Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

OBSTRUKSI JAUNDICE ET CAUSA KOLELITIASIS

Pembimbing :
dr. Kamal Agung W. Sp.B-KBD

Disusun oleh :
Fardan Chaisar G4A018057

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi presentasi kasus dengan


judul :
OBSTRUKSI JAUNDICE ET CAUSA KOLELITIASIS

Pada tanggal, Juli 2019

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


Program Profesi Dokter di Bagian Ilmu Bedah
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto

Disusun oleh :
Fardan Chaisar G4A018057

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Kamal Agung W. Sp.B-KBD


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya, sehingga presentasi kasus dengan judul “OBSTRUKSI
JAUNDICE ET CAUSA KOLELITIASIS” ini dapat diselesaikan. Presentasi
kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Bedah. Oleh karena itu penyusun
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan
datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Kamal Agung W, Sp.B - KBD selaku dokter pembimbing
2. Dokter-dokter spesialis bedah di SMF Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto
3. Orang tua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah
henti diberikan kepada penulis
4. Rekan-rekan ko-assisten Bagian Ilmu Bedah atas semangat dan dorongan
serta bantuannya.
Penulis menyadari presentasi kasus ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
kesempurnaannya. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini
bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam maupun di luar lingkungan RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Juli 2019


I. STATUS PASIEN

A. Identitas Penderita

Nama : Tn. S
Umur : 45 tahun
No RM : 02101591
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Cikura RT 04/02 Bojong Tegal, Bojong
Kab. Tegal, Jawa Tengah 213
Status : Menikah
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal masuk RSMS : 13 Juni 2019
Tanggal periksa : 14 Juni 2019

B. Anamnesis
Keluhan utama :
Nyeri perut

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien mengeluhkan nyeri perut sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya nyeri
perut dirasakan pada perut bagian kanan atas kemudian cepat menyebar ke ulu
hati. Nyeri dirasakan tiba-tiba dalam intensitas berat sehingga mengganggu
aktivitas. Nyeri dirasakan hilang timbul. Ketika nyeri pasien hanya berbaring
menahan rasa sakit. Nyeri dirasakan bertambah apabila pasien menarik napas
dalam ketika nyeri muncul. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Setiap
makan pasien mengaku sering merasa mual dan kadang memuntahkan cairan
bahkan makanannya. Sehingga napsu makan pasien menurun semenjak 1 bulan
terakhir. Pasien juga mengeluhkan matanya berwarna kuning. Selain perubahan
warna mata, pasien mengeluhkan warna urin berwarna kuning kecoklatan.
Frekuensi BAK 2-3x/hari, nyeri saat BAK (-). Menurut pengakuan pasien
perubahan matanya berubah menjadi kuning dan BAK berwarna kuning
kecokelatan terjadi secara bertahap sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga
mengaku seluruh tubuhnya gatal-gatal yang muncul hilang timbul sejak 1 bulan
terakhir. Pasien sempat berobat ke salah satu RS di tegal dan disarankan untuk
dioperasi tetapi peralatan tidak memadai, kemudian pasien di rujuk ke RSMS
untuk memeriksakan diri ke dr. Kamal Agung W, Sp.B (KBD) pada Juni 2019.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat keluhan yang sama (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (-)

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat keluhan yang sama (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (-)

Riwayat sosial ekonomi :


Pasien tinggal bersama istri dan anaknya. Pasien merupakan pedagang keliling.
Pasien memiliki kebiasaan makan gorengan hampir setiap hari. Pasien jarang
berolahraga.

C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di Bangsal Teratai RSMS, 14 Juni 2019
a. Status Generalis
a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS: 15 (E4M6V5)
c. Vital sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Respiration Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,6 0C
d. Berat badan : 50 kg
e. Tinggi badan : 160 cm
f. Status generalis
1) Kepala
Bentuk : mesochepal, simetris
Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
2) Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)
3) Telinga : otore (-/-)
4) Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
discharge (-/-)
5) Mulut : bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
6) Leher
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
Kelenjar lymphoid : pembesaran (-), nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar

Gambar 1.1 Foto Klinis Tn. S

7) Thorak
a) Paru
i. Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-/-),
retraksi (-).
ii. Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri seimbang.
iii. Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru.
iv. Auskultasi : Suara dasar vesikuler di kedua lapang paru
(+/+), wheezing(-), ronkhi (-)
b) Jantung
i. Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada
dindig dada sebelah kiri
ii. Palpasi : teraba ictus cordis, kuat angkat di SIC V
iii. Perkusi :
Batas jantung kanan atas : SIC II Linea Parasternal Dextra
Batas jantung kiri atas : SIC II Linea Parasternal Sinistra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV Linea Parasternal Dextra
Batas jantung kiri bawah : SIC V Linea Midklavikula Sinistra
iv. Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen (Lihat pada Pemeriksaan Lokalis)
a) Inspeksi : datar
b) Auskultasi : bising usus (+) normal
c) Perkusi : timpani di semua lapang abdomen
d) Palpasi : massa (-), nyeri tekan (+)
9) Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior Inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Akral dingin - - - -

Gambar 1.2 Foto Klinis Ekstremitas Tn.S


g. Pemeriksaan lokalis Abdomen
1) Inspeksi : Tampak Datar, spider navy (-), bekas luka (-),
2) Auskultasi : BU (+) menurun
3) Perkusi : Timpani di semua lapang abdomen
4) Palpasi : Tampak massa (-), nyeri tekan (+) pada region
hypocondriaca dextra – regio epigastric, Murphy
sign (+).

Gambar 1.3 Foto Klinis Abdomen Tn.S

Gambar 1.4 Foto urin


D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium RSMS tanggal 13 Juni 2019
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin : 13.8 g/dl (N: 13.2-17.3)
Leukosit : 9760 U/L (N: 3800-10600)
Hematokrit : 39% L (N: 40-52)
Eritrosit : 4.8 x106/ul (N: 4.4-5.9)
Trombosit : 335.000/ul (N: 150.000-440.000)
MCV : 81.1 fL (N: 80-100)
MCH : 28.7 pg/cell (N: 26-34)
MCHC : 35.4 % (N: 32-36)
RDW : 15.5 % H (N: 11.5-14.5)
MPV : 9.5 fL (N: 9.4-12.4)
Hitung Jenis
Basofil : 0.4% (N: 0-1)
Eosinofil : 1.7% L (N: 2-4)
Batang : 0.7 % L (N: 3-5)
Segmen : 52.1% (N: 50-70)
Limfosit : 37.8% (N: 25-40)
Monosit : 7.3% (N: 2-8)
PT : 11.4 detik (N: 9.9-11.8)
APTT : 39.3 detik H (N: 26.4-37.5)
Kimia Klinik
Total protein : 6.32 g/dl L (N: 6.40-8.20)
Albumin : 2.49 g/dl L (N: 3.40-5.00)
Globulin : 3.83 g/dl H (N: 2.70-3.20)
SGOT : 31 U/l (N: 15-37)
SGPT : 34 U/l (N: 16-63)
Ureum darah : 14.80 mg/dL L (N: 14.98-38.52)
Kreatinin darah : 0.86 mg/dL (N: 0.70-1.30)
GDS : 112 mg/dL (N: ≤200)
Na : 144 mEq/L (N: 134-146)
K : 3.7 mEq/L (N: 3.4-4.5)
Sero Imunologi
HbsAg : Non reaktif (N: Non reaktif)

2. Hasil USG Abdomen RS Soesilo 28/05/19

Gambar 1.5 Hasil USG Abdomen


Expertise hasil pemeriksaan USG Abdomen :
Hepar : Ukuran tak membesar, parenkim normal, ekogenesitas normal
tak tampak nodul, v. porta tak melebar, v.hepatika tak
melebar.
Duktus billiaris : intra dan ekstrahepatal tak melebar.
Vesica felea : ukuran kecil, dinding menebal, tampak batu kuran 0.77 cm
Pankreas : parenkim homogeny, tak tampak massa maupunkalsifikasi
Ginjal Kanan : bentuk dan ukuran normal, batas batas kortikomeduler jelas,
tak tampa penipisan kortek, tak tampak natu, pieokaliks tak
melebar.
Ginjal Kiri : Bentuk dan ukuran normal, batas kortikomeduler jelas, tak
tampak penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks tak
melebar.
Lien : Tak membesar, tak tampak massa.
Aorta : tak tampak nodul paraaorta.
Vesika ulnaris : dinding tak menebal, permukaan rata, tak tampak batu, tak
tampak massa.
Prostat : ukuran normal, tak tampak nodul/kalsifikasi.
Kesan : Contracted Gall Bladder disertai Cholesistolithiasis.
E. Assesement
Obstructive Jaundice et causa Kolelitiasis

