Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh
kembang manusia. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa
yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering
disebut golden age atau masa keemasan.Setiap balita memerlukan nutrisi
dengan menu seimbang dan porsi yang tepat, tidak berlebihan dan
disesuaikan dengan kebutuhan. Jika pemberian nutrisi pada anak balita
kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya maka pertumbuhan
dan perkembangan anak balita akan berjalan lambat.Kurangnya gizi yang
diserap oleh tubuh mengakibatkan mudah terserang penyakit karena gizi
sangat berperan penting terhadap kekebalan tubuh.Gizi bukan hanya
mempengaruhi kesehatan tubuh, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan.
Apabila gizi yang diperlukan oleh otak tidak terpenuhi, otak akan
mengalami pengaruh sehingga tidak dapat berkembang (Sibagariang,
2010). Masalah gizi yang timbul dapat menyebabkan pertumbuhan
terhambat, keterbelakangan mentalserta dapat meningkatnya Angka
Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Anak (AKA).
Faktor risiko penyebab gizikurang pada balitamenurut konferensi
international tentang “At Risk Factors and The Health and Nutrition of
Young Children” di Kairo tahun 1975 mengelompokkan menjadi tiga,
yaitu : a) At risk factors yang bersumber dari masyarakat yaitu: struktur
politik, kebijakan pemerintah, ketersediaan pangan, prevalensi berbagai
penyakit, pelayanan kesehatan, tingkat sosial ekonomi, pendidikan dan
iklim. b) At risk factors yang bersumber pada keluarga yaitu: tingkat
pendidikan, status pekerjaan, penghasilan, keadaan perumahan, besarnya
keluarga dan karakteristik khusus setiap keluarga. c) At risk factors yang
bersumber pada individu anak yaitu: usia anak, jarak kelahiran, berat lahir,
laju pertumbuhan, pemanfaatan ASI, imunisasi dan penyakit infeksi
(Moehji,2009).
Prevalensi gizi kurang (berat badan menurut umur) pada balita secara
internasional, tercatat 101 juta balita di dunia menderita kekurangan gizi,

1
balita yang termasuk gizi kurang mempunyai risiko meninggal lebih tinggi
dibandingkan balita yang gizinya baik (UNICEF, 2013). Prevalensi gizi
kurang pada tahun 2013 sebesar 19,6% (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Karakteristik Balita yang Menderita
Gizi Kurang di Wilayah kerja Puskesmas Lomba Kasih Tahun 2018” agar
masalah gizi dapat diketahui dan dicegah dengan cepat.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil rumusan
masalahnya “Bagaimanakah Karakteristik Balita yang Menderita Gizi
Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Lomba Kasih Kabupaten Bombana
Tahun 2018?”

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik balita yang menderita gizi kurang
di Puskesmas Lomba Kasih Kabupaten Bombana Tahun 2018.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik balita berdasarkan umur yang menderita
gizi kurang di Puskesmas Lomba Kasih Kabupaten Bombana
Tahun 2018.
b. Mengetahui karakteristik balita berdasarkan riwayat ASI eksklusif
yang menderita gizi kurang di Wilayah kerja Puskesmas Lomba
Kasih Tahun 2018.
c. Mengetahui karakteristik balita berdasarkan berat bayi pada saat
lahir yang menderita gizi kurang di Wilayah kerja Puskesmas
Lomba Kasih Tahun 2018.
d. Mengetahui karakteristik balita berdasarkan riwayat imunisasi
yang menderita gizi kurang di Wilayah kerja Puskesmas Lomba
Kasih Tahun 2018.
f. Mengetahui karakteristik balita berdasarkan jarak kelahiran yang
menderita gizi kurang di Wilayah kerja Puskesmas Lomba Kasih
Tahun 2018.

2
g. Mengetahui karakteristik balita berdasarkan pemberian vitamin A
yang menderita gizi kurang di Wilayah kerja Puskesmas Lomba
Kasih Tahun 2018.

D. MANFAAT
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengembangan ilmu pengetahuan tentang gizi kurang pada balita.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Tenaga Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu
pengetahuan bagi para tenaga kesehatan.
b. Bagi Puskesmas Lombakasih
Sebagai bahan informasi bagi pihak puskesmas untuk
membentuk program promosi dan preventif untuk mencegah gizi
buruk dengan deteksi dini berdasarkan kriteria balita yang
mempunyai risiko menderita gizi kurang.
c. Bagi Pemerintah Kabupaten Bombana
Sebagai bahan informasi dalam menggerakan masyarakat
untuk aktif datang ke posyandu serta menjadikan masyarakat akan
sadar gizi sehingga kejadian gizi kurang bisa dicegah sedini
mungkin.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Karakteristik
1. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud
dengan karakteristik adalah ciri atau sifat yang berkemampuan
untuk memperbaiki kualitas hidup. Karakteristik adalah ciri-ciri
khusus atau mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan
tertentu. Karakteristik adalah mengacu kepada karakter dan gaya
hidup seseorang serta nilai-nilai yang berkembang secara teratur
sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan mudah di
perhatikan (Nanda, 2013). Selain itu, menurut Supranto (2009)
karakteristik adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh
elemen. Elemen yang dimaksud dapat berupa manusia, hewan,
kondisi geografi dan sebagainya.
2. Karakteristik Balita (Umur)
Umur adalah lamanya seorang hidup sejak dilahirkan sampai
sekarang yang dihitung dalam tahun (Depkes RI, 2011). Umur
adalah waktu atau bertambahnya hari sejak lahir sampai akhir
hidup, usia sangat mempengaruhi seseorang semakin bertambah
usia maka semakin banyak pengetahuan yang di dapat. Menurut
Sutomo dan Anggraeni (2010), balita dibagi menjadi dua yaitu :
1) Usia Toddler (1-<3 tahun)
Pada masa ini anak masih belum dapat berbicara atau
berkomunikasi secara aktif. Jika anak ingin sesuatu, akan
memiliki caranya sendiri, seperti menangis, melempar
sesuatu kearah yang diinginkan untuk dicapai.
Perkembangan komunikasi pada masa ini dapat ditunjukkan

4
dengan perkembangan bahasa anak dengan kemampuan
mampu memahami ± 10 kata (Jayanti, 2013).
2) Usia Pra Sekolah (3-5 tahun)
Anak prasekolah umumnya sangat aktif.Mereka telah
memiliki penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan
sangat menyukai kegiatan-kegiatan yang dapat di lakukan
sendiri, mudah bersosialisasi dengan orang sekitarnya,
cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan
terbuka (Kartono, 2007).
B. Gizi Kurang
1. Pengertian Gizi Kurang
Gizi kurang adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
Berat Badan menurut Umur (BB/U) -3 SD (Standard Deviasi)
sampai -2 SD(Depkes RI, 2011).Gizi kurang adalah gangguan
kesehatan yang disebabkan kekurangan dan ketidakseimbangan
antara kebutuhan dengan asupan dan protein.(Rahardjo, 2012).Gizi
kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau
ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan,
aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan
kehidupan. Gizi kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari
5 tahun (Ariyanto, 2010). Nutrisi yang dimaksud bisa berupa
protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang
Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak
dijumpai pada balita (Lusa, 2009).
2. Faktor Risiko Gizi Kurang
Faktor risiko gizikurang pada balita menurut konferensi
international tentang “At Risk Factors and The Health and
Nutrition of Young Children” di Kairo tahun 1975
mengelompokkan menjadi tiga (Moehji,2009), yaitu :

