Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ANESTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2020


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

PENANDA (BIOMARKER) SEPSIS

DISUSUN OLEH:
Resky Karnita Dewi
111 2019 2067

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Haizah Nurdin, M.Kes, Sp.An-KIC

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : RESKY KARNITA DEWI

NIM : 111 2019 2067

Judul : PENANDA (BIOMARKER) SEPSIS

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian

Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Agustus 2020

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

dr. Haizah Nurdin, M.Kes, Sp.An-KIC

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini

dengan judul “Penanda (Biomarker) Sepsis” sebagai salah satu syarat

menyelesaikan tugas kepanitraan klinik Bagian Anestesi di Fakultas

Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan

memberikan secara tulus dan ikhlas kepada yang terhormat dr. Haizah

Nurdin, M.Kes, Sp.An-KIC selaku pembimbing selama berada di Bagian

Anestesi.

Sebagai manusia biasa penulis menyadari sepenuhnya akan

keterbatasan baik dalam penguasaan ilmu, sehingga referat ini masih jauh

dari kesempurnaan. Untuk saran dan kritik yang sifatnya membangun dari

berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan referat ini.

Akhirnya penulis berharap sehingga referat ini memberikan manfaat bagi

pembaca.

Makassar, Agustus 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................ i

LAMBAR PENGESAHAN..................................................................... ii

KATA PENGANTAR............................................................................. iii

DAFTAR ISI........................................................................................... iV

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................. 2

2.1 Definisi............................................................................................ 2

2.2 Etiologi............................................................................................ 4

2.3 Kriteria Diagnosis.......................................................................... 5

2.4 Biomarker Sepsis.......................................................................... 7

BAB III KESIMPULAN...................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 18

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara khusus, sepsis didefinisikan sebagai respon inflamasi

sistemik terhadap infeksi. Namun sepsis muncul sebagai respons

terhadap banyak patogen yang berbeda, dan septikemia bukanlah kondisi

yang diperlukan atau istilah yang bermanfaat. 1

Sepsis merupakan suatu kondisi sindroma klinik yang terjadi oleh

karena respon tubuh yang berlebihan terhadap suatu infeksi yang meliputi

proses inflamasi, autoimun, dan koagulasi. Komplikasi Sepsis dapat

menimbulkan syok septik, kegagalan organ, dan kematian. 2

Sepsis menyumbang angka kematian yang cukup tinggi dan

termasuk dalam 3 besar penyakit yang mengakibatkan kematian. Di

negara maju seperti Amerika Serikat, CDC (Centre for Disease Control

and Prevention) menyatakan bahwa 1,5 juta orang Amerika terkena

Sepsis dalam setahun. Sekitar 250.000 orang meninggal karena Sepsis

dan 1 dari 3 kasus kematian di rumah sakit diakibatkan oleh Sepsis. 2

Angka kematian pada sepsis atau syok septik yang cukup tinggi

merupakan hal yang multifaktorial. Angka kematian ini dipengaruhi oleh

tingkat keparahan infeksi utama, usia, dan juga kemampuan tenaga medis

untuk mendeteksi sedari dini gejala maupun tanda dari sepsis. 2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

1. SEPSIS 1

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien

yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut: 3

 Suhu >38oC atau <36oC

 Denyut jantung > 90 denyut/menit

 respirasi >20/menit atau PaCO2 <32 mmHg

 Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 10% sel imatur

(band).

Sepsis adalah SIRS ditambah adanya tempat infeksi yang diketahui

(ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat

tersebut). Biakan darah tidak harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan

syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus

terdapat bakterimia.3

Sepsis berat adalah sepsis yang bekaitan dengan disfungsi organ,

kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi

tidak terpatas) pada:3

 Asidosis laktat

 Oligouria

 Atau perubahan akut pada status mental.

