Anda di halaman 1dari 29

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK LAKI – LAKI BERUSIA 10 TAHUN


DENGAN APPENDISITIS KRONIS EKSASERBASI AKUT

Disusun Oleh:
Dika Arista Putra
G99162035

Periode : 2 – 4 April 2018

Pembimbing

Suwardi, dr., Sp.B, Sp. BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
JAWA TENGAH
2018
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. RG
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Katolik
Alamat : Solo
Tanggal masuk : 1 April 2018
Tanggal Pemeriksaan : 2 April 2018
No. RM : 0141XXXX

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Muntah

2. Riwayat Penyakit Sekarang


1 hari SMRS pasien muntah terutama setiap kali setelah makan atau
minum. Muntah 5 kali dalam sehari keluar makanan bercampur cairan
warna kuning. Diare (-), terakhir BAB 2 hari SMRS, konsistensi lembut
seperti biasa. Nyeri perut juga dirasakan di bagian bawah pusat menjalar
ke sebelah kanan bawah. BAK cukup warna kuning jernih. Nafsu makan
menurun sejak sakit.
Pagi hari SMRS pasien masih muntah saat bangun tidur. Muntah 3
kali SMRS, keluar cairan warna kuning. Diare (-), demam (-). Nyeri
perut dirasakan pada perut bagian bawah. BAK sedikit warna kuning
pekat.
Batuk juga didapatkan sejak 3 minggu SMRS, dahak (+), sesak napas
(-), sudah dibawa ke dokter umum diberikan obat namun belum sembuh.
Pilek (-), nyeri menelan (-).

2
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat mondok : mondok sebelumnya 1 tahun yll di RS Brayat
dengan diagnosis observasi febris
Riwayat alergi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat penyakit bawaan : disangkal

5. Riwayat Imunisasi
Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar sesuai usia.

6. Riwayat Nutrisi
Pasien makan nasi dan lauk pauk 3 kali sehari dengan porsi cukup

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, Compos Mentis, E4V5M6,
2. Vital sign :
HR : 94 x/menit
RR : 18 x/menit
T : 36,0o C
SO2 : 99%
BB : 36 kg
3. Kulit : ikterik (-), kering (-), hiperpigmentasi (-)
4. Kepala : mesochepal
5. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
6. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)
7. Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar
darah (-).

3
8. Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).
9. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
10. Thorak : retraksi (-), gerakan dinding dada simetris
11. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, bising (-).
12. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-).
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut = dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal, metalic sound (-)
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (+), defens muskular (-), Mc Burney
Sign (+), rovsing sign (+), Psoas Sign (+), hepar lien
tidak teraba
14. Urogenital : BAK darah (-), phymosis (-)
15. Ekstremitas : CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis (+) teraba kuat
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

16. Alvarado Score


Gejala dan tanda: Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri Fossa Illaca Kanan 2
Nyeri lepas 1
Suhu >37,50C 0
Leukosit>10x103/L x
Neutrofil >75% x
Total 6
Interpretasi: Kemungkinan Apendisitis

4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. USG Abdomen RSUD Surakarta

Kesimpulan:
1. Non-Visualized Appendix
2. Hepar/GB/Pankreas/Kedua ren/lien/VU tidak tampak kelainan

E. ASSESMENT I
Abdominal Pain suspek Appendisitis akut

5
F. PLANNING I
1. IVFD D51/2 NS 50 ml/jam
2. Inj. Cefoperazone Sulbactam (25 mg/kgbb/8jam) ~ 900 mg/8 jam
3. Inj. Paracetamol (10 mg/kgbb) ~ 400 mg k/p
4. Cek DL2, Elektrolit, Urinalisis

2. Pemeriksaan laboratorium darah (1/4/2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12.9 g/dL 9,4-13,0
Hematokrit 39 % 28-42
Leukosit 20.5 ribu/µl 5.0-19.5
Trombosit 380 ribu/µl 150-450
Eritrosit 4.75 juta/µl 3,10-4.30
Index Eritrosit
MCV 81.1 / µm 80.0-96.0
MCH 27.2 pg 28.0-33.0
MCHC 33.5 g/dl 33.0-36.0
RDW 11.9 % 11.6-14.6
MPV 8.6 fl 7.2-11.1
PDW 15 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 2.40 % 0.00-4.00
Basofil 0.20 % 0.00-1.00
Netrofil 80.30 % 29.00-72.00
Limfosit 13.00 % 33.00-48.00
Monosit 4.10 % 0.00-6.00
Elektrolit
Natrium darah 136 mmol/L 129 – 147
Kalium darah 4.0 mmol/L 3.6 – 6.1
Clorida darah 102 mmol/L 98-106
Calsium Ion 1.13 mmol/L 1.17 – 1.29
Hematologi
Hemostasis
PT 12.9 Detik 10.0-15.0
APTT 29.9 Detik 20.0-40.0
INR 1.030
Serologi Hepatitis
HbsAg Nonreaktif Nonreaktif
Ekskresi
Makroskopis
Warna Kuning
Kejernihan Agak Keruh
Kimia Urin
Berat Jenis 1.025 1.015-1,025
PH 7.0 4.5-8.0
Leukosit Negatif /µl Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein +/Positif 1 mg/µl Negatif
Glukosa Normal mg/µl Negatif
Urobilinogen +/Positif 1 mg/µl Negatif
Bilirubin Negatif mg/µl Negatif
Trombosit Negatif mg/µl Negatif
6
3. Alvarado Score

