SEPSIS
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
SEPSIS
Oleh :
G1A218070
ii
KATA PENGANTAR
Tugas ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam mengenai
teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Jambi dan melihat penerapannya
secara langsung di lapangan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Halaman Pengesahan........................................................................................ ii
Daftar Isi..................................................................................................... …… iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
2.1 Definisi................................................................................................ 2
2.2 Epidemiologi........................................................................................ 3
2.4 Patofisiologi.................................................................................... …. 5
2.6 Diagnosa............................................................................................... 12
2.8 Penatalaksanaan.............................................................................. …. 15
2.9 Komplikasi........................................................................................... 25
2.10 Prognosis............................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 28
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2
Tabel 2. Kriteria Sepsis 1991 – 2011
2.2 Epidemiologi
3
pada pasien dengan sepsis mencapai 20% sepsis dan mencapai 60-80% pada
pasien dengan syok septik.5
2.3 Etiologi
4
2.4 Patofisiologi Sepsis
5
1. Respon Inflamasi
Pada orang dewasa, Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-α)
merupakan mediator sepsis yang terutama di samping beberapa sitokin
dan sel-sel lain yang juga terlibat.Mula-mula, makrofag teraktivasi dan
memproduksi sejajaran mediator-mediator proinflamasi, termasuk TNF-
α, Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, Platelet Activating Factor (PAF),
leukotrien, dan thromboxane-A2. Mediator-mediator proinflamasi ini
mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan
menghasilkan kerusakan endotel.9
6
Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui
aktivasi netrofil yang berada di paru-paru. Kerusakan kapiler
menyebabkan peningkatan permeabilitas di paru-paru, serta dapat
menyebabkan oedem paru non kardiogenik.9
7
gejala-gejala yang mengindikasikan respon inflamasi sistemik yang
menuju kepada koagulopati, hipotensi, perfusi jaringan perifer serta
organ yang inadekuat, dan akhirnya kegagalan organ serta kematian.9
8
melepaskan bioamin yang kemudian akan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler.9
9
normal dan membuat tubuh kurang mampu untuk menghilangkan
mikrotrombus.TNF-α mensupresi fibrinolisis dengan meningkatkan
level PAI-1 serta mencegah pembersihan fibrin.Pemecahan fibrin
menghasilkan produk degradasi fibrin (fibrin degradation products)
seperti D-dimer yang sering. Melalui jalan ini, mediator-mediator
proinflamasi (IL-6 dan TNF-α) bekerja secara sinergis untuk
meningkatkan jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan trombosis pada
pembuluh darah berukuran kecil dan sedang., serta potensial terhadap
disfungsi organ.9
10
atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta
peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik
hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih
dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran
pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.8
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini
mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia
dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis,
dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti
pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium)
atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan
penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan
usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat
mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang-
kurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan
urinalisis.8
11
2.6 Diagnosa
Sepsis
Untuk mendiagnosis sepsis diperlukan anamnesa yang cukup cermat,
pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik. Adapun kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui dengan
menggunakan skor Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment
(SOFA). Skor SOFA dirasa lebih mudah untuk dimengerti dan sederhana.
