1
3.3 Laboratorium............................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................29
2
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 23 Tahun
Agama : Kristen
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Masuk RS : 30 November 2019
Pasien baru masuk IGD dengan keluhan perut sakit sejak bulan Oktober 2019
3
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 97 BPM, teratur, isi cukup
RR : 24 BPM
Suhu : 36’C
b. Status Generalis
Kepala-Leher :
Kepala : Tidak terdapat hematom, maupun luka robek
Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Hidung : Sekret (-), Darah (-)
Telinga : Sekret (-), Darah (-)
Leher : Tidak keterbatasan gerak
Thorax :
Paru :
o Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris
o Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
o Perkusi : Sonor disertai pekak 1/3 bawah lapang paru
o Auskultasi : Suara dasar vesikule menurun pada 1/3 bawah
lapangan paru, suara tambahan (-)
Jantung :
o Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
o Palpasi : Ictus cordis teraba
o Perkusi : Tidak pembesaran jantung
o Auskultasi : S1/S2 reguler, bising jantung (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Hepar dan lien sulit dinilai, Nyeri tekan (+) di regio umbilical,
Teraba masa dan pulsasi di regio umbilical dan bruit (-)
Perkusi : Pekak +
4
Extremitas :
Ekstremitas Atas
o Dextra : status lokalis
o Sinistra: akral hangat, perfusi baik, jejas (-)
Ekstremitas Bawah
o Dextra : akral hangat perfusi baik, jejas (-)
o Sinistra: akral hangat, perfusi baik, jejas (-)
5
Kesan :
- Tampak lesi hyperechoic pada aorta (area pulsatile), diameter lumen l.k 1.12 cm
mengarah gambaran thrombus pada aorta, aneurisma aorta abdominalis belum dapat
disingkirkan.
- Awal liver parenchymal disease
- Tak tampak kelainan pada vesika felea, pancreas, lien, kedua ren, vesica urinaria
maupun uterus.
- Saran: CT-scan abdomen dengan kontras
1.5 Diagnosis
Colic abdomen susp Aneurisma Aorta Abdominalis
Hipokalemia
1.6 Penatalaksanaan
6
Emergency:
IVFD RL 500 cc/8 jam
1.7 Follow Up
Tanggal S O A P
01.12.19 Nyeri perut +, KU: sakit sedang - Colic abdomen -IVFD RL 500
Jam nyeri tembus Kes: CM susp aneurisma cc/8 jam
07.00 sampe ke TD: 90/60mmhg aorta -KSR 1x600 mg
belakang, nyesak HR: 97 bpm - Hipokalemia PO
+ RR: 24 bpm
Spo2: 97%
Abdomen : nyeri
tekan +
Jam T: 38’c
16.30 Nyeri di kedua
payudara (os
masih menyusui)
- Pumping air
susu
- Paracetamol
500 mg tab
extra
02.12.19 Nyeri perut + KU: sakit sedang - Colic abdomen Konsul ke dr.
Kes: CM susp aneurisma Victor,
TD:106/77mmh aorta Sp.BTKV
g - Hipokalemia Terapi :
