OLEH :
dr. Carmelita
dr. Ekki
dr. Febrina
dr. Paulina
dr. Serepina
Laporan mini project ini telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan dihadapan
pendamping internship Puskesmas Air Saga, Tanjung Pandan, Belitung.
Pendamping Internship
________________________
dr. Wiryati Husin
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya
peneliti dapat menyelesaikan tugas laporan mini project yang diberikan oleh
Puskesmas Air Saga, Belitung. Laporan ini dibuat berdasarkan data penelitian yang
telah dilaksanakan peneliti selama kurang lebih empat bulan.
Tidak lupa peneliti mengucapkan terima kasih kepada pihak yang turut
membantu dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, antara lain kepada:
1. Dr. Wiryati Husin, selaku pendamping internship yang telah membimbing dan
mendukung penuh pelaksanaan penelitian dan pembuatan mini project ini.
2. Kedua orang tua yang telah mendukung baik secara moril maupun materil.
3. Serta seluruh pihak yang telah membantu peneliti baik secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu.
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian
dan pembuatan laporan ini. Oleh karena itu, peneliti terbuka atas kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan mini project ini.
Akhir kata, peneliti sangat berharap mini project ini dapat bermanfaat dan
memperkaya lingkup pengetahuan bagi pembaca maupun penulis sendiri.
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................1
KATA PENGANTAR.........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................5
1.1 Latar Belakang................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................6
1.3.1 Tujuan Umum ...............................................................................6
1.3.2 Tujuan Khusus ..............................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................6
1.4.1 Bagi Instalasi Kesehatan ...............................................................6
1.4.2 Bagi Peneliti ..................................................................................7
1.4.3 Bagi Masyarakat ............................................................................7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................8
2.1 Definisi...................................................................................................8
2.2 Epidemiologi..........................................................................................
2.3 Etiologi...................................................................................................8
2.4 Faktor Resiko.........................................................................................9
2.5 Patofisiologi...........................................................................................9
2.6 Manifestasi Klinis..................................................................................10
2.7 Klasifikasi .............................................................................................
2.8 Diagnosa ................................................................................................
2.9 Diagnosa Banding .................................................................................
2.10 Tatalaksana ..........................................................................................11
2.11 Pencegahan ..........................................................................................
2.11 Komplikasi ..........................................................................................
2.12 Prognosis .............................................................................................
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN..........................................................13
3.1 Rancangan Mini Project.........................................................................13
3.2 Waktu dan Tempat Mini Project............................................................13
3.3 Populasi Mini Project.............................................................................13
3.4 Subjek Mini Project................................................................................13
3.5 Definisi Operasional ..............................................................................13
BAB 4 HASIL PENELITIAN..........................................................................15
4.1 Keadaan Geografi...................................................................................15
4.2 Hasil Pelaksanaan Mini Project..............................................................16
4.3 Karateristik Responden..........................................................................16
BAB 5 DISKUSI................................................................................................18
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................24
6.1 Kesimpulan ............................................................................................24
6.2 Saran ......................................................................................................24
