Anda di halaman 1dari 18

REFLEKSI KASUS

APPENDISITIS

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit
Bethesda Program Pendidikan Dokter Tahap Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Duta Wacana

Disusun oleh:

Yosephine Aemelia Sherry Simbolon (42220604)

Dosen Pembimbing Klinik:

dr. Hariatmoko, Sp. B, FINACS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT BETHESDA LEMPUYANGWANGI

PERIODE 24 APRIL 2023 – 13 MEI 2023

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2023
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. BB
No. RM : 0065XXXX
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 2 Agustus 2005
Usia : 17 tahun
Alamat : Warungboto, Umbulharjo
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal MRS : 23 April 2023
Tanggal periksa : 26 April 2023
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Bethesda Lempuyangwangi pada tanggal 23
April 2023 dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari yang lalu (21
April 2023). Pasien mengatakan nyeri dari awal dari perut kanan bawah dan
memburuk ketika pasien berjalan. Jika berdiri atau berjalan pasien harus
membungkuk dan memegangi perutnya. Pasien merasa badan terasa demam
hilang timbul, tetapi belum memeriksa suhu sendiri. Pasien tidak mengeluhkan
mual dan muntah. Pasien mengatakan beberapa hari terakhir BAK lebih sering
dan kadang terasa panas. 5 hari sebelum keluhan dirasakan, pasien mengaku
tidak bisa BAB karena tinja terasa keras. Riwayat menstruasi terakhir awal
bulan April. Mestruasi teratur dan umumnya terasa nyeri tetapi masih dapat
ditahan. Pemeriksaan di IGD didapatkan McBurney’s sign (+), Psoas Sign (+).
Post operasi appendektomi, mengeluhkan nyeri bagian perut kanan
bawah di luka operasi tetapi nyeri sudah jauh berkurang dibandingkan sebelum
operasi. Pasien tidak mengeluhkan mual, muntah atau pusing. Pasien sudah
kentut, BAK dan makan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
• Keluhan serupa : Disangkal
• Hipertensi : Disangkal
• Asma : Disangkal
• Jantung : Disangkal
• Diabetes Mellitus : (+)
• Dislipidemia : Disangkal
• Alergi : Disangkal
• Trauma : Disangkal
• Riwayat Operasi : Disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
• Jantung : Disangkal
• Diabetes Mellitus : Ya, ayah dan ibu
• Keganasan : Disangkal
• Asma : Disangkal
• Hipertensi : Disangkal
• Alergi : Disangkal
e. Riwayat Pengobatan : Disangkal
f. Lifestyle
• Rokok : Ya, 1 bungkus/hari
• Alkohol : Ya, 1-2 kali/bulan
• NAPZA : Disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan Umum : tampak lemah.
• Tanda vital
o Tekanan darah : 77/53 mmHg
o Nadi : 88x/menit
o Respirasi : 20x/menit
o Suhu : 36,7ºC
o SpO2 : 98% dengan nasal kanul 3 lpm
Status Generalis
• Kepala : normocephalic.
• Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), mata
cekung (-), pupil isokor (2m), refleks pupil (+/+).
• Hidung : simetris, nafas cuping hidung (-), discharge (-).
• Mulut : sianosis (-), bibir kering (-).
• Thorax
o Paru
▪ Inspeksi : simetris, ketertinggalan gerak (-) , jejas (-),
penggunaan otot bantu nafas (-).
▪ Palpasi : nyeri tekan (-/-), ketertinggalan gerak (-),
fremitus (+/+).
▪ Perkusi : sonor (+/+).
▪ Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
o Jantung
▪ Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
▪ Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula
sinistra.
▪ Perkusi : batas jantung dalam batas normal.
▪ Auskultasi : S1S2 reguler, suara tambahan (-).
• Abdomen
o Inspeksi : sejajar dinding dada, jejas (-), luka bekas operasi
(+) di kuadran kanan bawah.
o Auskultasi : bising usus (+).
o Perkusi : timpani di semua regio.
o Palpasi : nyeri tekan (+) di kuadran kanan bawah (luka
post operasi), supel, hepatomegali (-).
• Ekstremitas
o Atas : akral hangat, CRT <2 detik.
o Bawah : akral hangat, CRT <2 detik.
IV. DIAGNOSIS BANDING
• Appendisitis akut
• Infeksi Saluran Kemih
• Kehamilan Ektopik Terganggu
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah Lengkap (23 April 2023)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 12.0 12 – 16 g/dL
Eritrosit 4.72 4.2-5.4 jt/mm3
Leukosit 7.01 4.5-11 rb/mm3
Neutrofil 73.2 (H) 50.0-70.0%
Limfosit 17.8 (L) 22.0-44.0%
Monosit 8.4 2.0-8.0%
Eosinofil 0.3 2.0-4.0%
Basofil 0.3 0.00-1.00
NLR 4.1 (H) <3.13
Hematokrit 35.1 36-48%
MCV 74.4 80.0-99.0 fL
MCH 25.4 27.0-32.0 pg
MCHC 34.2 32.0-36.0 g/dL
Trombosit 291 150-450 rb/mm3
GDS 432 70-140 mg/dL