HR: 90 bpm -IVFD RL 500
RR: 20 bpm cc/8 jam
7
Spo2: 99% -KSR 1x600 mg
PO
-inj ketorolac 30
mg/12 jam
03.12.19 Nyeri perut Ku: sakit sedang - Colic abdomen Terapi lanjut
berkurang Kes cm susp aneurisma
TD:120/60mmh aorta
g - Hipokalemia
HR: 90 bpm
Rr: 22 bpm
Spo2: 99%
04.12.19 Nyeri perut Ku: sakit sedang - Colic abdomen dr.Victor Sp.
berkurang Kes cm susp aneurisma BTKV : CT-
TD:100/70mmh aorta scan angiografi
g - Hipokalemia abdomen
HR: 70 bpm - Dispepsia
Rr: 20 bpm dr. Reza, Sp.PD:
Spo2: 98% boleh pulang
dan kontrol ke
bedah vaskular
sesuai jadwal dr
victor
Obat pulang :
-ketorolac 1x1
tab
-omeprazol 2x1
tab
1.8 Resume
Pasien datang rujukan dari RSUD Embung Fatimah dengan nyeri perut. Nyeri
terkadang sampai ke punggung. Nyeri perut di rasakan di daerah tengah perut. Nyeri
seperti terbakar di daerah ulu hati tidak ada. Keluhan ini dirasakan sejak bulan
Oktober 2019 yang lalu yang tidak kunjung sembuh. Awalnya pasien sempat berobat
dan diberi obat untuk asam lambung dan antinyeri saja. Lalu nyeri perut tidak kunjung
8
sembuh dan dokter menyarankan untuk USG abdomen. Riwayat USG di RSUD
Embung Fatimah dengan hasil mengarahkan gambaran thrombus pada aorta,
aneurisma aorta abdominalis belum dapat disingkirkan. Os juga mengaku demam
sejak 1 hari SMRS, mual (+), muntah (-), diare (-), BAB dan BAK dalam batas
normal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital stabil, pemeriksaan kepala
dalam batas normal, pada pemeriksaan thorax ditemukan bunyi nafas vesikuler. Dari
pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan + di regio umbilical, teraba massa dan
pulsasi di regio umbilical, bruit (-). Pemeriksaan ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penungjang laboratorium hb : 10.1 g/dL, RBC: 3.66 106/uL,
HCT: 30.5% dan elektrolit kalium : 3.0 mmol/L. Pemeriksaan USG di dapatkan kesan
lesi hyperechoic pada aorta (area pulsatile), diameter lumen l.k 1.12 cm mengarah
gambaran thrombus pada aorta, aneurisma aorta abdominalis belum dapat
disingkirkan.
Untuk penatalaksanaan di IGD pasien diberikan RL 500cc/8 jam, dikonsulkan
ke Konsul dr. Mohd. Faisyal Reza,Sp.PD yaitu :IVFD RL 500 cc/8 jam, KSR 1x600
mg PO dan diruangan di tambah pemberian ketorolac inj/12 jam serta di konsulkan ke
dokter spesialis bedah thorax (dr. Victor, Sp.BTKV).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
Gambar 1. Diameter Arteri
Arteri elastik merupakan arteri terbesar dalam tubuh. Aorta merupakan salah satu
jenis arteri elastik. Arteri ini memiliki diameter terbesar diantara arteri lain tetapi
memiliki dinding pembuluh darah yang relatif tipis dibandingkan ukuran pembuluh
darah. Pembuluh darah ini memiliki karakteristik berupa lamina elastika interna dan
eksterna bersama dengan tunika media yang didominasi oleh serat elastin. Arteri elastik
memiliki fungsi memompa darah kembali ketika ventrikel berelaksasi.
10
Gambar 2. Aorta abdominalis dan cabang-cabangnya
Dimulai pada hiatus aortikus diafragma, didepan batas bawah dari korpus
vertebrae thoracic terakhir, dan, turun didepan kolumna vertebralis, berakhir pada
korpus vertebra lumbalis ke IV, sedikit kekiri dari garis tengah tubuh, kemudian terbagi
menjadi dua arteri iliaca comunis. Aorta semakin berkurang ukurannya dengan semakin
banyak ia mempercabangkan pembuluh darah (Gray,1918). Batas-batas aorta abdominalis
dibatasi: anterior olehomentum minus dan gaster; dibelakang cabang dari arteri celiaca
dan plexus celiaca; dibawah vena lienalis, pankreas, vena renalis sinistra, bagian
inferior dari duodenum, pleksus mesenterium dan pleksus aortikus. Posterior, dipisahkan
dari vertebrae lumbalis dan fibrokartilago intervertebrae oleh ligamentum longitudinalis
anterior dan vena lumbalis sinistra.Pada sisi kanan terdapat vena azygos, cisterna chyli,
duktustorasikus, crus dekstra diafragma yang memisahkan aorta dari bagian atas vena
cava inferior dari ganglion celiaca dekstra; vena cava inferior bersentuhan dengan aorta
dibawahnya. Pada sisi kiri adalah crus sinistra diafragma, ganglion celiacasinistra,bagian
ascending dari duodenum dan sedikit bagianintestinum (Gray,1918).
