Anda di halaman 1dari 15

Manajemen Neuritis Optik Akut: Paradigma yang Berkembang

Lindsay Horton, MD, Jeffrey L. Bennett, MD, PhD

Abstrak: Penatalaksanaan neuritis optik akut saat ini difokuskan untuk


mempercepat pemulihan penglihatan melalui penggunaan kortikosteroid
intravena dosis tinggi. Identifikasi terbaru dari autoantibodi spesifik yang terkait
dengan gangguan inflamasi sistem saraf pusat telah memberikan wawasan baru
tentang target dan mekanisme sistem imun yang berdampak pada prognosis,
pengobatan, dan kekambuhan neuritis optik. Oleh karena itu, dokter spesialis
neurologi dan spesialis mata perlu menyadari temuan klinis, laboratorium, dan
pencitraan yang dapat memberikan petunjuk penting tentang etiologi neurotis
optik dan kebutuhan potensial untuk tatalaksana agresif. Ke depannya, diagnosis
neuritis optik yang cepat dan akurat kemungkinan akan sangat penting untuk
menerapkan perawatan klinis yang mengoptimalkan hasil terapi jangka pendek
dan jangka panjang.

Neuropati optik inflamasi, atau neuritis optik, adalah penyebab paling


umum cedera saraf optik pada dewasa muda. Neuritis Optik memiliki beberapa
etiologi, termasuk penyebab demielinasi, infeksi, dan autoimun. Beberapa studi
populasi memperkirakan kejadian 1,5-5,1 kasus per 100.000 orang per tahun (1-
3); Namun, studi epidemiologi mungkin gagal untuk menangkap kasus neuritis
optik yang disertai dengan peristiwa demielinasi lainnya. Meskipun pemulihan
ketajaman penglihatan kontras tinggi (high-contrast visual acuity) setelah neuritis
optik umumnya dianggap sebagai hasil yang baik (4), banyak pasien
mengeluhkan gangguan penglihatan yang persisten (5). Sejak seminar Optic
Neuritis Treatment Trial (ONTT), terdapat beberapa penelitian prospektif dan
retrospektif tentang terapi neuritis optik akut dalam berbagai kondisi autoimun.
Laporan awal menyatakan bahwa neuritis optik yang terkait dengan autoantibodi
aquaporin-4 (AQP4) berkaitan dengan outcome penglihatan yang buruk (6,7) dan
neuritis optik yang terkait dengan myelin oligodendrosit glikoprotein (MOG)
berkaitan dengan outcome penglihatan yang baik (8,9). Hasil observasi ini,
bagaimanapun, dapat dikacaukan oleh cedera berulang, waktu terapi, dan pilihan
tatalaksana akut (10,11). Namun demikian, temuan ini menunjukkan bahwa
diagnosis dini dan terapi spesifik mungkin menjadi kunci untuk meminimalkan
cedera, meningkatkan pemulihan, dan mencegah kehilangan penglihatan di masa
depan setelah neuritis optik. Tinjauan ini akan fokus pada merumuskan temuan
baru untuk evaluasi dan neuritis optik inflamasi akut.