2. Pemeriksaan Kimia Darah (24 April 2023)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Amilase 56.8 25.0-125.0 U/L
Lipase 11.9 8.0-78 U/L

3. Pemeriksaan Urin Lengkap (23 April 2023)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih
Berat Jenis 1.010 1.005-1.030
pH 5.0 5.0-8.0
Protein Negatif Negatif
Reduksi 4+ (1000 mg/dl) Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilin 0,1 EU/dl 0,1-1,0 EU/dl
Keton 1+ (15 mg/dl) Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Blood Trace (10 ery/uL) Negatif
Leukosit Esterase Negatif Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 0-2 sel/LPB Negatif
Leukosit 2+ : 5-9 sel/LPB Negatif
Epitel 1+ : ≤ 4 sel/LPB Negatif
Silinder Granula Negatif Negatif
Kristal Triple Posphate Negatif Negatif
Kristal Ca Oxalat Negatif Negatif
Lain-lain Bakteri: 3+ : Negatif
penuh/LPK

4. Plano Test
Pemeriksaan Hasil
PP Test Negatif

5. Xray Thorax Sebelum WSD (24 Maret 2023)

Kesan:
Tak tampak abnormalitas pada pulmo.
Tak tampak cardiomegaly.
6. USG

Pancreas: kontur normal, tidak nyeri tekan.


Hepar: kontur normal, normoekoik, lancip, tidak nyeri tekan, ekoik vena porta
dan hepatika dalam batas normal, tak tampak lesi nodul.
Vesica fellea: kontur normal, mukosa reguler, tidak nyeri tekan.
Lien: kontur dN ekogenitas normal.
Ren: kanan dan kiri terukur normal, capsul reguler, sinus renalis tidak split,
ekogenigas korteks dan medulla baik, deferensiasi tegas.
Vesica urinaria: dengan urin cukup, mukosa menebal.
Uterus: uterus antefleksi, normoekoik. Dekat fundus tampak massa kistik 3x3
cm, tidak nyeri tekan.
Mc Burney: nyeri tekan ringan, lesi target tidak tervisualisasi tegas.
Kesan Ro:
Sonoanatomis hepar, VF, pancreas, lien, kedua renal dan uterus dalam batas
normal.
Obs kista ovarium simpel.
Nyeri tekan Mc Burney ringan, inflamasi tidak prominen lagi.
Dd – appendisitis kronis.
VI. DIAGNOSIS
• Primer : Appendisitis akut.
• Sekunder : Infeksi saluran kemih, kista ovarium.
VII. TATALAKSANA
• Infus NaCl 20 tpm
• Injeksi Omeprazole 2x1 vial IV
• Injeksi Ondansetron 2x1 amp IV
• Injeksi Ketorolac 3x1 amp IV
• Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
• Memuasakan pasien untuk persiapan operasi.
VIII. EDUKASI
• Menyampaikan pada pasien dan keluarganya terkait kondisi yang dialami,
yaitu terjadi inflamasi atau peradangan pada appendix sehingga