11
Cabang-cabang dapat dibagi menjadi tiga kelompok: viseral, parietal, dan terminal.
Dari cabang viseral: arteri celiaca,arteri mesenterika superior dan inferior, arteri
suprarenalis,renalis, spermatica interna, dan ovarica (pada wanita). Cabang parietal : arteri
phrenica inferior, lumbalis, dan arteri sacralismedia. Cabang terminal adalah arteri
iliaca komunis (Gray,1918).
Sebagian besar aneurisma aorta (AA) terjadi pada aorta abdominalis; disebut
aneurisma aorta abdominal atau abdominal aortic aneurysms (AAA). Aneurisma yang
terbentuk di aorta torakalis, disebut thoracic aneurysm (TA). Aneurisma yang terbentuk di
segmen thorak dan abdomen disebut thoracoabdominal aneurysms (TAA) (Tseng, 2009).
Aneurisma aorta merupakan suatu keadaan dimana terjadi pelebaran atau dilatasi
aorta lebih dari 50%. Aneurisma dapat terjadi sebagai kelainan kongenital atau
akuisita. Penyebab pasti penyakit inibelum diketahui, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan aneurisma antara lain usia, hipertensi, perokok, dan
penyakit arteriosklerosis (Gloviczki, P & Ricotta, JJ, 2007).
Aneurisma adalah dilatasi arteri yang terlokalisasi dan permanen dengan peningkatan
diameter lebih dari 50% dibandingkan dengan diameter normal arteri yang bersangkutan.
Aneurisma aorta abdominalis berukuran diameter aorta minimal 3 cm.
2.3 Epidemiologi
Aneurisma aorta merupakan penyakit yang merupaka penyakit yang mematikan,
dimana sekitar 15.000 terjadi kematian tak terduga setiap tahunnya di Amerika. Insiden
aneurisma aorta abdominal menunjukkan peningkatan terutama pada usia tua. Beberapa
12
datamenunjukkan aneurisma aorta abdominal mengenai 6-9 % populasi di atas usia 65 tahun
(Kadoglou, 2004).
2.4 Klasifikasi
Aneurisma dapat digolongkan berdasarkan bentuknya: sakular dan fusiform.
Aneurisma sakular menyerupai kantong (sack) kecil,aneurisma hanya melibatkan
sebagian dari lingkar arteri dimana aneurisma berbentuk seperti kantong yang menonjol
dan berhubungan dengan dinding arteri melalui suatu leher yang sempit; aneurisma
fusiformis menyerupai kumparan, dilatasi simetris dan melibatkan seluruh lingkar arteri
(Gloviczki, P & Ricotta, JJ, 2007).
2.5 Etiologi
Aneurisma dapat terjadi sebagai kelainan kongenital atau akuisita. Penyebab pasti
penyakit ini belum diketahui, defek pada beberapa komponen dari dinding arteri serta
beberapa faktor risiko untuk terjadinya aneurisma aorta meliputi tekanan darah yang tinggi,
kadar kolesterol yang tinggi, diabetes, perokok tembakau, dan alkohol (Nelson, 2009).
Pembentukan aneurisma paling sering terjadi pada populasi usia tua. Penuaan menyebabkan
perubahan kolagen dan elastin, yang mengakibatkan melemahnya dinding aorta dan
pelebaran aneurisma (Tseng, 2009). False aneurysm paling sering terbentuk di aorta
desenden dan timbul akibat ekstravasi darah kedalam suatu kantong yang lemah yang
14
dibentuk oleh tunika adventitia pembuluh darah, karena peningkatan tegangan dinding,
false aneurysm dapat terus membesar dari waktu kewaktu (Tseng, 2009).