6.2.1 Bagi Instalasi Kesehatan ...............................................................24
6.2.2 Bagi Peneliti ..................................................................................25
6.2.3 Bagi Masyarakat ............................................................................25
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Osteoartritis (OA) adalah gangguan yang ditandai dengan degenerasi
struktural dan fungsional kronis dari seluruh sendi. Patofisiologi OA merupakan
degenerasi, destruksi, dan hingga hilangnya kartilago artikular, yang bersamaan
dengan perubahan pada jaringan lunak lainnya. OA dapat didefinisikan secara
radiologis, klinis, atau patologis.2
2.2 Epidemiologi
Menurut WHO pada tahun 2025 populasi usia lanjut di Indonesia akan
meningkat 414% dibanding tahun 1990. Di Indonesia prevalensi OA lutut yang
tampak secara radiologis mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang
berumur antara 40-60 tahun.3
Penelitian di Bandung pada pasien yang berobat ke klinik reumatologi RSHS
pada tahun 2007 dan 2010, berturutturut didapatkan: OA merupakan 74,48% dari
keseluruhan kasus (1297) reumatik pada tahun 2007. Enam puluh sembilan persen
diantaranya adalah wanita dan kebanyakan merupakan OA lutut (87%). Dan dari 2760
kasus reumatik pada tahun 2010, 73% diantaranya adalah penderita OA, dengan
demikian OA akan semakin banyak ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari. 3
2.3 Etiologi
Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor
biomekanik dan biokimia sepertinya merupakan faktor terpenting dalam proses
terjadinya osteoarthritis. Faktor biomekanik yaitu kegagalan mekanisme
protektif, antara lain kapsul sendi, ligamen, otot-otot persendian, serabut aferen,
dan tulang-tulang. Kerusakan sendi terjadi multifaktorial, yaitu akibat
terganggunya faktor-faktor protektif tersebut. Osteoarthritis juga bisa terjadi
akibat komplikasi dari penyakit lain seperti gout, rheumatoid arthritis, dan
sebagainya.4
2.4 Faktor Resiko
Secara garis besar, terdapat dua pembagian faktor risiko OA yaitu faktor
predisposisi dan faktor biomekanis. Faktor predisposisi merupakan faktor yang
memudahkan seseorang untuk terserang OA. Sedangkan faktor biomekanik lebih
cenderung kepada faktor mekanis / gerak tubuh yang memberikan beban atau tekanan
pada sendi lutut sebagai alat gerak tubuh, sehingga meningkatkan risiko terhadinya
OA.5
b. Jenis Kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan
perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi
menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang
setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50
– 80 tahun wanita mengalami pengurangan hormon estrogen yang signifikan.
c. Ras/ Etnis
Prevalensi OA pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak berbeda,
sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika – Amerika memiliki risiko
menderita OA 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga
memiliki risiko menderita OA lebih tinggi dibandingkan Kaukasia. Suatu studi lain
menyimpulkan bahwa populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA
dibandingkan kulit putih.
2. Faktor Genetik
Faktor genetik diduga juga berperan pada kejadian OA, hal tersebut
berhubungan dengan abnormalitas kode genetic untuk sintesis kolagen yang bersifat
diturunkan.
a. Kebiasaan Merokok
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan positif antara
merokok dengan OA. Merokok meningkatkan kandungan racun dalam darah dan
mematikan jaringan akibat kekurangan oksigen, yang memungkinkan terjadinya
kerusakan tulang rawan. Rokok juga dapat merusakkan sel tulang rawan sendi.
Hubungan antara merokok dengan hilangnya tulang rawan pada OA dapat dijelaskan
sebagai berikut :
i. Merokok dapat merusak sel dan menghambat proliferasi sel tulang rawan
sendi.
ii. Merokok dapat meningkatkan tekanan oksidan yang mempengaruhi hilangnya
tulang rawan.
iii. Merokok dapat meningkatkan kandungan karbon monoksida dalam darah,
menyebabkan jaringan kekurangan oksigen dan dapat menghambat
pembentukan tulang rawan.
b. Konsumsi Vitamin D
Orang yang tidak biasa mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin D
memiliki peningkatan risiko 3 kali lipat menderita OA.
4. Faktor Metabolik
a. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat dimodifikasi. Selama
berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut. Peningkatan berat badan
akan melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan. Studi di Chingford
menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2
unit (kira-kira 5 kg berat badan), rasio odds untuk menderita OA secara radiografik
meningkat sebesar 1,36 poin. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin berat
tubuh akan meningkatkan risiko menderita OA. Kehilangan 5 kg berat badan akan
mengurangi risiko OA secara simtomatik pada wanita sebesar 50%. Demikian juga
peningkatan risiko mengalami OA yang progresif tampak pada orang-orang yang
kelebihan berat badan dengan penyakit pada bagian tubuh tertentu.
b. Osteoporosis
Hubungan antara OA dan osteoporosis mendukung teori bahwa gerakan
mekanis yang abnormal tulang akan mempercepat kerusakan tulang rawan sendi.