2
Syok septik merupakan keadann dimana terjadi penurunan tekanan

darah (tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan

tekanan darah sistolik lebih dari 40 mmHg) disertai tanda kegagalan

sirkulasi meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau

memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan

perfusi organ. Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang

memerlukan penanganan segera. Oleh karena itu strategi

penatalaksanaan syok septik yang tepat dan optimal perlu diketahui untuk

mendapatkan hasil yang diharapkan.4

2. SEPSIS 3

Sepsis adalah diagnosis berdasarkan kriteria klinis. Didefinisikan

sebagai 'disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh

respon host yang tidak teregulasi terhadap infeksi' identifikasi tujuannya

didasarkan pada perubahan dalam skor Sequential Organ Failure

Assessment (SOFA) dari dua poin atau lebih untuk pasien dalam

perawatan ICU dan skor quick SOFA (qSOFA) dua atau lebih untuk

pasien di luar perawatan ICU, ketika ada dugaan infeksi.5

Kriteria qSOFA secara spesifik berhubungan dengan manifestasi

disfungsi organ yang paling mungkin terjadi di setiap sistem organ utama:

neurologis, kardiovaskular, dan pernapasan. Menyingkirkan penekanan

pada inflamasi membebaskan pembahasan dan penelitian untuk mencari

klarifikasi tentang patobiologi sepsis yang esensial. Sejak diterbitkan pada

tahun 2016, kriteria ini telah direplikasi di departemen emergensi, dan di

3
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, tetapi tetap

menjadi kontroversi.5

Syok septik pada Sepsis-3 meliputi disfungsi sirkulasi, berdasarkan

tekanan mean arterial pressure (MAP) dari 65 mmHg atau

dibutuhkankannya terapi vasopresor tanpa hipovolemia, dan peningkatan

kadar laktat serum (> 2 mmol/l). Para penulis menggambarkan syok septik

sebagai sub subset sepsis di mana kelainan metabolisme sirkulasi dan

seluler yang mendasar cukup mendalam untuk secara substansial

meningkatkan mortalitas.5

2.2 Etiologi

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan

presentase 60 sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk

dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan

mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah

lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks

merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif.

LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita

yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap

reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Streptococci

dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan

angka kejadian 20 sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur

oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum

malariae) dilaporkandapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang. 3

4
2.3 Kriteria Diagnosis

a. Sepsis

Adapun kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui dengan

menggunakan skor Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure

Assessment (SOFA). Skor SOFA dirasa lebih mudah untuk dimengerti

dan sederhana. Apabila pasien yang mengalami infeksi didapatkan Skor

SOFA ≥ 2 maka sudah tegak diagnosis sepsis. 16

Skor
Sistem
0 1 2 3 4
Respirasi ≥400 <400 <300 < 200 < 100
PaO2/FIO2, dengan dengan
mmHg (kPa) alat bantu alat bantu
nafas nafas
Koagulasi ≥150 <150 <100 < 50 < 20
Platelet x103/
μl
Liver <1,2 <1,2- <2,0-5,9 < 6,0-11,9 < 12,0
Bilirubin 1,9
mg/dl (μmol/L)
Kardiovaskule MAP <70 Dopamin Dopamin Doapamin
r ≥70 mmH <5 atau 5,1-15 atau >15 atau
mmH g dobutamin epinefrin atau
g (dosis ≤0,1 atau epinefrin
berapapun norepinefri >0,1 atau
) n ≤0,1 noepinefri
n >0,1
Sistem Saraf 15 13-14 10-12 6-9 <6
Pusat
Skor Glasgow
Coma Scale
Renal <1,2 1,2- 2,0-3,4 3,5-4,9 >5,0
Kreatinin mg/dL 1,9
(μmol/L) <500 <20
Urin output
ml/d
Tabel 1. Skor SOFA.

5
Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining

kemungkinan terjadinya sepsis. Skrining ini bisa dilakukan dimana saja

dan kapan saja. Metodenya dengan quick SOFA (qSOFA). Skoring ini

dirasa kuat dan lebih sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan

laboratorium.15

Laju Pernapasan ≥ 22 kali/menit

Perubahan kesadaran (Skor Glasgow Coma Scale ≤13)

Tekanan darah sistolik ≤100mmHg


Tabel 2. Skor qSOFA.

Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria.

Skor ini dapat digunakan dengan cepat oleh klinisi untuk mengetahui

adanya disfungsi organ, untuk menginisiasi terapi yang tepat, dan sebagai

bahan pertimbangan untuk merujuk ke tempat perawatan kritis atau

meningkatkan pengawasan. Jika qSOFA positif selanjutnya akan

dilakukan skoring dengan metode SOFA. 15

b. Syok Septik

Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan adanya

klinis sepsis dengan hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor

untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar laktat serum >2

mmol/L (18 mg/dL) meskipun volume resusitasi memadai. 15

6
Gambar 1. Algoritma Skrining dengan Kecurigaan Sepsis dan Syok Septik.

2.4 Biomarker Sepsis

Biomarker merupakan protein yang dijumpai dalam darah atau

cairan tubuh, dimana pengukuran dapat menginformasikan tentang

penyakit dan dapat digunakan untuk manajemen pengambilan

keputusan.6,7

Dalam beberapa publikasi biomarker dapat digunakan sebagai:

diagnostik, pemantauan (prognostik), stratifikasi dan biomarker pengganti.

Biomarker sebagai diagnostik dapat menetapkan ada tidaknya suatu

7
penyakit atau kondisi klinis. Biomarker sebagai prognostik dapat

memantau perkembangan dari suatu penyakit, intervensi pengobatan dan

keberhasilan dari suatu pengobatan. Stratifikasi biomarker untuk

mengelompokkan suatu derajat keparahan yang bertujuan untuk

intervensi pengobatan. Biomarker pengganti untuk memprediksi hasil

akhir dari suatu penyakit seperti kematian atau komplikasi penyakit yang

serius.6,8

Untuk sepsis, biomarker saat ini seperti protein C-reaktif dan

prokalsitonin umumnya cukup sensitif tetapi tidak terlalu spesifik untuk

secara akurat mendiagnosis infeksi sebagai penyebab inflamasi, atau

untuk mengidentifikasi pasien yang terinfeksi / meradang yang akan

berlanjut ke kegagalan organ. Tidak mungkin satu biomarker akan

menghasilkan semua informasi yang diperlukan sehingga perlu mengukur

beberapa penanda akan lebih baik.17

Biomarker diagnostik berguna untuk konfirmasi atau

menghilangkan kecurigaan terhadap infeksi dan penting dalam

manajemen medis pasien. Apabila terbukti tidak ada infeksi dan SIRS

disebabkan oleh faktor noninfeksi dan proses inflamasi maka penggunaan

antibiotika dapat dihindari. Apabila terjadi infeksi harus dikonfirmasi dan

sangat disarankan diawal penyakit dengan menggunakan analis

biomarker sehingga regimen antibiotik selektif dapat dipilih untuk

mengidentifikasi dan menghilangkan sumber infeksi. 6,8,9

8
1. C-Reaktive Protein (CRP)

Penggunaan CRP sebagai biomarker sepsis pertama kali

diidentifikasi pada tahun 1930, yaitu saat Tillet dan Francis menemukan

bahwa pada serum pasien pneumonia terdapat protein yang dapat

mempresipitasikan fraksi polisakarida (fraksi C) dari Streptococcus

pneumoniae. Protein ini cepat menurun saat pasien pulih dan tidak

ditemukan pada populasi sehat.18

C-reactive protein (CRP) adalah protein fase akut yang dilepaskan

oleh sel hati setelah distimulasi oleh mediator inflamasi seperti IL-6. C-

reactive protein berikatan dengan polisakarida dan peptidopolisakarida

yang terdapat pada bakteri, fungi, dan parasit dengan adanya kalsium.