F. Planning
Inf RL500 ml 20 tpm
Inj Ceftriaxone 2x1 gr
Curcuma 2x1 mg
Vitamin B Complex 2x1 mg
Laparotomi Eksplorasi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Obstruksi Jaundice
1. Definisi
Jaundice atau ikterik adalah perubahan warna kuning pada kulit dan
mukosa yang disebabkan karena meningkatnya kadar bilirubin serum yang
disebabkan oleh obstruksi aliran keluar normal empedu. Kadar bilirubin
normal ialah 0.2-0.8 mg/100 ml. Obstruksi jenis apapun yang disebabkan
oleh apapun seperti batu, striktur, tumor, endapan sekunder, tekanan dari
luar, ligase atau cedera dibagian manapun di saluran empedu menyebabkan
terhambatnya aliran empedu. Obstruksi jaundice adalah suatu kondisi yang
disebabkan oleh terblokirnya aliran normal biliaris dari hepar menuju
duodenum (Tahir, 2013).
2. Fisiologi
Bilirubin merupakan produk dari pemecahan hemoglobin. Bilirubin
bebas bergabung dengan albumin plasma yang dibawa ke hati melalui
peredarannya. Hal ini disebut bilirubin tak terkonjugasi yang memiliki sifat
tidak larut dalam air (bilirubin indirect). Albumin memisahkan diri dari
bilirubin di hati dan bersirkulasi dalam plasma sementara bilirubin
memasuki hepatosit. Bilirubin bergabung dengan protein sitoplasma
hepatosit. Kombinasi ini teraktivasi dengan glucuronyl transferase dan
bilirubin glucoronid terbentuk yang dieksresikan menuju saluran bilier.
Bilirubin ini disebut dengan bilirubin terkonjugasi yang memiliki sifat larut
dalam air. Empedu diproduksi di hati dan diangkut melalu kanalikuli bilier
intrahepatik ke saluran hati kanan dan kiri. Saluran ini bergabung
membentuk duktus hepatikus yang membawa empedu ke kantong empedu
melalui ductus sistikus dan ke duodenum melalui ductus biliaris. Dalam
kandung empedu, cairan empedu akan di simpan, terkonsentrasi, dan keluar
akibat efek makanan berlemak (ACS, 2017). Hiperbilirubinemia
disebabkan akibat beberapa alasan diantaranya (Tahir, 2013).:
1) Pre hepatic Jaundice
Pre hepatic jaundice terjadi akibat kelebihan produksi dari bilirubin.
Kebanyakan penyebabnya ialah kerusakan berlebihan sel darah merah
Produksi bilirubin jauh lebih cepat dari pada ekskresi. Bilirubin indirect
meningkat dalam jenis ini.
2) Intra Hepatic jaundice
Intra hepatic jaundice terjadi karena penyerapan bilirubin yang rusak
oleh sel hati. Konjugasi yang rusak oleh hepatosit dan sekresi yang rusak
dari bilirubin terkonjugasi ke saluran empedu.
3) Post hepatic jaundice
Post hepatic jaundice terjadi karena obstruksi aliran keluar empedu. Ini
mungkin terjadi karena obstruksi di lumen saluran empedu atau
didinding salura atau oleh tekanan dari luar saluran. Bilirubin direct
meningkat dalam jenis ini.

Gambar 2.1 Perbedaan prehepatic, intrahepatic, dan post hepatic jaundice. (ACS, 2017).