menimbulkan nyeri pada perut bagian kanan bawah.
• Menginformasikan pada pasien dan keluarganya mengenai perlunya
tindakan operasi untuk mengambil appendix agar proses peradangan tidak
terus berlanjut yang dapat menyebabkan perforasi appendix atau pecahnya
appendix. Perlu diinformasikan pula bila perforasi terjadi dapat
menyebabkan peritonitis (radang pada selaput perut) dan bila tidak
ditangani dapat menyebabkan sepsis hingga kematian.
• Menginformasikan bahwa obat-obatan yang diberikan di IGD untuk
menangani gejala sementara dan belum mengatasi penyebab gejala.
IX. PROGNOSIS
• Ad Vitam : Bonam
• Ad Fungsionam : Bonam
• Ad Sanationam : Bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Appendisitis adalah inflamasi pada lapisan dalam apendiks vermiformis.
Appendisitis adalah salah satu contoh kasus akut abdomen yang paling sering terjadi
dan memerlukan penanganan emergency. Gejala apendisitis biasanya muncul dalam 24
jam pertama, tetapi dapat pula terjadi secara kronis. Gejala klasik appendisitis biasanya
diawali dari nyeri perut generalisata atau disekitar umbilikus (periumbilikus) yang
lama-kelamaan akan terlokalisasi pada perut kuadran kanan bawah.
Fungsi dari apendiks masih belum terlalu jelas. Terdapat beberapa teori terkait
fungsi dari apendiks yaitu organ ini memiliki fungsi imunoprotektif dan berperan
sebagai organ limfoid (terutama pada anak-anak) serta menampung bakteri kolon baik.
Tetapi terdapat argumen yang mengatakan apendiks adalah sisa dari perkembangan dan
tidak memiliki fungsi terhadap tubuh.
B. ANATOMI
Apendiks adalah organ berongga yang berada di ujung caecum, umumnya
berada di kuadran kanan bawah abdomen. Meskipun begitu, apendiks dapat berada di
bagian manapun pada abdomen, terutama bila terjadi abnormalitas pada perkembangan
misalnya malrotasi pada midgut, atau karena kondisi tertentu misalnya kehamilan atau
adanya riwayat operasi pada abdomen. Panjang apendiks rata-rata 8-10 cm (berkisar
antara 2-20 cm). Lumen apendiks sempit di bagian proksimal dan lebar di bagian distal.
Apendiks dapat bergerak dan ruang geraknya tergantung dari panjang mesoapendiks
penggantungnya. 65% kasus, apendiks berada di intraperitoneal dan selebihnya di
retroperitoneal (di belakang caecum, di belakang colon asendens atau di tepi lateral
colon asendens). Posisi dari apendiks ini menentukan gejala klinis yang timbul.