Sindrom Marfan adalah suatu penyakit jaringan ikat yang ditandai adanya abnormalitas
dari skletal, katup jantung, dan mata. Individu dengan penyakit ini memiliki resiko
untuk terbentuknya aneurisma terutama anurisma aorta torakalis. Sindrom Marfan
merupakan kelainan genetik autosomal dominan dimana terjadi abnormalitas dari fibrilin
suatu protein struktural yang ditemukan di aorta (Tseng, 2009). Sindrom Ehler-Danlos tipe
IV merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh defisiensi kolagen tipe III, dan individu
dengan penyakit ini dapat memiliki resiko terbentuknya aneurisma di bagian manapun dari
aorta (Tseng, 2009).
2.6 Patofisiologi
15
diekspresikan tinggi pada aneurisma aorta abdominalis manusia dan dapat
berperan penting dalam inisiasi aneurisma. Sebagai tambahan, tingginya kadar
MMP-2, ditemukan pada aneurisma aortayang kecil, menunjukkan peran MMP-
2 pada pembentukan awal aorta. Terakhir elastase MMP-9 yang dapat
diinduksi meningkat pada jaringan aorta, juga pada serum pasien aneurisma.
Selama pembentukan aneurisma, keseimbangan remodeling dinding pembuluh
antara MMPs dan inhibitornyayaitu Tissue Inhibitors of Metalloproteinases
(TIMPs), menentukan degradasi elastin dan kolagen. Lebih lanjut mekanisme
biologis yang menginisiasi proteolitik enzim pada aorta belum diketahui
(Wassef,2001).
b. Pada tahap awal aneurisma aorta abdominalis, peningkatan kadar kolagen
disproporsional dimana kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan elastin.
Fenomena ini mencerminkan peningkatan destruksi elastin oleh elastase,
insufisiensi elastin disebabkan deplesi VCMCs, mempercepat tegangan
dinding dan kompensasi dengan akumulasi kolagen. Akibat masa kolagen dan
peningkatan lingkar aorta, serat elstinmenyebar ke area yang lebih luas dan
serat elstin gagal untuk mengimbangi beban hemodinamik. Semua perubahan
lambat laun meningkatkan diameter aorta. Hal ini juga diketahui bahwa
elastin memperkuta dinding aorta terhadap gelombang pulsatil. Sejumlah
penelitian telah menunjukkan bahwa aktivitas elastase meningkat dalam aorta
pasien dengan penyakit aneurisma. Jadi, elastolisis dapat menjadi gangguan
utama yang mempengaruhi sifat mekanik aorta. Akibatnya, serat kolagen
interstisial melakukan peran utama dalam bantalan tegangan mekanik. Namun,
proses kompensasi ini memiliki sebuah titik akhir. Di luar batas ini, jaringan
kolagen tidak dapat mengkompensasi dampak hemodinamik dan ekspansi
aorta terus terjadi (Kadoglou,2004)
c. Inflamasi dan respon imun
Gambaran histologi yang menonjol dari aneurisma aorta abdominalis adalah
infiltrasi transmural oleh makrofag dan limfosit. Dihipotesiskan bahwa sel ini
secara simultan melepaskan kaskade sitokin yang menghasilkan aktivasi
berbagai protease. Pemicu untuk influkdan migrasi leukosit belum diketahui,
tetapi paparan produk degradasi elastin pada dinding aorta dapat berperan sebagai
primary chemotactic attractant untuk infiltrasi makrofag. Konsep bahwa
pembentukan aneurisma adalah respon autoimun didukung oleh infiltrat
16
ekstensif dari limfosit dan monosit, juga deposisi imunogobulin G yang reaktif
terhadap matriks protein ekstraselular pada dinding aorta. Tunikaadventitia
tampaknya adalah area utama yag menjadi tempatinfiltrasi leukosit dan aktivasi
inisial MMP. Sitokin darimakrofag dan limfosit meningkat pada dinding
aneurismaaorta, meliputi IL-1ß, TFN-a, IL-6, IL-8, MCP-1, IFN-g, danGM-
CSF. Sitokin inflamatori ini, bersama dengan plasminogen aktivator,
menginduksi ekspresi dan aktivasi dariMMPs dan TIMPs ((Wassef,2001)).
