Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

ASPEK ANESTESI PADA SEPSIS

Disusun Oleh:
Wan Muhammad Adib (120100517)
Sudirman (120100258)
Rama Dhanianda (120100367)

Pembimbing :
Dr. Yutu Solihat, Sp.An, KAKV

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2018
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Aspek Anestesi Pada Sepsis”. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing, Dr. Yutu Solihat, Sp. An,
KAKV yang telah meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan serta
masukan dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya.
Laporan kasus ini diharapkan bermanfaat bagi yang membaca dan dapat
menjadi referensi dalam pengembangan wawasan di bidang medis.

Medan, Maret 2018


iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………. i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………… ii
BAB 1. PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………….... 1
1.2. Tujuan …………………………………………………………. 3
1.3. Manfaat ………………………………………………………… 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 4
2.1. Definisi…………………………………………………........... 4
2.2. Epidemiologi…………………………………………………... 6
2.3. Patofisiologi………………………………………………….... 7
2.4. Diagnosis…………………………………………………........ 10
2.5. Penatalaksanaan……………………………………………….. 10
2.6 Management Jalan nafas……………………………………… 17
BAB 3. STATUS PASIEN ….............…………………………………… 22
BAB 4. FOLLOW UP ………..........................…………………………. 28
BAB 5. KESIMPULAN ………………................………………….…… 36
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 37
1

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis adalah sindrom klinis yang disebabkan respon


inflamasi terhadap infeksi. Sepsis merupakan salah satu
penyebab kematian terbesar di USA sehingga penatalaksanaan
yang baik sesuai dengan pedoman SSC diperlukan untuk
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas

Sepsis adalah penyakit yang umum dalam perawatan


intensif dimana hampir 1/3 pasien yang masuk ICU adalah
pasien sepsis. Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab
kematian di Amerika Serikat. Angka kejadian sepsis meningkat
secara bermakna dalam dekade lalu. Telah dilaporkan angka
kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per
100.000 populasi antara tahun 1979 – 2000 di Amerika Serikat
dimana kejadian Severe sepsis berkisar antara 51 dan 95 pasien
per 100.000 populasi.1 Dalam waktu yang bersamaan angka
kematian sepsis turun dari 27,8% menjadi 17,9%.

Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi,


infeksi HIV dan keganasan merupakan faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya sepsis. Beberapa kondisi tertentu
seperti gangguan organ secara progresif, infeksi nosokomial dan
umur yang lanjut juga berhubungan dengan meningkatnya risiko
kematian. Angka kematian syok sepsis berkurang dari 61,6%
menjadi 53,1%.

Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade


ini dapat disebabkan karena adanya kemajuan dalam perawatan
dan menghindari komplikasi iatrogenik. Seperti contoh
pengembangan protokol early goal resuscitation tidak hanya
bertujuan untuk mencapai target supranormal untuk curah
2

jantung dan pengangkutan oksigen.1,2 Sejak 2002,The Surviving


Sepsis Campaign telah diperkenalkan dengan tujuan awal
meningkatkan kesadaran dokter tentang mortalitas Severe sepsis
dan memperbaiki hasil pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk
menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan yang
akhirnya dapat menurunkan angka kematian secara bermakna.
3

1.1.Tujuan
Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah :
1. Memahami alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi
Gawat Darurat khususnya pada kasus sepsis dan syok sepsis.
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya
ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Kedokteran di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.2.Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan kasus
ini adalah meningkatkan pemahaman terhadap kasus
kegawatdarutan sepsis dan syok sepsis serta penanganan
kegawatdaruratan sesuai kompetensi pada tingkat pelayanan
primer.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Berdasarkan pemahaman lebih luas mengenai


patofisiologi terjadinya sepsis,sebuah studi tahun 2014 sampai
Januari 2015 menyatakan bahwa identifikasi sepsis dengan
kriteria SIRS (2 atau lebih) tidak lagi tepat.3 SIRS tidak secara
langsung menyatakan adanya disregulasi respon tubuh terhadap
infeksi. Banyak pasien di RS dengan kriteria SIRS tetapi
akhirnya tanpa bukti adanya infeksi.4 Sementara 1 dari 8 pasien
di ICU Australia dan New Zealand dirawat dengan infeksi
bahkan sampai terjadi gagal organ tetapi tidak pernah memenuhi
kriteria SIRS.5

Tabel 1. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)6

Kriteria SIRS
Terdapat dua atau lebih kriteria berikut:
Suhu >380C atau < 360C
Nadi > 90x/menit
Pernapasan > 20x/menit atau
PaCO2< 32mmHg (4,3 kPa)
Leukosit >12.000/mm3 atau < 4000/mm3

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang


mengancam nyawa akibat disregulasi atau ketidakseimbangan
respon tubuh terhadap adanya infeksi.7 Dengan kata lain sepsis
merupakan kondisi yang mengancam nyawa yang timbul akibat
5

respon tubuh terhadap infeksi justru mencederai jaringan serta


organ tubuh sendiri.

Disfungsi Organ diidentifikasikan sebagai perubahan


akut total SOFA score>2 terhadapadanya infeksi.Pasien dengan
prediksi akan mendapat rawatan lama di ICU atau kemungkinan
meninggal di RS dapat diidentifikasi dengan qSOFA (Quick
SOFA).

Syok Sepsis merupakan bagian dari sepsis yang didasari dari


kegagalan sirkulasi dan metabolik selular yang dapat
meningkatkan mortalitas dengan signifikan.Pasien syok sepsis
ditandai dengan hipotensi menetap sehingga membutuhkan
vasopressor untuk mempertahankan MAP > 65 mmHg dan
peningkatan nilai laktat > 2 mmol/L meskipun telah mendapat
resusitasi cairan yang adekuat. Mortalitas syok sepsis mencapai
40%.3

Kriteria Disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan akibat


sepsis3:

 Terdapat salah satu dari di bawah ini akibat sepsis:


 Hipotensi akibat sepsis
 Kadar laktat > 2 mmol/L
 Produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, lebih dari 2 jam meskipun
sudah diresusitasi cairan adekuat
 ARDS dengan PaO2/FiO2< 250 tanpa ada pneumonia (sebagai
fokus infeksi)
 ARDS dengan PaO2/FiO2< 250 dengan pneumonia (sebagai
fokus infeksi)
 Kreatinin > 2 mg/dl
 Bilirubin > 2 mg/dl
 Trombosit < 100.000
 Koagulopati (INR > 1,5)
6

