Anda di halaman 1dari 32

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218070 / Desember 2019


**Pembimbing

SEPSIS

Rachilla Arandita Saraswati, S. Ked*

dr. Samsirun Halim, Sp.PD-KIC, FINASIM**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
LEMBAR PENGESAHAN

SEPSIS

Oleh :

Rachilla Arandita Saraswati

G1A218070

Sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik senior


Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Jambi, Desember 2019


Pembimbing

dr. Samsirun Halim, Sp.PD, KIC, FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


atasberkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas CLINICAL SCIENCE
SESSION (CSS) pada Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi yang berjudul
“SEPSIS”

Tugas ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam mengenai
teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Jambi dan melihat penerapannya
secara langsung di lapangan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.


Samsirun halim,Sp.PD-KIC.FINASIM yang telah meluangkan waktu dan
pikirannya untuk membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan ini.

Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan,


sehingga diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
yang membacanya.Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Jambi, Desember 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i

Halaman Pengesahan........................................................................................ ii

Kata Pengantar............................................................................................. …. iii

Daftar Isi..................................................................................................... …… iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................,................. 2

2.1 Definisi................................................................................................ 2

2.2 Epidemiologi........................................................................................ 3

2.3 Etiologi........................................................................................... ….. 4

2.4 Patofisiologi.................................................................................... …. 5

2.5 Manifestasi Klinik............................................................................. .. 10

2.6 Diagnosa............................................................................................... 12

2.7 Pemeriksaan Penunjang........................................................................ 14

2.8 Penatalaksanaan.............................................................................. …. 15

2.9 Komplikasi........................................................................................... 25

2.10 Prognosis............................................................................................ 26

BAB III KESIMPULAN................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 28

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis merupakan suatu sindrom fisiologis, patologis, dan kelainan biokimia


yang disebabkan oleh infeksi. Definisi sepsis telah berubah beberapa kali sejak
1992. Society of Critical Care Medicine (SCCM) dan European Society of
Intensive Care Medicine ESICM merevisi definisi sepsis dan syok septik pada
2016 dikenal dengan The Third International Consensus Definitions for Sepsis
and Septic Shock. Definisi terbaru (Sepsis-3) yaitu suatu disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap
infeksi. Sepsis didefinisikan sebagai pasien yang terinfeksi dengan peningkatan
≥2 poin Sequential Organ Failure (SOFA) atau dengan kriteria simpel
menggunakan qSOFA, dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria. Dalam
definisi terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah dihilangkan. Syok sepsis adalah
kondisi lanjut dari sepsis dimana abnormalitas metabolisme seluler dan
sirkulatorik yang menyertai pasien cukup berat sehingga dapat meningkatkan
mortalitas. Syok septik didefinisikan sebagai hipotensi refrakter yang
membutuhkan vasopresor dengan hiperlaktemia bersamaan (> 2 mmol / L)
meskipun resusitasi cairan adekuat. 1, 2
Sepsis adalah kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh infeksi
dan merupakan permasalahan kesehatan global. Perkiraan kejadian sepsis tahunan
di Amerika Serikat adalah 751.000 kasus (3 kasus/1.000 populasi) dan jumlah
kematian yang diperkirakan mencapai 215.000. Studi epidemiologi skala besar
baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat kematian sepsis telah menurun tetapi
insidennya terus meningkat. Namun, insiden sepsis yang sebenarnya cenderung
diabaikan.2
Pada Mei 2017, World Health Assembly (WHA) dan World Health
Organization (WHO) menjadikan sepsis sebagai prioritas kesehatan global dan
mengadopsi resolusi yang mendesak 194 Negara Anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa PBB untuk meningkatkan pencegahan, diagnosis, dan pengelolaan sepsis.
Dengan demikian, untuk meningkatkan hasil pengobatan pasien, strategi yang
menggabungkan diagnosa dini dan manajemen sepsis yang tepat waktu di rumah
sakit sedang diimplementasikan.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Definisi terbaru (Sepsis-3) yaitu suatu disfungsi organ yang


mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host
terhadap infeksi. Sepsis didefinisikan sebagai pasien yang terinfeksi dengan
peningkatan ≥2 poin Sequential Organ Failure (SOFA) atau dengan kriteria
simpel menggunakan qSOFA, dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3
kriteria. Dalam definisi terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah dihilangkan,
hal ini bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi
penanganan yang tepat sesegera mungkin. Syok sepsis adalah kondisi lanjut
dari sepsis dimana abnormalitas metabolisme seluler dan sirkulatorik yang
menyertai pasien cukup berat sehingga dapat meningkatkan mortalitas. Syok
septik didefinisikan sebagai hipotensi refrakter yang membutuhkan
vasopresor dengan hiperlaktemia bersamaan (> 2 mmol / L) meskipun
resusitasi cairan adekuat. 1, 2

Definisi Sepsis 1 (1992) Sepsis 2 ( 2011) Sepsis 3 ( 2016 )

Gangguan fungsi organ


Sindrom respons inflamasi Tidak ada
akibat respons tubuh
Sepsis sistemik (SIRS) yang perubahan
terhadap infeksi yang
disebabkan infeksi definisi
mengancam jiwa

Sepsis disertai salah satu


gejala gangguan fungsi Tidak ada
Definisi sepsis berat
Sepsis Berat organ, hipoperfusi, hipotensi, perubahan
dihilangkan
asidosis laktat, oliguria, atau definisi
gangguan status mental akut

Sepsis disertai hipotensi


Sepsis disertai
walaupun telah dilakukan Tidak ada
Renjatan/syok gangguan sirkulasi,
terapi cairan adekuat, sepsis perubahan
sepsis seluler, dan metabolik
dengan terapi obat inotropik definisi
yang mengancam jiwa
atau vasopressor.