Selain itu, CRP dapat juga terikat pada komponen inti sel pejamu yang

apoptosis atau nekrosis seperti ribonukleoprotein, sehingga berperan

pada pembersihan jaringan.18

CRP merupakan reaktan fase akut yang ditemukan dalam darah

yang diproduksi oleh hepatosit, dalam pengaturan infeksi atau pada

jaringan yang cidera. CRP merupakan salah satu protein yang kadarnya

dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas

nonspesifik.6,9,10

Konsentrasi CRP serum pada populasi dewasa normal rata-rata

ialah 0,8 mg/L (kisaran 0,3-1,7 mg/L) dan <10 mg/L pada 99% sampel

normal. Peningkatan konsentrasi mulai terjadi 4-6 jam setelah stimulus,

9
meningkat dua kali lipat setiap 8 jam, dan mencapai puncaknya pada 36-

50 jam. Dengan stimulus yang sangat intens, konsentrasi CRP dapat

mencapai 500 mg/L atau lebih dari 1000 kali lipat nilai rujukan. Setelah

stimulus hilang, CRP menurun dengan cepat karena memiliki waktu paruh

19 jam. Di satu sisi, CRP bisa tetap tinggi bahkan untuk waktu yang lama

jika penyebab yang mendasari terus berlanjut. 18

Peningkatan CRP serum dapat ditemukan pada infeksi. Infeksi

bakteri Gram positif dan negatif akut dan sistemik, serta infeksi jamur

sistemik menyebabkan CRP sangat meningkat, bahkan pada pasien yang

imunodefisiensi. Konsentrasi CRP cenderung lebih rendah pada infeksi

virus akut, meskipun keadaan ini tidak mutlak, karena infeksi dengan

adenovirus, campak, dan influenza kadang-kadang dikaitkan dengan CRP

yang tinggi. Data CRP pada infeksi parasit masih terbatas, tetapi

beberapa penyakit akibat protozoa parasit seperti malaria,

pneumocystosis dan toksoplasmosis dapat juga menyebabkan

peningkatan CRP. Pada infeksi kronis seperti tuberkulosis dan lepra, CRP

abnormal namun biasanya hanya sedikit meningkat. 18

Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkan viskositas plasma

sehingga laju endap darah juga akan meningkat. CRP yang tetap tinggi

menunjukkan infeksi yang persisten.10,11

Sensitivitas CRP sebagai biomarker sepsis adalah 68-92% dan

spesifisitas 40- 67%. Spesifisitas CRP rendah karena meningkat juga

10
pada keadaan inflamasi yang tidak disebabkan oleh infeksi seperti pasca

operasi, luka bakar, infark miokard, tumor ganas, dan penyakit rematik.

Keterbatasan ini menyebabkan CRP memiliki peran diagnostik yang

rendah. CRP lebih bermanfaat untuk evaluasi sepsis dan prognosis.

