Disusun oleh :
Pendamping :
dr. Linda Iriani Raflus, M.kes
BAB I. PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................2
1.4 Manfaat........................................................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................4
2.1 Definisi.........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi................................................................................................4
2.3 Etiologi.........................................................................................................4
2.4 Klasifikasi Hiperusemia dan Artritis Gout...................................................6
2.5 Patogenesis...................................................................................................6
2.6 Faktor Resiko...............................................................................................7
2.7 Manifestasi Klinis........................................................................................8
2.8 Diagnosis......................................................................................................9
2.9 Penatalaksanaan Artritis Gout......................................................................10
2.10 Komplikasi...................................................................................................13
2.11 Makanan yang Mengandung Purin..............................................................13
2.12 Kerangka Teori............................................................................................15
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN......................................................................16
3.1 Penetapan Topik Masalah............................................................................16
3.2 Tempat dan Waktu.......................................................................................16
3.3 Jenis dan Sumber Data.................................................................................16
3.4 Populasi dan Sampel....................................................................................17
3.5 Pengolahan dan Analisis Data......................................................................17
3.6 Pelaksanaan Solusi.......................................................................................17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................18
BAB V. DISKUSI...........................................................................................................20
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................21
6.1 Kesimpulan..................................................................................................21
6.2 Saran.............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................22
LAMPIRAN .................................................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
diubah. Faktor resiko yang tak dapat diubah seperti ; riwayat penyakit keluarga,
genetik, usia dan jenis kelamin. Pada usia pertengahan yaitu sekitar usia 40 tahun
kejadian hiperurisemia biasanya ditemukan pada laki-laki, sedangkan wanita
biasanya terjadi setelah mengalami menopause. Faktor usi tersebut juga berpengaruh
pada penurunan fungsi ginjal terutama pada pria.1
Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah yang berpengaruh diantaranya
obesitas, asupan makanan dan alkohol, konsumsi obat, gangguan ginjal dan
hipertensi. Penyakit gout sendiri lebih sering menyerang penderita yang mengalami
kelebihan badan 30% dari berat badan ideal. Seseorang dengan berat badan lebih
berkaitan dengan kenaikan kadar asam urat dan menurunnya ekskresi asam urat
melalui ginjal. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya gangguan proses
reabsorbsi asam urat pada ginjal.
1.7 Tujuan
Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan penderita asam urat terkait
penyakit gout arthritis di Puskesmas Madising Na Mario Kota Pare-Pare periode
September – November 2020.
1.8 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
i. Sebagai pengalaman dan penambahan wawasan tentang insidensi
penyakit arthritis gout yang terjadi di Puskesmas Madising Na
Mario
ii. Mengaplikasikan ilmu kedokteran yang telah dipelajari ke dalam
sebuah penelitian yang berguna bagi masyarakat.
2
1.4.2 Manfaat Bagi Wahana
i. Sebagai bahan acuan dalam peningkatan penanganan penyakit
arthritis gout di Pukesmas Madising Na Mario.
ii. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan berupa pemberian
informasi dan motivasi kepada penderita penyakit arthritis gout di
Puskesmas Madising Na Mario.
iii. Sebagai bahan masukan dan evaluasi terhadap pelaksanaan upaya
kesehatan Puskesmas Madising Na Mario sesuai hasil penelitian.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.13 Definisi
Artritis gout merupakan salah satu penyakit metabolik (metabolic syndrom)
yang terkait dengan pola makan diet tinggi purin dan minuman beralkohol.
Penimbunan kristal monosodium urat (MSU) pada sendi dan jaringan lunak
merupakan pemicu utama terjadinya keradangan atau inflamasi pada gout artritis.
