Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

Pembimbing :

dr. Riswan Muchtar, Sp.PD

Disusun Oleh :

dr. Aliya Muhammad

Program Internship Dokter Indonesia

Rumah Sakit Islam Assyifa Sukabumi

Periode November 2022 - November 2023


BAB 1

IDENTIFIKASI KASUS

I. IDENSTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Umur : 75 tahun
Agama : Islam
Alamat : Sukakarya, warudoyong
Tanggal dan jam masuk RS : 31 Januari 2023 (jam 00.02 WIB)
Tanggal pemeriksaan : 31 Januari 2023 (jam 00.03 WIB)
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara: Allo 31 Januari 2023 (jam 00.03 WIB)
Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran 3 jam SMRS

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Tn. S dibawa ke UGD RSI Assyifa oleh anaknya karena mengalami
penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS saat sedang istirahat di kamarnya
karena sebelumnya, pasien mengatakan ia merasa sesak napas, lemas, dan
tidak bertenaga. Sesak tidak membaik jika pasien berbaring ataupun
mengubah posisi ke kanan dan kiri. Pasien juga mengalami muntah 2x
berisi makanan dan berwarna kehitaman. Sejak 3 hari SMRS frekuensi
BAK pasien meningkat > 10 x perhari. BAB dalam batas normal. Nyeri
dada, keringat dingin, sakit kepala hebat, dan batuk disangkal. Tidak ada
riwayat trauma smrs.

IV. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat DM : Positif sejak 3 tahun lalu dan konsumsi
metformin 2x500mg namun tidak
terkontrol
Riwayat Hipertensi : Negatif
Riwayat Asma : Negatif
Riwayat Penyakit jantung : Negatif
V. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Penyakit serupa dengan pasien disangkal

VI. RIWAYAT PEMAKAIAN OBAT


Pasien mengonsumsi metformin 2x500mg namun tidak rutin.
VII. RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL
Pasien mulai merokok sejak usia 25 tahun dengan 2 batang per hari
dan sudah berhenti sejak 10 tahun yang lalu. Pasien tidak mengkonsumsi
alkohol.

VIII. STATUS GENERALIS


 Keadaan Umum : Lemah
 Kesadaran : Koma GCS 3 E1M1V1
 Tekanan Darah : 111/70mmHg
 Nadi : 140x/menit reguler
 Suhu : 36,5oC
 Pernapasan : 30x/menit (Kussmaul)
 SpO2 : 91% room air, 95% on NK 5 lpm

Gizi
a. BB : 52 kg
b. TB : 168 cm
c. IMT : 18,4 (Gizi Kurang)

IX. ASPEK KEJIWAAN


1. Tingkah Laku : -
2. Proses Pikir :-
3. Kecerdasan :-
X. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kulit : Warna kulit terlihat sawo matang
2. Kepala dan Wajah : Normochepal, rambut hitam tidak mudah
dicabut
3. Mata : Konjungtiva pucat (-), Sklera ikterik (-)
4. THT : Deformitas (-), sekret (-)
5. Leher : Pembesaran KGB (-)
JVP : 5 cmH2O (N: 5±2 cmH2O)
Trakea : Tidak deviasi
Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
Kelenjar lymphonodi : Tidak teraba

6. Thoraks :
PARU-PARU
Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan dinding dada simetris,
dan tidak ada retraksi otot pernapasan
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, wheezing -/- , ronchi -/-
JANTUNG
Inspeksi : Iktus kordis terlihat 2 jari di bawah papil mamae
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V Linea Midclavicula
Sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
· Batas jantung kanan di ICS 4 linea midclavicularis dextra
· Batas jantung kiri di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
· Batas pinggang jantung di ICS 2 linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

7. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar dan simetris
Palpasi : Nyeri tekan 4 kuadran (-)
· Hepar, lien tidak teraba
· Undulasi (-)
· Ballotoment ginjal (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen, shifting
dullnes (-)
Auskultasi : Bising usus (+) pada seluruh lapang abdomen,
10x/menit (N : 5-12x/menit)