Konsentrasi CRP telah terbukti berkorelasi dengan tingkat keparahan

infeksi. Penurunan cepat konsentrasi CRP dilaporkan berkorelasi dengan

respon yang baik terhadap terapi awal antimikroba pada pasien sepsis,

sehingga CRP menjadi biomarker yang berguna untuk monitoring respon

pengobatan. Sebaliknya, peningkatan CRP pada sepsis dihubungkan

dengan peningkatan risiko kegagalan organ dan/atau kematian. 18

CRP tidak dapat membedakan antara infeksi yang disebabkan oleh

virus, bakteri dan inflamasi non infeksi, oleh karena nilai spesifitas yang

kurang, untuk membantu menegakkan diagnosa sepsis maka CRP

dikombinasi dengan dengan biomarker lain.6

2. Prokalsitonin (PCT)

Prokalsitonin adalah protein prekursor hormon kalsitonin

(prohormon kalsitonin), tetapi memiliki fungsi biologik dan cara diinduksi

yang berbeda dibanding kalsitonin. Prokalsitonin terdiri atas 116 asam

amino dengan berat molekul 14,5 kDa dan dikode oleh gen Calc-1 pada

lengan pendek kromosom 11. Prokalsitonin terdiri atas tiga komponen,

yaitu peptida yang terletak pada ujung amino terminal (aminoPCT),

11
peptida yang terletak di tengah dan merupakan kalsitonin imatur, dan

peptida ujung karboksi terminal disebut juga katakalsin. 18

Pada keadaan fisiologik, transkripsi gen Calc-1 terbatas pada sel

neuroendokrin di kelenjar tiroid dan paru sehingga kadar PCT serum pada

individu sehat sangat rendah. Pada keadaan infeksi terutama sepsis,

ekspresi gen Calc-1 ditingkatkan dan PCT dilepaskan oleh hampir semua

jaringan tubuh. Pada infeksi bakteri, kombinasi produk mikroba dan sitokin

proinflamasi IL-1β, TNF-α, dan IL-6 menyebabkan peningkatan ekspresi

PCT. Menariknya, induksi PCT dapat dilemahkan oleh IFN-γ yang

berperan penting pada pertahanan awal pejamu terhadap virus, akibatnya

konsentrasi PCT serum dapat digunakan untuk membedakan infeksi

bakteri dan infeksi virus.18

Penelitian terbaru menyarankan pentingnya monitoring konsentrasi

prokalsitonin plasma dalam mendiagnosis sepsis. Konsentrasi

prokalsitonin plasma penting untuk membedakan penyebab sepsis yang

bukan disebabkan oleh non infeksi dan berhubungan dengan tingkat

keparahan dari infeksi.13

Nilai optimal prokalsitonin belum banyak dipublikasikan dan dapat

berbeda secara signifikan tergantung populasi yang diteliti. Nilai

prokalsitonin yang tinggi dapat dijumpai pada keadaan post operasi

jantung dan dada, sedangkan pasien dengan infeksi saluran napas bawah

mempunyai nilai yang rendah.14

12
Konsentrasi prokalsitonin muncul cepat dalam 2 jam setelah

rangsangan, puncaknya setelah 12 jam sampai 48 jam dan secara

perlahan menurun dalam 48 jam. Pada keadaan inflamasi akut akibat

bakteri konsentrasi prokalsitonin > 1 ng/ml. Pada kasus akibat infeksi virus

konsentrasi Prokalsitonin > 0,05 ng/ml tetapi < 1 ng/ml. Konsentrasi

prokalsitonin dapat menurun menjadi normal bila ada respon terapi

antibiotika lebih cepat dibandingkan dengan CRP. 13

Konsentrasi PCT >0,5 ng/mL diinterpretasikan sebagai abnormal

dan dianggap sebagai tersangka sindrom sepsis. Konsentrasi 0,5-2 ng/mL

merupakan “daerah abu-abu” dan dianjurkan untuk mengulang

pemeriksaan setelah 6-24 jam sampai diagnosis spesifik teridentifikasi.

