Anda di halaman 1dari 35

PRESENTASI KASUS KECIL

“HEPATOMA & KOLEDOKOLITIASIS”

Disusun Oleh :

Sarah Lorenza Caverina 1820221142


Rachmah Khoerunnisa 1820221151

Pembimbing:
dr. Yunanto Dwi Nugroho, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO


2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


“HEPATOMA & KOLEDOKOLITIASIS”

Disusun Oleh :

Sarah Lorenza Caverina 1820221142


Rachmah Khoerunnisa 1820221151

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Penyakit Dalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada Tanggal : 17 Juli 2019

Purwokerto, 17 Juli 2019

Pembimbing,

dr. Yunanto Dwi Nugroho, Sp.PD

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. M
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 45 tahun
No. RM : 02-08-02-57
Alamat : Pengalusan RT 03/RW01 Mrebet, Purbalingga
Tgl. Masuk : 23 Juni 2019
Tgl. Anamnesa : 28 Juni 2019
Bangsal : Mawar Wanita

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri perut

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri pada seluruh bagian perut
menjalar hingga ke punggung sejak 1 hari SMRS. Pasien merasa nyeri
perut disertai juga dengan rasa panas pada perut. Keluhan nyeri perut
memberat ketika pasien duduk dan berjalan serta membaik ketika
berbaring. Pasien juga mengeluhkan rasa mual sejak 1 hari SMRS
namun tidak disertai muntah. Pasien datang untuk kontrol pasca
operasi batu empedu yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 2019 di
RS Ghoeteng.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat batu empedu (+) sejak 9 tahun yang lalu
Riwayat operasi batu empedu (+) 6 bulan yang lalu

3
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat memiliki keluhan yang sama : disangkal
Riwayat memiliki hipertensi : disangkal
Riwayat memiliki diabetes melitus : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien menggunakan BPJS PBI. Pasien merupakan seorang ibu
rumah tangga. Pasien mengaku sering mengkonsumsi gorengan,
makanan bersantan, dan jeroan. Pasien juga mengatakan minum air
putih hanya sekitar 5 gelas/hari dan menyangkal pernah minum
minuman beralkohol. Paisen juga menyangkal pernah merokok. Pasien
pernah melakukan pekerjaan rumah yaitu membuat kalung kerajinan
tangan selama 3 tahun.

C. OBJEKTIF
Keadaan umum : Sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis E4V6M5
Vital sign : TD : 140/90 mmHg
N : 73 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36.6 °C

Status Generalis
Kepala : Bentuk mesochepal
Rambut : Warna hitam dan terdistribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil
(+/+) normal isokor 3mm/3mm
Terlinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), atrofi papill lidah (-)
Trakea : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)

4
Pulmo
Anterior
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-), barrel chest (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)

Posterior
Inspeksi : Dinding punggung simetris, retraksi intercostal (-),
ketinggalan gerak (-/-), jejas (-), barrel chest (-), kelainan
vertebrae (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar ves (+/+), RBH (+/+), RBK (-/-), wheezing (-
/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak di SIC V linea midclavicula
sinistra, kuat angkat (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi
parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis tak teraba di SIC V linea midclavicula sinistra
dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 ireguler, Gallop (-), Murmur (-)

5
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (+) di regio hipokondrium
dextra dan epigastrik
Hepar : Teraba 2 jari di bawah arcus costae, tumpul, permukaan
berbenjol-benjol, tepi tidak rata
nyeri tekan (+)
Lien : Tidak teraba

Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
ptekie (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
ptekie (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan 22/06/19 24/06/19


Hemoglobin 10.9 L
Leukosit 8210
Hematokrit 32 L
Eritrosit 3.6 L
Trombosit 271.000
MCV 88.4
MCH 30.1
MCHC 34.1
RDW 12.3
MPV 10.8
Basofil 0.9
Eosinofil 3.5
Batang 0.4 L

6
Segmen 59.7
Limfosit 26.2
Monosit 9.3 H
Anti HCV NR
HBsAg NR
CEA 7.20 H
AFP 1.10
Ureum 23.50
Kreatinin 0.69

b. Pemeriksaan Urin Lengkap


Sedimen
Eritrosit : 1-2
Leukosit : 0-1
Epitel : 40-50
Bakteri : 11-20

7
c. Hasil Pemeriksaan MRCP (25/06/19)

Kesan:
Cenderung gambaran massa di common hepatic duct ukuran 7x3 cm
yang meluas ke cabang sinistra.
Gambaran batu di IHBD (right hepatic duct) ukuran 1,3 x 0,8 cm,
CBD ukuran 1,2 x 0,97 cm (choledocolitiasis).

8
Multiple cholelitiasis ukuran 4 x 1,5 cm, 1,5 x 2 cm, dan 1,4 x 0,86
cm.
Abses di sehmen 4ab hepar ukuran 6,7 x 5,4 x 5,3 cm yang menempel
pada IHBD cabang dextra.
Tampak pelebaran duktus biliaris intra dan ekstrahepatal pars
proximale.
Tak tampak massa pada caput pankreas.

E. FOLLOW UP

S O A P
23 Juni 2019: TD: 140/90 Hepatoma 1. Inf. D5%
Nyeri perut N: 85 x/mnt Koledokolitiasis 2. MRCP pada hari
menjalar hingga RR: 20 x/mnt Selasa 25/06/19
punggung, sulit S: 36.5 oC 3. Katrofen supp.
makan, mual (+), jika nyeri
muntah (+) berisi
makanan, setiap
makan muntah,
leher kaku, nyeri
kepala
24 Juni 2019: TD: 140/90 Hepatoma 1. Inf. D5%
Nyeri perut N: 89 x/mnt Koledokolitiasis 2. MRCP pada hari
menjalar hingga RR: 20x/mnt Selasa 25/06/19
punggung, mual S: 36.5 oC 3. Katrofen supp.
(+), nyeri kepala,
jika nyeri
tidak bisa tidur
4. Cek ureum
5. Cek kreatinin
25 Juni 2019: TD: 120/90 Hepatoma 1. Inf. D5%
Nyeri perut N: 77 x/mnt Koledokolitiasis 2. MRCP pada hari
menjalar hingga ke RR: 20x/mnt Selasa 25/06/19
punggung, nyeri S: 36.6 oC 3. Katrofen supp.
kepala berkurang, jika nyeri
mual (+)
4. Inj. Ketorolac 3x1

26 Juni 2019: TD: 130/100 Hepatoma 1. Inf. D5%


Nyeri perut N: 95 x/mnt Koledokolitiasis 2. Katrofen supp.
menjalar hingga ke RR: 20x/mnt

