Disusun oleh:
Ami Puspitasari
NIPP. 20174011033
Pembimbing:
2017
1
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun oleh:
NIPP: 20174011033
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 62 tahun
Status : Menikah
No. CM : 17-18-379666
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
BAB hitam
b. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)
Pasien datang ke IGD dengan keluhan BAB hitam sejak 4 hari SMRS, 1-2x dalam
sehari. Konsistensi feces cair menggumpal, kehitaman, darah (-), lendir (-). 10 hari SMRS
pasien dipasang selang kateter di puskesmas karena mengeluh sulit BAK. Mual (+), muntah
(-). Sesak napas (-), demam(-), batuk (-), pilek (-). Makan minum seperti biasa. Menurut
keluarga pasien, pasien kadang-kadang mengkonsumsi obat warung mixagrip untuk
menghilangkan gejala flu dan demam. Pasien juga mengalami pendengaran yang berkurang
yang disebabkan karena pasien pernah tersambar petir di bawah pohon pisang sejak 20 tahun
yang lalu.
3
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kondisi yang serupa pasien. Riwayat
hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes melitus disangkal oleh keluarga pasien.
f. Anamnesis sistem
• Kepala dan leher : tidak ada keluhan
• THT : tidak ada keluhan
• Respirasi : tidak ada keluhan
• Kardiovaskuler : tidak ada keluhan
• Gastrointestinal : tidak ada keluhan
• Perkemihan : pasien kesulitan BAK sejak 10 hari SMRS
• Reproduksi : tidak ada keluhan
• Kulit dan ekstremitas : tidak ada keluhan
Suhu = 36.50C
SpO2 = 98%
4
Bentuk kepala Normocephali
Thorax
Cor sternalis kanan, batas kanan atas paru-jantung pada sic III line
sternalis kanan. Batas kiri paru-jantung pada sic V linea
midclavicularis kiri, batas atas kiri paru-jantung pada sic III linea
parasternalis kiri.
5
Abdomen
Timpani pada semua lapang perut, shfting dullness (-), liver span
Extremitas
Palpasi + +
akral dingin + +
Edema - -
+ +
HEMATOLOGI
6
MCHC 29.6* 86 – 108 g/dL
Trombosit 362 103/uL
28 – 31
Golongan Darah ABO O
30 – 35
150 – 450
HITUNG JENIS
40-75
KIMIA
ELEKTROLIT
7
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
IMUNO/SEROLOGI
HEMATOLOGI
150 – 450
HITUNG JENIS
40-75
8
c. Pemeriksaan Laboratorium (30/12/2017)
HEMATOLOGI
150 – 450
HITUNG JENIS
40-75
KIMIA
9
d. Pemeriksaan Laboratorium (31/12/2017)
HEMATOLOGI
150 – 450
HITUNG JENIS
40-75
IMUNO/SEROLOGI
10
e. Pemeriksaan Laboratorium (01/01/2018)
HEMATOLOGI
150 – 450
HITUNG JENIS
40-75
KIMIA
11
f. Pemeriksaan EGD
12
g. Gambaran Darah Tepi
13
h. EKG (27/12/2017)
Interpretasi EKG :
• Irama : Sinus Aritmia
• Frekuensi : 73 x/menit
• Regularitas : Iregular
• Aksis : normal
• Gelombang P : normal (0,08-0,11 detik)
• Interval PR : normal (0,12-0,20 detik)
• Interval QRS : normal (0,06-0,1 detik)
• Terdapat T inversi di lead I, II, AVF, V3-V6
14
• Terdapat iskemik inferior, anteroseptal dan lateral
i. ASSESSMENT
1) Melena et causa
• Pan Gastroduodenitis
• Ulkus doudenum
2) Anemia Gravis et causa Ascariasis
3) Hepatitis B
4) Syok hipovolemik
5) Retensi urin
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANEMIA GRAVIS
A. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadinya penurunan konsentrasi eritrosit
atau hemoglobin pada darah sampai dibawah normal, hal ini terjadi apabila keseimbangan
antara kehilangan darah (lewat perdarahan atau penghancuran sel) dan produksi darah
terganggu. Dengan kata lain, anemia terjadi apabila kadar eritrosit atau hemoglobin dalam
darah menurun dan mengakibatkan penurunan fungsi utamanya.
Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-
turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel darah merah yang cepat dan
hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada penderita anak-anak. Anemia gravis dapat
bersifat akut dan kronis. Anemia kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB),
sickle cell anemia (SCA), talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia
gravis kronis juga dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi
parasit yang lama, seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan
17
gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala
gangguan jantung-paru (Tramuz & Jereb, 2003).
B. Kriteria Anemia
Dalam menjelaskan definisi anemia, diperlukan adanya batas batas kadar hemoglobin
dan hematokrit sehingga bisa dianggap telah terjadi anemia. Batasan (cut off point) ini sangat
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, ketinggian
tempat tinggal dari permukaan laut, dan lain lain.
C. Epidemiologi
Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati 1.62 milyar
penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini
dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut.
18
Kelompok Populasi Angka Pravalensi
Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu sebanyak 50-70% dan
yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa sebanyak 20-30%. Anemia lebih sering
ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa kehamilan keperluan zat-zat gizi
bertambah dan adanya perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price et al,
1995 dalam Wulansari, 2006).
Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada geografi. Salah
satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi masyarakat. Sedangkan prevalensi
anemia gravis sendiri menurut WHO mencapai angka lebih dari 40% dalam satu populasi
(WHO, 2006).
19
D. Etiologi dan Patofisiologi
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan pada tiga
kelompok:
• Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang atau gagal
• Anemia akibat penghancuran sel darah merah
• Anemia akibat kehilangan darah
20
), penggunaan obat obatan yang mengakibatkan ulkus atau gastritis (misal OAINS),
menstruasi, dan proses kelahiran.
E. GAMBARAN KLINIS
Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular (dengan
peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi O2 hemoglobin. Pada
beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak terdapat gejala atau tanda, sedangkan
pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin mengalami kelemahan berat (Kasper,
2005).
a) Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek, khususnya pada
saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala. Pada pasien berusia tua,
mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pektoris, kaludikasio intermiten, atau
kebingunagan (konfusi). Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina dapat mempersulit
anemia yang sangat berat, khususnya yang awitannya cepat. (McPhee, 2006)
b) Tanda
Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum meliputi
kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL.
Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik
dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik
khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung kongesti mungkin ditemukan, khususnya
pada orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis
anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia
hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia hemolitik
lainnya, deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain
yang berat (Lissaeur, 2007).
21
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia dengan berbagai
indikasi.
1. Farmakologi
a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b) Epoetin Alfa
c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan
FRESH FROZEN PLASMA (FFP)
CRYOPRECIPITATE
d) Garam Besi
Fereous Sulfate
Carbonyl Iron
Iron Dextran Complex
Ferric Carboxymaltose
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami pendarahan dan
untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif dan tidak boleh digunakan
sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada penyakit kronis yang berhubungan dengan
anemia gravis, erythropoietin dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi transfusi
(Anand et al, 2004).
22
dan kesehatan manusia dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul
esensial yang merupakan komponen dari semua sel dalam tubuh. Protein berperan penting
dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan
mengakibatkan transportasi zat besi terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di
samping itu makanan yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak
mengandung zat besi. (Gallagher ML, 2008)
b. Zat Besi
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor utama
pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi yang disimpan dalam tubuh manusia
adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu
kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu
mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan tubuh (Provan,
2004).
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan sayuran
berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-
protein dan kompleks heme-protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah
sumber zat besi yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya (Mozzafari et al,
2009).
c. Asam Folat
d. Vitamin B12, Vitamin A dan Vitamin C
e. Pembatasan Aktivitas
Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai sebagian anemia dapat
disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari dengan bed rest, terapi dapat dilakukan untuk
pasien dengan anemia yang dapat disembuhkan (misalnya anemia pernisiosa).
G. PROGNOSIS
Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia. Bagaimanapun,
keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah memainkan peranan penting
dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur pasien dan faktor penyerta lainnya.
23
Sekitar 30% pasien dengan sirosis meninggal akibat pendarahan visceral. Pasien dengan
penyakit hati kelas Child C memiliki tingkat kematian 50%. Tingkat perdarahan ulang pada
pasien yang diobati secara medis adalah lebih dari 70%. (Gultom, 2003)
2. Penyakit Cacingan
A. Definisi
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan
dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda
usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui
tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).
1. Ascaris lumbricoides
a. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm,
sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina
dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur
yang tidak dibuahi. Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan
manusia akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus
menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu mengikuti
aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus,
lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring,
sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu
24
menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu
kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000:10).
b. Patofisiologi
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat berupa
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada
infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan
(malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi
penyumbatan pada usus (Ileus obstructive).S elain itu menurut Effendy yang dikutip Surat
Keputusan Menteri Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang
masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang
disebut Sindroma Loeffler.
25
belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis
yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat
dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Menteri Kesehatan, 2006).
d. Epidemiologi
Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan tidak terkena
sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi A.
lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau
minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Menteri Kesehatan,2006).
e. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat. Pengobatan
individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat piperasin, pyrantel
pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat anticacing untuk pengobatan
massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat,
mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat
terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).
2. ANCYLOSTOMA DUODENALE
a. Morfologi dan Daur Hidup
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang
yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan
9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing
jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam
mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing
akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi
larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang
dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang
yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di
dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron,
sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit,
larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya menembus pembuluh
darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan
26
masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform
menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).
b. Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing
tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh
cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita
mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta
menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat cacingan sering terlupakan karena
adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)
Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,,
prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di
samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
d. Epidemiologi
27
Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat
tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun
luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat
menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini
(Gandahusada, 2000). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur
(pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah
dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.
3. Trichuris trichiura
a. Morfologi dan Daur Hidup
Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm.
Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor
cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-
kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes
bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab
dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes),
kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah
menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum.
Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur
sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).
28
Gambar 3. Daur Hidup Trichuris trichiura (Menteri Kesehatan, 2006)
b. Patofisiologi
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di
dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh
kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke
dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa
usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini
juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan,
2006)
Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang
jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada
anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-
kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai
dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di
dalam tinja (Gandahusada, 2000).
29
d. Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius.
Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.
Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia
frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah
dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan
tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan,
mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera
yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000). Dahulu infeksi Trichuris trichiura
sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris
trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada, 2000).
1. Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota
atau daerah pinggiran (Hotes, 2003). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Hotes
(2003) bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah
perkotaan. Sedangkan menurut Albonico yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah
prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian
besar masih hidup dalam kekurangan.
2. Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang
mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah
dengan suhu optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi
dan suhu yang berkisar antara25ºC-30ºC sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris
30
lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2000:11).Sedangkan
untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC
dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah
yaitu 23ºC-25ºC tetapi umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000).
3. Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena
tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab.
Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi
terutama di daerah perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2002).
4. Perilaku
Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah
(Peter J. Hotes, 2003:21). Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena
biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci
tangan (Oswari, 1991).
5. Sosial Ekonomi
6. Status Gizi
31
3. MELENA (Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas)
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) adalah kehilangan darah dalam lumen
saluran cerna yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum treitz, mulai dari esofagus,
gaster, duodenum sampai pada bagian atas dari jejunum.
1. Hipotensi (<90/60 mmHg atau Mean Arterial Presure (MAP)<70 mmHg) dengan
frekuensi nadi > 100/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20 mmHg
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit.
4. Akral dingin.
5. Kesadaran menurun.
6. Anuria atau oliguria (produksi urine < 30ml/ jam).
B. Epidemiologi
32
Di Amerika Serikat angka kejadiannya berkisar antara 50-150 per 100.000 penduduk
per tahun. Angka kematiannya bervariasi antara 4-14% tergantung pada kondisi pasien dan
penanganan yang tepat.2,3 Pasien dengan komplikasi atau tanpa komplikasi di Amerika
serikat rata-rata lama rawat inap adalah 4,4 dan 2,7 hari dengan biaya perawatan sebesar
5632 US dollar dan 3402 US dollar.4 Umumnya 80% dari kasus dapat berhenti dengan
sendirinya. 10% kasus membutuhkan prosedur intervensi untuk mengontrol perdarahan.
