Anda di halaman 1dari 15

Topik: Cedera Kepala Sedang + SAH + ICH

Tanggal (kasus): 28 Juli 2019 Presenter: dr. Cut Dessia Zulda Muthia
Tanggal (Presentasi): 18 November 2019 Pendamping : 1. dr. Tajul Keumalahayati
2. dr. Leni Afriani
Tempat presentasi : Ruang Auditorium RSUD Kota Langsa
Obyektif Presentasi
 Keilmuan Keterampilan Penyelenggaraan Tujuan pustaka
 Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja  Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Pasien datang ke RSUD Langsa dengan keluhan penurunan kesadaran
setelah mengalami kecelakaan lalu lintas menggunakan sepeda motor.
Tujuan : Menegakkan diagnosis dan pengobatan awal yang tepat bagi pasien cedera kepala
sedang + SAH + ICH.
Bahan Bahasan Tinjauan pustaka Riset  Kasus Audit
Cara Diskusi  Presentasi dan Email Pos
Membahas diskusi
Data Pasien: Nama :Nn, S Perempuan, 19 No. RM : -
tahun
Nama Klinik: Telp : - Terdaftar sejak 28 Juli
RSUD Langsa 2019
Data utama untuk bahan diskusi
Diagnosis/ Gambaran Klinis ( Alloanamnesis) :
- Os datang ke IGD RSUD Langsa dengan keluhan penurunan kesadaran sejak ± 30
menit SMRS setelah kecelakaan lalu lintas yang dialaminya.
- Menurut keterangan warga yang melihat, os sudah dalam keadaan terjatuh
terlentang, tidak tahu kejadian seperti apa.
- Di IGD RSUD Langsa, os telah setengah sadar, dan berteriak kesakitan,
mengatakan kepalanya sakit, dan mual.
- Terdapat benjolan di kepala sebelah kanan.
- Keluar darah segar dari telinga kanan pasien.

Riwayat pengobatan : Pasien mengkonsumsi obat glucodex


Riwayat kesehatan/ penyakit : Pasien memiliki riwayat DM, hipertensi tidak ada,
riwayat cedera kepala sebelumnya tidak ada.

Riwayat pekerjaan/kebiasaan : Pasien adalah seorang mahasiswa.


Daftar Pustaka
1. Toyin, Segun. 2019. Traumatic Brain Injury (TBI)-Definition, Epydemiology,
Pathofisiology di https://emedicine.medscape.com/article/326510-overview ( di akses
10 November 2019).
2. NICE. 2019. Clinical Guidelines : Head Injury: Assassment and Early Management di
https://www.nice.org.uk/guidance/cg176/chapter/Introduction ( di akses 10 November
2019).
3. Centers for Disease Control and Prevention, 2013. Traumatic Brain Injury and
Concussion. Available at https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury. (di akses 10
November 2019)..

4. Soertidewi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Cermin


Dunia Kedokteran; Vol.39 No.05/193. Hal: 327-331.
5. PERDOSSI. 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. CV. Prikarsa Utama. Hal:3-18.
6. American College of Surgeons Committee on Trauma. 2008.. Advance Trauma Life
Support for doctor, student course manual, 8th ed. Available at https://www.atls.in.
[Accessed on 10th Nov 2019].
7. Turkstra, L., Ylvisaker, M., et al. 2005. Practice Guidelines for Standardized
Assessment for Persons with Traumatic Brain Injury. Journal of Medical Speech-
Language Pathology, 13(2), ix–xxviii.
8. Resuscitation Council (UK), 2016. The ABCDE Approach. Available at
https://www.resus.org.uk/resuscitation-guidelines/abcde-approach/. [Accessed on 28th
March 2017].
9. Cassidy, J.D., et al. 2004. Incidence, risk factors and prevention of mild traumatic brain
injury: Results of the WHO Collaborating Centre Task Force on Mild Traumatic Brain
Injury. J Rehabil Med.;(43 Suppl):28–60. [PubMed].