3. Etiologi
a. Dalam lumen
1) Gall stones (Cholelitiasis): Adanya gumpalan material atau Kristal
padat yang terbentuk dalam kandung empedu.
2) Parasit: contoh parasit seperti Clonorchis sinesis, Opistorchis
species, Fasciola hepatica (Gut, 2012).
b. Penyebab intrinsic
1) Congenital atresia: atresia bilier ditandai oleh obliterasi atau
diskontinuitas system empedu ekstrahepatik, yang mengakibatkan
obstruksi aliran empedu. Atresia jenis ini terbentuk sejak lahir
(Haber et al., 2008)
2) Strictures : penyempitan saluran empedu sering disebabkan oleh
cedera pada saluran empedu selama operasi.
3) Cholangitis : infeksi bakteri pada saluran empedu yang biasanya
disebabkan oleh batu empedu, neoplasma bahkan stricture
(Alizadeh, 2017).
4) Cholangiocarcinoma: (CCC’s) adalah keganasan system saluran
empedu yang mungkin berasal dari hati dan saluran empedu
ekstrahepatik, yang berakhir di ampula vater (Blechacz, 2017).
c. Penyebab ekstrinsic
1) Pancreatitis: infeksi pada pancreas yang seringkali menyebabkan
gallstone (Zakaria, 2009).
2) Tumor of head of pancreas: Tumor pada kaput pancreas akan
menyebabkan penekanan pada saluran empedu.
3) Tumor of ampula of vater: Tumor ampula vater dapat menyebabkan
statis saluran empedu.
4. Kriteria Diagnostik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjukan adanya tanda dan
gejala sangat penting dan sangat berguna dalam mendiagnosa ikterik seperti
(Pascnan et al., 1992):
a. Yellowish discoloration
b. Urin yang berwarna gelap (akibat adanya water soluble bilirubin)
c. Tinja yang berwarna pucat (akibat kurangnya stercobilin)
d. Gatal (akibat iritasi dari Kristal bilirubin dimana terekskresi melalui
keringat)
e. Sclera, mukosa, dan kulit yang berwarna kekuningan
f. Scratch marks on skin (akibat gatal)
g. Kuku yang mengkilap (Akibat garukan kulit)

Abdominal examination:

a. Hepar dapat membesar akibat biliary congestion / metastatic spread


b. Vesica biliaris yang dapat terpalpasi yang mengindikasikan obstruksi
malignansi

Palpable mass:

a. Massa dapat terpalpasi di region epigastrium abdomen dalam kasus


karsinoma caput pancreas yan dapat menyebabkan obstruksi biliaris
b. Ascites (menandakan peritoneum metastasis atau cirrhosis)

Pemeriksaan penunjang yang membantu diagnosis dan dapat merencanakan


tatatalaksana antara lain :

a. Urine examination
Urin mengandung bilirubin tetapi tidak dengan urobilinogen.
b. Blood examination
Estimasi hemoglobin, Jumlah Leukosit total, jumlah leukosit diferensial
dan tingkat sedimentasi.
c. Liver function tests
Level bilirubin meningkat (Direct lebih dari indirect), uji enzim
membantu menilai kerusakan parenkim hepar. Prothrombin time perlu
diperbaiki apabila terganggu, dan protein serum membantu menilai
secara keseluruhan kapasitas sintesis hepar.