Apabila pasien yang mengalami infeksi didapatkan Skor SOFA ≥ 2 maka
sudah tegak diagnosis sepsis.10
Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining
kemungkinan terjadinya sepsis. Skrining ini bisa dilakukan dimana saja dan
kapan saja. Metodenya dengan quick SOFA (qSOFA). Skoring ini dirasa
kuat dan lebih sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium.10
Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria di
atas. Skor ini dapat digunakan dengan cepat oleh klinisi untuk mengetahui
adanya disfungsi organ, untuk menginisiasi terapi yang tepat, dan sebagai
bahan pertimbangan untuk merujuk ke tempat perawatan kritis atau
meningkatkan pengawasan. Jika qSOFA positif selanjutnya akan dilakukan
skoring dengan metode SOFA.10
Saat ini sepsis diidentifikasikan sebagai peningkatan minimal 2 poin
skore penilaian Sepsis-related Organ Failure Assesment (SOFA) pada
pasien dengan terduga infeksi. Skor quick SOFA (qSOFA), merupakan
pengganti untuk penilaian menggunakan SOFA yang dimana semua
komponen SOFA tidak secara rutin diukur.10
Sistem SOFA ini menggunakan parameter untuk menilai tingkat
disfungsi untuk enam sistem organ, pernapasan, kardiovaskular, ginjal,
koagulasi, neurologis, dan hati, dengan skala 0 (tidak ada disfungsi) hingga
4 untuk setiap organ.10
12
SOFA Score (sequential organ failure score)
SOFA Score 0 1 2 3 4
Respirasi <200 (dengan <100 (dengan
Pa02/FI02, ≥400 400 300 respiratory respiratory
mmHg support) support)
Koagulasi
Platelet ≥150 <150 <100 <50 <20
x103/mm3
Liver
Bilirubin, mg/dL <1,2 1,2-1,9 2,0-5,9 6.0-11.9 >12,0
(mol/L)
Kardiovaskular Dopamin >5 Dopamin >15
Hipotensi MAP Dopamin 5 atau epineprin atau epineprin
MAP <70
≥ 70 atau 0.1 atau >0.1 atau
mmHg
mmHg dobutamin norepineprin norepineprin
0,1* >0,1*
Central nervous
system
15 13-14 10-12 6-9 <6
Glasgow Coma
Score
Renal
Creatinine,
3,5-4,9 >5,0
mg/dL <1,2 1,2-1,9 2,0-3,4
< 500 < 200
Atau urin output
(mL/d)
Tabel 2. SOFA Score (sequential organ failure score).
*Dosis dobutamin dalam ug/kg/menit
FiO2 ; Fraksi Oksigen inspirasi, PO2; tekanan parsial oksigen, MAP; mean arterial pressure
13
Syok Septik
Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan adanya klinis
sepsis dengan hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk
mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18
mg/dL) meskipun volume resusitasi memadai.10
Ket : Skor SOFA harus 0, kecuali bila pasien diketahui memiliki riwayat disfungsi organ (akut atau
kronik) sebelum terjadi infeksi
14
d. Kultur darah
e. Urinalisis
f. Foto thorax
g. Elektrolit dan EKG
2.8 Tatalaksana
Sejak publikasi pertama dari Surviving Sepsis Campaign mengenai
bukti klinis dan hasil penelitian terbaru. Pada sepsis bundle edisi
tatalaksana awal pasien sepsis yang harus dilakukan dalam 3 jam pertama
dan 6 jam pertama sejak pasien masuk rumah sakit. Tahun 2018, sepsis
pertama sejak time zero yaitu waktu pasien masuk triase pada instalasi gawat
darurat ataupun masuk ke bagian lain sebagai rujukan dari rumah sakit lain
keadaan sepsis dan syok sepsis tergolong kepada kondisi gawat darurat yang
jaringan. Resusitasi pada pasien sepsis dan syok sepsis dapat terjadi
melebihi 1 jam, tetapi inisiasi untuk tatalaksana harus dimulai dalam 1 jam.
cairan kristaloid dengan target untuk menuju kadar laktat normal sebagai
15
indikator hipoksia jaringan, pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
penggunaan vasopressor.14
16
a. Mengukur Kadar Laktat
Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di
antaranya hipoksia jaringan, peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan
peningkatan stimulasi beta adrenergik atau pada beberapa kasus dan penyabab
lain. Uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan penurunan yang
17
signifikan pada mortalitas dengan resusitasi yang dipandu laktat. Jika
peningkatan laktat (> 2mmol / L), harus diukur kembali dalam waktu 2-4 jam
sebagai panduan resusitasi untuk menurunkan laktat pada pasien dengan kadar
laktat yang meningkat sebagai penanda hipoperfusi jaringan.