Gejala dan tanda: Skor


Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri Fossa Illaca Kanan 2
Nyeri lepas 1
Suhu >37,50C 0
Leukosit>10x103/L 2
Neutrofil >75% 1
Total 9
Interpretasi: appendicitis perlu pembedahan

G. ASSESMENT II
Appendisitis Kronis Eksaserbasi Akut

H. PLANNING II
Laparoskopi Appendiktomi.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Apendiks pertama kali terbentuk pada usia lima bulan kehamilan.
Apendiks merupakan kelanjutan dari sekum, tapi pemanjangan apendiks tidak
secepat kolon lainnya sehingga terbentuk struktur yang menyerupai cacing.
Panjang apendiks bervariasi antara 2 – 20 cm, rata-rata 10 cm. Dinding
apendiks terdiri dari dua lapisan, lapisan luar terdiri dari otot longitudinal yang
merupakan kelanjutan dari taenia coli dan lapisan dalam terdiri dari otot
sirkular yang dilapisi oleh epitel kolon.1

Gambar 2.1. Anatomi appendiks vermivormis 2


Aliran darah apendiks terutama dari arteri apendicular yang merupakan
cabang arteri ileokolika. Arteri ini berjalan dari mesoapendiks posterior
menuju ileum terminal. Arteri apendiks aksesori dapat muncul dari
percabangan arteri cecal posterior. Kerusakan pada arteri ini dapat
menyebabkan perdarahan hebat intra-operatif maupun pos-operatif dan harus
dicari secara teliti serta diligasi setelah arteri apendicular dikontrol.
Bagian proksimal apendiks terletak pada dinding posteromedial sekum,
kira-kira 2,5 cm di bawah katup ileocecal. Di sini juga merupakan tempat
bersatunya taeniae.
Letak bagian distal/ ujung apendiks bervariasi, 65 % terletak di retrocecal,
30 % terletak di pelvis, dan 5 % terletak di ekstraperitoneal (di belakang

8
sekum, kolon asenden, atau ileum distal). Letak ujung apendiks menentukan
gejala dan tanda awal apendisitis 1

Gambar 2.2. Posisi appendiks vermiformis1

B. Apendisitis
1. Definisi
Apendisitis adalah inflamasi pada appendiks vermiformis.3
Menurut definisi lain, apendisitis adalah inflamasi bagian dalam dari
apendiks vermiformis yang menyebar ke bagian-bagian lainnya.4
Apendisitis akut adalah inflamasi dan infeksi akut dari apendiks
vermiformis, yang secara sederhana sering disebut sebagai apendiks.
Apendiks adalah suatu struktur yang buntu, berasal dari sekum. Apendiks
dapat terlibat dalam berbagai proses infeksi, inflamasi, atau proses kronis
yang dapat menyebabkan dilakukan apendektomi. Kata “apendisitis” dan
“apendisitis akut” digunakan secara bergantian dengan maksud yang
sama.5
Sementara itu, keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial.
Para ahli bedah menemukan banyak kasus di mana pasien dengan nyeri
abdomen kronis, sembuh setelah operasi apendektomi. Mereka sepakat

9
bahwa ketika apendiks tidak terisi atau hanya terisi sedikit oleh barium
saat barium enema dilakukan pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen
kuadran kanan bawah yang bersifat kronis intermiten, maka diagnosis
apendisitis kronis sangat mungkin. 6

2. Epidemiologi
Apendisitis merupakan penyebab utama nyeri abdomen yang
membutuhkan tindakan operasi segera pada anak-anak.7 Di Amerika
Serikat dijumpai 77.000 kasus apendisitis akut pada anak per tahun. Laki-
laki lebih berisiko menderita apendisitis daripada perempuan dengan rasio
1,4:1. Puncak insidensi apendisitis pada usia 10 – 20 tahun.3
Di negara-negara barat, sekitar 7 % populasi mengalami apendisitis
pada suatu waktu dalam kehidupannya.1 Di Inggris dilaporkan 40.000
pasien per tahun dirawat karena apendisitis.3 Di Spanyol pada tahun 2003
dilaporkan bahwa kasus apendisitis sebanyak 132,1 kasus per 100.000
populasi di mana proporsi apendisitis perforasi sebesar 12,1 % dan
proporsi operasi apendektomi negatif sebesar 4,3 %, sedangkan angka
mortalitas 0,38 %.8