8. Ekstremitas : Akral dingin CRT < 2’Edema superior (-/-), edema


inferior (-/-)
ATAS BAWAH
MOTORIK Sulit dinilai Sulit dinilai
SENSORIK RABA Sulit dinilai Sulit dinilai
NYERI Sulit dinilai Sulit dinilai
REFLEKS BICEP +/+
FISIOLOGIS
TRICEP +/+
PATELLA +/+
ACHILLES +/+
REFLEKS HOFFMAN -/-
PATOLOGIS
TROMNER -/-
BABINSKI -/-
PULSASI (A. +/+
Dorsalis Pedis)

XI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Hematologi
- Hemoglobin : 14,1 g/dL
- Leukosit : 25.350 /uL
- Trombosit : 361000/uL
- Hematokrit : 40 vol%
1. Glukosa Darah
- GDS : 756 mg/dL
1. Kimia Darah
- pH : 7,524 (N : 7,35-7,45)
- pCO2 : 23,9 mmHg (N : 35-45 mmHg)
- pO2 : 81,1 mmHg (N : 80-100 mmHg)
- HCO3- : 23,1 mmol/L (N : 21-28 mmol/L)
- BE : -1,6 mEq/L (N : -2,5 -- 2,5 mEq/L)
1. Elektrolit & Faal Ginjal
- Natrium : 140 mmol/L (136-145mmol/L)
- Kalium : 4.8 mmol/L (3.4-5.3mmol/L)
- Klorida : 106 mmol/L (96-108mmol/L)
- Ureum : 76 mg/dL (10 – 50)
- Kreatinin : 2,12 mg/dL (0.5 – 1.1)

1. Urin
- pH : 6.0 (4.4-8)
- Glukosa : +3 mg/dL4
- Bilirubin : +1
- Keton : +4 mg/dL
- Darah : +2
- Protein : +3
- Urobilinogen :-
- Nitrit :-
- Leukosit esterase :-
- Sel epitel :+
- Leukosit : 10 –15 sel/LPB
- Eritrosit : 1 sel/LPB
- Kristal :-
- Silinder :-
EKG Irama : Irama Sinus
Heart Rate : 141 x/menit,
reguler
PR Interval : 142 ms
QRS Duration : 108 ms
QT/QTc : 330/472 ms
P/QRS/T Axis : 90/0/102 derajat
Kesimpulan : Sinus Takikardi,
hipertrofi ventrikel kiri
XII. Diagnosis Kerja
 Ketoasidosis diabetikum
 Sepsis
 Toxic metabolic encephalopathy
XIII. Penatalaksanaan
Non-medikamentosa
• Dipasang NGT close sistem
• O2 5 lpm
• Kateter urin
Medikamentosa
• Loading Nacl 0,9% 2 kolf
• Novorapid 20 IU
• Terfacef 2 x 1g
XIV. Prognosis
Quo ad vitam : Ad malam
Quo ad funtionam : Ad malam
Quo ad sanactionam : Ad malam
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Ketoasidosis diabetik merupakan salah satu komplikasi akut
diabetes melitus akibat defisiensi (absolut ataupun relatif) hormon insulin
yang tidak dikenal dan bila tidak mendapat pengobatan segera akan
menyebabkan kematian. KAD sering terjadi pada pasien dengan DM tipe
1, namun tidak menutup kemungkinan pasien dengan DM tipe 2 dapat
terjadi KAD. Tanda khas dari KAD yaitu adanya hiperglikemia,
ketonemia dan acidosis metabolik.

