Anda di halaman 1dari 65

REFLEKSI KASUS

PANGASTRODUODENITIS, ULKUS DUODENUM,


ASCARIASIS DAN ANEMIA GRAVIS

Disusun oleh:

Ami Puspitasari

NIPP. 20174011033

Pembimbing:

dr. Widodo Raharjo, Sp. PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RSUD KOTA SALATIGA

2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul

PANGASTRODUODENITIS, ULKUS DUODENUM,


ASCARIASIS DAN ANEMIA GRAVIS

Disusun oleh:

Nama: Ami Puspitasari

NIPP: 20174011033

Telah dipresentasikan

Hari/Tanggal:

Rabu, 3 Januari 2018

Disahkan oleh:

Dosen Pembimbing,

dr. Widodo Raharjo, Sp. PD

2
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 62 tahun

Alamat : Gebang, Kalinanas, RT 2/4 Wonosegono

Status : Menikah

Masuk RS : 27 Desember 2017

No. CM : 17-18-379666

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
BAB hitam
b. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)
Pasien datang ke IGD dengan keluhan BAB hitam sejak 4 hari SMRS, 1-2x dalam
sehari. Konsistensi feces cair menggumpal, kehitaman, darah (-), lendir (-). 10 hari SMRS
pasien dipasang selang kateter di puskesmas karena mengeluh sulit BAK. Mual (+), muntah
(-). Sesak napas (-), demam(-), batuk (-), pilek (-). Makan minum seperti biasa. Menurut
keluarga pasien, pasien kadang-kadang mengkonsumsi obat warung mixagrip untuk
menghilangkan gejala flu dan demam. Pasien juga mengalami pendengaran yang berkurang
yang disebabkan karena pasien pernah tersambar petir di bawah pohon pisang sejak 20 tahun
yang lalu.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes melitus disangkal oleh pasien.

3
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kondisi yang serupa pasien. Riwayat
hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes melitus disangkal oleh keluarga pasien.

e. Riwayat Personal Sosial


Pasien tinggal dengan anak laki-laki dan keluarganya. Pasien bekerja sebagai seorang
petani dan mencabut rumput untuk kambing. Tidak ada anggota keluarga di rumah yang
mengalami keluhan seperti pasien.

f. Anamnesis sistem
• Kepala dan leher : tidak ada keluhan
• THT : tidak ada keluhan
• Respirasi : tidak ada keluhan
• Kardiovaskuler : tidak ada keluhan
• Gastrointestinal : tidak ada keluhan
• Perkemihan : pasien kesulitan BAK sejak 10 hari SMRS
• Reproduksi : tidak ada keluhan
• Kulit dan ekstremitas : tidak ada keluhan

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum Lemah

Kesadaran Compos mentis (E4V5M6)

Tekanan darah = 106/67 mmHg

Nadi = 80 kali/menit, reguler, isi dan tekanan cukup

Vital sign Respirasi = 20 kali/menit, tipe eupnea

Suhu = 36.50C

SpO2 = 98%

GDS 107 mg/dL

Kepala dan Leher

4
Bentuk kepala Normocephali

Wajah Simetris, deformitas (-)

Edema palpebra (-/-)

Mata Conjungtiva anemis (+/+)

Sklera ikterik (-/-)

Inspeksi: bentuk tidak nampak kelainan, deviasi trakea (-)

Leher Palpasi: trakea teraba di garis tengah, pembesaran limfonodi (-)

Thorax

Inspeksi: bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis,


ketertinggalan gerak (-), pernapasan torakoabdominal, retraksi (-)

Palpasi: pengembangan dada simetris, vocal fremitus simetris,


Pulmo nyeri (-)

Perkusi: sonor (+/+), batas paru-hepar dalam batas normal

Auskultasi: suara nafas vesikuler +/+, reguler

Inspeksi: tidak nampak pulsasi di ictus cordis

Palpasi: teraba ictus cordis di sic V linea midclavicularis kiri,


diameter 2 cm, kuat denyut, thrill (-)

Perkusi: batas kanan bawah paru-jantung pada sic V line

Cor sternalis kanan, batas kanan atas paru-jantung pada sic III line
sternalis kanan. Batas kiri paru-jantung pada sic V linea
midclavicularis kiri, batas atas kiri paru-jantung pada sic III linea
parasternalis kiri.

Auskultasi: BJ 1 dan BJ 2 reguler, punctum maximum pada sic


V linea midclavicularis kiri, murmur (-), gallop (-), splitting (-)

5
Abdomen

Inspeksi Simetris, tidak nampak distensi

Auskultasi Bising usus (+)

Palpasi Distensi (-), defans muskular (-), nyeri tekan di epigastrium

Timpani pada semua lapang perut, shfting dullness (-), liver span

Perkusi lobus dexter 10 cm, lobus sinister 6 cm.

Area traube timpani.

Extremitas

Inspeksi Jaringan nekrosis (-), ulkus (-)

Capillary refill time < 2 detik,

Palpasi + +
akral dingin + +

Edema - -
+ +

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Laboratorium (27/12/2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI

Leukosit 8.54 4.5 – 11 103/uL


Eritrosit 1.74* 106/uL
4–5
Hemoglobin 4.7* g/dL
Hematokrit 15.2* 14 – 18 %
MCV 87.6 fL
38.00 – 47.00
MCH 25.9* pg

6
MCHC 29.6* 86 – 108 g/dL
Trombosit 362 103/uL
28 – 31
Golongan Darah ABO O
30 – 35

150 – 450

HITUNG JENIS

Eosinofil% 1.3 1-6


Basofil% 0.2
0.0-1.0
Limfosit% 12.1*
Monosit% 3.2 20-45
Neutrofil% 83.2*
2-8

40-75

KIMIA

Glukosa Darah 81 <140 mg/dL


Sewaktu 22 mg/dL
10-50
1.0 U/L
Ureum
17 0.6-1. 1 U/L
Creatinin
14 U/L
SGOT <31
SGPT
<32

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

ELEKTROLIT

Natrium 139 135-155 mml/e

Kalium 4.3 3.6-5.5 Mml/e

Chlorida 107 95-108 Mmol/l

7
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

IMUNO/SEROLOGI

Anti HBs Kwalitatif Positive

Anti HCV Total Negative Negative

b. Pemeriksaan Laboratorium (28/12/2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI

Leukosit 7.83 4.5 – 11 103/uL


Eritrosit 3.57* 106/uL
4–5
Hemoglobin 9.9* g/dL
Hematokrit 30.2* 14 – 18 %
MCV 84.7* fL
38.00 – 47.00
MCH 27.7* pg
MCHC 32.7 86 – 108 g/dL
Trombosit 383 103/uL
28 – 31
Golongan Darah ABO O
30 – 35

150 – 450

HITUNG JENIS

Eosinofil% 0.1* 1-6


Basofil% 0.3
0.0-1.0
Limfosit% 10.7*
Monosit% 2.2 20-45
Neutrofil% 86.7*
2-8

40-75

8
c. Pemeriksaan Laboratorium (30/12/2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI

Leukosit 5.97 4.5 – 11 103/uL


Eritrosit 3.53* 106/uL
4–5
Hemoglobin 9.8* g/dL
Hematokrit 30.2* 14 – 18 %
MCV 85.6* fL
38.00 – 47.00
MCH 27.8* pg
MCHC 32.4 86 – 108 g/dL
Trombosit 316 103/uL
28 – 31
Golongan Darah ABO O
30 – 35

150 – 450

HITUNG JENIS

Eosinofil% 3.4 1-6


Basofil% 0.4
0.0-1.0
Limfosit% 17.3*
Monosit% 3.3 20-45
Neutrofil% 75.6
2-8

40-75

KIMIA

Albumin 2.4* 3.5-4.2 g/dL

9
d. Pemeriksaan Laboratorium (31/12/2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI

Leukosit 6.38 4.5 – 11 103/uL


Eritrosit 3.40* 106/uL
4–5
Hemoglobin 9.3* g/dL
Hematokrit 29.1* 14 – 18 %
MCV 85.6* fL
38.00 – 47.00
MCH 27.4* pg
MCHC 32 86 – 108 g/dL
Trombosit 275 103/uL
28 – 31
Golongan Darah ABO O
30 – 35

150 – 450

HITUNG JENIS

Eosinofil% 2.6 1-6


Basofil% 0.4
0.0-1.0
Limfosit% 15.1*
Monosit% 2.4 20-45
Neutrofil% 79.5
2-8

40-75

IMUNO/SEROLOGI

HBs Ag (Rapid) Negative Negative g/dL

10
e. Pemeriksaan Laboratorium (01/01/2018)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI

Leukosit 5.33 4.5 – 11 103/uL


Eritrosit 3.48* 106/uL
4–5
Hemoglobin 9.6* g/dL
Hematokrit 29.7* 14 – 18 %
MCV 85.3* fL
38.00 – 47.00
MCH 27.8* pg
MCHC 32.3 86 – 108 g/dL
Trombosit 246 103/uL
28 – 31
Golongan Darah ABO O
30 – 35

150 – 450

HITUNG JENIS

Eosinofil% 0.5* 1-6


Basofil% 0.2
0.0-1.0
Limfosit% 8.1*
Monosit% 0.3* 20-45
Neutrofil% 90.9*
2-8

40-75

KIMIA

Albumin 2.8* 3.5-4.2 g/dL

11
f. Pemeriksaan EGD

12
g. Gambaran Darah Tepi

13
h. EKG (27/12/2017)

Interpretasi EKG :
• Irama : Sinus Aritmia
• Frekuensi : 73 x/menit
• Regularitas : Iregular
• Aksis : normal
• Gelombang P : normal (0,08-0,11 detik)
• Interval PR : normal (0,12-0,20 detik)
• Interval QRS : normal (0,06-0,1 detik)
• Terdapat T inversi di lead I, II, AVF, V3-V6