Tabel 1. Definisi sepsis 1992-2016

2
Tabel 2. Kriteria Sepsis 1991 – 2011

2.2 Epidemiologi

13 juta orang menderita sepsis tiap tahunnya di dunia, dan sebanyak 4


juta orang diantaranya meninggal.Sepsis merupakan penyebab utama
kematian di ICU dan saat ini insidensinya terus meningkat di negara maju.
Sepsis berat merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat dan
merupakan penyebab kematian tersering pada pasien kritis di non-coronary
Intensive Care Unit (ICU).3

Perkiraan kejadian sepsis tahunan di Amerika Serikat adalah 751.000


kasus (3 kasus/1.000 populasi) dan jumlah kematian yang diperkirakan
mencapai 215.000. Studi epidemiologi skala besar baru-baru ini
menunjukkan bahwa tingkat kematian sepsis telah menurun tetapi
insidennya terus meningkat.4

Pencegahan, diagnosis dini, dan pengelolaan sepsis yang tepat


menjadi sangat penting karena pada 10 dari 1000 pasien yang dirawat di
rumah sakit dan 30% pasien yang mengalami sepsis akan berkembang
menjadi Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS). Angka mortalitas

3
pada pasien dengan sepsis mencapai 20% sepsis dan mencapai 60-80% pada
pasien dengan syok septik.5

2.3 Etiologi

Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri dan dapat disebabkan


oleh virus atau jamur.Organisme gram positif sebagai salah satu penyebab
sepsis frekuensinya meningkat dengan menyumbang 30% - 50% dari total
kasus.6 Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang
dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, danStreptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks
antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.7

Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya


populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat
bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di
antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid
atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan
ventilasi mekanis.Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari
tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-
paru, saluran kemih, perut, dan panggul.8

Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:

a. Infeksi paru-paru (pneumonia)


b. Appendisitis
c. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
e. Infeksi traktus urinarius
f. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus
atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
g. Infeksi pasca operasi
h. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

4
2.4 Patofisiologi Sepsis

Sepsis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara organisme


patogen dan tubuh manusia sebagai pejamu. Tinjauan mengenai sepsis
berhubungan dengan patofisiologi yang kompleks untuk mengilustrasikan
gambaran klinis akan suatu hipotensi yang berat dan aliran darah yang
terbendung akibat terbentuknya mikrotrombus di dalam sistem kapiler. Hal
ini dapat menyebabkan disfungsi organ yang kemudian dapat berkembang
menjadi disfungsi dari beberapa organ dan akhirnya kematian.9

Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon terhadap


sepsis adalah berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang
menginvasi (organisme Gram-positif, organisme Gram-negatif, jamur, atau
virus). Respon pejamu terhadap organisme Gram-negatif dimulai dengan
dikeluarkannya lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam dinding sel
bakteri Gram-negatif, yang dikeluarkan saat proses lisis. Organisme Gram-
positif, jamur dan virus memulai respon pejamu dengan mengeluarkan
eksotoksin dan komponen-komponen antigen seluler.9

Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni dimulai


dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator
inflamasi adalah substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai hasil dari
aktivasi makrofag. Hasilnya adalah aktifnya sistem koagulasi dan sistem
komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi ini terjadi pada endotel dan
menyebabkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombus.Akibat
aktivasi endotelium, terjadi peningkatan jumlah reseptor trombin pada
permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada lesi tersebut. Lesi pada
endotel berhubungan dengan proses fibrinolisis yang terganggu. Hal ini
disebabkan karena berkurangnya jumlah reseptor pada permukaan sel yang
diperlukan untuk sintesis dan pemunculan molekul antitrombotik.9

5
1. Respon Inflamasi
Pada orang dewasa, Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-α)
merupakan mediator sepsis yang terutama di samping beberapa sitokin
dan sel-sel lain yang juga terlibat.Mula-mula, makrofag teraktivasi dan
memproduksi sejajaran mediator-mediator proinflamasi, termasuk TNF-
α, Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, Platelet Activating Factor (PAF),
leukotrien, dan thromboxane-A2. Mediator-mediator proinflamasi ini
mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan
menghasilkan kerusakan endotel.9

Ketika terluka, sel-sel endotel dapat dilalui oleh granulosit dan


unsur-unsur plasma menuju jaringan yang mengalami inflamasi, yang
mana dapat berujung pada kerusakan organ.Inflamasi sel-sel endotelial
menyebabkan vasodilatasi melalui aksi nitric oxide pada pembuluh
darah otot polos. Hipotensi yang berat dihasilkan dari produksi nitric
oxide yang berlebihan, sehingga melepaskan peptida-peptida vasoaktif
seperti bradikinin dan serotonin, dan dengan kerusakan sel endotel ini,
terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial.9

6
Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui
aktivasi netrofil yang berada di paru-paru. Kerusakan kapiler
menyebabkan peningkatan permeabilitas di paru-paru, serta dapat
menyebabkan oedem paru non kardiogenik.9