5
1) At risk factors yang bersumber dari masyarakat
a) Ketahanan pangan
Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga
dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya (Waryono,
2010).Daya beli keluarga dipengaruhi oleh faktor harga dan
pendapatan keluarga. Jika daya beli rendah maka akan
berpengaruh pada ketahanan pangan keluarga, sehingga
konsumsi pangan juga berkurang yang dampaknya bisa
kepada gangguan gizi.
b) Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan yang selalu siap dan dekat
dengan masyarakat akan sangat membantu dalam
meningkatkan derajat kesehatan. Sarana pelayanan
kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga
(Waryono, 2010).
2) At risk factors yang bersumber pada keluarga
a) Tingkat Pengetahuan
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya
dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan,
higiene pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta
kesadaran terhadap kesehatan.Pengetahuan yang dimiliki
ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan
keanekaragaman makanan yang berkurang (Septikasari &
Septiyaningsih, 2016). Selain itu, gangguan gizi juga
disebabkan karena kurangnya kemampuan ibu menerapkan
informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati (2013),

6
menyatakan bahwa faktor pengetahuan dan sikap ibu dalam
pemberian makan anak sangat berhubungan dengan status
gizi kurang anak balita.
b) Tingkat Pendidikan
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita
relatif tinggi bila pendidikan gizi ibu tinggi (Kemenkes,
2013). Dan balita yang mengalami pertumbuhan yang
lambat/balita dengan status gizi buruk juga berisiko 3 kali
lebih besar berasal dari ibu yang memiliki tingkat
pendidikan yang rendah. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nafi’ah tahun 2015, Sebagian besar tingkat pendidikan
ibu balita yang memiliki balita gizi kurang dalam kategori
pendidikan dasar.
c) Tingkat Pekerjaan
Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi
dapat memberikan perhatian penuh terhadap anak balitanya,
apalagi untuk mengurusnya. Meskipun tidak semua ibu
bekerja tidak mengurus anaknya, akan tetapi kesibukan dan
beban kerja yang ditanggungnya dapat menyebabkan
kurangnya perhatian ibu dalam menyiapkan hidangan yang
sesuai untuk balitanya (Septikasari dkk., 2016).
d) Tingkat Pendapatan
Pendapatan merupakan faktor yang menentukan
kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan pendapatan
yang memadai dapat menyediakan semua kebutuhan anak
balita yang primer maupun yang sekunder. Pendapatan yang
meningkat akan menyebabkan semakin besarnya total
pengeluaran termasuk pengeluaran untuk pangan
(Paputungan, 2009).

7
e) Sanitasi Lingkungan
Kesehatan lingkungan yang baik seperti penyediaan air
bersih dan perilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi
risiko kejadian penyakit infeksi. Sebaliknya, lingkungan
yang buruk seperti air minum tidak bersih, tidak ada saluran
penampungan air limbah, tidak menggunakan kloset yang
baik dapat menyebabkan penyebaran penyakit. Penyakit
inilah yang akan menjadikan infeksi, sehingga dapat
menyebabkan kurangnya nafsu makan sehingga
menyebabkan asupan makanan menjadi rendah dan
akhirnya menyebabkan kurang gizi.
3) At risk factors yang bersumber pada individu anak
a) Usia
Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua
kategori yaitu anak usia 1–<3tahun (batita) dan anak usia
prasekolah (3-5 tahun). penelitian yang dilakukan oleh
Kuntari, Jamil dan Kurniati tahun 2013 menunjukkan
bahwa balita yang berusia 1-3 tahun mempunyai peluang
lebih besar mengalami gizi baik dibandingkan dengan
balita yang berusia 3-5 tahun.
b) Jarak Kelahiran
Jarak kelahiran turut serta mempengaruhi status gizi
balita. Jarak kehamilan atau kelahiran yang berdekatan (<2
tahun) juga dapat memicu pengabaian pada anak pertama
secara fisik maupun psikis, yang dapat menimbulkan rasa
cemburu akibat ketidaksiapan berbagi kasih sayang dari
orang tuanya (Yolan, 2007). Berdasarkan catatan statistik
penelitian bahwa jarak kelahiran yang aman antara anak
satu dengan lainnya adalah >2 tahun. Pada jarak ini si ibu

8
akan memiliki bayi yang sehat serta selamat saat melewati
proses kehamilan (Agudelo, 2007). Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah dan Septiani tahun
2013 yang menunjukan bahwa adanya hubungan jarak
kelahiran dengan status gizi balita yaitu jarak kelahiran >2
tahun mempunyai peluang lebih besar mengalami gizi
normal dibandingkan jarak kelahiran <2 tahun. Penelitian
The Demographic and Health Survey, menyebutkan bahwa
anak-anak yang dilahirkan 2-5 tahun setelah kelahiran anak
sebelumnya, memiliki kemungkinan hidup sehat 2,5 kali
lebih tinggi daripada yang berjarak kelahiran kurang dari 2
tahun, maka jarak kehamilan yang aman adalah 2-5 tahun
(Yolan, 2007).
c) Pemberian ASI Eksklusif
ASI eksklusif menurut World Health Organization
(WHO) 2011 adalah memberikan hanya ASI saja tanpa
memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak
lahir sampai berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin.
ASI akan terus diberikan kepada anak sampai berusia 2
tahun. ASI dapat menigkatkan kekebalan tubuh bayi yang
baru lahir, karena mengandung zat kekebalan tubuh yang
dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi dan
alergi. Bayi ASI eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit
dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI
eksklusif, hal ini juga akan mempengaruhi status gizi
balita. Dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian
anak, United Nations Children's Fund (UNICEF) dan
WHO merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif sampai
bayi berumur enam bulan. Selanjutnya penelitian yang

9
dilakukan oleh Giri tahun 2013 menunjukan bahwa ibu
yang memberikan ASI eksklusif memiliki balita dengan
status gizi lebih baik dibandingkan dengan ibu yang tidak
memberikan ASI eksklusif.
d) Penyakit Infeksi
Terdapat pengaruh yang cukup besar dari penyakit
infeksi terhadap keadaan gizi seseorang. Penyakit infeksi
tersebut antara lain seperti diare dan demam, penyakit
tersebut dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan,
dimana makanan yang dikonsumsi menjadi berkurang,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada
status gizi (Waryono, 2010). Terdapat hubungan timbal
balik antara kejadian penyakit dan gizi kurang maupun gizi
buruk. Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk
akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan
terhadap penyakit. Di sisi lain anak yang menderita sakit
akan cenderung menderita gizi buruk. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Baculu, Juffrie dan Helmyati tahun
2015 yaitu balita yang memiliki riwayat penyakit infeksi
memiliki risiko 2,83 kali lebih besar menderita gizi buruk
dibandingkan dengan balita yang tidak memiliki riwayat
penyakit infeksi.
e) Riwayat Berat Lahir
Berat lahir adalah berat bayi yang di timbang dalam
waktu 1 jam pertama setelah bayi lahir. Klasifikasi berat
bayi lahir menurut Kosim, et al.,(2009) dikelompokkan
menjadi 3 yaitu :
(1) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