d. Stress biokimia pada dinding
Letak terbanyak adalah infrarenal untuk pembentukan aneurisma aorta
abdominalis menunjukkan perbedaan potensial pada struktur aorta, biologi dan
stress disepanjang aorta. Peningkatan shear dan tension pada dinding aorta
menghasilkan remodeling kolagen. Lebih lanjut, penurunan rasio elastin
terhadap kolagen dariproksimal ke distal aorta dapat relevan secara klinis
semenjak penurunan elastin berhubungan dengan dilatasi aorta, sementara
degradasi kolagen adalah predisposisi untuk ruptur. Saat aneurisma terbentuk,
maka peningkatan stress dinding adalah penting dalam percepatan dilatasi dan
peningkatan risiko ruptur. ß-blockers berperan untuk mengurangi stress
dinding dan telah diperkirakan berperan protektif untuk dilatasi aneurisma dan
ruptur pada model binatang ((Wassef,2001)).
e. Molekular genetik
Familial cluster dan subtype HLA menunjukkan baik peran genetik dan
imunologis dalam patogénesis aneurisma. Yang terbaru, tidak ada
polimorfismegen tunggal atau defek yang dapat diidentifikasi sebagai
denominator yang paling sering untuk aneurisma aorta abdominalis. Beberapa
fenotip telah ditemukan berhubungan dengan pembentukan aneurisma aorta
abdominalis. Sebagai contoh, Hp-2-1 fenotip haptoglobin dan defisiensi a1-
antitrypsin berasosiasi dengan pembentukan aneurisma. Sebagai tambahan,
adanya penurunan frekuensi aneurisma pada pasien dengan Rh-negative
blood group dan peningkatan frekuensi pada pasien dengan MN atau Kell-
positive blood groups (Wassef,2001).
f. Mekanisme gabungan
Kombinasi dari faktor multipel meliputi stress hemodinamik lokal,
fragmentasi tunika media,dan presdiposisi genetik, lewat mekanisme
imunologi yang tidak diketahui menstimulasi sel-sel inflamasi kedalam
17
dinding aorta. Sel inflamasi kemudian melepaskan chemokine dan sitokin
menghasilkan influk lebih lanjut dari leukosit dengan ekspresi dan aktivasi
protease, terutama MMPs. Protease ini menghasilkan degradasi tunika media
dandilatasi aneurisma. Peningkatan stress dinding kemudian melanjutkan
proses proteolisis dan progresifitas dilatasi aneurisma dengan ruptur aorta
jika tidak ditangani dengantepat (Wassef,2001).
Meskipun atherosklerosis dan aneurisma memiliki faktor resiko yang sama, keduanya
memiliki perbedaan. Aneurisma memiliki gambaran patologis stress oksidatif tinggi,
inflamasi, degradasi matriks, dan apoptosis sel otot polos pada lapisan media dan adventitia,
sedangkan atherosklerosis memiliki gambaran patologis formasi sel busa pada lapisan intima.
Penyebab timbulnya inflamasi masih berupa perdebatan, tetapi telah diketahui bahwa
terdapat kemokin, seperti interleukin-8 (IL-8) dan monocyte chemotactic protein-1 (MCP-
1), yang memicu inflamasi dalam patogenesis AAA. Kemokin tersebut memanggil sel
inflamasi dan memicu respon inflamasi pada daerah tersebut, seperti sitokin, stres oksidatif,
dan prostaglandin. Respon inflamasi menyebabkan kematian sel otot polos dan
teraktivasinya protease, terutama matrix metalloproteinase, yang mendegradasi kolagen
dan elastin. Padahal, keduanya dibutuhkan untuk menjaga kekuatan tegangan dan elastisitas
aorta.