14
• Terdapat iskemik inferior, anteroseptal dan lateral

i. ASSESSMENT
1) Melena et causa
• Pan Gastroduodenitis
• Ulkus doudenum
2) Anemia Gravis et causa Ascariasis
3) Hepatitis B
4) Syok hipovolemik
5) Retensi urin

j. Plan dan Pentalaksanaan


• Di IGD:
• Infus NaCl 0,9 % 20 tpm
• Infus Asering 20 tpm
• Injeksi Omeprazole 1 vial/12 jam
• Injeksi Ondansetron 1 ampul/8 jam
• Injeksi Ceftriaxon 1gr/12 jam
• Injeksi Asam Traneksamat 1 ampul/8 jam
• Pemasangan catheter
• Di Bangsal (27/12/2017)
• O2 3-4 lpm
• Pasang infus 2 jalur
• Infus NaCl
• Infus Fimahes 200 flexy bag
• Infus Asering 500 ml
• Sucralfate susp 100 ml
• Injeksi Ceftriaxone I g
• Injeksi Dicynone 2 ampul drip
• Transfusi PRC 4 Kolf
• Diit cair 6x200 cc
• Di Bangsal (28/12/2017)
• Pasang infus 3 jalur
15
• Injeksi ondansetron 4 mg/2ml
• Injeksi ceftriaxone 1 g
• Aminofluid 500 ml
• Infus NaCl
• Infus Fimahes 200 flexy bag
• Infus Asering 500 ml
• Di Bangsal (28/12/2017)
• Injeksi ceftriaxone 1 g
o Injeksi ondansetron 4 mg/2ml
o Aminofluid 500 ml
o Infus NaCl
o Infus Fimahes 200 flexy bag
o Infus Asering 500 ml
• Di Bangsal (02/01/2018)
• Pirantel pamoat 1 x IV tablet
• Injeksi ondansetron 4 mg/2ml
• Injeksi omeprazole 40 mg

Asuhan Gizi (29/12/17)


• BB : 58 kg
• TB : 150 CM
• IMT : 22,6
• Status gizi : normal
• Intervensi Gizi : Diit tinggi protein 1700 kkal bentuk cair.
• Tujuan diit : Memberikan makanan yang adekuat yang dapat mempercepat
penyembuhan
• Prinsip diit : kalori 1700 kkal, protein 1 g/kg bb
• Syarat diit : tinggi protein, tinggi antioksidan

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANEMIA GRAVIS
A. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadinya penurunan konsentrasi eritrosit
atau hemoglobin pada darah sampai dibawah normal, hal ini terjadi apabila keseimbangan
antara kehilangan darah (lewat perdarahan atau penghancuran sel) dan produksi darah
terganggu. Dengan kata lain, anemia terjadi apabila kadar eritrosit atau hemoglobin dalam
darah menurun dan mengakibatkan penurunan fungsi utamanya.

Pria Dewasa 13,5 – 17,5 g/dl

Wanita Dewasa 11,5 – 15,5 g/dl

Infant 15,0 – 21,0 g/dl

3 Bulan 9,5 – 12,5 g/dl

1 tahun – pubertas 11– 13,5 g/dl

Tabel 1. Nilai normal hemoglobin

Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-
turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel darah merah yang cepat dan
hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada penderita anak-anak. Anemia gravis dapat
bersifat akut dan kronis. Anemia kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB),
sickle cell anemia (SCA), talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia
gravis kronis juga dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi
parasit yang lama, seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan

17
gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala
gangguan jantung-paru (Tramuz & Jereb, 2003).

B. Kriteria Anemia
Dalam menjelaskan definisi anemia, diperlukan adanya batas batas kadar hemoglobin
dan hematokrit sehingga bisa dianggap telah terjadi anemia. Batasan (cut off point) ini sangat
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, ketinggian
tempat tinggal dari permukaan laut, dan lain lain.

Tabel 2. Derajat anemia berdasarkan WHO.

C. Epidemiologi

Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati 1.62 milyar
penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini
dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut.

18
Kelompok Populasi Angka Pravalensi

Anak prasekolah (balita) 30-40%

Anak usia sekolah 23-35%

Wanita dewasa 30-40%

Wanita hamil 50-70%

Laki-laki dewasa 20-30%

Pekerja berpenghasilan rendah 30-40%

Tabel 3. Pravalensi anemia di Indonesia

Sumber. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan


Gangguan Sistem Hematologi

Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu sebanyak 50-70% dan
yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa sebanyak 20-30%. Anemia lebih sering
ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa kehamilan keperluan zat-zat gizi
bertambah dan adanya perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price et al,
1995 dalam Wulansari, 2006).

Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada geografi. Salah
satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi masyarakat. Sedangkan prevalensi
anemia gravis sendiri menurut WHO mencapai angka lebih dari 40% dalam satu populasi
(WHO, 2006).

19
D. Etiologi dan Patofisiologi
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan pada tiga
kelompok:

• Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang atau gagal
• Anemia akibat penghancuran sel darah merah
• Anemia akibat kehilangan darah

1. Anemia Akibat Produksi Yang Berkurang Atau Gagal


Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu sedikit atau sel darah
merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini terjadi akibat adanya
abnormalitas sel darah merah atau kekurangan mineral dan vitamin yang dibutuhkan agar
produksi dan kerja dari eritrosit berjalan normal. Kondisi kondisi yang mengakibatkan
anemia ini antara lain Sickle cell anemia, gangguan sumsum tulang dan stem cell, anemia
defisiensi zat besi, vitamin B12, dan Folat, serta gangguan kesehatan lain yang
mengakibatkan penurunan hormon yang diperlukan untuk proses eritropoesis.

2. Anemia akibat penghancuran sel darah merah


Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu bertahan terhadap
tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan hancur lebih cepat sehingga menimbulkan
anemia hemolitik. Penyebab anemia hemolitik yang diketahui atara lain:

• Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia


• Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau beberapajenis makanan
• Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis
• Autoimun
• Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar, paparan kimiawi,
hipertensi berat, dan gangguan trombosis
• Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak sel darah merah dan
menghancurkannya sebelum sempat bersirkulasi.
3. Anemia Akibat Kehilangan Darah
Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun pada perdarahan
yang berlangsung perlahan namun kronis. Perdarahan kronis umumnya muncul akibat
gangguan gastrointestinal ( misal ulkus, hemoroid, gastritis, atau kanker saluran pencernaan

20
), penggunaan obat obatan yang mengakibatkan ulkus atau gastritis (misal OAINS),
menstruasi, dan proses kelahiran.

E. GAMBARAN KLINIS
Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular (dengan
peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi O2 hemoglobin. Pada
beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak terdapat gejala atau tanda, sedangkan
pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin mengalami kelemahan berat (Kasper,
2005).

a) Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek, khususnya pada
saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala. Pada pasien berusia tua,
mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pektoris, kaludikasio intermiten, atau
kebingunagan (konfusi). Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina dapat mempersulit
anemia yang sangat berat, khususnya yang awitannya cepat. (McPhee, 2006)

b) Tanda

Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum meliputi
kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL.
Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik
dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik
khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung kongesti mungkin ditemukan, khususnya
pada orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis
anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia
hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia hemolitik
lainnya, deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain
yang berat (Lissaeur, 2007).

21
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia dengan berbagai
indikasi.

1. Farmakologi
a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b) Epoetin Alfa
c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan
FRESH FROZEN PLASMA (FFP)
CRYOPRECIPITATE
d) Garam Besi
Fereous Sulfate
Carbonyl Iron
Iron Dextran Complex
Ferric Carboxymaltose
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami pendarahan dan
untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif dan tidak boleh digunakan
sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada penyakit kronis yang berhubungan dengan
anemia gravis, erythropoietin dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi transfusi
(Anand et al, 2004).

3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel


Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma, Hodgkin
disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik. Harapan hidup pada pasien
ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik. Alogenik transplantasi sumsum tulang
berhasil memperbaiki ekspresi fenotipik dari penyakit sel sabit dan talasemia dan
meningkatkan harapan hidup pada pasien yang berhasil transplantasi (Maakaron, 2013).

4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan


a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena zat ini di
samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun
dan pengatur. Asupan protein yang adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi,

22
dan kesehatan manusia dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul
esensial yang merupakan komponen dari semua sel dalam tubuh. Protein berperan penting
dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan
mengakibatkan transportasi zat besi terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di
samping itu makanan yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak
mengandung zat besi. (Gallagher ML, 2008)

b. Zat Besi
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor utama
pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi yang disimpan dalam tubuh manusia
adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu
kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu
mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan tubuh (Provan,
2004).

Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan sayuran
berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-
protein dan kompleks heme-protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah
sumber zat besi yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya (Mozzafari et al,
2009).

c. Asam Folat
d. Vitamin B12, Vitamin A dan Vitamin C
e. Pembatasan Aktivitas
Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai sebagian anemia dapat
disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari dengan bed rest, terapi dapat dilakukan untuk
pasien dengan anemia yang dapat disembuhkan (misalnya anemia pernisiosa).

G. PROGNOSIS
Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia. Bagaimanapun,
keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah memainkan peranan penting
dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur pasien dan faktor penyerta lainnya.