Gambar 1. Variasi Posisi Apendiks


Apendiks berkembang saat embrio berusia 5 minggu dan mengalami rotasi
eksternal ke arah umbilical cord, kembali ke abdomen dan berotasi dengan caecum.
Proses ini menyebabkan apendiks berada di retrosekal.
Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti A. Mesenterika superior dan A. Apendikularis. Persarafan simpatis apendiks
berasal dari nervus thorakalis X. Hal ini menyebabkan nyeri visceral pada appendisitis
diawali di sekitar umbilikus. Vaskularisasi apendiks berasal dari A. Apendikularis yang
tidak memiliki kolateral sehingga ketika ada sumbatan pada arteri ini (misalnya
trombosis karena infeksi) dapat menyebabkan gangrene pada apendiks.

Gambar 2. Vaskularisasi apendiks dan posisi apendiks. (1) A. Ileokolika cabang A.


Mesenterika superior (2) Ileum terminal (3) A. Apendikularis di retroperitoneum (4) A.
Apendikularis di mesoapendiks (5) Ujung apendiks di posisi pelvika (6) Ruang gerak
apendiks di intraperitoneal (7) Caecum (8) Apendiks posisi retrosekal (9) Pertemuan 3
taeniae menunjukkan pangkal apendiks

C. FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Normalnya lendir
akan dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks kemungkinan berperan pada patogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tisme)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin
ini sangat efektif berperan sebagai pelindung terhadap infeksi. Meskipun demikian,
pengangkatan apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan
limfe pada organ ini sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh.
D. ETIOPATOGENESIS
Penyebab appendisitis akut biasanya karena adanya obstruksi pada lumen
apendiks. Obstruksi dapat disebabkan karena adanya appendicolith (batu pada
apendiks), tumor pada apendiks (tumor carcinoid), adenokarsinoma, parasit usus dan
jaringan limfatik yang mengalami hipertrofi. Ketika lumen apendiks mengalami
obstruksi, bakteri berkembang dan menimbulkan respon inflamasi akut hingga
terbentuk abses. Bakteri yang ditemukan di apendiks dapat berupa bakteri aerobik dan
anaerobik seperti Escherichia coli dan Bacteroides spp.
Obstruksi yang terjadi menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
intramural, sehingga pembuluh darah kecil mengalami oklusi dan aliran limfatik
mengalami stasis. Mukus yang terus diproduksi sehingga menumpuk pada apendiks
yang mengalami obstruksi, menyebabkan distensi yang menekan pembuluh darah dan
limfatik. Akibatnya, dinding apendiks menjadi iskemik dan nekrosis. Jika inflamasi dan
nekrosis terus berlanjut, apendiks berisiko mengalami perforasi hingga peritonitis.
Kurangnya asupan serat juga diasumsikan menyebabkan appendisitis.
Kekurangan serat menyebabkan feses menjadi lebih keras dan meningkatkan waktu
transit enterik, sehingga menghasilkan lebih banyak fekalit dan meningkatkan risiko
appendisitis.
E. MANIFESTASI KLINIS
Apendisitis akut sering muncul dengan presentasi klinis khas yang didasari oleh
terjadinya peradangan mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, baik
dengan atau tanpa rangsangan peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis adalah nyeri
tumpul, yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Apabila apendiks menjadi lebih meradang dan peritoneum parietal teriritasi, maka nyeri
akan menjadi lebih terlokalisir di kuadran kanan bawah (di titik McBurney) dalam
beberapa jam. Pada keadaan ini, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya,
yang merupakan nyeri somatik setempat. Keluhan ini sering disertai demam, mual dan
kadang muntah, malaise, serta berkurangnya nafsu makan.
Bila terdapat rangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh rasa nyeri
perut hingga membangunkan pasien dari tidurnya. Apabila apendiks terletak retrosekal
atau retroperitoneal, maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak
ada tanda rangsangan peritoneal karena apendiks terlindungi oleh sekum. Rasa nyeri
lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena adanya
kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Nyeri pada ekstensi pasif kaki
kanan dengan pasien dalam posisi dekubitus lateral kiri dikenal sebagai Psoas sign.
Manuver ini akan meregangkan otot utama psoas yang dapat teriritasi oleh peradangan
apendiks retrosekal. Selain itu jika appendiks merangsang bagian kandung kemih, maka
bisa terjadi peningkatan frekuensi kencing. Pada anak-anak sering kali gejala yang
muncul tidak khas, biasanya hanya berupa rewel dan tidak mau makan, kemudian bisa
muncul muntah yang bisa menyebabkan letargi dan lemah, sehingga biasanya pada bayi
sering terdiagnosis ketika sudah terjadi perforasi.
Biasanya manifestasi klinis appendicitis dapat dipastikan berdasarkan Alvarado
Score. Alvarado Score memiliki sensitivitas 99% namun tidak akurat dalam
membedakan appendisitis dengan komplikasi dan appendisitis tanpa komplikasi. Paling
banyak digunakan untuk orang dewasa dan kurang akurat untuk anak-anak.
Peniliaiannya meliputi:

Interpretasi hasil:
• Skor <3 resiko rendah→ kemungkinan appendisitis rendah
• Skor 4-6 resiko sedang → butuh pertimbangan lebih lanjut untuk dilakukan
pencitraan
• Skor >7 resiko tinggi → kemungkinan appendisitis tinggi