Suatu studi menunjukkan bahwa terdapat kasus OA lutut tinggi pada penderita
osteoporosis.
c. Penyakit lain
OA terbukti berhubungan dengan diabetes mellitus, hipertensi dan
hiperurikemi, dengan catatan pasien tidak mengalami obesitas.
d. Histerektomi
Prevalensi OA pada wanita yang mengalami pengangkatan rahim lebih tinggi
dibandingkan wanita yang tidak mengalami pengangkatan rahim. Hal ini diduga
berkaitan dengan pengurangan produksi hormon estrogen setelah dilakukan
pengangkatan rahim.
e. Menisektomi
Osteoartritis lutut dapat terjadi pada 89% pasien yang telah menjalani
menisektomi. Menisektomi merupakan operasi yang dilakukan di daerah lutut dan
telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penting bagi OA. Hal tersebut dimungkinkan
karena beberapa hal berikut ini :
ii. Bagi pasien yang mengalami menisektomi, degenerasi meniskal dan robekan
mungkin menjadi lebih luas dan perubahan pada tulang rawan sendi akan lebih
besar daripada mereka yang tidak melakukan menisektomi.
2.4.2 Faktor Biomekanis5
1. Riwayat Trauma Lutut
Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan
meniskus merupakan faktor risiko timbulnya OA. Studi Framingham menemukan
bahwa orang dengan riwayat trauma lutut memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi
untuk menderita OA. Hal tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih
muda serta dapat menyebabkan kecacatan yang lama dan pengangguran.
2. Kelainan Anatomis
Faktor risiko timbulnya OA antara lain kelainan lokal pada sendi lutut seperti
genu varum, genu valgus, Legg – Calve – Perthes disease dan displasia asetabulum.
Kelemahan otot kuadrisep dan laksiti ligamentum pada sendi lutut termasuk kelainan
lokal yang juga menjadi faktor risiko OA.
3. Pekerjaan
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang banyak
menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut. Prevalensi lebih tinggi menderita
OA ditemukan pada kuli pelabuhan, petani dan penambang dibandingkan pada
pekerja yang tidak banyak menggunakan kekuatan lutut seperti pekerja administrasi.
Terdapat hubungan signifikan antara pekerjaan yang menggunakan kekuatan lutut dan
kejadian OA.
4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari), berjalan
jarak jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat (10 kg – 50 kg
selama 10 kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek yang berat (10 kg – 50 kg
selama 10 kali atau lebih setiap minggu), naik turun tangga setiap hari merupakan
faktor risiko OA.
5. Kebiasaan Olahraga
Atlit olah raga benturan keras dan membebani lutut seperti sepak bola, lari
maraton dan kung fu memiliki risiko meningkat untuk menderita OA. Kelemahan otot
kuadrisep primer merupakan faktor risiko bagi terjadinya OA dengan proses
menurunkan stabilitas sendi dan mengurangi shock yang menyerap materi otot.
Tetapi, di sisi lain seseorang yang memiliki aktivitas minim sehari-hari juga berisiko
mengalami OA. Ketika seseorang tidak melakukan gerakan, aliran cairan sendi akan
berkurang dan berakibat aliran makanan yang masuk ke sendi juga berkurang. Hal
tersebut akan mengakibatkan proses degeneratif menjadi berlebihan.
2.5 Patofisiologi
1. Nyeri Sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama yang sering dirasakan penderita ketika
berkunjung ke dokter, meskipun sebelumnya perrnah mengalami kaku sendi dan
deformitas. Nyeri ini akan bertambah berat saat melakukan gerakan dan akan
berkurang bila penderita istirahat.