3. Etiologi
Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui.
Jumlah asupan makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik
diduga berperan dalam proses terjadinya penyakit. Sejumlah penyakit
infeksi dan parasit diketahui melibatkan apendiks dan kadang-kadang
dapat menyebabkan inflamasi apendiks.9
Apendisitis diawali obstruksi lumen apendiks diikuti oleh infeksi. 1
Obstruksi dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid (60 %), fekalit (35
%), benda asing (4 %), tumor (1 %). 1 Obstruksi juga dapat disebabkan
oleh parasit Enterobius vermicularis dengan proporsi 0,2 – 41,8 % di
seluruh dunia.5
Pada penelitian lain dilaporkan bahwa insidensi apendisitis berhubungan
dengan infeksi mumps (95% CI 0,07 – 0,24; p<0,001).9

10
4. Patofisiologi
Patofisiologi dasar apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks
diikuti oleh infeksi.3 Pada 60 % pasien, obstruksi disebabkan oleh
hiperplasia folikel di submukosa. Hal ini paling sering ditemui pada anak-
anak dan disebut sebagai apendisitis. Pada 35 % pasien, obstruksi
disebabkan oleh fekalit dan biasanya dijumpai pada pasien dewasa.1
Bersamaan dengan terjadinya obstruksi, sekresi mukus terus
berlangsung dan meningkatkan tekanan intraluminal. Kemudian terjadi
pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Mukus di dalam lumen berubah
menjadi pus dan tekanan intraluminal terus meningkat. Hal ini
menyebabkan distensi apendiks dan nyeri viseral yang khas di daerah
epigastrik atau periumbilikus karena apendiks dipersarafi oleh pleksus
saraf torakal sepuluh (T 10).5
Karena tekanan intraluminal terus meningkat, terjadi obstruksi
aliran limfe, yang menyebabkan edema dinding apendiks. Stadium ini
dikenal sebagai apendisitis akut atau fokal.5 Karena inflamasi semakin
hebat, terbentuk eksudat pada permukaan serosa dari apendiks. Ketika
eksudat mencapai peritoneum parietal, timbul nyeri yang lebih intens dan
terlokalisasi pada abdomen kuadran kanan bawah. Inilah yang disebut
gejala klasik apendisitis.1
Peningkatan tekanan intraluminal lebih lanjut menyebabkan
obstruksi vena, yang menyebabkan edema dan iskemia apendiks. Hal ini
memudahkan invasi bakteri ke dinding apendiks yang dikenal sebagai
apendisitis akut supuratif. Akhirnya, dengan peningkatan tekanan
intraluminal yang terus berlanjut, terjadi trombosis vena dan kegagalan
arteri yang menyebabkan gangren dan perforasi.1
Perforasi menyebabkan pelepasan cairan dan bakteri dari apendiks
yang inflamasi ke rongga abdomen. Selanjutnya akan terjadi inflamasi
pada permukaan peritoneum yang disebut peritonitis. Lokasi dan luas
peritonitis tergantung pada berapa banyak cairan usus yang tumpah.5

11
Jika tubuh berhasil menutup perforasi, nyeri akan berkurang.
Walaupun demikian, gejala tidak sepenuhnya sembuh. Pasien mungkin
masih merasa nyeri abdomen pada kuadran kanan bawah, penurunan nafsu
makan, perubahan pola defekasi (misalnya diare, konstipasi), atau demam
intermiten. Jika perforasi tidak berhasil ditutup, maka akan terjadi
peritonitis difus.1
Berdasarkan komplikasi, apendisitis diklasifikasikan menjadi dua
jenis, yaitu apendisitis sederhana (tidak dijumpai komplikasi gangren,
perforasi atau abses) dan apendisitis komplikata (bila dijumpai satu atau
lebih komplikasi di tersebut atas).3

5. Gambaran Klinis Apendisitis Akut pada Anak


a. Anamnesis
Pada permulaan apendisitis, pasien bisa tidak demam atau
subfebris. Peningkatan suhu yang lebih tinggi dihubungkan dengan
apendisitis perforasi.1 Berdasarkan anamnesis dapat ditemukan 2 (dua)
jenis gejala apendisitis, yaitu:
1) Gejala klasik
Gejala klasik hanya dijumpai pada 55 % kasus, yaitu jika
apendiks berada di anterior.1 Gejala diawali oleh nyeri perut di
periumbilikus yang memberat dalam 24 jam. Nyeri menjadi lebih
tajam dan berpindah ke fosa iliaka kanan, lalu menetap. Ditemukan
juga gejala hilangnya nafsu makan, mual, muntah, dan konstipasi.3
Berdasarkan sebuah penelitian, muntah dan demam lebih sering
ditemukan pada anak dengan diagnosis apendisitis daripada
penyebab lain nyeri abdomen.5