Gambar 1. SOFA score3

Tabel 2. Kriteria qSOFA (quick-SOFA)6:

 Terdapat 2 atau lebih kriteria berikut:

 Frekuensi nafas > 22x/menit

 Penurunan kesadaran

 Tekanan darah sistolik < 100 mmHg

Penjelasan mengenai panduan perubahan terminologi,


definisi, kriteria klinis serta rekomendasi koding ICD sepsis dan
syok sepsis dapat dilihat pada tabel berikut:

2.2. Epidemiologi

Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa insidensi sepsis di


Amerika terjadi pada 3 dari 1000 populasi, 51,1% dirawat di
ICU dan 17,3% mendapat bantuan ventilasi mekanik.8 Pada
tahun 2004 dilaporkan di Inggris bahwa 27% pasien yang masuk
RS menderita sepsis berat dalam 24 jam pertama, walaupun
angka kematiannya menurun dari 48,3% (tahun 1996) menjadi
7

44,7% (tahun 2004) tetapi total kematian pada populasi


meningkat dari 9000 menjadi 14.000.9

Dalam 10-15 tahun terakhir terjadi penurunan angka


kematian yang disebabkan oleh sepsis, walaupun masih tetap
tinggi (30-50%). Early Goal Directed Therapy (EGDT) yang
dikembangkan oleh Rivers pada tahun 2001 dapat menurunkan
angka kematian dari 46,5% menjadi 30,5%.10

CDC National Center of Hospital Statistics tahun 2011


melaporkan bahwa beban ekonomi sangat tinggi pada pasien
sepsis berat dan syok sepsis, diperkirakan 14,6 juta dolar telah
dihabiskan untuk perawatan septikemia, dan sejak tahun 1997
sampai 2008 terjadi peningkatan biaya perawatan pasien di
rumah sakit sekitar rata-rata 11,9%.7

2.3. Patofisiologi Sepsis

Sepsis merupakan sindroma klinis akibat respon tubuh


terhadap adanya infeksi.3 Respon ini sebenarnya merupakan
bentuk mekanisme perlindungan tubuh bertujuan mengeliminasi
mikroorganisme tersebut tetapi menimbulkan dampak bentuk
peradangan kulit ringan hingga ke arah ancaman yaitu gangguan
hemodinamik sehingga berpotensi berkembang menjadi
kegagalan multiorgan atau sepsis berat.Respon fisiologi tubuh
terhadap infeksi terdiri dari dua tingkatan yaitu lokal dan
sistemik.

Tingkat lokal, didasari oleh aktivasi sistem imun non


spesifik dalam hal ini makrofagsetelah masuknya
mikroorganisme patogen ke dalam tubuh. Interaksi makrofag dan
struktur fungsional yang terpapar dalam mikroorganisme seperti
endotoksin akan merangsang pelepasan kemokin, sitokin
proinflamasi atau senyawa aktif lain untuk memfasilitasi proses
8

fagositosis terutama melalui neutrofil.11 Proses fagositosis


bertujuan mengeliminasi mikroorganisme patogen
tersebut dengan melibatkan serangkaian aktivitas sel dan
jaringan. Diawali dengan vasodilatasi dan penurunan aliran
darah kemudian diikuti dengan aktivasi sistem fibrinolisis,
proses ini bertujuan untuk meningkatkan interaksi antara sel
fagosit dan endotel serta memfasilitasi pergerakan sel fagosit
(netrofil) mendekati jaringan yang rusak akibat infiltrasi
mikroorganisme patogen tersebut. Interaksi netrofil dan sel
endotel akan meningkatkan ekspresi beberapa molekul aktif
seperti selektin (netrofil), intergrin (sel endotel) memungkinkan
terjadinya rolling adhesion netrofil ke permukaan sel endotel
kemudian mengalami proses transcapillary-diapedesis, dan
netrofil bergerak ekstravaskular ke jaringan yang terinfeksi,
pada keadaan ini terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang
mengandung nutrien dan albumin dalam konsentrasi yang sangat
tinggi masuk ke jaringan interstisial.
Terjadi prekapiler vasokonstriksi, pengaktifan sistem
koagulasi dan menghambat sistem fibrinolisis postkapiler,
proses ini merupakan mekanisme dasar terjadinya respon
inflamasi lokal akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh
invasi mikroorganisme patogen.Struktur jaringan sel akan
mengalami penyesuaian untuk melanjutkan proses inflamasi
dengan tujuan melindungi dari invasi mikroorganisme
patogen.11,12 Prekapiler vasokonstriksi, postkapiler
hiperkoagulabel dan penekanan kapiler akibat edema cairan
menimbulkan ancaman hipoksia jaringan. Untuk mengatasi
keadaan yang tidak menguntungkan ini sel akan melakukan
penghematan energi ATP atau hibernasi. Klinis ditandai

dengan hilangnya kemampuan fungsi organ atau jaringan yang


mengalami inflamasi untuk sementara dan dikenal sebagai
functio laesa.
9

Tingkat sistemik, diawali oleh rangsangan jalur aferen


saraf vagus, nyeri dantissuecorticotrophine-releasing factor
yaitu sitokin pro-inflamasi (TNF-α, IL-1βterutama IL-6)
berasaldari proses inflamasi lokal masuk ke sirkulasi sistemik.
Respon sistemik ditandai dengan aktivasi jalur vagus, sistem
neuro-endokrin (terjadi peningkatan aktivitas sistem saraf
simpatis dan jalur hypothalamus-hypophysis-adrenalin), demam
dan leukositosis. Respon sistemik ini bertujuan untuk mencegah
agar efek proinflamasi berasal dari inflamasi lokal tidak
berlebihan. Diawali reseptor jalur aferen vagus pada makrofag
untuk memberikan input ke inti traktus solitaries sistem saraf
pusat yang kemudian mengaktivasi jalur eferen vagus pada
nucleus dorsal motoric agar menghambat pelepasan sitokin
(mediator proinflamasi) atau sel imun lainnya, jalur vagus ini
dikenal dengan inflammatory reflex. 11,12