Hasil Pembelajaran
1. Definisi, Klasifikasi, Patofisiologi, Gejala Klinis dari Cedera Kepala.
2. Tindakan dan Penanganan Cedera Kepala di Unit Gawat Darurat.
3. Pemeriksaan Penunjang, Penatalaksanaan, dan Prognosis Cedera Kepala.

RANGKUMAN

A. Subjektif ( Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesis)


Pasien datang ke RSUD Langsa dengan keluhan penurunan kesadaran sejak ± 30
menit SMRS post KLL. Berdasarkan keterangan warga sekitar yang menemukannya,
melihat os sudah dalam keadaan terjatuh terlentang dari sepeda motornya, dan tidak
mengetahui bagaimana kejadian kecelakaannya. Tiba di IGD RSUD Langsa, os setengah
sadar, berteriak kesakitan, mengatakan kepalanya sakit, dan mual. Pasien tidak ingat
kejadian sebelum dan sesudah kecelakaan. Keluar darah segar dari telinga kanan pasien.
Keluhan lain terdapat benjolan di kepala sebelah kiri pasien. Riwayat muntah proyektil tidak
ada.

B. Objektif
a. Time Sequences

Tanggal 28 Juli 2019 Tanggal 28 Juli Tanggal 28 Juli


2019 2019
Pukul 12.35
Pukul 13.00 Pukul 13.20
Pasien masuk ke IGD,
red line (RR) Setelah stabil, Instruksi dari dokter
pasien didorong ke bedah umum untuk
Dilakukan Primary radiologi untuk CT- di rujuk ke RS yang
survey, Secondary Scan Kepala, ada spesialistik
b.survey.
Primary Survey setelah itu konsul ke bedah saraf.
bagian bedah umum
Tanda dan
Kesimpulan Penanganan Hasil
Gejala

A (airway) Clear -  Airway clear


 C-spine stabil
 Snoring (-)
 Gurgling (-)
 Crowing (-)
 C-spine stabil
B (breathing) Spontaneous,  O2 2-4 L/menit via SaO2: 99%
normal Nasal canul
• Inspeksi RR: 22 x/menit
- Napas spontan
- Toraks simetris,
tidak terlihat
ketinggalan
bernapas.
• Palpasi
SF ka=ki
Krepitasi (-)
• Perkusi
Sonor pada
kedua lapangan
paru
• Auskultasi
- SP/ST:
vesikular/
vesikular
- SaO2: 99%
- RR: 22x/menit

C (circulation) Adequate • Pasang IV line - CRT <2 detik


perfusion 18G, three way - Akral H/M/K
 CRT <2 detik
dan pemberian - T/V: cukup
 Akral Merah,
cairan Ringer - TD: 178/98mmHg
Hangat, Kering.
Laktat - HR = 104 x/menit,
 T/V cukup
regular
 TD:
- UOP = belum
178/98mmHg
dinilai
 HR: 104x/menit
 Perdarahan: +
pada telinga
kanan.
D (disability) GCS 10 Mempertahankan A- Kesadaran Apatis
B-C tetap lancar
 Kesadaran: GCS
10 (E3V3M4)
 AVPU: Alert
 Ø pupil: 3 mm/3
mm, isokor
 RC: +/+
E (exposure)  Jejas/  Membuka seluruh
hematom baju pasien dan
 Undressed,
pada kepala menggantinya
Lakukan logroll
kanan
 Luka lecet
dim anus
dextra

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

1. Pemeriksaan Laboratorium :
KGDS : 353 mg/dl
Pemeriksaan darah rutin : hasil belum ada

2. Pemeriksaan Radiologis :
CT Scan Kepala non kontras (28 Juli 2019) :
C. Assesment (Penalaran klinis)
Cedera Kepala
1. Definisi
Cedera kepala didefinisikan sebagai suatu penyakit nondegeneratif dan nonkongenital
yang disebabkan oleh kekuatan mekanik dari luar tubuh. Cedera kepala ini mengakibatkan
terjadinya gangguan fungsi fisik, kognitif, dan psikososial yang bersifat sementara atau
permanen, yang berkaitan dengan penurunan kesadaran.1 Sedangkan berdasarkan pedoman
dari National Institute for Health and Care Excellence (NICE) Inggris, trauma kepala
didefinisikan sebagai trauma apa pun yang mengenai kepala, yang bukan merupakan trauma
superfisial pada wajah.2