1. Anemia akibat pendarahan dari vasises esophagus

23
Sekitar 30% pasien dengan sirosis meninggal akibat pendarahan visceral. Pasien dengan
penyakit hati kelas Child C memiliki tingkat kematian 50%. Tingkat perdarahan ulang pada
pasien yang diobati secara medis adalah lebih dari 70%. (Gultom, 2003)

2. Anemia akibat Ruptur Aorta


Prognosis dari ruptur traumatik sangat buruk, dengan kira-kira tingkat kematian
prehospital 80%. Jika tidak terobati, sebagian besar pasien meninggal dalam 2 minggu.
Ruptur anuerisma nontraumatik juga memiliki prognosis yang buruk dan berakibat fatal jika
tidak diobati. Tindakan bedah yang segara pun masih memiliki tingakt kematian tinggi,
seringkali lebih dari 80%. (Maakaron, 2013)

2. Penyakit Cacingan
A. Definisi

Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan
dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda
usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui
tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).

1. Ascaris lumbricoides
a. Morfologi dan Daur Hidup

Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm,
sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina
dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur
yang tidak dibuahi. Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan
manusia akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus
menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu mengikuti
aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus,
lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring,
sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu

24
menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu
kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000:10).

Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides.

b. Patofisiologi

Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat berupa
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada
infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan
(malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi
penyumbatan pada usus (Ileus obstructive).S elain itu menurut Effendy yang dikutip Surat
Keputusan Menteri Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang
masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang
disebut Sindroma Loeffler.

c. Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan


mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu,
tidak bergairah dan kurang konsentrasi belajar.Pada anak-anak yang menderita Ascariasis
lumbricoides perutnya tampak buncit, perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang.
Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau sudah mengalami penuruanan kemampuan

25
belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis
yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat
dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Menteri Kesehatan, 2006).

d. Epidemiologi

Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan tidak terkena
sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi A.
lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau
minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Menteri Kesehatan,2006).

e. Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat. Pengobatan
individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat piperasin, pyrantel
pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat anticacing untuk pengobatan
massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat,
mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat
terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).

2. ANCYLOSTOMA DUODENALE
a. Morfologi dan Daur Hidup

Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang
yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan
9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing
jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam
mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing
akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi
larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang
dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang
yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di
dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron,
sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit,
larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya menembus pembuluh
darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan

26
masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform
menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).

Gambar 2. Daur hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale


(Menteri Kesehatan, 2006).

b. Patofisiologi

Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing
tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh
cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita
mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta
menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat cacingan sering terlupakan karena
adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)

c. Gejala Klinik dan Diagnosis

Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,,
prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di
samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)

d. Epidemiologi

27
Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat
tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun
luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat
menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini
(Gandahusada, 2000). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur
(pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah
dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.

3. Trichuris trichiura
a. Morfologi dan Daur Hidup

Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm.
Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor
cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-
kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes
bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab
dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes),
kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah
menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum.
Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur
sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).

28
Gambar 3. Daur Hidup Trichuris trichiura (Menteri Kesehatan, 2006)

b. Patofisiologi

Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di
dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh
kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke
dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa
usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini
juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan,
2006)

c. Gejala Klinik dan Diagnosis

Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang
jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada
anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-
kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai
dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di
dalam tinja (Gandahusada, 2000).

29
d. Epidemiologi

Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius.
Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.
Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia
frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah
dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan
tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan,
mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera
yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000). Dahulu infeksi Trichuris trichiura
sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris
trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada, 2000).

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi STH.

Menurut Hotes (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor risiko yang dapat


mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain
:

1. Lingkungan

Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota
atau daerah pinggiran (Hotes, 2003). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Hotes
(2003) bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah
perkotaan. Sedangkan menurut Albonico yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah
prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian
besar masih hidup dalam kekurangan.

2. Tanah

Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang
mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah
dengan suhu optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi
dan suhu yang berkisar antara25ºC-30ºC sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris

30
lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2000:11).Sedangkan
untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC
dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah
yaitu 23ºC-25ºC tetapi umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000).

3. Iklim

Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena
tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab.
Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi
terutama di daerah perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2002).

4. Perilaku

Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah
(Peter J. Hotes, 2003:21). Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena
biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci
tangan (Oswari, 1991).

5. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka (1995) dikutip


Hotes (2003) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang
rendah.

6. Status Gizi

Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan


(absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan
dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan
protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,anemia,
kecerdasan dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan
tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006).

31
3. MELENA (Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas)

A. Definisi perdarahan saluran cerna bagian atas

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) adalah kehilangan darah dalam lumen
saluran cerna yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum treitz, mulai dari esofagus,
gaster, duodenum sampai pada bagian atas dari jejunum.

Mekanisme kehilangan darah dapat berupa perdarahan tersamar intermiten sampai


dengan perdarahan masif yang disertai renjatan. Perdarahan yang tersamar (occult bleeding)
hanya dapat dideteksi adanya darah samar pada feses atau adanya anemia defisiensi besi,
sehingga sering tidak tampak secara jelas. Berat ringannya perdarahan dapat dinilai dari
manifestasi klinik yang ada, derajat turunnya kadar haemoglobin, serta yang paling penting
adalah ada tidaknya manifestasi gangguan hemodinamik. Perdarahan akut dalam jumlah
besar melebihi 20% volume intravaskular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak
stabil, dengan tanda-tanda sebagai berikut :

1. Hipotensi (<90/60 mmHg atau Mean Arterial Presure (MAP)<70 mmHg) dengan
frekuensi nadi > 100/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20 mmHg
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit.
4. Akral dingin.
5. Kesadaran menurun.
6. Anuria atau oliguria (produksi urine < 30ml/ jam).

B. Epidemiologi

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang


gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan dan
perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir ini tidak terdapat perubahan angka
kejadian meskipun telah dicapai kemajuan dalam pengelolaan atau terapi. Peningkatan
insidensi di sebagian negara berhubungan dengan penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi
non steroid (OAINS). Selain itu, prevalensi perdarahan SCBA sangat bervariasi berdasarkan
umur, jenis kelamin dan beberapa faktor lainnya. Hasil akhir berupa perdarahan ulang dan
kematian merupakan akibat dari penatalaksanaan yang kurang adekuat.

32
Di Amerika Serikat angka kejadiannya berkisar antara 50-150 per 100.000 penduduk
per tahun. Angka kematiannya bervariasi antara 4-14% tergantung pada kondisi pasien dan
penanganan yang tepat.2,3 Pasien dengan komplikasi atau tanpa komplikasi di Amerika
serikat rata-rata lama rawat inap adalah 4,4 dan 2,7 hari dengan biaya perawatan sebesar
5632 US dollar dan 3402 US dollar.4 Umumnya 80% dari kasus dapat berhenti dengan
sendirinya. 10% kasus membutuhkan prosedur intervensi untuk mengontrol perdarahan.

C. Etiologi perdarahan saluran cerna bagian atas

Terdapat perbedaan distribusi penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)
di Indonesia dengan laporan pustaka Barat.22 Penyebab terbanyak di Indonesia adalah
perdarahan varises karena sirosis hati (65%), sedangkan di negara Eropa dan Amerika adalah
perdarahan non variceal karena ulkus peptikum (60%).8 Penyebab lain yang jarang meliputi,
Malory Weiss tears, duodenitis erosive, ulkus dielafoy (salah satu tipe malformasi vaskuler),
neoplasma, aortoenteric fistula, GAVE (gastric antral vascular ectasia) dan gastropathy
prolapse.

Sering (common) Kurang sering Jarang

(less common)

Ulkus gaster Erosi/ gastropati gaster Ulkus esophagus


Ulkus duodenum Esofagitis Duodenitis erosive
Varises esophagus Lesi Dielafoy Fistula Aortoenterik
Mallory Weiss tear Telangiektasis Hemobilia
Gastropati hipertensi
portal Penyakit Pankreas
GAVE (Gastric Antral Penyakit Crhon’s

Vascular Ectasia) =

watermelon stomach

Varises gaster

Neoplasma

33
Dikutip dari Green
BT. 25

Tabel 4. Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

D. Faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas

Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis perdarahan
SCBA.Faktor risiko yang telah di ketahui adalah usia, jenis kelamin, penggunaan OAINS,
penggunaan obat antiplatelet, merokok, mengkonsumsi alkohol, riwayat ulkus, diabetes
mellitus dan infeksi bakteri Helicobacter pylori.

1. Usia

Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat pada usia >60
tahun. Penelitian pada tahun 2001-2005 dengan studi retrospektif di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo terhadap 837 pasien yang memenuhi kriteria perdarahan SCBA
menunjukkan rata-rata usia pasien laki-laki adalah 52,7 ± 15,82 tahun dan rata-rata usia
pasien wanita adalah 54,46 ± 17,6.26 Usia ≥ 70 tahun dianggap sebagai faktor risiko karena
terjadi peningkatan frekuensi pemakaian OAINS dan interaksi penyakit komorbid yang
menyebabkan terjadinya berbagai macam komplikasi.27

2. Jenis kelamin

Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami perdarahan SCBA berjenis
kelamin laki-laki.11 Dari penelitian yang sudah dilakukan mayoritas menggunakan
pendekatan epidemiologi dan belum ada penelitian yang secara spesifik menjelaskan
hubungan perdarahan SCBA dengan jenis kelamin.

3. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)

Peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi, kematian) terjadi pada orang
tua yang mengkonsumsi OAINS. Studi cross sectional terhadap individu yang
mengkonsumsi OAINS pada dosis maksimal dalam jangka waktu lama 35% hasil endoskopi
adalah normal, 50% menunjukkan adanya erosi atau petechiae, dan 5%-30% menunjukkan

34
adanya ulkus. Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi adalah ibuprofen, naproxen,
indomethacin, piroxicam, asam mefenamat, diklofenak.

4. Penggunaan obat-obat antiplatelet

Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan faktor
perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis subterapi 10 mg per hari masih dapat
menghambat siklooksigenase. Aspirin dapat menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum,
komplikasi perdarahan dan perforasi pada perut dan lambung. Obat antiplatelet seperti
clopidogrel berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi saluran cerna.