Apabila pembentukan mediator proinflamasi lokal


berlebihan dan tidak terkontrol akan masuk ke dalam sirkulasi
sistemik mengakibatkan dampak yang lebih berat. Memasuki
periode ini, vasodilatasi yang awalnya merupakan fenomena
lokal menjadi sangat berkorelasi dengan hipotensi arterial
sehigga berpotensi menimbulkan disfungsi multiorgan akibat
hipoksia jaringan yang disebabkan oleh penurunan tekanan
perfusi secara global. Selain efek vasodilatasi sistemik, terjadi
penekanan fungsi miokard yang disebabkan oleh mediator
proinflamasi dan pada fase lebih lanjut terjadi keadaan
hipovolemik akibat kebocoran kapiler sistemik, disfungsi
miokard, penurunan tonus vaskular. Perkembangan dari infeksi
hingga sepsis berat atau syok sepsis akan seiring dengan
perubahan kardiovaskular yang didasari oleh: disfungsi miokard,
perubahan tonus vaskular dan penurunan volume intravaskular
akibat kebocoran kapiler.11
10

2.4. Diagnosis

Biomarker yang ideal untuk infeksi harus sensitif bahkan


pada pasien tanpa respon imun dan harus spesifik yaitu bisa
membedakan infeksi atau non

infeksi, dapat diukur secara cepat dan mudah serta mempunyai


nilai prognostik. Biomarker yang potensial memenuhi syarat ini
antaralain protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP)
atau prokalsitonin (PCT), sitokin seperti IL-6, IL-8, IL-10, kadar
endotoksin, gelombang fisik aPTT21. Akan tetapi biomarker
tersebut tidak memenuhi kriteria ideal sehingga disarankan
untuk menggunakan kombinasi dari biomarker.13

Kultur harus dilakukan sebelum pemberian antibiotik awal.


Setidaknya 2 set kultur darah (aerob dan anaerob)
diambil.Pemeriksaan 1,3 beta-D-glucan, antibodi mannan dan
anti-mannan (jika tersedia) untuk dugaan infeksi invasif jamur
candida. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk
mengkonfirmasi kemungkinan sumber infeksi.

2.5. Tatalaksana

Pengelolaan sepsis sejak 2 dekade terakhir tidak bisa


dipisahkan dari gerakan Surviving Sepsis Campaign (SSC).
Panduan SSC dalam tatalaksana sepsis dituangkan dalam sepsis
bundles dan sebagai respon dari konsensus internasional ke-3
dari ESICM (European Society of IntensiveCare Medicine) dan
SCCM (Society of Critical Care Medicine) mengenai definisi
sepsis dan syok sepsis1,14,15 maka SSC memperbarui panduan
untuk rumah sakit dan praktisi klinis dalam Sepsis bundles 2016
(SSC responds to Sepsis-3, 1 Maret 2016).
11

1. Resusitasi awal

Langkah 1: Skrining dan manajemen infeksi

Manajemen dimulai dengan pengambilan kultur darah


dan kultur lain sesuai indikasi, kemudian berikan antibiotik yang
sesuai dengan peta kuman yang ada dan secara simultan
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi
adanya disfungsi organ.

Langkah 2: Skrining adanya disfungsi organ dan manajemen


sepsis (dahulu sepsis berat)

Pasien diidentifikasi adanya disfungsi organ dengan


kriteria yang sama dengan sebelumnya (tabel 2). Disfungsi
organ juga dapat diprediksi akan terjadi dengan menggunakan
kriteria Quick SOFA (qSOFA).Bila disfungsi organ
teridentifikasi, pastikan bundle 3jam dilakukan sebagai prioritas
utama tindakan.

Langkah 3: Identifikasi dan manajemen hipotensi awal

Pada pasien dengan infeksi ditambah hipotensi atau


kadar laktat > 4 mmol/L berikan 30 ml/kgBB cairan kristaloid
dan dilakukan penilaian ulang respon cairan yang diberikan
serta penilaian perfusi jaringan. Kemudian bundle 6 jam harus
dilengkapi. Pada bundle 6 jam, jangan lupa menilai ulang nilai
laktat bila laktat awal nilainya > 2 mmol/L.

Sepsis Bundles3

HARUS DILENGKAPI DALAM 3 JAM KEDATANGAN

 Hitung nilai awal laktat


 Ambil kultur darah sebelum pemberian antibioik
 Berikan antibiotik spektrum luas
 Berikan kristaloid 30 ml/kgBB pada hipotensi atau nilai awal
laktat > 4 mmol/L
12

HARUS DILENGKAPI DALAM 6 JAM KEDATANGAN

 Berikan vasopresor (untuk hipotensi yang tidak respon pada


resusitasi cairan dini) untuk mempertahankan MAP > 65 mmHg.
 Pada hipotensi yang menetap setelah pemberian cairan yang
adekuat (MAP < 65 mmHg) atau nilai laktat awal > 4 mmol/L,
nilai ulang status volum pasien dan perfusi jaringan berdasarkan
tabel 3.
 Nilai ulang laktat bila nilai awal laktat meningkat.

Tabel 3. Penilaian ulang status volum dan perfusi jaringan3

Pemeriksaan kecukupan cairan dengan ultrasound


(setelah resusitasi cairan awal) oleh dokter yang
berlisensi termasuk di antaranya tanda vital,
kardiopulmonal, capillary refill, denyut jantung dan
pemeriksaan pada kulit

ATAU lakukan minimal dua dari berikut:


Hitung CVP
Hitung ScvO2

Ultrasound kardiovaskular bedside


Penilaian respon cairan secara dinamik yaitu dengan
passive leg raising atau fluid challenge

2. Terapi Antibiotik13
Berikan antibiotik empirik dengan konsentrasi adekuat
pada 1 jam pertama terdiagnosis sepsis. Pemberian antibiotik
harus dinilai setiap hari untuk kemungkinan deeskalasi.Gunakan
kombinasi antibiotik untuk pasien syok sepsis, pasien netropeni,
dan pasien dengan infeksi bakteri patogen MDR (multi drug
resistant). Durasi terapi berkisar 7-10 hari, penggunaan lebih
lama pada pasien dengan respon klinis lambat, bacteremia
S.aureus, infeksi jamur dan infeksi virus atau defisiensi
imunologis.
13

Kadar prokalsitonin yang rendah dapat digunakan


sebagai petunjuk untuk menghentikan terapi antibiotik pada
pasien yang awalnya sepsis.