10
BBLR merupakan berat bayi yang dilahirkan
dengan berat lahir <2500 gram tanpa memandang usia
gestasi (Kosim, et al.,2009). Bayi yang BBLR
menandakan kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi
dan berisiko lebih tinggi terhadap kematian bayi,
penyakit kronis pada usia dewasa, keterlambatan
mental dan pertumbuhan yang lambat karena kondisi
kekurangan gizi yang berisiko mengakibatkan balita
menderita KEP. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan juga menunjukkan bahwa bayi yang BBLR
berkali-kali berisiko memiliki status gizi kurang pada
usia 1-5 tahun dibandingkan yang tidak BBLR,
penelitian yang lain juga menyebutkan bahwa anak
yang BBLR pertumbuhan dan perkembangannya lebih
lambat dari anak dengan berat bayi lahir normal.
(2) Bayi Berat Lahir Normal
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari
kehamilan sampai 42 minggu dan berat badan lahir >
2500 - 4000 gram (Jitowiyono dan Weni, 2010).
(3) Bayi Berat Lahir Lebih
Bayi berat lahir lebih adalah Bayi yang dilahirkan
dengan beratlahir lebih > 4000 gram (Kosim et al.,
2009).
f) Riwayat Imunisasi
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) yang diberikan tidak hanya anak sejak masih bayi
hingga remaja tetapi juga dewasa (Kemenkes RI, 2016).
Cara kerja imunisasi yaitu dengan memberikan antigen
bakteri atau virus tertentu yang sudah dilemahkan atau

11
dimatikan dengan tujuan merangsang sistem imun tubuh
untuk membentuk antibodi. Antibody ini meningkatkan
kekebalan tubuh seseorang sehingga dapat mencegah atau
mengurangi akibat penularan PD3I tersebut. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Ameliatahun 2014
menunjukkan bahwa anak balita yang mengalami gizi
kurang sebagian besar status imunisasinya tidak lengkap,
sementara itu untuk status gizi baik terbanyak pada balita
dengan status imunisasi lengkap.
g) Pemberian Vitamin A
Kurang Vitamin A (KVA) merupakan suatu ganguan
yang disebabkan karena kurangnya asupan vitamin A dalam
tubuh. KVA dapat mengakibatkan kebutaan, mengurangi
daya tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi, yang
sering menyebabkan kematian khususnya pada anak-anak.
Selain itu KVA dapat menurunkan epitelisme sel-sel kulit .
Faktor yang menyebabkan timbulnya KVA adalah
kemiskinan dan minim pengetahuan akan gizi. Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni tahun 2012
menunjukkan bahwa pemberian vitamin A mempunyai
hubungan signifikan dengan status gizi anak balita dengan
hasilnya yaitu balita yang pernah mendapatkan kapsul
vitamin A, status gizinya 72,3 % baik.
3. Indikator Status Gizi Berdasarkan BB/U
Supariasa (2011), klasifikasi status gizi dilakukan dengan
menggunakan Skor Simpangan Baku (z-skor).Dalam hal ini
standard deviasi unit (z-skor) digunakan untuk meneliti dan
memantau pertumbuhan. Standard deviasi unit ini digunakan untuk
mengetahui klasifikasi status gizi seseorang berdasarkan kriteria

12
yang ditetapkan, antara lain berat badan, umur dan tinggi badan.
Baku WHO-NCHS digunakan sebagai baku antropometri
Indonesia (Depkes RI, 2011).
Tabel 2.1 penentuan status gizi anak usia 0-60 bulan
Ambang batas
Indeks Kategori status gizi
(Zscore)
Gizi Buruk ≤3 SD
Berat Badan menurut -3 SD sampai ≤2
Gizi Kurang
SD
Umur (BB/U) Gizi Normal -2 SD sampai 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Sumber : Antropometri Dirjen Bina Gizi RI Tahun 2011
4. Tanda Gejala Gizi Kurang
Gejala kurang gizi ringan relatif tidak jelas, hanya terlihat bahwa
berat badan anak tersebut lebih rendah dibanding anak seusianya. Dr
Rachmi Untoro ahli gizi anak dari Persatuan Dokter Gizi Medik
Indonesia mengungkapkan ciri-ciri anak kurang gizi adalah rambut
kusam, kering, pucat, bibir dan mulut bengkak.
5. Dampak Gizi Kurang
Menurut Nency dan Arifin (2008), bahwa beberapa penelitian
menjelaskan dampak jangka pendek dari kasus gizi kurang adalah
anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara serta gangguan
perkembangan yang lain, sedangkan dampak jangka panjang dari
kasus gizi kurang adalah penurunan IQ, penurunan perkembangan
kognitif, gangguan pemusatan perhatian, serta gangguan
penurunan rasa percaya diri. Oleh karena itu kasus gizi kurang
apabila tidak tangani dengan baik akan mengancam jiwa dan pada
jangka panjang akan mengancam hilangnya generasi penerus
bangsa (Zulfita, 2013).Gizi kurang jika tidak segera ditangani
dikhawatirkan akan berkembang menjadi gizi buruk (Dewi, 2013).
6. Pencegahan Gizi Kurang

13
a. Timbang balita tiap bulan ke posyandu untuk memantau BB anak
Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani, Juniarti dan
Mardiyah tahun 2008, menunjukan bahwa keluarga yang
berada dalam kategori aktif ke posyandu memiliki persentase
lebih besar memiliki balita dengan status gizi baik.
b. Berikan ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk
bayi.ASI sangat dibutuhkan untuk kesehatan bayi dan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi secara
optimal. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan terpenuhi
kebutuhan gizinya secara maksimal sehingga dia akan lebih
sehat, lebih tahan terhadap infeksi, tidak mudah terkena alergi,
dan lebih jarang sakit.Karena dengan pemberian ASI eksklusif
status gizi bayi akan baik danmencapai pertumbuhan yang
sesuai dengan usianya (Sulistyoningsih, 2011).
c. Suplementasi zat gizi mikro
Pemberian vitamin A, zat besi, iodium dan seng.
Kekurangan zat gizi mikro merupakan penyebab timbulnya
masalah gizi dan kesehatan disebagian besar wilayah
Indonesia.
d. Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini
maupun terlambat akan menyebabkan bayi rentan mengalami
penyakit infeksi, alergi, kekurangan gizi, dan kelebihan gizi,
sehingga dapat menyebabkan malnutrisi dan gangguan
pertumbuhan (Hakim, 2014). Sehingga setelah bayi berusia
lebih dari 6 bulan, maka diberikan MP-ASI sesuai dengan
umurnya.

14
C. Balita
1. Pengertian Balita
Menurut Sutomodan Anggraeni (2010), balita adalah istilah
umum bagi anak usia 1-<3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5
tahun). Masa balita merupakan periode penting dalam proses
tumbuh kembang manusia.
2. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda,
namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama (Hartono,
2008). Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala
kuantitatif.Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan
jumlah sel, serta jaringan intraseluler pada tubuh anak. Dengan
kata lain, berlangsung proses multiplikasi organ tubuh anak,
disertai penambahan ukuran-ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai
oleh:
1) Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.
2) Bertambahnya ukuran lingkar kepala.
3) Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.
4) Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.
5) Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut,
kuku, dansebagainya.
Penambahan ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus drastis.
Sebaliknya, berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola secara
proporsional pada tiapbulannya. Ketika didapati penambahan ukuran
tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya berlangsung baik.
Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu berarti
salah satu tanda terjadinya gangguan atau hambatan proses
pertumbuhan (Hartono, 2008).