2.2. Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan
bahwa insiden ketoasidosis diabetik sebesar 8 per 1000 pasien DM per
tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur
kurang dari 30 tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien DM per tahun. Sumber
lain menyebutkan insiden ketoasidosis diabetik sebesar 4,6-8/1000 pasien
DM per tahun. Ketoasidosis diabetik dilaporkan bertanggung jawab untuk
lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat.
Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden
ketoasidosis diabetik di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden
ketoasidosis diabetik di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit
dan terutama pada pasien DM tipe 2. Angka kematian pasien dengan
ketoasidosis diabetik di negara maju kurang dari 5% pada banyak senter,
beberapa sumber lain menyebutkan 5-10%, 2-10%, atau 9-10%.
Insidens KAD pada anak yang sudah terdiagnosis DM tipe-1
adalah sebesar 1 - 10% per pasien tiap tahunnya. Risiko terjadinya KAD
pada kelompok ini meningkat pada anak dengan kontrol metabolik buruk,
riwayat KAD sebelumnya, anak yang tidak menggunakan insulin, gadis
remaja atau peripubertal, anak dengan gangguan makan (eating disorders),
sosial ekonomi rendah dan anak dari keluarga yang tidak memiliki
asuransi kesehatan. Alvi dkk menyatakan bahwa anak keturunan Asia usia
< 5 tahun memiliki risiko 8x lebih tinggi untuk mengalami KAD
dibandingkan anak non-Asia pada usia yang sama (IDAI, 2015).
Berdasarkan penelitian nasional berbasis populasi, mortalitas KAD
di beberapa negara cukup konstan, di Amerika Serikat 0,15%, Kanada
0,18% dan Inggris 0,31%. Pada tempat-tempat dengan fasilitas yang
kurang memadai maka risiko kematian akibat KAD lebih tinggi. Edema
serebri bertanggung jawab atas 60-90% kematian akibat KAD.
Insidens edema serebri di Amerika Serikat sebesar 0,87%, Inggris
0,68% dan Kanada 0,46%. Mortalitas akibat edema serebri sebesar 21-
24%. Penyebab morbiditas dan mortalitas pada KAD selain edema serebri
adalah hipokalemia, hiperkalemia, hipoglikemia, komplikasi SSP yang
lain, hematoma, trombosis, sepsis, rhabdomiolisis, dan edema paru (IDAI,
2015).

2.3. Etiologi
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut DM tipe-1 yang
disebabkan oleh kekurangan insulin. Ketoasidosis diabetik akan timbul
jika tidak mampu mengenali manifestasi klinis awal DM tipe-1. Sering
ditemukan pada:
1. Penderita DM tipe-1 tidak patuh jadwal dengan suntikan insulin.
2. Pemberian insulin dihentikan karena anak tidak makan/sakit.
3. Kasus baru DM tipe-1 , tidak diketahui menderita DM (Marcdante dkk,
2021)
DKA dapat terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus, paling
sering dikaitkan dengan defisiensi insulin relatif. Ini mungkin disebabkan
oleh pemicu stres fisiologis atau, dalam beberapa kasus, mungkin
presentasi klinis awal pada pasien dengan diabetes yang sebelumnya tidak
terdiagnosis. Beberapa faktor risiko yang lebih umum yang dapat memicu
perkembangan hiperglikemia ekstrim dan ketoasidosis berikutnya adalah
infeksi, ketidakpatuhan terhadap terapi insulin, penyakit utama akut seperti
infark miokard, sepsis, pankreatitis, stres, trauma, dan penggunaan obat-
obatan tertentu, seperti glukokortikoid atau agen antipsikotik atipikal yang
berpotensi mempengaruhi metabolisme karbohidrat. (Ghimire, 2021)
Dalam kondisi normal, sel mengandalkan glukosa darah bebas
sebagai sumber energi utama, yang diatur dengan insulin, glukagon, dan
somatostatin. Seperti namanya, ketoasidosis kelaparan adalah respons
tubuh terhadap hipoglikemia puasa yang berkepanjangan, yang
menurunkan sekresi insulin, mendorong biokimia ke arah lipolisis dan
oksidasi asam lemak produk sampingan untuk memastikan sumber bahan
bakar bagi tubuh. (Ghimire, 2021)