Gambar 2.2 Diagnosis of jaundice


d. Tumor markers
Serum Carcino Embryonic Antigen (CEA), peningkatan CA 19-9 ringan
saat ikterik.
e. USG (Ultrasonografi)
Ultrasonografi digunakan sebagai investigasi lini pertama untuk
obstruktive jaundice. Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan :
1) Ukuran saluran empedu
2) Menentukan tingkat obstruksi
3) Mengidentifikasi penyebabnya (dalam beberapa kasus)
4) Memberikan informasi lain yang terkait dengan penyakit (mis.
metastasis hati, empedu batu dan parenkim hati perubahan)
Pemindaian ultrasound sangat membantu untuk melihat tempat
obstruksi dan penyebab obstruksi. USG adalah investigasi non invasif.
Sudah hampir menggantikan investigasi invasif lainnya.
f. CT Scan (Computerized Tomography Scan)
Ketika ikterik disebabkan oleh keganasan, CT scan merupakan
investigasi terbaik untuk mendiagnosis. CT Scan dapat melihat lokasi
obstruksi dan penyebab obstruksi pada saluran empedu. CT Scan
mungkin tidak tersedia di setiap rumah sakit dan dengan hargan mahal.
Kemampuan CT scan fase ganda untuk mengidentifikasi vaskular telah
menghilangkan kebutuhan angiografi.
g. Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography (MRCP)
MRCP merupakan pemeriksaan yang mahal dan tidak tersedia di setiap
rumah sakit. MRCP jaringan dengan sangat baik tanpa memindahkan
pasien sehingga dapat menghindari radiasi paparan. Pemeriksaan ini
tidak invasif dan tidak membawa setiap bahaya biologis. Penyempitan
saluran empedu proksimal dapat dicitrakan dengan baik dengan MRCP.
h. Endoscopic Ultra Sonography (EUS)
penggunaan ultrasonografi melalui endoskop berguna dalam diagnosis
empedu duktus dan patologi pankreas proksimal. Yang terbaru adalah
penggunaan Intra Ductal Ultra Sonografi (IDUS) di mana USG probe
dimasukkan ke saluran empedu atau pankreas 2 saluran saat melakukan
ERCP.
i. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreaticography (ERCP)
Kolangiopancreaticography retrograde endoskopik membantu dalam
menemukan obstruksi khususnya di bagian bawah bagian empedu.
Pemeriksaan ini sangat baik untuk saluran empedu yang mengaami
obstructif. Pemeriksaan ini invasif tetapi merupakan salah satu yang
paling akurat dan investigasi penting untuk penyakit kuning obstruktif.
Pemeriksaan ini sangat membantu ketika obstruksi jinak dan ekstra
hepatic. Pemeriksaan ini juga memiliki keuntungan, karena dalam
terapi.
j. Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC)
Jarum Chiba digunakan di bawah kontrol x-ray dan pewarna disuntikkan
ke dalam canaliculi bilier dan sembari mengambil gambar x-ray.
Pemeriksaan ini menunjukkan bagian obstruksi dan dilatasi empedu.
Pemeriksaan ini adalah yang sangat bagus menunjukkan saluran
empedu proksimal dengan sangat jelas. Pemeriksaan ini sangat
membantu karena mendrainase kolestasis dan tidak hanya
menawarkan diagnostik tetapi juga terapi. Pemeriksaan ini tidak
digunakan sebagai first line karena sifatnya yang invasif. Hal ini dapat
menyebabkan perdarahan intra peritoneum dan kebocoran empedu ke
dalam rongga peritoneum dan dapat menyebabkan kolengitis juga.
Pasien harus selalu terawasi dan terus mengamati setidaknya 24 jam
setelah prosedur.
k. Laparoscopy
Pemeriksaan ini dilakukan ketika terdapat curiga kanker empedu atau
pankreas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan sarana yang dapat
diandalkan untuk menilai, menentukan dan menilai operabilitas kanker
bilier dan pankreas, terutama bila dikombinasikan dengan endoskopi
ultrasonografi.
5. Tatalaksana
a. Conservative
Terapi konservatif digunakan untuk menyiapkan pasien untuk operasi
sebagai terapi definitive dari obstruksi jaundice.
1) Fluid and electrolytes
Cairan dan elektrolit diberikan secara intavena dalam jumlah yang
dihitung
2) Urine output monitoring
Kateter uretra di pasang untuk mengambil urin dari vesica urinaria
untuk memantau output urin perjam. Harus terjaga dalam angka >30
ml/ ja, untuk mencegah terjadiya hepatorenal syndrome.
3) Correction of coagulation defects
Jika terjadi kekurangan vitamin K, maka vitamin K harus diberikan
secara intravena karena dapat menimbulkan perdarahan yang
berkepanjangan (Prolonged PT). Plasma beku segar diberikan
apabila Vitamin K injeksi tidak berhasil menurunkan protrombin
time ke batas normal
4) Pencegahan infeksi
Obstruksi pada traktus biliaris akan menyebabkan caholangitis dan
infeksi berat serta septicemia. Jika pasien mengaami demam,
berikan antibiotic profilaksis yang dapat membunuh bakteri gram
negative. Generasi kedua atau ketiga chepalosporin dan quinolone
adalah yag biasa diberikan.
5) Pencegahan dari terjadinya hepato-renal syndrome
Pasien ikterik kemungkinan menderita gagal ginjal. Loop diuretic
atau manitol 500 ml diberikan secara intravena selama 15-30 menit
sebelum operasi atau selama operasi untuk membersihkan nefron
untuk mencegah gagal ginjal.
6) Nutrisi
Nutrisi pasien harus dipenuhi, jalur enteral biasanya paling disukai.
Pemberian glukosa dalam jumlah besar diperlukan untuk mengisi
kembali kandungan glikogen hati (singkirkan terlebih dahulu
diagnosis diabetes mellitus).
b. Surgical
Operasi dilakukan pada pasien yang sehat secara fisik untuk
meminimalkan morbiditas. Berbagai opsi bedah tersedia tergantung
tentang penyebab dan tempat obstruksi.
1) Choledocholitiasis
2) Benign biliary stricture
3) Pancreatic cancer
4) Hilar cholangiocarcinoma
5) Choledocal cysts
c. Palliative procedures