Sitokin-sitokin proinflamasi mengaktivasi sistem komplemen


baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.Sistem komplemen
merupakan komponenyang esensial pada imunitas bawaan.Namun
demikian, aktivasi yang berlebihan, seperti yang terjadi pada sepsis,
dapat menyebabkan kerusakan endotel.C5a dan produk dari aktivasi
komplemen lainnya mengaktifkan kemotaksis neutrofil, fagositosis
dengan pelepasanenzim lisosom, sintesis leukotrien, meningkatkan
agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi, dan produksi
radikal oksigen yang toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan
pelepasan histamin dari mast cells dan meningkatkan permeabilitas
kapiler yang menyebabkan terkumpulnya cairan di dalam ”rongga ke -
tiga” yang dapat ditemukan pada keadaan sepsis. Pada hewan
percoobaan, C5a menginduksi hipotensi, vasokonstriksi pulmonal,
neutropenia, dan kebocoran vaskular sehubungan dengan kerusakan
kapiler.9

Data-data yang menggambarkan mediator-mediator sepsis dan


antagonisnya pada orang dewasa tidak dapat diaplikasikan seluruhnya
pada anak-anak.Perkembangan mediator-mediator sepsis dan aktivitas
agonis naturalnya pada anak-anak masih belum jelas.Pada neonatus,
didapatkan fungsi sel-B yang terganggu serta perubahan produksi sel-T.
Neonatus, terutama bayi yang lahir prematur memiliki sistem
komplemen yang terganggu baik kuantitas maupun kualitasnya.9

Respon mediator yang utama pada orang dewasa lebih mudah


dipahami dibandingkan dengan pada anak-anak. Perbedaan presentasi
pada neonatus dapat lebih kepada kesatuan kuantitatif (level darah
bervariasi menurut usia) versus perbedaan kualitatif (respon fisiologis
terhadap aktivasi mediator). Orang dewasa dan bayi menampakkan

7
gejala-gejala yang mengindikasikan respon inflamasi sistemik yang
menuju kepada koagulopati, hipotensi, perfusi jaringan perifer serta
organ yang inadekuat, dan akhirnya kegagalan organ serta kematian.9

2. Hubungan Inflamasi dan Koagulasi


Inflamasi dan koagulasi sangat berkaitan erat di dalam terjadinya
sepsis. Mediator-mediator inflamasi membangkitkan ekspresi tissue
factor dan menginisiasi koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik,
sementara pembentukan trombin dari koagulasi yang teraktivasi
menstimulasi aktifnya mediator-mediator proinflamasi.9

Pelepasan TNF-α, IL-1, and IL-6 menghasilkan monosit-monosit


yang aktif untuk mengekspresikan tissue factor (TF) yang kemudian
akan menstimulasi kaskade koagulasi ekstrinsik dan produksi fibrin.
Tissue factor merupakan reseptor dengan afinitas tinggi serta kofaktor
untuk faktor VIIa.Saat TF diekspresikan kepada monosit, dia menempel
pada factor VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang mengubah
factor-faktor X dan IX menjadi bentuk yang aktif. Munculnya tissue
factor secara langsung mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik, dan
melalui feedback loops, mengaktifkan jalur intrinsik secara tidak
langsung. Kolagen dan kallikrein mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik
serta mengubah protrombin menjadi trombin.9

Trombin memiliki efek multiple pada inflamasi dan juga


membantu memelihara keseimbangan antara koagulasi dan
fibrinolisis.Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel-sel endotel,
makrofag, dan monosit, menyebabkan pelepasan TF, PAF, dan TNF-
α.Respon sitokin berkontribusi pada aktivasi platelet dan
agregasi.Trombin menstimulasi chemo attractant bagi neutrofil dan
monosit untuk memfasilitasi kemotaksis. Trombin yang berlebihan
akan menstimulasi terjadinya inflamasi dengan meningkatkan produksi
sel endotel E-selectin dan P-selectin yang menghasilkan perlekatan
neutrofil pada endothelium. Proses ini berperan dalam pembentukan
mikrotrombus. Trombin juga menstimulasi degranulasi mast cell yang

8
melepaskan bioamin yang kemudian akan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler.9

Tubuh memiliki mekanisme inhibisi bawaan serta antikoagulan


endogen untuk memelihara homeostasis. Protein C yang teraktivasi
memiliki reaksi antitrombosis yang dihasilkan dari inaktivasi faktor Va
dan VIIIa. Secara tidak langsung, produksi trombin juga mengurangi
inflamasi dan memperbaikiaktifitas fibrinolisis.Protein C yang
teraktivasi juga menurunkan ekspresi TF.Tissue Factor Pathway
Inhibitor (TFPI) diproduksi oleh sel-sel endotel dan TF yang tidak aktif.
TFPI juga dapat menginhibisi faktor-X secara langsung.Seluruh
mekanisme-mekanisme ini terganggu pada keadaan sepsis. TNF-α
menyebabkan terganggunya inhibisi pembentukan trombin: antitrombin
III, protein C, protein S, dan TFPI. Proses ini mengarah kepada generasi
trombin yang tidak teratur.9

Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik,


serta faktor IX pada jalur intrinsik. Aktifasi tiap jalur saling
berhubungan dan memiliki hasil akhir yang sama. Protrombin
memproduksi trombin, dan fibrinogan diubah menjadi fibrin. Bila
proses ini tidak diperiksa oleh antikoagulan natural, trombin akan
menyebabkan koagulasi yang tidak terkontrol yang mengarah kepada
disfungsi organ seperti yang terjadi pada keadaan sepsis berat.9