3. Kontrol sumber infeksi13


Beberapa diagnosis sepsis memerlukan tindakan operasi
darurat untuk keperluan diagnosticdan kontrol sumber infeksi.

4. Terapi cairan22

Cairan inisial untuk resusitasi pasien sepsis dan syok


sepsis adalah cairan kristaloid. Hindari penggunaan HES.
Apabila pasien memerlukan cairan resusitasi dalam jumlah
besar, dapat digunakan albumin. Resusitasi awal pasien sepsis
dan syok sepsis yaitu dengan pemberian kristaloid sebanyak 30
ml/kgBB.

5. Vasopresor13

Terapi vasopresor inisial ditargetkan untuk tercapainya


nilai minimal MAP > 65 mmHg. Pilihan pertamanya adalah
norepinefrin. Epinefrin dapat ditambahkan atau bahkan
menggantikan NE (bila tidak ada), untuk mencapai target
minimal MAP.

Penambahan vasopressin pada NE diberikan bila MAP


belum

tercapai atau dengan tujuan untuk mengurangi dosis NE.


Sementara

dopamin digunakan sebagai alternative NE hanya untuk pasien


dengan resiko rendah terjadi takiaritmia. Dan untuk semua
pasien yang akan direncanakan menggunakan vasopresor jangan
lupa untuk dipasang kateter vena sentral terlebih dahulu.
14

6. Inotropik13

Pada pasien dengan disfungsi miokard dapat digunakan


dobutamin sebagai inotropik.

7. Kortikosteroid13

Jangan menggunakan hidrokortison intravena untuk


terapi syok sepsis apalagi bila MAPsudah tercapai dengan
penggunaan vasopresor dan/atau inotropik.

8. Pemberian produk darah13

Transfusi sel darah merah hanya bila konsentrasi


hemoglobin < 7 gr/dl dengan target Hb 7-9 gr/dl kecuali bila ada
iskemi jantung, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau
penyakit jantung iskemik; yang mungkin memerlukan kadar Hb
lebih dari itu.

Tidak perlu pemberian eritropoietin sebagai terapi


spesifik anemia yang disebabkan oleh sepsis.

Transfusi fresh frozen plasma FFP tidak untuk


memperbaiki nilai laboratoris, diberikan hanya bila ada
perdarahan atau akan direncanakan tindakan invasif.

Transfusi platelet profilaksis bila trombosit


<10.000/mm3tanpa perdarahan spontan, <20.000/mm3bila
memiliki resiko terjadinya perdarahan. Untuk pasien dengan
perdarahan aktif, pembedahan atau tindakan invasif diperlukan
kadar trombosit > 50.000/mm3.

9. Pemberian imunoglobulin13

Tidak memberikan imunoglobulin intravena untuk pasien


sepsis dan syok sepsis.

10. Terapi selenium13

Tidak menggunakan selenium untuk terapi sepsis.


15

11. Penggunaan recombinant activated protein C (rhAPC)13

Penggunaan rhAPC tidak lagi direkomendasikan oleh


SSC.

12. Ventilasi mekanik pada ARDS akibat sepsis13

Pada pasien ARDS (acute respiratory distress syndrome)


target tidal volume 6 ml/kgBB dengan plateau pressure<30
cmH2O dan berikan PEEP (positive end expiratory pressure)
untuk mencegah alveoli atelectasis. Strategi yang diberikan pada
pasien ARDS sedang sampai berat adalah frekuensi nafas tinggi
daripada PEEP rendah. Pada pasien ARDS berat dengan
hipoksemia menetap dapat dilakukan prone position dan lung
recruitment. Posisi kepala pasien dijaga 30-450 untuk mencegah
terjadinya aspirasi dan ventilator associated pneumonia.

13. Sedasi, analgesia dan pelumpuh otot pada sepsis13

Minimalisir penggunaan sedasi dengan penilaian


harian untuk dititrasi. Penggunaan pelumpuh otot pada pasien
ARDS dihindari karena resiko pemanjangan efek setelah obat
distop. Bila harus dipakai, dapat diberikan dengan teknik bolus
intermiten atau dengan penggunaan monitoring train of four.

14. Kontrol kadar gula darah13

Pada pasien sepsis dilakukan kontrol gula darah dengan


insulin intravena bila 2x pemeriksaan kadarnya > 180 mg/dl
dengan targetnya < 180 mg/dl. Gula darah diperiksa setiap 1-2
jam sampai stabil kemudian setiap 4 jam bila telah stabil.

15. Renal replacement therapy (RRT) pada sepsis13

Continuous renal replacement therapy (CRRT) dan


hemodialisa intermiten seringdiperukan pada pasien sepsis dan
16

syok sepsis. Gunakan teknik CRRT pada pasien dengan


hemodinamik yang tidak stabil.

16. Terapi Bikarbonat13

Tidak menggunakan terapi Natrium bikarbonat untuk


tujuan memperbaiki hemodinamik atau menurunkan dosis
vasopresor pada pasien hipoperfusi akibat asidosis laktat dengan
pH > 7,15.

17. Profilaksis DVT13

Untuk mencegah trombo emboli berikan pencegahan


dengan LMWH (low molecular weightheparin) subkutan setiap
hari atau dapat juga diberikan dengan heparin (UFH-
unfractionated heparin). Jika klirens kreatinin < 30ml/mnt
gunakan dalteparin. Pencegahan dengan farmakologis sebaiknya
dikombinasi dengan penggunaan intermittent pneumatic
compression, terutama pada pasien dengan kontraindikasi
(trombositopeni, koagulopati berat, perdarahan aktif, perdarahan
intraserebral akut).

18. Profilaksis stress ulcer13

Profilaksis stress ulcer pada pasien sepsis dikelola


dengan pemberian H2 blocker atauproton pump inhibitor. Pasien
tanpa resiko tidak tidak perlu mendapat profilaksis stress ulcer.