15
16
BAB III
METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah menggunakan desain deskriptif.
Menurut Sugiyono (2012, h.13) penelitian deskriptif yaitu, penelitian
yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu
variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau
menghubungkandengan variabel yang lain.
Rancangan penelitian ini menggunakan cross sectional yaitu suatu
penelitian dimana variabel-variabel yang termasuk faktor risiko dan
variabel-variabel yang termasuk efek akan diobservasi pada waktu
yang sama (Notoatmodjo, 2010, h.102). Tujuan dari penggunaan
metode deskriptif dalam penelitian ini adalah mengetahui karakteristik
balita yang menderita gizi kurang di Wilayah kerja Puskesmas Lomba
Kasih Tahun 2017.

B. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


1. Populasi
Menurut Sugiyono (2012, h.115) populasi adalah wilayah
generalisasi terdiriatas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu, ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan.Notoatmodjo (2010, h.115), populasi
adalah keseluruhan objek penelitian yang diteliti.Populasi yang
diambil dari penelitian ini yaitu seluruh balita yang menderita gizi
kurang di Wilayah kerja Puskesmas Lomba Kasih pada bulan
Agustus tahun2017 yaitu sebanyak 43 balita.
2. Sampel

17
Menurut Sugiyono (2012, h.81) sampel adalah sebagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Ada
dua kriteria sampel yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi adalah dimana subjek penelitian mewakili sampel
yang memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria eksklusi adalah
kriteria yang apabila dijumpai menyebabkan objek tidak dapat
digunakan dalam penelitian.
Untuk menentukan jumlah sampel dilakukan sebuah
sampling.Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan total
sampling yaitu pengambilan sampel bila semua anggota populasi
digunakan sebagai sampel (Ariani, 2014) dengan jumlah 43 balita
gizi kurang. Arikunto (2010, h.134), jika subjeknya kurang dari 100
orang sebaiknya diambil semuanya, jika subjeknya besar atau lebih
dari 100 orang dapat diambil 10-15 % atau 20-25 % atau lebih.
Kriteria inklusi yaitu:
1. Balita yang menderita gizi kurang yang terjadi pada satu bulan
terakhir dan berdomisili di desa Slarang.
2. Ibu yang mau menjadi responden.
Kriteria eksklusi :
1. Balita yang tidak menderita gizi kurang di satu bulan terakhir
dan tidak berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Lomba
Kasih.
2. Ibu yang tidak mau menjadi responden.
Menurut Sugiyono (2007) bahwa, total sampling adalah teknik
pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi.

C. TEMPAT PENELITIAN

18
Penelitian ini telah dilaksanakan di Puskesmas Lomba Kasih
Kabupaten Bombana.
D. WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2018.
E. ALAT PENGUMPULAN DATA
1. Alat Ukur
Menurut Sukmadinata (2010, h.230), instrumen penelitian
adalah berupa tes yang bersifat mengukur, karena berisi tentang
pertanyaan dan pernyataan yang alternative jawabannya memiliki
standard jawaban tertentu, benar salah maupun skala jawaban.Alat
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan
kuesioner yang diambil dengan data primer. Kuesioner yang
digunakan dalam hal ini adalah kuesioner tertutup yakni kuesioner
yang sudah disediakan jawabannya, sehingga responden tinggal
memilih dan menjawab secara langsung (Sugiyono, 2012, h.195).
Kuisioner ini dibagikan kepada responden terdiri dari identitas
responden meliputi nama anak, jenis kelamin, TTL, berat lahir,
nama ibu, jumlah anak, urutan anak,jarak kelahiran dan alamat.
Jenis kuisioner ini adalah pertanyaan tertutup dimana pada
pertanyaan tersebut diberikan jawaban pilihan dengan responden
memilih jawaban yang telah disediakan.

F. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA


Prosedur dalam pengumpulan data pada penelitian ini yaitu
menggunakan data primer. Menurut Sugiyono (2012, 139), data primer
adalah sumber data yang diperoleh secara langsung dari objek yang
diteliti. Pada penelitian ini, pengumpulan data melalui beberapa
tahapan yaitu :

19
1. Berkoordinasi dengan penanggung jawab surveilans puskesmas
untuk meminta data balita yang mengalami gizi kurang.
2. Datang ke posyandu yang ada balita gizi kurangnya yaitu ada 10
posyandu di Wilayah kerja Puskesmas Lomba Kasih untuk meminta
data gizi kurang bulan Agustus, kemudian setelah itu melakukan
kunjungan rumah door to door untuk membagikan kuesioner.
G. ANALISIS DATA
Dalam penelitian dilakukan analisis univariat.Analisis univariat
dilakukan bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian.Jenis analisa yang dilakukan
adalah analisa univariat.Yang dilakukan secara deskriptif, yaitu
menampilkan tabel frekuensi tentang karakteristik anak balita.Menurut
Sugiyono (2012, h.206) statistik deskriptif adalah statistik yang
digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa
bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau
generalisasi.
Hasil dari analisi univariat dalam penelitian ini adalah berbentuk
presentasi yang didapat dari rumus:
= %
Keterangan:
P= Persentase
X= Jumlah Kasus
N= Jumlah sampel

20
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN


1. Profil Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Puskesmas Lombakasih Kota Bombana


Sulawesi Tenggara. Puskesmas Lombakasih terletak dalam wilayah
Kecamatan Lantari Jaya merupakan suatu organisasi fungsional yang
berfungsi dalam pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina
peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan menyeluruh dan
terpadu melalui kegiatan pokok yang ada. Pelayanan kesehatan menyeluruh
yang dimaksud mencakup pelayanan Promotif (promosi kesehatan),
Preventif (upaya pencegahan), Kuratif (pengobatan), dan Rehabilitatif
(Pemulihan kesehatan). Sedang pelayanan kesehatan terpadu yang dimaksud
adalah mencakup pelayanan kesehatan dalam satu kecamatan terdiri dari
balai pengobatan, usaha Hygine Sanitasi Lingkungan, Pemberantasan
penyakit menular KIA dan sebagainya.

Profil Kesehatan Puskesmas Lombakasih ini merupakan salah satu


sarana untuk menggambarkan situasi dan kondisi kesehatan masyarakat serta
merupakan salah satu sarana untuk mengevaluasi hasil penyelenggaraan
pembangunan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Lombakasih. Visi
Puskesmas Lombakasih adalah “Mewujudkan Puskesmas Lombakasih
Sebagai Puskesmas Terbaik di Kabupaten Bombana”. Misi puskesmas
Lombakasih :

1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerja


Puskesmas Lombakasih.

21
2. Memberdayakan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan
kesehatan.

3. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu dan


merata.

2. Geografi

Kecamatan Lantari Jaya adalah salah satu kecamatan yang berada di


wilayah Kabupaten Bombana yang merupakan pemekaran dari Kecamatan
Rarowatu. Kantor Kecamatan Lantari Jaya bertempat di Desa Anugrah.
Kecamatan Lantari Jaya dapat dijangkau dengan kendaraan beroda dua dan
empat. Jarak dari ibukota kecamatan ke ibukota kabupaten adalah ± 25 Km
dan berjarak ± 140 Km dari ibukota provinsi.

Wilayah Kecamatan Lantari Jaya terdiri dari dataran rendah dan


perbukitan yang terbagi dalam 9 desa yaitu Desa Lantari, Anugrah, Pasare
Apua, Rarongkeu, Lombakasi, Kalaero, Langkowala, Watu-Watu dan
Tinabite. Desa terjauh yaitu Desa Tinabite yang berjarak ± 30 Km dari
ibukota Kecamatan Lantari Jaya dan susah dijangkau pada saat musim hujan.
Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Lantari Jaya adalah :

- Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Tiworo, Kec. Rumbia

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Mata Usu

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Tinanggea Kab. Konawe


Selatan

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Rarowatu Utara.