Terdapat perbedaan distribusi penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)
di Indonesia dengan laporan pustaka Barat.22 Penyebab terbanyak di Indonesia adalah
perdarahan varises karena sirosis hati (65%), sedangkan di negara Eropa dan Amerika adalah
perdarahan non variceal karena ulkus peptikum (60%).8 Penyebab lain yang jarang meliputi,
Malory Weiss tears, duodenitis erosive, ulkus dielafoy (salah satu tipe malformasi vaskuler),
neoplasma, aortoenteric fistula, GAVE (gastric antral vascular ectasia) dan gastropathy
prolapse.
(less common)
Vascular Ectasia) =
watermelon stomach
Varises gaster
Neoplasma
33
Dikutip dari Green
BT. 25
Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis perdarahan
SCBA.Faktor risiko yang telah di ketahui adalah usia, jenis kelamin, penggunaan OAINS,
penggunaan obat antiplatelet, merokok, mengkonsumsi alkohol, riwayat ulkus, diabetes
mellitus dan infeksi bakteri Helicobacter pylori.
1. Usia
Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat pada usia >60
tahun. Penelitian pada tahun 2001-2005 dengan studi retrospektif di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo terhadap 837 pasien yang memenuhi kriteria perdarahan SCBA
menunjukkan rata-rata usia pasien laki-laki adalah 52,7 ± 15,82 tahun dan rata-rata usia
pasien wanita adalah 54,46 ± 17,6.26 Usia ≥ 70 tahun dianggap sebagai faktor risiko karena
terjadi peningkatan frekuensi pemakaian OAINS dan interaksi penyakit komorbid yang
menyebabkan terjadinya berbagai macam komplikasi.27
2. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami perdarahan SCBA berjenis
kelamin laki-laki.11 Dari penelitian yang sudah dilakukan mayoritas menggunakan
pendekatan epidemiologi dan belum ada penelitian yang secara spesifik menjelaskan
hubungan perdarahan SCBA dengan jenis kelamin.
Peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi, kematian) terjadi pada orang
tua yang mengkonsumsi OAINS. Studi cross sectional terhadap individu yang
mengkonsumsi OAINS pada dosis maksimal dalam jangka waktu lama 35% hasil endoskopi
adalah normal, 50% menunjukkan adanya erosi atau petechiae, dan 5%-30% menunjukkan
34
adanya ulkus. Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi adalah ibuprofen, naproxen,
indomethacin, piroxicam, asam mefenamat, diklofenak.
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan faktor
perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis subterapi 10 mg per hari masih dapat
menghambat siklooksigenase. Aspirin dapat menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum,
komplikasi perdarahan dan perforasi pada perut dan lambung. Obat antiplatelet seperti
clopidogrel berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi saluran cerna.
5. Riwayat Gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada kelompok ini
diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi oleh adanya gangguan dalam
mekanisme pertahanan mukosa dan proses penyembuhan.
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral yang hidup
dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Beberapa penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi H.pylori <75% pada pasien ulkus duodenum.
Dari hasil penelitian di New York 61% dari ulkus duodenum dan 63% dari ulkus gaster
disebabkan oleh infeksi H.pylori.
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam proses
pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa mekanisme telah
terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi sel-sel foveola gastrica
membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel makanan besar menempel secara
langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga mendasari pembentukan lapisan musin
stabil pada permukaan epitel yang melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung,
selain itu memiliki pH netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan.
Suplai vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga
35
berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut atau
kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme protektif tersebut.
Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga rentan
terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna.33 OAINS dan obat antiplatelet dapat
mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh prostaglandin atau
mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa
gaster.27 Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi
asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan sekresi
lambung.34 Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang
berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam dan isi minuman berakohol selain alkohol juga
merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan mukosa saluran cerna.27
Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan
kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya kemampuan regenerasi sel.33 Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid
pada perdarahan SCBA dan menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien DM terjadi
36
perubahan mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan prostasiklin yang berfungsi
mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi perdarahan.34
Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum. Merokok memicu kekambuhan,
menghambat proses penyembuhan dan respon terapi sehingga memperparah komplikasi
ulkus kearah perforasi.
Manifestasi klinik yang sering terjadi adalah adanya hematemesis (muntah darah segar
dan atau disertai hematin/ hitam) yang kemudian dilanjutkan dengan timbulnya melena. Hal
ini terutama pada kasus dengan sumber perdarahan di esofagus dan gaster. Sumber
perdarahan di duodenum relatif lebih sering bermanifestasi dalam bentuk melena atau tidak
jarang dalam bentuk hematochezia. Hal ini banyak dipengaruhi oleh jumlah darah yang
keluar persatuan waktu dan fungsi pilorus. Terkumpulnya darah dalam volume banyak
dalam waktu singkat akan menimbulkan refleks muntah sebelum komponen darah tersebut
bercampur dengan asam lambung (sehingga muntah darah segar). Hal ini berbeda dengan
perdarahan yang memberi kesempatan darah yang keluar terpapar lengklap dengan asam
lambung sehingga membentuk hematin hitam. Perdarahan yang masif, terutama yang berasal
dari duodenum, kadang tidak terpapar asam lambung dan keluar peranum dalam bentuk
darah segar (hematochezia) atau merah hati (maroon stool).
1. Anamnesis
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah waktu terjadinya perdarahan, perkiraan
darah yang keluar, riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat perdarahan dalam keluarga, ada
tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain, penggunaan obat-obatan terutama anti inflamasi
37
non steroid, penggunaan obat antiplatelet, kebiasaan minum alkohol, kemungkinan adanya
penyakit hati kronik, diabetes mellitus, demam tifoid, gagal ginjal, hipertensi dan riwayat
transfusi sebelumnya.23
2. Pemeriksaan fisik
Pemasangan NGT dan inspeksi aspirat dapat digunakan pada penilaian awal kasus.