2. Epidemiologi
Cedera kepala di negara maju merupakan sebab utama kerusakan otak pada generasi
muda dan usia produktif. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus cedera
kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya di rawat inap. Cedera kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis cedera yang dikaitkan dengan
kematian. Mortalitas cedera kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan yaitu sebanyak 28,8 per 100.000 dan 41,3 per 100.000. Penyebab utama cedera
kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh. Sedangkan di Inggris, 1.4 juta
orang datang ke Unit Gawat Darurat dengan cedera kepala.1,3

3. Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan patologi dibagi dalam komosio serebri, kontusio
serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi pada otak, mungkin terdapat juga
fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang di basis kranium, dan ada yang di temporal,
frontal, parietal, ataupun oksipital. Fraktur bisa linear atau depressed, terbuka atau
tertutup.4,5,6

Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau difus, bisa kerusakan aksonal ataupun
hematoma. Letak hematoma bisa ekstradural atau dikenal juga sebagai hematoma epidural
(EDH), bisa hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun perdarahan
subaraknoid (SAH). Klasifikasi yang sering dipergunakan di klinik berdasarkan derajat
kesadaran yaitu Skala Koma Glasgow (Gambar 1). 4,5,6
Gambar 1. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG)

Catatan : Pada pasien cedera kepala dengan SKG 13-15, pingsan < 10 menit, tanpa
defisit neurologis, tetapi hasil skening menunjukkan adanya perdarahan, maka
diagnosisnya bukan cedera kepala ringan/ comotio, tetapi menjadi cedera kepala
sedang/contusion.

Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pasca cidera (APC) diperkenalkan oleh
Russel dalam Jennett & Teasdale (Gambar 2). Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan
klasifikasi berdasarkan klinis SKG. 4,5,6

Gambar 2. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan lama amnesia pasca cedera

Dari empat klasifikasi tersebut, klasifikasi berdasarkan derajat kesadaran yang banyak
dipakai di klinik karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu : 4,5,6

1. Penilaian SKG (Skala Koma Glasgow) dengan komponen E(ye) M(otor) dan V(erbal)
mempunyai nilai pasti dengan tampilan klinis yang mudah dinilai oleh kalangan medis
maupun paramedis (standar jelas) (Gambar 3).
2. Kategori dan prognosis pasien cedera kepala dapat diperkirakan dengan melihat nilai
SKG yang meskipun diulang beberapa kali akan menghasilkan nilai yang sama.
Gambar 3. Skala Koma Glasgow

4. Patofisiologi Cedera Kepala


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.1,7
Pada cedera kepala, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater,
dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio
“coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi.
Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak
selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat
trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat
akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate.
Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup
dan countercoup. 1,7
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan
otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup). 1,7
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. 1,7
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak
untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa
daerah tertentu dalam otak. 1,7

5. Patologi dan Gejala Klinis


Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media. Perdarahan
terletak di antara tulang tengkorak dan du-ramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval,
yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan
penurunan kesadaran yang terjadi kemu-dian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini
kurang dari 24 jam. Penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala
bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi un-
kal, hemiparesis, dan refl eks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi
terlambat. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah
intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung. 4,5,6

Hematoma Subdural (SDH)


Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara du-ramater dan araknoidea. SDH ada yang akut
dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika
SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila
darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural. 4,5,6

Edema Serebri Traumatik


Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak
dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah
menembus dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan
langsung pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya
akan terjadi edema. 4,5,6