5. Riwayat Gastritis

Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada kelompok ini
diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi oleh adanya gangguan dalam
mekanisme pertahanan mukosa dan proses penyembuhan.

6. Infeksi bakteriHelicobacter pylori

Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral yang hidup
dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Beberapa penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi H.pylori <75% pada pasien ulkus duodenum.
Dari hasil penelitian di New York 61% dari ulkus duodenum dan 63% dari ulkus gaster
disebabkan oleh infeksi H.pylori.

E. Patogenesis perdarahan SCBA

Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam proses
pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa mekanisme telah
terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi sel-sel foveola gastrica
membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel makanan besar menempel secara
langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga mendasari pembentukan lapisan musin
stabil pada permukaan epitel yang melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung,
selain itu memiliki pH netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan.
Suplai vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga

35
berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut atau
kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme protektif tersebut.

Gambar 4. Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas.

Dikutip dari Turner J.R 33

Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga rentan
terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna.33 OAINS dan obat antiplatelet dapat
mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh prostaglandin atau
mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa
gaster.27 Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi
asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan sekresi
lambung.34 Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang
berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam dan isi minuman berakohol selain alkohol juga
merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan mukosa saluran cerna.27
Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan
kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya kemampuan regenerasi sel.33 Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid
pada perdarahan SCBA dan menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien DM terjadi

36
perubahan mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan prostasiklin yang berfungsi
mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi perdarahan.34

Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum. Merokok memicu kekambuhan,
menghambat proses penyembuhan dan respon terapi sehingga memperparah komplikasi
ulkus kearah perforasi.

F. Manifestasi klinik perdarahan SCBA

Manifestasi klinik yang sering terjadi adalah adanya hematemesis (muntah darah segar
dan atau disertai hematin/ hitam) yang kemudian dilanjutkan dengan timbulnya melena. Hal
ini terutama pada kasus dengan sumber perdarahan di esofagus dan gaster. Sumber
perdarahan di duodenum relatif lebih sering bermanifestasi dalam bentuk melena atau tidak
jarang dalam bentuk hematochezia. Hal ini banyak dipengaruhi oleh jumlah darah yang
keluar persatuan waktu dan fungsi pilorus. Terkumpulnya darah dalam volume banyak
dalam waktu singkat akan menimbulkan refleks muntah sebelum komponen darah tersebut
bercampur dengan asam lambung (sehingga muntah darah segar). Hal ini berbeda dengan
perdarahan yang memberi kesempatan darah yang keluar terpapar lengklap dengan asam
lambung sehingga membentuk hematin hitam. Perdarahan yang masif, terutama yang berasal
dari duodenum, kadang tidak terpapar asam lambung dan keluar peranum dalam bentuk
darah segar (hematochezia) atau merah hati (maroon stool).

G. Diagnosis perdarahan SCBA

Diagnosis perdarahan SCBA dibuat berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,


inspeksi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT), pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan endoskopi, radionuclide scanning, radiografi barium kontras.

1. Anamnesis

Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah waktu terjadinya perdarahan, perkiraan
darah yang keluar, riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat perdarahan dalam keluarga, ada
tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain, penggunaan obat-obatan terutama anti inflamasi

37
non steroid, penggunaan obat antiplatelet, kebiasaan minum alkohol, kemungkinan adanya
penyakit hati kronik, diabetes mellitus, demam tifoid, gagal ginjal, hipertensi dan riwayat
transfusi sebelumnya.23

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan tekanan darah sederhana dapat memperkirakan seberapa banyak pasien


kehilangan darah. Kenaikan nadi >20 kali permenit dan tekanan sistolik turun >10 mmHg
menandakan telah banyak kehilangan darah.22

3. Inspeksi dengan nasogastric tube (NGT)

Pemasangan NGT dan inspeksi aspirat dapat digunakan pada penilaian awal kasus.
Aspirat warna merah terang, pasien memerlukan pemeriksaan endoskopi segera baik untuk
evaluasi maupun perawatan intensif. Jika cairan aspirat berwarna seperti kopi, maka
diperlukan rawat inap dan pemeriksaan endoskopi dalam 24 jam pertama.35,36 Meskipun
demikian aspirat normal tidak dapat menyingkirkan perdarahan SCBA. Studi melaporkan
15% kasus perdarahan SCBA pemeriksaan NGT normal tetapi terdapat lesi dengan risiko
tinggi perdarahan (terlihat/ tidak terlihat pembuluh darah dengan perdarahan) pada
endoskopi.37

4. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium penunjang awal ditujukan untuk menilai kadar hemoglobin,


fungsi hemostasis, fungsi hati dan kimia dasar yang berhubungan dengan status
haemodinamik. Pemeriksaan kadar haemoglobin dan hematokrit dilakukan secara serial
(setiap 6-8 jam) agar dapat dilakukan antisipasi transfusi secara lebih tepat serta untuk
memantau lajunya proses perdarahan.22

5. Endoskopi diagnostik

Endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk diagnosis, dengan akurasi


diagnosis > 90%.12 Waktu yang paling tepat untuk pemeriksaan endoskopi tergantung pada
derajat berat dan dugaan sumber perdarahan. Dalam 24 jam pertama pemeriksaan endoskopi
merupakan standar perawatan yang direkomendasikan. Pasien dengan perdarahan yang terus
berlangsung, gagal dihentikan dengan terapi suportif membutuhkan pemeriksaan endoskopi
dini (urgent endoscopy) untuk diagnosis dan terapi melalui teknik endoskopi. 38,39 Tujuan
pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga untuk

38
menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi perdarahan ulkus peptikum
atas dasar penemuan endoskopi yang bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya. 23

Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopi

Forest Ia Perdarahan aktif - Perdarahan arteri menyembur

Forest Ib Perdarahan aktif - Perdarahan merembes

Forest II Perdarahan berhenti dan masih - Gumpalan darah pada dasar tukak
terdapat sisa perdarahan atau terlihat pembuluh darah

Forest
III Perdarahan berhenti - Lesi tanpa tanda sisa perdarahan
tanpa sisa perdarahan

Dikutip dari Adi


P.23

Tabel 5. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Ulkus Peptikum Menurut Forest

Endoscopic Stigmata of Bleeding Peptic Ulcer, Classified as High Risk or Low


Risk

39
Gambar 5.Gambaran Endoskopi Aktivitas Perdarahan Ulkus
peptikum Menurut Forest. Dikutip dari Gralneck 40

H. Tatalaksana perdarahan SCBA

Tujuan utama pengelolaan perdarahan SCBA adalah stabilisasi hemodinamik,


menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan menurunkan mortalitas.

1. Resusitasi

Bila sudah dalam keadaan hemodinamik tidak stabil atau dalam keadaan renjatan, maka
proses resusitasi cairan (cairan kristaloid atau koloid) harus segera dimulai tanpa menunggu
data pendukung lainnya. Pilihan akses, jenis cairan resusitasi, kebutuhan transfuse darah,
tergantung derajat perdarahan dan kondisi klinis pasien. Cairan kristaloid dengan akses
perifer dapat diberikan pada perdarahan ringan sampai sedang tanpa gangguan
hemodinamik. Cairan koloid diberikan jika terjadi perdarahan yang berat sebelum transfuse
darah bisa diberikan. Pada keadaan syok dan perlu monitoring ketat pemberian cairan,
diperlukan akses sentral. Target resusitasi adalah hemodinamik stabil, produksi urin cukup
(>30 cc/jam), tekanan vena sentral 5-10 cm H2O, kadar Hb tercapai (8-10 gr%).

2. Stratifikasi risiko dan penatalaksanaan preendoskopi

Untuk memprediksi risiko perdarahan ulang dan kematian dapat diguanakan sistem
skoring Rockall.

Tabel 6. Skor Rockall

40
Skor

0 1 2 3

Usia
(tahun) <60 60-79 >80 -

Syok Tidak ada HR > 100 bpm SBP < 100 -

(takikardi) mmhg

(hipotensi)

Komorbid Tidak ada Tidak ada Gagal jantung Gagal ginjal

Penyakit Hepar

Metastasis

Kanker

Diagnosis Robekan M- Diagnosis lain Keganasan -

W SCBA

Tidak ada lesi

Tidak ada SRH

SRH mayor Tidak ada/titik - Darah SCBA, -

hitam bekuan

melekat, visible

vessel or

spurting vessel

Dikutip dari Gralnek I.M.40

41
Tabel 7. Skor Blatchford

Variable Skor

Kadar Urea Darah(mmol/L)

≥ 6,5 – 7,9 2
8-9,9 3
10-24.9 4

≥25 6
Hemoglobin Laki-laki
(g/dl)

≥12-13 1
10-11,9 3
<10 6

Haemoglobin Perempuan (g/dl)

≥10-12 1
<10 6

Tekanan Darah Sistolik(mmHg)

100-109 1
90-99 2
<90 3

Tanda-tanda lain

Denyut ≥100/ menit 1

Melena 1

42
Sinkop 2

Penyakit Hepar 2

Gagal jantung 2

Dikutip dari Gralnek I.M.40

3. Terapi obat

PPI (Proton Pump inhibitor) merupakan pilihan utama dalam pengobatan perdarahan
SCBA non variseal. Beberapa studi melaporkan efektifitas PPI dalam menghentikan
perdarahan karena ulkus peptikum dan mencegah perdarahan berulang. PPI memiliki dua
mekanisme kerja yaitu menghambat H+/K+ATPase dan enzim karbonik anhidrase mukosa
lambung manusia. Hambatan pada H+/K+ATPase menyebabkan sekresi asam lambung
dihambat dan pH lambung meningkat.Hambatan pada pada enzim karbonik anhidrase terjadi
perbaikan vaskuler, peningkatan mikrosirkulasi lambung, dan meningkatkan aliran darah
mukosa lambung. PPI yang tersedia di Indonesia antara lain omeprazol, lansoprazole,
pantoprazole, rabeprazole, dan esomeprazole. PPI intravena mampu mensupresi asam lebih
kuat dan lama tanpa mempunyai efek samping toleransi. Studi Randomized Controlled Trial
(RCT) menunjukkan PPI efektif jika diberikan dengan dosis tinggi intravena selama 72 jam
setelah terapi endoskopi pada perdarahan pada ulkus dengan stigmata endoskopi risiko tinggi
misalnya, lesi tampak pembuluh darah dengan atau tanpa perdarahan akut.

Dosis rekomendasi omeprazol untuk stigmata resiko tinggi pada pemeriksaan


endoskopi adalah 80 mg bolus diikuti dengan 8 mg/jam infuse selama 72 jam dilanjutkan
dengan terapi oral. Pada pasien dengan stigmata endoskopi risiko rendah PPI oral dosis
tinggi direkomendasikan. PPI oral diberikan selama 6-8 minggu setelah pemberian
intravena, atau bisa lebih lama diberikan jika ada infeksi Helicobacter pylori atau
penggunaan regular aspirin, OAINS dan obat antiplatelet.

43
Algoritma Penatalaksanaan Penderita Perdarahan SCBA

4. Ulkus Peptikum
A. DEFINISI
Penyakit ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas
sampai di bawah epitel. Penyakit ulkus peptikum umumnya terjadi di duodenum dan
lambung, Ini juga dapat terjadi pada esofagus, pylorum, jejenum, dan Meckel’s
divertikulum. Penyakit ulkus peptikum terjadi ketika faktor agresif (gastrin, pepsin)

44
menembus faktor defensif yang melibatkan resistensi mukosa (mucus, bikarbonat,
mikrosirkulasi, prostaglandin, dinding mukosa) dan dari efek Helicobacter pylori.

B. ANATOMI
Lambung merupakan organ yang berbentuk seperti huruf J yang membentuk curvatura
major dan curvatura minor. Spleen terletak di sebelah kiri dari lambung dan pankreas terletak
di sebelah inferior dan posterior dari lambung. Sedangkan hati terletak di sebelah kanannya.
Lambung terletak di regio hipocondrium sinistra dari permukaan abdomen. Lambung terdiri
atas 5 bagian : 3

1. Cardia yang berhubungan langsung dengan esofagus;


2. Fundus yang menjadi atap yang merupakan perluasan dari cardia;
3. Corpus atau badan lambung;
4. Antrum; dan
5. Pylorus, terdapat sfingter yang memisahkan lambung dari duodenum.

Gambar 6. Anatomi Gaster

Arteri coeliacus menyuplai darah arteri ke lambung dan darah vena mengalir ke vena
portal hepatis. Lambung mendapat persarafan parasimaptis melalui nervus vagus (Nervus
X) dan simpatis dari nervus Splanicus. Sebagian besar mukosa lambung dibentuk oleh
lipatan-lipatan yang dikenal sebagai rugae. Mukosa antrum lebih halus dari mukosa
lambung. Lapisan mukus membantu melindungi lambung terhadap trauma mekanik, HCl
dan enzim proteolitik. 3

45
Kantung lambung merupakan bagian invaginasi dari epitel yang masuk ke dalam lamina
propria. Dua atau tiga kelenjar lambung dihubungkan dengan tiap kantung melalui isthmus.
Kelenjar lambung merupakan struktur tubular dengan kekhususan tiap sel untuk
menghasilkan HCl (sel parietal atau oksintik) dan pepsin (sel chief),penghasil mukus (sel
goblet), dan sel entero-endokrin dan sel stem. 3,4

Sel Parietal ditemukan pada daerah fundus, corpus dan atrum. Sel parietal terletak di
dinding luar dari kantung lambung dan tidak berkontak dengan lumen kantung. Walaupun
terpisah dari lumen kantung lambung oleh sel-sel utama, sel parietal menyalurkan sekresi
HCl mereka ke dalam lumen melalui saluran-saluran halus, atau kanalikulus, yang berjalan
di antara sel-sel utama. Selain menghasilkan HCl, sel parietal juga menghasilkan faktor
intrinsik dan gastroferrin yang penting dalam absorbsi vitamin B12 dan zat besi. 3,4

Sel chief atau sel utama ditemukan paling banyak pada corpus. Sel ini bertanggung
jawab dalam sekresi pepsinogen, yang merupakan suatu molekul enzim inaktif yang
disintesis dan disimpan oleh kompleks Golgi dan retikulum endoplasma sel chief. Apabila
pepsinogen ini disekresikan dalam lumen lambung, maka molekul pepsinogen akan
diuraikan oleh HCl menjadi bentuk aktif, pepsin. Pepsin ini berfungsi untuk mencerna
protein dan bekerja untuk menghasilkan lebih banyak pepsinogen.3,4

Sel entero-endokrin utama pada lambung adalah sel G yang menghasilkan gastrin, Sel
D yang menghasilkan somatostatin, dan sel entero-chromaffin-like (ECL) yang
menghasilkan histamin.

C. FISIOLOGI
Lambung melakukan beberapa fungsi. Fungsi terpenting adalah mrnyimpan makanan
yang masuk sampai disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk
pencernaan dan penyerapan optimal. Karena usus halus merupakan tempat utama
pencernaan dan penyerapan, lambung perlu menyimpan makanan dan menyalurkannya
sedikit demi sedikit ke duodenum dengan kecepatan yang tidak melebuhi kapasitas usus.
Fungsi kedua lambung adalah untuk mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan enzim-
enzim yang memulai pencernaan protein. 3,4

Terdapat empat aspek motilitas lambung: 4

1. Pengisian Lambung (gastic filling).

46
Jika kosong, lambung memiliki volumesekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai sekitar 1 liter ketika makan. Hal ini terjadi
karena terdapat dua faktor, yaitu:
a. Plastisitas otot polos yang mengacu pada kemampuan otot polos mempertahankan
ketegangan konstan. Dengan demikian, pada saat serat-serat otot polos lambung
teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut akan melemas tanpa
menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
b. Relaksasi reseptif lambung saat ia terisi. Di dalam lambung terdapat lipatan-lipatan
yang dikenal sebagai rugae. Selama makan, lipatan-lipatan tersebut mengecil dan
mendatar saat lambung sedikit demi sedikit melemas karena terisi. Relaksasi refleks
lambung sewaktu menerima makanan ini disebut relaksasi reseptif. Relaksasi ini
meningkatan kemampuan lambung untuk menambah volume sehingga makanan
bisa disimpan. Apabila kapasitas lebih dari 1 liter makanan yang masuk, lambung
akan teregang dan individu tersebut akan merasa tidak nyaman.
2. Penyimpanan Lambung
Sebagian sel otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang otonom dan
berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di daerah
fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang
menyapu ke bawah di sepanjang lambung menuju sfingter pilorus dengan kecepatan
tiga kali per menit. Pola depolarisasi spontan ritmik tersebut yaitu irama listrik dasar
atau BER (basic electical rhythm) lambung, berlangsung secara terus-menerus dan
mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.Bergantung pada
tingkat eksitabilitas otot polos, BER dapat dibawa ke ambang oleh aliran arus dan
mengalami potensial aksi yang kemudian memulai kontraksi otot yang dikenal sebagai
gelombang peristaltik. Gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan korpus
lalu ke antrum dan sfingter pilorus. Karena lapisan otot di fundus dan korpus tipis,
kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut melemah sedangkan di antrum memiliki
gelombang yang lebih kuat karena lapisan otot di antrum lebih tebal. Oleh karena itu,
makanan yang masuk ke lambung dari esofagus tersimpan relatif tenang tanpa
mengalami pencampuran. Makanan secara bertahap disalurkan dari korpus ke antrum,
tempat berlangsungnya pencampuran makanan.
3. Pencampuran Lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan bercampur
dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik
47
antrum mendorong kimus ke depan ke arah sfingter pilorus. Kontraksi tonik sfingter
pilorus dalam keadaan normal menjaga sfingter hampir, tetapi tidak seluruhnya,
tertutup rapat. Lubang yang tersedia cukup besar untuk air dan cairan lain lewat, tetapi
terlalu kecil untuk kimus yang kental lewat, kecuali apabila kimus terdorong oleh
kontraksi peristaltik yang kuat. Walaupun demikian, dari 30 ml kimus yang dapat
ditampung oleh antrum, hanya beberapa mililiter isi antrum yang terdorong ke
duodenum setiap gerakan peristaltik. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas
keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sfingter pilorus dan menyebabkan
sfingter tersebut berkontraksi lebih kuat sehingga aliran kimus ke duodenum
terhambat. Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke depan, tetapi tidak dapt
didorong ke dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada sfingter yang tertutup
dan tertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak
kembali pada saat gelombang peristaltik baru datang. Gerakan maju mundur tersebut
disebut retropulsi, menyebabkan kimus tercampur merata di antrum.
4. Pengosongan Lambung
Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung, juga
menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Pengosongan lambung
diatur oleh faktor lambung (jumlah kimus dalam lambung dan derajat keenceran dari
kimus dan faktor dudenum (lemak, asam, hipertonisitas, dan peregangan). Semakin
tinggi eksitabilitas, semakin sering BER menghasilkan potensial aksi, semakin besar
aktivitas di antrum, dan semakin cepat pengosongan lambung.