3. Fibrinolisis yang terganggu

Fibrinolisis merupakan respon homeostasis tubuh untuk


mengaktifkan sistem koagulasi.Pembersihan fibrin penting untuk
penyembuhan luka, angiogenesis, dan rekanalisasi pembuluh
darah.Aktivator fibrinolisis meliputi aktivator plasminogen jaringan sel
endotel tissue plasminogen activator (t-PA) atau urokinase plasminogen
activator (u-PA).Tubuh juga memiliki inhibitor alami terhadap
fibrinolisis, seperti PAI-1 dan Thrombin-Activatable Fibrinolysis
Inhibitor (TAFI).Aktivator serta inhibitor diperlukan untuk memelihara
keseimbangan homeostasis.Sepsis mengganggu respon fibrinolisis yang

9
normal dan membuat tubuh kurang mampu untuk menghilangkan
mikrotrombus.TNF-α mensupresi fibrinolisis dengan meningkatkan
level PAI-1 serta mencegah pembersihan fibrin.Pemecahan fibrin
menghasilkan produk degradasi fibrin (fibrin degradation products)
seperti D-dimer yang sering. Melalui jalan ini, mediator-mediator
proinflamasi (IL-6 dan TNF-α) bekerja secara sinergis untuk
meningkatkan jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan trombosis pada
pembuluh darah berukuran kecil dan sedang., serta potensial terhadap
disfungsi organ.9

Secara klinis, disfungsi organ dapat termanifestasikan sebagai


distress pernafasan, hipotensi, gagal ginjal, dan yang paling berat adalah
progresi ke arah kematian. Kadar trombin yang tinggi yang dihasilkan
dari aktivasi koagulasi menuntun kepada aktifnya TAFI.Meningkatnya
jumlah TAFI merupakan mekanisme penting dalam inhibisi system
fibrinolisis selama sepsis. Protein C endogen yang teraktivasi memiliki
sifat profibrinolitik dengan kemampuannya untuk menginhibisi PAI-1
dan membatasi pembentukan TAFI.9

Pada keadaan sepsis, kerusakan endotelium mengurangi


kemampuan tubuh untuk mengubah protein C menjadi protein C yang
teraktivasi. Sebagai akibatnya, pada keadaan sepsis, kemampuan untuk
memulihkan homeostasis melalui efek profibrinolitik dari protein C
terganggu. Respon koagulasi dan sistem fibrinolisis yang sejenis dapat
dilihat juga pada bayi dengan infeksi meningokokus. Hubungan antara
protein C yang sangat rendah dengan tingginya mortalitas menyokong
hipotesis yang menyebutkan bahwa mekanisme dari penyakit yang
mendasari sepsis secara kualitatis adalah sama, tanpa melihat Kuantitas
atau perbedaan faktor darah berdasarkan usia.9

2.5 Manifestasi Klinis


Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu
demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi
hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik

10
atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta
peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik
hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih
dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran
pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.8
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini
mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia
dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis,
dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti
pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium)
atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan
penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan
usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat
mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang-
kurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan
urinalisis.8

Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut


menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepnuhnya selama perjalanan
tinggaldi unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan
samar-samar pada pemeriksaan.Perubahan status mental seringkali
merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena perubahan status
mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah
terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan
penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan
produksi urine (≤0,5ml/kgBB /jam) merupakan tanda klinis yang lain yang
mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan
seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis.8

11
2.6 Diagnosa
Sepsis
Untuk mendiagnosis sepsis diperlukan anamnesa yang cukup cermat,
pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik. Adapun kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui dengan
menggunakan skor Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment
(SOFA). Skor SOFA dirasa lebih mudah untuk dimengerti dan sederhana.
Apabila pasien yang mengalami infeksi didapatkan Skor SOFA ≥ 2 maka
sudah tegak diagnosis sepsis.10
Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining
kemungkinan terjadinya sepsis. Skrining ini bisa dilakukan dimana saja dan
kapan saja. Metodenya dengan quick SOFA (qSOFA). Skoring ini dirasa
kuat dan lebih sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium.10
Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria di
atas. Skor ini dapat digunakan dengan cepat oleh klinisi untuk mengetahui
adanya disfungsi organ, untuk menginisiasi terapi yang tepat, dan sebagai
bahan pertimbangan untuk merujuk ke tempat perawatan kritis atau
meningkatkan pengawasan. Jika qSOFA positif selanjutnya akan dilakukan
skoring dengan metode SOFA.10
Saat ini sepsis diidentifikasikan sebagai peningkatan minimal 2 poin
skore penilaian Sepsis-related Organ Failure Assesment (SOFA) pada
pasien dengan terduga infeksi. Skor quick SOFA (qSOFA), merupakan
pengganti untuk penilaian menggunakan SOFA yang dimana semua
komponen SOFA tidak secara rutin diukur.10
Sistem SOFA ini menggunakan parameter untuk menilai tingkat
disfungsi untuk enam sistem organ, pernapasan, kardiovaskular, ginjal,
koagulasi, neurologis, dan hati, dengan skala 0 (tidak ada disfungsi) hingga
4 untuk setiap organ.10