3. Kependudukan/Demografi

22
Jumlah penduduk di wilayah Kecamatan Lantari Jaya pada tahun 2012
sebanyak 7.520 jiwa yang terhimpun dalam 1.941 KK yang tersebar di 9
Desa. Adapun distribusi penduduk per desa disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 1
Distribusi Penduduk Wilayah Kecamatan Lantari Jaya

No Desa Jumlah KK Jumlah Jiwa


1. Lantari 254 1.149
2. Anugrah 231 967
3. Pasare Apua 155 707
4. Rarongkeu 195 830
5. Lombakasih 182 846
6. Kalaero 138 538
7. Langkowala 173 687
8. Watu – Watu 94 788
9. Tinabite 303 1.008
Jumlah 1.941 7.520
Sumber : Data Puskesmas 2012
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak di Desa
Lantari yaitu 1.149 jiwa dari 254 KK dan yang paling sedikit di Desa
Kalaero yaitu 538 jiwa yang terhimpun dalam 138 KK.

B. HASIL PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian karakteristik balita yang
menderita gizi kurang di Wilayah kerja Puskesmas Lomba Kasih tahun 2018.
Responden pada penelitian ini berjumlah 43 balita dan sampel pada penelitian
ini menggunakan teknik total sampling. Dimana karakteristik yang diteliti

23
meliputi usia, riwayat ASI Eksklusif, riwayat berat lahir, riwayat imunisasi,
jarak kelahiran dan pemberian vitamin A. Hasil penelitian ini disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi karakteristik balita yang menderita gizi kurang
di Wilayah kerja Puskesmas Lomba Kasih tahun 2018.

Tabel 5.1Distribusi Frekuensi Karakteristik Balita Yang Menderita Gizi Kurang di


Wilayah kerja Puskesmas Lomba Kasih tahun 2017.

No Karakteristik n %
1 Umur
a. 1-<3 tahun 18 41,86
b. 3-5 tahun 25 58,14
Jumlah 43 100

2 ASI Eksklusif
a. ASI Eksklusif 4 9,3
b. Tidak ASI Eksklusif 39 90,7
Jumlah 43 100

3 Berat Lahir
a. Kurang 8 19
b. Normal 35 81
c. Lebih 0 0
Jumlah 43 100
4 Imunisasi
a. Lengkap 39 90,7
b. Tidak Lengkap 4 9.3
Jumlah 43 100
5 Jarak Kelahiran
a. <2 tahun 1 2,33
b. ≥2 tahun 42 97,7
Jumlah 43 100
6 Pemberian Vitamin A
a. Mendapatkan 43 100
b. Tidak Mendapatkan 0 0
Jumlah 43 100
Sumber : data primer diolah, 2018
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa usia balita yang
menderita gizi kurang terdapat pada usia 1-<3 tahun berjumlah 18
responden (41,86%) dan pada usia 3-5 tahun yaitu sebanyak 25

24
balita (58,14%). Dilihat dari riwayat ASI Ekslusif sebagian besar
responden tidak mendapatkan ASI Ekslusif yaitu sebanyak 39
balita (90,7%). Sebanyak 39 responden (90,7%) telah
mendapatkan imunisasi lengkap. Tetapi dilihat dari berat badan
pada saat lahir sebagian besar responden mempunyai riwayat berat
badan normal (2500-4000 gram) yaitu sebanyak 34 balita (81%).
Sedangkan dilihat dari jarak kelahiran sebagian besar jarak
kelahiran terdekat dengan saudaranya yaitu ≥2 tahun sejumlah 42
responden (97,7%) dan seluruh responden yang mengalami gizi
kurang ternyata seluruhnya mendapatkan vitamin A yaitu 43
responden (100%).

C. PEMBAHASAN
1. Karakteristik Balita yang menderita Gizi Kurang berdasarkan Umur
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa distribusi frekuensi anak
balita yang mengalami gizi kurang berdasarkan usia tidak ada perbedaan
yang signifikan dimana pada usia 0 - <3 tahun balita yang menderita gizi
kurang yaitu sebanyak 18 responden (41,86%) dan usia 3-5 tahun yaitu 25
responden (58,14%). Hal ini mungkin disebabkan karena pada usia 3-5
tahun ini anak sudah menjadi konsumen aktif, mereka sudah dapat memilih
makanan yang disukainya seperti jajan sembarangan tanpa memperhatikan
jenis makanan yang dipilih dan kebersihan makanan tersebut. Kebersihan
makanan yang kurang dapat menyebabkan balita menjadi mudah sakit, jika
balita mengalami sakit maka dapat terjadi penurunan nafsu makan dan hal
itu bisa mengakibatkan kurangnya nutrisi yang masuk kedalam tubuh.
Pada usia ini juga balita mulai aktif bermain dengan teman sebayanya
sehingga membutuhkan nutrisi yang adekuat, apabila nutrisi yang masuk ke
dalam tubuh tidak seimbang dengan aktifitas balita maka hal ini juga akan
mempengaruhi status gizi balita dan dapat menyebabkan gizi kurang. Hal ini

25
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuntari, Jamil dan Kurniati
tahun 2013 di Kecamatan Kasihan, Bantul menunjukkan bahwa balita yang
berusia 1-3 tahun mempunyai peluang lebih besar mengalami gizi baik
dibandingkan dengan balita yang berusia 3-5 tahun.
Tidak hanya pada usia 3-5 tahun saja, pada penelitian ini juga terdapat
balita yang mengalami gizi kurang pada usia 0-<3 tahun. Hal ini mungkin
bisa disebabkan karena bayi tidak mendapatkan ASI Eksklusif.ASI
Eksklusif yaitu bayi hanya mendapatkan ASI saja tanpa ada tambahan
makanan dan minuman apapun.Bayi yang tidak diberi ASI Eksklusif, berarti
bayi tersebut tidak mempunyai nutrisi yang adekuat mulai dari bayi.
Sedangkan ASI sangat berperan penting dalam kebutuhan nutrisi anak,
meningkatkan daya tahan tubuh dan melindungi anak dari penyakit dan
infeksi, sehingga bayi ASI Eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit
dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI Eksklusif, hal ini juga
akan mempengaruhi status gizi balita. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Monica, Dewi dan Susilo (2014) di Puskesmas Cengkareng
menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian gizi kurang pada balita.
Pada usia 0-<3 tahun makanan yang didapatkan balita masih di kontrol
dan bergantung dengan orang tua. Tetapi pada kenyataannya masih ada yang
gizi kurang, hal ini mungkin disebabkan karena pola asuh orang tua yang
kurang baik, karena orang tua juga sebagai proses pemenuhan kebutuhan
anak dan memberikan perlindungan, apabila orangtua tidak memberikan
kebutuhan makanan yang bergizi dan bermutu maka balita akan kekurangan
nutrisi dan dapat menyebabkan gizi kurang.Hal ini sesuai dengan penelitian
Linda dan Dian (2011) di Tangerang menyatakan bahwa status gizi
dipengaruhi oleh pola asuh orang tua yang meliputi perhatian /dukungan ibu
terhadap anak dalam praktek pemberian makanan, rangsangan psikososial

26
dan perawatan kesehatan. Jika pola asuh anak di dalam keluarga sudah baik
maka status gizi akan baik juga.