12
Gambar 2.3. Lokasi nyeri klasik apendisitis akut1

2) Gejala atipikal
Gejala atipikal berhubungan dengan variasi letak anatomi
apendiks. Nyeri tumpul sering muncul ketika ujung apendiks
terletak di retrosekal. Jika ujung apendiks terletak di pelvis, pasien
akan mengeluhkan disuria, sering berkemih, dan nyeri di
suprapubis karena apendiks yang inflamasi mengiritasi kandung
kemih. Pasien juga dapat mengeluhkan diare atau tenesmus jika
ujung apendiks yang inflamasi dekat dengan rectum. 1 Namun, jika
ditanya lebih lanjut, biasanya diare berupa buang air besar yang
lunak, sedikit-sedikit, tetapi sering.5

b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik pada anak-anak bisa bervariasi
tergantung pada usia anak. Iritabilitas bisa menjadi satu-satunya tanda
apendisitis pada neonatus. Pada anak yang lebih tua sering terlihat
tidak nyaman atau menyendiri, lebih suka berbaring diam karena iritasi
peritoneum. Remaja sering memiliki tanda klasik apendisitis.
Kebanyakan anak-anak dengan apendisitis tidak demam atau
subfebris.5 Pada pemeriksaan fisik umum biasanya didapati suhu 38 oC
atau lebih rendah, suhu yang berfluktuasi mungkin mengindikasikan
adanya abses apendiks.
Pada pemeriksaan fisik jantung dan paru dapat ditemukan takikardi
dan takipnoe karena dehidrasi atau kesakitan.3

13
Pemerikasaan abdomen bertujuan untuk mencari kontraksi
involunter dari muskulus rektus atau oblikus (tanda peritoneal). Pada
awal apendisitis, anak mungkin tidak menunjukkan tanda peritoneal.
Sementara, anak yang lebih muda lebih sering memiliki nyeri abdomen
difus dan peritonitis, mungkin karena omentumnya belum berkembang
dengan sempurna dan tidak dapat membungkus.
Nyeri maksimal dapat ditemukan di titik McBurney pada abdomen
kuadran kanan bawah. Dapat teraba massa jika apendiks sudah
perforasi.5
Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri lepas,
nyeri pada perkusi, dan tanda peritoneal. Walaupun nyeri abdomen
kuadran kanan bawah ditemukan pada 96% pasien, ini bukan
merupakan temuan spesifik. Kadang-kadang, nyeri abdomen kuadran
kiri bawah menjadi keluhan utama pada pasien dengan situs inversus.4
Pada pasien dengan apendiks yang terletak di medial, dapat
ditemukan nyeri tekan suprapubis. Pada pasien dengan apendiks yang
terletak di lateral sering ditemukan nyeri pada daerah panggul kanan.
Pada pasien dengan apendiks yang terletak di retrosekal bisa tidak
ditemukan nyeri tekan sampai apendisitis sudah lanjut atau perforasi.
Ditemukannya tanda Rovsing (nyeri pada abdomen kuadran kanan
bawah setelah dilakukan palpasi atau perkusi pada abdomen bagian
kiri) menunjukkan ada iritasi peritoneal.
Untuk memeriksa tanda Psoas, baringkan anak miring ke kiri dan
hiperekstensikan sendi panggul kanan. Ditemukannya nyeri (respon
positif) mengindikasikan adanya massa inflamasi di atas otot psoas
(apendisitis retrosekal).
Untuk memeriksa tanda obturator, lakukan fleksi dan internal
rotasi pada sendi paha kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif)
menunjukkan adanya massa inflamasi di atas daerah obturator
(apendisitis pelvik).
Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan adanya iritasi
peritoneal antara lain dengan memerintahkan pasien sit up di tempat

14
tidur, batuk, atau posisi berdiri dan jongkok begantian. Akan timbul
nyeri yang mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.5
Pada bayi laki-laki dan anak-anak kadang-kadang datang dengan
keluhan inflamasi pada hemiskrotum karena migrasi cairan atau pus
dari apendiks yang inflamasi melalui prosesus vaginalis yang patent.
Sebagai tambahan, penting untuk dilakukan pemeriksaan rektal
pada setiap pasien dengan gejala klinis yang tidak jelas, serta
pemeriksaan pelvis pada perempuan yang mengeluhkan nyeri
abdomen.4
Digital Rectal Examination (DRE) bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis yang tepat, khususnya pada anak-anak dengan apendisitis
yang terletak di pelvis. Temuan klasik pemeriksaan ini adalah nyeri
pada bagian kanan rektum. Dapat juga untuk memastikan adanya feses
yang keras atau massa inflamasi.5 Namun, tidak ada bukti ilmiah
bahwa DRE bermanfaat untuk menegakkan diagnosis apendisitis.4
6. Uji Diagnostik
Sampai saat ini belum ada satu uji diagnostik yang dapat menegakkan
diagnosis apendisitis secara akurat. Berikut ini adalah beberapa uji
diagnostik apendisitis:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dengan Diftel
Jumlah leukosit meningkat pada 70 – 90 % kasus
apendisitis akut. Namun, peningkatan tersebut biasanya ringan dan
baru jelas terlihat setelah lebih dari 24 jam perjalanan penyakit atau
setelah proses penyakit berlanjut. Peningkatan neutrofil juga
ditemukan yaitu lebih dari 75 % pada 78 % pasien apendisitis
akut.4
Jika jumlah leukosit melebihi 15.000 sel/μL, mungkin telah
terjadi apendisitis perforasi. Walaupun deminikian, sebuah
penelitian menemukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
jumlah leukosit pada anak-anak dengan apendisitis sederhana
dengan apendisitis perforasi.5