NEURITIS OPTIK: DIAGNOSIS BANDING


Inflamasi saraf optik dapat timbul dari berbagai patologi. Meskipun
tinjauan ini akan fokus pada perluasan gangguan autoimun yang terkait dengan
neuritis optik, penyebab inflamasi saraf optik lain seperti infeksi (sifilis, Lyme,
dan cat-scratch disease) dan noninfeksi (sarkoidosis dan paraneoplastik) harus
dipertimbangkan dengan cermat sebagai diagnosis banding berdasarkan keadaan
klinis yang sesuai. Diagnosis penyebab infeksi neuritis optik yang cepat dapat
mengarahkan terapi antimikroba dan antivirus, memberi informasi dari prognosis
penglihatan, dan mengurangi penggunaan imunosupresan yang tidak tepat.
Sebaliknya, identifikasi patologi yang dimediasi autoimun spesifik (specific
autoimmune-mediated pathology) dapat meningkatkan kebutuhan untuk
penggunaan imunosupresan agresif atau inisiasi terapi untuk mencegah neuritis
optik rekuren atau kerusakan sistem saraf pusat (SSP). Meskipun tidak selalu
mudah untuk membedakan penyebab infeksi dan inflamasi neuritis optik, Tabel 1
memberikan daftar singkat penyebab infeksi dan inflamasi neuritis optik bersama
dengan gambaran klinis umum dan pilihan terapi.
Karena uveitis, retinitis, dan korioretinitis sering muncul sebagai
penyebab infeksi neuritis optik, neuritis optik yang terkait dengan inflamasi
mata, granuloma saraf optik, atau edema diskus yang parah harus mendapat
perhatian klinis khusus untuk infeksi yang didapat (Tabel 1). Demam,
meningitis, kelumpuhan saraf kranial, dan ensefalopati memerlukan pemeriksaan
infeksi yang lebih rinci berdasarkan risiko endemik, pajanan, dan riwayat
perjalanan.
Tabel 1. Penyebab inflamasi dan infeksi neuritis optik
Etiologi Manifestasi Klinis Tatalaksana Referensi
Sifilis Uveitis, korioretinitis, Peniciliin (87,88)
(Treponema) vaskulitis dan papilitis
(bervariasi)
Patogen Neuroretinis (Bartonella dan Kortikosteroid; antibiotik: (69,89–92)
Intraselular Toksoplasma), azitromisin, ciprofloxacin,
(Bartonella, Korioretinitis (Bartonella doksisiklin, tetrasiklin,
Rickettsia, dan Toksoplasma), Uveitis dan sulfamethoxazole-
Toksoplasma, (Bartonella dan trimethoprim
dan Coxiella) Toksoplasma), Demam
(Coxiella dan Rickettsia),
dan kelainan SSP
(Coxiella dan Rickettsia)
Penyakit Lyme Edema diskus optik dan Ceftriaxone dan (88,93,94)
(Borrella) laporan mengenai uveitis doksisiklin
intermediet atau
papiledema
Tuberkulosis Papilitis, uveitis, Isoniazid, rifampisin, (95)
(Mycobacteria) neuroretinitis, scleritis, pirazinamide, dan
meningitis, tuberkel ethambutol
nervus optik, dan orbital
apex syndrome
Viral (WNV, Bervariasi: edema diskus HAART (HIV); asiklovir (96–98)
HIV, dan VZV) optik ringan, korioretinitis, (VZV)
dan vitritis (WNV);
normal, mikorangiopati
ringan (HIV); edema
diskus optik hemoragik
dan cotton woll spots
(VZV)
Sarkoidosis Edema diskus optik: Kortikosteroid dan TNF-α (12,13)
granuloma, uveitis, bloker
neovaskularisasi, kelainan
SSP: penyakit multisistem
NMOSD Rekuren; MRI-enchancement IVSM dan PLEX (20,22,23,57)
nervus optik/lesi
longitudinal; lesi chiasma,
traktus optikus bilateral;
dan AQP4-IgG
MOG Rekuren; MRI-enchancement Kortikosteroid – mungkin (10,23,32,99)
nervus optik, sheath dan memerlukan terapi
orbital; lesi saraf jangka panjang
longitudinal; edema
diskus; dan MOG-IgG
GFAP Papilitis diskus optik; MRI- Kortikosteroid (15,18,100)
enchancement
perivaskular; dan GFAP-
IgG
Paraneoplastik Edema diskus bilateral; IVIg; PLEX; kortikosteroid; (14,68,101)
uveitis; kebocoran dan identifikasi dan
vaskular dan antibodi- mengangkat neoplasma
antibodi paraneoplastik yang berpengaruh
Seronegatif
Multiple Edema diskus ringan; MRI- IVSM dan PLEX (4,23)
sceloris (MS) enchancement nervus
optik, temuan MRI sesuai
dengan MS, CSF OCBs
Lainnya Rekuren, isolated; MRI- Kortikosteroid (84–86)
(CRION dan enchancement nervus
AON) optik/sinyal T2; IgG pada
biopsi kulit
AON, autoimmune optic neuropathy; CNS, central nervous system; CRION, chronic relapsing
inflammatory optic neuropathy; CSF OCBs, cerebrospinal fluid oligoclonal bands; GFAP, glial
fibrillary acidic protein; HAART, highly active antiretroviral therapy; IgG, immunoglobulin G; IVIg,
intravenous immunoglobulin; IVSM, intravenous solumedrol (methylprednisolone); MOG, myelin
oligodendrocyte glycoprotein; NMOSD, neuromyelitis optica spectrum disorder; PLEX,
plasmapheresis; TNF-a, tumor necrosis factor-alpha; VZV, Varicella-Zoster virus; WNV, West Nile
virus.