Terapi empiris spektrum luas dengan satu atau lebih antibiotik intravena
untuk mencakup semua kemungkinan patogen harus dimulai segera untuk
pasien dengan sepsis atau syok septik. Terapi empiris antibiotik harus
dipersempit setelah identifikasi dan sensitivitas patogen ditetapkan, atau
dihentikan jika keputusan dibuat bahwa pasien tidak memiliki infeksi.
Hubungan antara pemberian antibiotik dini untuk dugaan infeksi dan
penatalaksanaan antibiotik tetap merupakan aspek penting dari manajemen
sepsis yang baik. Jika infeksi kemudian terbukti tidak ada, maka antimikroba
harus dihentikan.
18
dengan pemberian kristaloid 30cc/kgBB intravena (dalam 3 jam pertama).
Pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya pada kasus Gagal Ginjal Kronis
(GGK) yang perlu hemodialisis, gagal jantung kongestif, atau pada keadaan di
mana pasien berpotensi mengalami gagal napas namun belum terintubasi,
maka pemberian cairan harus dilakukan lebih hati-hati. Oksigenasi harus
dipantau secara ketat dan penilaian responsivitas cairan (fluid responsiveness)
dianjurkan dalam keadaan-keadaan tersebut. Setelah resusitasi cairan awal
dilakukan, maka keputusan untuk memberikan cairan tambahan sebaiknya
didasarkan atas penilaian status hemodinamik yang dilakukan secara berkala.
Penilaian tersebut meliputi pemeriksaan klinis dan evaluasi variabel
fsiologis,mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling canggih,
tergantung dari fasilitas dan sumber daya yang dimiliki oleh setiap institusi.
Parameter-parameter hemodinamik yang dapat digunakan untuk menentukan
status hemodinamik pasien antara lain adalah:
• Tekanan darah (non-invasif atau invasif)
• Saturasi oksigen arteri (pulse oxymetri)
• Nadi
• Capillary flling time
• Mottling score
• Frekuensi napas
• Suhu
• Produksi urin, maupun
• Monitoring cardiac output (non invasif, semi invasif maupun invasif) yang
canggih.
19
cairan (fluid responsiveness test) menggunakan variabel dinamis (lebih
dianjurkan dari pada statis) sebaiknya dilakukan pada kasus-kasus yang
kompleks. Penilaian respons cairan menggunakan variable dinamis bertujuan
untuk menilai apakah pasien masih membutuhkan tambahan cairan atau tidak.
Menilai respons cairan merupakan suatu upaya untuk mempredik siapakah
pasien akan mendapat manfaat (dalam hal ini mengalami peningkatan volume
sekuncup yang bermakna) apabila diberikan tambahan cairan. Penilaian
respons cairan diharapkan dapat memberikan informasi penting bagi klinisi
sehingga tata laksana cairan yang dilakukan menjadi lebih baik. Teknik-teknik
yang bias digunakan antara lain.
20
1. Pasien dalam kontrol ventilasi mekanis penuh,
2. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight),
3. Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori responder bila SVV ≥12%.
Selain SVV, Pulse Pressure Variation (PPV) juga dapat dipergunakan
untuk menilai responsivitas cairan.
e. Gunakan Vasopresor
Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan perfusi
jaringan, terutama perfusi organ vital. Jika tekanan darah tidak meningkat
setelah resusitasi cairan, pemberian vasopressor tidak boleh ditunda.
Vasopressor harus diberikan dalam 1 jam pertama untuk mempertahankan
MAP >65 mmHg.11
Vasopressor potensial: nor epinephrine, dopamine, epinephrine,
phenylephrine. Terapi inotropik Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan
pasien syok septik mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium
21
yang dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien
mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic:
dobutamine, dopamine, dan epinephrine12
Norepinefrin direkomendasi sebagai vasopresor lini pertama. Penambahan
vasopressin (sampai 0,03 U/menit) atau epinefrin untuk mencapai target MAP
dapat dilakukan. Penambahan vasopressin lebih dini dapat dipertimbangkan
untuk mengurangi dosis norepinefrin.