2. Karakteristik Balita yang menderita Gizi Kurang berdasarkan Riwayat ASI


Eksklusif
Hasil penelitian menunjukan bahwa distribusi frekuensi anak balita yang
tidak ASI Eksklusif sebanyak 39 responden (90,7%). Hal ini menjelaskan
bahwa balita yang tidak diberikan ASI Ekslusif sangat rentan terhadap gizi
kurang dan memudahkan terjangkitnya penyakit infeksi akibat kurangnya
kekebalan tubuh yang didapatkan dari ASI Ekslusif.Hal ini merupakan
masalah yang cukup serius mengingat bahwa pola pemberian ASI Eksklusif
dan makanan pendamping ASI yang buruk merupakan salah satu penyebab
gangguan pertumbuhan pada balita.
Pemberian ASI Eksklusif merupakan salah satu upaya dalam
peningkatan gizi pada anak yang pada akhirnya akan berdampak pada
kualitas SDM. ASI mempengaruhi kejadian gizi kurang dikarenakan ASI
mengandung zat antibodi yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit
infeksi dan alergi sehingga balita yang tidak diberikan ASI Eksklusif akan
rentan terhadap penyakit dan akan berperan langsung terhadap status gizi
balita. Hal ini sesuai dengan teori dari WHO yaitu dalam upaya peningkatan
status gizi pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin, salah satunya
yaitu dengan pemberian ASI Eksklusif. Hal ini sesuai dengan penelitian Giri
tahun 2013 menunjukan bahwa ibu yang memberikan ASI eksklusif
memiliki balita dengan status gizi lebih baik dibandingkan dengan ibu yang
tidak memberikan ASI eksklusif dan disimpulkan bahwa ada hubungan
antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita dengan nilai p<
0,05.
Pada penelitian ini sebagian besar ibu sudah memberikan makanan
tambahan seperti madu, pisang dan bubur kepada balita pada saat usia<6

27
bulan. Pemberian makanan tambahan ini dilakukan karena ibu menganggap
bahwa bayi mereka rewel karena lapar dan makanan tambahan tersebut
dapat mengurangi rasa lapar bayi.Sebagian besar ibu balita juga
memberikan air putih kepada bayinya setelah mereka menyusui bayinya
pada saat baru dilahirkan, dan ada beberapa ibu yang memberikan madu
sebagai obat untuk bayi mereka.Hal ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan
ASI Eksklusif dimana seharusnya selama 6 bulan pertama bayi tidak
diberikan makanan atau minuman apapun kecuali ASI. Selain itu sebagian
besar ibu menganggap bahwa hanya diberikan air putih saja pada saat bayi
usia 0-6 bulan masih dikatakan ASI Eksklusif, hal ini bisa jadi disebabkan
oleh pengetahuan ibu yang kurang tentang pentingnya ASI Eksklusif.
Kurangnya pengetahuan ini bisa disebabkan karena pendidikan ibu yang
masih rendah sehingga pengetahuan tentang gizi kurang.Kurangnya
pengetahuan ibu tentang gizi ini yaitu dalam mengolah makanan, konsumsi
anak, keragaman bahan dan keragaman jenis masakan yang merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Untuk dapat
menyusun menu seseorang perlu memiliki pengetahuan mengenai bahan
makanan dan zat gizi, kebutuhan gizi seseorang serta pengetahuan tentang
cara pengolahannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyani (2015), yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang
gizi dengan status gizi balita. Hubungan tersebut merupakan hubungan
positif, artinya semakin baik tingkat pengetahuan ibu tentang gizi balita
maka akan semakin baik status gizi balita. Hal tersebut disebabkan semakin
baik tingkat pengetahuan tentang gizi balita, maka ibu akan semakin dapat
memberikan makanan dengan kandungan gizi yang dibutuhkan balita.
Selain itu juga ada 4 responden (9,3%) yang mendapatkan ASI Eksklusif
tapi responden tersebut mengalami gizi kurang. Hal ini dimungkinkan
karena faktor dari pola asuh orang tua terhadap anaknya karena pada usia
bayi ini segala makanan yang diterima oleh bayi masih bergantung kepada

28
apa yang di kasih oleh orang tuanya dalam hal ini memberikan Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) yang tidak tepat yaitu pemberian MP-ASI yang
terlambat. MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat
gizi yang diberikan kepada bayi atau anak yang berusia lebih dari 6 bulan
guna memenuhi kebutuhan zat gizi selain dari ASI (Notoatmodjo, 2007).
Hal ini dikarenakan ASI hanya mampu memenuhi duapertiga kebutuhan
bayi pada usia 6-9 bulan, dan pada usia 9-12 bulan memenuhi setengah dari
kebutuhan bayi (Priyatno, 2009). Sehingga apabila bayi tidak
mendapatkankan nutrisi (MP-ASI) dengan frekuensi, jenis, jumlah dan cara
pemberian makan yang kurang, maka dapat berpengaruh terhadap status
gizi. Hal ini sesuai dengan penelitian Lestari, Mahaputri U., et al., tahun
2012 tentang hubungan pemberian MP-ASI dengan status gizi anak usia 1-3
tahun menyatakan bahwa ada hubungan antara pemberian MP-ASI dengan
status gizi balita dimana dalam hal ini status gizi tidak hanya dipengaruhi
dari jenis MP-ASI, tetapi juga oleh frekuensi dan cara pemberian makanan
yang baik.
3. Karakteristik Balita yang menderita Gizi Kurang berdasarkan Riwayat
Berat Lahir
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa ternyata balita yang
menderita gizi kurang mempunyai riwayat berat lahir normal (2500-
4000 gram) yaitu sebanyak 35 responden (81%). Sedangkan secara teori
bayi yang lahir dengan berat badan normal mempunyai peluang lebih
besar untuk mendapatkan gizi yang baik dan risiko untuk mengalami
gizi kurang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan
berat badan rendah. Hal ini mungkin pada fase setelah kelahiran bayi
tidak mendapatkan nutrisi yang adekuat dimana nutrisi yang dibutuhkan
yaitu ASI Eksklusif. Karena pada saat bayi usia<6 bulan kebutuhan
nutrisi bayi didapatkan dari ASI ibu tanpa makanan dan minuman
tambahan apapun, sehingga apabila nutrisi tersebut tidak terpenuhi maka

29
dapat mempengaruhi status gizi dan menyebabkan gizi kurang. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rasyid, Mayulu dan
Kandou 2015 di puskesmas Gambesi kota Ternate menunjukan bahwa
ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi balita
yang menjelaskan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
mengalami gizi kurang sebanyak 63.8%.
Hal lain yang mungkin dapat menyebabkan balita mengalami gizi
kurang yaitu orang tua terutama ibu yang belum mengerti tentang
pentingnya asupan zat gizi pada anak balita, hal ini mungkin karena
faktor pengetahuan ibu yang kurang. Karena pengetahuan yang dimiliki
ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga, dan
kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi dapat menyebabkan
keanekaragaman makanan yang kurang sehingga ini dapat menyebabkan
nutrisi yang diberikan untuk anak tidak terpenuhi dan menyebabkan gizi
kurang.Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati
(2013), menyatakan bahwa faktor pengetahuan dan sikap ibu dalam
pemberian makan anak sangat berhubungan dengan status gizi kurang
balita.
Pada penelitian ini terdapat 8 responden (19%) yang mempunyai
riwayat berat badan lahir rendah (<2500 gram). Bayi yang BBLR
menandakan kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi dan berisiko lebih
tinggi terhadap kematian bayi, penyakit kronis pada usia dewasa,
keterlambatan mental dan pertumbuhan yang lambat karena kondisi
kekurangan gizi yang berisiko mengakibatkan balita menderita KEP.
Pada BBLR zat antibodi kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena
penyakit.Penyakit ini menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga
asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh menjadi berkurang dan
dapat menyebabkan gizi kurang bahkan bisa menyebabkan gizi buruk.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuntari, Jamil, dan

30
Kurniati tahun 2013 menemukan anak dengan berat lahir sama atau
lebih dari 2500 gram berisiko seperlima kali lebih kecil untuk
mengalami malnutrisi dibandingkan anak dengan berat lahir kurang dari
2500 gram.