9
punggung, mual S: 36.6 oC jika nyeri
(+), muntah (+) 3. Inj. Ketorolac 3x1
berisi makanan 1x
kemarin (25/06/19),
nyeri kepala, lemas,
ada benjolan teraba
kenyal dan mobile
dan nyeri tekan di
daerah lumbal
kanan
27 Juni 2019: TD: 140/90 Hepatoma 1. Inf. D55
Nyeri perut N: 73 x/mnt Koledokolitiasis 2. Katrofen supp.
menjalar ke RR: 20x/mnt jika nyeri
punggung S: 36.6 oC 3. Durogesic patch
berkurang, mual 25 mcg
(+), pusing, kaku
leher
28 Juni 2019: TD: 150/90 Hepatoma BLPL
Nyeri perut N: 71 Koledokolitiasis 1. Durogesic patch
menjalar ke RR: 20 25 mcg
punggung S: 36.3 oC 2. UDCA 2x250 mg
berkurang, pusing 3. Kontrol poli
bedah digestif

F. ASSESSMENT
1. Hepatoma
2. Koledokolitiasis

G. PLANNING
1. Inf. D55
2. Katrofen supp. jika nyeri
3. Durogesic patch 25 mcg
4. UDCA 2x250 mg
5. Kontrol poli bedah digestif

H. EDUKASI
1. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi pasien.
2. Asupan makanan dan minuman yang cukup.
3. Hindari makanan yang berlemak.
4. Banyak minum air putih.

10
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Hepatoma
II.1.1 Definisi
Hepatocellular carcinoma (HCC) atau karsinoma hati atau hepatoma
merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit, demikian pula
dengan karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma. Jenis tumor ganas hati lain
seperti kolangiokarsinoma (Cholangiocarsinoma = CC) dan sistoadenokarsinoma
berasal dari sel epitel bilier, sedangkan angiokarsinoma dan leiomiosarkoma
berasal dari sel mesenkim. Dari seluruh tumor ganas hati yang pernah didignosis,
85% merupakan HCC; 10% CC; dan 5% adalah jenis lainnya (eds Setiati, 2009).
II.1.2 Epidemiologi
HCC meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia dan menempati
peringkat ke 5 di kalangan laki-laki dan ke 7 di kalangan perempuan sebagai
penyakit kanker tersering di dunia serta menempati urutan ke 3 diantara kanker
sistem saluran cerna setelah kanker colorectal dan kanker lambung (eds Setiati,
2009). Insidensi HCC di dunia yaitu sekitar 250.000 dan 1.000.000 kasus
baru/tahun dengan rasio pria : wanita sekitar 4 atau 5 : 1 (Waghray dkk., 2015).
Tingkat kematian (rasio antara mortalitas dan insidensi) HCC juga sangat tinggi
yaitu di urutan kedua setelah kanker pankreas (eds Setiati, 2009). Insidensi HCC
di beberapa negara seperti China, sub-Saharan Africa, Hong Kong dan Taiwan
yaitu sekitar 15 kasus/100.000 populasi/tahun (Waghray dkk., 2015).

II.1.3 Etiologi
Penyebab hepatocellular carcinoma belum diketahui secara pasti. Namun,
terdapat beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan HCC sebagai berikut:
a. Virus Hepatitis B (HBV)
Penderita dengan hepatitis B memiliki resiko sekitar 10% – 25%
untuk berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler. Tidak seperti
hepatitis kronik lainnya, hepatitis B dapat berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler tanpa adanya sirosis (Crissien dan Frenette, 2014).
Karsinogenitas HBV terhadap hati terjadi melalui proses inflamasi kronik.

12
Perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif
bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati (eds Setiati, 2009).
Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi
proliferatif yang merespon nekroinflamasi sel hati atau akibat dipicu oleh
ekspresi berlebihan beberapa yang berubah akibat HBV. Transaktivasi
beberapa promotor seluler atau viral tertentu oleh gen-x HBV (HBx) dapat
mengakibatkan terjadinya HCC karena akumulasi protein yang disandi
HBx mampu menyebabkan akselerasi proliferasi hepatosit. Proliferasi
berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari
apoptosis sel (eds Setiati, 2009).
b. Virus Hepatitis C (HCV)
Pada hepatitis C, perkembangan menjadi karsinoma hepatoseluler
didahului dengan adanya sirosis (Balogh dkk., 2016). Infeksi HCV
berperan penting dalam patogenesis HCC pada pasien yang bukan
penderita infeksi HBV. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga
melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati (eds Setiati, 2009).
c. Sirosis hati
Sirosis hati merupakan factor risiko utama HCC di dunia dan
terdapat pada kasus HCC dengan presentase sebesar 80%. Prediktor utama
HCC pada sirosis hati yaitu jenis kelamin laki-laki, peningkatan alfa
fetoprotein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas
proliferasi sel hati (eds Setiati, 2009).
d. Alkohol
Peminum berat alcohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama)
berisiko untuk menderita HCC melalui sirosis hati alkoholik. Alkoholisme
meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada penderita
infeksi HBV atau HBC. Efek hepatotoksik alcohol bersifat dose-
dependent, sehingga asupan sedikit alcohol tidak meningkatkan risiko
terjadinya HCC (eds Setiati, 2009).
e. Alfatoksin
Alfatoksin B1 (AFB1) merupakan mikrotoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergilus yang biasanya terdapat pada kacang atau biji-bijian yang

13
terkontaminasi. Metbaolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan
karsinogen utama dari kelompok alfatoksin yang mampu membentuk
ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme
hepatokarsinogenesisnya adalah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi
pada pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53 (eds Setiati, 2009).
f. Obesitas
Obesitas merupakan factor resiko utama untuk non-alcoholic fatty
liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH)
yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan berlanjut menjadi HCC
(eds Setiati, 2009).
g. Diabetes melitus (DM)
Pada pasien dengan DM terjadi peningkatan kadar insulin dan
insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor pencetus
potensial untuk kanker (eds Setiati, 2009).

Beberapa penyebab lain juga dapat menyebabkan HCC seperti tirosinemia,


penyakit penyimpanan glikogen, hemochromatosis herediter, non-alcohlic fatty
liver disease (NAFLD) dan defisiensi α1-antitrypsin (Kumar dkk., 2010)

II.1.4 Manifestasi Klinis


HCC ditemukan tersering pada median usia antara 50-60 tahun, dengan
predominasi pada laki-laki. Rasio antara kasus laki-laki dan perempuan berkisar
antara 2- 6 : 1. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari asimptomatik hingga
yang gejala dan tandanya sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling
sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tidak nyaman di kuadran kanan-atas
abdomen. Pasien sirosis hati yang makin memburuk kondisinya dengan keluhan
nyeri di kuadran kanan atas atau teraba pembengkakan lokal di hepar disertai
perasaan lesu dan penurunan berat badan, tidak ada perbaikan pada ascites,
perdarahan varises atau pre-koma setelah diberi terapi adekuat, atau pasien
penyakit hati kronik dengan HbsAg atau anti-HCV positif yang mengalami
perburukan kondisi secara mendadak patut dicurigai menderita HCC (eds Setiati,
2009).

14
Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi atau
diare. Sesak napas dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan
diafragma, atau karena sudah ada metastasis di paru (eds Setiati, 2009).