Penggunaan dopamin sebagai vasopresor alternatif dari norepinefrin hanya
direkomendasi untuk pasien tertentu, misalnya pada pasien yang berisiko
rendah mengalami takiaritmia dan mengalami bradikardi absolut/ relatif.
Penggunaan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal tidak
direkomendasi lagi. Dobutamin disarankan untuk diberikan pada pasien yang
menunjukkan hipoperfusi menetap meskipun sudah diberikan cairan yang
adekuat dan vasopresor.
22
Indikator Keberhasilan Resusitasi Awal
Evaluasi Mean Arterial Pressure (MAP)
MAP merupakan driving pressure untuk perfusi jaringan atau
organ. Perfusi organ kritis seperti otak dan ginjal sangat dilindungi dari
hipotensi sistemik melalui autoregulasi perfusi regional. Namun pada
batas MAP tertentu, perfusi jaringan secara linier menjadi tergantung pada
tekanan arteri. Rekomendasi target MAP awal pada pasien syok septik
yang membutuhkan vasopresor menurut SSC adalah 65 mmHg.
Target MAP ≥ 65 mmHg merupakan parameter makrosirkulasi
yang secara umum harus dicapai sesegera mungkin. Hipotensi arterial
yang berkepanjangan dapat mengakibatkan syok yang ireversibel dan
meningkatkan mortalitas. Dengan demikian upaya resusitasi awal,
termasuk pemberian cairan yang adekuat serta penggunaan vasopresor
lebih dini pada kasus-kasus hipotensi yang mengancam jiwa diharapkan
akan meningkatkan angka keberhasilan. Penetapan target MAP yang lebih
tinggi (85 mmHg dibandingkan 65 mmHg) justru meningkatkan risiko
aritmia. Target MAP lebih tinggi mungkin perlu dipertimbangkan pada
pasien yang memiliki riwayat hipertensi kronis.
Laktat
Monitoring keberhasilan resusitasi sebaiknya dimulai dengan
pemeriksaan klinis yang cermat dan teliti menggunakan variabel fsiologi
yang tersedia (seperti nadi, tekanan darah, saturasi oksigen arteri,
frekuensi napas, suhu, produksi urin dan pemeriksaan lainnya), sehingga
status klinis pasien dapat digambarkan. Salah satu prinsip terpenting yang
perlu dipahami saat menangani pasien yang kompleks, adalah perlunya
melakukan penilaian awal untuk mendapatkan baseline yang akurat dan
selanjutnya melakukan re-evaluasi secara berkala untuk menilai respons
pasien terhadap terapi yang diberikan.
Peningkatan kadar laktat dalam plasma, tanpa melihat darimana
sumbernya, berkorelasi dengan hasil akhir yang lebih buruk. Karena laktat
23
merupakan tes laboratorium standar dengan teknik pengukuran yang
sudah baku, maka nilai penggunaan laktat sebagai penanda perfusi
jaringan dianggap lebih objektif dibandingkan pemeriksaan fsik atau
produksi urin. Keberhasilan resusitasi pada pasien sepsis dapat dinilai
dengan memantau penurunan kadar laktat, terutama pasien yang
peningkatan kadar laktat pada awalnya.
Evaluasi menggunakan ekokardiograf sangat bermanfaat
membantu klinisi untuk mendapat informasi yang lebih detail tentang
penyebab gangguan hemodinamik, walaupun metode memerlukan
operator yang terlatih.
CO2 gap (Perbedaan karbondioksida antara arteri dan vena (Pv-a CO2))
CO2 gap telah diteliti sebagai penanda hipoperfusi jaringan.
Peningkatan produksi CO2 merupakan salah satu gambaran dari adanya
metabolisme anaerob. Rasio perbedaan tekanan karbon dioksida vena-
arteri (PvaCO 2) dengan perbedaan kandungan oksigen arteri-vena (Ca-
vO2) merupakan prediktor adanya metabolisme anaerob yang
lebih baik. Penilaian rasio ini membuat interpretasi peningkatan kadar
laktat pada pasien kritis menjadi lebih mudah. Jadi, bila terjadi
peningkatan kadar laktat yang disertai dengan peningkatan Pv-aCO2 atau
peningkatan rasio Pv-aCO2 terhadap Ca-vO2, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah hipoperfusi.