2.4. Patofisiologi
KAD terjadi akibat defisiensi insulin relatif atau absolut yang
dikombinasikan dengan kelebihan hormon kontraregulasi (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan). Baik defisiensi insulin
dan kelebihan glukagon, khususnya diperlukan untuk KAD berkembang.
Penurunan rasio insulin terhadap glukagon meningkatkan
glukoneogenesis, glikogenolisis, dan pembentukan badan keton di hati,
serta peningkatan pengiriman substrat dari lemak dan otot (asam lemak
bebas, asam amino) ke hati. Penanda peradangan (sitokin, protein C-
reaktif) meningkat pada KAD dan HHS. (Powers, 2013)
Kombinasi defisiensi insulin dan hiperglikemia mengurangi tingkat
fruktosa-2,6-bifosfat, yang mengubah aktivitas fosfofruktokinase dan
fruktosa-1,6-bisfosfatase. Kelebihan glukagon menurunkan aktivitas
piruvat kinase, sedangkan defisiensi insulin meningkatkan aktivitas
fosfoenolpiruvat karboksikinase. Perubahan ini menggeser penanganan
piruvat ke arah sintesis glukosa dan menjauhi glikolisis. Peningkatan kadar
glukagon dan katekolamin dalam menghadapi kadar insulin yang rendah
mendorong glikogenolisis. Defisiensi insulin juga menurunkan kadar
transporter glukosa GLUT4, yang mengganggu pengambilan glukosa ke
dalam otot rangka dan lemak serta mengurangi metabolisme glukosa
intraseluler. (Powers, 2013)
Ketosis dihasilkan dari peningkatan pelepasan asam lemak bebas
dari adiposit, dengan hasil pergeseran ke arah sintesis badan keton di hati.
Penurunan kadar insulin, dalam kombinasi dengan peningkatan
katekolamin dan hormon pertumbuhan, meningkatkan lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas. Biasanya, asam lemak bebas ini diubah
menjadi trigliserida atau VLDL di hati. Namun, pada KAD,
hiperglukagonemia mengubah metabolisme hati untuk mendukung
pembentukan badan keton melalui aktivasi enzim karnitin
palmitoiltransferase I. Enzim ini penting untuk mengatur transpor asam
lemak ke dalam mitokondria, tempat terjadi oksidasi beta dan konversi
menjadi badan keton. Pada pH fisiologis, badan keton ada sebagai asam
keto, yang dinetralkan oleh bikarbonat. Sebagai toko bikarbonat habis,
asidosis metabolik terjadi kemudian. Peningkatan produksi asam laktat
juga berkontribusi terhadap asidosis. Peningkatan asam lemak bebas
meningkatkan trigliserida dan produksi VLDL. Pembersihan VLDL juga
berkurang karena aktivitas lipase lipoprotein sensitif insulin di otot dan
lemak menurun. Hipertrigliseridemia mungkin cukup parah untuk
menyebabkan pankreatitis. (Powers, 2013)
DKA sering dipicu oleh peningkatan kebutuhan insulin, seperti
yang terjadi selama penyakit bersamaan. Kegagalan untuk meningkatkan
terapi insulin sering menambah masalah. Kelalaian lengkap atau
pemberian insulin yang tidak memadai oleh pasien atau tim perawatan
kesehatan (pada pasien rawat inap dengan DM tipe 1) dapat memicu DKA.
Pasien yang menggunakan perangkat infus insulin dengan insulin
shortacting dapat mengembangkan DKA, karena bahkan gangguan singkat
dalam pengiriman insulin (misalnya, kerusakan mekanis) dengan cepat
menyebabkan defisiensi insulin. (Powers, 2013)

2.5. Manifestasi Klinis


Sekitar 80% pasien ketoasidosis diabetik adalah pasien DM yang
sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali
ketoasidosis diabetik sebagai komplikasi akut DM dan segera
mengatasinya. Sesuai dengan patofisiologi ketoasidosis diabetik, maka
pada pasien ketoasidosis diabetik dijumpai pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan
bibir kering), ketoasidosis diabetic yang disertai hipovolemia sampai syok.
Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium (Soewondo,
2009).
Areateus menjelaskan gambaran klinis ketoasidosis diabetik
sebagai keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului ketoasidosis
diabetik serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau
infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai pada
ketoasidosis diabetik anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut dan
berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung (Soewondo, 2009).
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai compos mentis,
delirium, depresi sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu
dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma,
infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan factor pencetus yang paling
sering. Infeksi yang paling sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih
dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan
pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu
dipikirkan kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, appendicitis,
diverticulitis, ayau perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukkan respon
yang baik terhadap pengobatan ketoasidosis diabetik, maka perlu dicari
kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal).
(Soewondo, 2009).