18
AAA umumnya diderita oleh pasien usia lanjut, tetapi penyakit ini dapat berkembang
pada pasien kurang dari 50 tahun. Kebanyakan AAA non-ruptur tidak bermanifestasi atau
asimptomatik dan diketahui berdasarkan pencitraan abdomen untuk kondisi yang tidak
berhubungan. Terkadang, pasien dapat merasakan adanya denyut pada abdomen atau
pada palpasi terdapat massa pulsatil. Meskipun jarang, AAA yang besar dapat menyebabkan
kompresi lokal pada duodenal yang menyebabkan cepat kenyang, mual, dan muntah,
pada ureter yang menyebabkan hidronefrosis, atau kompresi vena iliokaval yang
menyebabkan trombosis vena. AAA juga dapat menyebabkan nyeri punggung kronik atau
nyeri abdominal. Kebanyakan AAA menjadi simptomatik ketika terjadi ruptur atau adanya
ekspansi akut. Ruptur AAA memiliki triad klasik berupa nyeri abdominal atau punggung
hebat, hipotensi, dan terabanya massa abdominal pulsatil. Selain itu, peningkatan tekanan
intrabdominal dapat menyebabkan groin atau flank pain, hematuria, dan hernia inguinalis.
Sensitivitas pemeriksaan fisik AAA sangat bergantung pada ukuran AAA,
obesitas, kemampuan pemeriksa, dan fokus pemeriksaan. Seringkali AAA tidak
ditemukan pada pemeriksaan. Penelitian oleh Chervu et al menunjukkan bahwa di
antara pada pasien dengan diagnosis AAA yang sudah tegak, tidak ditemukan AAA pada
sekitar 23 % pasien dan pada 2/3 dari seluruh pasien yang mengalami obesitas.
Pada aneurisma asimptomatik, aneurisma ini biasanya ditemukan saat pemeriksaan
fisik rutin dengan dideteksinya pulsasi aorta yang prominen. Lebih sering aneurisma
asimptomatik ditemukan sebagai penemuan insidental saat pemeriksaan USG abdomen
atau CT-scan. Denyut perifer biasanya normal, tetapi penyakit arteri oklusif pada renal atau
ekstremitas bawah sering ditemukan pada 25% kasus. Aneurisma arteri popliteal terdapat
pada 15% kasus pasien dengan aneurisma aorta abdominalis (O’Connor, 2010). Aneurisma
simptomatik nyeri midabdominal atau punggung bawah atau keduanya dan adanya
pulsasi aorta prominen dapat mengindikasikan pertumbuhan aneurisma yang cepat, ruptur,
atauaneurisma aorta inflamatorik. Aneurisma inflamatorik terhitung kurang dari 5% dari
aneurisma aorta dan dikarakteristikkan denganinflamasi ekstensif periaortic dan
retroperitoneal dengan sebab yang belum diketahui. Pada pasien ini terdapat demam
ringan, peningkatan laju endap darah, dan riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang
baru saja; pasien sering sebagai perokokaktif. Infeksi aneurisma aorta (baik dikarenakan
oleh emboli septik atau kolonisasi bakteri aorta normal dari aneurisma yang ada) sangat
jarang terjadi tetapi harus diperkirakan pada pasien dengan aneurisma sakular atau aneurisma
yang bersamaan dengan fever of unknown origin (O’Connor, 2010).
19
Pada ruptur aneurisma, pasien dengan ruptur menderita nyeri hebat pada punggung,
abdomen, dan flank serta hipotensi. Ruptur posterior terbatas pada retroperitoneal
dengan prognosis yang lebih baik daripda ruptur anterior ke rongga peritoneum. Sembilan
puluh persen meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Satu-satunya kesempatan untuk
menolong adalah perbaikan bedah emergensi (O’Connor, 2010 & Nelson, 2009)
20
Tabel 2. Diameter AAA dan Risiko Ruptur
Gambar 6. Hubungan antara Resiko Ruptur dengan Diameter AAA dan Wall Stress
21
dipilih dibandingkan USG karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
tinggi dibandingkan USG, memberikan ukuran aneurisma yang lebih akurat, serta
memberikan informasi bentuk aneurisma. MRI memberikan gambaran yang lebih baik
dibandingkan CT-scan, tetapi tidak bisa digunakan pada pasien dengan pacemaker.
Ultrasound adalah pemeriksaan skrining pilihan dan bernilai juga untuk mengikuti
perkembangan aneurisma pada pasien dengan aneurisma yang kecil (<5 cm). Biasanya
aneurisma membesar 10% diameter per tahunnya; sehingga USG abdomen
direkomendasikan untuk aneurisma yang lebihbesar 3,5 cm (Nelson, 2009).