Aspirat warna merah terang, pasien memerlukan pemeriksaan endoskopi segera baik untuk
evaluasi maupun perawatan intensif. Jika cairan aspirat berwarna seperti kopi, maka
diperlukan rawat inap dan pemeriksaan endoskopi dalam 24 jam pertama.35,36 Meskipun
demikian aspirat normal tidak dapat menyingkirkan perdarahan SCBA. Studi melaporkan
15% kasus perdarahan SCBA pemeriksaan NGT normal tetapi terdapat lesi dengan risiko
tinggi perdarahan (terlihat/ tidak terlihat pembuluh darah dengan perdarahan) pada
endoskopi.37
4. Pemeriksaan laboratorium
5. Endoskopi diagnostik
38
menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi perdarahan ulkus peptikum
atas dasar penemuan endoskopi yang bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya. 23
Forest II Perdarahan berhenti dan masih - Gumpalan darah pada dasar tukak
terdapat sisa perdarahan atau terlihat pembuluh darah
Forest
III Perdarahan berhenti - Lesi tanpa tanda sisa perdarahan
tanpa sisa perdarahan
39
Gambar 5.Gambaran Endoskopi Aktivitas Perdarahan Ulkus
peptikum Menurut Forest. Dikutip dari Gralneck 40
1. Resusitasi
Bila sudah dalam keadaan hemodinamik tidak stabil atau dalam keadaan renjatan, maka
proses resusitasi cairan (cairan kristaloid atau koloid) harus segera dimulai tanpa menunggu
data pendukung lainnya. Pilihan akses, jenis cairan resusitasi, kebutuhan transfuse darah,
tergantung derajat perdarahan dan kondisi klinis pasien. Cairan kristaloid dengan akses
perifer dapat diberikan pada perdarahan ringan sampai sedang tanpa gangguan
hemodinamik. Cairan koloid diberikan jika terjadi perdarahan yang berat sebelum transfuse
darah bisa diberikan. Pada keadaan syok dan perlu monitoring ketat pemberian cairan,
diperlukan akses sentral. Target resusitasi adalah hemodinamik stabil, produksi urin cukup
(>30 cc/jam), tekanan vena sentral 5-10 cm H2O, kadar Hb tercapai (8-10 gr%).
Untuk memprediksi risiko perdarahan ulang dan kematian dapat diguanakan sistem
skoring Rockall.
40
Skor
0 1 2 3
Usia
(tahun) <60 60-79 >80 -
(takikardi) mmhg
(hipotensi)
Penyakit Hepar
Metastasis
Kanker
W SCBA
hitam bekuan
melekat, visible
vessel or
spurting vessel
41
Tabel 7. Skor Blatchford
Variable Skor
≥ 6,5 – 7,9 2
8-9,9 3
10-24.9 4
≥25 6
Hemoglobin Laki-laki
(g/dl)
≥12-13 1
10-11,9 3
<10 6
≥10-12 1
<10 6
100-109 1
90-99 2
<90 3
Tanda-tanda lain
Melena 1
42
Sinkop 2
Penyakit Hepar 2
Gagal jantung 2
3. Terapi obat
PPI (Proton Pump inhibitor) merupakan pilihan utama dalam pengobatan perdarahan
SCBA non variseal. Beberapa studi melaporkan efektifitas PPI dalam menghentikan
perdarahan karena ulkus peptikum dan mencegah perdarahan berulang. PPI memiliki dua
mekanisme kerja yaitu menghambat H+/K+ATPase dan enzim karbonik anhidrase mukosa
lambung manusia. Hambatan pada H+/K+ATPase menyebabkan sekresi asam lambung
dihambat dan pH lambung meningkat.Hambatan pada pada enzim karbonik anhidrase terjadi
perbaikan vaskuler, peningkatan mikrosirkulasi lambung, dan meningkatkan aliran darah
mukosa lambung. PPI yang tersedia di Indonesia antara lain omeprazol, lansoprazole,
pantoprazole, rabeprazole, dan esomeprazole. PPI intravena mampu mensupresi asam lebih
kuat dan lama tanpa mempunyai efek samping toleransi. Studi Randomized Controlled Trial
(RCT) menunjukkan PPI efektif jika diberikan dengan dosis tinggi intravena selama 72 jam
setelah terapi endoskopi pada perdarahan pada ulkus dengan stigmata endoskopi risiko tinggi
misalnya, lesi tampak pembuluh darah dengan atau tanpa perdarahan akut.
43
Algoritma Penatalaksanaan Penderita Perdarahan SCBA
4. Ulkus Peptikum
A. DEFINISI
Penyakit ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas
sampai di bawah epitel. Penyakit ulkus peptikum umumnya terjadi di duodenum dan
lambung, Ini juga dapat terjadi pada esofagus, pylorum, jejenum, dan Meckel’s
divertikulum. Penyakit ulkus peptikum terjadi ketika faktor agresif (gastrin, pepsin)
44
menembus faktor defensif yang melibatkan resistensi mukosa (mucus, bikarbonat,
mikrosirkulasi, prostaglandin, dinding mukosa) dan dari efek Helicobacter pylori.
B. ANATOMI
Lambung merupakan organ yang berbentuk seperti huruf J yang membentuk curvatura
major dan curvatura minor. Spleen terletak di sebelah kiri dari lambung dan pankreas terletak
di sebelah inferior dan posterior dari lambung. Sedangkan hati terletak di sebelah kanannya.
Lambung terletak di regio hipocondrium sinistra dari permukaan abdomen. Lambung terdiri
atas 5 bagian : 3
Arteri coeliacus menyuplai darah arteri ke lambung dan darah vena mengalir ke vena
portal hepatis. Lambung mendapat persarafan parasimaptis melalui nervus vagus (Nervus
X) dan simpatis dari nervus Splanicus. Sebagian besar mukosa lambung dibentuk oleh
lipatan-lipatan yang dikenal sebagai rugae. Mukosa antrum lebih halus dari mukosa
lambung. Lapisan mukus membantu melindungi lambung terhadap trauma mekanik, HCl
dan enzim proteolitik. 3
45
Kantung lambung merupakan bagian invaginasi dari epitel yang masuk ke dalam lamina
propria. Dua atau tiga kelenjar lambung dihubungkan dengan tiap kantung melalui isthmus.