2.6. Diagnosis

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien ketoasidosis


diabetik terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti
terutama memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal
dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam
beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk ketoasidosis diabetik
biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya
penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan
pasien dapat tampak menjadi ketoasidosis diabetik tanpa gejala atau tanda
ketoasidosis diabetik sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan
polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah,
clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk
turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi,
perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien

ketoasidosis diabetik menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi.


Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena
menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah
indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih
lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi
dan asidosis metabolic (Gotara & Budiyasa, 2010)
2.7. Diagnosis Banding

(Powers, 2013)

2.8. Tatalaksana
Resusitasi dan pemeliharaan cairan, terapi insulin, penggantian elektrolit,
dan perawatan suportif adalah tatalaksana utama pada ketoasidosis
diabetikum. Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:

a. Penggantian cairan dan garam yang hilang


b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati
dengan pemberian insulin.
c. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
d. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari
pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan.

Hidrasi
Pada pasien dengan DKA, defisit cairan bisa mencapai 10-15%
dari berat badan. Resusitasi cairan segera sangat penting untuk mengoreksi
hipovolemia, memulihkan perfusi jaringan, dan untuk membersihkan
keton. Hidrasi meningkatkan kontrol glikemik independen insulin.
Pilihan Cairan
Cairan isotonik telah ditetapkan dengan baik selama lebih dari 50
tahun sebagai cairan pilihan. Koloid vs kristaloid dibandingkan untuk
pasien sakit kritis, dalam meta-analisis 2013, dan kristaloid ditemukan
tidak inferior. Secara tradisional, saline normal 0,9% telah digunakan. Ada
kekhawatiran bahwa salin normal dapat menyebabkan hiperkloremia dan
asidosis metabolik hiperkloremik; namun, ini biasanya terjadi ketika
digunakan untuk volume besar. Ada penelitian kecil yang membandingkan
salin normal dengan larutan lain seperti Ringer laktat. Studi ini tidak
menunjukkan perbedaan hasil klinis. Normal saline terus digunakan untuk
hidrasi awal.
Tingkat Infus
Awal: Infus 15-20 ml per Kg berat badan dalam 1 jam pertama
biasanya tepat. Hidrasi agresif dengan 1 liter/jam selama 4 jam telah
dibandingkan dalam sebuah penelitian dengan laju hidrasi yang lebih
lambat pada setengah laju. Hidrasi yang lebih lambat ternyata sama
efektifnya. Namun, pada pasien yang sakit kritis, termasuk mereka dengan
hipotensi, terapi cairan agresif lebih disukai. Ada perdebatan luas
mengenai risiko edema serebral pada pasien dengan resusitasi volume
awal yang agresif. Ada penelitian yang menunjukkan tingkat peningkatan
edema serebral dengan volume agresif, terutama pada populasi anak.