F. DIAGNOSIS
Anamnesis
Umumnya, gejala appendisitis bermula dari daerah periumhilical yang kemudian
terlokalisasi ke kuadran kanan bawah abdomen. Nyeri generalisata ini terjadi karena
serabut saraf aferen setinggi T8-T10 terstimulasi dan ketika apendiks semakin
terinflamasi dan peritoneum parietal teriritasi, nyeri menjadi lebih terlokalisasi pada
kuadran kanan bawah abdomen. Beberapa gejala lain yang dapat menyertai antara lain:
• Anorexia atau penurunan nafsu makan
• Demam (40% kasus)
• Diare
• Malaise
• Gangguan berkemih (frekuensi dan urgensi)
Gejala yang jarang ditemukan adalah nyeri perut hingga membangunkan pasien, nyeri
ketika batuk dan ketika berjalan.
Waktu timbulnya gejala bervariasi, tetapi gejala awal appendisitis muncul pada 12-24 jam
dan setelah lebih dari 48 jam dapat terjadi perforasi. 75% pasien, datang setelah 24 jam sejak
onset gejala muncul. Risiko apendiks mengalami ruptur adalah 2% setelah 36 jam dari onset
dan meningkat 5% setiap 12 jam setelahnya.
Pemeriksaan Fisik
Pada appendisitis fase awal, gejala yang ditemukan mungkin tidak spesifik. Ketika
inflamasi terus berjalan, tanda inflamasi pada peritoneum muncul. Tanda peritoneal:
• Nyeri tekan dan rebound tenderness pada titik McBurney’s (1.5-2 inci dari
SIAS ke umbilikus)
• Rovsing sign: nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen ketika dilakukan
palpasi pada kuadran kiri bawah abdomen.
• Dunphy’s sign: peningkatan nyeri pada abdomen ketika batuk.
• Psoas sign: nyeri yang timbul ketika dilakukan rotasi eksternal atau ekstensi
pasif dari panggul kanan. Psoas sign yang positif diperkirakan apendiks berada
di retrosekal.
• Obturator sign: nyeri yang timbul ketika dilakukan rotasi internal panggul
kanan. Obturator sign yang positif diperkirakan apendiks berada pada posisi
pelvis.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan darah lengkap
Pada pemeriksaan darah lengkap dilihat jumlah total leukosit, persentase
neutrofil dan CRP sebagai salah satu komponen diagnostik untuk
menegalkan diagnosis appendisitis akut. Leukositosis dengan atau tanpa
shift to the left umumnya ditemukan, meskipun pada 1/3 kasus jumlah
leukosit tidak meningkat. Jumlah leukosit total dan kadar CRP memiliki
nilai prediktif untuk memperkirakan apakah appendisitis terinflamasi, tidak
mengalami komplikasi ataupun mengalami komplikasi. Bila didapatkan
leukosit dan kadar CRP normal, dapat mengeksklusikan diagnosis
appendisitis akut dengan spesifitas 98%. Sedangkan bila didapatkan
peningkatan pada leukosit dan kadar CRP, berhubungan dengan
peningkatan signifikan terjadinya appendisitis yang telah mengalami
komplikasi.
Jumlah sel darah putih >10.000 sel/mm³ dan CRP (C-Reactive-Protein)
>10 mg/L dikaitkan dengan kemungkinan appendicitis.
• USG
USG abdomen sering digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan
nyeri abdomen akut. Bila ukuran diameter apendiks < 5 mm dapat
menyingkirkan kemungkinan appendisitis. Bila ditemukan diameter
apendiks > 6 mm, appendicolith serta peningkatan ekogenitas lemak
periappendikal yang meningkat, menunjukkan kemungkinan appendisitis
akut. Dapat ditemukan Target sign dimana gambarannya menunjukkan
cairan hypoechoic yang dikelilingi oleh mukosa echogenic dan submukosa
muskularis hypoechoic.
Kekurangan pemeriksaan dengan USG adalah sulit untuk mengevaluasi
apendiks pada pasien dengan obesitas dan hasil yang didapatkan bergantung
dari individu yang mengoperasikan alat. Selain itu, pada pasien yang telah
mengalami peritonitis, sulit dilakukan pemeriksaan karena nyeri yang
dirasakan ketika melakukan penekanan saat USG. Meski USG memiliki
sensitivitas dan spesifitas dibawah dari CT Scan tetapi lebih lebih dipilih
untuk menghindari paparan radiasi pada anak dan wanita hamil.

Gambar 3. Perbandingan gambaran apendiks normal dan appendisitis.


Gambar 4. (a) Visualisasi longitudinal appendisitis akut. Menunjukkan penebalan dinding
apendiks dan diameter apendiks > 6 mm (b) Visualisasi transversal appendisitis akut.
Menunjukkan diameter apendiks > 6 mm dan cairan bebas mengelilingi apendiks.

• CT Scan
CT Scan abdomen memiliki akurasi lebih dari 95% untuk menegakkan
diagnosis appendisitis dan penggunaannya semakin sering. Kriteria hasil CT
Scan untuk menegakkan appendisitis antara lain pembesaran apendiks
(diameter > 6 mm), penebalan dinding apendiks (> 2 mm), penebalan lemak
periappendical dan ditemukannya appendicolith. CT Scan abdominoplevis
dengan kontras dapat dilakukan pada pasien dengan kecurigaan appendisitis
dengan GFR ≥ 30 ml/menit.