Kelenjar lambung merupakan struktur tubular dengan kekhususan tiap sel untuk
menghasilkan HCl (sel parietal atau oksintik) dan pepsin (sel chief),penghasil mukus (sel
goblet), dan sel entero-endokrin dan sel stem. 3,4
Sel Parietal ditemukan pada daerah fundus, corpus dan atrum. Sel parietal terletak di
dinding luar dari kantung lambung dan tidak berkontak dengan lumen kantung. Walaupun
terpisah dari lumen kantung lambung oleh sel-sel utama, sel parietal menyalurkan sekresi
HCl mereka ke dalam lumen melalui saluran-saluran halus, atau kanalikulus, yang berjalan
di antara sel-sel utama. Selain menghasilkan HCl, sel parietal juga menghasilkan faktor
intrinsik dan gastroferrin yang penting dalam absorbsi vitamin B12 dan zat besi. 3,4
Sel chief atau sel utama ditemukan paling banyak pada corpus. Sel ini bertanggung
jawab dalam sekresi pepsinogen, yang merupakan suatu molekul enzim inaktif yang
disintesis dan disimpan oleh kompleks Golgi dan retikulum endoplasma sel chief. Apabila
pepsinogen ini disekresikan dalam lumen lambung, maka molekul pepsinogen akan
diuraikan oleh HCl menjadi bentuk aktif, pepsin. Pepsin ini berfungsi untuk mencerna
protein dan bekerja untuk menghasilkan lebih banyak pepsinogen.3,4
Sel entero-endokrin utama pada lambung adalah sel G yang menghasilkan gastrin, Sel
D yang menghasilkan somatostatin, dan sel entero-chromaffin-like (ECL) yang
menghasilkan histamin.
C. FISIOLOGI
Lambung melakukan beberapa fungsi. Fungsi terpenting adalah mrnyimpan makanan
yang masuk sampai disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk
pencernaan dan penyerapan optimal. Karena usus halus merupakan tempat utama
pencernaan dan penyerapan, lambung perlu menyimpan makanan dan menyalurkannya
sedikit demi sedikit ke duodenum dengan kecepatan yang tidak melebuhi kapasitas usus.
Fungsi kedua lambung adalah untuk mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan enzim-
enzim yang memulai pencernaan protein. 3,4
46
Jika kosong, lambung memiliki volumesekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai sekitar 1 liter ketika makan. Hal ini terjadi
karena terdapat dua faktor, yaitu:
a. Plastisitas otot polos yang mengacu pada kemampuan otot polos mempertahankan
ketegangan konstan. Dengan demikian, pada saat serat-serat otot polos lambung
teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut akan melemas tanpa
menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
b. Relaksasi reseptif lambung saat ia terisi. Di dalam lambung terdapat lipatan-lipatan
yang dikenal sebagai rugae. Selama makan, lipatan-lipatan tersebut mengecil dan
mendatar saat lambung sedikit demi sedikit melemas karena terisi. Relaksasi refleks
lambung sewaktu menerima makanan ini disebut relaksasi reseptif. Relaksasi ini
meningkatan kemampuan lambung untuk menambah volume sehingga makanan
bisa disimpan. Apabila kapasitas lebih dari 1 liter makanan yang masuk, lambung
akan teregang dan individu tersebut akan merasa tidak nyaman.
2. Penyimpanan Lambung
Sebagian sel otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang otonom dan
berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di daerah
fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang
menyapu ke bawah di sepanjang lambung menuju sfingter pilorus dengan kecepatan
tiga kali per menit. Pola depolarisasi spontan ritmik tersebut yaitu irama listrik dasar
atau BER (basic electical rhythm) lambung, berlangsung secara terus-menerus dan
mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.Bergantung pada
tingkat eksitabilitas otot polos, BER dapat dibawa ke ambang oleh aliran arus dan
mengalami potensial aksi yang kemudian memulai kontraksi otot yang dikenal sebagai
gelombang peristaltik. Gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan korpus
lalu ke antrum dan sfingter pilorus. Karena lapisan otot di fundus dan korpus tipis,
kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut melemah sedangkan di antrum memiliki
gelombang yang lebih kuat karena lapisan otot di antrum lebih tebal. Oleh karena itu,
makanan yang masuk ke lambung dari esofagus tersimpan relatif tenang tanpa
mengalami pencampuran. Makanan secara bertahap disalurkan dari korpus ke antrum,
tempat berlangsungnya pencampuran makanan.
3. Pencampuran Lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan bercampur
dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik
47
antrum mendorong kimus ke depan ke arah sfingter pilorus. Kontraksi tonik sfingter
pilorus dalam keadaan normal menjaga sfingter hampir, tetapi tidak seluruhnya,
tertutup rapat. Lubang yang tersedia cukup besar untuk air dan cairan lain lewat, tetapi
terlalu kecil untuk kimus yang kental lewat, kecuali apabila kimus terdorong oleh
kontraksi peristaltik yang kuat. Walaupun demikian, dari 30 ml kimus yang dapat
ditampung oleh antrum, hanya beberapa mililiter isi antrum yang terdorong ke
duodenum setiap gerakan peristaltik. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas
keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sfingter pilorus dan menyebabkan
sfingter tersebut berkontraksi lebih kuat sehingga aliran kimus ke duodenum
terhambat. Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke depan, tetapi tidak dapt
didorong ke dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada sfingter yang tertutup
dan tertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak
kembali pada saat gelombang peristaltik baru datang. Gerakan maju mundur tersebut
disebut retropulsi, menyebabkan kimus tercampur merata di antrum.
4. Pengosongan Lambung
Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung, juga
menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Pengosongan lambung
diatur oleh faktor lambung (jumlah kimus dalam lambung dan derajat keenceran dari
kimus dan faktor dudenum (lemak, asam, hipertonisitas, dan peregangan). Semakin
tinggi eksitabilitas, semakin sering BER menghasilkan potensial aksi, semakin besar
aktivitas di antrum, dan semakin cepat pengosongan lambung.
D. EPIDEMIOLOGI
Insidens dan prevalensi dari ulkus peptikum telah menurun pada tahun terakhir yang
sebagian besar dikarenakan ditemukannya pengobatan eradikasi bakteri H. pylori. Meskipun
terjadi kemajuan dalam pengobatan ulkus ini, komplikasi tetap menjadi masalah. Ini dapat
dikarenakan oleh peningkatan pengunaan ASA dan NSAIDs dan peningkatan usia pada
beberapa negara. Penemuan dari berbagai studi menemukan insiden tiap tahun dari
perdarahan ulkus sekitar 19,4- 57,0 kasus per 100,000 individu dan perforasi sekitar 3,8 –
14 kasus per 100,000 individu. Komplikasi ini juga sering dihubungkan dengan peningkatan
terjadinya ulkus rekuren dan mortalitas.