12
SOFA Score (sequential organ failure score)
SOFA Score 0 1 2 3 4
Respirasi <200 (dengan <100 (dengan
Pa02/FI02, ≥400 400 300 respiratory respiratory
mmHg support) support)
Koagulasi
Platelet ≥150 <150 <100 <50 <20
x103/mm3
Liver
Bilirubin, mg/dL <1,2 1,2-1,9 2,0-5,9 6.0-11.9 >12,0
(mol/L)
Kardiovaskular Dopamin >5 Dopamin >15
Hipotensi MAP Dopamin 5 atau epineprin atau epineprin
MAP <70
≥ 70 atau 0.1 atau >0.1 atau
mmHg
mmHg dobutamin norepineprin norepineprin
0,1* >0,1*
Central nervous
system
15 13-14 10-12 6-9 <6
Glasgow Coma
Score
Renal
Creatinine,
3,5-4,9 >5,0
mg/dL <1,2 1,2-1,9 2,0-3,4
< 500 < 200
Atau urin output
(mL/d)
Tabel 2. SOFA Score (sequential organ failure score).
*Dosis dobutamin dalam ug/kg/menit
FiO2 ; Fraksi Oksigen inspirasi, PO2; tekanan parsial oksigen, MAP; mean arterial pressure

Tabel 3. Kriteria Sepsis9

1. Perubahan status mental/ kesadaran.


Kriteria Quick SOFA
2. Tekanan darah sistolik ≤100 mmHg.
(qSOFA)
3. Laju pernafasan ≥22 x/menit.

1. Kriteria sepsis + hipotensi.

Shock sepsis 2. Tekanan arteri <65mm Hg.

3. Serum laktat >2mmol/L.

13
Syok Septik
Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan adanya klinis
sepsis dengan hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk
mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18
mg/dL) meskipun volume resusitasi memadai.10

Algoritma Skrining dengan Kecurigaan Sepsis dan Syok Septik

Ket : Skor SOFA harus 0, kecuali bila pasien diketahui memiliki riwayat disfungsi organ (akut atau
kronik) sebelum terjadi infeksi

2.7 Pemeriksaan Penunjang7

a. Darah rutin dan apusan darah tepi


b. CRP
c. Faktor koagulasi

14
d. Kultur darah
e. Urinalisis
f. Foto thorax
g. Elektrolit dan EKG

2.8 Tatalaksana
Sejak publikasi pertama dari Surviving Sepsis Campaign mengenai

pedoman tatalaksana sepsis tahun 2004 hingga dibentuknya rekomendasi

sepsis bundle ini dibuat telah banyak dilakukan pembaharuan berdasarkan

bukti klinis dan hasil penelitian terbaru. Pada sepsis bundle edisi

sebelumnya dikenal bundle-3 dan bundle-6 yang artinya kumpulan

tatalaksana awal pasien sepsis yang harus dilakukan dalam 3 jam pertama

dan 6 jam pertama sejak pasien masuk rumah sakit. Tahun 2018, sepsis

bundle direvisi menjadi bundle-1 dimana semua rekomendasi pada bundle-3

dan bundle-6 (Tabel 4) digabungkan dan harus dilaksanakan pada 1 jam

pertama sejak time zero yaitu waktu pasien masuk triase pada instalasi gawat

darurat ataupun masuk ke bagian lain sebagai rujukan dari rumah sakit lain

dengan data-data yang menunjukkan ke arah sepsis.14

Berdasarkan pedoman tatalaksana sepsis dan syok sepsis tahun 2016,

keadaan sepsis dan syok sepsis tergolong kepada kondisi gawat darurat yang

membutuhkan penanganan dan resusitasi segera. Pada pasien sepsis,

cenderung terjadi hipotensi yang mengancam pada kecukupan perfusi

jaringan. Resusitasi pada pasien sepsis dan syok sepsis dapat terjadi

melebihi 1 jam, tetapi inisiasi untuk tatalaksana harus dimulai dalam 1 jam.

Tindakan resusitasi awal yang biasanya dilakukan adalah berupa pemberian

cairan kristaloid dengan target untuk menuju kadar laktat normal sebagai

15
indikator hipoksia jaringan, pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan

mikrobiologis dan terapi antibiotik tanpa penundaan serta inisiasi

penggunaan vasopressor.14

Tabel 4. Bundle 3 jam dan 6 jam

16
a. Mengukur Kadar Laktat
Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di
antaranya hipoksia jaringan, peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan
peningkatan stimulasi beta adrenergik atau pada beberapa kasus dan penyabab
lain. Uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan penurunan yang

17
signifikan pada mortalitas dengan resusitasi yang dipandu laktat. Jika
peningkatan laktat (> 2mmol / L), harus diukur kembali dalam waktu 2-4 jam
sebagai panduan resusitasi untuk menurunkan laktat pada pasien dengan kadar
laktat yang meningkat sebagai penanda hipoperfusi jaringan.

b. Kultur Darah Sebelum Antibiotik


Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna untuk
meningkatkan optimalisasi pemberian antibiotik dan identifikasi paogen.
Kultur darah sebaiknya dalam 2 preparat terutama untuk kuman aerobik dan
anaerobik. Pemeriksaan kultur juga dapat menyingkirkan penyebab sepsis.
Pemberian terapi antibiotik yang tepat tidak boleh ditunda untuk mendapatkan
kultur darah. Apabila infeksi patogen tidak ditemukan maka pemberian
antibiotik dapat dihentikan.

c. Berikan Antibiotik Spektrum Luas

Terapi empiris spektrum luas dengan satu atau lebih antibiotik intravena
untuk mencakup semua kemungkinan patogen harus dimulai segera untuk
pasien dengan sepsis atau syok septik. Terapi empiris antibiotik harus
dipersempit setelah identifikasi dan sensitivitas patogen ditetapkan, atau
dihentikan jika keputusan dibuat bahwa pasien tidak memiliki infeksi.
Hubungan antara pemberian antibiotik dini untuk dugaan infeksi dan
penatalaksanaan antibiotik tetap merupakan aspek penting dari manajemen
sepsis yang baik. Jika infeksi kemudian terbukti tidak ada, maka antimikroba
harus dihentikan.