II.1.5 Patogenesis
Sekitar 50% dari seluruh kasus HCC berkaitan dengan infeksi HBV dan
25% berkaitan dengan infeksi HCV. HBV adalah virus yang memiliki DNS
double stranded yang dapat menyatu dengan DNA sel hepar, virus akan
melakukan mutase dan menyusun ulang kromosom sekunder dan meningkatkan
ketidakstabilan genom. Hal inilah yang menyebabkan risiko terjadinya HCC 200
kali lebih tinggi pada pasien yang terinfeksi HBV dibandingkan dengan yang
tidak terinfeksi (Waghray dkk., 2015).
Progresi menjadi HCC diperoleh dari mutase gen seluler tertentu seperti
KRAS dan p53, pengeluaran c-MYC, c-MET (reseptor growth factor hepatosit),
TGF-α, serta insulin-like growth factor 2. Penelitian global sekarang ini
menyatakan bahwa sekitar 50% kasus KCC berhubungan dengan aktivasi jalur
WNT atau AKT (Kumar dkk., 2010).
Kebanyakan penyebab terjadinya HCC di Eropa, Jepang, Amerika latin dan
United State adalah sirosis yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C dan
insiden tahunan yang terjadi sekitar 2% sampai 8%. Secara umu, pasien yang
terinfeksi HCV berisiko 17 kali lebih tinggi untuk berkembang menjadi
HCCdibandingkan dengan yang tidak terinfeksi HCV. HCV merupakan virus
RNA yang tidak bisa menyatu dengan genom host, sehingga mekanisme HCV
dapat berkembang menjadi HCC yaitu melalui mekanisme secara tidak langsung
seperti menginduksi jalur apoptosis dan membentuk tumor (Waghray dkk., 2015).
Penyebab lain HCC adalah Aflatoxin. Aflatoksin merupakan mycotoxin
yang diproduksi oleh Aspergillus flavus dan jamur yang mengkontaminasi
makanan kaleng seperti jagung, nasi, kacang kedelai dan kacang-kacangan.
Aflatoxin ini termasuk faktor resiko tersering di Asia dan Afrika. Pajanan
berkepanjangan aflatoxin sangat berhubungan denga HCC karena dapat merusak
DNA sel hepar dan menyebabkan mutasi gen suppressor tumor p53. Selain itu,
aflatoxin juga dapat menyebabkan aberasi kromosom dan mutasi gen yang lainnya

15
seperti mutasi beta-catein terdeteksi sekitar 26-41% pada penderita HCC,
kehilangan alel pada locus 1p, 4q, 5q, 8p, 11p, 13q, 16p, 16q and 17p dan
kehilangan pada kromosom 16. Beberapa keadaan abnormalitas seluler juga dapat
ditemukan pada HCC seperti penurunan ekspresi p21WAF/CIP1 (universal CDK
inhibitor), kehilangan protein P16, peningkatan ekspresi transforming growth
factor-beta (TGF-beta), serta peningkatan ekspresi DNA metiltransferase
(DNMT1) mRNA (Waghray dkk., 2015).

II.1.5 Diagnosis
Pada pasien dengan penderita sirosis hati disarankan untuk melakukan
screening setiap 6 bulan (Waghray dkk., 2015). Hepatitis kronik dapat mengarah
terjadinya sirosis. Sirosis menunjukkan adanya nodul regeneratif yang dihasilkan
dari peningkatan proliferasi hepatosit. Ukuran nodul dapat bervariasi (Balogh,
2016). Screening dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi tanpa radiasi
ionisasi dengan sensitivitas 60-80% dan spesifisitas > 90% pada pasien dengan
sirosis (Chedid dkk,. 2017). Selain itu, pemeriksaan juga harus dikombinasi
dengan pemeriksaan alfa fetoprotein serum. Pemeriksaan alfa-fetoprotein ≥ 400
ng/mL dapat pula dijadikan parameter karsinoma hepatoselular (Poedjomartono
dan Sudarmanto, 2009).
Diagnosis definitif HCC adalah CT Scan abdomen dengan kontras dan
MRI. Sensitifitas CT Scan sebesar 68% dan spesifisitas sebesar 93%. Sedangkan
MRI memiliki sensitivitas sebesar 81% dan spesifisitas 85% (Chedid dkk., 2017).
Diagnosis karsinoma hepatoseluler didasarkan pada pemeriksaan CT Scan atau
MRI terdapat peningkatan kontras pada fase arteri setelah diinjeksikan kontras
dan diikuti dengan hilangnya kontras pada fase vena (Balogh dkk., 2016).
Kriteria diagnosis karsinoma hepatoseluler menurut Perhimpunan Peneliti
Hati Indonesia), yaitu:
a. Hati membesar dan berbenjol-benjol dengan atau tanpa disertai bising arteri
b. Alfa-fetoprotein (AFP) yang meningkat lebih dari 500 ng/ml
c. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, CT-Scan, MRI, Angiography,
ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya
karsinoma hepatoselular
d. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya karsinoma hepatoselular

16
e. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan karsinoma
hepatoselular
Diagnosis karsinoma hepatoselular didapatkan bila dua atau lebih dari lima
kriteria atau hanya satu kriteria empat atau lima.
American association of liver disease merekomendasikan untuk penderita
hepatitis B atau sirosis dengan adanya nodul di hepar melakukan pemeriksaan
sebagai berikut :
a. Untuk nodul < 1 cm dapat dilakukan pemeriksaan USG (ultrasonografi)
per 3 bulan. Jika 2 tahun tidak dapat diidentifikasi maka nodul sudah
berubah menjadi bentuk regeneratif.
b. Untuk nodul > 1 cm dapat di evaluasi dengan pemeriksaan CT scan atau
MRI untuk dididentifikasi karakteristik tipe tumor pada HCC. jika tipe
HCC tidak dapat didientifikasi maka perlu dilakukan biopsi perkutan.
Namun, tindakan biopsi perkutan ini memiliki resiko meningkatkan
penyebaran tumor melalui bagian jarum di perkutan dan terjadinya
hemoperitonium.
Apabila diagnosis HCC sduah ditegakkan maka direkomendasikan untuk
melakukan pemeriksaan CT scan thoraks untuk menentukan staging (Chedid dkk.,
2017)

II.1.6 Staging
Staging tumor sangat penting dalam menentukan terapi pengobatan yang
sesuai. Terdapat berbagai macam sistem staging pada pasien HCC. Namun, sistem
yang paling efektif dan banyak digunakan adalah klasifikasi Barcelona Clinic
Liver Cancer (BCLC) (NCBI). Pasien dengan HCC diklasifikasikan menjadi 5
stage (0, A, B, C dan D) berdasarkan prognosis dan terapi yang sesuai dengan
status kesehatan pasien. Prognosis dapat dinilai berdasarkan jenis tumor (ukuran,
jumlah, invasi vascular, N1, M1) dan fungsi hepar (bilirubin, hipertensi porta,
fungsi hati dan keadaan umum kesehatan (ECOG)). Sementara itu, pemilihan
terapi bergantung dari beberapa faktor yang mempengaruhi hasil terapi seperti
kadar bilirubin, ada tidaknya hipertensi portal atau gejala yang timbul –ECOG
(EASL, 2018).