48
Komplikasi dari ulkus peptikum juga berdampak terhadap ekonomi negara. Total biaya
akibat ulkus peptikum di USA, berdasarkan pada biaya dan penurunan produktivitas kerja,
telah diestimasi mencapai 5,65 milliar per tahun.
Pada 31% pasien dengan perdarahan ulkus peptikum mengalami perdarahan kembali
dalam 30 hari. Mortalitas tinggi terjadi pada pasien dengan komplikasi ulkus peptikum,
khususnya setelah perforasi. Mortalitas meningkat sesuai umur, yang kemungkinan
menggambarkan peningkatan prevalensi dari comorbiditas.
Di United States, Ulkus peptikum terjadi pada sekitar 4,5 juta orang. Secara
keseluruhan, Insiden dari ulkus duodenum menurun dalam 3-4 dekade terakhir. Meskipun
tingkat dari ulkus lambung sederhana menurun, insiden dari komplikasi ulkus lambung dan
rawat inap tetap stabil, karena penggunaan aspirin dan peningkatan usia. Tingkat rawat inap
dari ulkus lambung sekitar 30 pasien per 100,000 kasus.
Prevalensi terjadinya ulkus peptikum hampir sama pada laki-laki dan perempuan.
Prevalensinya sekitar 11-14% pada pria dan 8-11% pada wanita. Kecenderungan usia untuk
terjadinya ulkus menurun pada pria yang lebih muda, terutama untuk ulkus duodenum dan
meningkat pada wanita yang lebih tua.
Secara klinis ulkus duodeni lebih sering dijumpai daripada ulkus lambung. Pada
beberapa negara seperti Jepang dijumpai lebih banyak ulkus lambung daripada ulkus
duodeni. 5
49
terjadi pada orang dengan sosialekonomi rendah dan bertambah seiring dengan usia.
Penyebab lain dari ulkus peptikum adalah penggunaan NSAIDs, kurang dari 1% akibat
gastrinoma (Zollinger-Ellison syndrome), luka bakar berat, dan faktor genetik. Faktor risiko
terjadinya ulkus adalah herediter (berhubungaan dengan peningkatan jumlah sel parietal),
merokok, hipercalcemia, mastositosis, alkohol, dan stress.
F. PATOGENESIS
1. Faktor Asam Lambung “No Acid No Ulcer” 3, 5
Sel parietal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik/ zimogen
mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl diubah jadi pepsin dimana HCl dan pepsin
adalah faktor agresif terutama pepsin dengan pH < 4. Bahan iritan akan menimbulkan
defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin terangsang untuk lebih
banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut/kronik dan ulkus
lambung.
Produksi asam lambung (HCl) distimulasi oleh gastrin yang disekresi oleh
sel G pada antrum, asetilkolin dilepaskan oleh nervus vagus dan histamin dilepaskan
oleh sel entero-chromaffin-like (ECL), yang semuanya menstimulasi reseptor pada
sel parietal yang merupakan penghasil asam.
Ulkus duodenum sangat jarang terjadi pada orang yang tidak menghasilkan
asam lambung, ulkus rekuren terjadi ketika produksi asam sangat meningkat, sebagai
contoh, oleh tumor yang mensekresi gastrin. Bagaimanapun, produksi asam lambung
biasanya rendah pada orang-orang dengan ulkus lambung dan ini dapat menghasilkan
gastritis kronik.
3. Prostaglandin 5
Faktor risiko pada ulkus peptikum meningkat pada pasien yang menggunakan non-
steriod anti inflammatory drugs (NSAIDs), termasuk aspirin, yang menghambat
50
produksi prostaglandin oleh sel epitel. Oleh karena itu, risiko dari ulkus peptikum
berkurang oleh artifisial prostaglandin E2 agonist, misoprostil.
4. Obat Anti Inflamasi Non- Steroid (OAINS) 5,6,8,9
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat (ASA)
merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan dalam berbagai keperluan.
Pemakaian OAINS/ASA secara kronik dan reguler dapat menyebabkan terjadinya
resiko perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat dibanding yang tidak menggunakannya.
51
adalah HP dapat bertahan dalam suasana asam di lambung; kemudian terjadi penetrasi
terhadap mukosa lambung; dan pada akhirnya HP berkolonisasi di lambung tersebut.
Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari HP memainkan peranan penting
diantaranya urease memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang
melindungi kuman tersebut terhadap asam lambung.
G. GAMBARAN KLINIS
Secara umum, pasien dengan ulkus peptikum biasanya mengeluh dispepsia. Dispepsia
adalah suatu sindroma klinik/ kumpulan gejala pada saluran cerna seperti mual, muntah,
kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh dan cepat merasa kenyang. 2,3,5
Pada ulkus duodenum rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat
antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Sakit yang dirasakan seperti rasa terbakar, rasa
tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisir. 3,5
Pada ulkus lambung rasa sakit timbul setelah makan, rasa sakit di rasakan sebelah kiri,
anoreksia, nafsu makan berkurang, dan kehilangan berat badan. Walaupun demikian, rasa
sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis ulkus lambung karena dispepsia non ulkus juga
dapat menimbulkan rasa sakit yang sama. Muntah juga kadang timbul pada ulkus peptikum
yang disebabkan edema dan spasme seperti pada ulkus kanal pilorik (obstruction gastric
outlet). 2,3,5
52
H. DIAGNOSIS
Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan: 1) anamnesis (dispepsia/ rasa sakit
pada ulu hati); 2) pemeriksaan penunjang (radiologi dengan barium meal kontras/ colon in
loop dan endoskopi); dan 3) hasil biopsi untuk pemeriksaan kuman H. Pylori. 2,5
Ulkus Duadenum
Ulkus lambung
Deteksi H. Pylori
Deteksi antibodi pada serum dan rapid urease test pada biopsi antral. Urea breath test
umumnya digunakan untuk mengetahui eradikasi dari H. Pylori jika perlu. 7
I. TERAPI
Tujuan terapi adalah menghilangkan keluhan/ gejala, menyembuhkan/ memperbaiki
kesembuhan ulkus, mencegah kekambuhan/rekurensi ulkus, dan mencegah komplikasi. 2, 5
Walaupun ulkus lambung dan ulkus duodenum sedikit berbeda dalam patofisiologi
tetapi respon terhadap terapi sama. Ulkus lambung biasanya ukurannya lebih besar,
akibatnya memerlukan waktu terapi yang lebih lama. Untuk pengobatan ulkus lambung
sebaiknya dilakukan biopsi untuk menyingkirkan adanya suatu keganasan/kanker lambung.