15
Pada bayi, jumlah leukosit tidak reliabel dan mungkin tidak
meningkat sebagaimana respon normal terhadap infeksi.4
Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm3 dan jumlah
neutrofil kurang dari 7.500/mm3 dapat mengeksklusi apendisitis
pada anak (level 2 [mid level] evidence). Jumlah leukosit kurang
dari 10.000/mm3 memiliki negative likelihood ratio 0,35.3
2) Pemeriksaan C-Ractive Protein
C-reactive protein (CRP) adalah protein fase akut yang
disintesis di hati sebagai respon terhadap kerusakan jaringan atau
inflamasi. Peningkatan CRP terjadi setelah 2 – 6 jam setelah
terjadinya proses inflamasi, dan karena waktu paruhnya yang
singkat, kadar CRP akan segera menurun setelah stimulus
inflamasi hilang. Kadar CRP normal kurang dari 6 mg/dL. Kadar
CRP kembali normal setelah 12 jam munculnya gejala apendisitis.4
Kadar CRP yang tinggi menunjukkan apendisitis perforasi,
dimana rerata kadar CRP pada apendisitis sederhana (19 + 23
mg/L) sedangkan pada apendisitis perforasi (103 + 68 mg/L).10
CRP tidak reliabel pada pasien anak yang diduga
apendisitis dengan obesitas berat, dimana dijumpai rata-rata kadar
CRP yang tinggi pada anak obesitas dengan histopatologi apendiks
normal.11
3) Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis bermanfaat untuk mendeteksi
infeksi saluran kemih dan batu ginjal. 4,5 Jika ditemukan dua puluh
atau lebih leukosit per lapangan pandang besar mengindikasikan
infeksi saluran kemih. Jika ditemukan hematuria perlu
dipertimbangkan kemungkinan batu ginjal, infeksi saluran kemih,
atau sindroma hemolitik uremikum.5
Walaupun demikian, iritasi kandung kemih atau ureter oleh
apendiks yang inflamasi dapat menyebabkan pyuria ringan dan
hematuria ringan.4,5 Hal ini dihubungkan dengan apendisitis

16
subsekal atau pelvikal. Ketonuria mengindikasikan adanya
dehidrasi dan sering ditemukan pada apendisitis perforasi.
Hasil urinalisis yang normal tidak memiliki nilai diagnostik
pada apendisitis.5

b. Pemeriksaan Radiografi
Karena risiko radiasi dari CT scan, USG dengan kompresi lebih
disukai sebagai pemeriksaan pencitraan pertama apendisitis akut pada
anak, yaitu dengan cara menentukan lokasi apendiks, kemudian
mengusahakan untuk menekan lumennya. Temuan positif berupa
diameter transversal lumen apendiks melebar (6 mm atau lebih) dan
tidak dapat dikompresi, timbul nyeri fokal pada titik McBurney ketika
dilakukan kompresi dengan probe USG, apendikolit, dan cairan dalam
lumen apendiks. Pada pasien dengan apendisitis perforasi, tampak
gambaran flegmon atau abses di sekitar apendiks.3,5

Gambar 2.4. Gambaran USG apendisitis akut pada anak5


USG abdomen dapat mengidentifikasi pasien apendisitis akut anak
yang membutuhkan apendektomi maupun yang dapat terapi dengan
antibiotik (level 2 [mid-level] evidence).5
Keputusan terapi dibuat berdasarkan derajat apendisitis, yaitu:3
 Derajat 1 (early) dan derajat 2 (suppurative) diberikan terapi
antibiotik.

17
 Derajat 3 (suppurative-gangrenous) dan derajat 4 (gangrenous)
dilakukan operasi apendektomi.
Hasil pemeriksaan USG yang dilakukan oleh ahli bedah dapat
membantu mengidentifikasi apendisitis dengan sensitivitas 92 % dan
spesivisitas 96 %, tetapi temuan negatif tidak cukup untuk
mengeksklusikan apendisitis.3
Penggunaan USG direkomendasikan untuk konfirmasi, tapi tidak
dapat mengeksklusi apendisitis akut pada anak-anak dan remaja (level
2 [mid-level] evidence).3,5 Untuk mengeksklusi apendisitis akut,
dianjurkan pemeriksaan CT scan.4
CT scan memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang tinggi untuk
mengevaluasi dugaan suatu apendisitis akut (level 1 [likely reliable]
evidence).3 Temuan CT scan yang mengindikasikan apendisitis adalah
penebalan apendiks atau penebalan dinding sekum. Temuan CT scan
yang mengindikasikan apendisitis perforasi adalah gambaran udara di
sekitar apendiks atau sekitar sekum, abses, flegmon, dan udara bebas
yang ekstensif. CT scan dapat membantu mengkonfirmasi dugaan
appendiceal mass pada pasien anak yang obesitas. Pada pasien dengan
abses apendiks, CT scan juga dapat membantu evakuasi abses dengan
CT-guided drainage.5 Namun, pada anak-anak, gambaran apendikolit
memiliki nilai diagnostik yang rendah (level 2 [mid-level] evidence).3