Cedera Otak Difus


Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai
edema. Keadaan pasien umumnya buruk. 4,5,6

Hematoma Subaraknoid (SAH)


Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera kepala,
sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak
dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan
mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila
vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di
dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa
hari perawatan. Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat
berlangsung sampai 10 hari atau lebih. 4,5,6
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak
perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang umumnya
disebab-kan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma), perdarahan pada
SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat. 4,5,6

Fraktur Basis Kranii


Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak, bisa di
anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT
scan. Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berre-solusi tinggi dan potongan yang tipis.
Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal. 4,5,6
Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour yang keluar dari hidung
(rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma kaca-mata (raccoon eye, brill hematoma,
hematoma bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu hematoma retroaurikular. Kadang
disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan VIII. Risiko infeksi intrakranial
tinggi apabila duramater robek. 4,5,6

6. Tindakan/ penanganan di unit gawat darurat


Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama ( primary survey)
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder
merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan
penderita.5,6,8
Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi
berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Primary survey
harus dapat dilakukan selama 10 detik, hal ini karena pada saat tahap ini seorang dokter
harus dapat menemukan secara cepat cedera yang dapat mengancam jiwa. 5,6,8

Pemeriksaan dan penatalaksanaan yang meliputi ABCDE, yaitu: 5,6,8


a. Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk
membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal, dapat dimulai dengan
melakukan chin lift atau jaw trust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat
dianggap jalan nafas bersih. Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita
dengan gangguan kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada
penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
b. Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada penderita
harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk
memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya
udara atau darah dalam rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat
memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.
c. Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan
terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma
harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan
demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita
yang meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang selanjutnya
mengakibatkan penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau
arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama.
Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda
normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia,
sedangkan nadi yang tidak teratur merupakan tanda gangguan jantung. Apabila
tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar maka merupakan tanda perlu dilakukan
resusitasi segera.
2. Perdarahan
Secara cepat lihat dan tandai lokasi pendarahan, kemudian lihat akralnya
apakah panas atau dingin, berwarna merah atau pucat. Ukur juga CRT
(Capillary Refill Time) untuk menilai perfusi ke jaringan. Kemudian ukur
tekanan darah dan denyut nadi (nadi sentral maupun perifer). Denyut nadi yang
diukur berupa tekanan, regularitas, volume. Kemudian auskultasi jantung untuk
melihat apakah ada kelainan pada jantung. Jika terdapat kegawatan pada
sirkulasi, segera diresusitasi dengan menggunakan cairan kristaloid hangat
secara bolus (500 mL, habis dalam 15 menit). Nilai kembali tiap 5 menit untuk
melihat apakah ada perbaikan pada sirkulasi.
d. Disability
Nilai kesadaran pasien. Kesadaran pasien dapat dipengaruhi oleh kondisi ABC,
jadi jika pasien mengalami disabilitas, nilai kembali ABC apakah sudah ditangani
secara adekuat. Penilaian kesadaran pasien secara cepat dapat menggunakan metode
AVPU: Alert, Verbal (Pasien tidak sadar penuh namun dapat berespon terhadap
perintah verbal), Pain (Pasien hanya dapat berespon jika dirangsang dengan nyeri)
dan Unresponsive (pasien tidak dapat berespon dengan rangsang apapun).
Alternatifnya, GCS (Glasgow Coma Scale) dapat digunakan (dari Eye, Verbal, dan
Movement). Kemudian, nilai diameter pupil mata serta refleks cahaya direk maupun
indirek pada masing-masing mata. Setelah itu, dapat diukur kadar gula darah
sewaktu untuk menilai kondisi glikemik pasien. Jika pasien tidak sadar, pastikan
Airway stabil untuk mencegah aspirasi. NICE merekomendasikan imobilisasi
servikal pada pasien yang mengalami trauma kepala dan memiliki faktor risiko
berikut: GCS<15, nyeri/benjolan nyeri pada leher, defisit neurologis fokal, parestesia
di ekstremitas, kecurigaan adanya trauma servikal.

e. Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara
menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian
dibuka penderita harus diberi selimut hangat, berada di ruangan hangat dan diberi
cairan intra-vena yang sudah dihangatkan agar tidak kedinginan.
Nilai suhu pasien dan lepas pakaian pasien, kemudian periksa pasien secara
menyeluruh, depan maupun belakang (dengan cara log-roll).