19. Pengelolaan nutrisi13

Selama toleransi baik utamakan pemberian diet


melalui oral atau enteral, puasa ataupemberian dextrose
intravena sejak diagnosis sepsis ditegakkan sebaiknya tidak
lebih dari 48 jam. Hindari pemberian diet kalori penuh pada
minggu pertama, sebaiknya mulai dengan dosis rendah dulu
(500 kkal/hari). Pemberian nutrisi enteral lebih baik daripada
TPN.
17

2.6. Manajemen Jalan Nafas


Gangguan jalan nafas dapat terjadi pada pasien dengan
kondisi penurunan kesadaran. Lidah dan epiglotis penyebab
utama tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar oleh
karena hilangnya tonus otot, sehingga umumnya lidah akan jatuh
dan menyumbat faring, kemudian epiglotis akan menyumbat
laring. Tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani kondisi
ini antara lain:
1. Manuver kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift
maneuver)
Manuver ini dilakukan jika tidak ada traumapada leher. Satu
tangan penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala
tengadah, tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati
tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglottis
terbuka. Pada neonatus dapat dilakukan sniffing position yaitu
dengan meletakkan bayi pada tempat yang datar dengan kepala
yang sedikit diekstensikan.
2. Manuver dorong rahang bawah (jaw-thrust maneuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat
didorongkedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-
leher. Karena lidah melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut
tertarik dan jalan napas terbuka.
3. Manuver tripel jalan nafas (triple airway manuever)
Cara ini dapat dilakukan dengan memposisikan kepala ekstensi
pada sendi atlanto-oksipital, kemudian mandibula didorong ke
depan pada kedua angulus mandibula. Selanjutnya mulut dibuka
dan lidah akan terangkat sehingga jalan nafas akan bebas.
Tindakan ini memiliki resiko terhadap kejadian cedera
spinal jika posisi pasien tidak dalam posisi in-line
immobilization dan tidak bertumpu pada alas yang rata dan
keras.
18

Selain itu tindakan pembebasan jalan nafas dapat


dilakukan dengan bantuan alat yaitu:

1. Alat bantu nafas orofaring (Oropharyngeal airway)


Cara penggunaan alat bantu ini adalah:

- Bersihkan mulut dan faring dari sekresi, darah, atau muntahan


- Pilih ukuran OPA yang tepat dengan cara menempatkan OPA
disamping wajah dengan ujungnya pada sudut mulut dan
ujunglainnya pada sudut rahang bawah.
Dewasa besar = 100 cm (Guedel no. 5)
Dewasa sedang = 90 cm (Guedel no. 4)
Dewasa kecil = 80 cm (Guedel no. 3)
Anak-anak = Guedel no. 1 dan 2
- Masukkan OPA ke dalam rongga mulut dalam kondisi terbaik,
bila sudah menyentuh palatum maka putar ke arah belakang 180
derajat.
- Mengecek ketepatan pemasangan dengan memberikan ventilasi
dan melihat apakah dada mengembang dan suara nafas terdengar
dengan menggunakan stetoskop.
2. Alat bantu nafas nasofaring (nasopharyngeal airway)
Cara penggunaan alat bantu ini adalah dengan cara sebagai
berikut:
- Nilai jalan nafas (polip, fraktur, perdarahan dan trauma wajah
merupakan kontraindikasi)
- Memilih ukuran yang tepat dengan diameter alat tidak lebih
besar dari hidung dengan panjang NPA sama dengan jarak ujung
hidung pasien ke cuping telinga atau dari lubang hidung sampai
ke angulus mandibula.
- Basahi NPA dengan gel anastesik
- Masukkan NPA secara lembut dengan arah posterior membentuk
tegak lurus dengan permukaan wajah samapai ke dasar
nasofaring.
19

- Mengecek ketepatan pemasangan dengan memberikan ventilasi


dan memperhatikan apakah dada mengembang dan suara nafas
terdengar melalui stetoskop.
Setelah pembebasan jalan nafas, maka langkah
selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah apakah oksigenasi
pasien tercukupi. Jika tidak maka dapat diberikan suplementasi
oksigen dengan cara:
a. Nasal kanul
Melalui nasal kanul, oksigen dari sumber gas oksigen
dapat diatur dengan kecepatan aliran antara 1-5 liter permenit.
Konsentrasi oksigen yang diinspirasi pasien atau disebut fraksi
oksigen inspirasi (FiO2) tergantung dari kecepatan aliran dan
ventilasi semenit pasien, dengan demikian FiO2 tidak dapat
dikendalikan. FiO2 maksimal yang dicapai dengan nasal kanul
tidak lebih dari 0,40 (FiO2 = 40%). Pemberian aliran yang lebih
dari 5 liter permenit tidak akan memberikan FiO2 yang tinggi,
akan berakibat mengeringkan dan mengiritasi mukosa nasal.
b. Sungkup muka sederhana (simple mask)
Sungkup muka sederhana ini mempunyai lubang tempat
pipa saluran masuk O2 di dasarnya dan lubang-lubang kecil
disekeliling sungkup muka. Oksigen dapt dialirkan dengan
kecepatan 6-10 liter permenit dengan FiO2 yang dicapai sekitar
0,35-0,6. Bila kecepatan aliran oksigen kurang dari 6 liter
permenit akan terjadi penumpukan CO2 akibat terjadi dead
space mekanik. Alat ini termasuk sistem oksigen-sedang, aliran
tinggi.
c. Sungkup mukanon-rebreathing
Sungkup muka ini terdiri atas sungkup muka sederhana
yang dilengkapi dengan kantong resevoir oksigen pada dasar
sungkup muka dan satu katup satu arah yang terletak pada
lubang di samping sungkup dan satu lagi katup satu arah terletak
diantara kantong resevoir dan sungkup muka. Kecepatan aliran
20

oksigen pada sungkup ini sebesar 9-15 liter permenit dapat


memberikan konsentrasi oksigen sebesar 0-100%.
Agar berfungsi semestinya, harus dijaga agar kantong resevoir
mengembang-mengempis, tidak kolaps.
d. Sungkup muka partial rebreathing
Sungkup muka ini terdiri dari sungkup muka sederhana
dengan reservoir pada dasar sungkup. Oksigen mengalir ke
kantong reservoir terus menerus. Ketika ekspirasi, sepertiga
awal gas ekspirasi masuk ke kantong reservoir bercampur
oksigen yang ada. Jadi saat inspirasi pasien menghisap kembali
sepertiga gas ekspirasinya.