Gambar 2.5. CT scan apendisitis akut pada anak5


Berdasarkan systematic review, CT scan lebih sensitif daripada USG
untuk menegakkan diagnosis apendisitis akut (level 1 [likely reliable]

18
evidence).3 Perbandingan USG dan CT scan tanpa kontras dipaparkan
dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbandingan CT scan tanpa kontras dan USG5
CT scan tanpa kontras (%) USG (%)
Sensitivitas 97 100
Spesivisitas 100 88
Akurasi 98 91

Kelemahan USG sebagai uji diagnostik apendisitis adalah:10


1) Sensitivitas sangat bergantung pada keahlian operator;
2) Kesulitan untuk memvisualisasi apendiks yang tidak mengalami
inflamasi;
3) lebih sulit memvisualisasi apendisitis pada anak yang gemuk.
Kelemahan CT scan sebagai uji diagnosis adalah paparan terhadap
radiasi.

c. Pemeriksaan Mikrobiologi
Berdasarkan Texas Children Hospital Evidence-Based Outcomes
Centre: Acute Appendicitis/Appendectomy Management Guideline
tahun 2012, kultur bakteri perioperatif tidak rutin dilakukan pada anak
dengan apendisitis akut, kecuali jika ditemukan apendiks perforasi
dengan abses (strong recommendation, low quality evidence).4

d. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan Histopatologi merupakan standard baku emas
diagnosis apendisitis.1,3–5 Pada stadium awal apendisitis, secara
makroskopis apendiks tampak edema dengan dilatasi pembuluh darah
serosa. Secara mikroskopis, tampak infiltrat neutrofil pada lapisan
mukosa dan muskularis hingga ke lumen apendiks. Selanjutnya, secara
makroskopis dinding apendiks tampak menebal, lumen berdilatasi, dan
terbentuk eksudat serous. Pada stadium ini, secara mikroskopis tampak
nekrosis mukosa. Pada stadium lanjut apendisitis, secara makroskopis
tampak tanda-tanda nekrosis mukosa hingga lapisan luar dinding
apendiks dan bisa ditemukan gangren. Pada stadium ini, secara

19
mikroskopis tampak mikroabses multipel pada dinding apendiks dan
nekrosis berat pada semua lapisan.4 Pada stadium ini terjadi perforasi
apendiks. Sebuah penelitian melaporkan bahwa bagian tengah
apendiks lebih sering mengalami perforasi daripada bagian ujung
apendiks.12

7. Diagnosis Banding Apendisitis Akut pada Anak


Gejala dan tanda apendisitis tidak spesifik sering ditemukan pada
diagnosis lain. Kesalahan diagnosis apendisitis pada anak sebanyak 25 –
30 %, dan angka kesalahan diagnosis ini berbanding terbalik dengan usia
pasien. Kesalahan diagnosis tersering adalah apendisitis didiagnosis
sebagai gastroenteritis.3
Apendisitis jarang pada bayi. Jika ditemukan apendisitis pada bayi,
maka dugaan adanya penyakit Hirschprung juga harus dipertimbangkan. 3
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding apendisitis akut pada anak:
3–5

a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik
sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan appendisitis.
b. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis
atau adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan
riwayat kontak sexual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada
appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya
disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan
maka akan terasa nyeri.
c. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan

20
perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis
dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok
vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas, dan pada
kuldosentesis akan didapatkan darah.
d. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan.
Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan
penyakit tersebut.

8. Sistem skor Alvarado


Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan
hanya berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya
komunikasi antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk
mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah
pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendiktomi negatif
sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30%. Salah satu upaya
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat
diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan
insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor
Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa
dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Alfredo Alvarado
tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga
tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis.
Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi
migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen
kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan, Temperatur lebih dari 37,2 0C,
lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing
mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor
10.13

21
Tabel 2.3 Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:
Gejala dan tanda: Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri Fossa Illaca Kanan 2
Nyeri lepas 1
Suhu >37,50C 1
Leukosit>10x103/L 2
Neutrofil >75% 1
Total 10

22
Keterangan skor Alavarado:13
 Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point
 Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of
Hematogram:
1–4 dipertimbangkan appendicitis akut
5–6 possible appendicitis tidak perlu operasi
7–9 appendicitis akut perlu pembedahan
 Penanganan berdasarkan skor Alvarado:
1–4 : observasi
5–6 : antibiotic
7 – 10 : operasi dini