Neuritis optik sarkoid dan neuritis optik paraneoplastic juga dapat


menunjukkan inflamasi okular yang signifikan. Sarkoidosis adalah gangguan
multisistem yang umumnya melibatkan mata dan jarang melibatkan SSP secara
terpisah (12). Akibatnya, mayoritas pasien dengan neuritis optik sarkoid
mengalami inflamasi okular secara bersamaan; neuropati kranial, granuloma
meningeal, dan endokrinopati juga dapat terlihat (13). Peningkatan kadar serum
angiotensin converting enzyme dikenal tidak sensitif (13), dan identifikasi
jaringan yang terkena untuk konfirmasi biopsi mungkin sulit. Pasien dengan
neuritis optik paraneoplastic terkait dengan collapsin responsemediated protein-5
autoantibodies (CRMP-5-IgG) juga dapat menunjukkan edema diskus yang
menonjol, sel vitreus, dan kebocoran pembuluh darah retina. Oleh karena itu,
CRMP-5-IgG paraneoplastic ON harus dipertimbangkan dalam diagnosis
banding pasien dengan neuritis optik bilateral, subakut dengan edema diskus dan
sel vitreus, terutama yang berhubungan dengan defisit neurologis progresif (14).
Klasifikasi sebelumnya dari neuritis optik idiopatik akut berpusat pada
manifestasi klinis, kemungkinan multiple sclerosis (MS), risiko rekuren, dan
ketergantungan kronis terhadap kortikosteroid. Kategori diagnostik termasuk
chronic relapsing inflammatory Optic Neuritis (CRION), autoimmune optic
neuropathy (AON), relapsing isolated Optic Neuritis (RION), MS-ON,
neuromyelitis optica Optic Neuritis (NMOON), dan single isolated Optic
Neuritis (SION). Beberapa dari kategori ini, terutama CRION, RON, AON, dan
SION, tidak memiliki spesifisitas dan sensitivitas diagnostik. Akibatnya, hal
tersebut tidak praktis untuk mengarahkan tatalaksana pasien neuritis optik.
Kemajuan terbaru dalam pengujian serologis telah memperluas spektrum
gangguan autoimun SSP yang terkait dengan neuritis optik akut. Saat ini, 3
penanda serologi spesifik, aquaporin-4-IgG (AQP4-IgG), MOG-IgG, dan glial
fibrillary acid protein-IgG (GFAP-IgG), telah diidentifikasi pada pasien dengan
neuritis optik terisolasi dan rekuren (10,15,16). Studi kasus retrospektif
menunjukkan bahwa pemulihan penglihatan mungkin berbeda secara signifikan
antara kelompok ini (17-20). Oleh karena itu, kategorisasi serologis pasien
dengan optik neuritis dapat memberikan informasi penting tentang prognosis
penglihatan, respon pengobatan, dan risiko kekambuhan. Evaluasi segera pasien
dengan neuritis optik akut harus fokus pada perolehan data klinis dan paraklinis
yang dapat membantu membedakan salah satu etiologi ini.