2. Kaku Sendi
Kaku sendi pada osteoartritis dapat terjadi setelah imobilitas, seperti duduk
dalam waktu cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur dan berlangsung kurang
dari 30 menit3
3. Hambatan Gerak Sendi
Hambatan gerak pada osteoartritis disebabkan oleh nyeri, inflamasi, fleksi
menetap, kelainan sendi atau deformitas. Hambatan gerak tergantung pada lokasi dan
beratnya kelainan sendi yang terkena. Biasanya bertambah berat dengan semakin
beratnya penyakit, sampai sendi hanya bia digoyangkan dan menjadi kontraktur.
Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh arah gerakan ) maupun eksentris ( salah
satu arah gerakan).
4. Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut. Pada awalnya
hanya berupa perasaan akan adanya seuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau
dokter yang memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat
terdengar sampai jarak tertentu.
5. Pembengkakan Sendi
Pembengkakan sendi dapat terjadi karena efusi pada sendi yang biasanya tak
banyak (< 100 cc).Deformitas dapat terlihat pada sendi yang terkena yang disebabkan
terbentuknya osteofit. Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan,
gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai
pada osteoartritis karena adanya sinovitis.
6. Perubahan Gaya Berjalan
Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman
yang besar untuk kemandirian penderita usia lanjut. Keadaan ini hamper selalu
berhubungan dengan nyeri kerana menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai
pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada
sendi-sendi lain, sepertitangan bahu, siku dan pergelangan tangan, osteoartitis juga
menimbulkan gangguan fungsi.
2.7 Klasifikasi
2.7.1 Klasifikasi berdasarkan etiologi
Berdasarkan etiologi, OA dapat terjadi secara primer (idiopatik) maupun
sekunder. Klasifikasi OA berdasarkan etiologi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Klasifikasi Osteoartritis berdasarkan etiologi
2.8 Diagnosa
Seperti pada penyakit reumatik umumnya ,diagnosis tak dapat didasarkan
hanya pada satu jenis pemeriksaan saja. Biasanya dilakukan pemeriksaan reumatologi
ringkas berdasarkan prinsip pemeriksaan GALS (Gait, arms, legs, spine). Penegakan
diagnosis OA dapat berdasarkan gejala klinis. Tidak ada pemeriksaan penunjang
khusus yang dapat menentukan diagnosis OA. Pemeriksaan penunjang saat ini
terutama dilakukan untuk monitoring penyakit dan untuk menyingkirkan
kemungkinan artritis karena sebab lainnya. Pemeriksaan radiologi dapat menentukan
adanya OA, namun tidak berhubungan langsung dengan gejala klinis yang muncul. 1
Gejala OA umumnya dimulai saat usia dewasa, dengan tampilan klinis kaku
sendi di pagi hari atau kaku sendi setelah istirahat. Sendi dapat mengalami
pembengkakan tulang, dan krepitus saat digerakkan, dapat disertai keterbatasan gerak
sendi. Peradangan umumnya tidak ditemukan atau sangat ringan. Banyak sendi yang
dapat terkena OA, terutama sendi lutut, jari-jari kaki, jari-jari tangan, tulang
punggung dan panggul. Pada seseorang yang dicurigai OA, direkomendasikan
melakukan pemeriksaan berikut ini1,9
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pendekatan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit lain.
d. Pemeriksaan penunjang
e. Perhatian khusus terhadap gejala klinis dan faktor yang mempengaruhi pilihan
terapi/penatalaksanaan OA
2.8.1 Anamnesis1
1. Nyeri dirasakan berangsur-angsur (onset gradual)
2. Tidak disertai adanya inflamasi (kaku sendi dirasakan < 30 menit, bila disertai
inflamasi, umumnya dengan perabaan hangat, bengkak yang minimal, dan tidak
disertai kemerahan pada kulit)
3. Tidak disertai gejala sistemik
4. Nyeri sendi saat beraktivitas
5. Sendi yang sering terkena: Sendi tangan: carpo-metacarpal (CMC I),
Proksimal interfalang (PIP) dan distal interfalang (DIP), dan Sendi kaki:
Metatarsofalang (MTP) pertama. Sendi lain: lutut, V. servikal, lumbal, dan hip.
