Anda di halaman 1dari 35

PRESENTASI KASUS

“EFUSI PLEURA”

Disusun oleh:

Mutiara Alderisa

(1102012185)

Pembimbing:

dr. Subagyo Sp.P

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo

Fakultas Kedokteran

Universitas Yarsi

2016
0
STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. M
Usia : 39 tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Tanggal Lahir : 04-06-1977
Alamat : Jl. Swadaya I RT 16/09, Pejaten Timur, Pasar Minggu
No. RM : 2016-709982
Ruang Rawat : Melati
Tanggal Masuk : 18 Agustus 2016
Tanggal pemeriksaan : 22 Agustus 2016

1.2 ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan istri dan kakak
pasien.

Keluhan Utama :
Batuk ± 2 bulan SMRS.

Keluhan Tambahan :
Batuk disertai dahak berwarna putih, penurunan berat badan (±5-7 kg), demam hilang
timbul (>38º) selama 2 bulan SMRS, sesak napas yang dirasakan saat beraktivitas dan
tidur terlentang, sesak akan berkurang saat istirahat seperti duduk dan tidur dengan
menggunakan bantal ±2-3 bantal. Muntah, menggigil, nyeri dada, keringat malam,
batuk darah disangkal. Pasien juga merasakan mual dan nyeri perut di bagian atas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo tanggal 18 Agustus 2016 pukul 22:21 WIB
dengan keluhan batuk ±2 bulan SMRS. Batuk disertai dahak berwarna putih,
penurunan berat badan (±5-7 kg), demam hilang timbul (>38º) selama 2 bulan SMRS,
selama demam pasien mengkonsumsi obat paracetamol, namun tidak mengalami

1
perbaikan. Pasien juga merasakan sesak napas yang dirasakan saat beraktivitas dan
tidur terlentang, sesak akan berkurang saat istirahat seperti duduk dan tidur dengan
menggunakan bantal ±2-3 bantal. Muntah, menggigil, nyeri dada, keringat malam,
batuk darah disangkal. Pasien juga merasakan tidak nafsu makan karena merasa mual
dan nyeri perut di bagian atas. Riwayat kontak dengan pasien TB dan pengobatan TB
disangkal. Pasien memiliki riwayat merokok kurang lebih selama 15 tahun. Riwayat
hipertensi, asma, diabetes melitus, dan alergi obat disangkal.

Riwayat penyakit dahulu

Pasien baru mengalami hal seperti ini pertama kalinya. Pasien tidak pernah menjalani
rawat inap di rumah sakit sebelumnya. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat TB
paru dan belum pernah melakukan pengobatan selama 6 bulan, Riwayat trauma
disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung dan asma. Riwayat alergi juga disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat hipertensi, asma, penyakit jantung, diabetes melitus dan penyakit paru dalam
keluarga disangkal. Riwayat alergi obat dan makanan pada keluarga juga disangkal.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda-tanda Vital
 Tekanan darah : 100/60 mmHg
 Frekuensi Nadi : 80 x/menit
 Frekuensi Nafas : 24 x/menit
 Suhu : 38,3˚C
4. Kepala : Normocephal
5. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil bulat isokor.
6. Telinga : Normotia, normosepta, serumen (-)
7. Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)

2
8. Tenggorok : T1-T1, faring tidak hiperemis
9. Mulut : Mukosa bibir kering
10. Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea berada ditengah,
tidak ada deviasi
11. Kulit : Turgor baik
12. Jantung
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
c. Perkusi :
i. Batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dextra
ii. Batas jantung kiri pada ICS V linea midclavicula sinistra
iii. Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
13. Paru
a. Inspeksi
Asimetris. Dalam keadaan statis lebih cembung sebelah kanan dan dinamis
pergerakan dinding thorax kanan tampak tertinggal.
b. Palpasi
Fremitus taktil dan fremitus vokal menurun pada paru sebelah kanan.
c. Perkusi
Suara redup sejak ICS III pada paru kanan dan sonor pada paru kiri.
d. Auskultasi
Suara nafas vesikuler menurun pada paru kanan, dan ronkhi halus pada paru
kiri, wheezing -/-.
14. Abdomen
a. Inspeksi : Datar, simetris, tidak tampak sikatriks
b. Auskultasi : Bising usus positif
c. Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
d. Palpasi : Supel, tidak teraba pembesaran lien dan hepar, nyeri
tekan (-)
15. Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema pada keempat
ekstremitas, tidak terdapat deformitas.

3
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 18 Agustus 2016

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 10.4 g/dL 13.2-17.3
Hematokrit 32 % 40-52
Eritrosit 4.4 juta/uL 4.4-5.9
Leukosit 9.00 10^3/ uL 3.80-10.60
Trombosit 573 ribu/uL 150-440
Hitung Jenis
Basofil 1 % 0-1
Eosinofil 1 % 1-3
Neutrofil Batang L0 % 3-5
Neutrofil Segmen H 75 % 50-70
Limfosit L 10 % 25-40
Monosit H9 % 2-8
LUC 4 % <4
Kimia Klinik
SGOT (AST) H 89 U/L 0-50
SGPT (ALT) H 77 U/L 0-50
Ureum Darah L 18 mg/dL 20-40
Kreatinin Darah 0.81 mg/dL 0.17-1.50
eGFR 112.8 mL/min/1.73
m^2
GDS 140 mg/dL <200
Gas Darah + Elektrolit
Natrium (Na) L 122 mmol/L 135-147
Kalium (K) 3.5 mmol/L 3.5-5.0
Klorida (Cl) L 87 mmol/L 98-108

4
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 19 Agustus 2016
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Laju Endap Darah H 81 mm/jam <15
Kimia Klinik
Bilirubin Total, Direk, Ind
Bilirubin Total 0.42 mg/dL 0.1-1.0
Bilirubin Direk 0.19 mg/dL 0.0-0.2
Bilirubin Indirek 0.23 mg/dL

Asam Urat L 1.7 mg/dL 2.0-7.0

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 20 Agustus 2016


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Analisa Cairan Tubuh
Glukosa 67 mg/dl Dewasa : 40-70
Anak-anak : 60-80
Protein Cairan Pleura 4.23
Cairan Tubuh
Spesimen Cairan Pleura
Jumlah sel 430 /uL < 500 : Transudat
Transudat >500 : Eksudat
Hitung Jenis MN
Limfosit 69 %
Monosit 9 %
Hitung Jenis PMN
Neutrofil 22 %

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 25 Agustus 2016


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Kimia Klinik
Albumin L 2.50 gr/dL 3.40-4.80

5
Pungsi Thorax ke-I (20/08/2016)

Gambar 1. Hasil pungsi ke-I

Pungsi Thorax ke-II (24/08/2016)

Gambar 2. Hasil pungsi ke-II

Hasil Pemeriksaan Rontgen

Gambar 3. Rontgen thorax (18/08/2016)

 sebelum dilakukan pungsi

6
Gambar 4. Rontgen thorax (20/08/2016)  setelah dilakukan pungsi ke-I

Gambar 5. Rontgen thorax (25/08/2016)  setelah dilakukan pungsi ke-II

Gambar 6. USG Thorax Dextra (22/08/2016)  setelah dilakukan pungsi ke-I


Hasil : Tampak bayangan bebas gema di bawah diafragma kanan dengan volume 1262 cc.
Kedalaman jarum pungsi 2,38 cm.

7
Gambar 7. Hasil EKG (24/08/2016)

Gambar 8. Hasil ECHO (29/08/16)

Hasil :
Indikasi : Kemungkinan gagal jantung kongestif
Dimensi ruang jantung : normal LVH (-)
Kontraktilitas global LV : normal dengan EF : 77%
EPSS : 4 LVEDP : normal
Analisa Segmental : Global normokinetik
Kontraktilitas global RV normal dengan TAPSE : 19 mm
Doppler : E/A >1, E/E1: 8, AoVmax : 104 mm/s, mPAP : 10 mmHg
Katup mitral : Morphologi dan fungsi normal
Katup tricuspid : Morphologi dan fungsi normal
Katup aorta : Morphologi dan fungsi normal
Katup pulmonal : Morphologi dan fungsi normal
Thrombus (-), Spontaneus Echo Contrast (-)
Pericardial efusi (+) minimal
Kesimpulan :
1. Kemungkinan gagal jantung kongestif (CHF)

8
Fungsi sistolik LV & RV normal
Fungsi diastolik LV normal
Efusi pericardial (+) minimal

Hasil Follow Up Pasien

21 Agustus 2016  setelah dilakukan pungsi ke-I

S : Masih terasa sesak napas

O : Keadaan Umum : Baik


Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda Vital
 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Frekuensi Nadi : 100 x/menit
 Frekuensi Nafas : 24 x/menit
 Suhu : 37,1˚C
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil bulat isokor.
Telinga : Normotia, normosepta, serumen (-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
Tenggorok : T1-T1, faring tidak hiperemis
Mulut : Mukosa bibir kering
Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea berada ditengah,
tidak ada deviasi
Kulit : Turgor baik
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
 Perkusi :
Batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri pada ICS V linea midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

9
Paru
 Inspeksi
Asimetris. Dalam keadaan statis lebih cembung sebelah kanan dan dinamis
pergerakan dinding thorax kanan tampak tertinggal.
 Palpasi
Fremitus taktil dan fremitus vokal menurun pada paru sebelah kanan.
 Perkusi
Suara redup sejak ICS III pada paru kanan dan sonor pada paru kiri.
 Auskultasi
Suara nafas vesikuler menurun pada paru kanan, dan ronkhi halus pada paru
kiri, wheezing -/-.
Abdomen
 Inspeksi : Datar, simetris, tidak tampak sikatriks
 Auskultasi : Bising usus positif
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
 Palpasi : Supel, tidak teraba pembesaran lien dan hepar, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema pada keempat
ekstremitas, tidak terdapat deformitas.

25 Agustus 2016  setelah dilakukan pungsi ke-II


S : Tidak ada keluhan

O : Keadaan Umum : Baik


Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda Vital
 Tekanan darah : 90/80 mmHg
 Frekuensi Nadi : 82 x/menit
 Frekuensi Nafas : 24 x/menit
 Suhu : 36,2˚C
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil bulat isokor.
Telinga : Normotia, normosepta, serumen (-)

10
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
Tenggorok : T1-T1, faring tidak hiperemis
Mulut : Mukosa bibir kering
Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea berada ditengah,
tidak ada deviasi
Kulit : Turgor baik
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
 Perkusi :
Batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri pada ICS V linea midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru
 Inspeksi
Asimetris. Dalam keadaan dinamis pergerakan dinding thorax kanan tampak
tertinggal.
 Palpasi
Fremitus taktil dan fremitus vokal menurun pada paru sebelah kanan (tampak
ada perbaikan dibandingkan sebelum dilakukan pungsi ke-II)
 Perkusi
Suara redup sejak ICS III pada paru kanan dan sonor pada paru kiri.
 Auskultasi
Suara nafas vesikuler menurun pada paru kanan, dan ronkhi halus pada paru
kiri, wheezing -/- (tampak ada perbaikan dibandingkan sebelum dilakukan
pungsi ke-II)
Abdomen
 Inspeksi : Datar, simetris, tidak tampak sikatriks
 Auskultasi : Bising usus positif
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
 Palpasi : Supel, tidak teraba pembesaran lien dan hepar, nyeri
tekan (-)

11
Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema pada keempat
ekstremitas, tidak terdapat deformitas.

1.4 RESUME

Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo tanggal 18 Agustus 2016 pukul
22:21 WIB dengan keluhan batuk ±2 bulan SMRS. Batuk disertai dahak berwarna
putih, penurunan berat badan (±5-7 kg), demam hilang timbul (>38º) selama 2 bulan
SMRS, selama demam pasien mengkonsumsi obat paracetamol, namun tidak
mengalami perbaikan. Pasien juga merasakan sesak napas yang dirasakan saat
beraktivitas dan tidur terlentang, sesak akan berkurang saat istirahat seperti duduk dan
tidur dengan menggunakan bantal ±2-3 bantal. Muntah, menggigil, nyeri dada,
keringat malam, batuk darah disangkal. Pasien juga merasakan tidak nafsu makan
karena merasa mual dan nyeri perut di bagian atas. Riwayat kontak dengan pasien TB
dan pengobatan TB disangkal. Pasien memiliki riwayat merokok kurang lebih selama
15 tahun. Riwayat hipertensi, asma, diabetes melitus, dan alergi obat disangkal.
Riwayat hipertensi, asma, penyakit jantung, diabetes melitus dan penyakit paru dalam
keluarga disangkal. Riwayat alergi obat dan makanan pada keluarga juga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Pada inspeksi didapatkan pada keadaan statis lebih cembung sebelah kanan dan
dinamis pergerakan dinding thorax kanan tampak tertinggal, palpasi fremitus taktil
dan fremitus vokal menurun pada paru sebelah kanan, perkusi terdengar suara redup
sejak ICS III pada paru kanan dan sonor pada paru kiri, Suara nafas vesikuler
menurun pada paru kanan, dan ronkhi halus pada paru kiri, wheezing -/-. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan cairan pleura transudat dan hipoalbumin. Pada
pemeriksaan rontgen thorax dan USG didapatkan gambaran efusi pleura dextra. Dari
hasil pemeriksaan echo diduga kemungkinan gagal jantung kongestif (CHF).

1.5 DIAGNOSA
Efusi Pleura Dextra e.c CHF

1.6 DIAGNOSA BANDING

 Empiema

12
 Pneumothorax

 Hidropneumothorax

1.7 PENATALAKSANAAN

Medikamentosa:
IVFD Aminofluid:NaCl 0,9% (2:1)/8 jam
Inj Ranitidin 25 mg 2x1 amp
Inj Ondansetron 4 mg 2x1 amp
Ceftriaxon 2x1 gr
O2 Nasal Canul 3 lt
PCT drip
Spironolacton 1x100 mg
Digoxin 1x1 tab

Non medikamentosa:
Pungsi pleura I ± 400 cc
Pungsi pleura II ± 2600 cc
Tabel 5. Produksi Pungsi Pleura

1.8 PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad functionam : dubia ad malam
3. Ad sanationam : dubia ad malam

13
BAB I

PENDAHULUAN

Efusi pleura adalah masalah kesehatan yang umum terjadi dengan lebih dari 50
penyebab, termasuk penyakit lokal pada pleura atau paru-paru yang mendasarinya, kondisi
sistemik, disfungsi organ dan obat-obatan. Efusi pleura terjadi sebagai akibat dari peningkatan
pembentukan cairan dan/atau pengurangan resorpsi cairan. Patofisiologi yang tepat dari
akumulasi cairan bervariasi tergantung pada etiologi yang mendasarinya. Diperlukan
pendekatan sistematis. Tujuannya adalah untuk membangun diagnosis yang cepat dan
meminimalisir tindakan invasif dan pengobatan yang tidak diperlukan. Mengetahui
karakteristik efusi pleura merupakan hal penting untuk dapat menegakkan penyebab efusi
pleura sehingga efusi pleura dapat ditatalaksana dengan baik.1

14
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang tidak normal di rongga


pleura yang diakibatkan oleh transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan
pleura. Efusi pleura selalu abnormal dan mengindikasikan terdapat penyakit yang
mendasarinya. Efusi pleura dibedakan menjadi eksudat dan transudat berdasarkan
penyebabnya. Rongga pleura dibatasi oleh pleura parietal dan pleura visceral. Pada
keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 mL/kg/jam) cairan secara konstan memasuki
rongga pleura dari kapiler di pleura parietal. Hampir semua cairan ini dikeluarkan oleh
limfatik pada pleura parietal yang mempunyai kapasitas pengeluaran sedikitnya 0,2
mL/kg/jam. Cairan pleura terakumulasi saat kecepatan pembentukan cairan pleura
melebihi kecepatan absorbsinya. Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari
berbagai penyakit. Maka dari itu diperlukan pendekatan yang tepat terhadap pasien
efusi pleura. 1

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di rumah sakit persahabatan,


dari 229 kasus efusi pleura pada bulan Juli 1994-Juni 1997, keganasan merupakan
penyebab utama diikuti oleh tuberkulosis, empiema toraks dan kelainan ekstra
pulmoner. Penyakit jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan penyebab
tersering efusi transudatif sedangkan keganasan dan tuberkulosis merupakan
penyebab tersering efusi eksudatif. 1

2.3 Etiologi

Ruang pleura yang normal mengandung sekitar 1 ml cairan, mewakili


keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan onkotik di pembuluh pleura visceral dan
parietal dan drainase limfatik. Efusi pleura terjadi dari terganggunya keseimbangan
ini.
1. Perubahan permeabilitas dari membran pleura (misalnya, radang, keganasan,
emboli paru)

15
2. Penurunan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia, sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan vaskuler (misalnya, trauma,
keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat hipersensitivitas, uremia,
pankreatitis).
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan /atau paru
(misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior).
5. Pengurangan tekanan dalam rongga pleura, mencegah ekspansi paru penuh
(misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan, termasuk obstruksi duktus
toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi melintasi diafragma melalui
limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal).2

2.4 Klasifikasi

Efusi pleura umumnya diklasifikasikan sebagai transudat atau eksudat,


berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimia cairan pleura. Transudat hasil
dari ketidakseimbangan dalam tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik, sedangkan
eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau penurunan drainase limfatik. Dalam
beberapa kasus, cairan pleura mungkin memiliki kombinasi karakteristik transudat
dan eksudatif.2
Untuk membedakan transudat dan eksudat jika memenuhi dua dari tiga
kriteria Light, yaitu: :
a. Ratio kadar protein cairan efusi pleura/ kadar protein serum >0.5
b. Ratio kadar LDH cairan efusi pleura/ kadar LDH serum <0.6
c. Kadar LDH cairan efusi pleura <2/3 batas atas nilai normal kadar LDH serum
Jika angka tersebut terlampaui, efusi pleura termasuk jenis eksudat. Ketika
efusi pleura telah didiagnosis eksudat melalui kriteria diatas, namun klinis dianggap
transudat, perbedaan konsentrasi albumin antara serum dan efusi >1.2 mg/dl dapat
menunjukkan cairan efusi bersifat transudat.2

16
Tabel 1. Etiologi Efusi Pleura
Eksudat Transudat
Efusi Parapneumonia Gagal jantung kiri
Neoplasma Sirosis hati
Hipoalbumin
Peritonial Dialisis
Emboli paru Sindrom nefrotik
Arthritis Reumatik Emboli paru
Efusi jinak yang disebabkan oleh asbestos Hipotiroid
Pankreatitis Stenosis mitral
Sindrom infark miokard
Penyakit autoimun
Post operasi bypass arteri koronaria
Abses hepatic Perikarditis
Uremia Sindrom meig
Chylothoraks Urinothoraks
Infeksi lainnya Obstruksi vena kava superior
Pengaruh obat
Radioterapi
Ruptur esophageal

Dikutip (3)

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika


paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh
dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri
dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti
demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus),
subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea
menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang
signifikan.5

2.6 Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung
b. Palpasi : Penurunan fremitus vocal atau taktil
c. Perkusi : Pekak pada perkusi
d. Auskultasi : Penurunan bunyi napas

17
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus.5

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,


karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam
pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak,
dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis
Damoiseu).4

Pemeriksaan penunjang

 Foto toraks
Cairan yang kurang dari 300 cc, pada fluoroskopi maupun foto toraks PA
tidak tampak. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpulan sinus
kostofrenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih dari 300
cc, sinus kostofrenikus tidak tampak tumpul tetapi diafragma kelihatan meninggi.
Untuk memastikan dapat dilakukan foto dada lateral dari sisi yang sakit. Foto toraks
PA dan posisi lateral dekubitus pada sisi yang sakit seringkali memberi hasil yang
memuaskan bila cairan pleura sedikit, atau cairan subpulmonal yaitu tampak garis
batas cairan yang sejajar dengan kolumna vertebralis atau berupa garis horizontal.6

Gambar 1. Foto thoraks dan computed tomography scan


Dikutip (6)

18
Gambar 2. Efusi pleura massif
Dikutip (6)

 Pemeriksaan Mikroskopis dan sitologi


Jika didapatkan sel darah putih sebanyak >1000/mL, hal ini mengarahkan
diagnosis kepada eksudat. Jika sel darah putih > 20.000/mL, keadaan ini menunjukan
empiema. Neutrofil menunjukan kemungkinan adanya pneumonia, infark paru,
tuberkulosis paru fase awal atau pancreatitis. Limfosit dalam jumlah banyak
mengarahkan kepada tuberculosis, limfoma atau keganasan. Jika pada torakosintesis
didapatkan banyak eosinofil, tuberculosis dapat disingkirkan.
 Pemeriksaan biokima
a. Protein > 3 g/dl  eksudat
b. Protein < 3 g/dl  transudat
c. Glukosa < normal  “rheumatoid pleural effusion”, kemungkinan lain karena
keganasan atau purulen.
d. Kolesterol menunjukan proses kronis atau mungkin karena rheumatoid
e. Amilase  pancreatitis atau karsinoma pancreas.6
 Pemeriksaan bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorsganisme, apalagi bila cairanya purulen (menunjukan empiema). Efusi yang
purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau anaerob. Jenis kuman yang
sering ditemukan dalam cairan pleura adalah : Pneumokokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara mengambil cairan dari rongga
pleura dengan cara pungsi pleura atau torakosintesis atau pleural tapping. Pungsi
pleura dilakukan dengan cara menusukkan jarum pungsi atau abbocath di antara dua
iga. Cairan yang terdapat di dalam rongga pleura secara umum disebut efusi pleura.

19
Efusi pleura berupa nanah disebut empiema, jika berupa darah disebut hematotoraks,
jika berisi cairan kilus disebut kilotoraks. Penyebab efusi pleura tidak hanya berupa
kelainan di daerah toraks tetapi juga dapat karena kelainan di daerah lain
(ekstratoraks) atau sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik.7

2.7 Patogenesis
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura
berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling
bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan
ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler
dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan
pembentukannya .4

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya


kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan
secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan
terjadinya efusi pleura yaitu 5;

1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi


kapiler
2. Penurunan tekanan kavum pleura
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.

Penghambatatan drainase Tekanan Osmotik Koloid


Infeksi
limfatik Plasma

Peradangan permukaan Tekanan kapiler paru Transudasi cairan

pleura meningkat intravaskular

Permeabilitas Vascular Tekanan Hisdrostatik Edema

20
Transudasi Cavum Pleura

Efusi Pleura

Gambar 3. Skema Efusi Pleura


Dikutip (5)

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh


peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura
dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena pecahnya
alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini
sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang
elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.5

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain


bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,
dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis
konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.5

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan


permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga
pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa
Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif .5

21
Gambar 11. Algoritama diagnosis efusi pleura unilateral
Dikutip (8)

 Penyakit-Penyakit Dengan Efusi Pleura

Pleuritis karena Virus dan Mikoplasma


Efusi pleura karena virus atau mikoplasma agak jarang. Bila terjadi jumlahnya tidak
banyak dan kejadiannya hanya selintas saja. Jenis-jenis virusnya adalah: echo virus,
Coxsackie group, Chlamydia, Rickettsia dan Mycoplasma.

22
Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6.000 per cc. Gejala
penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada,
sakit perut. Kadang-kadang ditemukan juga gejala-gejala perikarditis. Diagnosis
ditegakkan dengan menemukan virus dalam cairan efusi, tapi cara termudah adalah
dengan mendeteksi antibody terhadap virus dalam cairan efusi.5

Pleuritis karena Bakteri Piogenik


Permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim
paru dan menjalar secara hematogen, dan jarang yang melalui penetrasi diafragma,
dinding dada atau esophagus.
Aerob: Streptococcus pneumoniae, Streptococcus mileri, Staphylococcus aureus,
Haemophilus spp., Escherichia coli, Klebsiella, pseudomonas spp.
Anaerob: Bacteroides spp., Peptostreptococcus, Fusobacterium. Pemberian
kemoterapi dengan Ampisilin 4x1 gram dan Metronidazol 3x500 gram hendaknya
sudah dimulai sebelum kultur dan sensitivitas bakteri didapat. Terapi lain yang lebih
penting adalah mengalirkan cairan efusi yang terinfeksi tersebut keluar dari rongga
pleura dengan efektif.5

Pleuritis Tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang sero – santrokron dan bersifat
eksudat. Penyakit ini kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkolosis paru
melalui fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat
juga dari robeknya perkijauan ke arah saluran getah bening yang menuju rongga
pleura, iga atau kolumna veterbralis. Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan
efusi pleura bilateral. Cairan efusi yang biasanya serous, kadang-kadang bisa juga
hemoragik. Jumlah leukosit antara 500-2000 per cc. Mula-mula yang dominan adalah
sel polimorfonuklear, tapi kemuadian sel limfosit. Cairan efusi sangat sedikit
mengandung kuman tuberkulosis, tapi adalah karena reaksi hipersensitifitas terhadap
tuberkuloprotein. Pada dinding pleura dapar ditemukan adanya granuloma.

Diagnosis pertama berdasarkan adanya kuman tuberkolosis dalam caira efusi


atau dengan biopsi jaringan pleura. Pada daerah-daerah dimana frekuensi tuberkulosis
paru tinggi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian besar efusi pleura adalah
karena pleuritis tuberkulosa walaupun tidak ditemukan adanya granuloma pada biopsi

23
jaringan pleura.

Pengobatan dengan obat-obatan anti tuberkulosis ( rifampisisn, INH,


pirazinamid/etambutol/streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara
pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini
menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembali, tapi untuk menghilangkannya
aksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosintesia. Umumnya cairan diresolusi
dengan sempurna, tapi kadang-kadang dapat diberikan kortikosteroid secara
sistematik (prednison 1mg/kg/BB)selama 2 minggu kemudian dosis dturunkan secara
perlahan).5

Pleuritis Fungi

Pleuritis karena fungi amat jarang. Biasanya terjadi karena penjalaran infeksi fungi
dari jaringan paru. Jenis fungi penyebab pleuritis adalah Aktinomikosis,
Koksidiomikosis, Aspergillus, Kriptokokus, Histoplasmolisis, Blastomikosis, dll.
Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.

Penyebaran fungi ke organ tubuh lain amat jarang. Pengobatan dengan Amfoterisin B
memberikan respon yang baik. Prognosis penyakit ini relative baik.5

Pleuritis Parasit

Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura hanyalah amuba. Bentuk
tropozoitnya datang dari parenkim hati menembus diafragfma terus ke parenkim paru
dan rongga pleura. Efusi pleura karena parasit ini terjadi karena peradangan yang
ditimbulkannnya. Di samping ini juga dapat empiema karena amuba yang cairannya
berwarna khas merah coklat. Di sini parasit masuk ke rongga pleura secara migrasi
dari parenkim hati. Bisa juga karena robekan dinding abses amuba pada hati ke arah
rongga pleura. Efusi parapneumonia karena amuba dari abses hati lebih sering terjadi
daripada empiema amuba.5

Efusi Pleura karena Kelainan Intra Abdominal

Efusi pleura dapat terjadi secara steril karena reaksi infeksi dan peradangan yang dpat
dibawah diafragma seperti pankreas atau eksaserbasi akut pankreatitis kronik, abses
ginjal, abses hati, abses limfa.

24
Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tetapi dapat juga bilateral. Mekanismenya
adalah karena berpindahnya cairan yang mengandung enzim pankreas kerongga
pleura melalui saluran getah bening. Efusi ini bersifat eksudat serosa, tapi kadang-
kadang bisa juga hemoragik. Kadar amilase dalam efusi lebih tinggi daripada dalam
serum.

Efusi pleura juga sering setelah 48-72 jam pasca operasi abdomen seperti
splenektomi. Operasi terhadap obstruksi intestinal atau pasca orerasi atelektasis.
Biasanya terjadi unilateral dan jumlah efusi tidak banyak. Caiaran biasanya bersifat
eksudat dan mengumpul pada sisi operasi, efusi pleura operasi biasanya bersifat
meligma dan kebanyakan akan sembuh secara spontan.

Sirosis Hati. Efusi pleura dapat terjadi pada pasien dengan sirosis hati. Kebanyakan
efusi pleura timbul bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan antara
cairan pleura dan asites, karena terdapat hubugan fungsional antara rongga pleura dan
rongga abdomen melalui saluran getah bening atau celah jaringan otot diafragma.
Kebanyakan efusi menempati pleura kanan (70%) dan efusi bisa juga terjadi bilateral.

Torakosentesis kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi sesak nafas, tapi


bila asitesnya padat sekali, cairan pleura akan timbul lagi dengan cepat. Dalam hal ini
perlu dilakukan terapi peritoneosintesis dismaping terapi dengan diuretik dan terapi
terhadap penyakit asalnya.

Sindrom Meig. Tahun 1937 Meig dan Cass menemukan penyakit tumor pada
ovarium (jinak atau ganas) disertai asites dan efusi pleura. Patogenesis terjadi efusi
pleura ini masih belum diketahui betul. Bila tumor ovarium tersebut dioperasi, efusi
pleura dan asitesnya pun segera hilang. Adanya massa dirongga pelvis disertai asites
dan eksudat cairan pleura sering dikirakan sebagai neoplasma dan metastasisnya.

Dialisis Peritoneal. Efusi pleura dapat terjadi selama dan sesudah dilakukannya
dialisis peritoneal. Efusi pleura dapat terjadi pada salah satu paru maupun bilateral.
Perpindahan cairan dialisat dari rongga peritonela ke rongga pleura terjadi melalui
celah difragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura
dengan cairan dialisat.5

25
Efusi Pleura karena Penyakit Kolagen

Lupus Eritematosus. Pleuritis adalah salah satu gejala yang timbul belakangan pada
penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE). Dengan terjadinya efusi pleura yang
kadang-kadang mendahului gejala sistemik lainnya, diagnosis SLE ini menjadi lebih
jelas. Hampir 55% dari SLE disertai pleuritis dan 25% daripadanya juga dengan efusi
pleura.

Artritis Reumatoid. Efusi pleura terdapat pada 5% RA selama masa sakit. Cairan
efusi bersifat eksudat serosa yang banyak mengandung limfosit. Faktor rheumatoid
mungkin terdapat dalam cairan efusi tapi tidak patognomonik untuk RA, karena juga
terdapat pada karsinoma, tuberculosis ataupun pneumonia. Umumnya efusi pleura
pada RA sembuh sendiri tanpa diobati, tapi kadang-kadang diperlukan juga
kortikosteroid.

Skleroderma. Efusi pleura juga didapatkan pada skleroderma. Jumlah cairan efusinya
tidak banyak, tapi yang menonjol disini adalah penebalan pleura atau adhesi yang
terdapat pada 75% pasien skleroderma.5

Efusi Pleura karena Gangguan Sirkulasi

Gangguan kardiovaskular. Payah jantung (decompensatio cordis) adalah penyebab


terbanyak timbulnya efusi pleura. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya
peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan
kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening juga akan
menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura dan paru-paru
meningkat.

Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan
istirahat, digitalis, diuretic,dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang
torakosentesis diperlukan juga bila pasien amat sesak.

Emboli pulmonal. Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli
pulmonal. Kadaan ini dapat disertai infark paru ataupun tanpa infark. Emboli
menyebabkan menurunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi iskemia
maupun kerusakan parenkim paru dan memberikan peradangan dengan efusi yang
berdarah (kemerahan).

26
Pengobatan ditujukan pada embolinya yaitu dengan memberikan obat antikoagulan
dan mengontrol keadaan trombositnya.

Hipoalbuminemia. Efusi pleura juga terdapat pada hipoalbuminemia seperti sindrom


nefrotik, malabsorpsi atau keadaan lain dengan asites serta edema anasarka. Efusi
terjadi karena rendahnya tekanan osmotic protein cairan pleura dibandingkan dengan
tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat
transudat.

Pengobatan adalah dengan memberikan diuretic dan restriksi pemberian garam.


Pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.5

Efusi Pleura Neoplasma

Neoplasma primer maupun sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura dan


umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah
sesak nafas dan nyeri dada. Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan
cepat walaupun dilakukan torakosentesis berkali-kali.

Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma yakni:

 Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan permeablititas pleura terhadap air


dann protein.
 Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah vena
dan getah bening, sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan cairan dan
protein.
 Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hipoproteinemia.
Mesotelioma. Mesotelioma adalah tumor primer yang berasal dari pleura. Tumor ini
jarang ditemukan, bila tumor masih terlokalisasi, biasanya tidak menimbulkan efusi
pleura, sehingga dapat digolongkan sebagai tumor jinak. Sebaliknya bila tersebar
(difus) digolongkan sebagai tumor ganas karena dapat menimbulkan efusi pleura yang
maligna.

Karsinoma bronkus. Jenis karsinoma ini adalah yang terbanyak menimbulkan efusi
pleura. Tumor bisa ditemukan dalam permukaan pleura karena penjalaran langsung
dari paru-paru melalui pembuluh getah bening. Terapi operasi terhadap tumornya

27
masih dapat dipertimbangkan, tetapi bila pada pemeriksaan sitologi sudah ditemukan
cairan pleura, pasien tidak dapat dioperasi lagi. Untuk mengurangi sesaknya
dilakukan torakosentesis berulang-ulang. Tetapi sering timbul dengan cepat,
sebaiknya dipasang pipa torakotomi pada dinding dada (risiko timbulnya empiema).
Tindakan lain untuk mengurangi timbulnya lagi cairan adalah dengan pleurodesis,
memakai zat-zat seperti tetrasiklin, talk, sitostatika, kuinakrin.

Neoplasma metastatik. Jenis-jenis neoplasma yang sering bermetastasi ke pleura dan


menimbulkan efusi adalah karsinoma payudara (terbanyak), ovarium, lambung, ginjal,
pancreas dan bagian-bagian organ lain dalam abdomen.

Limfoma maligna. Kasus-kasus limfoma malgna (non-Hodgkin dan Hodgkin)


ternyata 30% bermetastasis ke pleura dan juga menimbulkan efusi pleura. Di dalam
cairan efusi tidak selalu terdapat sel-sel ganas seperti pada neoplasma lainnya.
Biasanya ditemukan sel limfosit karena sel ini ikut dalam aliran darah dan aliran getah
bening melintasi rongga pleura. Di antara sel-sel yang bermigrasi inilah kadang-
kadang ditemukan sel-sel ganas limfoma maligna.5

Efusi Pleura Karena Sebab Lain

Trauma. Efusi pleura dapat terjadi karena trauma yakni trauma tumpul, laserasi, luka
tusuk pada dada, ruptur esofagus karema muntah hebat atau karena pemakaian alat
waktu tindakan esofagoskopi. Jenis cairan dapat berupa serosa, hemotoraks,
kilotoraks dan empiema. Analisis cairan efusi dapat menentukan lokalisasi trauma,
misal pada ruptura esofagus kadar pH nya rendah,kurang lebih 6,5 karena
terkontaminasi dengan asam lambung, kadar amilase dalam cairan pleura meningkat
karena adanya air ludah yang tertelan dan masuk ke dalam rongga pleura.

Uremia. Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah poliserositis yang terdiri
efusi pleura, efusi perikard dan efusi peritoneal. Mekanisme penumpukan cairan ini
belum diketahui betul, tapi diketahui dengan timbulnya eksudat terdapat peningkatan
permeabilita jaringan pleura, perikard atau peritoneum.

Miksedema. Efusi pleura dan efusi perikard dapar terjadi sebagai bagian dari
penyakit miksedema. Efusi datap terjadi tersendiri maupun secara bersama-sama.
Cairan bersifat eksudat dan mengandung protein dengan konsentrasi tinggi.
Limfedema secara kronik dapat terjadi pada tungkai, muka, tangan dan efusi pleura

28
yang berulang pada satu atau kedua paru. Beberapa pasien terdapat juga kuku jari
yang berwarna kekuning-kuningan. Patogenesis fusi pleura yang bersifat eksudat ini
belum diketahui betul,tapi diperkirakan karena adanya kegagalan aliran getah bening.

Demam Familial Mediteranian. Penyakit ini banyak terdapata didaerah timur tengah
terutama pada bangsa yahudi. Penyakit dturunkan secara autosomal resesif dari orang
tua keanaknya. Gejala penyakit berupa serangan demam berulang, rasa sakit
abdominal dan pleuritis, pleuritis disini dapat memberikan rasa nyeri pleuritik dan
efusi pleura. Pengobatan bersifat suportif saja dan operasi sebaiknya dihindari.

Reaksi Hipertensif Terhadap Obat. Pengobatan dengan nitrofurantoin, metisergid,


praktolol kadang-kadang memberikan reaksi/ perubahan terhadap paru-paru dan
pleura berupa radang dan kemudian juga akan menimbulkan efusi pleura. Bila proses
menjadi kronik bisa terjadi fibrosis paru atau pleura. Pengobatan dengan hidrazin,
prokainamid dan kadang-kadang dengan definilhidatoin dan isoniazid sering juga
menimbulkan pleuritis dan perikarditis. Radang dan efusi yang timbul dapat
menghilang bila pemberian obat-obatan tersebut dihentikan.

Sindrom Dressler. Pleuritis dan perikarditis dapat terjadi setelah 1-6 minggu
serangan infark jantung akut, tindakan resusitasi jantung atau operasi kardiotomi.
Cairan pleura /perikardium yang timbul bersifat eksudat, steril, berwarna serosa atau
hemoragik. Keadaan ini disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas otot jantung dan
perikard terhadap tindakan/ pengobatan. Terapi hanya simtomatik saja karena
penyakit ini tergolong self limited.

Sarkoidosis. Efusi pleura sebenarnya jarang ditemukan pada sarkoidosis. Efusi


biasanya unilateral tapi dapat juga bilateral. Cairan bersifat eksudat atau serosa tapi
bisa juga hemoragik dengan banyak sel-sel limfosit. Diagnosis untuk sarkoidosis ialah
dengan tuberkulin negatif, biopsi pleuranya mengandung granulomata non-kaseosa
dan hasil biakann negatif untuk mikobakterium dan organisasi mikosis lainnya.

Efusi Pleura Idiopatik. Sebagaian efusi pleura, walaupun telah dilakukan prosedur
diagnostik secara berulang-ualang. Pemeriksaan radiologis, analisis cairan, biopsi
pleura dll. Kadang-kadang masih belum bisa didapatkan diagnostik yang pasti.
Keadaan ini dpat digolongkan dalam efusi pleura idiopatik. Hasil pemeriksaan dengan
oprasi pun kadang-kadang hanya menunjukan pleura yang menebal karena pleuritis

29
yang non-spesifik.

Analisan cairan pleura umumnya bersifat eksudat dan berisi beberapa jenis sel.
Penyebab efusi pleura ini banyak yang belum jelas, tapi diperkirakan karena adanya
infeksi, reaksi hipersensitifitas, kontaminasi dengan asbesto dll. Daerah-daerah dengan
prevalensi tuberkolosis yang tinggi, yang ini kebanyakan dianggap sebagai pleuritis
tuberkolosis, sedangakan pada negara-negara yang maju sering dianggap sebagai
pleuritis karena penyakit kolagen atau neoplasma.5

2.8 Diagnosis Banding


 Empiema
 Pneumothorax
 Hidropneumothorax.6

2.9 Tatalaksana
1. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk mengurangi rasa tidak enak atau
“discomfort” dan sesak napas. Dianjurkan melakukan aspirasi sedikit demi
sedikit. Cairan yang dikeluarkan antara 500-1000 cc, bila pengambilan terlalu
banyak dan cepat dapat menyebabkan edema paru.
2. Melakukan pleurodesis pada proses keganasan atau pada efusi pleura yang sering
kambuh.
3. Pemberian steroid ditambahkan dengan OAT dapat menyerap efusi pleura yang
disebabkan oleh TB paru secara cepat dan mengurangi fibrosis.
4. Efusi pleura transudat
a. Bila disebabkan oleh tekanan hidrostatik yang meningkat, dapat diberikan
diuretika.
b. Bila disebabkan oleh tekanan osmotik yang menurun sebaiknya diberikan
protein.
c. Bahan sklerosing dapat dipertimbangkan bila ada reakumulasi cairan
berulang dengan tujuan melekatkan pleura viseralis dan parietalis.
5. Efusi pleura eksudat
Umumnya disebabkan oleh pneumonia, cairan dapat diresorbsi setelah pemberian
terapi yang adekuat untuk penyakit dasarnya. Bila terjadi empiema, perlu
pemasangan kateter toraks dengan WSD. Bila terjadi fibrosis, tindakan yang

30
paling mungkin hanya dekortikasi (jaringan fibrotik yang menempel pada pleura
diambil /dikupas).
6. Efusi pleura maligna
Pengobatan ditujuakan pada penyebab utama atau pada penyakit primer dengan
cara radiasi atau kemoterapi. Bila efusi terus berulang, dilakukan pemasangan
kateter toraks dengan WSD.
7. Kilotoraks
Cairan pleura berupa kilus yang terjadi karena kebocoran akibat penyumbatan
saluaran limfe duktus torasikus di rongga dada. Tindakan yang dilakukan bersifat
konsevatif : torakosintesis 2-3 kali. Bila tidak berhasil, dipasang kateter toraks
dengan WSD. Tindakan yang paling baik ialah melakukan opersai reparasi
terhadap duktus torasikus yang robek.6

Thorakosintesis
Mengurangi gejala adalah tujuan utama terapi drainase pada pasien. Satu-
satunya kontraindikasi absolut terhadap thorakosintesis adalah infeksi pada tempat
tusukan. Beberapa kontraindikasi relatif termasuk diatesis pendarahan yang parah,
antikoagulasi sistemik, dan volume cairan yang kecil. Kemungkinan komplikasi dari
prosedur ini termasuk perdarahan (karena tusukan pada pembuluh atau parenkim
paru), pneumotoraks, infeksi (infeksi jaringan lunak atau empiema), laserasi organ
intra-abdomen, hipotensi, dan paru edema.7
Indikasi untuk thorakosintesis adalah adanya efusi pleura klinis yang
signifikan (lebih dari 10 mm pada ultrasonografi atau foto lateral dekubitus). Jika
pasien datang dengan gagal jantung kongestif dan efusi bilateral dengan ukuran yang
sama, afebris, dan tidak memiliki nyeri dada, percobaan diuresis dapat dilakukan.
Sejak lebih dari 80 persen pasien dengan efusi pleura disebabkan oleh gagal jantung
kongestif memiliki bilateral efusi pleura, thorakosintesis diindikasikan jika efusi
adalah unilateral. Jika efusi tetap selama lebih dari tiga hari, thoracentesis dapat
diterapkan.7

Pleurodesis
Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dengan parietalis baik secara
kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi
cairan maupun udara dalam rongga pleura. Secara umum, tujuan dilakukannya

31
pleurodesis adalah untuk mencegah berulangnya efusi berulang (terutama bila terjadi
dengan cepat), menghindari torakosintesis berikutnya dan menghindari diperlukannya
insersi chest tube berulang, serta menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi
pleura atau pneumotoraks berulang (trapped lung, atelektasis, pneumonia, insufisiensi
respirasi, tension pneumothoraks). Efusi pleura maligna merupakan indikasi paling
utama pada pleurodesis.
Sebelum dilakukan pleurodesis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui
selang dada dan paru dalam keadaan mengembang. Pleurodesis dilakukan dengan
memakai bahan sklerosis yang dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari
bahan ini tergantung pada kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan obliterasi
kapiler pleura. Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk keperluan pleurodesis ini
yaitu : Bleomisin, Adriamisin, Siklofosfamid, ustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak
nitrat, talk, Corynebacterium parvum dan tetrasiklin. Tetrasiklin merupakan salah satu
obat yang juga digunakan pada pleurodesis, harga murah dan mudah didapat dimana-
mana. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar masukkanlah tetrasiklin sebanyak 500
mg yang sudah dilarutkan dalam 20-30 ml larutan garam fisiologis ke dalam rongga
pleura, selanjutnya diikuti segera dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk
pencucian selang dada dan 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa sakit atau
dengan memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam sebelum dilakukan pleurodesis.
Kemudian kateter diklem selama 6 jam, ada juga yang melakukan selama 30 menit
dan selama itu posisi penderita diubah-ubah agar tetrasiklin terdistribusi di seluruh
rongga pleura. Bila dalam 24-48 jam cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut.5

2.10 Prognosis

Prognosis efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari


kondisi ini. Morbiditas dan mortalitas efusi pleura berhubungan langsung dengan
penyebabnya, stadium penyakit, dan temuan biokimia dalam cairan pleura. Pada efusi
pleura ganas dikaitkan dengan prognosis yang sangat buruk, dengan kelangsungan
hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Yang
paling umum keganasan terkait pada pria adalah kanker paru-paru, dan keganasan
yang paling umum pada wanita adalah kanker payudara.6

32
Temuan seluler dan biokimia dalam cairan juga dapat menjadi indikator
prognosis. Misalnya, pH cairan pleura lebih rendah sering dikaitkan dengan beban
tumor lebih tinggi dan prognosis yang buruk.2

2.11 Pencegahan

Pencegahan efusi pleura dengan melakukan pengobatan yang adekuat pada


penyakit-penyakit dasarnya yang dapat menimbulkan efusi pleura. Merujuk penderita
ke rumah sakit yang lebih lengkap bila diagnosis ditegakkan. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk menentukan dan mengobati penyakit dasarnya misalnya, biopsi
pleura, bronkoskopi, torakotomi, dan torakoskopi.6

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Khairani R, et al., 2012. Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit Persahabatan.


Journal Respirologi Indonesia 2012; 32:155-60.
2. Jeffrey Rubins J., 2012. Pleural Effusion. Diakses dari
www.emedicine.medscape.com pada tanggal 27 Agustus 2016. Pp 1-3.
3. McGrath E.E., Anderson P.B., 2011. Diagnosis of Pleural Effusion: a Systemic
Approach. American Journal of Critical Care; 20: 120-30.
4. Lorraine W. Penyakit Paru Restriktif. Dalam : Price, Sylvia A, Lorraine W, et al.
Editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Ed. 6. Jilid.2.
Kedokteran EGC ; Jakarta: 2005. Pp 110-25.
5. Sudoyo A.W., et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing; Pp. 2329-36.
6. Alsagaff H. dan Mukty A., 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press. Pp. 143-54.
7. Yataco J.C., Dweik R.A., 2005. Pleural effusions: Evaluation and Management.
Cleveland Clinic Journal of Medicine; 72:855.
8. The BTS Pleural Disease Guideline. Journal of the British Thoracic Society. Volume
65 Suppl II, August 2010.

34

Anda mungkin juga menyukai