Artritis gout adalah jenis artritis terbanyak ketiga setelah osteoartritis dan kelompok
rematik luar sendi (gangguan pada komponen penunjang sendi, peradangan,
penggunaan berlebihan).6
Penyakit ini mengganggu kualitas hidup penderitanya. Peningkatan kadar
asam urat dalam darah (hiperurisemia) merupakan faktor utama terjadinya artritis
gout. Masalah akan timbul jika terbentuk kristal-kristal monosodium urat (MSU)
pada sendisendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk seperti jarum ini
mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan menimbulkan nyeri
hebat yang sering menyertai serangan artritis gout.6
2.14 Epidemiologi
Arthritis gout lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan,
puncaknya pada dekade ke-V. Di Indonesia, arthritis gout terjadi pada usia yang
lebih muda, sekitar 32% pada pria berusia kurang dari 34 tahun. Pada wanita, kadar
asam urat umumnya rendah dan meningkat setelah usia menopause. Prevalensi
arthritis gout di Bandungan, Jawa Tengah, prevalensi pada kelompok usia 15-45
tahun sebesar 0,8%; meliputi pria 1,7% dan wanita 0,05%. Proporsi kejadian
arthritis gout sebesar 29,2% dan pada etnik tertentu di Ujung Pandang sekitar 50%
penderita rata-rata telah menderita gout 6,5 tahun atau lebih setelah keadaan
menjadi lebih parah.5
2.15 Etiologi
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi,
obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih
4
tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout.
Perkembangan artritis gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita. Namun angka kejadian artritis gout menjadi sama antara
kedua jenis kelamin setelah usia 60 tahun. Prevalensi artritis gout pada pria
meningkat dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84
tahun. Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopause,
kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan level
estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan artritis
gout jarang pada wanita muda.7
Pertambahan usia merupakan faktor resiko penting pada pria dan wanita. Hal
ini kemungkinan disebabkan banyak faktor, seperti peningkatan kadar asam urat
serum (penyebab yang paling sering adalah karena adanya penurunan fungsi
ginjal), peningkatan pemakaian obat diuretik, dan obat lain yang dapat
meningkatkan kadar asam urat serum. Penggunaan obat diuretik merupakan faktor
resiko yang signifikan untuk perkembangan artritis gout. Obat diuretik dapat
menyebabkan peningkatan reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga
menyebabkan hiperurisemia. Dosis rendah aspirin, umumnya diresepkan untuk
kardioprotektif, juga meningkatkan kadar asam urat sedikit pada pasien usia lanjut.
Hiperurisemia juga terdeteksi pada pasien yang memakai pirazinamid, etambutol,
dan niasin. Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara signifikan dengan
resiko artritis gout. Resiko artritis gout sangat rendah untuk pria dengan indeks
massa tubuh antara 21 dan 22 tetapi meningkat tiga kali lipat untuk pria yang
indeks massa tubuh 35 atau lebih besar.7,8
Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin diduga
meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion exchanger
transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion cotransporter pada
brush border yang terletak pada membran ginjal bagian tubulus proksimal. Dengan
adanya resistensi insulin akan mengakibatkan gangguan pada proses fosforilasi
oksidatif sehingga kadar adenosin tubuh meningkat. Peningkatan konsentrasi
adenosin mengakibatkan terjadinya retensi sodium, asam urat dan air oleh ginjal.5
5
2.16 Klasifikasi Hiperusemia dan Artritis Gout
Klasifikasi hiperurisemia dan gout sebagai berikut:5
1. Primer
a. Metabolik (Kelebihan Produksi)
Idiopatik (10% dari gout primer)
Berhubungan dengan gangguan enzim (<1%)
Kelebihan produksi fosforibisil pirofosfat (PRPP) sintetase
Defisiensi hiposantin guanin fosforobosil transfase (HGPRT)
parsial
Defisiensi HGPRT komplit
b. Renal (undereskresi idiopatik 90% gout primer)
2. Sekunder
a. Metabolik
Peningkatan turnover asam nukleat contohnya hemolisis
kronik, gangguan limfoproliferatif atau mieloproliferatif.
Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidroginase (G6PD) contohnya
glycogen storage disease.
b. Renal
Gagal ginjal akut atau kronik
Deplesi volume
Gangguan pada tubulus oleh karena obat-obatan atau
produksi metabolik.9
2.17 Patogenesis
Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antara produksi
dan sekresi. Ketika terjadi ketidakseimbangan dua proses tersebut maka terjadi
keadaan hiperurisemia yang menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan
asam urat di serum yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang
timbunan asam urat dalam bentuk garam yaitu monosodium urat (MSU) di berbagai
jaringan.4
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur yang lebih rendah
seperti pada sendi perifer tangan dan kaki dapat menjelaskan kenapa kristal MSU
6
mudah diendapkan di kedua tempat tersebut. Predileksi pengendapan kristal MSU
pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang
berulang-ulang pada daerah tersebut. Perubahan matrik ekstraseluler seperti
proteoglikan, kondroitin sulfat, serat kolagen dan sebagainya atau debris dalam
cairan sinovial dapat menjadi nidus (inti atau nucleating agent) pembentukan
kristal. Kristal MSU yang terbentuk bisa mengalami disolusi spontan atau
mengalami akumulasi kronik di jaringan membentuk topus terutama di sinovium
dan permukaan kartilago. Tofus di jaringan sinovial tetap stabil karena biasanya
diselimuti albumin dan immunoglobulin.7,8
Awal artritis gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat
serum karena kadar asam urat yang stabil jarang menimbulkan serangan.
Pengobatan dengan allopurinol, trauma, pembedahan dan asupan alkohol yang
berlebihan dapat menjadi faktor pencetus artritis gout akut. Keadaan ini
menyebabkan terlepasnya kristal monosodium urat dari depositnya di sinovium
atau tophi (crystals shedding).7
Kristal MSU ditangkap oleh reseptor TLR2 dan TLR4, suatu reseptor
transmembran yang terdapat pada permukaan sel imun inate seperti monosit atau
makrofag. Proses fagositosis ini dibantu oleh protein adaptor Myd88 dan CD14.
CD14 terdapat pada permukaan sel fagosit yang dapat melipatgandakan respon
seluler yang dirangsang oleh ligand TLR2 dan TLR4. Sedangkan protein adaptor
Myd88 bersama phosphatidylinositol 3 kinase, Rac1 dan Akt meneruskan sinyal
untuk aktivasi faktor traskripsi nuclear factor kappa B (NFκβ) di inti sel untuk
membentuk berbagai molekul proinflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF-
α), interleukin-1β (IL-1β), IL-6, CXCL8 (IL-8), dan CXCL1 (growth-related
oncogene α).7
7
c. Jenis kelamin dan usia
Hiperurisemia biasanya dimulai pada masa pubertas pada pria tetapi pada wanita
fase ini biasanya mulai setelah menopause Usia
d. Genetik
e. Kurang konsumsi air putih
f. Gangguan ginjal dan hipertensi10
8
Merupakan fase antara satu serangan akut gout dengan serangan berikutnya pada
stadium awal periode ini biasanya tanpa gejala dan tanpa kelainan pemeriksaan
meskipun pada periode ini bersifat asimtomatik, tetapi kristal MSU dapat
ditemukan pada cairan sendi yang terlibat.
4. Stadium kronis tofeseus gout
Stadium ini dimulai dengan ditemukan adanya topus di sendi atau sekitar sendi.
Timbulnya topus bervariasi antara 3 sampai 42 tahun, kebanyakan setelah 10
tahun dan terjadinya topus berkorelasi dengan derajat dan lamanya
hiperurisemia, terutama pada kadar asam urat > 11mg/dl.
Topus juga dihubungkan dengan makin muda umur dan makin lama menderita
artritis gout. Topus dapat ditemukan di daerah kartilago, membran sinovial
tendon, jaringan lunak, dan berbagai tempat seperti telinga, jari-hari tangan,
tangan, siku, lutut. Topus dapat single dan multiple, berukuran kecil sampai
besar sangat menganggu pergerakan sendi, sering disertai dengan adanya luka
yang mengeluarkan cairan berwarna keputih-putihan berisi kristal berbentuk
jarum. Pada topus kecil yang sukar dibedakan dengan nodul rematik yang lain.