B. Kolelitiasis
1. Definisi
Cholelitiasis adalah terdapatnya batu di dalam kandung empedu dengan
komposisi kolesterol lebih dari 50%, atau bentuk campuran 20-50%
berunsurkan kolesterol dan presdisposisi dari batu kolesterol adalah orang
dengan usia yang lebih dari 40 tahun, wanita, obesitas, kehamilan, faktor
diet, serta familial (Cahyono, 2014). Beberapa faktor presdisposisi yang
paling penting tampaknya adalah gangguan metabolism yang disebabkan
oleh perubahan susunan empedu dan infeksi yang terjadi pada kandung
empedu serta kolesterol yang mengendap berlebihan didalam di kandung
empedu tetapi mekanisme belum diketahui secara pasti (Rendy et al., 2012).
Komponen endapan batu empedu satu atau lebihnya ialah empedu
kolesterol, bilirubin, garam, empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan
fosfolipid (Haryono, 2012).
2. Anatomi Kandung empedu
Kandung empedu merupakan organ yang berongga, dan memiliki
ukuran panjang kurang lebih 10 cm, bentuknya menyerupai kantong dan
terletak dalam fosa antara lobus hepar kanan dan kiri. Kandung empedu
memiliki fundus, korpus, dan kolum. Fundus merupakan ujung buntu dari
empedu berbentuk bulat yang memanjang diatas tepi hepar. Korpus
merupakan badan atau bagian yang paling besar dari empedu. Kolum adalah
leher atau bagian yang paling sempit yang terletak diantara korpus dan
duktus sistika (Purwanti, 2016).

Gambar 2.3 Anatomi Vesica Biliaris (Snell, 2006).


3. Fisiologi
Vesica biliaris dapat menyimpan 40-60 ml empedu. Empedu disimpan
dalam vesica biliaris selama periode interdifestif dan diantarkan ke
duodenum setelah rangsangan makanan. Aliran cairan empedu diatur 3
faktor oleh 3 faktor yaitu, sekresi empedu oleh hati, kontraksi vesica velea
dan tahanan sfingter koledokus. Fungsi empedu ialah sebagai ekskretorik
seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui
emulsifikasi lemak oleh garam empedu (Smeltzer & Bare, 2002). Empedu
juga berperan dalam metabolisme dan pembuangan limbah dari tubuh,
seperti pembuangan hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah
merah dan kelebihan kolesterol. Garam empedu membantu proses
penyerapan dengan cara menignkatkan kelarutan kolesterol, lemak, dan
vitamin yang larut dalam lema (Sherwood, 2014).
4. Epidemiologi
Cholelitiasis menjadi permasalahan kesehatan yang penting di negara
barat. Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insidensinya
meningkat dengan bertambahnya usia. Di negara barat, penderita
cholelitiasis banyak ditemukan pada usia 30 tahun, tetapi rata-rata tersering
ialah 40-50 tahun dan meningkat saat usia 60 tahun. Dari 20 juta orang di
negara barat 20% perempuan dan 8% laki-laki menderita cholelitiasis
dengan usia lebih dari 40 tahun (Cahyono, 2014). Sedangkan di negara Asia
3%-15% lebih rendah dibandingkan negara barat. Di Indonesia, cholelitiasis
kurang mendapat perhatian karena sering kali asimptomatis sehingga sulit
di deteksi atau sering terjadi kesalaham diagnosis. Penelitian di Indonesia
pada Rumah Sakit Columbia Asia Medan sepanjang tahun 2011 terdapat 82
kasus cholelitiasis (Ginting, 2012).
5. Etiologi
Menurut Cahyono (2014) penyebab cholelitiasis, yaitu:
a. Supersaturasi kolesterol
Secara umum komposisi cairan empedu yang berpengaruh terhadap
terbentuknya batu tergantung keseimbangan kadar garam empedu,
kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin
rendah kandungan garam empedu akan membuat keadaan didalam
empedu menjadi jenuh akan kolesterol (supersaturasi cholesterol).
b. Not enough Salts/Acids or Phospolipid
Phospolipid berfungsi untuk membatu menjaga kolesterol dalam
larutan. Semakin sedikit phospholipid maka semakin sedikit pula
kolesterol dalam larutan dan banyak terjadi endapan.
c. Penurunan fungsi kandung empedu (Gallblader stasis)
Menurunya kemampuan menyemprot dan kerusakan dinding kandung
empedu memudahkan seseorang menderita batu empedu. Kontraksi
yang lemah akan menyebabkan statis emedu dan membuat musin yang
diproduksi di kandung empedu akan terakumulasi. Musin tersebut akan
semakin mengenta dan membuat sulit sistem pengosongan kandung
empedu.
6. Klasifikasi
Komposisi batu empedu menurut Pham & Hunter (2014), antara lain:
a. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan mengandung lebih dari
70% kolesterol. Batu cholesterol yang murni jarang ditemukan (<10%
kasus). Berwarna kuning / putih / hijau. Faktor resiko 4F (Female, Forty,
Fertile, and Fat).
b. Batu pigmen
1) Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen cokelat), disebut juga batu
lumpur atau batu pigmen. Konsistensi utama berupa kalsium
bilirubinat. Berwarna cokelat atau cokelat tua, lunak, mudah
dihancurkan. Umumnya, batu terbentuk disaluran empedu dalam
empedu yang terinfeksi.
2) Batu pigmen hitam, berwarna hitam atau hitam kecokelatan, tidak
berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak
terekstraksi. Banyak ditemukan pada pasien dengan hemolysis
kronis atau sirosis hati. Batu ini terdiri dari derivate polymerized
bilirubin.
c. Batu campuran
Batu campuran yang terdiri dari kolesterol (20-50%) dan pigmen.
7. Kriteria Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
yang dibuktikan dengan temuan radiologis berupa batu empedu pada
kandung empedu. Pasien dapat bersifat asimptomatis. Gejala muncul saat
terjadi inflamasi dan obstruksi ketika bermigrasi ke duktus sistikus. Keluhan
khas berpua kolik bilier. Karakteristik kolik bilier antara lain (Gurusamy,
2014) :
a. Nyeri pada abdomen region hypocondriaca dextra atau region epigastric
b. Kadang menjalar ke area interskapularis , scapula dextra et sinistra atau
bahu
c. Bersifat episodic, remiten, mendadak
d. Nyeri berlangsung 15 menit-5 jam
e. Hilang perlahan-lahan dengan sendirinya
f. Disertai mual atau muntah