6. Pada anamnesis dijumpai faktor risiko berupa :
a. Bertambahnya usia
b. Riwayat keluarga dengan OA generalisata
c. Aktivitas fisik yang berat
d. Obesitas
e. Trauma sebelumnya atau adanya deformitas pada sendi yang
bersangkutan.
7. Riwayat penyakit yang menyertai, sebagai pertimbangan dalam pilihan terapi:
a. Ulkus peptikum, perdarahan saluran pencernaan, penyakit liver.
b. Penyakit kardiovaskular (hipertensi, penyakit jantung iskemik, stroke,
gagal jantung),
c. Penyakit ginjal
d. Asthma bronkhiale (terkait penggunaan aspirin atau OAINs)
e. Depresi yang menyertai
8. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keluhan nyeri dan fungsi sendi
a. Nyeri saat malam hari (night pain)
b. Gangguan pada aktivitas sehari-hari
c. Kemampuan berjalan
d. Lain-lain: risiko jatuh, isolasi social, depresi
3. Artroskopi
Pada pasien osteoarthritis ditemukan perubahan proliferative dan inflamasi
pada sinovium. Pemeriksaan ini lebih sensitive di banding foto polos dalam hal
melihat progresifitas penyakit . dan dapat menilai apakah terjadi inflamasi pada
kartilago sendri yang terkena.
2.8.5 Perhatian khusus terhadap gejala klinis dan faktor yang mempengaruhi
pilihan terapi/ penatalaksanaan OA.1
1. Singkirkan diagnosis banding.
2. Pada kasus dengan diagnosis yang meragukan, sebaiknya dikonsulkan pada
ahli reumatologi untuk menyingkirkan diagnosis lain yang menyerupai OA.
Umumnya dilakukan artrosentesis diagnosis.
3. Tentukan derajat nyeri dan fungsi sendi
4. Perhatikan dampak penyakit pada status social seseorang
5. Perhatikan tujuan terapi yang ingin dicapai, harapan pasien, mana yang lebih
disukai pasien, bagaimana respon pengobatannya.
6. Faktor psikologis yang mempengaruhi.
Gambar 5. Diagnosis OA Lutut
Tabel 3. Derajat osteoarthritis dengan klasifikasi Kellgren and Lawrence
1. Kelainan Anatomi
Pertama harus disingkirkan terlebih dahulu kemungkinan adanya kelainan
anatomi dari sebelumnya munculnya gejala seperti misalignment dari tungkai bawah
harus disingkirkan (menyebabkan OA lutut kompartemental misalnya, bentuk
kelainan varus/kerusakan medial tibiofemoral, atau valgus/kerusakan lateral
tibiofemoral). Selain itu bisa juga genu valgum misalignment yang melibatkan
kompartemen lateral tibiofemoral. Kelainan varus atau valgus dapat mempengaruhi
lingkup gerak sendi (range of motion) dan percepatan penyempitan celah sendi ,
disebut instabiliti pada sendi lutut (ligamentum laxity).1
2. Rheumatois Artritis
Untuk diagnosis Reumatoid Artritis (RA) cenderung menyerang pada sendi
yang bilateral simetris dan disertai dengan gejala sistemik lain dan lebih banyak
menyerang wanita usia produktif. Pada artritis gout cenderung tidak simetris dan
faktor reumatoid negatif, sedangkan pada artritis rematik cenderung terjadi simetris
dan lebih dari 60% kasus memiliki faktor reumatoid positif.9,10
3. Gout Artritis
Pada gout artritis umumnya menyerang sendi MTP I secara asimetris dan yang
pada serangan akut akan menimbulkan tanda- tanda inflamasi, selain itu pada fase
kronis dapat ditemukan juga penumpukkan Kristal urat pada jaringan lain yang
disebut tofi. Pada analisa cairan sendi juga ditemukan deposisi Kristal monosodium
urat, dan pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan kondisi hiperurisemia. 9,10
Pada pseudogout terjadi pembentukkan kristal kalsium pirofosfat pada sendi
terutama sendi lutut, dan memang umum terjadi pada pasien usia lanjut, bagaimana