Sungkup muka dengan reservoir O2 digunakan


pada :

1. Sakit kritis, kesadaran masih baik, ventilasi adekuat tetapi


membutuhkan oksigen dengan konsentrasi tinggi.
2. Sebelum ada indikasi intubasi trakea, seperti pada edem paru
akut, asma akut, PPOK, atau pasien tidak sadar tetapi ventilasi
adekuat dengan refleks batuk masih ada.
e. Sungkup muka venturi
Sungkup muka venturi terdiri dari sumgkup muka dan
mixing jet. Dengan alat ini FiO2 yang diberikan dapat
dikendalikan. Oksigen yang diberikan dapat diatur berkisar
24%,28%, 35% dan 40% dengan kecepatan aliran 4-8 liter
permenit dan 45-50% dengan kecepatan aliran 10-12 liter
permenit.

Intubasi Endotrakea
Merupakan suatu cara pemberian ventilasi dengan alat
bantu nafas tingkat lanjut dengan cara memasukkan pipa
endotrakea ke dalam trakea pasien. Indikasi utama intubasi
adalah:
21

1. Menjaga patensi jalan nafas; adanya kelainan anatomi, bedah


posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas, pencegahan
aspirasi dan/ atau regurgitasi.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi; saat resusitasi,
penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang,
3. Pasien dengan gangguan status mental; jejas kepala yang
membutuhkan hiperventilasi; hipoksemia; hipoventilasi; apnea;
hilangnya refleks muntah; dan penurunan kesadaran.
Komplikasi Intubasi Endotrakea:
 Laserasi bibir, lidah faring atau trakea
 Cedera pita suara
 Perforasi faring-esofagus
 Muntah dan aspirasi isi lambung ke dalam jalan napas bawah
 Meningkatnya sekresi katekolamin yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah, takikardia atau aritmia
22

BAB III

STATUS ORANG SAKIT

3.1 Identitas Pasien

Nama : TN. AWL

Umur : 87 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Bunga Ncole 11 No.108

Tanggal Masuk : 22 Februari 2018

Berat Badan : 50 kg

Tinggi Badan : 163 cm

3.2 Alloanamnesis

KU : Penurunan Kesadaran

Telaah : Hal ini telah dialami oleh pasien 6 jam sebelum masuk rumah
sakit. Kondisi ini dialami oleh pasien secara perlahan-lahan. Pasien ini
sebelumnya pagi tadi masih bisa beraktivitas seperti biasa dan masih bisa
berjalan namun pada sejak sore tadi pasien mula menjadi lemas dan sulit
diajak berkomunikasi. Selain itu, pasien mengeluhkan ada batuk selama
satu minggu sebelum masuk ke rumah sakit. Riwayat batuk berdahak dan
batuk berdarah tidak dijumpai. Pasien juga mengalami demam sejak ±
satu hari sebelum masuk rumah sakit. Sifat demam adalah naik turun
dengan obat penurun panas. Riwayat tekanan darah,sakit gula dan
kolesterol tidak dijumpai. Riwayat trauma dan nyeri kepala tidak
dijumpai. Riwayat mual muntah tidak dijumpai. Riwayat pemakaian obat
6 bulan tidak dijumpai. Riwayat merokok dan minum alkohol tidak
dijumpai. Keluarga yang mempunyai keluhan yang sama tidak dijumpai

RPT : Tidak ada


RPO : Tidak ada
23

3.3. Time Sequences

22 Februari 2018 23 Februari 2018 23 Februari 2018


Pukul 22.30 WIB Pukul 01.00 WIB Pukul 08.00 WIB
Pasien dimasukkan Pasien dikonsul ke
Pasien tiba di IGD ke ruangan RA2 anestesi dengan
RSUP Haji Adam rawatan ICU
Malik

23 Februari 2018 23 Februari 2018


Pukul 11.00 WIB Pukul 12.00 WIB Pasien sampai
sekarang di ICU
Anestesi telah acc Pasien dimasukkan
Dewasa.
rawatan ke ICU ke ICU Dewasa.
dengan kondisi
ventilator tidak
bersedia .

3.4 Primary Survey pukul 11.00 di IGD pada tanggal (22/2/2018)

A (Airway)
 Airway clear
 Snoring(-), Gurgling(-), Crowing(-)
B (Breathing)
 RR: 28 kali per menit, SaO2:99%
C (Circulation)

Tekanan darah: 90/60 mmHg

Frekuensi Nadi: 132 kali per menit, regular, t/v kuat/cukup

Akral Hangat, Merah, Kering

CRT <2 detik

Terpasang IV Line di tangan kanan ukuran 18G, jalan IV line lancar
D (Disability)
 Kesadaran/AVPU: Somnolen. GCS: 9 E2 M4V3
 Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, RC: +/+
E (Exposure)
 Suhu aksila: 38ºC

3.5 Secondary Survey pukul 12.00 di ICU (23 Februari 2018)


24

B1 (Breath) :Airway clear ; RR: 32 x/menit; SP: Vesikuler


ka=ki; ST:-/- S/G/C: -/-/-.
B2 (Blood) :Akral: hangat/merah/kering; TD: 90/60 mmHg;
HR: 128 x/menit, reguler, t/v: kuat/cukup; CRT < 2 detik; Temperatur:
37,6°C, sianosis (-).
B3 (Brain) : Sensorium: Somnolen GCS: 9 E2 M4V3: ;
pupil: isokor; Ø: ± 3 mm / 3 mm; RC +/+, kejang (-).
B4 (Bladder) : UOP (+); volume ± 100 cc/jam, warna: kuning,
terpasang kateter urin.
B5 (Bowel) : Abdomen: soepel, peristaltik (+)
B6 (Bone) : Fraktur(-); edema (-/-)

3.7. Tatalaksana di IGD

 Bed rest head up 300

 Diet SV via NGT

 IVFD Nacl 0,9% 20gtt/i

 Inj Ceftriaxon 1gr/12jam/IV

 Paracetamol 3x500mg

3.8. Pemeriksaan Penunjang

3.8.1 Laboratorium

Lab (22/2/2018) Hasil Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin (HGB) 10.8g/dL 12 – 16 g/dL