Gambar 5. CT Scan potongan aksial dengan kontras menunjukkan appendiks abnormal


dengan distensi luminal dan peningkatan serta penebalan yang abnormal tanpa inflamasi
perriappendiceal signifikan
Gambar 6. CT Scan potongan sagittal menunjukkan appendiks dilatasi berisi cairan dengan
multiple appendicolith serta perubahan inflamasi periappendiceal

• MRI
MRI memiliki spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. Kekurangan dari
MRI abdomen adalah harganya yang mahal dan perlu keahlian dalam
menginterpretasikannya. Maka dari itu, pemeriksaan dengan MRI biasanya
hanya dilakukan pada kondisi tertentu, misalnya pada wanita hamil yang
tidak dapat terkena paparan radiasi.
• Histopatologi
Hasil mikroskopis pada appendisitis akut ditemukan adanya proliferasi
neutrofil pada tunika muskularis. Sejauh mana infiltrasi neutrofil pada
jaringan berhubungan dengan tingkat keparahan infeksi serta durasi
penyakit. Jika kondisi ini terus berlanjut, lemak ekstra apendiks dan jaringan
lain disekitar apendiks ikut mengalami proses inflamasi.

Gambar 7. Pemeriksaan histopatologi appendisitis akut


H. TATALAKSANA
Hindari pemberian anti nyeri kepada pasien hingga diagnosis appendisitis
ditegakkan, karena analgesik dapat menutupi tanda peritoneal dan berakhir dengan
penundaan diagnosis serta dapat terjadi ruptur dari apendiks. Pasien juga perlu
dipuasakan untuk persiapan operasi dan diberi cairan intravena kristaloid untuk
pengganti cairan selama puasa.
Penggunaan antibiotik berdasarkan penelitian memberikan hasil menurunkan
angka komplikasi, menurunkan angka kesakitan atau disabilitas, dan membutuhkan
manajemen nyeri yang lebih sedikit. Sebagian besar protokol pengobatan meliputi
pemberian antibiotik intravena selama 1-3 hari, diikuti dengan antibiotik oral selama 7
hari.
Manajemen nyeri dapat dipertimbangkan pemberian acetaminophen dan
NSAID untuk manajemen nyeri pasien yang suspek apendisitis akut terutama pada
pasien dengan kontraindikasi opioid.
Gold standard pengobatan appendicitis akut adalah appendektomi.
Appendektomi adalah satu-satunya pengobatan kuratif dari appendisitis.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi bila appendicitis tidak
ditangani. Bila perforasi terjadi dapat terjadi peritonitis yang dapat menyebabkan
kematian.
J. PROGNOSIS
Jika appendisitis didiagnosis dan mendapat penanganan lebih awal termasuk
dilakukannya prosedur bedah, diharapkan terjadi pemulihan dalam waktu 24 hingga 48
jam. Pada kasus lanjut dengan adanya abses, sepsis dan peritonitis mungkin lebih lama
penyembuhannya dan memungkinkan intervensi pembedahan tambahan. Morbiditas
dan mortalitas tergantung usia pasien, penyakit komorbid, dan status appendiks yang
perforasi atau non perforasi. Pasien tanpa perforasi umumnya dapat kembali berativitas
normal setelah operasi dan komplikasi pasca operasi sekitar 3%. Namun pada pasien
dengan perforasi, komplikasi pasca operasi mencapai 20-30% dengan rawat inap yang
lebih lama, memerlukan terapi antibiotik berkepanjangan dan memiliki waktu yang
lebih lama untuk kembali beraktivitas normal.
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, M., Ahmad, Z. & Parry, A.H. 2019. Target sign: appendicitis. Abdom Radiol 44, 379–
380. https://doi.org/10.1007/s00261-018-1698-6

Jones MW, Lopez RA, Deppen JG. 2022. Appendicitis. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing

Mostbeck G, Adam EJ, Nielsen MB, Claudon M, Clevert D, Nicolau C, Nyhsen C, Owens CM.
2016. How to diagnose acute appendicitis: ultrasound first. Insights Imaging. 7(2):255-63. doi:
10.1007/s13244-016-0469-6

Withers AS, Grieve A, Loveland JA. 2019. Correlation of white cell count and CRP in acute
appendicitis in paediatric patients. S Afr J Surg. 57(4):40.

Sifri CD et al: Appendicitis. In: Bennett J et al, eds: Mandell, Douglas, and Bennett's Principles
and Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Elsevier; 2020:1059-63.e2

Sjamsuhidajat, R. W. D. J., & De Jong, W. 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed.4. Vol. 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai