“EFUSI PLEURA”
Disusun oleh:
Mutiara Alderisa
(1102012185)
Pembimbing:
Fakultas Kedokteran
Universitas Yarsi
2016
0
STATUS PASIEN
1.2 ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan istri dan kakak
pasien.
Keluhan Utama :
Batuk ± 2 bulan SMRS.
Keluhan Tambahan :
Batuk disertai dahak berwarna putih, penurunan berat badan (±5-7 kg), demam hilang
timbul (>38º) selama 2 bulan SMRS, sesak napas yang dirasakan saat beraktivitas dan
tidur terlentang, sesak akan berkurang saat istirahat seperti duduk dan tidur dengan
menggunakan bantal ±2-3 bantal. Muntah, menggigil, nyeri dada, keringat malam,
batuk darah disangkal. Pasien juga merasakan mual dan nyeri perut di bagian atas
1
perbaikan. Pasien juga merasakan sesak napas yang dirasakan saat beraktivitas dan
tidur terlentang, sesak akan berkurang saat istirahat seperti duduk dan tidur dengan
menggunakan bantal ±2-3 bantal. Muntah, menggigil, nyeri dada, keringat malam,
batuk darah disangkal. Pasien juga merasakan tidak nafsu makan karena merasa mual
dan nyeri perut di bagian atas. Riwayat kontak dengan pasien TB dan pengobatan TB
disangkal. Pasien memiliki riwayat merokok kurang lebih selama 15 tahun. Riwayat
hipertensi, asma, diabetes melitus, dan alergi obat disangkal.
Pasien baru mengalami hal seperti ini pertama kalinya. Pasien tidak pernah menjalani
rawat inap di rumah sakit sebelumnya. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat TB
paru dan belum pernah melakukan pengobatan selama 6 bulan, Riwayat trauma
disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung dan asma. Riwayat alergi juga disangkal.
Riwayat hipertensi, asma, penyakit jantung, diabetes melitus dan penyakit paru dalam
keluarga disangkal. Riwayat alergi obat dan makanan pada keluarga juga disangkal.
2
8. Tenggorok : T1-T1, faring tidak hiperemis
9. Mulut : Mukosa bibir kering
10. Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea berada ditengah,
tidak ada deviasi
11. Kulit : Turgor baik
12. Jantung
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
c. Perkusi :
i. Batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dextra
ii. Batas jantung kiri pada ICS V linea midclavicula sinistra
iii. Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
13. Paru
a. Inspeksi
Asimetris. Dalam keadaan statis lebih cembung sebelah kanan dan dinamis
pergerakan dinding thorax kanan tampak tertinggal.
b. Palpasi
Fremitus taktil dan fremitus vokal menurun pada paru sebelah kanan.
c. Perkusi
Suara redup sejak ICS III pada paru kanan dan sonor pada paru kiri.
d. Auskultasi
Suara nafas vesikuler menurun pada paru kanan, dan ronkhi halus pada paru
kiri, wheezing -/-.
14. Abdomen
a. Inspeksi : Datar, simetris, tidak tampak sikatriks
b. Auskultasi : Bising usus positif
c. Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
d. Palpasi : Supel, tidak teraba pembesaran lien dan hepar, nyeri
tekan (-)
15. Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema pada keempat
ekstremitas, tidak terdapat deformitas.
3
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 18 Agustus 2016
4
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 19 Agustus 2016
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Laju Endap Darah H 81 mm/jam <15
Kimia Klinik
Bilirubin Total, Direk, Ind
Bilirubin Total 0.42 mg/dL 0.1-1.0
Bilirubin Direk 0.19 mg/dL 0.0-0.2
Bilirubin Indirek 0.23 mg/dL
5
Pungsi Thorax ke-I (20/08/2016)
6
Gambar 4. Rontgen thorax (20/08/2016) setelah dilakukan pungsi ke-I
7
Gambar 7. Hasil EKG (24/08/2016)
Hasil :
Indikasi : Kemungkinan gagal jantung kongestif
Dimensi ruang jantung : normal LVH (-)
Kontraktilitas global LV : normal dengan EF : 77%
EPSS : 4 LVEDP : normal
Analisa Segmental : Global normokinetik
Kontraktilitas global RV normal dengan TAPSE : 19 mm
Doppler : E/A >1, E/E1: 8, AoVmax : 104 mm/s, mPAP : 10 mmHg
Katup mitral : Morphologi dan fungsi normal
Katup tricuspid : Morphologi dan fungsi normal
Katup aorta : Morphologi dan fungsi normal
Katup pulmonal : Morphologi dan fungsi normal
Thrombus (-), Spontaneus Echo Contrast (-)
Pericardial efusi (+) minimal
Kesimpulan :
1. Kemungkinan gagal jantung kongestif (CHF)
8
Fungsi sistolik LV & RV normal
Fungsi diastolik LV normal
Efusi pericardial (+) minimal
9
Paru
Inspeksi
Asimetris. Dalam keadaan statis lebih cembung sebelah kanan dan dinamis
pergerakan dinding thorax kanan tampak tertinggal.
Palpasi
Fremitus taktil dan fremitus vokal menurun pada paru sebelah kanan.
Perkusi
Suara redup sejak ICS III pada paru kanan dan sonor pada paru kiri.
Auskultasi
Suara nafas vesikuler menurun pada paru kanan, dan ronkhi halus pada paru
kiri, wheezing -/-.
Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, tidak tampak sikatriks
Auskultasi : Bising usus positif
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, tidak teraba pembesaran lien dan hepar, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema pada keempat
ekstremitas, tidak terdapat deformitas.
10
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
Tenggorok : T1-T1, faring tidak hiperemis
Mulut : Mukosa bibir kering
Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea berada ditengah,
tidak ada deviasi
Kulit : Turgor baik
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi :
Batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri pada ICS V linea midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi
Asimetris. Dalam keadaan dinamis pergerakan dinding thorax kanan tampak
tertinggal.
Palpasi
Fremitus taktil dan fremitus vokal menurun pada paru sebelah kanan (tampak
ada perbaikan dibandingkan sebelum dilakukan pungsi ke-II)
Perkusi
Suara redup sejak ICS III pada paru kanan dan sonor pada paru kiri.
Auskultasi
Suara nafas vesikuler menurun pada paru kanan, dan ronkhi halus pada paru
kiri, wheezing -/- (tampak ada perbaikan dibandingkan sebelum dilakukan
pungsi ke-II)
Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, tidak tampak sikatriks
Auskultasi : Bising usus positif
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, tidak teraba pembesaran lien dan hepar, nyeri
tekan (-)
11
Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema pada keempat
ekstremitas, tidak terdapat deformitas.
1.4 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo tanggal 18 Agustus 2016 pukul
22:21 WIB dengan keluhan batuk ±2 bulan SMRS. Batuk disertai dahak berwarna
putih, penurunan berat badan (±5-7 kg), demam hilang timbul (>38º) selama 2 bulan
SMRS, selama demam pasien mengkonsumsi obat paracetamol, namun tidak
mengalami perbaikan. Pasien juga merasakan sesak napas yang dirasakan saat
beraktivitas dan tidur terlentang, sesak akan berkurang saat istirahat seperti duduk dan
tidur dengan menggunakan bantal ±2-3 bantal. Muntah, menggigil, nyeri dada,
keringat malam, batuk darah disangkal. Pasien juga merasakan tidak nafsu makan
karena merasa mual dan nyeri perut di bagian atas. Riwayat kontak dengan pasien TB
dan pengobatan TB disangkal. Pasien memiliki riwayat merokok kurang lebih selama
15 tahun. Riwayat hipertensi, asma, diabetes melitus, dan alergi obat disangkal.
Riwayat hipertensi, asma, penyakit jantung, diabetes melitus dan penyakit paru dalam
keluarga disangkal. Riwayat alergi obat dan makanan pada keluarga juga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Pada inspeksi didapatkan pada keadaan statis lebih cembung sebelah kanan dan
dinamis pergerakan dinding thorax kanan tampak tertinggal, palpasi fremitus taktil
dan fremitus vokal menurun pada paru sebelah kanan, perkusi terdengar suara redup
sejak ICS III pada paru kanan dan sonor pada paru kiri, Suara nafas vesikuler
menurun pada paru kanan, dan ronkhi halus pada paru kiri, wheezing -/-. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan cairan pleura transudat dan hipoalbumin. Pada
pemeriksaan rontgen thorax dan USG didapatkan gambaran efusi pleura dextra. Dari
hasil pemeriksaan echo diduga kemungkinan gagal jantung kongestif (CHF).
1.5 DIAGNOSA
Efusi Pleura Dextra e.c CHF
Empiema
12
Pneumothorax
Hidropneumothorax
1.7 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
IVFD Aminofluid:NaCl 0,9% (2:1)/8 jam
Inj Ranitidin 25 mg 2x1 amp
Inj Ondansetron 4 mg 2x1 amp
Ceftriaxon 2x1 gr
O2 Nasal Canul 3 lt
PCT drip
Spironolacton 1x100 mg
Digoxin 1x1 tab
Non medikamentosa:
Pungsi pleura I ± 400 cc
Pungsi pleura II ± 2600 cc
Tabel 5. Produksi Pungsi Pleura
1.8 PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad functionam : dubia ad malam
3. Ad sanationam : dubia ad malam
13
BAB I
PENDAHULUAN
Efusi pleura adalah masalah kesehatan yang umum terjadi dengan lebih dari 50
penyebab, termasuk penyakit lokal pada pleura atau paru-paru yang mendasarinya, kondisi
sistemik, disfungsi organ dan obat-obatan. Efusi pleura terjadi sebagai akibat dari peningkatan
pembentukan cairan dan/atau pengurangan resorpsi cairan. Patofisiologi yang tepat dari
akumulasi cairan bervariasi tergantung pada etiologi yang mendasarinya. Diperlukan
pendekatan sistematis. Tujuannya adalah untuk membangun diagnosis yang cepat dan
meminimalisir tindakan invasif dan pengobatan yang tidak diperlukan. Mengetahui
karakteristik efusi pleura merupakan hal penting untuk dapat menegakkan penyebab efusi
pleura sehingga efusi pleura dapat ditatalaksana dengan baik.1
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
15
2. Penurunan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia, sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan vaskuler (misalnya, trauma,
keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat hipersensitivitas, uremia,
pankreatitis).
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan /atau paru
(misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior).
5. Pengurangan tekanan dalam rongga pleura, mencegah ekspansi paru penuh
(misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan, termasuk obstruksi duktus
toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi melintasi diafragma melalui
limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal).2
2.4 Klasifikasi
16
Tabel 1. Etiologi Efusi Pleura
Eksudat Transudat
Efusi Parapneumonia Gagal jantung kiri
Neoplasma Sirosis hati
Hipoalbumin
Peritonial Dialisis
Emboli paru Sindrom nefrotik
Arthritis Reumatik Emboli paru
Efusi jinak yang disebabkan oleh asbestos Hipotiroid
Pankreatitis Stenosis mitral
Sindrom infark miokard
Penyakit autoimun
Post operasi bypass arteri koronaria
Abses hepatic Perikarditis
Uremia Sindrom meig
Chylothoraks Urinothoraks
Infeksi lainnya Obstruksi vena kava superior
Pengaruh obat
Radioterapi
Ruptur esophageal
Dikutip (3)
2.6 Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung
b. Palpasi : Penurunan fremitus vocal atau taktil
c. Perkusi : Pekak pada perkusi
d. Auskultasi : Penurunan bunyi napas
17
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus.5
Pemeriksaan penunjang
Foto toraks
Cairan yang kurang dari 300 cc, pada fluoroskopi maupun foto toraks PA
tidak tampak. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpulan sinus
kostofrenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih dari 300
cc, sinus kostofrenikus tidak tampak tumpul tetapi diafragma kelihatan meninggi.
Untuk memastikan dapat dilakukan foto dada lateral dari sisi yang sakit. Foto toraks
PA dan posisi lateral dekubitus pada sisi yang sakit seringkali memberi hasil yang
memuaskan bila cairan pleura sedikit, atau cairan subpulmonal yaitu tampak garis
batas cairan yang sejajar dengan kolumna vertebralis atau berupa garis horizontal.6
18
Gambar 2. Efusi pleura massif
Dikutip (6)
19
Efusi pleura berupa nanah disebut empiema, jika berupa darah disebut hematotoraks,
jika berisi cairan kilus disebut kilotoraks. Penyebab efusi pleura tidak hanya berupa
kelainan di daerah toraks tetapi juga dapat karena kelainan di daerah lain
(ekstratoraks) atau sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik.7
2.7 Patogenesis
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura
berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling
bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan
ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler
dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan
pembentukannya .4
20
Transudasi Cavum Pleura
Efusi Pleura
21
Gambar 11. Algoritama diagnosis efusi pleura unilateral
Dikutip (8)
22
Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6.000 per cc. Gejala
penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada,
sakit perut. Kadang-kadang ditemukan juga gejala-gejala perikarditis. Diagnosis
ditegakkan dengan menemukan virus dalam cairan efusi, tapi cara termudah adalah
dengan mendeteksi antibody terhadap virus dalam cairan efusi.5
Pleuritis Tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang sero – santrokron dan bersifat
eksudat. Penyakit ini kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkolosis paru
melalui fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat
juga dari robeknya perkijauan ke arah saluran getah bening yang menuju rongga
pleura, iga atau kolumna veterbralis. Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan
efusi pleura bilateral. Cairan efusi yang biasanya serous, kadang-kadang bisa juga
hemoragik. Jumlah leukosit antara 500-2000 per cc. Mula-mula yang dominan adalah
sel polimorfonuklear, tapi kemuadian sel limfosit. Cairan efusi sangat sedikit
mengandung kuman tuberkulosis, tapi adalah karena reaksi hipersensitifitas terhadap
tuberkuloprotein. Pada dinding pleura dapar ditemukan adanya granuloma.
23
jaringan pleura.
Pleuritis Fungi
Pleuritis karena fungi amat jarang. Biasanya terjadi karena penjalaran infeksi fungi
dari jaringan paru. Jenis fungi penyebab pleuritis adalah Aktinomikosis,
Koksidiomikosis, Aspergillus, Kriptokokus, Histoplasmolisis, Blastomikosis, dll.
Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
Penyebaran fungi ke organ tubuh lain amat jarang. Pengobatan dengan Amfoterisin B
memberikan respon yang baik. Prognosis penyakit ini relative baik.5
Pleuritis Parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura hanyalah amuba. Bentuk
tropozoitnya datang dari parenkim hati menembus diafragfma terus ke parenkim paru
dan rongga pleura. Efusi pleura karena parasit ini terjadi karena peradangan yang
ditimbulkannnya. Di samping ini juga dapat empiema karena amuba yang cairannya
berwarna khas merah coklat. Di sini parasit masuk ke rongga pleura secara migrasi
dari parenkim hati. Bisa juga karena robekan dinding abses amuba pada hati ke arah
rongga pleura. Efusi parapneumonia karena amuba dari abses hati lebih sering terjadi
daripada empiema amuba.5
Efusi pleura dapat terjadi secara steril karena reaksi infeksi dan peradangan yang dpat
dibawah diafragma seperti pankreas atau eksaserbasi akut pankreatitis kronik, abses
ginjal, abses hati, abses limfa.
24
Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tetapi dapat juga bilateral. Mekanismenya
adalah karena berpindahnya cairan yang mengandung enzim pankreas kerongga
pleura melalui saluran getah bening. Efusi ini bersifat eksudat serosa, tapi kadang-
kadang bisa juga hemoragik. Kadar amilase dalam efusi lebih tinggi daripada dalam
serum.
Efusi pleura juga sering setelah 48-72 jam pasca operasi abdomen seperti
splenektomi. Operasi terhadap obstruksi intestinal atau pasca orerasi atelektasis.
Biasanya terjadi unilateral dan jumlah efusi tidak banyak. Caiaran biasanya bersifat
eksudat dan mengumpul pada sisi operasi, efusi pleura operasi biasanya bersifat
meligma dan kebanyakan akan sembuh secara spontan.
Sirosis Hati. Efusi pleura dapat terjadi pada pasien dengan sirosis hati. Kebanyakan
efusi pleura timbul bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan antara
cairan pleura dan asites, karena terdapat hubugan fungsional antara rongga pleura dan
rongga abdomen melalui saluran getah bening atau celah jaringan otot diafragma.
Kebanyakan efusi menempati pleura kanan (70%) dan efusi bisa juga terjadi bilateral.
Sindrom Meig. Tahun 1937 Meig dan Cass menemukan penyakit tumor pada
ovarium (jinak atau ganas) disertai asites dan efusi pleura. Patogenesis terjadi efusi
pleura ini masih belum diketahui betul. Bila tumor ovarium tersebut dioperasi, efusi
pleura dan asitesnya pun segera hilang. Adanya massa dirongga pelvis disertai asites
dan eksudat cairan pleura sering dikirakan sebagai neoplasma dan metastasisnya.
Dialisis Peritoneal. Efusi pleura dapat terjadi selama dan sesudah dilakukannya
dialisis peritoneal. Efusi pleura dapat terjadi pada salah satu paru maupun bilateral.
Perpindahan cairan dialisat dari rongga peritonela ke rongga pleura terjadi melalui
celah difragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura
dengan cairan dialisat.5
25
Efusi Pleura karena Penyakit Kolagen
Lupus Eritematosus. Pleuritis adalah salah satu gejala yang timbul belakangan pada
penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE). Dengan terjadinya efusi pleura yang
kadang-kadang mendahului gejala sistemik lainnya, diagnosis SLE ini menjadi lebih
jelas. Hampir 55% dari SLE disertai pleuritis dan 25% daripadanya juga dengan efusi
pleura.
Artritis Reumatoid. Efusi pleura terdapat pada 5% RA selama masa sakit. Cairan
efusi bersifat eksudat serosa yang banyak mengandung limfosit. Faktor rheumatoid
mungkin terdapat dalam cairan efusi tapi tidak patognomonik untuk RA, karena juga
terdapat pada karsinoma, tuberculosis ataupun pneumonia. Umumnya efusi pleura
pada RA sembuh sendiri tanpa diobati, tapi kadang-kadang diperlukan juga
kortikosteroid.
Skleroderma. Efusi pleura juga didapatkan pada skleroderma. Jumlah cairan efusinya
tidak banyak, tapi yang menonjol disini adalah penebalan pleura atau adhesi yang
terdapat pada 75% pasien skleroderma.5
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan
istirahat, digitalis, diuretic,dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang
torakosentesis diperlukan juga bila pasien amat sesak.
Emboli pulmonal. Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli
pulmonal. Kadaan ini dapat disertai infark paru ataupun tanpa infark. Emboli
menyebabkan menurunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi iskemia
maupun kerusakan parenkim paru dan memberikan peradangan dengan efusi yang
berdarah (kemerahan).
26
Pengobatan ditujukan pada embolinya yaitu dengan memberikan obat antikoagulan
dan mengontrol keadaan trombositnya.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma yakni:
Karsinoma bronkus. Jenis karsinoma ini adalah yang terbanyak menimbulkan efusi
pleura. Tumor bisa ditemukan dalam permukaan pleura karena penjalaran langsung
dari paru-paru melalui pembuluh getah bening. Terapi operasi terhadap tumornya
27
masih dapat dipertimbangkan, tetapi bila pada pemeriksaan sitologi sudah ditemukan
cairan pleura, pasien tidak dapat dioperasi lagi. Untuk mengurangi sesaknya
dilakukan torakosentesis berulang-ulang. Tetapi sering timbul dengan cepat,
sebaiknya dipasang pipa torakotomi pada dinding dada (risiko timbulnya empiema).
Tindakan lain untuk mengurangi timbulnya lagi cairan adalah dengan pleurodesis,
memakai zat-zat seperti tetrasiklin, talk, sitostatika, kuinakrin.
Trauma. Efusi pleura dapat terjadi karena trauma yakni trauma tumpul, laserasi, luka
tusuk pada dada, ruptur esofagus karema muntah hebat atau karena pemakaian alat
waktu tindakan esofagoskopi. Jenis cairan dapat berupa serosa, hemotoraks,
kilotoraks dan empiema. Analisis cairan efusi dapat menentukan lokalisasi trauma,
misal pada ruptura esofagus kadar pH nya rendah,kurang lebih 6,5 karena
terkontaminasi dengan asam lambung, kadar amilase dalam cairan pleura meningkat
karena adanya air ludah yang tertelan dan masuk ke dalam rongga pleura.
Uremia. Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah poliserositis yang terdiri
efusi pleura, efusi perikard dan efusi peritoneal. Mekanisme penumpukan cairan ini
belum diketahui betul, tapi diketahui dengan timbulnya eksudat terdapat peningkatan
permeabilita jaringan pleura, perikard atau peritoneum.
Miksedema. Efusi pleura dan efusi perikard dapar terjadi sebagai bagian dari
penyakit miksedema. Efusi datap terjadi tersendiri maupun secara bersama-sama.
Cairan bersifat eksudat dan mengandung protein dengan konsentrasi tinggi.
Limfedema secara kronik dapat terjadi pada tungkai, muka, tangan dan efusi pleura
28
yang berulang pada satu atau kedua paru. Beberapa pasien terdapat juga kuku jari
yang berwarna kekuning-kuningan. Patogenesis fusi pleura yang bersifat eksudat ini
belum diketahui betul,tapi diperkirakan karena adanya kegagalan aliran getah bening.
Demam Familial Mediteranian. Penyakit ini banyak terdapata didaerah timur tengah
terutama pada bangsa yahudi. Penyakit dturunkan secara autosomal resesif dari orang
tua keanaknya. Gejala penyakit berupa serangan demam berulang, rasa sakit
abdominal dan pleuritis, pleuritis disini dapat memberikan rasa nyeri pleuritik dan
efusi pleura. Pengobatan bersifat suportif saja dan operasi sebaiknya dihindari.
Sindrom Dressler. Pleuritis dan perikarditis dapat terjadi setelah 1-6 minggu
serangan infark jantung akut, tindakan resusitasi jantung atau operasi kardiotomi.
Cairan pleura /perikardium yang timbul bersifat eksudat, steril, berwarna serosa atau
hemoragik. Keadaan ini disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas otot jantung dan
perikard terhadap tindakan/ pengobatan. Terapi hanya simtomatik saja karena
penyakit ini tergolong self limited.
Efusi Pleura Idiopatik. Sebagaian efusi pleura, walaupun telah dilakukan prosedur
diagnostik secara berulang-ualang. Pemeriksaan radiologis, analisis cairan, biopsi
pleura dll. Kadang-kadang masih belum bisa didapatkan diagnostik yang pasti.
Keadaan ini dpat digolongkan dalam efusi pleura idiopatik. Hasil pemeriksaan dengan
oprasi pun kadang-kadang hanya menunjukan pleura yang menebal karena pleuritis
29
yang non-spesifik.
Analisan cairan pleura umumnya bersifat eksudat dan berisi beberapa jenis sel.
Penyebab efusi pleura ini banyak yang belum jelas, tapi diperkirakan karena adanya
infeksi, reaksi hipersensitifitas, kontaminasi dengan asbesto dll. Daerah-daerah dengan
prevalensi tuberkolosis yang tinggi, yang ini kebanyakan dianggap sebagai pleuritis
tuberkolosis, sedangakan pada negara-negara yang maju sering dianggap sebagai
pleuritis karena penyakit kolagen atau neoplasma.5
2.9 Tatalaksana
1. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk mengurangi rasa tidak enak atau
“discomfort” dan sesak napas. Dianjurkan melakukan aspirasi sedikit demi
sedikit. Cairan yang dikeluarkan antara 500-1000 cc, bila pengambilan terlalu
banyak dan cepat dapat menyebabkan edema paru.
2. Melakukan pleurodesis pada proses keganasan atau pada efusi pleura yang sering
kambuh.
3. Pemberian steroid ditambahkan dengan OAT dapat menyerap efusi pleura yang
disebabkan oleh TB paru secara cepat dan mengurangi fibrosis.
4. Efusi pleura transudat
a. Bila disebabkan oleh tekanan hidrostatik yang meningkat, dapat diberikan
diuretika.
b. Bila disebabkan oleh tekanan osmotik yang menurun sebaiknya diberikan
protein.
c. Bahan sklerosing dapat dipertimbangkan bila ada reakumulasi cairan
berulang dengan tujuan melekatkan pleura viseralis dan parietalis.
5. Efusi pleura eksudat
Umumnya disebabkan oleh pneumonia, cairan dapat diresorbsi setelah pemberian
terapi yang adekuat untuk penyakit dasarnya. Bila terjadi empiema, perlu
pemasangan kateter toraks dengan WSD. Bila terjadi fibrosis, tindakan yang
30
paling mungkin hanya dekortikasi (jaringan fibrotik yang menempel pada pleura
diambil /dikupas).
6. Efusi pleura maligna
Pengobatan ditujuakan pada penyebab utama atau pada penyakit primer dengan
cara radiasi atau kemoterapi. Bila efusi terus berulang, dilakukan pemasangan
kateter toraks dengan WSD.
7. Kilotoraks
Cairan pleura berupa kilus yang terjadi karena kebocoran akibat penyumbatan
saluaran limfe duktus torasikus di rongga dada. Tindakan yang dilakukan bersifat
konsevatif : torakosintesis 2-3 kali. Bila tidak berhasil, dipasang kateter toraks
dengan WSD. Tindakan yang paling baik ialah melakukan opersai reparasi
terhadap duktus torasikus yang robek.6
Thorakosintesis
Mengurangi gejala adalah tujuan utama terapi drainase pada pasien. Satu-
satunya kontraindikasi absolut terhadap thorakosintesis adalah infeksi pada tempat
tusukan. Beberapa kontraindikasi relatif termasuk diatesis pendarahan yang parah,
antikoagulasi sistemik, dan volume cairan yang kecil. Kemungkinan komplikasi dari
prosedur ini termasuk perdarahan (karena tusukan pada pembuluh atau parenkim
paru), pneumotoraks, infeksi (infeksi jaringan lunak atau empiema), laserasi organ
intra-abdomen, hipotensi, dan paru edema.7
Indikasi untuk thorakosintesis adalah adanya efusi pleura klinis yang
signifikan (lebih dari 10 mm pada ultrasonografi atau foto lateral dekubitus). Jika
pasien datang dengan gagal jantung kongestif dan efusi bilateral dengan ukuran yang
sama, afebris, dan tidak memiliki nyeri dada, percobaan diuresis dapat dilakukan.
Sejak lebih dari 80 persen pasien dengan efusi pleura disebabkan oleh gagal jantung
kongestif memiliki bilateral efusi pleura, thorakosintesis diindikasikan jika efusi
adalah unilateral. Jika efusi tetap selama lebih dari tiga hari, thoracentesis dapat
diterapkan.7
Pleurodesis
Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dengan parietalis baik secara
kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi
cairan maupun udara dalam rongga pleura. Secara umum, tujuan dilakukannya
31
pleurodesis adalah untuk mencegah berulangnya efusi berulang (terutama bila terjadi
dengan cepat), menghindari torakosintesis berikutnya dan menghindari diperlukannya
insersi chest tube berulang, serta menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi
pleura atau pneumotoraks berulang (trapped lung, atelektasis, pneumonia, insufisiensi
respirasi, tension pneumothoraks). Efusi pleura maligna merupakan indikasi paling
utama pada pleurodesis.
Sebelum dilakukan pleurodesis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui
selang dada dan paru dalam keadaan mengembang. Pleurodesis dilakukan dengan
memakai bahan sklerosis yang dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari
bahan ini tergantung pada kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan obliterasi
kapiler pleura. Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk keperluan pleurodesis ini
yaitu : Bleomisin, Adriamisin, Siklofosfamid, ustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak
nitrat, talk, Corynebacterium parvum dan tetrasiklin. Tetrasiklin merupakan salah satu
obat yang juga digunakan pada pleurodesis, harga murah dan mudah didapat dimana-
mana. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar masukkanlah tetrasiklin sebanyak 500
mg yang sudah dilarutkan dalam 20-30 ml larutan garam fisiologis ke dalam rongga
pleura, selanjutnya diikuti segera dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk
pencucian selang dada dan 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa sakit atau
dengan memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam sebelum dilakukan pleurodesis.
Kemudian kateter diklem selama 6 jam, ada juga yang melakukan selama 30 menit
dan selama itu posisi penderita diubah-ubah agar tetrasiklin terdistribusi di seluruh
rongga pleura. Bila dalam 24-48 jam cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut.5
2.10 Prognosis
32
Temuan seluler dan biokimia dalam cairan juga dapat menjadi indikator
prognosis. Misalnya, pH cairan pleura lebih rendah sering dikaitkan dengan beban
tumor lebih tinggi dan prognosis yang buruk.2
2.11 Pencegahan
33
DAFTAR PUSTAKA
34