17
Sumber : EASL, 2018
Tahap HCC sangat dini (BCLC stadium 0) diartikan sebagai adanya tumor
tunggal dengan diameter < 2 cm tanpa invasi vascular/satelit pada pasien, status
kesehatan baik (ECOG-0) dan fungsi hati masih terpelihara baik (Class Child-
Pugh A). Data terakhir menunjukkan kelangsungan hidup lima tahun pada 80-
90% pasien dengan HCC soliter yang < 2 cm yang di obati dengan tindakan
reseksi dan 70% setelah tindakan radiofrequency ablation (RFA).
HCC dini (BCLC stadium A) diartikan pada pasien dengan tumor nodul
tunggal dengan diameter > 2 cm atau 3 nodul dengan diameter < 3 cm, status
kesehatan ECOG-0 dan fungsi hati dipertahankan. Rata-rata kelangsungan hidup
pasien dengan HCC dini mencapai 50% sampai 70% pada 5 tahun setelah
tindakan reseksi, transplantasi hati atau ablasi lokal di lokasi yang terpilih (EASL,
2018).
Pada tahap HCC Intermediet (BCLC stadium B), diartikan sebagai pasien
dengan tumor multinodular, tanpa gejala dan tanpa adanya invasi vascular ataupun
penyebaran ekstrahepatik. Angka kelangsungan hidup pasien HCC intermediet
adalah 16 bulan atau 49% pada 2 tahun setelahnya. TACE merupakan pengobatan
lini pertama pada pasien ini.
HCC tingkat lanjut (BCLC stadium C), yaitu pasien yang memiliki gejala
yang timbul dengan skala ECOG 1-2, terdapat invasi mikrovaskular (invasi portal
ataupun segmental) atau penyebaran ekstrahepatik (metastase nodus limfatik)

18
yang menyebabkan prognosis buruk bagi pasien pada tahap ini. Perkiraan angka
kehidupan pada tahap ini sekitar 6-8 bulan atau 25% selama 1 tahun (EASL,
2018). Pemberian sorafenib (inhibitor multikinase) meningkatkan kelangsungan
hidup pada pasien tahap ini. Regorafenib direkomendasikan menjadi lini kedua
pada pasien yang berkembang tetapi toleran dengan sorafenib.
HCC stadium akhir (terminal), yaitu pasien dengan status kesehatan yang
sangat buruk (ECOG 3-4) yang menggambarkan keparahan tumor hingga timbul
kecacatan. Angka kehidupan pada pasien tahap ini 3 – 4 bulan atau 11% selama 1
tahun (EASL, 2018).

Tabel 1 Skala Status Kesehatan (Eastern Cooperative Oncology Group)


0 Dapat beraktivitas penuh, mampu menjalankan semua tugas tanpa batasan
1 Terbatas dalam aktivitas fisik berat tetapi dapat berjalan dan mampu
melakukan pekerjaan ringan atau tidak bergerak
2 Dapat berjalan dan mampu merawat diri tetapi tidak mampu melakukan
segala aktivitas fisik sekitar >50% dari waktu bangunnya
3 Kemampuan perawatan diri terbatas; terbatas pada tempat tidur atau kursi
dari 50% waktu bangunnya
4 Tidak mampu melakukan pekerjaan sama sekali; tidak dapat melakukan
perawatan diri sama sekali dan hanya terbatas di tempat tidur atau kursi
Sumber : EASL, 2018

II.1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan HCC terdiri dari tindakan bedah dan non-bedah yang
berpengaruh terhadap prognosis. Pendekatan multidisiplin sangat penting untuk
memastikan bawah penatalaksanaan yang dipilih optimal. Tim multidisiplin
biasanya terdiri dari ahli hepatologi, ahli radiologi, ahli onkologi medis, ahli
radiologi intevensi, ahli bedah transplantasi, dan ahli bedah hepatobilier. Setiap
spesialisasi memiliki kontribusi masing-masing untuk menentukan hasil dari
tatalaksana yang diberikan pada penderita karsinoma hepatoseluler (Balogh dkk.,
2016).
a. Tindakan Bedah
1) Reseksi
Tindakan reseksi dapat dilakukan pada pasien non-sirosis. Tingkat
penyembuhan terbaik dengan kelangsungan hidup selama 5 tahun
sebanyak 41% - 74% (Allemann dkk., 2013). Tindakan ini dilakukan

19
pada tumor soliter dan pada pemeriksaan radiologis tidak terdapat invasi
vaskular (Wong dan Frenette, 2011). Kontraindikasi relatif dari LR
adalah adanya hipertensi portal yang ditandai dengan adanya varises
esophagus yang dapat dilihat melalui endoskopi dan trombisitopenia
(trombosit < 100.000 mg/dl) (Chedid dkk., 2017).
2) Transplantasi hati
Orthopic liver transplantation (OLT) merupakan pilihan terbaik
untuk tumor solid dan pasien dengan fungsi hati yang masih adekuat.
Kriteria Milan biasanya digunakan sebagai indikasi penerapan OLT.
Kriteria tersebut meliputi tumor tunggal dengan ukuran < 5 cm atau
jumlah tumor lebih dari 3 dengan ukuran masing-masing tumor ≤ 3 cm
serta tidak ada metastasis nodul (Balogh dkk., 2016). Pasien dengan HCC
ukuran > 5 cm dan terdapat gambaran invasi vascular akan menghasilkan
prognosis buruk setelah OLT (Chedid et dkk., 2017).

b. Tindakan Non-bedah
3) Transarterial Chemoembolization (TACE)
TACE adalah teknik pemberian kemoterapi (biasanya doxorubisin,
mytomicin C dan cisplatin atau kombinasi) dan embolan yang dicampur
secara homogen, kemudian dihantarkan ke tumor melalui kateterisasi
arteri yang memberikan darahnya langsung pada massa tumornya. Bedah
merupakan terapi yang dipilih untuk tumor yang masih kecil dan belum
banyak vaskularisasinya. Namun, jika tumor berukuran besar dan lebih
dari 2 cm dengan vaskularisasi dominan maka sebelum dilakukan
pembedahan dapat dilakukan down staging lebih dulu sehingga tumor
menjadi lebih kecil dan vaskularisasinya berkurang. Pada kondisi ini,
TACE relatif efektif karena langsung diberikan pada feeding arteri
sehingga tumor bisa terkena langsung obatnya. Efek embolisasi pada
feeding arteri dapat mempercepat pengecilan tumor.
TACE telah banyak digunakan dalam terapi karsinoma
hepatoselular stadium inoperable atau non-resectable. TACE juga
merupakan terapi untuk mengontrol pasien HCC yang diindikasikan