Namun penelitian lain menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hasil dan
berteori bahwa pasien dengan risiko terbesar dari edema serebral hadir
pada tahap selanjutnya dan mengalami penurunan volume yang paling
parah.
Pemeliharaan:
Pilihan selanjutnya untuk penggantian cairan tergantung pada
hemodinamik, keadaan hidrasi, kadar elektrolit serum, dan keluaran urin.
Pada pasien yang memiliki kadar natrium serum yang tinggi, infus NaCl
0,45% pada 4-14 ml/kg/jam atau 250-500 mL/jam adalah tepat, dan untuk
pasien dengan hiponatremia, NaCl 0,9% pada kecepatan yang sama lebih
disukai. ] Cairan pemeliharaan mungkin perlu disesuaikan jika asidosis
metabolik hiperkloremik menjadi perhatian, maka Anda dapat beralih ke
larutan Ringer laktat.
Terapi insulin
Penemuan insulin, bersama dengan antibiotik, telah menyebabkan
penurunan drastis angka kematian dengan DKA, hingga 1%. Insulin
intravena dengan infus kontinu adalah standar perawatan. Protokol
pengobatan sebelumnya telah merekomendasikan pemberian bolus awal
0,1 U/kg, diikuti dengan infus 0,1 U/kg/jam. Percobaan acak prospektif
yang lebih baru menunjukkan bahwa bolus tidak diperlukan jika pasien
diberikan infus insulin setiap jam pada 0,14 U/kg/jam.[31] Ketika glukosa
plasma mencapai 200-250 mg/dl, dan jika pasien masih memiliki anion
gap, maka cairan yang mengandung dekstrosa harus dimulai, dan
kecepatan infus insulin mungkin perlu dikurangi.
Pengobatan pasien dewasa yang memiliki ketoasidosis diabetik
ringan tanpa komplikasi dapat diobati dengan insulin subkutan lispro per
jam dalam pengaturan perawatan non-intensif mungkin aman dan hemat
biaya dibandingkan dengan pengobatan dengan insulin reguler intravena
dalam pengaturan perawatan intensif seperti yang ditunjukkan dalam
banyak kasus. studi. Dalam salah satu penelitian ini, pasien menerima
insulin lispro subkutan dengan dosis 0,3 U/kg pada awalnya, diikuti oleh
0,1 U/kg setiap jam sampai glukosa darah kurang dari 250 mg/dl.
Kemudian dosis insulin diturunkan menjadi 0,05 atau 0,1 U/kg diberikan
setiap jam sampai resolusi DKA. Demikian pula, insulin aspart telah
digunakan dan ditemukan memiliki kemanjuran yang serupa.
Pasien dengan DKA harus diobati dengan insulin sampai resolusi.
Kriteria resolusi ketoasidosis meliputi glukosa darah kurang dari 200
mg/dl dan dua kriteria berikut: kadar bikarbonat serum >= lebih dari 15
mEq/l, pH vena lebih dari 7,3, atau anion gap terhitung sama atau kurang
dari 12 mEq/l. Pasien dapat dialihkan ke insulin yang diberikan secara
subkutan ketika DKA telah teratasi, dan mereka dapat makan. Mereka
yang sebelumnya diobati dengan insulin mungkin direkomendasikan pada
dosis rumah mereka jika mereka telah dikontrol dengan baik. Pasien yang
naif insulin harus menerima rejimen insulin multi-dosis yang dimulai
dengan dosis 0,5 hingga 0,8 U/kg/hari. Untuk mencegah terulangnya
ketoasidosis pada masa transisi, infus insulin harus dilanjutkan selama 2
jam setelah dimulainya insulin subkutan dan periksa kembali gula darah
dan profil metabolik lengkap sebelum menghentikan infus insulin. Jika
pasien tidak dapat mentoleransi asupan oral, insulin intravena, dan cairan
dapat dilanjutkan. Penggunaan analog insulin kerja panjang selama
manajemen awal DKA dapat memfasilitasi transisi dari terapi insulin
intravena ke subkutan.