d. Berikan Cairan IV13


Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, hal ini
sangat penting untuk stabilisasi hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis atau
syok septik. Mengingat sifat darurat medis yang mendesak ini. Resusitasi cairan
awal sebaiknya segera dilakukan saat diagnose hipoperfusi atau hipotensi yang
diinduksi oleh sepsis telah ditegakkan. Tatalaksana resusitasi cairan dimulai

18
dengan pemberian kristaloid 30cc/kgBB intravena (dalam 3 jam pertama).
Pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya pada kasus Gagal Ginjal Kronis
(GGK) yang perlu hemodialisis, gagal jantung kongestif, atau pada keadaan di
mana pasien berpotensi mengalami gagal napas namun belum terintubasi,
maka pemberian cairan harus dilakukan lebih hati-hati. Oksigenasi harus
dipantau secara ketat dan penilaian responsivitas cairan (fluid responsiveness)
dianjurkan dalam keadaan-keadaan tersebut. Setelah resusitasi cairan awal
dilakukan, maka keputusan untuk memberikan cairan tambahan sebaiknya
didasarkan atas penilaian status hemodinamik yang dilakukan secara berkala.
Penilaian tersebut meliputi pemeriksaan klinis dan evaluasi variabel
fsiologis,mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling canggih,
tergantung dari fasilitas dan sumber daya yang dimiliki oleh setiap institusi.
Parameter-parameter hemodinamik yang dapat digunakan untuk menentukan
status hemodinamik pasien antara lain adalah:
• Tekanan darah (non-invasif atau invasif)
• Saturasi oksigen arteri (pulse oxymetri)
• Nadi
• Capillary flling time
• Mottling score
• Frekuensi napas
• Suhu
• Produksi urin, maupun
• Monitoring cardiac output (non invasif, semi invasif maupun invasif) yang
canggih.

Apabila pemeriksaan klinis saja dinilai tidak memberikan informasi


yang cukup dalam penegakan diagnosa secara pasti, maka disarankan
untuk melakukan penilaian hemodinamik lebih lanjut dengan menggunakan
metode atau peralatan yang lebih canggih (misalnya ekokardiograf atau
monitoring invasive maupun semi invasif lainnya). Dengan menggunakan
peralatan tersebut, maka fungsi jantung dapat dinilai dan selanjutnya jenis
syok dapat ditentukan lebih akurat. Apabila dimungkinkan, penilaian respons

19
cairan (fluid responsiveness test) menggunakan variabel dinamis (lebih
dianjurkan dari pada statis) sebaiknya dilakukan pada kasus-kasus yang
kompleks. Penilaian respons cairan menggunakan variable dinamis bertujuan
untuk menilai apakah pasien masih membutuhkan tambahan cairan atau tidak.
Menilai respons cairan merupakan suatu upaya untuk mempredik siapakah
pasien akan mendapat manfaat (dalam hal ini mengalami peningkatan volume
sekuncup yang bermakna) apabila diberikan tambahan cairan. Penilaian
respons cairan diharapkan dapat memberikan informasi penting bagi klinisi
sehingga tata laksana cairan yang dilakukan menjadi lebih baik. Teknik-teknik
yang bias digunakan antara lain.

• Passive leg raising test.


Penilaian ini dapat digunakan pada pasien yang bernapas spontan maupun
dengan ventilator, dan merupakan tes responsivitas cairan yang cukup akurat
pada pasien aritmia. Peningkatan curah jantung lebih dari 10% atau 15% (bisa
dipilih salah satu) dari nilai awal (baseline) memiliki akurasi cukup tinggi
untuk menentukan pasien sepsis yang masuk kategori responder atau non
responder, dengan sensitivitas 97% dan spesifsitas 94%. Bila monitoring curah
jantung tidak tersedia, maka penilaian pulse pressure.dapat digunakan. Bila
pulse pressure bertambah > 10% dari baseline maka pasien dianggap sebagai
responder. Metode ini memiliki spesifsitas dan sensitivitas lebih rendah
dibanding dengan penilaian curah jantung.
• Fluid challenge test
Mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup jantung (stroke volume)
atau tekanan sistolik arterial, atau tekanan nadi (pulse pressure). Perubahan
nilai CVP dapat dipertimbangkan bila alat monitor curah jantung atau
ekokardiogaf tidak tersedia, walau akurasi tidak sebaik kedua metode tersebut.
Kombinasi antara penilaian CVP dengan echokardiograf mungkin juga bisa
bermanfaat.
• Stroke Volume Variation (SVV)
Penilaian variasi isi sekuncup jantung akibat perubahan tekanan intra torak
saat pasien menggunakan ventilasi mekanik. Syarat penilaian responsivitas
cairan dengan metode ini adalah.