TERAPI NON-MEDIKAMENTOSA
✓ DIET. Walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk diet yang
dilakukan, namun pemberian diet yang mudah cerna khususnya pada ulkus yang
53
aktif perlu dilakukan. Makan dalam jumlah sedikit dan lebih sering, lebih baik
daripada makan yang sekaligus kenyang. 5
Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung/ pepsin,
makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan zat-zat lain yang dapat mengganggu
pertahanan mukosa gastroduodenal. Beberapa peneliti menganjurkan makanan
biasa, lunak, tidak merangsang dan diet seimbang.
Merokok menghalangi penyembuhan ulkus, menghambat sekresi bikarbonat
pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni, menambah refluks dudenogastrik
akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus.
Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam lambung tetapi dapat
memperlambat pemyembuhan luka serta meningkatkan angka kematian karena efek
peningkatan kekambuhan penyakit saluran pernafasan dan penyakit jantung koroner.
Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. Air jeruk yang asam,
coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik tetapi dapat menambah
sekresi asam lambung dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan luka dan
sebaiknya jangan diminum sewaktu perut kosong. 5
✓ OBAT-OBATAN. OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara parenteral
(supositorik dan injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila diperlukan dosis OAINS
diturunkan atau dikombinasikan dengan ARH2/PPI/misoprostrol. Pada saat ini
sudah tersedia COX 2 inhibitor yang selektif untuk penyakit OA/RA yang kurang
menimbulkan keluhan perut. Agen inhibitor COX-2 selektif dibedakan menurut
susunan sulfa (rofecoxib, etoricoxib) dan sulfonamida (celecoxib, valdecoxib).
Penggunaan parasetamol atau kodein sebagai analgesik dapat dipertimbangkan
pemakaiannya.
TERAPI MEDIKAMENTOSA
✓ ANTASIDA. Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering
digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Preparat yang
mengandung magnesium tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan
hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium menyebabkan
konstipasi dan neurotoksik tapi bila dikombinasi dapat menghilangkan efek samping.
Dosis anjuran 4 x 1 tablet, 4 x 30 cc.
✓ KOLOID BISMUTH (COLOID BISMUTH SUBSITRAT/CBS DAN BISMUTH
SUBSALISILAT/BSS). Mekanisme belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan
54
penangkal bersama protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap pengaruh
asam dan pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi PG,
bikarbonat, mukus. Efek samping jangka panjang dosis tinggi khusus CBS neuro
toksik.
Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta adanya
efek bakterisidal terhadap Helicobacter pylori sehingga kemungkinan relaps
berkurang. Dosis anjuran 2x2 tablet sehari dengan efek samping berupa tinja
berwarna kehitaman sehingga menimbulkan keraguan dengan perdarahan.
55
Nizatidine : 1x300 mg malam hari
Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam dalam potensi
yang hampir sama, tapi efek samping simetidin lebih besar dari famotidin karena
dosis terapeutik lebih besar.
56
4. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap
klaritromisin dan penisilin
Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole. Ada
anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus, bisa
dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi
sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30%.
Terapi Quadripel. Jika gagal dengan terapi triple, maka dianjurkan memberikan
regimen terapi Quadripel yaitu: PPI 2x sehari, Bismuth subsalisilat 4x2 tab, MNZ
4x250, Tetrasiklin 4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan triple terapi.
Bila belum berhasil, dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya : 5, 9, 10
- Perdarahan : hematemesis/ melena dengan tanda syok apabila perdarahan masif dan
perdarahan tersembunyi
- Anemia : Anemia dapat terjadi apabila terjadi kekurangan daraha berlebihan dan
anemia kronik
- Perforasi : nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis
- Gastric Outlet Obstruction : keluhan pasien akibat komplikasi ini berupa cepat
kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah makan/ post
prandial, berat badan menurun. Obstruksi yang terjadi akibat peradangan daerah peri
pilorik timbul odema, spasme. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis dari suatu
tukak sehingga mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu.
Komplikasi Pasca Operasi: 1,9, 10
57
- Dumping syndrome (pengosongan lambung menjadi cepat dengan abdominal
distress),
- Postvagotomy diare,
- Bezoar,
- Anemia (iron, B12, malabsorpsi folat),
- Malabsorption,
- Osteomalacia and osteoporosis (malabsorpsi vitamin D and Ca), dan
- Gastric remnant carcinoma.
K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit dan komplikasi yang terjadi. Kebanyakan
pasien berhasil diobati dengan eradikasi infeksi H pylori, menghindari NSAID, dan
penggunaan yang tepat terapi anti sekresi. Eradikasi infeksi H pylori menurunkan tingkat
kekambuhan ulkus 60-90% menjadi sekitar 10-20%. 8
Tingkat mortalitas dari ulkus peptikum, yang telah menurun dalam beberapa dekade
terakhir, sekitar 1 kematian per 100,000 kasus. Jika suatu pertimbangan semua pasien
dengan ulkus duodenum, tingkat mortalitas karena perdarahan ulkus sekitar 5%. Selama 20
tahun terakhir, tingkat mortalitas pada perdarahan ulkus tidak berubah walaupun muncul
histamin-2 reseptor antagonis (H2RAs) dan PPI. Bagaimanapun, bukti dari meta- analisis
dan studi lain telah menunjukkan penurunan tingkat mortalitas dari perdarahan ulkus
peptikum ketika PPI intravena digunakan setelah terapi endoskopi berhasil. 8
5. Hepatitis B
A. Definisi
Penyakit infeksi akut pada yang menyebabkan peradangan hati yang disebabkan oleh Virus
Hepatitis B. Infeksi HBV mempunyai 2 fase akut dan kronis :1
• Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus itu.beberapa kasus berubah menjadi hepatitis
fulminan.
• Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama dari 6 bulan
58
B. DIAGNOSIS
C. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan prinsipnya adalah
suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada periode simptomatis. Hepatitis B
immunoglobulin (HBIg) dan kortikosteroid tidak efektif. Lamivudin 100 mg/hari dilaporkan
dapat digunakan pada hepatitis fulminan akibat eksaserbasi akut HVB. Pada HBV kronis,
tujuan terapi adalah untuk mengeradikasi infeksi dengan menjadi normalnya nilai
aminotransferase, menghilangnya replikasi virus dengan terjadinya serokonversi HBeAg
menjadi antiHBe dan tidak terdeteksinya HBV-DNA lagi. Bila respons terapi komplit, akan
terjadi pula serokonversi HBsAg menjadi anti HBs, sehingga sirosis serta karsinoma
hepatoseluler dapat dicegah.
6. Syok Hipovolemik
A. Definisi
Syok hipovolemik merupakan tipe syok paling umum ditandai dengan penurunan volume
intravaskular. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen intraselular dan ekstraseluler.
Syok hipovolemik adalah suatu keadaan dimana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan
59
cepat sehingga dapat mengakibatkan multiple organ failure akibat perfusi yang tidak adekuat
(1)
B. Patofisiologi Syok
60
Gambar 2. Patogenesis Syok Hipovolemik
7. Retensi Urin
A. Defenisi
Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. Retensio urine adalah
kesulitan miksi karena kegagalan urine dari vesika urinaria (Kapita Selekta Kedokteran).
Retensi urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat terjadi secara
akut maupun kronis (Depkes RI Pusdiknakes 1995).
B. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala dari penyakit retensi urin ini adalah :
1. Di awali dengan urin mengalir lambat
2. Terjadi poliuria yang makin lama makin parah karena pengosongan kandung kemih
tidak efisien
3. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih
4. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan kadang ingin BAK
5. Pada retensi berat bisa mencapai 2000-3000 cc
61
BAB III
Pasien datang ke IGD dengan keluhan BAB hitam sejak 4 hari SMRS, 1-2x dalam
sehari. Konsistensi feces cair menggumpal, kehitaman, darah (-), lendir (-). 10 hari SMRS
pasien dipasang selang kateter di puskesmas karena mengeluh sulit BAK. Mual (+), muntah
(-). Sesak napas (-), demam(-), batuk (-), pilek (-). Makan minum seperti biasa. Menurut
keluarga pasien, pasien kadang-kadang mengkonsumsi obat warung mixagrip untuk
menghilangkan gejala flu dan demam. Pasien juga mengalami pendengaran yang berkurang
yang disebabkan karena pasien pernah tersambar petir di bawah pohon pisang sejak 20 tahun
yang lalu.
Suatu anemia berat yang kronis (anemia gravis) dikatakan bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL
selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan
gejala klinis. Faktor resiko anemia gravis seperti jenis kelamin, penghasilan (status
ekonomi), pendidikan, usia, gaya hidup, keturunan. Anemia gravis juga dapat disebabkan
oleh komplikasi yang sering terjadi pada penderita keganasan (kanker), Infeksi cacing pada
manusia baik oleh cacing gelang, cacing cambuk maupun cacing tambang dapat
menyebabkan perdarahan yang menahun yang berakibat menurunnya cadangan besi tubuh
dan akhirnya menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi. Pada penyakit malaria, anemia
atau penurunan kadar hemoglobin darah sampai dibawah normal disebabkan penghancuran
sel darah merah yang berlebihan oleh parasit malaria. Thalassemia merupakan penyakit
herediter yang disebabkan menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada
hemoglobin, dan kekurangan zat besi. Beberapa pengobatan medis anemia dengan berbagai
indikasi seperti, erythropoiesis-stimulating agents (ESAs), Epoetin alfa, Fresh Frozen
Plasma (FFP), cryoprecipitate, produksi besi, transfusi, transplantasi sumsum tulang dan
stem sel, terapi nutrisi dan pertimbangan pola makan, dan pembatasan aktivitas. Sebuah studi
62
menyimpulkan bahwa akupunktur dapat meningkatkan Ferritin Serum dan mengurangi
TIBC (Total Iron Binding Capacity).
Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) yaitu perdarahan dari lumen saluran cerna di atas
ligamentum Treitz mengakibatkan melena dan hematemesis. Melena adalah tinja yang
lengket dan hitam seperti aspal dengan bau khas.
Manifestasi klinis perdarahan SCBA tergantung dari : a) letak sumber perdarahan &
kecepatan gerak usus; b) kecepatan perdarahan; c) penyakit penyebab perdarahan; d)
keadaan sebelum perdarahan. Diagnosis perdarahan SCBA yaitu :
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik : penentuan status hemodinamik, evaluasi jumlah perdarahan,
tanda fisik lain
• Pemeriksaan penunjang : tes darah, faal hemostasis, elektrolit, faal hati, EKG &
foto thorax, endoskopi (gold standar)
63
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, Endang L., 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Adebisi OY, Strayhorn G. Anemia in pregnancy and race in the United States:
blacks at risk. Fam Med. Oct 2005;37(9):655-62.
Adi, P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI. 2006 : 289 – 97
Agus ZAN. Pengaruh Vitamin C Terhadap Absorpsi Zat Besi pada Ibu Hamil
Penderita Anemia. In : MEDIKA Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol.
XXX; 2004.p. 496 – 499.
Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.p.75, 185-188, 249-254.
Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to
clinical outcome in heart failure. Circulation, 110, pp.149–154.
Astera, I W.M. & I D.N. Wibawa. Tata Laksana Perdarahan Saluran Makan
Bagian Atas : dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta :
EGC. 1999 : 53 – 62.
Baliwati, Y.F., dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Jakarta.
Baradero M. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan
Keperawatan.Jakarta: EGC
Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and complications in
patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine.
Haematologica. Oct 2004;89(10):1187-93.
Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias and other red cell disorders. New York:
Mc Graw-Hill
Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross
AC, Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and
Disease. Ed ke-10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.
64
Casale M, Perrotta S. Splenectomy for hereditary spherocytosis: complete, partial
or not at all?. Expert Rev Hematol. Dec 2011;4(6):627-35.
Davey, P. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta :
Erlangga. 2006 : 36 – 7.
Dhar R, Zazulia AR, Videen TO, et al. Red blood cell transfusion increases
cerebral oxygen delivery in anemic patients with subarachnoid
hemorrhage. Stroke. Sep 2009;40(9):3039-44.
Djumhana, A. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas :
pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran_cerna_bagian_atas.pdf
. 2011.
65