mekanisme terjadinya pseudogout masih belum diketahui dengan pasti.Nyeri yang
menjalar umumnya terjadi pada bursitis akibat lesi pada ligament dan meniscus. Pada
penyakit akibat infeksi sendi yang lain akan menimbulkan tanda- tanda umum
peradangan seperti kemerahan, bengkak. Factor psikologis seperti depresi dan
masalah social juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan rasa nyeri yang
timbul. Sindroma nyeri pada soft tissue juga dapat dijadikan diagnose banding namun
pada hal ini tidak melibatkan kekakuan pada sendi.10
2.10 Tatalaksana1
Osteoartritis merupakan penyakit artritis kronis paling banyak ditemui dengan
berbagai faktor risiko, karena itu peranan dokter umum sangat penting khususnya
dalam sistim kesehatan nasional, untuk pencegahan, deteksi dini dan penatalaksanaan
penyakit kronik secara umum, dan khususnya dalam penatalaksanaan OA. Karena itu
rekomendasi penatalaksanaan OA sangat diperlukan untuk memudahkan koordinasi
yang meliputi multidisiplin, monitoring, dengan patient centre care yang bersifat
kontinyu/terus menerus, komprehensif dan konsisten, sehingga penatalaksanaan nyeri
OA kronik dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Strategi penatalaksanaan pasien dan pilihan jenis pengobatan ditentukan oleh
letak sendi yang mengalami OA, sesuai dengan karakteristik masing-masing serta
kebutuhannya. Oleh karena itu diperlukan penilaian yang cermat pada sendi dan
pasiennya secara keseluruhan, agar penatalaksanaannya aman, sederhana,
memperhatikan edukasi pasien serta melakukan pendekatan multidisiplin.
Tujuan:
1. Mengurangi/ mengendalikan nyeri.
2. Mengoptimalkan fungsi gerak sendi.
3. Mengurangi keterbatasan aktifitas fisik sehari-hari (ketergantungan kepada
orang lain ) dan meningkatkan kualitas hidup.
4. Menghambat progresivitas penyakit.
5. Mencegah terjadinya komplikasi.
b. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki risiko
pada sistem pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit komorbid dengan
polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna,
mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau antiko agulan), dapat diberikan salah satu
obat berikut ini:
i. Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari)
ii. Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topical
iii. Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan pemberian obat
pelindung gaster (gastro- protective agent).
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) harus dimulai dengan dosis analgesik
rendah dan dapat dinaikkan hingga dosis maksimal hanya bila dengan dosis rendah
respon kurang efektif.
Pemberian OAINS lepas bertahap (misalnya Na-Diklofenak SR75 atau
SR100) agar dipertimbangkan untuk meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan
pasien. Penggunaan misoprostol atau proton pump inhibitor dianjurkan pada
penderita yang memiliki faktor risiko kejadian perdarahan sistem gastrointestinal
bagian atas atau dengan adanya ulkus saluran pencernaan.
iv. Cyclooxygenase-2 inhibitor
c. Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi, aspirasi
dan tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular (misalnya triamsinolone hexatonide
40 mg) untuk penanganan nyeri jangka pendek (satu sampai tiga minggu) dapat
diberikan, selain pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid per oral (OAINS).