20
OLT. Pada umumnya, indikasi TACE adalah karsinoma hepatoselular
dengan fungsi hati yang masih adekuat, tidak ada metastasis ekstrahepar,
dan tidak ada tumor trombus pada vena porta yang kontraindikasi untuk
bedah ataupun terapi ablasi. Terapi TACE dapat memberikan angka
ketahanan hidup lebih dari 3 bulan lebih baik daripada tidak mendapat
pengobatan yang sesuai (Poedjomartono dan Sudarmanto, 2009).
4) Transarterial Radiation
Transarterial radioembolisasi adalah teknik pemberian radioisotop
secara langsung pada tumor melalui kateter. Radioisotop yang digunakan
adalah Yttrium090 (Y-90) atau iodine-131-labeled lipiodol. Prosedur
pemberian radioisotop ini mirip seperti TACE. Prosedur ini terbukti
aman dan efektif bagi pasien sirosis dengan karsinoma hepatoselular
(Balogh dkk., 2016).
5) Percutaneous local ablation
Radiofrequency ablation (RFA) adalah pengobatan pilihan untuk
penghancuran tumor hati. RFA menyebabkan tumor mengalami nekrosis
koagulais (Balogh dkk., 2016). RFA diterapkan pada pasien dengan
ukuran tumor > 5 cm sebagai terapi pre transplantasi ataupun terapi
paliatif. Kontraindikasi dari RFA adalah adanya pembuluh darah besar
atau cabang biliaris di sekitar tumor. RFA dapat mengontrol penyakit
HCC dengan rerata 3 tahun sama seperti reseksi hepar (Chedid dkk.,
2017).
6) Terapi Sistemik
Sorafenib direkomendasikan untuk pasien dengan karsinoma
hepatoselular fase lanjut yang tidak memenuhi syarat reseksi atau
transplantasi hati dan gagal berespon terhadap terapi lokoregional.
Sorafenib merupakan inhibitor tirosin kinase yang berperan dalam
menghambat angiogenesis tumor dan proliferasi sel tumor (Bruix dkk.,
2012). Efek samping dari obat ini dapat berupa anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan, hipertensi, dan suara serak (EASL, 2018).

21
II.1.7 Prognosis
Skor Child Pugh dapat digunakan untuk mengetahui fungsi hati dan secara
langsung dapat dikaitkan dengan prognosis.

Tabel 1. Skor Child Pugh


Skor / parameter 1 2 3
Bilirubin (mg/dL) < 2,0 2 -<3 >3,0
Albumin (gr/dL) >3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8
Prothrombin time
>70 40 - < 70 < 40
(Quick %)
Banyak
Ascites 0 Minimal – sedang (+) – (++)
(+++)
Tidak Stadium
Hepatic encephalopaty Stadium I dan II
ada III dan IV

Jika jumlah skor 1-6, sirosis diklasifikasikan kelas A mengindikasikan


penyakit hati least severe; jika jumlah skor 7-9, kelas B mengindikasikan penyakit
hati moderately severe; dan jika jumlah skor 10 atau lebih, diklasifikasikan
dengan kelas C mengindikasikan penyakit hati most severe. Angka kelangsungan
hidup 1 tahun pada masing-masing kelas A, kelas B, dan kelas C adalah 100%,
80%, dan 45% (Chedid dkk., 2017).

II.2 Koledokolitiasis
II.2.1 Definisi
Batu empedu merupakan partikel keras yang berkembang di dalam kandung
empedu atau saluran empedu. Ada beberapa istilah mengenai penyakit batu
empedu, yaitu kolelitiasis yang merupakan pengertian dari batu empedu secara
umum, kolesistolitiasis yang merupakan batu di kandung empedu, koledokolitiasis
yang merupakan batu di duktus koledokus, dan kolangiolitiasis yang merupakan
batu pada cabang duktus hepatikus dan cabang lain di hati (Syamsuhidajat, 2016).
Koledokolitiasis adalah adanya batu dalam saluran empedu dan merupakan
suatu kondisi umum dan bisa menimbulkan berbagai komplikasi, di mana

22
komposisi utama dari batu empedu itu sendiri adalah kolesterol (Gore & Levine,
2010).

Gambar 2.1 Batu empedu


II.2.2 Epidemiologi
Menurut NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey),
prevalensi penyakit batu empedu di negara barat sekitar 10-15 %, di mana 7,9 %
terjadi pada pria dan 16,6 % terjadi pada wanita. Ras Mexican-American
merupakan ras terbanyak penderita penyakit batu empedu (Sudoyo, 2009).
Prevalensi koledokolitiasis di Asia berkisar antara 3-10 %. (Nuhadi, 2010).
II.2.3 Klasifikasi Batu Empedu
Terdapat 3 tipe batu empedu (Hawkey, 2012):
a. Batu Kolesterol
Mengandung zat-zat, seperti kalsium bikarbonat, fosfat, bilirubinat,
palmiat, fosfolipid, glikoprotein, dan mukopolisakarida. Lebih dari 50 %
batu kolesterol mengandung kolesterol monohidrat plus.
b. Batu Pigmen Hitam
Mengandung bilirubin indirek, kalsium fosfat dan karbonat, serta tidak
mengandung kolesterol. Sering terjadi pada hemolysis kronik, sirosis, atau
Crohn’s disease.

23
c. Batu Pigmen Coklat
Mengandung kalsium bilirubinat, palmitat, dan stearate. Batu ini
jarang terjadi dan biasanya terjadi pada infeksi bilier.

Tabel 2.1 Klasifikasi Batu Empedu


Kolesterol Pigmen Hitam Pigmen
Coklat
Lokasi Kandung dan Kandung dan Saluran
saluran saluran empedu
empedu empedu
Kandungan Kolesterol Polimer Kalsium
Mayor pigmen
Konsistensi Kristalin Keras Halus, rapuh
dengan nucleus
% Radioopak 15 % 60 % 0%
Lainnya - Sering disertai Sering disertai
dengan sirosis dengan infeksi
Sumber : Dooley, 2011

II.2.4 Faktor Risiko


Kejadian koledokolitiasis atau kolelitiasis terjadi karena adanya beberapa
faktor risiko, yaitu (Dooley, 2011):
a. Genetik
Terjadi mutasi di berbagai titik gen, seperti ABCG5 (transporter
kolesterol kanalikular) pada 11 % kasus batu kolesterol, ABCB4
(transporter fosfotidil kolin) pada 50 % kasus batu empedu, dan lain-lain
(ABCB11).
b. Gaya Hidup
Aktivitas rendah menyebabkan kejadian dyslipidemia, sindrom
metabolik, dan diabetes yang dapat menyebabkan hipersekresi kolesterol
bilier atau sintesis asam empedu yang tidak adekuat.