Konsentrasi >2 ng/mL diduga kuat adanya proses infeksi dengan dampak

sistemik. Konsentrasi >10 ng/mL sering ditemukan pada pasien dengan

sepsis berat atau syok septic.18

Terdapat keterbatasan pemeriksaan PCT, yaitu peningkatan PCT

dapat terjadi tanpa adanya infeksi bakteri, yaitu pada trauma berat,

operasi, pasca syok kardiak, stres partus pada neonatus, syok suhu

panas, acute graft-versus-host disease, imunoterapi (seperti transfusi

granulosit, antibodi anti-CD3, terapi alemtezumab, IL- 2, atau TNF-α),

penyakit autoimun (seperti penyakit Kawasaki dan beberapa tipe

vaskulitis), dan sindrom paraneoplastik. 18

13
Pengukuran serial prokalsitonin sebagai monitoring biomarker

untuk memulai dan membatasi penggunaan antibiotik, hal ini bertujuan

untuk mengurangi resistensi terhadap pemakaian antibiotika dan efek

samping nefrotoksik dan reaksi alergi. Nilai prokalsitonin dapat digunakan

memutuskan untuk memulai terapi antibiotik atau tidak, memutuskan

untuk menggantikan terapi antibiotika jika konsentrasi prokalsitonin masih

terus meningkat secara persisten dan memutuskan untuk menghentikan

pengobatan antibiotika. 6,15

Prokalsitonin bukan merupakan baku emas untuk mendiagnosis

sepsis dan masih terdapat keterbatasan. Konsentrasi prokalsitonin yang

rendah akan memperlihatkan hasil yang palsu, jika dilakukan pemeriksaan

yang terlalu dini (sebelum 4-6 jam) setelah timbulnya sakit. Konsentrasi

yang tinggi dapat terjadi setelah pembedahan, trauma, luka bakar, syok

dan SIRS berat non infeksius lainnya. Pemeriksaan serial sangat penting

pada kasus kasus ini.13

Pemeriksaan PCT berupa tes kuantitatif dan kualitatif,

menggunakan teknik imunologi seperti enzyme immunoassay atau

immunofluorescence. Tes yang tersedia saat ini umumnya menggunakan

antibodi anti-kalsitonin atau antibodi anti-katakalsin. Sampel yang

digunakan bisa berupa serum atau plasma (EDTA atau heparin). Karena

PCT merupakan protein yang stabil di dalam darah, penyimpanan pada

suhu ruangan selama 24 jam konsentrasi PCT masih dapat dipertahankan

14
>80% dan bila disimpan pada suhu 4◦C konsentrasi dapat dipertahankan

>90%.18

3. Laktat

Sepsis dapat berkembang menjadi syok septik yang sering

dikaitkan dengan disfungsi peredaran darah, hipotensi arteri, dan

penurunan aliran oksigen dan nutrisi ke jaringan perifer. Konsentrasi laktat

menjadi biomarker yang berguna untuk disfungsi organ dan juga berfungsi

sebagai titik akhir untuk resusitasi pada pasien dengan sepsis dan syok

septik. Saat konsensus internasional Sepsis-3, konsentrasi laktat

dimasukkan dalam mendefinisikan pasien dengan syok septik. 18

Meskipun demikian, masih tetap terdapat kontroversi terkait

keterbatasan menggunakan peningkatan konsentrasi laktat sebagai

biomarker diagnostik dan prognostik. Konsentrasi laktat yang tinggi dapat

ditemukan juga dalam berbagai kondisi, seperti serangan jantung, trauma,

kejang, atau aktivitas otot yang berlebihan. Karena itu, peningkatan

konsentrasi laktat saja tidak dianggap spesifik, dan harus ditambah

dengan gambaran klinis secara keseluruhan. Selain itu, laktat mungkin

juga tidak terlalu sensitif. Pada umumnya, konsentrasi laktat yang normal

sering diartikan menunjukkan prognosis yang baik bagi pasien sepsis. 18

Biomarker ini mempunyai relevansi spesifik untuk membedakan

sepsis dan syok septik dengan memprediksi tingkat laktat serum. Selama

15
beberapa dekade serum laktat telah diakui dan dimanfaatkan sebagai

indikator hipoksia jaringan, yang mempunyai relevansi langsung pada

patofisiologi utama yang membedakan antara sepsis dan septic syok. 6,16

Penelitian terbanyak tentang laktat dilakukan pada orang dewasa.

Laktat serum akan meningkat pada pasien dengan sepsis, peningkatan

laktat menunjukkan peningkatan mortalitas. Pasien yang menunjukkan

penurunan laktat dengan pengobatan mempunyai hasil akhir yang lebih

baik dibandingkan dengan laktat yang tetap tinggi. Laktat dapat digunakan

sebagai diagnostik, monitoring dan prognostik biomarker. 16

Pengukuran laktat serial berguna dalam monitoring efektivitas

pengobatan pasien sepsis dan syok septik terhadap berbagai intervensi

terapeutik. Pemantauan laktat melalui pengukuran serial telah terbukti

menjadi prediktor yang berguna untuk morbiditas dan mortalitas. Pasien

dengan penurunan konsentrasi laktat yang awalnya tinggi dalam waktu 24

jam, secara signifikan memiliki hasil lebih baik dibandingkan pasien

dengan laktat yang tetap tinggi.18

16
BAB III

KESIMPULAN

Sepsis dan septik syok merupakan suatu sindroma klinis yang

heterogen yang dapat sulit bagi seorang dokter untuk mendiagnosa,

memonitor dan memprediksi hasil akhir. Biomarker membantu dalam

mendiagnosa sepsis, dapat membedakan penyebab infeksi dari penyebab

proses inflamasi lainnya, memantau respon terapi dan memprediksi hasil

akhir.