Kolik bilier dapat dicetuskan dengan makan makanan berlemak, makan


dengan porsi besar setelah berpuasa atau dengan makan makanan normal.
Seringkali pada malam hari. Nyeri menetap lebih dari 5 jam atau disertai
demam mengindikasikan kolesistitis akut (Gurusamy, 2014). Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis cholelitiasis antara
lain (Greenberger et al., 2012) :
a. USG Vesica biliaris
Akurat dalam mendiagnosa kolelitiasis (sensitivitas 90% dan
spesifisitas 88%). Pasien dianjurkan untuk puasa 8 jam sebelum
pemeriksan. Gambaran utama kolelitiasis antara lain : posterior acoustic
shadow dari opasitas pada lumen vesica biliaris yang berubah sesuai
posisi pasien (pengaruh gravitasi). USG juga dapat melihat fungsi
pengosongan kandung empedu.
b. Laboratorium
Leukositosis ringan, apabila tidak terdapat serangan, leukosit dapat
dalam kategori normal.
c. Foto polos
Tidak disarankan, karena sebagian besar batu empedu (lebih dari 75%)
bersifat radiolusen.
8. Tatalaksana
a. Pasien asimptomatis
Tatalaksana berupa intervensi gaya hidup, antara lain: olahraga,
menurunkan berat badan, dan diet rendah kolesterol. Risiko operasi jauh
lebih besar dibandingkan manfaatnya. (O’chonnell & Brasel, 2014).
b. Pasien simtomatis
Terapi farmakologis masih belum menunjukan efikasi yang bermakna
Pilihan utama berupa intervensi bedah antara lain (Greenberger et al.,
2012) :
1) Kolisistektomi laparoskopi, direkomendasikan pada pasien dengan
gejala berat atau frekuensi sering, ukuran batu sangat >3cm atau
disertai komplikasi/penyulit
2) Prosedur Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography
(ERCP) dengan sfingerterotomi endoskopik. Tindakan ini bertujuan
untuk mengeluarkan batu empedu dengan balon ekstraksi melalui
muara yang sudah dilebarkan menuju duodenum. Batu empedu akan
keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama
instrument ERCP
3) Kolesistostomi merupaka prosedur minimal yang melibatkan
penempatan tabung drainase di kandung empedu. Pada pasien yang
Sakit Kritis dengan empyema kandung empedu dan sepsis
cholesistektomi dapat berbahaya. Setelah pasien stabil maka
dianjurkan untuk cholesistektomi.
4) Terapi farmakologis dengan asam ursodeksi kolat dengan dosis 10-
15 mg/kgBB/hari.
9. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat adanya batu empedu antara lain (O’chonnell
& Brasel, 2014):
a. Cholesistitis akut dan kronik (radang kandung empedu)
b. Choledocolitasis (batu empedu pada dektus sistikus)
c. Kolangitis akut (radang saluran empedu)
d. Pankreatitis akut
e. Mukokel, empyema hingga gangrene pada kandung empedu
f. Keganasan kandung empedu
10. Prognosis
Kurang dari 50% pasien penderita batu empedu akan berubah menjadi
simptomatis. Angka mortalitas pasien setelah dilakukan cholesistektomi
adalah 0.5% dengan angka morbiditas kurang dari 10%. Sedangkan angka
mortalitas setelah dilakukan cholsesitektomi emergency atau cito adalah 3-
5% dengan angka morbiditas 30-50%. (Juliard et al., 2016).
DAFTAR PUSTAKA