EVALUASI PASIEN DENGAN NEURITIS OPTIK AKUT


Pasien dengan neuritis optik akut memerlukan pemeriksaan
neurooftalmologis yang detail untuk mengevaluasi adanya penyakit oftalmologis,
neurologis, dan sistemik. Pemeriksaan neuro-oftalmologi dapat disertai dengan
sejumlah pemeriksaan laboratorium tambahan dan studi pencitraan berdasarkan
riwayat dan temuan pemeriksaan termasuk optical coherence tomography (OCT)
(21), serologi infeksi dan autoimun, MRI, dan analisis cairan serebrospinal
(CSF).
MRI orbital dan otak dapat memberikan informasi diagnostik dan
prognostik yang berharga (Gbr. 1 dan Tabel 2). Distribusi dan penampilan lesi
inflamasi pada MRI orbital telah dilaporkan menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara neuritis optik terkait dengan AQP4-IgG-seropositive
neuromyelitis optica spectrum disorders (NMOSD-ON), MOG-IgG
ensefalomielitis (MOG-ON), dan seronegative MS-ON. Keterlibatan bilateral
lebih sering terjadi pada NMOSD-ON dan MOG-ON daripada MS-ON, dan lesi
chiasmal dan traktus optikus lebih sering terjadi pada NMOSD-ON (22,23).
Peningkatan perineural penting pada MOG-ON (24). Meskipun lesi longitudinal
yang luas sering terjadi pada NMOSD-ON dan MOG-ON (22,23,25-27), saraf
optik retrobulbar sebagian besar terlibat pada MOG-ON, sedangkan saraf optik
intrakranial terutama terlibat pada NMOSD-ON (23). Berbeda dengan MS-ON
dan MOG-ON, panjang lesi saraf optik berkorelasi dengan outcome penglihatan
pada NMOSD-ON (28,29). Kehadiran dan pola lesi MRI otak juga dapat
memberikan petunjuk diagnostik yang berharga (15,23,30). Pola unik
peningkatan radial perivaskular linier, memanjang keluar dari ventrikel, diamati
pada MRI gadolinium pascakontras pada banyak pasien dengan neuritis optik
terkait dengan glial fibrillary acid protein autoantibodies (GFAP-ON).

Gambar 1. MRI neuritis optik. A. Postcontrast axial T1 scan with fat suppression,
menunjukkan lesi longitudinal luas yang melibatkan nervus optik kiri intraorbital pada
pasien dengan neuritis optik dan MOG-IgG. B. Gambar Postcontrast coronal T1 fat-
suppressed, menunjukkan enchanment sarah dan selubung nervus optik yang jelas. Axial
(C) dan coronal (D) gambaran T1 dari lesi yang melibatkan nervus optik intrakranial
kanan dan chiasma optik pada pasien dengan neuritis optik dan NMOSD. E. Gambar
Postcontrast coronal T1 fat-suppressed, menunjukkan enchancment kedua nervus optik
dan selubung sekitarnya pada pasien dengan neuritis optik dan MOG-IgG. MOG-IgG,
myelin oligodendrocyte glycoprotein autoantibodies; NMOSD, neuromyelitis optica
spectrum disorder.
Tabel 2. Petunjuk diagnostik pencitraan pada neuritis optik akut
NMOSD-ON MOG-ON MS-ON
Distribusi lesi neuritis Bilateral Bilateral Unilateral
optik
Keterlibatan segmen Intrakranial, Retrobulbar Retrobulbar dan
chiasmal, traktus canalicular
optikus
Panjang Lesi Extensive Extensive Segmen pendek/fokal
longitudinal longitudinal
Derajat Ringan Berat Ringan
pembengkakan
Neuritis optik
Lokasi enchancement Nervus optik Nervus optik dan Nervus optik
postcontrast perineural
Lesi yang tampak Umumnya tampak Jarang tampak Sering tampak
pada MRI otak
Lokasi/karakteristik Lesi hipotalamus Luas, lesi Periventrikular, lesi
lesi otak lebih umum tumefactive; lesi ovoid; lesi
daripada MOG-ON kortikal dan subkortikal dan
dan MS-ON; fossa subkortikal juxtacortical
posterior dan abu-
abu periaqueductal
MOG, myelin oligodendrocyte glycoprotein; MS, multiple sclerosis; NMOSD,
neuromyelitis optica spectrum disorder.

Serologi autoimun dan analisis cairan serebrospinal dapat memberikan


petunjuk penting untuk memfokuskan diagnosis banding. Coexisting
autoantibodies lebih sering terjadi pada pasien dengan NMOSD-ON dan MOG-
ON dibandingkan pada pasien dengan MS-ON (31-33). Pada pasien dengan
GFAP-ON, autoantibodi serum neural dan cairan serebrospinal diidentifikasi
pada sekitar 40% pasien, dengan antibodi terhadap reseptor N-metil-D-aspartat
dan asam glutamat dekarboksilase 65 menjadi yang paling umum (15). Dalam
cairan serebrospinal (CSF), pleositosis signifikan ($100 sel/mL) diamati lebih
sering pada pasien dengan MOG-ON dibandingkan pada pasien dengan
NMOSD-ON (28% vs 6%), dengan kedua gangguan menunjukkan jumlah sel
polimorfonuklear yang signifikan. Ikatan oligoklonal dan sintesis IgG intratekal
jarang terjadi pada MOGON dan NMOSD-ON (31,34). Pleositosis cairan
serebrospinal (CSF) sering diamati pada pasien dengan autoimunitas GFAP, dan
keberadaan autoantibodi GFAP mungkin terbatas pada cairan tulang belakang
(15).
Dalam kasus dimana ada kecurigaan untuk infeksi, pasien dengan neuritis
optik harus diuji untuk sifilis, penyakit Lyme, Bartonella, dan virus West Nile.
Di daerah endemik, atau dengan riwayat pajanan, tes quantiferon-gold untuk
tuberkulosis diperlukan. Kecurigaan yang signifikan untuk sarkoidosis
memerlukan computed tomography (CT) dari thoraks atau tomografi emisi
positron seluruh tubuh karena serum angiotensin converting enzyme dan uji
lisozim tidak sensitif.
OCT mungkin terbukti berguna dengan mengidentifikasi inflamasi retina
yang halus, edema makula, perubahan mikrokistik, atau neovaskularisasi. OCT
yang dilakukan pada pasien dengan neuritis optik akut telah mendokumentasikan
edema retinal nerve fiber layer (RNFL), penipisan ganglion cell plus inner
plexiform layer (GC+IPL), dan hilangnya RNFL peripapiler (10,35-40). Edema
diskus optikus, yang diukur dengan OCT dan pemeriksaan fundus, lebih sering
terjadi pada MOG-ON daripada pada NMOSD-ON (9,23). Dalam keadaan akut,
bagaimanapun, korelasi antara metrik OCT, prognosis penglihatan, dan respon
terapeutik tidak tampak jelas; oleh karena itu, OCT tidak direkomendasikan
untuk memandu tatalaksana neuritis optik akut. Namun, dalam kasus neuritis
optik berulang, tingkat dan pola hilangnya RNFL dan penipisan retina pada saraf
optik yang terkena sebelumnya mungkin informatif (10,38,39).

TATALAKSANA AKUT UNTUK NEURITIS OPTIK


Sejak selesainya ONTT pada tahun 1992, metilprednisolon intravena
dosis tinggi telah menjadi tatalaksana pilihan untuk terapi segera neuritis optik
akut. Metilprednisolon intravena (1.000 mg setiap hari selama 3 hari) diikuti
dengan prednison oral (1 mg/kg/hari selama 11 hari) mempercepat pemulihan
penglihatan dan meningkatkan hasil fungsional jangka pendek, tetapi tidak
jangka panjang (4,41). Studi tambahan telah gagal untuk menunjukkan efek
metilprednisolon intravena dosis tinggi atau kortikosteroid oral pada fungsi
jangka panjang atau perkembangan selanjutnya dari atrofi saraf optik (42-44).
Namun demikian, manfaat dari pemulihan visual yang dipercepat,
dikombinasikan dengan tingkat efek samping yang dapat diterima telah
mendorong penggunaan rutin metilprednisolon intravena untuk tatalaksana
neuritis optik akut. Hormon adrenokortikotropik intramuskular atau subkutan
juga disetujui untuk pengobatan neuritis optik dan MS-related relapses,
memberikan pilihan alternatif untuk modulasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
(45). Mengingat bioavailabilitas yang sangat baik dari kortikosteroid yang
diberikan secara oral (46), berbagai rejimen oral sekarang tersedia untuk
memberikan kortikosteroid pada dosis bioekivalen dengan metilprednisolone
intravena dosis tinggi, memberikan fleksibilitas terapi tambahan (47-49).
Prednison oral pada dosis yang lebih rendah, bagaimanapun, harus dihindari
karena meningkatkan risiko kekambuhan neuritis optik (4).
Meskipun data klinis ekstensif mendukung manfaat dan keamanan
pemberian kortikosteroid dosis tinggi untuk pengobatan neuritis optik akut,
masih belum jelas apakah pengobatan dini dengan kortikosteroid dosis tinggi
optimal untuk semua penyebab neuritis optik, dan apakah pengobatan lain harus
diganti atau dikombinasikan dengan kortikosteroid untuk meningkatkan outcome
penglihatan. Outcome penglihatan setelah serangan individu NMOSD-ON secara
signifikan lebih buruk daripada MS-ON dan MOG-ON (6,17,19,20). Pada pasien
seropositif untuk GFAP-IgG, papilitis saraf optik tanpa perubahan ketajaman
penglihatan dilaporkan (18). Kehilangan RNFL peripapiler dan penipisan
GC+IPL juga meningkat pada NMOSD-ON (9,10,22,38,39); namun, kejadian
berulang neuritis optik pada pasien MOG-IgG seropositif sering mengarah pada
pengukuran RNFL dan OCT retinal yang sebanding dengan pasien NMOSDON
(9,10). Menariknya, ketika sampel serum dari 177 dari 448 pasien yang terdaftar
dalam ONTT diuji untuk AQP4- dan MOG-IgG, hanya 4 pasien MOG-IgG
seropositif yang diidentifikasi (50). Oleh karena itu, hasil ONTT tidak informatif
tentang dampak kortikosteroid dosis tinggi pada pemulihan visual pada
NMOSD-ON dan MOG-ON. Sebuah analisis retrospektif tentang respon
pengobatan pada serangan NMOSD menunjukkan bahwa manfaat terapeutik dari
solumedrol intravena (IVSM) sering tidak lengkap, dan pemberian berulang
tidak meningkatkan tingkat remisi lengkap (11). Di antara 232 serangan
NMOSD-ON terisolasi, hanya 77 pasien (33%) menunjukkan remisi lengkap
setelah pengobatan dengan IVSM dosis tinggi; pemberian ulang tidak
meningkatkan jumlah responden lengkap tetapi hanya mengurangi jumlah
nonresponden. Tingkat respons bahkan lebih mengecewakan pada pasien
NMOSD-ON yang disertai mielitis.
Imunoglobulin intravena (IVIg) dan plasma exchange (PLEX) adalah
terapi imunomodulator alternatif yang mungkin menawarkan manfaat tambahan
untuk pengobatan neuritis akut. Dalam uji coba plasebo terkontrol dari neuritis
optik akut, IVIg (0,4 g/kg) tidak meningkatkan sensitivitas kontras atau fungsi
penglihatan pada 6 bulan setelah cedera (51). Dosis yang sama tidak
memperbaiki kehilangan penglihatan refrakter pada pasien dengan MSON (52).
Respon pasien dalam kedua penelitian, bagaimanapun, mungkin telah dibatasi
oleh pemberian IVIg yang tertunda: 4 minggu dalam percobaan neuritis optik
akut dan rata-rata 4 tahun dalam percobaan neuritis optik refrakter. Dalam
percobaan pada tikus dengan lesi NMOSD (53), IVIg manusia mengurangi
pembentukan lesi dengan menghambat sitotoksisitas yang bergantung pada
komplemen dan diperantarai sel. Oleh karena itu, masih harus ditentukan apakah