20
1. Pasien dalam kontrol ventilasi mekanis penuh,
2. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight),
3. Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori responder bila SVV ≥12%.
Selain SVV, Pulse Pressure Variation (PPV) juga dapat dipergunakan
untuk menilai responsivitas cairan.

e. Gunakan Vasopresor
Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan perfusi
jaringan, terutama perfusi organ vital. Jika tekanan darah tidak meningkat
setelah resusitasi cairan, pemberian vasopressor tidak boleh ditunda.
Vasopressor harus diberikan dalam 1 jam pertama untuk mempertahankan
MAP >65 mmHg.11
Vasopressor potensial: nor epinephrine, dopamine, epinephrine,
phenylephrine. Terapi inotropik Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan
pasien syok septik mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium

21
yang dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien
mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic:
dobutamine, dopamine, dan epinephrine12
Norepinefrin direkomendasi sebagai vasopresor lini pertama. Penambahan
vasopressin (sampai 0,03 U/menit) atau epinefrin untuk mencapai target MAP
dapat dilakukan. Penambahan vasopressin lebih dini dapat dipertimbangkan
untuk mengurangi dosis norepinefrin.
Penggunaan dopamin sebagai vasopresor alternatif dari norepinefrin hanya
direkomendasi untuk pasien tertentu, misalnya pada pasien yang berisiko
rendah mengalami takiaritmia dan mengalami bradikardi absolut/ relatif.
Penggunaan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal tidak
direkomendasi lagi. Dobutamin disarankan untuk diberikan pada pasien yang
menunjukkan hipoperfusi menetap meskipun sudah diberikan cairan yang
adekuat dan vasopresor.

22
Indikator Keberhasilan Resusitasi Awal
 Evaluasi Mean Arterial Pressure (MAP)
MAP merupakan driving pressure untuk perfusi jaringan atau
organ. Perfusi organ kritis seperti otak dan ginjal sangat dilindungi dari
hipotensi sistemik melalui autoregulasi perfusi regional. Namun pada
batas MAP tertentu, perfusi jaringan secara linier menjadi tergantung pada
tekanan arteri. Rekomendasi target MAP awal pada pasien syok septik
yang membutuhkan vasopresor menurut SSC adalah 65 mmHg.
Target MAP ≥ 65 mmHg merupakan parameter makrosirkulasi
yang secara umum harus dicapai sesegera mungkin. Hipotensi arterial
yang berkepanjangan dapat mengakibatkan syok yang ireversibel dan
meningkatkan mortalitas. Dengan demikian upaya resusitasi awal,
termasuk pemberian cairan yang adekuat serta penggunaan vasopresor
lebih dini pada kasus-kasus hipotensi yang mengancam jiwa diharapkan
akan meningkatkan angka keberhasilan. Penetapan target MAP yang lebih
tinggi (85 mmHg dibandingkan 65 mmHg) justru meningkatkan risiko
aritmia. Target MAP lebih tinggi mungkin perlu dipertimbangkan pada
pasien yang memiliki riwayat hipertensi kronis.

 Laktat
Monitoring keberhasilan resusitasi sebaiknya dimulai dengan
pemeriksaan klinis yang cermat dan teliti menggunakan variabel fsiologi
yang tersedia (seperti nadi, tekanan darah, saturasi oksigen arteri,
frekuensi napas, suhu, produksi urin dan pemeriksaan lainnya), sehingga
status klinis pasien dapat digambarkan. Salah satu prinsip terpenting yang
perlu dipahami saat menangani pasien yang kompleks, adalah perlunya
melakukan penilaian awal untuk mendapatkan baseline yang akurat dan
selanjutnya melakukan re-evaluasi secara berkala untuk menilai respons
pasien terhadap terapi yang diberikan.
Peningkatan kadar laktat dalam plasma, tanpa melihat darimana
sumbernya, berkorelasi dengan hasil akhir yang lebih buruk. Karena laktat

23
merupakan tes laboratorium standar dengan teknik pengukuran yang
sudah baku, maka nilai penggunaan laktat sebagai penanda perfusi
jaringan dianggap lebih objektif dibandingkan pemeriksaan fsik atau
produksi urin. Keberhasilan resusitasi pada pasien sepsis dapat dinilai
dengan memantau penurunan kadar laktat, terutama pasien yang
peningkatan kadar laktat pada awalnya.
Evaluasi menggunakan ekokardiograf sangat bermanfaat
membantu klinisi untuk mendapat informasi yang lebih detail tentang
penyebab gangguan hemodinamik, walaupun metode memerlukan
operator yang terlatih.

 Tekanan Vena Sentral (CVP) dan Saturasi Vena Sentral (SvO2)


Penggunaan CVP sebagai parameter tunggal untuk memandu
resusitasi cairan tidak direkomendasi lagi. Saat CVP dalam kisaran normal
(8-12 mmHg), kemampuan CVP untuk menilai responsivitas cairan
(setelah pemberian sejumlah cairan atau fluid challenge) terbukti tidak
akurat. Hal ini juga berlaku untuk pemeriksaan statis lain yang mengukur
perubahan tekanan atau volume jantung kanan atau kiri, misalnya tekanan
oklusi arteri pulmonalis (PAOP).

 CO2 gap (Perbedaan karbondioksida antara arteri dan vena (Pv-a CO2))
CO2 gap telah diteliti sebagai penanda hipoperfusi jaringan.
Peningkatan produksi CO2 merupakan salah satu gambaran dari adanya
metabolisme anaerob. Rasio perbedaan tekanan karbon dioksida vena-
arteri (PvaCO 2) dengan perbedaan kandungan oksigen arteri-vena (Ca-
vO2) merupakan prediktor adanya metabolisme anaerob yang
lebih baik. Penilaian rasio ini membuat interpretasi peningkatan kadar
laktat pada pasien kritis menjadi lebih mudah. Jadi, bila terjadi
peningkatan kadar laktat yang disertai dengan peningkatan Pv-aCO2 atau
peningkatan rasio Pv-aCO2 terhadap Ca-vO2, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah hipoperfusi.

