Disusun Oleh:
Lucia Anindya W G99172008
Aprilia Dwi Utami G99172042
Endah Augina Budiarti G99172068
Varlie. Ch. Tanawani G99181064
Pembimbing:
Risalina Myrtha dr., SpJP, M.Kes, FIHA
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 63 tahun
Jenis kelamain : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Karanganyar
Tanggal periksa : 25 Desember 2018
No. RM : 01443757
2. Keluhan Utama
Sesak napas
6. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat olahraga : pasien jarang berolahraga
c. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Compos mentis (E4V5M6), tampak sakit,gizi kesan cukup.
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 140/75 mmHg
Lajunapas : 24x/meniT
Denyutnadi : 103x/menit
Detakjantung :120x/menit
Suhu : 36,8°C
Saturasi O2 pulse : 98 % (O2 3lpm)
3. Keadaan Sistemik
Kepala : mesocephal
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), edema
palpebra (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : mukosa basah, sianosis (-)
Leher : JVP 5±2cm H2O, kelenjar getah bening tidak teraba membesar
Toraks : bentuk normochest, simetris, retraksi(-/-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan melebar.
Auskultasi : bunyi jantung SI-SII iregularly ireguler, bising (+), PSM di apex
grade 3/6, sistolik di LLSB 2/6
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar (+/+)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+) seluruh lapang abdomen
Palpasi : supel, nyeritekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Oedema Akraldingin
- - - -
- - - -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Desember 2018)
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 5.8 g/dL 12.0-15.6
Hematokrit 23 % 33-45
Leukosit 12.3 ribu/uL 4.5-11.0
Trombosit 297 ribu/uL 150-450
Eritrosit 3.48 juta/uL 4.50-5.10
INDEX ERITROSIT
MCV 65.3 /um 80.0-96.0
MCH 16.7 Pg 28.0-33.0
MCHC 25.6 g/dL 33.0-36.0
RDW 20.7 % 11.6-14.6
MPV 8.9 Fl 7.2-11.1
PDW 16 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.1 % 0.00-4.00
Basofil 0.10 % 0.00-2.00
Neutrofil 89.80 % 55.00-80.00
Limfosit 3.80 % 22.00-44.00
Monosit 6.20 % 0.00 –7.00
HEMOSTASIS
PT 15.5 Detik 10.0-15.0
APTT 22.4 Detik 20.0-40.0
INR 1.240 -
BH 7.500 7.310-7.420
PE 11.1 Mmol/L -2 - +3
PCO2 44.0 mmHg 27.0-41.0
PO2 207 mmHg 80.0-100.0
Hematocrit 15 % 37-50
HCO3 34.3 Mmol/L 21-28
Total CO2 35.7 Mmol/L 19-24
O2 Saturasi 100 % 94-98
LAKTAT
Arteri 1.70 Mmol/L 0.36-0.75
D. DIAGNOSIS
Anatomi : HHD, MR, TR
Fungsional : AF rapid VR , ADHF
Etiologi : HT
Penyerta : 1. Hiperglikemia ec reaktif DM tipe 2
1. Faring dan laringitis
2. Dispepsia
3. Anemia (5.8)
4. Leukositosis (12.3) ec reaktif dd infeksi
E. TERAPI
Terapi di IGD
1. IVFD NaCl 0.9% 20 ml/jam
2. IV furosemid 60mg (extra)
3. IV digoxin 0.25 mg/ 10 ml NaCl bolus pelan
4. Inj. Ranitidin 50 mg extra
5. Rawat aster IV
Terapi di Aster IV
1. Bedrest ½ duduk
2. O2 3 lpm NK
3. DJ III 1700 kkal
4. Inj. Furosemid 20mg/8 jam
5. Ramipril 1x2.5mg
6. Bisoprolol 1x1.25 mg
7. Inj. Ampicilin sulbactam 1.5 gr/8 jam
8. Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
9. Lanzoprazol 40 mg/24 jsm
10. Hb kurang dari 8 transfusi PRC 2 kolf
Plan
1. cek GDS ulang
2. Rontgen thorax ambil hasil
3. Echocardiography
4. Kultur sputum
5. Cek benzidine test +feses rutin
6. Cek melengkapi ‘
7. GDT
F. FOLLOW UP
FOLLOW UP I
TGL/ CATATAN PERKEMBANGAN TERINTEGRASI
JAM
25/12/18 S: Keluhan sesak nafas (+) kambuh – kambuhan sejak 1
DPH-0 bulan dan memberat 1 hari SMRS, batuk (+) 3 hari dahak
Cardio (+) warna putih, nyeri dada (-), mual (-), muntah (-)
Ekstremitas :
oedem - -
- -
akral dingin
- -
- -
Assesment:
Ax: HHD, MR, TR
Fx: ADHF, AF RVR
Ex: HT Perbaikan
Penyerta:
1. Hiperglikemia ec reaktif dd DM tipe 2
2. Faringitis + laringitis
3. Anemia (5.8)
4. Dyspepsia
5. Hipokalemia (3.1)
Terapi:
1. Bed rest ½ duduk
2. O2 3 lpm, jika saturasi < 90%
3. DJ III 1700 kkal + diet Benzidine
4. IVFD NaCl 0.9% 20 ml/jam + 30 mcg KCl
5. IV Furosemide 20mg/8jam
6. IV Lansoprazole 40mg/24jam
7. IV Ampicillin Sulbactam 1.5gr/8jam
8. Inj. Ranitidin 50mg/12jam
9. Ramiprl 2.5mg/24jam
10. Concor 1.25mg/24jam
Plan:
1. Echocardiografi (26/12/18)
2. Cek Benzidine test + feses rutin
3. Cek laboratorium melengkapi
4. Kultur spuctum
5. Cek GDS 22/05
6. Cek GDT
7. Pro transfusi PRC 2 kolf jika Hb <8 -> pro konsul
IPD
FOLLOW UP II
TGL/ CATATAN PERKEMBANGAN TERINTEGRASI
JAM
26/12/2018 S: Sesak napas berkurang, nyeri dada, dada berdebar
DPH-1 disangkal
Cardio
O: KU: tampak sakit sedang, compos mentis
VS: TD : 120/70 mmHg
HR: 90x/menit
N : 78x/menit
RR: 20x/menit
SpO2: 98%
Terapi:
1. Bed rest ½ duduk
2. O2 3 lpm, jika saturasi < 90%
3. DJ II 1700 kkal + Diet DM
4. IVFD NaCl 0.9 % + KCl 30mg →20ml/jam
5. IV Furosemide 20mg/8jam
6. IV Lansoprazole 30mg/12jam
7. IV Ampicillin Sulbactam 1.5mg/8jam
8. Sucralfat 3xC1
9. Ramipril 2.5mg/24jam
10. Bisoprolol 1.25mg/24jam
11. Novorapid 4-4-4 IU SC
Plan :
1. Cek Benzidine test + feses rutin
2. Cek laboratorium melengkapi
3. Kultur spuctum
4. Cek GDS 2x jam 05.00 dan 12.00
5. Cek GDT
6. Cek DR3 post transfusi
7. Konsul paru
FOLLOW UP III
TGL/ CATATAN PERKEMBANGAN TERINTEGRASI
JAM
27/12/2018 S: Sesak napas, nyeri dada, dada berdebar disangkal
DPH-2
Cardio O: KU: tampak sakit sedang, compos mentis
VS: TD : 130/56 mmHg
HR: 94x/menit
N : 81x/menit
RR: 28x/menit
SpO2: 96%
Kepala:mesosefal
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
Leher : JVP 5 + 2 cmH2O
Thorax : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris
kanan = kiri
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan melebar
caudolateral
Auskultasi : BJ I-II intensitas (N), reguler, bising (+)
Pulmo : SDV (+/+), RBK (+/+), RBH (-/-)
Abdomen :Supel (+), timpani (+), bising usus (+) normal.
Ekstremitas :
oedem - -
- -
akral dingin
- -
- -
Assesment:
Ax : MR, TR, HHD
Plan :
1. Cek DR3 post transfusi
2. GDS jam 22.00 (146) dan 05.00 (127)
3. GDT
4. Konfirmasi gastro dan interna
BAB II
ANALISA KASUS
Dari kasus didapatkan seorang pasien wanita berusia 63 tahun datang dengan keluhan
sesak napas yang kabuh-kambuhan sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan memberat sejak 1
hari SMRS. Pasien mengaku merasa nyaman dengan posisi duduk dan tidur menggunakan 2
bantal. Keluhan berdebar-debar dan batuk juga didapatkan dengan dahak berwarna putih.
Adanya mual, muntah, demam, dan kaki bengkak disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
Berdasarkan anamnesis, pasien tidak memiliki riwayat demam dengan nyeri sendi maupun
batuk lama saat masih kecil. Riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol, sedangkan riwayat diabetes
mellitus, penyakit jantung, stroke, dan merokok disangkal. Saat datang ke IGD RSDM,
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran umum compos mentis, tampak sakit sedang, tekanan
darah 140/75 mmHg, laju napas 24 x/menit, detak jantung 120 x/menit, frekuensi nadi 103
x/menit, saturasi O2 96% dengan room air dan 98% dengan O2 3 lpm, serta GDS menunjukkan
hasil 219 mg/dL. Pada pemeriksaan jantung, saat inspeksi ictus cordis tidak tampak, saat palpasi
ictus cordis teraba tidak kuat angkat, saat perkusi didapatkan batas jantung kesan melebar ke
arah caudolateral, dan saat auskultasi terdengar bunyi jantung I dan II intensitas bervariasi,
irregularly ireguler, bising (+) PSM 3/6 apex-axilla dan LLSB 2/6 sistolik.