IVIg dapat bermanfaat bagi pasien dengan NMOSDON ketika diberikan
bersamaan atau setelah terapi kortikosteroid dosis tinggi.
PLEX telah berhasil digunakan dalam pengobatan steroid neuritis optik
refraktori dan NMOSD-ON (54-58). Berdasarkan penelitian, peningkatan fungsi
penglihatan telah dicatat pada 45%-55% pasien yang dirawat. Sayangnya, karena
desain retrospektifnya, penelitian ini gagal menentukan kriteria untuk
penggunaan atau waktu optimal PLEX (59). Dalam banyak kasus, interval
pendek antara penyelesaian IVMP dan pemberian PLEX membuat tidak jelas
seberapa besar manfaat klinis karena efek IVMP yang tertunda. Jenis kelamin
laki-laki, disabilitas awal yang lebih rendah, inisiasi pengobatan yang cepat, dan
durasi kekambuhan yang lebih pendek telah dikaitkan dengan respons yang lebih
besar terhadap PLEX (11,60-62). Meskipun inisiasi awal PLEX berkorelasi
dengan respons pengobatan, terapi PLEX yang tertunda mungkin masih menjadi
pilihan pengobatan yang masuk akal untuk pasien dengan neuritis optik akut
yang mungkin tidak memiliki akses langsung ke fasilitas dengan peralatan yang
diperlukan. Deschamps et al (56) menemukan bahwa setengah dari pasien
dengan pemulihan penglihatan yang buruk (tajam penglihatan lebih buruk dari
atau sama dengan 20/200) setelah IVSM dosis tinggi, tajam penglihatannya
meningkat menjadi 20/30 atau lebih baik setelah PLEX (waktu rata-rata untuk
PLEX: 30 hari). Karena PLEX menimbulkan biaya yang signifikan dan dapat
mengakibatkan efek samping yang serius seperti hipotensi, infeksi, hipokalsemia,
dan koagulopati, studi prospektif acak tentang PLEX versus IVMP untuk
pengobatan NMOSDON akut diperlukan.
Imunoadsorpsi (IA) adalah bentuk alternatif dari apheresis terapeutik
yang memungkinkan penghapusan selektif antibodi dari plasma menggunakan
membran yang dimodifikasi. Apheresis terapeutik menawarkan keuntungan
potensial menghilangkan autoantibodi patogen sambil menghemat protein
plasma lainnya, sehingga menghilangkan kebutuhan untuk penggantian protein
dan berpotensi meminimalkan komplikasi. Imunoadsorpsi telah dilaporkan
menguntungkan steroid refraktori neuritis optik dan NMOSD-ON (63,64).
Kemanjuran dan keamanan relatif dari PLEX dan IA belum dievaluasi secara
langsung. Saat ini, IA tidak disetujui di Amerika Serikat.
Untuk individu yang tidak responsif terhadap IVMP dan PLEX,
imunosupresi dengan siklofosfamid intravena dapat menjadi pilihan terakhir.
Meskipun tidak ada studi klinis yang dipublikasikan mengenai respon neuritis
optik berat terhadap siklofosfamid intravena, sebagian pasien dengan mielitis
transversa akut telah mendapat manfaat dari pendekatan ini (65). Mengingat
risiko siklofosfamid IV dosis tinggi, bagaimanapun, pemilihan pasien yang
cermat dan tim rumah sakit yang berpengalaman disarankan.
Studi prospektif baru-baru ini telah mengevaluasi pendekatan terapi baru
untuk perlindungan saraf dan remielinasi pada neuritis optik akut. Dalam uji
coba acak terkontrol fase 2, fenitoin terbukti memperbaiki kehilangan RNFL
pada neuritis optik akut. Pengobatan dengan fenitoin, bagaimanapun, tidak
berpengaruh pada outcome penglihatan atau visual evoked potentials (VEPs)
(66). Opicinumab, sebuah human monoclonal antibody against leucine-rich
repeat dan immunoglobulin domain-containing neurite outgrowth inhibitor
receptor-interacting protein-1 (anti-LINGO-1), baru-baru ini diselidiki sebagai
terapi remielinatif potensial pada neuritis akut. Pengobatan dengan opicinumab
tidak menghasilkan perubahan signifikan dalam latensi VEP pada 24 minggu
pada populasi yang ingin diobati; namun, peningkatan signifikan dalam VEP
latency delay diamati pada minggu ke-24 dan 32 pada populasi pasien per-
protokol yang telah ditentukan sebelumnya (67). Tidak terdapat efek dari
pengobatan anti-LINGO-1 terhadap ketebalan RNFL atau GC+IPL, baik pada
populasi pasien yang ingin diobati atau per-protokol pada 24 minggu. Namun
demikian, penambahan fenitoin atau opicinumab pada terapi imunomodulator
yang lebih poten mungkin masih menguntungkan outcome penglihatan pada
pasien dengan neuritis akut. Uji klinis yang lebih besar yang didukung untuk
menentukan efikasi klinis akan diperlukan.