D. EPIDEMIOLOGI
Insidens dan prevalensi dari ulkus peptikum telah menurun pada tahun terakhir yang
sebagian besar dikarenakan ditemukannya pengobatan eradikasi bakteri H. pylori. Meskipun
terjadi kemajuan dalam pengobatan ulkus ini, komplikasi tetap menjadi masalah. Ini dapat
dikarenakan oleh peningkatan pengunaan ASA dan NSAIDs dan peningkatan usia pada
beberapa negara. Penemuan dari berbagai studi menemukan insiden tiap tahun dari
perdarahan ulkus sekitar 19,4- 57,0 kasus per 100,000 individu dan perforasi sekitar 3,8 –
14 kasus per 100,000 individu. Komplikasi ini juga sering dihubungkan dengan peningkatan
terjadinya ulkus rekuren dan mortalitas.

48
Komplikasi dari ulkus peptikum juga berdampak terhadap ekonomi negara. Total biaya
akibat ulkus peptikum di USA, berdasarkan pada biaya dan penurunan produktivitas kerja,
telah diestimasi mencapai 5,65 milliar per tahun.

Penyebaran penggunaan ASA dan NSAIDs kemungkinan memberikan konstribusi


terhadap komplikasi ulkus peptikum. Penggunaan ASA (meski pada dosis rendah) atau
NSAIDs paling sering dilaporkan menjadi salah satu faktor risiko terjadinya perdarahan
duodenum dan lambung pada studi yang telah dilakukan. Beberapa studi telah melaporkan
peningkatan risiko perdarahan kembali ketika terjadi infeksi H. pylori dengan penggunaan
ASA/NSAIDs secara bersamaan.

Pada 31% pasien dengan perdarahan ulkus peptikum mengalami perdarahan kembali
dalam 30 hari. Mortalitas tinggi terjadi pada pasien dengan komplikasi ulkus peptikum,
khususnya setelah perforasi. Mortalitas meningkat sesuai umur, yang kemungkinan
menggambarkan peningkatan prevalensi dari comorbiditas.

Di United States, Ulkus peptikum terjadi pada sekitar 4,5 juta orang. Secara
keseluruhan, Insiden dari ulkus duodenum menurun dalam 3-4 dekade terakhir. Meskipun
tingkat dari ulkus lambung sederhana menurun, insiden dari komplikasi ulkus lambung dan
rawat inap tetap stabil, karena penggunaan aspirin dan peningkatan usia. Tingkat rawat inap
dari ulkus lambung sekitar 30 pasien per 100,000 kasus.

Prevalensi terjadinya ulkus peptikum hampir sama pada laki-laki dan perempuan.
Prevalensinya sekitar 11-14% pada pria dan 8-11% pada wanita. Kecenderungan usia untuk
terjadinya ulkus menurun pada pria yang lebih muda, terutama untuk ulkus duodenum dan
meningkat pada wanita yang lebih tua.

Secara klinis ulkus duodeni lebih sering dijumpai daripada ulkus lambung. Pada
beberapa negara seperti Jepang dijumpai lebih banyak ulkus lambung daripada ulkus
duodeni. 5

E. FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI


Umumnya yang berperan besar terjadinya ulkus adalah H. Pylori yang merupakan
organisme yang menghasilkan urease dan berkoloni pada mukosa antral dari lambung
dimana penyebab tersering ulkus duodenum dan ulkus lambung. H. Pylori paling banyak

49
terjadi pada orang dengan sosialekonomi rendah dan bertambah seiring dengan usia.
Penyebab lain dari ulkus peptikum adalah penggunaan NSAIDs, kurang dari 1% akibat
gastrinoma (Zollinger-Ellison syndrome), luka bakar berat, dan faktor genetik. Faktor risiko
terjadinya ulkus adalah herediter (berhubungaan dengan peningkatan jumlah sel parietal),
merokok, hipercalcemia, mastositosis, alkohol, dan stress.

F. PATOGENESIS
1. Faktor Asam Lambung “No Acid No Ulcer” 3, 5
Sel parietal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik/ zimogen
mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl diubah jadi pepsin dimana HCl dan pepsin
adalah faktor agresif terutama pepsin dengan pH < 4. Bahan iritan akan menimbulkan
defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin terangsang untuk lebih
banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut/kronik dan ulkus
lambung.

Produksi asam lambung (HCl) distimulasi oleh gastrin yang disekresi oleh
sel G pada antrum, asetilkolin dilepaskan oleh nervus vagus dan histamin dilepaskan
oleh sel entero-chromaffin-like (ECL), yang semuanya menstimulasi reseptor pada
sel parietal yang merupakan penghasil asam.

Ulkus duodenum sangat jarang terjadi pada orang yang tidak menghasilkan
asam lambung, ulkus rekuren terjadi ketika produksi asam sangat meningkat, sebagai
contoh, oleh tumor yang mensekresi gastrin. Bagaimanapun, produksi asam lambung
biasanya rendah pada orang-orang dengan ulkus lambung dan ini dapat menghasilkan
gastritis kronik.

2. Balance Theory 1974 5


Ulkus terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif/ asam
dan pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah, PG), bisa faktor agresif
meningkat atau faktor defensif menurun.

3. Prostaglandin 5
Faktor risiko pada ulkus peptikum meningkat pada pasien yang menggunakan non-
steriod anti inflammatory drugs (NSAIDs), termasuk aspirin, yang menghambat

50
produksi prostaglandin oleh sel epitel. Oleh karena itu, risiko dari ulkus peptikum
berkurang oleh artifisial prostaglandin E2 agonist, misoprostil.
4. Obat Anti Inflamasi Non- Steroid (OAINS) 5,6,8,9
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat (ASA)
merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan dalam berbagai keperluan.
Pemakaian OAINS/ASA secara kronik dan reguler dapat menyebabkan terjadinya
resiko perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat dibanding yang tidak menggunakannya.

Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama gastroduodenal


penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek toksik/ iritasi langsung pada mukosa
yang memerangkap OAINS/ASA yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan
epitel dalam berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS/ASA
yang menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat
sehingga menekan produksi prostaglandin/prostasiklin. Seperti diketahui,
prostaglandin endogen sangat berperan dalam memelihara keutuhan mukosa dengan
mengatur aliran darah mukosa, proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan
bikarbonat, mengatur fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung.

Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan


OAINS/ ASA melalui 4 tahap, yaitu : menurunnya sekresi mukus dan bikarbonat,
terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran darah
mukosa dan kerusakan mikrovaskular yang diperberat oleh kerja sama platelet dan
mekanisme koagulasi.

5. Helicobacter pylori 5,6,8,9


Bakteri spiral pada lambung telah diketahui selama lebih ratusan tahun, dan
menjadi lebih signifikan pada tahun 1982 ketika Warren dan Marshall melakukan
kultur dari 11 pasien dengan gastritis dan dr Marshall mendemonstrasikan bahwa hal
itu menyebabkan gastritis. Infeksi H. Pylori sebagian besar ditemukan pada pasien
dengan ulkus peptikum, meskipun hanya sekitar 15% dari infeksi tersebut
berkembang menjadi ulkus. Eradikasi infeksi H. Pylori secara permanent dapat
mengobati sebagian besar pasien dengan ulkus peptikum.

Kebanyakan kuman patogen memasuki barier dari mukosa lambung, tetapi


HP sendiri jarang sekali memasuki epitel mukosa lambung ataupun bagian yang lebih
dalam dari mukosa tersebut. Bila HP bersifat patogen maka yang pertama kali terjadi

51
adalah HP dapat bertahan dalam suasana asam di lambung; kemudian terjadi penetrasi
terhadap mukosa lambung; dan pada akhirnya HP berkolonisasi di lambung tersebut.
Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari HP memainkan peranan penting
diantaranya urease memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang
melindungi kuman tersebut terhadap asam lambung.

Infeksi H. Pylori pada antrum gaster, yang menstimulasi produksi gastrin,


menyebabkan hipersekresi asam dan ulkus duodenum, sementara infeksi pada corpus
lambung, dimana terdapat sel parietal paling banyak, menyebabkan berkurangnya
produksi asam lambung dan dihubungkan dengan gastritis, ulkus lambung, kanker
lambung, dan lymphoma gaster.

Ulkus peptikum merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara faktor


gastroprotektif, seperti lapisan mukus dan prostaglandins, dan faktor agresif, seperti
asam lambung dan efek dari merokok, alkohol, dan NSAIDs. Ulkus lambung
kebanyakan disebabkan infeksi HP (30- 60%) dan OAINS sedangkan ulkus
duodenum hampir 90% disebabkan oleh HP, penyebab lain adalah Sindrom Zollinger
Elison.

G. GAMBARAN KLINIS
Secara umum, pasien dengan ulkus peptikum biasanya mengeluh dispepsia. Dispepsia
adalah suatu sindroma klinik/ kumpulan gejala pada saluran cerna seperti mual, muntah,
kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh dan cepat merasa kenyang. 2,3,5

Pada ulkus duodenum rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat
antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Sakit yang dirasakan seperti rasa terbakar, rasa
tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisir. 3,5

Pada ulkus lambung rasa sakit timbul setelah makan, rasa sakit di rasakan sebelah kiri,
anoreksia, nafsu makan berkurang, dan kehilangan berat badan. Walaupun demikian, rasa
sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis ulkus lambung karena dispepsia non ulkus juga
dapat menimbulkan rasa sakit yang sama. Muntah juga kadang timbul pada ulkus peptikum
yang disebabkan edema dan spasme seperti pada ulkus kanal pilorik (obstruction gastric
outlet). 2,3,5

52
H. DIAGNOSIS
Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan: 1) anamnesis (dispepsia/ rasa sakit
pada ulu hati); 2) pemeriksaan penunjang (radiologi dengan barium meal kontras/ colon in
loop dan endoskopi); dan 3) hasil biopsi untuk pemeriksaan kuman H. Pylori. 2,5

Ulkus Duadenum

Upper Gastrointestinal Endoscopy (UGIE) atau Upper Gastrointestinal barium


radiografi. 7,8

Ulkus lambung

Upper Gastrointestinal Endoskopi. 7,8

Deteksi H. Pylori

Deteksi antibodi pada serum dan rapid urease test pada biopsi antral. Urea breath test
umumnya digunakan untuk mengetahui eradikasi dari H. Pylori jika perlu. 7

I. TERAPI
Tujuan terapi adalah menghilangkan keluhan/ gejala, menyembuhkan/ memperbaiki
kesembuhan ulkus, mencegah kekambuhan/rekurensi ulkus, dan mencegah komplikasi. 2, 5

Walaupun ulkus lambung dan ulkus duodenum sedikit berbeda dalam patofisiologi
tetapi respon terhadap terapi sama. Ulkus lambung biasanya ukurannya lebih besar,
akibatnya memerlukan waktu terapi yang lebih lama. Untuk pengobatan ulkus lambung
sebaiknya dilakukan biopsi untuk menyingkirkan adanya suatu keganasan/kanker lambung.