Eritrosit 3.42jt/µL 4,50-6,50 jt/ µL

12.990 4,0 – 11,0 x


Leukosit (WBC)
103/µL 103/µL
25

Hematokrit 32 % 36 – 47 %

149 150 – 450 x


Trombosit (PLT)
103/µL 103/µL

ELEKTROLIT

132 135 – 155


Natrium (Na)
mEq/L mEq/L

4.3 3,6 – 5,5


Kalium (K)
mEq/L mEq/L

102 96 – 106
Klorida (Cl)
mEq/L mEq/L

METABOLISME KARBOHIDRAT

150
Gula Darah (Sewaktu) <200mg/dl
mg/dl

GINJAL

BUN 19mg/dL 7– 19 mg/dL


Ureum 41mg/dL 15–40mg/dL
Kreatinin 1,10 mg/dL 0,6 – 1,1 mg/dL

ANALISA GAS
DARAH
Ph 7.430 7,35-7,45
Pco2 32.0mmhg 38-42 mmhg
Po2 192.0 U/L 85-100 U/L
HCO3 21.2 U/L 22-26 U/L
BE -2.3 U/L (-2)–(+2) U/L
Sa O2 100.0% 95-100%
26

3.8.2 FOTO TORAKS

Kesimpulan: Aorta elongasi dan kalsifikasi. Proses Spesifik lama aktif dengan
hemidiafragma kiri letak tinggi ec penarikan DD/ parese nervus prenikus kiri

3.8.3 EKG
Kesimpulan: Normal

3.8.4 CT-Scan : Tidak dilakukan

3.8.5 USG: Tidak dilakukan

3.8.6 Diagnosis

Diagnosis: Penurunan Kesadaran ec sepsis ec pneumonia


27

BAB 4

FOLLOW UP

Follow Up Pasien (ICU)

24 Februari 2018

S -

 Airway clear S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 24x/i, SpO2 98 %

 TD: 119/76 mmHg, HR: 110x/i reguler t/v: kuat/cukup, Akral H/M/K,
CRT < 2”

 Sensorium Somnolen, GCS: 9 E2 M4V3 RC +/+


O

 UOP (+), warna kuning, kateter (+)

 Abdomen soepel, peristaltik (+)N

 Oedem (-) Fraktur (-)

A Penurunan kesadaran ec sepsis ec pneumonia

 Bed Rest + Head up 300


 Diet SV 1800 kkal+60g protein

 IVFD RL 20gtt/i

 Ceftriaxon 2gr/24 jam ganti Cefepime 1gr/8j/IV

P
 Ciprofloxacin 400mg/12jam

 Ranitidine 50mg/12 jam

 Paracetamol drips 1gr/8jam

HASIL LABORATORIUM
28

Darah Lengkap: Hb/Ht/Leu/Plt

12.2/37/20 750/125000

Faal Hemostasis: Protrombin: Pasien/Kontrol: 24.5/14.00

INR: 1.66

APTT: Pasien /Kontrol 44.8/33.0

Trombin: Pasien/Kontrol:17.8/19.5

Fibrinogen: 211.0

D-Dimer: 450

Kimia Klinik

Hati: Albumin :3.2

Lain-lain: Asam laktat, Arteri:2.6

IMMUNOSEROLOGI

Test Lain: Procalcitonin: 32.57


29

25 Februari 2018

S -

 Airway clear S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR :


22x/i, SpO2 98 %

 TD: 119/76 mmHg, HR: 110x/i reguler t/v: kuat/cukup,


Akral H/M/K, CRT < 2”

O  Sensorium Somnolen GCS: 9 E2 M4V3RC +/+

 UOP (+), warna kuning, kateter (+)

 Abdomen soepel, peristaltik (+)N

 Oedem (-) Fraktur (-)

A Penurunan kesadaran ec sepsis ec pneumonia

 Bed Rest + Head up 300

 Diet SV 1800 kkal+60g protein

 IVFD RL 20gtt/i

 Cefepime 2gr/8j/IV

 Ciprofloxacin 400mg/12jam Aff Amikasin1gr/24


P jam

 Ranitidine 50mg/12 jam

 Paracetamol drips 1gr/8jam

R/ Intubasi dan Ventilator

D-dimer/Fibrinogen

HASIL LABORATORIUM
30

AGDA: pH/pCO2/pO2/HCO3/TCO2/BE/SaO2

7.370/27.0/163.0/15.6/16.4/-8.2/99.0

Ginjal: BUN/Ur/Kr

28/60/0.91

Elektrolit: Na/K/Cl

137/4.3/105
31

26 Februari 2018-27 Februari 2018

S -

 Airway clear terintubasi dengan ETT Fr 7.5 cuff(f). Support ventilator dengan modus
SIMV 12. FiO2: 50, VT: 400, PEEP: 5. S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR :
22x/i, SpO2 98 %

 TD: 119/76 mmHg, HR: 110x/i reguler t/v: kuat/cukup, Akral H/M/K, CRT < 2”

O  Sensorium Somnolen GCS: 9 E2 M4V3RC +/+

 UOP (+), warna kuning, kateter (+)

 Abdomen soepel, peristaltik (+)N

 Oedem (-) Fraktur (-)

A Penurunan kesadaran ec sepsis ec pneumonia

 Bed Rest + Head up 300

 Diet SV 1800 kkal+60g protein

 IVFD RL 20gtt/i

 Inj Dobutamin 1 amp/50cc

P  Inj MO 10mg+ Miloz 15mg/ 50c Nacl- 2cc/jam

 Inj Lovenox 2 amp/24jam

 Cefepime 2gr/8j/IV

 Ciprofloxacin 400mg/12jam aff

 Omeperazole 40mg/12jam
32

 Paracetamol drips 1gr/8jam

 Amikasin1gr/24 jam

 Nebul Venitolin /8jam

 Nebul fluoxetide /8jam

R/ Foto thorax post pemasangan CVC

Konsul Paru

Fisioterapi

HASIL LABORATORIUM

AGDA: pH/pCO2/pO2/HCO3/TCO2/BE/SaO2

7.280/32.0/123.0/15.0/16.0/-10.6/98.0

Lain-Lain

Asam laktat, Arteri: 1.4

\
33

DISKUSI

NO TEORI KASUS

1 DEFINISI

Tabel 2. Kriteria -Pasien ini mengalami penurunan


qSOFA (quick-SOFA): kesadaran, frekuensi nafas adalah
28 x/i dan tekanan darah pasien ini
Terdapat 2 atau lebih
90/60 mmhg..
kriteria berikut:

Frekuensi nafas >


22x/menit

Penurunan kesadaran

Tekanan darah sistolik


< 100 mmHg

2 DIAGNOSIS Pada pasien telah dilakukan:

Biomarker yang ideal Test Procalcitonin:32.57


untuk infeksi harus
Lain-lain:Asam laktat arteri:2.6
sensitif bahkan pada
pasien tanpa respon imun
dan harus spesifik yaitu
bisa membedakan infeksi
atau non infeksi, dapat
diukur secara cepat dan
mudah serta mempunyai
34

nilai prognostik.
Antaralain :

1.protein fase akut seperti


C-reactive protein (CRP)
atau prokalsitonin (PCT),
2.sitokin seperti IL-6, IL-
8, IL-10

3. kadar endotoksin,
Kesimpulan: Aorta elongasi dan
4. gelombang fisik aPTT.
kalsifikasi. Proses Spesifik lama aktif
Kultur harus dilakukan dengan hemidiafragma kiri letak
sebelum pemberian tinggi ec penarikan DD/ parese nervus
antibiotik awal. prenikus kiri
Setidaknya 2 set kultur
darah (aerob dan
anaerob) diambil.

Pemeriksaan 1,3 beta-D-


glucan, antibodi mannan
dan anti-mannan (jika
tersedia) untuk dugaan
infeksi invasif jamur
candida.

Pemeriksaan radiologi
dilakukan untuk
mengkonfirmasi
kemungkinan sumber
infeksi.

PENATALAKSANAAN Tatalaksana di IGD


35

1. Resusitasi awal  Bed rest head up 300


2. Terapi Antibiotik
 Diet SV via NGT
3. Kontrol sumber infeksi
4. Terapi cairan  IVFD Nacl 0,9% 20gtt/i
5. Vasopresor
 Inj Ceftriaxon 1gr/12jam/IV
6. Inotropik
7. Kortikosteroid  Paracetamol 3x500mg
8. Pemberian produk darah
Tatalaksana di ICU
9. Pemberian
immunoglobulin  Bed Rest + Head up 300
10. Ventilasi mekanik pada
 Diet SV 1800 kkal+60g protein
ARDS akibat sepsis
11. Sedasi, analgesia dan  IVFD RL 20gtt/i
pelumpuh otot pada
sepsis  Inj Dobutamin 1 amp/50cc

12. Kontrol kadar gula darah  Inj MO 10mg+ Miloz 15mg/ 50c Nacl-
13. Renal replacement 2cc/jam
therapy (RRT) pada
sepsis  Inj Lovenox 2 amp/24jam

14. Profilaksis DVT


 Cefepime 2gr/8j/IV
15. Profilaksis stress ulcer
16. Pengelolaan nutrisi  Ciprofloxacin 400mg/12jam aff

17. Manajemen Jalan Nafas


 Omeperazole 40mg/12jam
18. Intubasi Endotrakea
 Paracetamol drips 1gr/8jam

 Amikasin1gr/24 jam

 Nebul Venitolin /8jam

 Nebul fluoxetide /8jam


36

BAB V

KESIMPULAN

Pasien laki-laki TN AWL 87 tahun datang ke IGD


diagnose dengan penurunan kesadaran ec sepsis ec pneumonia,
dan ditatalakasana awal dengan pemberian terapi cairan IVFD
RL 20gtt/I, Inj Dobutamin 1 amp/50cc ,Inj MO 10mg+ Miloz
15mg/ 50c Nacl- 2cc/jam,Inj Lovenox 2 amp/24jam, Cefepime
2gr/8j/IV, Omeperazole 40mg/12jam,Paracetamol drips
1gr/8jam,Amikasin1gr/24 jam,Nebul Venitolin /8jam dan Nebul
fluoxetide /8jam. Saat ini pasien masih mendapatkan perawatan
di ICU dewasa.
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Patrick J.N. Infectious Disease and Bioterrorism dalam Anaesthesia and


Uncommon Disease. Philadhelpia; Saunder Elsevier 2006; 5th ed; 377-410
2. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign
Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Crit Care
Med 2004; 32:858-873.
3. Singer M, Deutschman CS, et al: The third international consensus
definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA 2016; 315(8):
801-10.
4. Churpek MM, Zadravec FJ et al: Incidence and prognostic value of the
systemic inflammatory response syndrome and organ dysfunction in ward
patients.
5. Kaukonen KM, Bailey M et al: Systemic inflammatory response syndrome
criteria in defining severe sepsis.
6. Bone RC, Balk RA et al: American college of chest physicians/society of
critical care medicine consensus conference: definitions for sepsis and
organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis.
7. CDC National Center of Hospital Statistics tahun 2011.
8. Angus DC, linde-Zwirble WT, Lidicker J, et al: Epidemiology of severe
sepsis in the United States: Analysis of incidence, outcome, and associated
costs of care. Crit Care Med 2001;29: 1303-10
9. Harrison DA, Welch CA, Eddleston JM: The epidemiology of severe
sepsis in England, Wales, and Northern Ireland, 1996 to 2004: secondary
analysis of a high quality clinical database, the ICNARC Case Mix
Programme Database. Crit care 2006: 10(2); R42.
10. Rivers E, Nguyen B, et al: Early goal directed therapy in the treatment of
severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 2001; 345: 1368-77.
11. Kula R, Chylek V et al: Clinical study: A response to infection in patients
with severe sepsis – do we need a “Stage-Directed Therapy concept?”.
Brastilava Lek Listy, 2009; 110: 459-64.
12. Angus DC, van der Poll T: Severe sepsis and septic shock. N Engl J Med.
2013; 369: 840-51
13. Delinger RP, Levy MM, Rhodes A et al: Surviving sepsis campaign:
International guidelines management of severe sepsis and septic shock:
2012. Crit Care Med. 2013: 41; 580-637.
xxxviii

Anda mungkin juga menyukai