Maka aspirasi sendi atau biopsi topus dapat digunakan untuk memastikan
diagnosis.
Apabila tidak ditatalaksana dengan baik serangan artritis gout akan berlangsung
lebih sering, mengenai banyak sendi (poliartikuler), semakin berat dan semakin
lama serta gejala sistemik yang lebih berat pula.10
2.20 Diagnosis
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan kriteria dari The American
College of Rheumatology (ACR) yaitu terdapat kristal urat dalam cairan sendi atau
tofus dan/atau bila ditemukan 6 dari 12 kriteria yaitu, Inflamasi maksimum pada
hari pertama, serangan akut lebih dari satu kali, artritis monoartikuler, sendi yang
terkena berwarna kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada sendi
metatarsofalangeal, serangan pada sendi metatarsofalangeal unilateral, adanya
tofus, hiperurisemia, pada foto sinar-X tampak pembengkakan sendi asimetris dan
kista subkortikal tanpa erosi, dan kultur bakteri cairan sendi negatif. Diagnosis
artritis gout meliputi kriteria analisis cairan sinovial, terdapat kristal-kristal asam
9
urat berbentuk jarum baik di cairan eksraseluler maupun intraseluler, asam urat
serum, asam urat urin, ekskresi >800 mg/dl dalam diet normal tanpa pengaruh obat,
yang menunjukkan overproduksi, skrining untuk menemukan faktor resiko, seperti
urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hati, kadar glukosa dan lemak, dan hitung
darah lengkap, jika terbukti karena overproduksi, konsentrasi eritrosit hypoxantine
guanine phosporibosyl transferase (HGPRT) dan 5- phosphoribosyl-1-
pyrophosphate (PRPP) terbukti meningkat, foto sinar-X, menunjukkan perubahan
kistik, erosi dengan garis tepi bersklerosi pada artritis gout kronis.5,11
Artritis gout memiliki diagnosis banding seperti artritis septik, psoriasis,
calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD), dan artritis rematik. Untuk
diagnosis definitif artritis gout dikonfirmasikan dengan analisis cairan sendi dimana
pada penderita artritis gout mengandung monosodium urat yang negatif birefringent
(refraktif ganda) yang juga ditelan oleh neutrofil (dilihat dengan mikroskop sinar
terpolarisasi). Analisis cairan sinovial dan kultur sangat penting untuk membedakan
artritis septik dengan artritis gout. Artritis gout cenderung tidak simetris dan faktor
reumatoid negatif, sedangkan pada artritis rematik cenderung terjadi simetris dan
lebih dari 60% kasus memiliki faktor reumatoid positif. Hiperurisemia juga sering
terjadi pada penderita psoriasis dan adanya lesi kulit membedakan kasus ini dengan
artritis gout.10
Tujuan pengobatan pada penderita artritis gout adalah untuk mengurangi rasa
nyeri, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah terjadinya kelumpuhan. Terapi
yang diberikan harus dipertimbangkan sesuai dengan berat ringannya artrtitis gout.