24
2.9 Komplikasi
a. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome). Mediator inflamasi
dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya
cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian,
dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia.
Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian
besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto
toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan
edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan
ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien
mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.8
b. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi
diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang
sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk
mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai
spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan
difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan.Sejumlah besar faktor
pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti
ini.Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat
thrombosis dan perdarahan.Timbulnya koagulopati pada sepsis
berhubungan dengan hasil yang lebih buruk. 8
c. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik,
dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja
langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri
koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan,
yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark
miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian
25
obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan
takikardia) harus digunakan dengan berhati-hati bilamana perlu, tetapi
jangan diberikan bila tidak dianjurkan8
d. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus
kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali
fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien
mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang
lama8
e. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan
sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis.Jika
gagal ginjal berlangsung berat atauginjal tidak mendapatkan perfusi
yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal
(misalnya hemodialisis) diindikasikan.8
2.10 Prognosis
Kematian akibat sepsis tergantung dari lokasi awal infeksi,
patogenesis kuman, ada tidaknya disfungsi organ multiple, imunodefisiensi
dan respon imun penderita. Kematian karena sepsis utamanya disebabkan
oleh syok. Angka kematian mencapai 40-60% untuk penderita dengan
sepsis karena kuman enteric gram negatif. Tanda-tanda prognosis buruk bila
terjadi hipotensi, koma, leukopenia, trombositopenia dan kadar fibrogen
rendah.8
26
BAB III
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Singer M, dkk. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock (Sepsis-3). JAMA. 2019; 315(8):801-810
2. Kim HI, Park S. Sepsis: Early Recognition and Optimized Treatment. Tuberc
Respir Dis. 2019; 82: 6-14
3. Mayr FB, Yende S, Angus DC. Epidemiology of severe sepsis. Virulence.
2014;5(1):4-11.
4. Sitompul, AT. Karakteristik Penderita Sepsis Neonatorum yang Dirawat
Inap di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2005-2009. Medan: Universitas
Sumatera Utara. 2010
5. Polat G, dkk. Sepsis and Septic Shock: Current Treatment Strategies and New
Approaches. Eurasian J Med 2017; 49: 53-8
6. Martin GS. Sepsis, severe sepsis and septic shock: changes in incidence,
pathogens and outcomes. Expert Rev Anti Infect Ther. 2012;10(6):701-6.
7. A Guntur H. Sepsis. Dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, dkk (penyunting).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI jilid III. Jakarta: Interna Publishing.
2015; 553: 4110-6
8. Putri H, dkk. Faktor Risiko Sepsis Pada Pasien Dewasa di Rsup Dr.Kariadi.
Semarang: Universitas Diponegoro. 2014
9. Long B, Koyfman A. Clinical Mimics: An Emergency Medicine–Focused
Review of Sepsis Mimics. The Journal of Emergency Medicine. 2017; 52: 34-
42.
10. Evans, T. 2018. Diagnosis and Management of Sepsis. Clinical Medicine
Vol. 2:146-9. Royal College of Physician. University of Glasgow. Glasgow.
United Kingdom
11. Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The Surviving Sepsis Campaign Bundle:
2018 update. 2018
12. Wijaya RM, dkk. Shock Sepsis. Palembang: Poltekkes Kemenkes. 2019.
13. Pangalila, F. Mansoer, Penatalaksanaan Sepsis Dan Syok Septik Optimalisasi
Fasthugsbid. Jakarta: PERDICI. 2017
14. Mitchell ML, Laura EE dan Andrew R. The Surviving Sepsis Campaign
Bundle : 2018 Update. Society of Critical Care Medicine and the European
Society of Intensive Medicine. June 2018 ; 48(6) : 997-9.
28