Perforasi sekum
merupakan penyebab utama kematian. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan diakukan dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lindseth Glenda. Gangguan Usus Halus. In : Price Slyvia, Wilson Lorraine,editors.


Patofisiologi Konsep Kinis Proses – Proses Penyakit. Ed 6. Jakarta : EGC ; 2006. p
437-52
2. Sjamsuhidajat R, Dahlan M, Jusi Djang. Gawat Abdomen. Dalam : Sjamsuhidajat R,
Karnadiharja W, Rudiman R, Prasetyono Theddeus, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Ed 4. Jakarta : EGC ; 2019. P 239-52
3. Whang E E, Ashley Stanley, Zinner J Michael. Small Intestine. In :Charles F
Brunicardi. Schwartz’s Manual of Surgery. Ed 8. USA : McGraw-Hill. 2006. P 702-
11
4. Sherwood Lauralee. Sistem Pencernaan. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. D 2.
Jakarta ; EGC ; 2001. p 570-88
5. Kumar Vinay Kapoor. Small Intestine Anatomy. 2017. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1948951-overview#showall. Accesed
Desember 30, 2019
6. Kumar Vinay Kapoor. Large Intestine Anatomy. 2016. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1948929-overview#showall. Accesed
Desember 30, 2019
7. Lindseth Glenda. Gangguan Usus Besar. In : Price Slyvia, Wilson Lorraine,editors.
Patofisiologi Konsep Kinis Proses – Proses Penyakit. Ed 6. Jakarta : EGC ; 2006. p
456-59
8. Faiz O, Moffat D. At a Glance Anatomi. Jakarta: Erlangga; 2005. p 39
9. Ansari Parswa. Intestinal Obstruction. 2018. Available at :
http://www.merckmanuals.com/professional/gastrointestinal_disorders/acute_abdome
n_and_surgical_gastroenterology/intestinal_obstruction.html#v890928. Accesed
Desember 30, 2019
10. Riwanto Ign. Hidayat A H, Pieter J, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Usus Halus,
Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam : Sjamsuhidajat R, Karnadiharja W,
Rudiman R, Prasetyono Theddeus, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta :
EGC ; 2012. p 731- 72
11. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47
in Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york: Saunders; 2004.h 1296-1311
12. Salari Ali Akbar. Appendicitis. 2012. Available at : http://ppni-
klaten.com/index.php?option=com_content&view=article&id=65:appendicitis&catid
=38:ppni-ak-category&Itemid=66. Accessed Desember 30, 2019.
13. Anonim. Bowel Obstruction. 2011. Available at : http://www.webmd.com/digestive-
disorders/tc/bowel-obstruction-topic-overview. Accesed Desember 30, 2019
14. Craig, Sandy. 2018. Appendicitis, Acut-Follw-Up. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup. Accessed Desember 30, 2019.
15. Hopkins Christy. Large Bowel Obstruction. 2017. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/774045-treatment#showall. Accesed Januari 1,
2020
16. Bullard Kelli, Rothenberger David. Colon, Rectum, and Anus. In : Charles F
Brunicardi. Schwartz’s Manual of Surgery. Ed 8. USA : McGraw-Hill. 2006. P 770
17. Makama JG, Kache SA, Ameh EA. 2017. Intestinal Obstruction Caused By
Appendicitis: A Systemic Review. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6237405/. Accesed Januari 2, 2020
18. Bashin SK et al.Vermiform Appendix and Acute Appendicitis. JK Science.2007
19. Anonim. 2020. Appendicitis Tests. Available at: https://medlineplus.gov/lab-
tests/appendicitis-tests/. Accesed Januari 3, 2020
20. Tim O, Burkhard S, Jorg CK. 2017. Ileus In Adults. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5569564/. Accesed Januari 3, 2020

Anda mungkin juga menyukai