9. Penatalaksanaan Apendisitis Akut pada Anak


Perjalanan penyakit mulai dari obstruksi apendiks hingga perforasi
apendiks memerlukan waktu yang sangat singkat, yaitu sekitar 72 jam
sejak timbulnya gejala.5
Pasien dengan gejala klasik apendisitis membutuhkan konsultasi
bedah segera. Puasakan pasien yang diduga apendisitis dan berikan cairan
intravena.4,5 Pasien dengan apendisitis biasanya membutuhkan bolus cairan
intravena (level of evidence A II) untuk mengkoreksi dehidrasi, kemudian
resusitasi cairan dilanjutkan sesuai dengan derajat keparahan apendisitis.
Pada pasien tanpa tanda syok, terapi cairan intravena diberikan jika
dicurigai ada infeksi intra-abdominal.1 Pasang kateter untuk memantau
produksi urin guna menghitung kebutuhan cairan. Pasang nasogastric tube
(NGT) bila perlu.4,5
Terapi antibiotik intravena untuk membunuh bakteri usus
(misalnya, cefalosporin generasi kedua, gentamisin, metronidazol.) harus
diberikan segera setelah diagnosis apendisitis perforasi dikonfirmasi.
Antibiotik pascaoperasi tidak diperlukan pada apendisitis
sederhana pada anak-anak sedangkan apendisitis gangrenosa memerlukan
terapi antibiotik 48 – 72 jam.5 Pada apendisitis komplikata/ lanjut,
antibiotik monoterapi (piperacilin/ tazobaktam) minimal diberikan 3 hari

23
efektif untuk menurunkan komplikasi infeksi pascaoperasi pada anak yang
akan dioperasi apendektomi (strong recomendation, moderate quality
evidence). Dosis pertama diberikan segera setelah tegak diagnosis
apendisitis akut terbukti. Dosis kedua diberikan 30 menit sebelum
dilakukan insisi operasi.1 Terapi antibiotik perioperatif terbukti efektif
mencegah komplikasi pascaoperasi apendektomi (level 1 [likely reliable]
evidence).3 Lanjutkan monoterapi minimal 3 hari (dosis ketiga) pada anak
dengan apendisitis komplikata.1 Literatur lain menyebutkan bahwa terapi
antibiotik pada apendisitis perforasi minimal 7 – 10 hari, atau lebih lama
bila diperlukan. Antibiotik intravena diberikan selama di rumah sakit,
dilanjutkan antibiotik per oral bila pasien sudah cukup sehat untuk
pulang.3
Pemberian terapi analgetik pada apendisitis akut tidak boleh
ditunda. Penundaan analgetik tidak menolong dalam mendiagnosis
apendisitis (strong recommendations, high quality evidence). Pemberian
terapi analgetik pascaoperasi harus konsisten sesuai dengan jadwal
pemberian (strong recommendation, low quality evidence).1
Berikan terapi antiemetik parenteral bila diperlukan serta
antipiretik.4,5
Apendektomi merupakan terapi definitif pada apendisitis karena
dapat dicapai perbaikan spontan setelah apendektomi dan angka
kekambuhan setelah terapi konservatif dengan antibiotik cukup besar (14 –
35 %).3
Indikasi apendektomi adalah:1
 Pasien dengan gejala klasik apendisitis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang mendukung apendisitis.
 Pasien dengan gejala atipikal dan temuan radiografi konsisten dengan
apendisitis.
 Pasien dengan gejala atipikal yang mengalami perburukan (nyeri
menetap dan suhu meningkat, pemeriksaan klinis memburuk, leukosit
meningkat)

24
Tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan operasi apendektomi. Akan
tetapi, pasien dengan abses periapendiks yang berbatas tegas, operasi
apendektomi biasanya ditunda. Abses dilakukan drainase terlebih dahulu,
baik secara per kutan maupun operasi (level of evidence A-II).1
Operasi apendektomi dapat dilakukan dengan prosedur laparoscopic
appendectomy maupun dengan open appendectomy. Prosedur mana yang
harus dipilih, ditentukan oleh tingkat kemahiran ahli bedah dalam
melakukan prosedur tersebut.1 Perbandingan laparoscopic appendectomy
dan open appendectomy dipaparkan pada tabel 2.4.
Tabel 2.4. Perbandingan laparoscopic apendectomy dan open
appendectomy3
Laparoscopic Open appendectomy
appendectomy
Infeksi luka pascaoperasi Lebih rendah Lebih tinggi
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
Lama perawatan di rumah sakit Lebih singkat Lebih panjang
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
Abses pascaoperasi pada pasien Lebih sering Lebih jarang
dengan apendisitis gangrenosa (level 2 evidence) (level 2 evidence)
atau perforasi

Gambar 2.6. Laparoscopic appendectomy

25
Gambar 2.7. Open appendectomy
Pada pasien anak dengan apendisitis, infeksi luka operasi lebih sedikit
dan lama perawatan di rumah sakit lebih singkat pada laparoscopic
appendectomy dibandingkan dengan open appendectomy.14

10. Prognosis Apendisitis Akut pada Anak


Adapun prognosis apendisitis akut pada anak yaitu:3
 Risiko perforasi
Risiko perforasi pada pasien apendisitis akut akan meningkat setelah
lebih dari 36 jam munculnya gejala awal dan tanpa pengobatan (level 2
[mid-level] evidence).
 Sembuh spontan
Apendisitis akut sederhana dilaporkan sering sembuh spontan (level 3
[lacking direct] evidence). Angka kekambuhan dari apendisitis
sederhana yang telah sembuh spontan sebesar 38%, dan biasanya

26
terjadi dalam satu tahun setelah gejala pertama muncul (level 2 [mid-
level] evidence).
 Kematian
Angka kematian neonatus yang menderita apendisitis dilaporkan telah
menurun, yaitu dari 78% (tahun 1975) menjadi 30% (tahun 1976 –
2000).