24
2.9 Komplikasi

a. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome). Mediator inflamasi
dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya
cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian,
dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia.
Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian
besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto
toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan
edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan
ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien
mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.8
b. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi
diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang
sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk
mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai
spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan
difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan.Sejumlah besar faktor
pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti
ini.Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat
thrombosis dan perdarahan.Timbulnya koagulopati pada sepsis
berhubungan dengan hasil yang lebih buruk. 8
c. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik,
dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja
langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri
koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan,
yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark
miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian

25
obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan
takikardia) harus digunakan dengan berhati-hati bilamana perlu, tetapi
jangan diberikan bila tidak dianjurkan8
d. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus
kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali
fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien
mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang
lama8
e. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan
sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis.Jika
gagal ginjal berlangsung berat atauginjal tidak mendapatkan perfusi
yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal
(misalnya hemodialisis) diindikasikan.8

2.10 Prognosis
Kematian akibat sepsis tergantung dari lokasi awal infeksi,
patogenesis kuman, ada tidaknya disfungsi organ multiple, imunodefisiensi
dan respon imun penderita. Kematian karena sepsis utamanya disebabkan
oleh syok. Angka kematian mencapai 40-60% untuk penderita dengan
sepsis karena kuman enteric gram negatif. Tanda-tanda prognosis buruk bila
terjadi hipotensi, koma, leukopenia, trombositopenia dan kadar fibrogen
rendah.8

26
BAB III

KESIMPULAN

Perkembangan tentang sepsis telah banyak terjadi dalam dekade terakhir.


Sebelumnya, sepsis hanya dipandang sebagai suatu proses gangguan inflamasi.
Penelitian baru menunjukkan bahwa faktor-faktor hematologis yang kompleks,
termasuk aktivasi koagulasi dan gangguan fibrinolisis, membentuk protrombotik
sebagai hasil dari abnormalitas endotel serta disfungsi organ yang diinduksi
karena terjadinya sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai pasien yang terinfeksi dengan peningkatan ≥2


poin Sequential Organ Failure (SOFA) atau dengan kriteria simpel menggunakan
qSOFA, dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria. Syok septik
didefinisikan sebagai hipotensi refrakter yang membutuhkan vasopresor dengan
hiperlaktemia bersamaan (> 2 mmol / L) meskipun resusitasi cairan adekuat.

Patogenesis sepsis melalui 3 tahapan yaitu tahap inflamasi, tahap koagulasi


dan disfungsi pembekuan darah, tahap kerusakan jaringan dan kematian.
Perubahan paling penting dalam revisi Surviving Sepsis Campaign 2018 adalah
bahwa bundel 3-jam dan 6-jam telah digabungkan menjadi satu "bundel 1 jam"
dengan maksud eksplisit untuk memulai resusitasi dan manajemen segera.
Prognosis tergantung dari awal infeksi, patogenisitas kuman, ada tidaknya MODS,
respon imun penderita dan penanganan serta pertolongan yang tepat.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Singer M, dkk. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock (Sepsis-3). JAMA. 2019; 315(8):801-810
2. Kim HI, Park S. Sepsis: Early Recognition and Optimized Treatment. Tuberc
Respir Dis. 2019; 82: 6-14
3. Mayr FB, Yende S, Angus DC. Epidemiology of severe sepsis. Virulence.
2014;5(1):4-11.
4. Sitompul, AT. Karakteristik Penderita Sepsis Neonatorum yang Dirawat
Inap di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2005-2009. Medan: Universitas
Sumatera Utara. 2010
5. Polat G, dkk. Sepsis and Septic Shock: Current Treatment Strategies and New
Approaches. Eurasian J Med 2017; 49: 53-8
6. Martin GS. Sepsis, severe sepsis and septic shock: changes in incidence,
pathogens and outcomes. Expert Rev Anti Infect Ther. 2012;10(6):701-6.
7. A Guntur H. Sepsis. Dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, dkk (penyunting).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI jilid III. Jakarta: Interna Publishing.
2015; 553: 4110-6
8. Putri H, dkk. Faktor Risiko Sepsis Pada Pasien Dewasa di Rsup Dr.Kariadi.
Semarang: Universitas Diponegoro. 2014
9. Long B, Koyfman A. Clinical Mimics: An Emergency Medicine–Focused
Review of Sepsis Mimics. The Journal of Emergency Medicine. 2017; 52: 34-
42.
10. Evans, T. 2018. Diagnosis and Management of Sepsis. Clinical Medicine
Vol. 2:146-9. Royal College of Physician. University of Glasgow. Glasgow.
United Kingdom
11. Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The Surviving Sepsis Campaign Bundle:
2018 update. 2018
12. Wijaya RM, dkk. Shock Sepsis. Palembang: Poltekkes Kemenkes. 2019.
13. Pangalila, F. Mansoer, Penatalaksanaan Sepsis Dan Syok Septik Optimalisasi
Fasthugsbid. Jakarta: PERDICI. 2017
14. Mitchell ML, Laura EE dan Andrew R. The Surviving Sepsis Campaign
Bundle : 2018 Update. Society of Critical Care Medicine and the European
Society of Intensive Medicine. June 2018 ; 48(6) : 997-9.

28

Anda mungkin juga menyukai