Penggantian Elektrolit
Kalium
Pasien dengan DKA sering ditemukan pada awalnya memiliki
hiperkalemia ringan sampai sedang, meskipun total tubuh defisit kalium.
Inisiasi insulin menyebabkan pergeseran kalium intraseluler dan
menurunkan konsentrasi kalium, yang berpotensi mengakibatkan
hipokalemia berat. Oleh karena itu pasien dengan kadar kalium serum
kurang dari 3,3 mmol/L memerlukan penanganan awal dengan resusitasi
cairan dan penggantian kalium sambil menunda pemberian insulin sampai
kadar kalium di atas 3,3 mmol/L, untuk menghindari aritmia jantung, henti
jantung, dan kelemahan otot pernapasan. Pada pasien lain, penggantian
kalium harus dimulai ketika konsentrasi serum kurang dari 5,2 mEq/L
untuk mempertahankan tingkat 4 sampai 5 mEq/L. Pemberian 20 sampai
30 mEq kalium per liter cairan sudah cukup untuk sebagian besar pasien;
namun, dosis yang lebih rendah diperlukan untuk pasien dengan gagal
ginjal akut atau kronis.
Magnesium
Hipokalemia umumnya dikaitkan dengan hipomagnesemia. Replesi
kalium dan magnesium mungkin perlu dilakukan, dan mungkin sulit untuk
meningkatkan kadar kalium sampai kadar magnesium habis.
Bikarbonat
Penggantian bikarbonat tampaknya tidak bermanfaat. Dalam satu
penelitian, perbedaan waktu untuk resolusi asidosis (8 jam vs 8 jam; p =
0,7) dan waktu pulang dari rumah sakit (68 jam vs 61 jam; p = 0,3)
ditemukan tidak signifikan secara statistik antara pasien yang menerima
bikarbonat intravena (n = 44) dibandingkan dengan mereka yang tidak (n
= 42). Dalam studi pediatrik lain, anak-anak dengan ketoasidosis diabetik
yang memiliki PaCO2 rendah dan konsentrasi BUN tinggi pada presentasi
dan mereka yang diobati dengan bikarbonat berada pada peningkatan
risiko edema serebral. Usulan perangkap penggunaan terapi natrium
bikarbonat di DKA mungkin termasuk asidosis CSF paradoks,
hipokalemia, bolus natrium besar, dan edema serebral. Namun, dapat
digunakan pada pasien dengan acidemia berat. Pedoman ADA terbaru
merekomendasikan penggunaan terapi natrium bikarbonat pada pasien
dengan pH kurang dari 7,1.
Fosfat
Peran penggantian fosfat di DKA telah dilihat dalam penelitian
yang berbeda. Dalam satu penelitian acak dengan 44 pasien, terapi fosfat
tidak mengubah durasi KAD, dosis insulin yang diperlukan untuk
memperbaiki asidosis, kadar enzim otot yang abnormal, hilangnya
glukosa, atau morbiditas dan mortalitas. Meskipun secara teoritis menarik,
terapi fosfat bukanlah bagian penting dari pengobatan untuk DKA pada
kebanyakan pasien, kasus yang tidak biasa dari hipofosfatemia berat (1,0
mg/dl) terkait kejang pada anak dengan ketoasidosis diabetik (DKA) telah
dijelaskan dalam literatur.