Dari data tersebut, sesak napas pada pasien perlu dibedakan, apakah berasal dari jantung,
paru atau metabolik. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan peningkatan tekanan vena
jugularis, terdapat ronkhi basah halus pada 1/3 basal kedua lapang paru dan adanya
kardiomegali. Selain itu, pada pasien juga didapatkan dyspneu d’effort atau keluhan sesak yang
dipicu oleh aktivitas fisik. Berdasarkan kriteria Framingham, ditemukan 2 tanda mayor berupa
ronkhi dan kardiomegali dan 1 tanda minor berupa sesak napas saat aktivitas biasa. Kriteria
Framingham merupakan kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung pada
seorang individu. Sesak napas pada pasien ini kemungkinan besar disebabkan karena sesak napas
kardiogenik, yakni gagal jantung, sehingga diagnosis fungsional pasien adalah ADHF (Acute
Decompensated Heart Failure) atau gagal jantung akut.
Ronkhi basah halus menggambarkan terjadinya edema paru akut yang mendukung adanya
gagal jantung akut. Adanya gagal jantungmengakibatkan kegagalan pompa oleh ventrikel kiri,
yang berefek darah balik menuju ke paru-paru, akibatnya terjadilah edema paru yang ditandai
dengan adanya ronkhi pada pemeriksaan auskultasi paru. Edema paru menyebabkan manifestasi
sesak napas pada pasien. Oleh karena itu, pada pasien diberikan tatalaksana awal berupa inj.
Furosemid 60 mg sebagai obat loop diuretik untuk mengatasi edema paru tersebut. Untuk
maintanance selama perawatan di bangsal, pada pasien diberikan inj. Furosemid 20 mg/8 jam
dan kemudian turun menjadi 20 mg/24 jam.
Gagal jantung secara sederhana adalah kegagalan jantung untuk memompa cukup darah
untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Pada kondisi ini terjadi penurunan kemampuan fungsi
kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung. Gagal jantung dapat terjadi
karena berbagai faktor, salah satunya adanya penyakit/kelainan katup jantung akibat peningkatan
beban kerja jantung. Berdasarkan hasil ekokardiografi, pada pasien didapatkan MR (Mitral
Regurgitation) moderate dan TR (Tricuspid Regurgitation) mild. Adanya ADHF, MR, dan TR
pada kasus ini disebabkan oleh prolaps PML (Posterior Mitral Leaflet) atau prolaps katup mitral.
Keluhan berdebar-debar menunjukkan usaha jantung yang meningkatkan suplai darah ke seluruh
tubuh, yang salah satunya muncul sebagai manifestasi klinis atrial fibrilasi akibat kelainan katup
jantung.
Adanya penyakit katup pada pasien juga dapat disebabkan oleh penyakit hipertensi lama
yang diderita pasien dan tidak terkontrol. Hipertensi mengakibatkan kerja ventrikel kiri semakin
berat akibat meningkatnya tahanan perifer. Kerja ventrikel yang berat lama-kelamaan akan
mengakibatkan adanya hipertrofi pada otot-otot ventrikel kiri dan menyebabkan adanya
kardiomegali. Untuk menangani hipertensi pada pasien, diberikan ramipril dari dosis yang paling
rendah yaitu 2,5 mg yang merupakan golongan ACE inhibitor dan concor 1,25 mg yang
merupakan golongan beta blocker. ACE Inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Vasodilatasi secara
langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium, dan retensi kalium. Obat beta blocker bekerja dengan
memperlambat frekuensi detak jantung. Beta blocker memengaruhi ritme jantung dan
automatisitas sel jantung melalui hambatan pada reseptor beta-1 dan beta-2.Sedangkan untuk
dispepsia pada pasien diberikan lansoprazole yang merupakan golongan PPI (proton pump
inhibitor) yang bekerja dengan menurunkan sekresi asam lambung.Selain terapi farmakologis
yang diberikan pada pasien, penting untuk mengedukasi pasien untuk tirah baring/bedrest total
selama perawatan awal ketika pasien masih memiliki keluhan sesak napas dengan tujuan untuk
mengurangi O2 demand.
Pada pemeriksaan fisik head to toe tidak didapatkan adanya peningkatan JVP (JVP = 5+2
cm H2O), sedangkan pada pemeriksaan jantung didapatkan:
Inspeksi : IC tidak tampak
Palpasi : IC tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan melebar ke arah caudolateral
Auskultasi : BJ I-II intensitas bervariasi, irregulary iregular, bising (+)PSM 3/6 apex-axilla
dan LLSB 2/6 sistolik.
Berdasarkan pemeriksaan auskultasi menunjukkan adanya bunyi jantung yang ireguler.
Ireguler pada bunyi jantung dapat disebabkan karena suatu kelainan seperti kelainan anatomis
maupun kelainan pada kelistrikkan jantung. Untuk memastikan kelainan tersebut, diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang seperti EKG, laboratorium darah, rontgen thoraks, dan
echocardiografi pada pasien.
Pada kasus ini, pasien didiagnosis awal dengan fibrilasi atrium (Atrial Fibrillation/AF)
dengan rapid ventricle response (RVR). Pada anamnesis pasien juga didapatkan adanya keluhan
berdebar-debar. Pada hasil pemeriksaan EKG tampak tiadanya konsistensi gelombang P baik
bentuk maupun durasinya (digantikan dengan gelombang fibrilasi), sehingga tidak dapat
dijumpai gelombang P yang jelas. Selain itu, EKG pasien menunjukkan pola interval RR yang
ireguler, sehingga semakin mendukung gambaran fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium terjadi karena
meningkatnya kecepatan dan tidak terorganisasinya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga
menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Akibatnya, darah
terkumpul di atrium dan tidak benar-benar terpompa ke ventrikel. Hal ini ditandai dengan denyut
jantung pasien yang cepat sehingga gelombang P di hasil EKG tidak terlihat jelas. AF
merupakan aritmia yang umum terjadi pada pasien dengan ADHF.
Selanjutnya, fibrilasi atrium (AF) dibagi menjadi tipe Slow Ventricle Response (SVR),
Normal Ventricle Response (NVR), atau Rapid Ventricle Response (RVR). Jika denyut jantung <
60 x/menit, maka disebut AF SVR. Jika denyut jantung 60-100 x/menit, maka disebut AF NVR.
Jika denyut jantung > 100 x/menit, maka disebut AF RVR. Pada pemeriksaan fisik dan EKG,
didapatkan denyut jantung pasien menunjukkan angka > 100x/menit, yakni ±120x/menit,
sehingga pasien didiagnosis dengan AF RVR. Adanya AF pada pasien dapat menjadi faktor
penyebab pasien merasa lemas, sesak napas, dan merasa tidak nyaman di dada. Terapi
antiaritmia yang diberikan pada pasien yaitu injeksi lanoxin 0,25 mg bolus IV pelan yang
mengandung digoksin dosis 125-250 mcg disertai pengawasan ketat pada irama jantung pasien.
Pada pasien juga didapatkan keluhan demam sumer-sumer dan batuk berdahak putih. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan suara napas tambahan berupa ronkhi basah kasar (RBK) pada
kedua lapang paru dan dari AGD menunjukkan kesan alkalosis metabolik. Oleh TS paru, pasien
didiagnosis dengan Community Acquired Pneumonia (CAP) dan diberikan terapi berupa injeksi
ampisilin sulbactam 1,5g/8 jam IV, NAC 200 mg/8 jam po, dan o2 3 lpm. Ampicilin sulbactam
termasuk dalam golongan antibiotik penisilin yang termasuk dalam antibiotik spektrum luas dan
merupakan pilihan pertama pada tatalaksana pneumonia.
BAB III
KESIMPULAN
HHD (Hypertensive Heart Disease) terjadi akibat peningkatan tekanan darah yang kronik
dan tidak terkontrol. Hipertensi yang tidak terkontrol dan berjalan lama dapat menyebabkan
perubahan strktur miokard, pembuluh darah vascular dan system konduksi pada jantung.
Pengaruh hipertensi terhadap terjadinya HHD dapat terjadi dalam 2 jalur, yaitu secara langsung
(meningkatkan afterload) dan secara tidak langsung (neuhormonal dan perubahan vascular).
SARAN
Pemberian edukasi terhadap keluarga mengenai bahaya dan resiko hipertensi yang tidak
terkontrol sangat penting. Selain itu, perubahan lifestyle bagi pasien seperti menjaga asupan
makanan dengan menghindari makanan yang dapat meningkatkan hipertensi, olahraga yang
teratur, dan meminum obat secara teratur dapat memperbaiki keadaan pasien itu sendiri.