ACS (American College of Surgeons Division of Education). 2017. Jaundice.


Blended Surgical Education and Training for Life. 1(1): 1-11.

Alizadeh, M.A.H. 2017. Cholangitis: Diagnosis, Treatment, and Prognosis. J Cin


Transl Hepatol. 5(4): 404-13.

Blechacz, B. 2017. Cholangioarcinoma: Current Knowledge and New


Developments. Gut Liver. 11(1): 13-26.

Cahyono, B.S. 2014. Tatalaksana Klinis di Bidang Gastro dan Hepatologi. Jakarta:
Sagung seto.

Ginting, S. 2012. A Description Characteristic Risk Factor of The Kolelitiasis


Disease in The Colombia Asia Medan Hospital. Jurnal Penelitian Darma
Agung. 1(1): 1-10.

Greenberger, N.J. et al. 2012. Principle of Internal Medicine. New York: Mc


Grawhill.

Gurusamy, K.S. Davidson, B.R. 2014. Gallstones. BM Journal. 348 : 2669.

Gut, L. 2012. Epidemiology of Gallbladder Disease: Cholelithiasis and Cancer.


National Library of Medicine National Institute of Health. 6(2): 172-187.

Haber, B.A. Erlichman, J. Loomers, K.M. 2008. Recent Advances in Biliary


Atresia: rospect for Novel Therapies. Expert Opin Investig Drug. 17(2):
1911-24.

Haryono, R. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan. Yogyakarta:


Gosyen Publishing.

Juliard, O. Hauters, P. Possoz, J. Malvaux, P. Landenne, J. Gherardi, D. 2016.


Inscisional Hernia After Single Incisions Laparoscopic Cholesystectomy:
Incidence and Predictive Factors. Surg Endosc. 30(10): 4539-43.

O’Connell, K. Brasel, K. 2014. Bile Metabolism and Lithogenesis. Surg Clin North
Arm. 94(2): 361-75.
Pascnan, P.A. Pikkarainen, P. Alhaver, E. et al. The Value of Clinical Assesment
in The Diagnosis of Icterus and Cholestasis. Journal of Gatroenterology.
24(6): 313-9.

Pham, T.H dan Hunter, J.G. 2014. Gallblader and The Extra Hepatic Billiary
System. In : Schwartz Principle of Surgery 10 th ed. New York: Mc
Grawhill.

Purwanti, A. 2016. Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Penyakit Cholelitiasis


di Ruang Rawat Inap RSI Surakarta. Skripsi. Universitas Muhamadyah
Surakarta.

Rendy, M. Clevo, T.H. Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Mitra Cendekia Pres.

Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C. and Bare, B.G. 2002. Brunner & Suddarth Textbook of Medical
Surgical Nursing Vol 2. Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher.

Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik ed 6. Jakarta: EGC.

Tahir, M.S. 2013. Obstructive Jaundice. Indep Rev. 15(10-12): 435-445.

Zakaria, M.H. 2009. Acute Billiary Pancreatitis: Diagnosis ad Treatment. Saudi


Journal Gastroenterology. 15(3): 147-155.

Anda mungkin juga menyukai