Terapi terhadap ulkus peptikum terdiri dari: Non-medikamentosa, medikamentosa, dan


tindakan operasi. 5,6, 9, 10

TERAPI NON-MEDIKAMENTOSA

✓ DIET. Walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk diet yang
dilakukan, namun pemberian diet yang mudah cerna khususnya pada ulkus yang

53
aktif perlu dilakukan. Makan dalam jumlah sedikit dan lebih sering, lebih baik
daripada makan yang sekaligus kenyang. 5
Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung/ pepsin,
makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan zat-zat lain yang dapat mengganggu
pertahanan mukosa gastroduodenal. Beberapa peneliti menganjurkan makanan
biasa, lunak, tidak merangsang dan diet seimbang.
Merokok menghalangi penyembuhan ulkus, menghambat sekresi bikarbonat
pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni, menambah refluks dudenogastrik
akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus.
Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam lambung tetapi dapat
memperlambat pemyembuhan luka serta meningkatkan angka kematian karena efek
peningkatan kekambuhan penyakit saluran pernafasan dan penyakit jantung koroner.
Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. Air jeruk yang asam,
coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik tetapi dapat menambah
sekresi asam lambung dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan luka dan
sebaiknya jangan diminum sewaktu perut kosong. 5
✓ OBAT-OBATAN. OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara parenteral
(supositorik dan injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila diperlukan dosis OAINS
diturunkan atau dikombinasikan dengan ARH2/PPI/misoprostrol. Pada saat ini
sudah tersedia COX 2 inhibitor yang selektif untuk penyakit OA/RA yang kurang
menimbulkan keluhan perut. Agen inhibitor COX-2 selektif dibedakan menurut
susunan sulfa (rofecoxib, etoricoxib) dan sulfonamida (celecoxib, valdecoxib).
Penggunaan parasetamol atau kodein sebagai analgesik dapat dipertimbangkan
pemakaiannya.
TERAPI MEDIKAMENTOSA

✓ ANTASIDA. Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering
digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Preparat yang
mengandung magnesium tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan
hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium menyebabkan
konstipasi dan neurotoksik tapi bila dikombinasi dapat menghilangkan efek samping.
Dosis anjuran 4 x 1 tablet, 4 x 30 cc.
✓ KOLOID BISMUTH (COLOID BISMUTH SUBSITRAT/CBS DAN BISMUTH
SUBSALISILAT/BSS). Mekanisme belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan

54
penangkal bersama protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap pengaruh
asam dan pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi PG,
bikarbonat, mukus. Efek samping jangka panjang dosis tinggi khusus CBS neuro
toksik.
Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta adanya
efek bakterisidal terhadap Helicobacter pylori sehingga kemungkinan relaps
berkurang. Dosis anjuran 2x2 tablet sehari dengan efek samping berupa tinja
berwarna kehitaman sehingga menimbulkan keraguan dengan perdarahan.

✓ SUKRALFAT. Suatu kompleks garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti


dengan aluminium hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja kemungkinan melalui
pelepasan kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul
protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar ulkus, yang melindungi ulkus
dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain membantu sintesa prostaglandin,
menambah sekresi bikarbonat dan mukus, meningkatkan daya pertahanan dan
perbaikan mukosal. Dosis anjuran 4x1 gr sehari.
✓ PROSTAGLANDIN. Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung
menambah sekresi mukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah mukosa serta
pertahanan dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi asam lambung kurang
kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya
ulkus lambung pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis anjuran 4x200 mg
atau 2x400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan
menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak dianjuran pada orang hamil dan
yang menginginkan kehamilan.
✓ ANTAGONIS RESEPTOR H2/ARH2. (Cimetidin, Ranitidine, Famotidine,
Nizatidine), struktur homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya memblokir
efek histamin pada sel parietal sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk
mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel. Pengurangan sekresi
asam post prandial dan nokturnal, yaitu sekresi nokturnal lebih dominan dalam
rangka penyembuhan dan kekambuhan ulkus.
Dosis terapeutik :

Cimetidin : dosis 2x400 mg atau 800 gr malam hari

Ranitidin : 300 mg malam hari

55
Nizatidine : 1x300 mg malam hari

Famotidin : 1x40 mg malam hari

Roksatidin : 2x75 mg atau 150 mg malam hari

Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam dalam potensi
yang hampir sama, tapi efek samping simetidin lebih besar dari famotidin karena
dosis terapeutik lebih besar.

✓ PROTON PUMP INHIBITOR/ PPI (Omeprazol, Lanzoprazol, pantoprazol,


Rabeprazol, Esomesoprazol). Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim
K+ H+ ATPase yang akan memecah K+ H+ ATP menghasilkan energi yang digunakan
untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung.
PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan
pengurangan rasa sakit pasien ulkus, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin
dengan pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs regimen.
Dosis Terapetik :

Rabeprazole 2x 20 mg/ hari

Omeprazole 2x 20 mg/ hari

Esomesoprazole 2x 20 mg/ hari

Lanzoprazole 2x 30 mg/ hari

Pantoprazole 2x 40 mg/ hari

✓ REGIMEN TERAPI HELICOBACTER PYLORI 5


Terapi Triple. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama digunakan
adalah: bismuth, metronidazole, tetrasiklin. Regimen triple terapi (PPI 2x1,
Amoxicillin 2x1000, klaritromisin 2x500, metronidazole 3x500, tetrasiklin 4x500)
dan yang banyak digunakan saat ini:

1. Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin 2x500


2. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Claritromisin 2x500 (bila alergi penisilin)
3. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x 1000

56
4. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap
klaritromisin dan penisilin
Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole. Ada
anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus, bisa
dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi
sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30%.

Kegagalan pengobatan eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan


compliance dan resisten kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan pasca eradikasi
biasanya suatu rekurensi denfan infeksi kuman lain.

Tujuan eradikasi HP adalah mengurangi keluhan/gejala, penyembuhan ulkus,


mencegah kekambuhan. Eradikasi selain dapat mencegah kekambuhan ulkus, juga
dapat mencegah perdarahan dan keganasan.

Terapi Quadripel. Jika gagal dengan terapi triple, maka dianjurkan memberikan
regimen terapi Quadripel yaitu: PPI 2x sehari, Bismuth subsalisilat 4x2 tab, MNZ
4x250, Tetrasiklin 4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan triple terapi.
Bila belum berhasil, dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya : 5, 9, 10

- Perdarahan : hematemesis/ melena dengan tanda syok apabila perdarahan masif dan
perdarahan tersembunyi
- Anemia : Anemia dapat terjadi apabila terjadi kekurangan daraha berlebihan dan
anemia kronik
- Perforasi : nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis
- Gastric Outlet Obstruction : keluhan pasien akibat komplikasi ini berupa cepat
kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah makan/ post
prandial, berat badan menurun. Obstruksi yang terjadi akibat peradangan daerah peri
pilorik timbul odema, spasme. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis dari suatu
tukak sehingga mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu.
Komplikasi Pasca Operasi: 1,9, 10

- Obstruksi loop aferent (Billroth II),


- Bile reflux gastritis,

57
- Dumping syndrome (pengosongan lambung menjadi cepat dengan abdominal
distress),
- Postvagotomy diare,
- Bezoar,
- Anemia (iron, B12, malabsorpsi folat),
- Malabsorption,
- Osteomalacia and osteoporosis (malabsorpsi vitamin D and Ca), dan
- Gastric remnant carcinoma.

K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit dan komplikasi yang terjadi. Kebanyakan
pasien berhasil diobati dengan eradikasi infeksi H pylori, menghindari NSAID, dan
penggunaan yang tepat terapi anti sekresi. Eradikasi infeksi H pylori menurunkan tingkat
kekambuhan ulkus 60-90% menjadi sekitar 10-20%. 8

Tingkat mortalitas dari ulkus peptikum, yang telah menurun dalam beberapa dekade
terakhir, sekitar 1 kematian per 100,000 kasus. Jika suatu pertimbangan semua pasien
dengan ulkus duodenum, tingkat mortalitas karena perdarahan ulkus sekitar 5%. Selama 20
tahun terakhir, tingkat mortalitas pada perdarahan ulkus tidak berubah walaupun muncul
histamin-2 reseptor antagonis (H2RAs) dan PPI. Bagaimanapun, bukti dari meta- analisis
dan studi lain telah menunjukkan penurunan tingkat mortalitas dari perdarahan ulkus
peptikum ketika PPI intravena digunakan setelah terapi endoskopi berhasil. 8

5. Hepatitis B
A. Definisi

Penyakit infeksi akut pada yang menyebabkan peradangan hati yang disebabkan oleh Virus
Hepatitis B. Infeksi HBV mempunyai 2 fase akut dan kronis :1
• Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus itu.beberapa kasus berubah menjadi hepatitis
fulminan.
• Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama dari 6 bulan

58
B. DIAGNOSIS

Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang-kurangnya 2 pertanda


serologis. HBsAg adalah pertanda serologis pertama infeksi yang muncul dan terdapat pada
hampir semua orang yang terinfeksi; kenaikannya sangat bertepatan dengan mulainya gejala.
HBeAg sering muncul selama fase akut dan menunjukkan status yang sangat infeksius.
Karena kadar HBsAg turun sebelum akhir gejala, antibody IgM terhadap antigen core
hepatitis B (IgM anti HBcAg) juga diperlukan karena ia naik awal pasca infeksi dan menetap
selama beberapa bulan sebelum diganti dengan IgG anti-HBcAg, yang menetap selama
beberapa tahun. IgM anti-HBcAg biasanya tidak ada pada infeksi HBV perinatal. Anti-
HBcAg adalah satu pertanda serologis infeksi HBV akut yang paling berharga karena ia
muncul hampir seawal HBsAg dan terus kemudian dalam perjalanan penyakit bila HBsAg
telah menghilang. Hanya anti-HBsAg yang ada pada orang-orang yang diimunisasi dengan
vaksin hepatitis B, sedang anti-HBsAg dan anti-HBcAg terdeteksi pada orang dengan infeksi
yang sembuh.

C. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan prinsipnya adalah
suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada periode simptomatis. Hepatitis B
immunoglobulin (HBIg) dan kortikosteroid tidak efektif. Lamivudin 100 mg/hari dilaporkan
dapat digunakan pada hepatitis fulminan akibat eksaserbasi akut HVB. Pada HBV kronis,
tujuan terapi adalah untuk mengeradikasi infeksi dengan menjadi normalnya nilai
aminotransferase, menghilangnya replikasi virus dengan terjadinya serokonversi HBeAg
menjadi antiHBe dan tidak terdeteksinya HBV-DNA lagi. Bila respons terapi komplit, akan
terjadi pula serokonversi HBsAg menjadi anti HBs, sehingga sirosis serta karsinoma
hepatoseluler dapat dicegah.

6. Syok Hipovolemik
A. Definisi
Syok hipovolemik merupakan tipe syok paling umum ditandai dengan penurunan volume
intravaskular. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen intraselular dan ekstraseluler.
Syok hipovolemik adalah suatu keadaan dimana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan

59
cepat sehingga dapat mengakibatkan multiple organ failure akibat perfusi yang tidak adekuat
(1)

Gambar 1. Cairan Tubuh

B. Patofisiologi Syok

60
Gambar 2. Patogenesis Syok Hipovolemik

7. Retensi Urin
A. Defenisi
Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. Retensio urine adalah
kesulitan miksi karena kegagalan urine dari vesika urinaria (Kapita Selekta Kedokteran).
Retensi urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat terjadi secara
akut maupun kronis (Depkes RI Pusdiknakes 1995).

B. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala dari penyakit retensi urin ini adalah :
1. Di awali dengan urin mengalir lambat
2. Terjadi poliuria yang makin lama makin parah karena pengosongan kandung kemih
tidak efisien
3. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih
4. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan kadang ingin BAK
5. Pada retensi berat bisa mencapai 2000-3000 cc

61
BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pasien datang ke IGD dengan keluhan BAB hitam sejak 4 hari SMRS, 1-2x dalam
sehari. Konsistensi feces cair menggumpal, kehitaman, darah (-), lendir (-). 10 hari SMRS
pasien dipasang selang kateter di puskesmas karena mengeluh sulit BAK. Mual (+), muntah
(-). Sesak napas (-), demam(-), batuk (-), pilek (-). Makan minum seperti biasa. Menurut
keluarga pasien, pasien kadang-kadang mengkonsumsi obat warung mixagrip untuk
menghilangkan gejala flu dan demam. Pasien juga mengalami pendengaran yang berkurang
yang disebabkan karena pasien pernah tersambar petir di bawah pohon pisang sejak 20 tahun
yang lalu.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Diagnosis pasien ini yaitu, Anemia Gravis et causa Cacing di duodenum, Melena
et causa Pan Gastroduodenitis dan Ulkus doudenum, Hepatitis B, Syok hipovolemik dan
Retensi urin.

Suatu anemia berat yang kronis (anemia gravis) dikatakan bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL
selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan
gejala klinis. Faktor resiko anemia gravis seperti jenis kelamin, penghasilan (status
ekonomi), pendidikan, usia, gaya hidup, keturunan. Anemia gravis juga dapat disebabkan
oleh komplikasi yang sering terjadi pada penderita keganasan (kanker), Infeksi cacing pada
manusia baik oleh cacing gelang, cacing cambuk maupun cacing tambang dapat
menyebabkan perdarahan yang menahun yang berakibat menurunnya cadangan besi tubuh
dan akhirnya menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi. Pada penyakit malaria, anemia
atau penurunan kadar hemoglobin darah sampai dibawah normal disebabkan penghancuran
sel darah merah yang berlebihan oleh parasit malaria. Thalassemia merupakan penyakit
herediter yang disebabkan menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada
hemoglobin, dan kekurangan zat besi. Beberapa pengobatan medis anemia dengan berbagai
indikasi seperti, erythropoiesis-stimulating agents (ESAs), Epoetin alfa, Fresh Frozen
Plasma (FFP), cryoprecipitate, produksi besi, transfusi, transplantasi sumsum tulang dan
stem sel, terapi nutrisi dan pertimbangan pola makan, dan pembatasan aktivitas. Sebuah studi

62
menyimpulkan bahwa akupunktur dapat meningkatkan Ferritin Serum dan mengurangi
TIBC (Total Iron Binding Capacity).

Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) yaitu perdarahan dari lumen saluran cerna di atas
ligamentum Treitz mengakibatkan melena dan hematemesis. Melena adalah tinja yang
lengket dan hitam seperti aspal dengan bau khas.

Manifestasi klinis perdarahan SCBA tergantung dari : a) letak sumber perdarahan &
kecepatan gerak usus; b) kecepatan perdarahan; c) penyakit penyebab perdarahan; d)
keadaan sebelum perdarahan. Diagnosis perdarahan SCBA yaitu :

• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik : penentuan status hemodinamik, evaluasi jumlah perdarahan,
tanda fisik lain
• Pemeriksaan penunjang : tes darah, faal hemostasis, elektrolit, faal hati, EKG &
foto thorax, endoskopi (gold standar)

Diagnosis bandingnya yaitu hemoptoe dan hematokezia. Penatalaksaan secara umum


dan khusus. Keadaan memperburuk prognosis : gagal jantung kongestif/ infark miokard,
PPOK, sirosis, gagal ginjal, keganasan, >60 tahun, gangguan pembekuan. Komplikasinya
yaitu : syok hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal koma
hepatikum, anemia karena perdarahan.

63
DAFTAR PUSTAKA

Achadi, Endang L., 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Adebisi OY, Strayhorn G. Anemia in pregnancy and race in the United States:
blacks at risk. Fam Med. Oct 2005;37(9):655-62.
Adi, P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI. 2006 : 289 – 97

Agus ZAN. Pengaruh Vitamin C Terhadap Absorpsi Zat Besi pada Ibu Hamil
Penderita Anemia. In : MEDIKA Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol.
XXX; 2004.p. 496 – 499.

Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.p.75, 185-188, 249-254.

Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to
clinical outcome in heart failure. Circulation, 110, pp.149–154.
Astera, I W.M. & I D.N. Wibawa. Tata Laksana Perdarahan Saluran Makan
Bagian Atas : dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta :
EGC. 1999 : 53 – 62.
Baliwati, Y.F., dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Jakarta.
Baradero M. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan
Keperawatan.Jakarta: EGC
Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and complications in
patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine.
Haematologica. Oct 2004;89(10):1187-93.

Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias and other red cell disorders. New York:
Mc Graw-Hill

Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross
AC, Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and
Disease. Ed ke-10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.

64
Casale M, Perrotta S. Splenectomy for hereditary spherocytosis: complete, partial
or not at all?. Expert Rev Hematol. Dec 2011;4(6):627-35.
Davey, P. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta :
Erlangga. 2006 : 36 – 7.

Dhar R, Zazulia AR, Videen TO, et al. Red blood cell transfusion increases
cerebral oxygen delivery in anemic patients with subarachnoid
hemorrhage. Stroke. Sep 2009;40(9):3039-44.
Djumhana, A. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas :
pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran_cerna_bagian_atas.pdf
. 2011.

Fleischman G. 2006. Healthcare solution with acupuncture. Bloomington:


iUniverse
Gallagher ML. 2008. The Nutrients and Their Metabolism. In : Mahan LK,
Escott-Stump S. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. 12th edition.
Philadelphia: Saunders.

Ganong W. F. 2003. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Bab 27 Sirkulasi Cairan


Tubuh hal. 513-515 Edisi 20. EGC : Jakarta

Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford University


Press.
Hadi, S. Perdarahan Saluran Makan : dalam Gastroenterologi. Bandung : PT
Alumni. 2002 : 281 – 305.
Hastings, G.E. Hematemesis & Melena :
wichita.kumc.edu/hastings/hematemesis.pdf . 2005.
PB PAPDI. Standar Pelayanan Medik. Jakarta : PB PAPDI. 2005: 272 – 3.
Purwadianto, A. & Budi S. Hematemesis & Melena : dalam Kedaruratan Medik.
Jakarta : Binarupa Aksara. 2000 : 105 – 10.
Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan : dalam Harrison
(Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. 1999 : 259 – 62.

65

Anda mungkin juga menyukai