24
c. Obesitas
Faktor risiko utama terjadinya penyakit batu empedu karena
berhubungan dengan peningkatan sintesis kolesterol.
d. Faktor Makanan
Makanan rendah serat membuat masa transit usus menjadi lebih
lama sehingga terjadi dehidrooksilasi asam kolik di kolon oleh bakteri
feses dan menyebabkan asam deoksikolik di empedu
e. Umur
Signifikan terjadi pada umur >40 tahun
f. Jenis Kelamin dan Estrogen
Perempuan dijumpai lebih sering menderita penyakit batu empedu.
Angka kejadian lebih meningkat lagi pada ibu hamil periode akhir dan
pada wanita yang mengkonsumsi pil estrogen.
g. Faktor Serum
Terjadi pada pasien yang memiliki HDL rendah dan trigliserida
yang tinggi.
h. Sirosis
Pada pasien sirosis terjadi pengurangan sekresi asam empedu
sehingga berhubungan dengan pembentukanbatu pigmen.
i. Infeksi
Adanya infeksi oleh bakteri dapat menyebabkan dekonjugasi garam
empedu sehingga terjadi pengurangan kelarutan kolesterol.
j. Diabetes Melitus (DM)
DM menyebabkan pengisian dan kontraksi asam empedu
memburuk dimana kita menyebut dengan kondisi “diabetic neurogenic
gallbladder syndrome”. DM juga berhubungan dengan peningkatan
saturasi kolesterol pada kandung empedu.
k. Faktor lainnya
Faktor lain yang ditemukan juga berisiko untuk batu empedu
adalah hepatitis C, gastrektomi, terapi kolestiramin jangka panjang.

25
II.2.5 Patofisiologi Batu Empedu Kolesterol
Dalam pembentukan batu kolesterol, ada 3 prinsip dalam mekanisme
pembentukannya yaitu : supersaturasi kolesterol, peningkatan nukleasi dari kristal
kolesterol, dan hipomotilitas kandung empedu. Supersaturasi kolesterol terjadi
ketika terdapat peningkatan rasio antara kolesterol dengan asam empedu dan
fosfotidilkolin/lesitin. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu (Longo
& Fauci, 2013):
a. Peningkatan sekresi kolesterol
Hal ini terjadi karena terdapat peningkatan aktivitas enzim 3-
hidroxy-3-methylglutaryl [HMG]- CoA- Colesterol reductase, dimana
peningkatan akan mengakibatkan peningkatan uptake kolesterol dari
darah ke hepar, sehingga sekresi kolesterol mengalami peningkatan.
Peningkatan enzim HMG-Koa- reduktase ini disebabkan oleh beberapa
hal, seperti genetik, makanan kaya kolesterol dan atau tinggi kalori, dan
lainnya. Selain itu, peningkatan sekresi kolesterol bisa disebabkan oleh
adanya inhibisi proses esterifikasi kolesterol oleh progesteron pada
masa kehamilan.
b. Pengurangan sekresi asam empedu
Terjadi ketika terdapat peningkatan konversi asam kolat menjadi
asam deoksikolat. Hal ini terjadi karena peningkatan proses hidroksilasi
asam kolat dan peningkatan absorpsi asam deoksikolat ke hati yang
baru terbentuk. Peningkatan deoksikolat inilah yang dapat
mengakibatkan hipersekresi kolesterol ke empedu.
c. Pengurangan sekresi lesitin / fosfotidilkolin
Prinsip kedua dalam pembentukan batu empedu adalah terjadinya
peningkatan nukleasi dari kristal kolesterol. Peningkatan kristal
kolesterol monohidrat ini bisa dihasilkan karena peningkatan faktor
pronukleasi atau dapat juga karena defisiensi faktor antinukleasi. Yang
merupakan contoh dari faktor pronuklease adalah musin kandung
empedu, alpha-1 glycoproteinic acid, aminopeptidase N,
immunoglobulin M and G, haptoglobin, fibronectin and alpha-1
antichymotrypsin , sedangkan yang termasuk faktor antinukleasi adalah

26
Apo A-1 dan A-II , protein empedu, dan immunoglobulin A. Nukleasi
dan pertumbuhan kristal kolesterol monohidrat terjadi di dalam lapisan
gel musin, dimana vesikel fusi yang merupakan kristal cair mengalami
nukleasi menjadi kristal yang padat. Pertumbuhan kristal ini terjadi oleh
nukleasi langsung oleh molekul kolesterol dari vesikel empedu jenuh
unilamelar ataupun multilamelar.
Prinsip terakhir dari pembentukan batu empedu adalah
hipomotilitas kandung empedu. Pasien yang memiliki presentasi tinggi
terkena batu empedu menunjukan abnormalitas pengosongan kandung
empedu. Suatu studi menunjukkan pada batu empedu terjadi
peningkatan volume kandung empedu selama puasa dan juga setelah
makan (volume residu), dan karena stimulasi kandung empedu tersebut
maka terjadi penurunan pengosongan empedu tersebut. Selain itu,
kelainan pengosongan kandung empedu dapat juga terjadi karena
berkurangnya sekresi kolesistokinin (CCK) yang dibebaskan sehingga
mengakibatkan berkurangnya asam lemak bebas yang dihasilkan,
menyebabkan stimulus kontraksi kandung empedu melemah
(Silbernagl, 2009).
Dua kondisi lainnya yang menyebabkan pembentukan batu
kolesterol adalah kehamilan dan penurunan berat badan yang cepat
melalui diet sangat rendah kalori. Pada kehamilan terutama trimester 3
terjadi peningkatan saturasi kolesterol (Silbernagl, 2009).

27
Gambar 2.2 Patofisiologi Baatu Empedu

II.2.6 Gejala Klinis


Gejala klinis batu empedu dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain :
a. Batu empedu asimtomatik
Batu asimptomatik terjadi pada 60 – 80 % pada penderita batu
empedu secara keseluruhan, inilah yang membuat diagnosis terlambat
pada penderita (Sudoyo, 2009).
b. Batu empedu simtomatik
Gejala yang timbul dari batu empedu adalah nyeri kolik atau kolik
bilier. Nyeri terjadi karena terdapat obstruksi intermitten di abdomen
kuadran kanan atas atau epigastrium, dan dapat menyebar ke punggung
yaitu di region interskapular dan skapula kanan. Nyeri ini ditandai
dengan nyeri yang mengakibatkan perut mules, bersifat konstan atau
stabil (persisten) , derajat berat, durasi nyerinya bersifat lama yaitu
sekitar 15 – 30 menit hingga beberapa jam, dan nyeri dimulai tiba tiba
serta berhenti atau mereda secara bertahap/cepat. Kolik bilier ini dapat
dipicu oleh makan makanan berlemak, bisa saat konsumsi besar setelah
periode puasa yang lama atau bisa saat konsumsi normal (Sudoyo, 2009).