22
CT scan tidak hanya tepat dalam menentukan ukuran aneurisma tetrapi juga
menentukan hubungan terhadap arteria renalis (Nelson, 2009).
23
2.9 Tatalaksana
a. Medikasi
Pada aneurisma yang berukuran lebih kecil dibandingkan standar untuk
dilakukan repair, terapi medikasi diterapkan untuk menurunkan resiko penyakit
kardiovaskular yang berhubungan dan rasio ekspansi aneurisma. Beberapa hal yang
dapat dilakukan adalah berhenti merokok, aktivitas fisik teratur, dan pengobatan,
seperti beta-blocker, angiotensin converting enzyme inhibitor, doxicyclin, dan statin.
24
Gambar 12. Teknik Perbaikan transperitoneal AAA dengan graft prosteselurus atau
bercabang. D, duodenum; IMA, inferior mesenteric artery; IMV,inferior mesenteric vein;
LRV, left renal vein; SMA, superior mesenteric artery. (Mayo Foundation for Medical
Education and Research dariSabiston Textbook of Surgery
25
Gambar 13. Teknik Perbaikan retroperitoneal AAA dengan graft prosteselurus (Mayo
Foundation for Medical Education and Research dariSabiston Textbook of Surgery).
Gambar 14. Minimal incision aortic surgery (MIAS) (Sabiston Textbook of Surgery)
26
2.10 Prognosis
Outcome biasanya baik jika perbaikan dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman
sebelum ruptur. Kurang dari 50% dari pasien bertahan dari ruptur aneurisma abdominal.
Mortalitas setelah openelective atau endovascular repair adalah 1-5%. Pada
umumnyapasien dengan aneurisma aorta yang lebih besar dari 5 cmmempunyai
kemungkinan tiga kali lebih besar untuk meninggal sebagai konsekuensi dari ruptur
dibandingkan dari reseksi bedah.Survival rate 5 tahun setelah tindakan bedah adalah 60-80%.
5-10% pasien akan mengalami pembentukan aneurisma lainnya berdekatan dengan graft.
27
BAB III
PEMBAHASAN
Anamnesis
TEORI FAKTA
1. Anamnesis : Dari allo dan heteroanamnesa :
a. cepat kenyang a. mual dan muntah
b. mual dan muntah b. nyeri perut sudah 2 bulan ini
c. nyeri punggung kronik atau c. demam 1 hari SMRS
nyeri abdominal
d. terdapat demam ringan
Teori dan fakta sesuai
Pemeriksaan Fisik
TEORI FAKTA
a. Sensasi pulsasi di abdomen a. Sensasi pulsasi di sekitar
b. Massa di abdomen regio umbilikal
b. Teraba massa di regio
umbilical
Teori dan fakta sesuai
Pemeriksaan tambahan
TEORI FAKTA
a. USG abdomen a. USG abdomen
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 12th ed. USA:
John Wiley & Sons, Inc.;2010.
2. Cronenwett JL, Johnston KW, editor. Rutherford’s vascular surgery. 7th
ed.Philaladelphia: Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.;2010.
3. Hallett JW, Mills JL, Earnshaw JJ, Reekers JA, Rooke TW, editor.
Comprehensive vascular and endovascular surgery. 2nd ed. Philadelphia:Mosby,
Inc.;2009.
4. Weintraub NL. Understanding Abdominal Aortic Aneurysm. N Engl J Med.
2009;361(11):1114–6.
5. Ernst CB. Abdominal Aortic Aneurysm. N Engl J Med. 1993;328(16):1167–72.
6. Gloviczki, P & Ricotta, JJ. Aneurysmal Vascular Disease. In Sabiston Textbook of
Surgery. 18thed. 2007. Gray, H. Anatomy of the Human Body. The Aorta. 1918.
10. Sjamsuhidajat. R., de Jong. W., Bab 28 Jantung, Pembuluh Arteri, Vena, dan Limfe:
Aneurisma dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, ed.2. Jakarta, EGC, 2004.
29