Penatalaksanaan utama pada penderita artritis gout meliputi edukasi pasien tentang
diet, lifestyle, medikamentosa berdasarkan kondisi obyektif penderita, dan
perawatan komorbiditas.11
Pengobatan artritis gout bergantung pada tahap penyakitnya. Hiperurisemia
asiptomatik biasanya tidak membutuhkan pengobatan. Serangan akut artritis gout
diobati dengan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid atau kolkisin. Obat-obat ini
diberikan dalam dosis tinggi atau dosis penuh untuk mengurangi peradangan akut
sendi.11
10
Beberapa lifestyle yang dianjurkan antara lain menurunkan berat badan,
mengkonsumsi makanan sehat, olahraga, menghindari merokok, dan konsumsi air
yang cukup. Modifikasi diet pada penderita obesitas diusahakan untuk mencapai
indeks masa tubuh yang ideal, namun diet yang terlalu ketat dan diet tinggi protein
atau rendah karbohidrat (diet atkins) sebaiknya dihindari. Pada penderita artritis
gout dengan riwayat batu saluran kemih disarankan untuk mengkonsumsi 2 liter air
tiap harinya dan menghindari kondisi kekurangan cairan. Untuk latihan fisik
penderita artritis gout sebaiknya berupa latihan fisik yang ringan, karena
dikhawatirkan akan menimbulkan trauma pada sendi.12,13
Penanganan diet pada penderita artritis gout dikelompokkan menjadi 3
kelompok, yaitu avoid, limit, dan encourage. Pada penderita yang dietnya diatur
dengan baik mengalami penurunan kadar urat serum yang bermakna. Tujuan terapi
serangan artritis gout akut adalah menghilangkan gejala, sendi yang sakit harus
diistirahatkan dan terapi obat dilaksanakan secepat mungkin untuk menjamin
respon yang cepat dan sempurna. Ada tiga pilihan obat untuk artritis gout akut,
yaitu NSAID, kolkisin, kortikosteroid, dan memiliki keuntungan dan kerugian.
Pemilihan untuk penderita tetentu tergantung pada beberapa faktor, termasuk waktu
onset dari serangan yang berhubungan dengan terapi awal, kontraindikasi terhadap
obat karena adanya penyakit lain, efikasi serta resiko potensial.NSAID biasanya
lebih dapat ditolerir dibanding kolkhisin dan lebih mempunyai efek yang dapat
diprediksi.14
Untuk penderita artritis gout yang mengalami peptic ulcers , perdarahan atau
perforasi sebaiknya mengikuti standar atau guideline penggunaan NSAID. Kolkisin
dapat menjadi alternatif namun memiliki efek kerja yang lebih lambat dibandingkan
dengan NSAID. Kortikosteroid baik secara oral, intraartikular, intramuskular,
ataupun intravena lebih efektif diberikan pada gout monoartritis, penderita yang
tidak toleran terhadap NSAID dan penderita yang mengalami refrakter terhadap
pengobatan lainnya.7,14
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, sebaiknya pengobatan serangan
artritis gout diobati dalam 24 jam pertama serangan, salah satu pertimbangan
pemilihan obat adalah berdasarkan tingkatan nyeri dan sendi yang terkena. Terapi
kombinasi dapat dilakukan pada kondisi akut yang berat dan serangan artritis gout
11
terjadi pada banyak sendi besar. Terapi kombinasi yang dilakukan adalah kolkisin
dengan NSAID, kolkisin dan kortikosteroid oral, steroid intraartikular dan obat
lainnya. Untuk kombinasi NSAID dengan kortikosteroid sistemik tidak disarankan
karena dikawatirkan menimbulkan toksik pada saluran cerna. Obat golongan
NSAID yang di-rekomendasikan sebagai lini pertama pada kondisi artritis gout akut
adalah indometasin, naproxen, dan sulindak. Ketiga obat tersebut dapat
menimbulkan efek samping serius pada saluran cerna, ginjal, dan perdarahan
saluran cerna. Obat golongan cyclooxigenase 2 inhibitor (COX 2 inhibitor) seperti
celecoxib merupakan pilihan pada penderita artritis gout dengan masalah pada
saluran cerna.13
Kolkisin oral merupakan salah satu obat pilihan utama ketika terjadi serangan
gout artritis akut, akan tetapi pemberian obat ini tidak dianjurkan pada penderita
yang onset serangannya telah lebih dari 36 jam. Pemberian kolkisin dimulai dengan
loading dosis sebesar 1,2 mg dan diikuti dengan 0,6 mg satu jam kemudian sebagai
profilaksis diberikan 12 jam kemudian dan dilanjutkan sampai serangan artritis gout
akut berhenti dan dosis maksimal kolkisin 2 mg per hari.13
Pemilihan kortikosteroid sebagai terapi inisial serangan gout artritis akut
direkomendasikan untuk mempertimbangkan jumlah sendi yang terserang. Satu
atau dua sendi kecil yang terserang sebaiknya menggunakan kortikosteroid oral,
namun jika sendi yang terserang adalah sendi besar, disarankan pemberian
kortikosteroid intraartikular. Kortikosteroid oral dapat diberikan seperti prednison
0,5 mg/kg/hari dengan lama pemberian 5 sampai 10 hari atau2 sampai 5 hari
dengan dosis penuh kemudian ditappering off selama 7 sampai 10 hari.