Pemantauan Laboratorium
Pemeriksaan glukosa setiap jam (POCT) harus dilakukan Kadar
glukosa dan elektrolit serum mungkin perlu dilakukan setiap 2 jam sampai
pasien stabil, kemudian setiap 4 jam Nitrogen urea darah awal (BUN)
Pemantauan VBG atau ABG awal, diikuti oleh peristiwa pencetus sesuai
kebutuhan
Intubasi
Ada beberapa risiko yang terkait dengan intubasi pada pasien
dengan DKA. Intubasi harus dihindari jika memungkinkan. Mengobati
seperti di atas dengan fokus pada pemberian cairan dan insulin hampir
selalu mengarah pada perbaikan asidosis dan presentasi klinis secara
keseluruhan. Pasien berusaha untuk mengkompensasi asidosis berat
dengan menciptakan alkalosis respiratorik kompensasi yang
bermanifestasi melalui takipnea dan pernapasan Kussmaul. Jika pasien
tidak lagi dapat menyebabkan alkalosis respiratorik karena keadaan koma
atau kelelahan yang parah, intubasi harus dipertimbangkan. Namun, risiko
intubasi pada DKA termasuk peningkatan PaCO2 selama sedasi dan/atau
paralisis, yang dapat menurunkan pH lebih lanjut, meningkatkan risiko
aspirasi karena gastroparesis, dan kesulitan menyesuaikan derajat
kompensasi pernapasan setelah pasien menggunakan ventilator. . Jika
pasien diintubasi dan ditempatkan pada ventilator, sangat penting untuk
mencoba mencocokkan ventilasi semenit pasien sehingga alkalosis
respiratorik dibuat untuk mengkompensasi asidosis metabolik pada DKA.
Jika tidak, akan terjadi asidosis yang semakin parah, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan henti jantung. Masuk akal untuk memulai dengan
volume tidal 8 ml/kg berdasarkan berat badan ideal dan laju pernapasan,
serupa dengan laju pernapasan kompensasi pasien. Namun, harus
diperhatikan bahwa auto-PEEP tidak terjadi karena laju pernapasan yang
cepat. Edema serebral
Status mental dan pemeriksaan neurologis harus dipantau pada
semua pasien dengan DKA. Pada setiap pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau koma atau yang mengalami penurunan status
mental meskipun telah dilakukan pengobatan atau defisit neurologis fokal,
harus ada ambang batas yang sangat rendah untuk mengobati edema
serebral. Manitol biasanya merupakan agen lini pertama, meskipun ada
juga studi dalam literatur TBI dan literatur DKA mengenai penggunaan
saline 3%.
2.9. Komplikasi
Cerebral edema merupakan komplikasi serius, yang dapat muncul
selama pengobatan diabetic ketoacidosis (KAD). Untuk menghindari
edema serebral selama inisiasi terapi maka perlu pengawasan yang ketat.
Penurunan tingkat kesadaran biasanya menunjukkan terjadinya edema
serebral. MRI biasanya digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Edema serebral langka dan membawa angka kematian tertinggi. Meskipun
manitol dan deksametason sering digunakan dalam situasi ini, namun tidak
ada pengobatan khusus yang terbukti bermanfaat dalam kasus tersebut.
● Dysrhythmia jantung dapat terjadi karena hipokalemia yang berat
dan/atau asidosis baik awalnya atau sebagai akibat dari terapi.
Biasanya, koreksi penyebabnya adalah cukup untuk mengobati
dysrhythmia jantung, tetapi jika masih berlangsung, maka perlu
konsultasi dengan ahli jantung. Melakukan pemantauan jantung
pada pasien dengan KAD selama koreksi elektrolit selalu
disarankan.
● Edema paru dapat terjadi karena alasan yang sama seperti edema
serebral. Meskipun jarang, namun perlu berhati-hati. Edema paru
terjadi karena koreksi yang berlebihan untuk terapi kehilangan
cairan. Diuretik dan terapi oksigen digunakan untuk pengelolaan
edema paru.
● Cedera miokard nonspesifik dapat terjadi pada DKA berat, yang
berhubungan dengan peningkatan biomarker miokard (troponin T
dan CK-MB) dan perubahan EKG dengan infark miokard (MI).
Asidosis dan asam lemak bebas yang sangat tinggi dapat
menyebabkan ketidakstabilan membran dan kebocoran biomarker.
Arteriografi koroner biasanya adalah normal, dan pasien biasanya
sembuh tanpa disertai penyakit jantung iskemik.
● Perubahan mikrovaskuler konsisten dengan retinopati diabetes
telah dilaporkan sebelum dan sesudah terapi DKA.
2.10. Prognosis
● Prognosis pasien diobati dengan ketoasidosis diabetes sangat baik,
terutama pada pasien yang lebih muda jika infeksi intercurrent
tidak ada. Prognosis terburuk adalah biasanya diamati pada pasien
yang lebih tua dengan penyakit intercurrent parah, misalnya, infark
miokard, sepsis, atau pneumonia.
● Kehadiran koma mendalam pada saat diagnosis, hipotermia, dan
oliguria merupakan tanda-tanda prognosis buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Ghimire, P. (2021). StatPearls. Ketoacidosis. Diakses 5 Februari 2022 dari:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534848/
IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus
Tipe-1. Denpasar: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser S, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 20th ed. McGraw-Hill. New York:
McGraw-Hill Education; 2020.
Liwang F, Yuswar PW, Wijaya E, Sanjaya N p. Kapita Selekta Kedokteran. 5th
ed. Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2020.
Lizzo, Jenna M., Goyal, Amandee., & Gupta, Vikas., (2021). StatPearls. Adult
Diabetic Ketoasidosis. Diakses 5 Februari 2022 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560723/
Marcdante, K. J., Kliegman, R. M., Kenson, H. b. & Behrman, R., E., 2021.
Nelson Ilmu Kesehatan Anak Essensial, 8 ed. Singapore: Elsevier.
P A. Pengelolaan perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing; 2014. p. 1875–85.
Powers, Alvin C. Harrison’s Endocrinology. 2013. Edisi 3. p. 272-277

Anda mungkin juga menyukai