28
Nyeri kolik bilier ini disebabkan karena batu yang menyumbat
duktus sistikus atau duktus biliaris komunis. Dimana sumbatan ini akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intraluminal, dan juga peningkatan
kontraksi peristaltik dari saluran empedu. Dua hal inilah yang akan
menstimulasi persarafan sehingga menyebabkan nyeri visceral di daerah
yang dihambat oleh batu empedu ini. Selain itu, kontraksi peristaltik dari
saluran empedu ini akan bersifat berulang, dimana empedu akan terus
merespon saluran empedu untuk terus melakukan kontraksi peristaltik
dengan guna mengeluarkan batu itu dari saluran empedu. Kontraksi yang
berulang ini bisa mengakibatkan distensi viskus saluran empedu yang
bahkan bisa mengakibatkan overdistensi, hal inilah yang akan
menstimulasi nervus vagal sehingga pada pasien batu empedu ditemukan
gejala mual dan muntah (Wang & Afdhal, 2012).
Batu empedu yang berbentuk beraneka ragam (kecil maupun besar,
halus maupun kasar), terutama yang berbentuk kasar dan tajam, hal ini
dapat menimbulkan iritasi atau trauma pada epitel kandung atau saluran
empedu. Iritasi ini mengakibatkan pelepasan prostaglandin dan
fosfolipase A2 oleh epitel kandung atau saluran empedu. Fosfolipase ini
akan mengakibatkan pemecahan fosfotidilkolin menjadi lisolesitin.
Prostaglandin yang dilepaskan ini akan menstimulasi set point
hipotalamus yang akan mengakibatkan timbulnya gejala demam pada
pasien batu empedu. Iritasi yang berkepanjangan pada kandung empedu
ini dapat mengakibatkan perforasi kandung empedu, dan juga dapat
mengakibatkan inflamasi yang dapat disebut oleh kolesistitis akut.
Penyebab kolesistitis akut ini biasanya karena terdapat infeksi bakteri,
seperti Escherichia coli, Klebsiella, Streptococcus spp., dan Clostridium
spp (Wang & Afdhal, 2012).
Gejala dari kolesistits akut adalah nyeri memberat dan memanjang
lebih dari 5 jam di perut kanan atas, dapat disertai demam, mual, dan
muntah. Pada PF, dapat ditemukan nyeri tekan di perut kanan atas, dan
juga Murphy’s Sign, yaitu pasien merasakan nyeri pada inspirasi saat
dilakukan palpasi di bawah batas akhir kostae kanan. Pada pemeriksaan

29
penunjang, sering menyebabkan kelainan berupa leukositosis, dan dapat
juga terjadi kenaikan ringan faal hati dikarenakan dampak dari kompresi
lokal pada saluran empedu. Adapun patogenesis dapat terjadinya
komplikasi kolesistitis adalah akibat tertutupnya duktus sistikus oleh
batu, sehingga terjadi hidrops kandung empedu yang menyebabkan
penambahan volume atau edema kandung empedu. Di mana edema ini
menyebabkan iskemi dari dinding kandung empedu yang dapat
berkembang menuju nekrosis dan perforasi. Awalnya kolesistitis hanya
berupa peradangan steril, tetapi jika dibiarkan dapat menjadi infeksi
bakteri. Selain itu, dapat juga timbul kolangitis yaitu infeksi pada duktus
hepatikus, dengan gejala ikterus obstruktif, atau dapat juga terjadi
pankreatitis apabila batu sudah menyumbat di duktus pankreatikus
(Wang & Afdhal, 2012).

Sumber : Wang & Afdhal, 2012


Gambar 2.3 Klinis batu empeduu berdasarkan letak dari
batu empedu
II.2.7 Diagnosis
Diagnosis radiologis untuk batu empedu kadang sangat dibutuhkan untuk
mengetahui seorang pasien terkena batu empedu atau tidak. Pencitraan radiologis
ini tidak hanya sebagai keperluan diagnosis, tetapi juga dapat menjadi upaya

30
terapi awal. Pencitraan radiologis digunakan pada 2 daerah yaitu gallbladder
(kandung empedu) dan saluran empedu (Dooley, 2011).
a. Gallbladder
Untuk pencitraan di gallbladder sendiri dapat menggunakan 3
metode radiologi, yaitu: (1) Ultrasonography (USG), dimana metode ini
sangat efektif dalam menunjukkan kondisi dinding dari kandung empedu,
dimana hasil akan lebih akurat jika pasien berpuasa sebelum melakukan
pemeriksaan USG, (2) CT dan MRI, satu satunya pencitraan yang dapat
menunjukkan batu di dalam kandung empedu, (3) Scintigraphy , sangat
disarankan pada dugaan diagnosis kolesistitis akut.
b. Saluran Empedu (bile duct)
Pencitraan dalam saluran empedu dapat menggunakan beberapa
metode, yaitu: (1) USG, metode yang sering dipilih, dimana apabila pada
gambaran USG terlihat dilatasi duktus biliaris (>5-7 mm) maka
kemungkinan besar terdapat obstruksi pada saluran empedu, (2) CT Scan,
menggunakan CT-cholangiography, (3) Magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP), akurat untuk melihat batu di duktus
biliaris terutama yang berukuran >6mm, (4) Endoscopic Ultrasound
(EUS), untuk membedakan penyempitan benign/maligna pada duktus
biliaris, (5) Oral Cholecystography (OCG) and Intravenous
cholangiography, jarang digunakan, (6) Scintigraphy, (7) Endoscopic
retrograde cholangiopancreatography (ERCP) juga merupakan salah
satu standar yang juga digunakan sebagai diagnosis pada batu saluran
empedu, dan juga sering dijadikan sebagai salah satu prosedur terapi
utama pada batu empedu. (8) Percutaneous transhepatic
cholangiography (PTC). 2 metode yang terakhir merupakan metode yang
sangat berisko untuk timbul komplikasi seperti peradangan, bleeding,
perforasi, ataupun lainnya.
II.2.8 Tatalaksana
Batu Empedu dapat dicegah dengan perbaikan gaya hidup, yaitu dengan
mengurangi pemasukan kalori total. Selain itu, dapat diberikan juga terapi
pencegahan pembentukan batu empedu pada pasien yang berisiko tinggi, maka

31
dapat diberikan ursodeoxycholic acid (UDCA) dengan dosis 10 – 15
mg/KgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/ hari secara oral. UDCA ini bekerja
dengan mengurangi saturasi kolesterol di empedu, menstimulasi produksi kristal
lamelar cair pada empedu sehingga akan terjadi dispersi kolesterol, dan juga
mengurangi nukleasi kristal kolesterol. Obat ini juga dapat di indikasi pada batu
empedu dengan ukuran <10 mm, obat diberikan sampai batu berukuran sekitar
kurang dari <5 mm, dan kurang efektif jika diberikan pada batu dengan ukuran
>15 mm (Longo & Fauci, 2013).
Pada batu empedu simtomatik, untuk mengatasi keluhan kolik bilier, dapat
diberikan terapi emergensi dengan 2 pilihan obat, yaitu spasmolitik, atau golongan
NSAID (seperti diklofenak 75 mg IM, atau metamizol 1 gram IV).
Rekomendasi kolesistektomi pada pasien batu empedu berhubungan dengan
3 faktor yaitu (Hawkey, 2012):
a. Munculnya gejala yang bisa melihat keluhan pasien ringan atau berat
yang berhubungan dengan aktivitas rutinnya.
b. Munculnya komplikasi batu empedu (seperti riwayat kolesistitis akut
atau kronik, pankreatitis, atau fistula kandung empedu).
c. Terdapat penyakit yang mendasari yang dapat meningkatkan risiko
komplikasi batu empedu.
Indikasi lainnya dari kolesistektomi adalah apabila diameter batu empedu
berukuran >3 cm dan apabila menderita batu empedu kongenital. Kolesistektomi
dengan laparaskopi adalah pendekatan terapi untuk pengangkatan kandung
empedu bersamaan dengan batunya, dimana terapi ini sekarang merupakan terapi
pilihan untuk batu empedu simtomatik. Dikatakan pilihan, karena kolesistektomi
dengan laparoskopi mempunyai tingkat penyembuhan lebih cepat dan waktu di
rumah sakit lebih cepat jika dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka. Batu
empedu asimtomatik dengan belum munculnya komplikasi batu empedu maka
tidak di indikasikan melakukan kolesistektomi, kecuali jika diameter batu sudah
lebih dari > 3 cm, maka boleh dilakukan kolesistektomi karena ditakutkan akan
menjadi kanker kandung empedu (Syamsuhidajat, 2016).

32
II.2.9 Komplikasi
Komplikasi dari batu empedu yang cukup sering adalah kolesistitis. Kurang
lebih 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami kolesistitis akut.
Komplikasi lain dapat timbul akibat batu yang berpindah-pindah. Komplikasi
yang dapat timbul ialah kolangitis, dan pankreatitis akut. Pada Kolangitis akut
dapat dikenal gejala Trias Charcot, terdiri dari nyeri persisten, demam dan ikterus.
Diagnosis dini dari komplikasi ini adalah dengan USG atau MRCP. Terapinya
mencakup terapi suportif dan kolesistektomi (apabila sudah gawat darurat)
(Dooley, 2011).
II.2.10 Prognosis
Prognosis kolelitiasis dengan pengobatan adalah baik. Tingkat mortalitas
setelah terapi bedah adalah kurang dari 0,1%. Seringkali, setelah kolesistektomi
pasien mengeluh nyeri persisten atau rekurens, yang biasa disebut “sindrom post-
kolesistektomi”. Bila sudah timbul komplikasi berupa kolesistitis akut, maka
prognosis bisa menjadi dubia atau malam, bahkan tingkat mortalitas dapat lebih
dari >50%. Kolesistitis tanpa kolesistektomi tingkat kekambuhannya sekitar 60%
selama 6 tahun (Marschall & Einarsson, 2007).

33
DAFTAR PUSTAKA

Allemann, P, Demartines, N, Bouzourene, H, Tempia, A, & Halkic, N, 2013,


‘Longterm outcome after liver resection for hepatocellular carcinoma larger
than 10 cm’, World J Surg, vol. 37, no. 2, pp. 452–458.

Balogh, J, Victor III, D, Asham, EH, dkk., 2016, ‘Hepatocellulr carcinoma: a


review’, Journal of Hepatocellular Carcinoma, vol. 3, pp. 41 – 53.

Bruix, J, Raoul, J-L, Sherman, M, dkk., 2012, ‘Efficiancy and safety of


sorafenibin patients with advanced hepatocellular carcinoma: subanalysis of
a phase III trial’, J Hepatol, vol. 57, pp. 821–829.

Chedid, M F, Kruel, C R. P., Pinto, MA., Grezzana-Filho, T J. M., Leipnitz, I,


Kruel, C D. P., Scaffaro, L A., Chedid, A D 2017, ‘Hepatocellular
Carcinoma: Diagnosis And Operative Management’ hlm. 272-278.

Crissien, AM, & Frenette, C, 2014, ‘Current Management of hepatocellular


carcinoma’, Gastroenterol Hepatol, vol. 10, no. 3, pp. 153–161.

Dooley, JS, 2011 Sherlock’s Disease of The Liver and Biliary System, Edisi 12,
Wiley-Blackwell Publishing, British.

European Association For The Study Of The Liver, European Organisation For
Research And Treatment Of Cancer 2018, EASL-EORTC clinical practice
guidelines: management of hepatocellular carcinoma. J Hepatol, hlm. 908–
943.

Gore, RM. & Levine, MS, 2010, High Yield Imaging: Gastrointestinal. Vol. 197:
Elsevier, hlm.1024, diakses 28 Juni 2019.
https://www.researchgate.net/publication/257484302_High
Yield_Imaging_Gastrointestinal

Hawkey, CJ 2012, Textbook of Clinical Gastroenterology and Hepatology, Wiley-


Blackwell Publishing, British.

Kumar, V, Abbas, Fausto, Aster 2010, Robbin And Cotran Pathologic Basis of
Disease Eighth Edition, Saunders Elsevier, Philadelphia.

Longo, DL, Fauci, AS 2013, Harrison’s Gastroenterology and Hepatology, Mc-


Graw Hill, United States.

Marschall HU & Einarsson C 2007, Gallstone Disease. Vol. 261. No. 6: Blackwell
Publishing Ltd Journal of Internl Medicine, hlm. 529-542, diakses 28 Juni
2019.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17547709

34
Nuhadi, M 2010, Perbedaan Komposisi Batu Kandung Empedu dengan Batu
Saluran Empedu pada Penderita yang Dilakukan Eksplorasi Saluran
Empedu di RSHS Bandung, Disertasi, Universitas Andalas, diakses 28 Juni
2019.
http://scholar.unand.ac.id/41703/2/2.%20BAB%20I%20KTI%20upload-
converted.pdf

Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, “Kanker Hati (Hepatoma)”, diakses 23 Juni


http://pphi-online.org/alpha/?p=600

Poedjomartono, B, & Sudarmanto, 2009, ‘Kemoembolisasi Transarterial (TACE)


pada Karsinoma Hepatoselular (KHS)’, Indonesian Journal of Cancer, vol.
3, no. 3, pp. 117 – 121.

Setiati, S, Alwi, I, Sudoyo, AW, Simadibrata, M, Setiyohadi, B, Syam, AF (eds)


2015, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, InternaPublishing,
Jakarta.

Silbernagl, S 2009, Atlas Patofisiologi. EGC, Jakarta.

Sudoyo, AW 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 5, Kemenkes, Jakarta.

Syamsuhidajat, R 2016, Buku Ajar Ilmu Bedah De Jong, EGC, Jakarta.

Wang, DQ & Afdhal, NH 2012, Gallstone Disease, Elsevierm, Singapore.

Waghray, A, Murali, AR, Menon KV N, 2015 'Hepatocellularcarsinoma: From


diagnosis to treatment' diakses pada tanggal 10 Juli,
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4450179/

Wong, R, Frenette, C, 2011, ‘Updates in the management of hepatocellular


carcinoma’, Gastroenterol Hepatol, vol. 7, no.1, pp. 6–24.

35

Anda mungkin juga menyukai