Didapatkannya peran NLRP3 inflamasom yang mana menghasilkan IL-1â
diasumsikan sitokin ini dapat menjadi target terapi untuk keadaan inflamasi artritis
gout. IL-1 inhibitor, rilonacept juga menunjukkan keefektifan dalam menekan
artritis gout akut dan kadar C reactive protein.13
Dosis awal alopurinol yang diberikan sebaiknya tidak lebih dari 100 mg
perhari dan dosis ini dikurangi apabila didapatkan CKD, namun dosis pemeliharaan
dapat mencapai 300 mg perhari walaupun menderita CKD. Direkomendasikan
untuk meningkatkan dosis pemeliharaan alopurinol tiap 2 sampai 5 minggu untuk
mendapatkan dosis yang efektif bagi penderita artritis gout, untuk itu perlu
12
dilakukan monitor kadar asam urat tiap 2 sampai 5 minggu selama titrasi
alopurinol. Febuxostat merupakan obat golongan xantin oksidase inhibitor yang
direkomendasikan sebagai terapi hiperurisemia pada penderita artritis gout yang
memiliki kontraindikasi ataupun intoleransi terhadap alopurinol.15
Febuxostat memiliki struktur yang berbeda dengan alopurinol, bersifat lebih
poten terhadap xantin oksidase dan tidak memiliki efek terhadap enzim lain pada
metabolisme purin dan pirimidin. Dosis yang disarankan adalah 80 mg perhari, dan
dapat ditingkatkan 120 mg perhari bila target kadar asam urat tidak tercapai setelah
2 sampai 4 minggu.15
Obat lain yang diberikan pada artritis gout adalah probenesid, obat golongan
urikosurik ini diberikan sebagai alternatif lini pertama pengobatan apabila
didapatkan kontraindikasi terhadap obat golongan xantin oksidase inhibitor. Dosis
yang diberikan pada orang dewasa yakni 500 mg, diberikan 2 kali perhari dan dosis
maksimal 2 gram perhari. Namun obat ini tidak dapat diberikan pada penderita
yang mengalami penurunan fungsi ginjal dan riwayat batu saluran kemih.15
2.10. Komplikasi
Deposit asam urat dapat menjadi batu dan menyebabkan nefrolitiasis urat.
Insiden meningkat dengan peningkatan eksresi asam urat. PH urine menurun,
riwayat keluarga atau diri sendiri pernah memiliki batu asam urat. Dapat pula
terjadi gagal ginjal akut setelah terjadinya pelepasan massif asam urat yang
berlangsung pada pasien yang telah mengalami pengobatan karena kelainan mielo-
atau limfoproliferatif.5,8
13
jerohan, roti manis, unggas, daging rusa, seafood seperti remis, kepah,
kepiting, udang, lobster, scallop, ikan-ikan kecil termasuk ikan teri, hering,
makarel, sarden, caviar.