4. Karakteristik Balita yang menderita Gizi Kurang berdasarkan Riwayat


Imunisasi
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar imunisasinya
lengkap (79%) tetapi masih ada balita yang tidak melaksanakan
imunisasi secara lengkap (21%).Balita yang telah mendapatkan
imunisasi lengkap diharapkan terhindar dari penyakit infeksi yang
merupakan komplikasi penyakit yang paling sering terjadi pada anak
balita.Oleh karena itu imunisasi sangat penting membantu pencegahan
terjadinya penyakit infeksi pneumonia. Tujuan imunisasi adalah
mencegah penyakit dan kematian balita yang disebabkan oleh wabah
yang sering terjangkit, artinya anak balita yang telah mendapatkan
imunisasi sesuai umurnya otomatis sudah memiliki kekebalan terhadap
penyakit seperti Tuberculosis, Difteri, Pertusis (batuk rejan), Tetanus,
Campak, Polio dan Hepatitis B. Hal ini tentu akan mempengaruhi status
gizi balita, balita yang imunisasinya lengkap akan jarang sakit sehingga
nutrisi yang diberikan bisa terserap dengan baik dan gizinya lebih baik.
Pada penelitian ini sebagian besar imunisasinya lengkap tetapi masih
ada balita yang menderita gizi kurang, kemungkinan ada faktor lain
seperti sanitasi lingkungan yang kurang baik seperti kondisi lingkungan
yang tercemar, air minum yang tidak bersih, tidak ada penampungan air
limbah dan tidak mempunyai jamban yang benar maka hal ini akan
menyebabkan penyebaran penyakit. Walaupun imunisasinya lengkap
tetapi perilaku hidup bersih dan sehatnya yang kurang maka tetap rentan
terhadap suatu penyakit infeksi, penyakit infeksi inilah yang bisa

31
menyebabkan balita kehilangan nafsu makan dan akibatnya balita dapat
mengalami kekurangan gizi. Hal ini sesuai dengan penelitian Hidayat
dan Fuada (2011), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara sanitasi lingkungan sehat dengan status gizi anak balita
berdasarkan indikator BB/U. Balita yang tumbuh di lingkungan tidak
sehat berpeluang satu kali lebih besar akan mengalami status gizi buruk
dibandingkan dengan balita yang normal atau berstatus gizi baik.
Namun ada 4 responden (9,3%) yang tidak mendapatkan imunisasi
lengkap, dimana imunisasi sangat penting bagi kekebalan tubuh anak.
Balita yang imunisasinya lengkap akan lebih sehat dan jarang sakit
sehingga pertumbuhan dan perkembangannya sesuai. Karena pada usia
balita ini pertumbuhan dan perkembangannya sangat cepat sehingga jika
balita mengalami sakit maka tentu akan berpengaruh terhadap nutrisi
yang masuk kedalam tubuh akan kurang akibat terjadi penurunan nafsu
makan dan bisa mempengaruhi status gizi balita. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ameliatahun 2014 menunjukkan bahwa
anak balita yang mengalami gizi kurang sebagian besar status
imunisasinya tidak lengkap, sementara itu untuk status gizi baik
terbanyak pada balita dengan status imunisasi lengkap.

5. Karakteristik Balita yang menderita Gizi Kurang berdasarkan Jarak


Kelahiran
Hasil penelitian menunjukan bahwa hampir seluruh responden yaitu
42 responden (97,7%) jarak kelahiran terdekat dengan saudaranya yaitu
≥2 tahun. Namun ada 10 responden yang merupakan anak pertama
sehingga dalam penelitian ini untuk menentukan jarak kelahiran bisa
dilihat dari usia balita yang sekarang, jika usianya lebih dari 24 bulan
atau mendekati 24 bulan dan seluruh ibu dari 10 responden ini tidak ada
yang sedang hamil sehingga dimasukkan kedalam kategori ≥2 tahun.

32
Dilihat dari datanya jarak kelahiran dengan saudara terdekat sudah baik
yaitu ≥2 tahun, tetapi masih banyak yang mengalami gizi kurang, hal ini
kemungkinan disebabkan karena kurangnya asupan makanan akibat dari
rendahnya ekonomi keluarga. Karena mungkin sebagian besar pekerjaan
ibu sebagai ibu rumah tangga dan ibu mengatakan bahwa suami mereka
hanya buruh harian lepas dan sebagian besar petani yang mempunyai
pendapatan pas-pasan untuk makan saja, sehingga makanan yang
dikonsumsi balita sehari-hari gizinya kurang terpenuhi.Hal ini mungkin
disebabkan karena rendahnya ekonomi keluarga yang akan berdampak
pada rendahnya daya beli dalam hal ini makanan pada keluarga tersebut.
Jika kualitas dan kuantitas konsumsi pangan tidak dapat terpenuhi
dengan baik, maka dapat menyebabkan kekurangan gizi pada anak
balita.Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Novitasari
(2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
faktor sosial ekonomi keluarga dengan kejadian gizi buruk pada balita.
Namun ada 1 reponden yang mengalami gizi kurang yaitu jarak
kelahiran dengan saudara terdekatnya <2 tahun. Pada jarak kelahiran <2
tahun mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami gizi kurang sesuai
dengan penelitian The Demographic and Health Survey, menyebutkan
bahwa anak-anak yang dilahirkan 2-5 tahun setelah kelahiran anak
sebelumnya, memiliki kemungkinan hidup sehat 2,5 kali lebih tinggi
daripada yang berjarak kelahiran kurang dari 2 tahun, maka jarak
kehamilan yang aman adalah 2-5 tahun (Yolan, 2007).

6. Karakteristik Balita yang menderita Gizi Kurang berdasarkan Pemberian


Vitamin A
Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh balita sudah
mendapatkan vitamin A (100%) sehingga program pemerintah sudah
dilaksanakan yaitu dua kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Februari

33
dan Agustus.Fungsi vitamin A yaitu untuk proses pembentukan dan
pertumbuhan sel darah merah, sel limfosit, sehingga berperan dalam
sistem kekebalan tubuh. KVA merupakan suatu ganguan yang
disebabkan karena kurangnya asupan vitamin A dalam tubuh.KVA dapat
mengakibatkan kebutaan, mengurangi daya tahan tubuh sehingga mudah
terserang infeksi, yang sering menyebabkan kematian khususnya pada
anak-anak.
Akan tetapi walaupun pemberian vitamin A sudah 100%, masih
banyak balita yang menderita gizi kurang.Hal ini dikarenakan responden
yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif, dimana ASI mengandung
berbagai zat gizi yang lengkap dalam jumlah sesuai kebutuhan, sebagai
antibodi untuk pertahanan tubuh dari berbagai penyakit infeksi. ASI
diberikan sampai usia enam bulan sehingga bayi tidak perlu diberi
makanan atau minuman selain ASI. Jika bayi tidak mendapatkan ASI
Eksklusif maka balita mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami
gizi kurang di bandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI
Eksklusif.Hal ini sesuai dengan WHO yang merekomendasikan bahwa
bayi seharusnya diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Hal ini juga
sesuai dengan penelitian Widyastuti, Endang (2007) menyatakan bahwa
ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita.
Dimana ibu yang memberikan ASI Eksklusif akan semakin baik status
gizi balitanya dari pada ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif
kepada balita yang berusia 6 – 24 bulan.