Injeksi intraartikular/intralesi
Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan utama
dalam penanganan osteoartritis. Diperlukan kehati-hatian dan selektifitas dalam
penggunaan modalitas terapi ini, mengingat efek merugikan baik yang bersifat lokal
maupun sistemik. Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra artikular yakni
penanganan simtomatik dengan steroid, dan viskosuplementasi dengan hyaluronan
untuk memodifikasi perjalanan penyakit. Dengan pertimbangan ini yang sebaiknya
melakukan tindakan adalah dokter ahli reumatologi atau dokter ahli penyakit dalam
dan dokter ahli lain, yang telah mendapatkan pelatihan.
Kortikosteroid. Dapat diberikan pada OA lutut, jika mengenai satu atau dua
sendi dengan keluhan nyeri sedang hingga berat yang kurang responsif terhadap
pemberian OAINS, atau tidak dapat mentolerir OAINS atau terdapat penyakit
komorbid yang merupakan kontra indikasi terhadap pemberian OAINS. Diberikan
juga pada OA lutut dengan efusi sendi atau secara pemeriksaan fisik terdapat tanda-
tanda inflamasi lainnya. Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar untuk
menghindari penyulit yang timbul. Sebagian besar literatur tidak menganjurkan
dilakukan penyuntikan lebih dari sekali dalam kurun 3 bulan atau setahun 3 kali
terutama untuk sendi besar penyangga tubuh. Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-
50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-sendi kecil biasanya digunakan dosis 10 mg.
Injeksi kortikosteroid intra-artikular harus dipertimbangkan sebagai terapi tambahan
terhadap terapi utama untuk mengendalikan nyeri sedang-berat pada penderita OA
Viskosuplemen: Hyaluronan. Terdapat dua jenis hyaluronan di Indonesia:
high molecular weight dan low molecular weight atau tipe campuran. Penyuntikan
intra artikular viskosuplemen ini dapat diberikan untuk sendi lutut. Karakteristik dari
penyuntikan hyaluronan ini adalah onsetnya lambat, namun berefek jangka panjang,
dan dapat mengendalikan gejala klinis lebih lama bila dibandingkan dengan
pemberian injeksi kortikosteroid intraartikular. Cara pemberian: diberikan berturut-
turut 5 sampai 6 kali dengan interval satu minggu @ 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan
untuk jenis low molecular weight, 1 kali untuk jenis high molecular weight, dan 2 kali
pemberian dengan interval 1 minggu untuk jenis tipe campuran. Teknik penyuntikan
harus aseptik, tepat dan benar. Kalau tidak dapat timbul berbagai penyulit seperti
artritis septik, nekrosis jaringan dan abses steril. Perlu diperhatikan faktor alergi
terhadap unsur/bahan dasar hyaluronan misalnya harus dicari riwayat alergi terhadap
telur.
3. Chondroprotective agent
Yang dimaksud dengan Chondroprotective agent adalah obat – obatan yang
dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien
OA .
Tabel 4. Kelompok Obat Chrondroprotective agent
NO. KELOMPOK KETERANGAN
OBAT
1. Asam hialuronat Disebut juga sebagai viscosupplement oleh karena
salah satu manfaat obat ini adalah dapat
memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini
diberikan secara intra – articlar. Asam hialuronat
ternyata memegang peranan penting dalam
pembentukan matrix tulang rawan melalui agregasi
dengan proteoglikan. Disamping itu pada binatang
percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi
inflamasi pada sinovium, menghabat angiogenesis
dan khemotaksis sel – sel inflamasi.
2. Glikosaminoglikan Dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan
dalam proses degradasi tulang rawan antara lain:
hialuronidase, protease, elastase dan zat athpesin B1
in vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan
dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi
manusia.
3. Kondroitin sulfat Menurut penelitian pemberian Kondroitin Sulfat
pada kasus OA mempunyai efek protektif terhadap
terjadinya kerusakan tulang rawan sendi.
4. Vitamin C Dalam penelitian ternyata dapat menghambat
aktivitas enzim lisozim. Pada pengamatan vitamin C
mempunyai manfaat dalam terapi OA.