2. Batasi konsumsi (masih boleh dikonsumsi, namun dalam jumlah terbatas (1 ½
ptg/hari) bahan makanan yang mengandung purin dalam jumlah sedang
(sekitar 9-100 mg purin/100 g bahan makanan), seperti: Daging sapi dan ikan
(kecuali yang terdapat dalam kelompok 1), ayam, udang, jamur, asparagus,
kembang kol, lentils, kacang kedelai, pisang, nangka, bayam, jagung manis,
tauge, buah yang dikeringkan, kacang kering dan hasil olah, seperti tahu dan
tempe, daun singkong, kangkung, daun dan biji melinjo.
3. Bahan makanan yang mengandung rendah purin, diperbolehkan untuk
dikonsumsi antara lain: Nasi, ubi, singkong, jagung, roti, mi, bihun, tepung
beras, cake, keju kering, puding, susu, keju, telur; minyak; gula; sayuran dan
buah-buahan (kecuali sayuran dalam kelompok 2).
4. Kurangi konsumsi lemak jenuh karena lemak jenuh akan menurunkan
kemampuan tubuh mengeluarkan asam urat.
5. Batasi alkohol, bir, ragi.
6. Minum air putih dalam jumlah cukup karena akan membantu mengeluarkan
asam urat dari tubuh.16
14
2.12 KERANGKA TEORI
Faktor resiko :
Pengetahuan diet rendah purin
GOUT Usia
(AU > 6mg/dL) Jenis kelamin
Pola Makan
Kuesioner
Pengetahuan :
Kurang Perilaku konsumsi diet purin:
Sedang Rendah
Baik Sedang
tinggi
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
16
primer yang ada dalam penelitian ini merupakan data hasil wawancara atau
anamnesa dan pengamatan pada saat Poli Umum di wilayah kerja
Puskesmas Madising Na Mario selama periode bulan September 2020 -
November 2020.
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.2 Risiko terjadinya penyakit artritis gout karena makanan yang responden
konsumsi
Resiko Jumlah Persentase (%)
18
Rendah 3 14
Sedang 13 62
Tinggi 5 24
Total 21 100
BAB V
DISKUSI
Artritis gout adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh episode artritis akut
dan berulang yang sering menyerang sendi kecil akibat adanya endapan kristal
19
monosodium urat dalam jaringan. Penimbunan kristal monosodium urat monohidrat
terjadi di jaringan akibat adanya supersaturasi asam urat. Faktor yang behubungan
dengan timbulnya arthritis gout antara lain, pola makan yang tidak terkontrol, obesitas,
jenis kelamin dan usia, genetic, kurang konsumsi air putih, gangguan ginjal dan
hipertensi. Asupan makan yang masuk ke dalam tubuh dapat mempengaruhi kadar asam
urat dalam darah. Makanan yang mengandung zat purin yang tinggi akan diubah
menjadi asam urat.
Berdasarkan data diatas,didapatkan adanya hubungan pengetahuan diet purin
terhadap insidensi penyakit arthritis gout. Makanan merupakan salah satu faktor resiko
meningkatnya kadar purin dalam darah. Kenyataan yang kami temukan masih banyak
masayarakat yang mengkonsumsi makanan tinggi purin, hal ini disebabkan pengetahuan
yang kurang tentang jenis makanan tinggi purin. Adanya fakta tersebut merupakan
masalah dikarenakan akan menyebabkan tingginya insidensi penyakit arthritis gout.
Dari faktor pelayanan kesehatan kami menemukan bahwa belum adanya
penyuluhan terhadap penyakit arthritis gout dimana pengetahuan masyarakat tentang
arthritis gout sangat penting dalam menurunkan faktor resiko terjadinya arthritis gout.
Oleh karena itu kami mengadakan penyuluhan mengenai arthritis gout dan makanan
yang mengandung purin. Namun dalam penelitian ini kami tidak meninjau kembali hasil
dari penyuluhan dimana diharapkan adanya peningkatan pengetahuan diet purin
sehingga menurunkan insidensi arthritis gout.