34
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Balita yang menderita gizi kurang berdasarkan umur terbanyak
pada usia 3-5 tahun yaitu sebanyak 25 responden (58,14%).
2. Balita yang menderita gizi kurang sebagian besar responden
tidak mendapatkan ASI Eksklusif selama 6 bulan yaitu
sebanyak 39 responden (90,7%).
3. Balita yang menderita gizi kurang sebagian besar memiliki
riwayat dengan berat badan lahir normal sebanyak 35
responden (81%).
4. Balita yang mengalami gizi kurang sebagian besar
imunisasinya lengkap yaitu sebanyak 39 responden (90,7%).
5. Balita yang menderita gizi kurang dilihat dari jarak kelahiran
dengan saudara terdekatnya terbanyak pada jarak kelahiran ≥2
tahun dengan jumlah 42 responden (97,7%).
6. Balita yang menderita gizi kurang seluruhnya telah
mendapatkan vitamin A yaitu 43 responden (100%).

B. SARAN
1. Bagi Orangtua
Orang tua diharapkan untuk memberikan ASI Eksklusif
pada saat bayi <6 bulan dan memberikan pola asuh yang baik
kepada anaknya dengan memberikan makanan yang beragam
dan bergizi.
2. Bagi Tenaga Kesehatan

35
Dengan adanya penelitian ini diharapkan tenaga kesehatan
untuk memberikan pendidikan kesehatan tentang gizi balita
dan memotivasi ibu untuk memberikan ASI Eksklusif.
3. Bagi Pemerintah Kabupaten Bombana
Pemerintah setempat diharapkan bisa menggerakan
masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan seperti
mengadakan kerjabakti yang terjadwal dan menyediakan
tempat pembuangan limbah sehingga masyarakat tidak
sembarangan dalam membuang sampah yang bisa mengganggu
pencemaran air dan lingkungan.Serta dapat menggerakan kader
kesehatan untuk memotivasi masyarakat untuk lebih peduli
terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
4. Peneliti Selanjutnya
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi gizi kurang pada balita
sehingga mampu mengatasi terjadinya gizi kurang.

36
DAFTAR PUSTAKA

Agudelo, 2007, Resiko Jarak Kehamilan Terlalu Dekat, Bibilung, Jakarta.


Arisman, 2010, Gizi Dalam Daur Kehidupan, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Baculu, Eka P.H., Juffrie, M., dan Helmyati, Siti, 2015, Faktor risiko gizi
buruk pada balita di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi
Tengah, Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI, 2011, Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak, Direktorat Bina Gizi, Jakarta.
Eveline, dan Djamaludin, N., 2010, Panduan Pintar Merawat Bayi dan
Balita, Wahyu Media, Jakarta.
Giri, Kurnia W., 2013, Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Status
Gizi Balita Usia 6-24 Bulan di Kampung Kajanan, Buleleng, Jurnal
sains dan teknologi.
Hakim, M.A., Pemberian MP-ASI dan Status Gizi Bayi Usia 6-24 Bulan
Berdasarkan Indeks BB/U di Desa Ban Kecamatan Kubu tahun
2014, Skripsi, Jurusan Dokter Universitas Udanaya, Bali.
Jitowiyono dan Weni, 2010, Berat Badan Lahir,
http://digilib.unimus.ac.id/
Kementerian Kesehatan RI, 2011, Penggunaan Kartu Menuju Sehat
(KMS), Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2013, Penyelenggaraan Imunisasi,
pppl.depkes.go.id/.
Kementerian Kesehatan RI, 2013, Profil Kesehatan Indonesia, diakses
dari http://www.depkes.go.id/.
Kementerian Kesehatan RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar.
www.depkes.go.id/.

37
Kementerian Kesehatan RI, 2014, Pusat Data dan Informasi,
http://www.depkes.go.id.
Kementerian Kesehatan RI, 2016, INFODATIN Situasi Imunisasi di
Indonesia, http://www.depkes.go.id/
Kuntari T., Jamil N.A., dan Kurniati O., 2013, Faktor Risiko Malnutrisi
pada Balita, Jurnal Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Linda dan Dian, 2011, Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan Orangtua
serta Pola Asuh dengan Status Gizi Balita di Kota Dan Kabupaten
Tangerang, Banten,Jurnal Kesehatan Masyarakat FIKES
UHAMKA.
Monica, R.L., Dewi L., dan Susilo W.H., 2014, Faktor – Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Gizi Kurang Pada Balita di
Puskesmas Kecamatan Cengkareng, Program Studi S1 Keperawatan
Jalur A Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus, Jakarta.
Nency dan Arifin, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Gizi
Kurang/Buruk pada Balita, journal.mercubaktijaya.ac.id/
Ngaisyah, Dewi, 2016, Hubungan Riwayat Lahir Stunting dan BBLR
dengan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun di Potorono,
Laporan hasil Penelitian,Universitas Respati Yogyakarta,
Yogyakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka
Cipta, Jakarta.
Nurjanah, Nunung dan Septiani, Tiara Dewi, 2013, Hubungan Jarak
Kelahiran Dan Jumlah Balita Dengan Status Gizi Di Rw 07 Wilayah
Kerja Puskesmas Cijerah Kota Bandung.Jurnal Keperawatan Anak.
Rasyid R., Mayulu, N., dan Kandou, G.D., 2015, Hubungan Karakteristik
Balita, Penyakit Infeksi Dengan Status Gizi Pada Anak Balita Di

38
Wilayah Kerja Puskesmas Gambesi Kota Ternate, Jurnal
Kesehatan MasyarakatUniversitas Sam Ratulangi.
Septikasari M, Akhyar M, Wiboworini B, 2016, Effect of Gestational
Biological, Social, Economic Factors on Undernutrition in Infants 6-
12 Months in Cilacap, Indonesian Journal of Medicine 1(3):183-193
Setiarini, 2007, Evaluasi dan Intervensi Program Gizi, Departemen
Kesehatan Gizi Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok.
Sugiyono, 2012, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,
Alfabeta, Bandung.
UNICEF Indonesia, 2013, Laporan Tahunan Indonesia,
https://www.unicef.org/, diakses 08 Februari 2017.
Wahyuni, Renika S., 2012, Hubungan Kelengkapan Imunisasi dan
Pemberian Vitamin A Dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Titi
Rantai dan Kelurahan Babura, Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Medan.
Widyastuti, Endang,2007,Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan
Orangtua serta Pola Asuh dengan Status Gizi Balita di Kota Dan
Kabupaten Tangerang, Banten,Tesis, Universitas Indonesia.
World Health Organization (WHO), 2011, Dalam penelitian tentang
Gambaran Faktor-Faktor Ibu yang Tidak Memberikan ASI
Eksklusif di Desa Cepokosawit Kabupaten Boyolali.
Yolan, 2007, Perencanaan Kehamilan yang Aman,
Zulfita, 2013, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Kurang
dan Gizi Buruk pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Air
Dingin Kota Padang Tahun 2013, Skripsi Ilmiah, Padang.

39

Anda mungkin juga menyukai