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang direkomendasikan pada pasien trauma kepala adalah CT Scan.X-ray
kepala tidak direkomendasikan kecuali ada indikasi dari departemen bedah saraf/saraf. Hasil
CT Scan harus segera dilaporkan dalam 1 jam setelah pemeriksaan. Adapun kriteria
dilakukannya CT Scan pada pasien trauma kepala adalah sebagai berikut :9
- GCS <13 pada penilaian awal di IGD.
- GCS <15 pada 2 jam setelah penilaian awal di IGD.
- Kecurigaan fraktur tengkorak terbuka atau depresi.
- Terdapat tanda-tanda fraktur basis kranii (hemotimpanum, mata ‘panda’ atau ‘
rakun’, bocornya cairan serebrospinal dari telinga atau hidung, tanda Battle).
- Kejang post-trauma.
- Defisit neurologis fokal.
- Lebih dari satu episode muntah.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan cedera kepala :4
- Terapi non operatif ( medikamentosa)
Terapi non operatif pada pasien cedera kepala ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan
terjadinya tekanan tinggi intrakranial.
2. Mencegah dan mengobati edema otak (cairan hiperosmolar, diuretik).
3. Minimalisasir kerusakan sekunder.
4. Mengobati simptom akibat trauma otak.
5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik).

- Terapi operatif4
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:
1. Cedera kranioserebral tertutup :
a. Fraktur impresi (depressed fracture)
b. Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume
perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih
dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien.
c. Perdarahan subdural (hematoma sub-dural/SDH) dengan pendorongan
garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis.
d. Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan
neurologik atau herniasi.
2. Pada cedera kranioserebral terbuka
a. Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur
multipel, dura yang robek disertai laserasi otak.
b. Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari.
c. Pneumoencephali
d. Corpus alienum
e. Luka tembak

9. Prognosis
Prognosis pasien cedera kepala bergantung pada banyak faktor, antara lain umur,
beratnya cedera berdasarkan klasifi kasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi,
dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak adekuat dapat
memperburuk prognosis. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah adanya amnesia
pascacedera yang menetap lebih dari 1 jam, fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik (salah
satu caranya dengan pemeriksaan MMSE) atau gejala neurologik saat keluar dari rumah
sakit, yang akan memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan mereka yang
keluar tanpa adanya gejala tersebut di atas. 4

D. Plan
Diagnosis :
Cedera Kepala Sedang ( GCS = 10) + SAH + ICH

Pengobatan :
 Medikamentosa
- Bed Rest
- Posisi semifowler
- O2 via nasal kanul 2-4 L/i
- IVFD RL 20gtt/i
- Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
- Inj. Ketorolac amp/ 8 jam
- Inj. Citicolin 500 mg/ 12 jam
 Rujuk ke RS yang ada ahli spesialistik bedah saraf, setelah pasien stabil.

Konsultasi :
Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa pasien harus dirujuk
ke RS yang memiliki spesialis bedah saraf untuk penanganan lebih lanjut.

Edukasi :
Melakukan edukasi kepada pasien dan keluarganya tentang
penyakit yang dideritanya, prognosis penyakit pasien, pengaruhnya
terhadap kegiatan sehari- hari. Memberitahukan kepada pasien
kemungkinan munculnya sequele penyakitnya. Diperlukannya perawatan
di high care unit.

Mengetahui,
Pendamping Pendamping

dr. Tajul Keumalahayati dr. Leni Afriani

NIP. 19771109 200701 2 004 NIP. 19780829 200604 2 010

Anda mungkin juga menyukai