20
BAB VI
6.1. Kesimpulan
6.2. Saran
a. Puskesmas
Perlu diadakan penyuluhan mengenai arthritis gout bagi masyarakat
yang masih minim pengetahuan.
b. Masyarakat
Saling mengupayakan diet rendah purin dengan diadakannya
sosialisasi makanan sehat di posyandu
c. Peneliti
Memperbaiki penelitian dengan cara menindak lanjuti hasil dari
penyuluhan sebelumnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi IV. Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam Fakultas Kedokteran indonesia, jakarta. Hal : 1208-1210.
2. Terkeltaub, Gout : Epidemiology, Pathology and Pathogenesis in Klippel (ed.),
Primer on the Rheumatic Diseases, Edisi 12, Athritis Foundation, Atlanta, 2010.
3. Andreoli TE. Bennett JC, carpenter CCJ. Plum F. Hyperuricemia anda Gout. In
Cecil Essentials of Medicine. 4th Ef. W.B Saunders Company, Philadelphia,
London, Toronto, 2008
4. Nuki, Gout in Rheumatology, Medicine Int., 2009, 42(12): 54-59
5. Hidayat R. Hiperurisemia dan gout. Medicinus 2009; 22:47-50
6. Choi HK, Mount DB, Reginato AM. Pathogenesis of gout.Annals of Internal
Medicine 2011;143: 499-515.
7. Pope RM, Tschopp J. The Role of Interleukin-1 and the inflammasome in gout:
implications for therapy. Arthritis and Rheumatism 2007;56:3183–8.
8. So A. Developments in the scientific and clinical understanding of gout. Arthritis
Research & Therapy 2008;10:221- 6.
9. Sumariyono. Diagnosis dan tatalaksana artritis gout akut. In : Gustaviani R,
Mansjoer A, Rinaldi I eds. Naskah Lengkap Penyakit Dalam PIT 2007. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2007.172-8.
10. Putra TR. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis pirai. In: Setyohadi B, Kasjmir YI
eds. Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2008. Jakarta: 2008; 113-8.
11. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the prevalence of
arthritis and other rheumatic conditions in the United States. PartII. Arthritis
Rheum. 58(1):26–35.
12. Rothschild BM. Gout and Pseudogout Treatment & Management. Emedicine
online. 2015. Accessed from: http://emedicine.medscape.com/article/329958-
treatment#aw2aab6b6b2
13. De Miguel E, Puig JG, Castillo C, Peiteado D, Torres RJ, Martín-Mola E. Diagnosis
of gout in patients with asymptomatic hyperuricaemia : a pilot ultrasound study.
Ann Rheum Dis. Jan 2012;71(1):157-8.
22
14. Soeroso, Joewono. Isbagio, Harry. dkk. Osteoartritis. Dalam: Sudoyo, Aru W. dkk.
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta. Penerbit Interna
Publishing. 2009. Hal: 2538-2548.
15. Burns, Dennis K. Penyakit Sendi. Dalam: Hartanto, Huriawati. Robbins: Buku Ajar
Patologi Volume 2. Edisi 7. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.2007. Hal:
862-864.
16. Carter, Michael A. Osteoartritis. Dalam : Hartanto, Huriawati. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses- proses Penyakit Volume 2. Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. Hal:1380-1383.
23
LAMPIRAN
Identitas Responden
Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Pendidikan :
24
a.Dikompres air hangat
b. Istirahat dan minum obat penghilang nyeri
c. Menghindari alkohol
d. Tidak tahu
9. Apakah komplikasi tersering dari penyakit asam urat?
a. Hepatitis
b. Kerusakan ginjal
c. Kanker
d. Tidak tahu
10. Umur berapa yang sering terkena asam urat?
a. Lebih dari 40 tahun
b. 20 sampai 40 tahun
c. Di bawah 20 tahun
d. Tidak tahu
Keterangan :
Hasil Penilaian :
1. Benar 7-10 : pengetahuan baik
2. Benar 4-6 : pengetahuan sedang
3. Benar ≤ 3 : pengetahuan kurang
25