11. Komplikasi
Komplikasi apendisitis antara lain:4,5
 Perforasi
Sebanyak 20 – 35 % pasien akut apendisitis saat terdiagnosis sudah
mengalami perforasi apendiks. Risiko perforasi 7,7 % dalam 24 jam
pertama, dan meningkat seiring dengan waktu.
 Sepsis
 Syok
 Perlengketan paska operasi
 Infeksi luka operasi

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Steven L Lee, Veronica F Sullins. Inflammation of Vermiform Appendix:


Background, Anatomy, Pathophysiology [Internet]. MedScape. 2015
[dikutip 27 Oktober 2017]. Tersedia pada:
https://emedicine.medscape.com/article/195652-overview

2. Lazaro E de. Swedish Scientists Say Antibiotics Could Replace Surgery for
Appendicitis [Internet]. SciNews. 2012 [dikutip 27 Oktober 2017].
Tersedia pada: http://www.sci-news.com/medicine/article00620.html

3. Rather AA. Appendicitis in adolescents and adults [Internet]. DynaMed.


2017 [dikutip 27 Oktober 2017]. Tersedia pada:
http://search.ebscohost.com/login.aspx?
direct=true&db=dme&AN=115548&site=dynamed-live&scope=site

4. Sandy Craig. Appendicitis: Practice Essentials, Background, Anatomy


[Internet]. MedScape. 2017 [dikutip 27 Oktober 2017]. Tersedia pada:
https://emedicine.medscape.com/article/773895-overview

5. Adam C Alder, Robert K Minkes. Pediatric Appendicitis: Background,


Anatomy, Pathophysiology [Internet]. MedScape. 2017 [dikutip 27 Oktober
2017]. Tersedia pada: https://emedicine.medscape.com/article/926795-
overview

6. Eylin. Karakteristik pasien dan diagnosis histologi pada kasus apendisitis


berdasarkan data registrasi depatremen patologi anatomi FKUI RSUPN
Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003-2007. Universitas Indonesia; 2009.

7. Lee JH, Park YS, Choi JS. The epidemiology of appendicitis and
appendectomy in South Korea: national registry data. J Epidemiol
[Internet]. 2010 [dikutip 27 Oktober 2017];20(2):97–105. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20023368

8. Andreu-Ballester JC, González-Sánchez A, Ballester F, Almela-Quilis A,


Cano-Cano MJ, Millan-Scheiding M, et al. Epidemiology of appendectomy
and appendicitis in the Valencian community (Spain), 1998-2007. Dig Surg
[Internet]. 2009 [dikutip 27 Oktober 2017];26(5):406–12. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19923829

9. Smallman-Raynor MR, CLIFF AD, ORD JK. Common acute childhood


infections and appendicitis: a historical study of statistical association in 27
English public boarding schools, 1930–1934. Epidemiol Infect [Internet].
14 Agustus 2010 [dikutip 27 Oktober 2017];138(8):1155–65. Tersedia
pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20003616

28
10. Bhatt M, Joseph L, Ducharme FM, Dougherty G, McGillivray D.
Prospective Validation of the Pediatric Appendicitis Score in a Canadian
Pediatric Emergency Department. Acad Emerg Med [Internet]. Juli 2009
[dikutip 28 Oktober 2017];16(7):591–6. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19549016

11. Kutasy B, Laxamanadass G, Puri P. Is C-reactive protein a reliable test for


suspected appendicitis in extremely obese children? Pediatr Surg Int
[Internet]. 24 Januari 2010 [dikutip 28 Oktober 2017];26(1):123–5.
Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19855981

12. Sitorus A. Karakteristik letak perforasi dan usia pada pasien yang
didiagnosis menderita apendisitis perforasi di RSUPN Cipto
Mangunkusumo antara tahun 2005 hingga 2007. Universitas Indonesia;
2009.

13. Khan I, ur Rehman A. Application of alvarado scoring system in diagnosis


of acute appendicitis. J Ayub Med Coll Abbottabad [Internet]. [dikutip 28
Oktober 2017];17(3):41–4. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16320795

14. Groves LB, Ladd MR, Gallaher JR, Swanson J, Becher RD, Pranikoff T, et
al. Comparing the cost and outcomes of laparoscopic versus open
appendectomy for perforated appendicitis in children. Am Surg [Internet].
September 2013 [dikutip 28 Oktober 2017];79(9):861–4. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24069976

29

Anda mungkin juga menyukai