Prokalsitonin lebih baik dari pada CRP dalam membedakan infeksi

dari inflamasi dan dapat memberikan monitoring dan prognostik.

Prokalsitonin bukan merupakan biomarker yang sempurna untuk

mendiagnosa sepsis namun prokalsitonin merupakan biomarker yang

paling baik saat ini. Laktat dapat membantu dalam mengindentifikasi syok

septik dan menilai respon terhadap terapi.

Penggunaan kombinasi biomarker menghasilkan penyaring atau

test diagnostik yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik

dibandingkan dengan pemeriksaan biomarker tunggal.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Seymour CW, Angus DC. Sepsis and Septic Shock. In: Kasper DL,
Faucy AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalso J, editors.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20th ed. New York: McGraw-
Hill; 2018. p. 2044–52.
2. Putu Herdita, Juslaksmi D. Syok septik disertai hipoksia hepatik pada
RSUD Klungkung, Bali-Indonesia: laporan kasus. Intisari medis. 2018.;
9(3). 47-50
3. H. AG. Sepsis. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 4108–13.
4. Chen K, Pohar HT. Penatalaksanaan Syok Septik. In: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p.
4125–9.
5. Nunnally ME, Patel A. Sepsis - What’s new in 2019? Wolters Kluwer
Heal [Internet]. 2019;32:1–6. Available from: www.co-
anesthesiology.com

6. Standage SW, Wong HR. Biomarkers for pediatric sepsis and


septic shock. Expert Rev. Anti infect. Ther. 2011; 9:71-79
7. Corey E, Ventetuolo MD, Levy MM. Biomarkers: diagnosis and
risk assessment in sepsis.Clin Chest Med. 2008;29:591-603
8. Pierrakos C, Vincent JL. Sepsis Biomarker: a review. Crit
Care.2010; 14:1-18
9. Carcillo JA, Planquois JMS, Goldstein B. Early markers of
infection and sepsis in newborns and children. Adv Sepsis. 2006;
5(4):118-25
10. Povoa P. C-reaktive protein: a valuable marker of sepsis.
Intensive Care Med. 2002; 28:235-43

18
11. Bratawidjaja KG. Immunologi dasar. Edisi tujuh. FKUI, 2006.
h.121- 130

12. Rey C, Arcos ML, Concha A. Procalsitonin as diagnostic and


prognostic marker in critically ill children. Pediatr European.
2010;4:62-5

13. Becker KL, Nylen ES, White JC, Mueller B, Snider Jr RH.
Procalcitonin and the calcitonin gene family af peptides in
inflammation, infection, and sepsis. JCEM. 2004; 89:1512-25
14. Jensen Ju, Heslet L, Jensen TH. Procalcitonin Increase in early
identification of critically ill patients at high risk mortality. Crit
Care Med. 2006; 34:2596-2602
15. Pangalila FJ V, Mansjoer A. Penatalaksanaan Sepsis dan Syok
Septik: Optimalisasi FASTHUGSBID. 1st ed. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia; 2017. 1–13 p.
16. Mervyn Singer. Biomarkers for sepsis – past, present, future. Qatar
Medical Journal. 2019 (2): 8
17. Diana S. Purwanto, Dalima A.W.A. Pemeriksaan Laboratorium sebagai
Indikator Sepsis dan Syok Sepsis. Jurnal Biomedik. Volume 11. No. 1.
2019. Hal. 1-9

19

Anda mungkin juga menyukai