5. Steroid intra – Kejadian inflamasi kadang-kadang dijumpai pada
artikuler pasien osteoarthritis, oleh karena itu kortikosteroid
intra-artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi
rasa sakit, walaupun dalam waktu yang singkat
penelitian selanjutnya tidak menunjukkan
keuntungan yang nyata pada pasien OA, sehingga
pemakaiannya dalam hal ini masih controversial.
2.12 Komplikasi11
1. Kondrolisis
Kerusakan kartilago menyebabkan sendi lisisnya jaringan sendi
2. Osteonekrosis
Kematian tulang.
3. Stress fracture
Cedera berulang secara bertahap akan menghasilkan retakan tulang yang tidak
terlihat.
4. Perdarahan di bagian dalam sendi.
5. Infeksi pada sendi.
6. Ruptur tendon atau ligamen sekitar sendi
7. Saraf terjepit (osteoartritis di tulang belakang)
2.13 Prognosis12
Osteoarthritis merupakan penyakit degeneratif, maka dapat dipahami bahwa
penyakit ini bersifat progresif sesuai dengan usia penderita. Namun apabila diketahui
secara dini dan belum menimbulkan deformitas (valgus atau varus), maka perjalanan
penyakit dapat dihambat dengan cara membuat atau berusaha memperbaiki stabilitas
sendi. Berikut merupakan prognosis untuk kasus OA:
a. Quo ad vitam : (Baik) mengingat kondisi penyakitnya secara langsung
tidak membahayakan jiwa.
b. Quo ad sanam : (Ragu-ragu) karena intervensi fisioterapi tidak dapat
menyembuhkan OA sendi lutut. Bersifat simptomatik
yaitu mengurangi keluhan yang timbul.
c. Quo ad funcionam : (Ragu-ragu) karena tergantung pada derajat nyeri yang
timbul.
d. Quo ad cosmeticam : (Buruk) karena sudah terjadi adanya deformitas varus.
Diketahui bahwa, stabilitas sendi tergantung pada bentuk, ligamen dan kapsul
sendi,serta otot. Bentuk, ligament dan kapsul sendi tidak dapat dipengaruhi kecuali
menjaga agar tidak terlalu mendapat beban dan stress yang berarti. Sedangkan otot
dapat diperkuat dengan cara latihan, sehingga kunci dan stabilitas yang masih bisa
dikendalikan adalah mengurangi rasa sakit dan melatih otot agar menjadi kuat.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Persentase penderita diabetes melitus tipe II di Puskesmas Air Saga,
Belitung yang memiliki faktor risiko kurang berolahraga baik dilihat dari
frekuensi dan durasi nya adalah sebanyak 75%.
6.2 Saran
6.2.1 Bagi Instalasi Kesehatan
1. Diharapkan dapat mengadakan penyuluhan secara berkala di Posyandu atau
Posbindu mengenai Osteoarthritis, faktor resiko, bahaya serta pencegahan
yang dapat dilakukan untuk menghindari penyakit tersebut dan diharapkan
pada instalasi kesehatan untuk menyediakan leaflet mengenai OA.
2. Melakukan skrining terhadap faktor resiko OA lutut pada masyarakat usia
produktif.
3. Program senam sehat tetap dilakukan secara rutin setiap hari Jumat untuk
masyarakat yang belum mendertia OA.
4. Membuat program senam lantai untuk penderita OA lutut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Osteoartritis. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia; 2014.p.2-24.
2. (Berran, Y., Luenda E., C., Brent, B. and Cecil M., B. (2015). Occupational
and genetic risk factors for osteoarthritis: A review. HHS Public Access,
[online] 1(50 (2), pp.261–273. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4562436/pdf/nihms-
718785.pdf [Accessed 21 Feb. 2019].
3. IRA.(2014). Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoarthritis. Availabel at :
http://reumatologi.or.id/var/rekomendasi/Rekomendasi_IRA_Osteoarthritis_2
014.pdf