SEBUAH TREATMENT RATIONALE UNTUK NEURITIS OPTIK


Seiring dengan pandangan klinis terhadap neuritis optik akut yang
menjadi semakin kompleks, pasien yang terkena mungkin mendapatkan
keuntungan dari theurapeutic rationale yang menekankan penggunaan awal
PLEX atau IA dalam keadaan klinis yang berkaitan dengan prognosis
penglihatan yang buruk (Gbr. 2). Seperti disebutkan sebelumnya, NMOSD dan
Neuritis Optik Rekuren (ON pada saraf optik yang sebelumnya terkena)
memiliki outcome penglihatan yang lebih buruk (10,17,19,20). Namun demikian,
dengan tidak adanya data klinis prospektif, pendekatan seperti itu perlu
disesuaikan dengan penilaian klinis. Dalam kasus neuritis optik seropositif yang
diketahui (misalnya, MOG-ON, NMOSD-ON, dan GFAPON), keputusan
pengobatan mungkin agak mudah; namun, dalam kasus neuritis optik
seronegatif, data laboratorium dan pencitraan harus diseimbangkan dengan
riwayat klinis (misalnya, respons pengobatan neuritis optik sebelumnya) untuk
mengukur apakah IVSM dosis tinggi awal dengan atau tanpa PLEX diperlukan.
Jika IVSM dosis tinggi digunakan sebagai monoterapi, penting untuk
menentukan kriteria keberhasilan terapi karena waktu PLEX mungkin penting
untuk pengobatan pada kondisi seperti NMOSD-ON (61). MOG-ON dan
GFAPON seropositif seringkali responsif terhadap kortikosteroid dosis tinggi
(8,9,15); oleh karena itu, kesabaran dalam mengantisipasi perbaikan klinis
diperlukan. Untuk CRMP-5-ON paraneoplastik, penggunaan triamcinolone
intravitreal mungkin bermanfaat (68).

Gambar 2. Flowchart menguraikan pendekatan prospektif untuk pengobatan neuritis


akut. "Recurrent", kejadian neuritis akut berulang pada mata yang terkena sebelumnya.
“High-dose IVMP,” metilprednisolon intravena dosis tinggi, hormon
adrenokortikotropik subkutan/intramuskular, atau bioekivalen kortikosteroid dosis tinggi
oral. “High-dose IVMP + PLEX/IA”, “high-dose IVMP” dengan plasma
exchange/imunoadsorpsi dilakukan secara bersamaan atau dengan jarak 5 hari. “High-
dose IVMP or previous Rx,” “High-dose IVMP" atau terapi akut sebelumnya yang
berhasil. "Antibiotics," agen antimikroba atau antivirus yang sesuai. AQP4, aquaporin-4;
IA, immunoadsorption; IVMP, intravenous methylprednisolone; MOG, myelin
oligodendrocyte glycoprotein; MS, multiple sclerosis; ON, optic neuritis; PLEX,
plasmapheresis.
Dalam kasus diduga neuritis optik infeksi, seperti penyakit Lyme, sifilis,
dan tuberkulosis, adalah bijaksana untuk memulai antibiotik yang tepat sesegera
mungkin. Kecuali jika dikontraindikasikan, terapi antibiotik harus dimulai
dengan terapi simtomatik jika kecurigaan infeksi tinggi. Terapi antibiotik dapat
dihentikan atau disesuaikan berdasarkan pencitraan atau studi diagnostik
berikutnya. Namun, pada infeksi Bartonella, manfaat terapi antibiotik tidak jelas.
Pada Neuritis optik Bartonella, terapi antibiotik mungkin terbatas pada individu
dengan kehilangan penglihatan yang parah, infeksi sistemik, atau status
immunocompromised (69).
Sebuah treatment rationale untuk neuritis optik tidak akan lengkap tanpa
pertimbangan potensi kehilangan penglihatan berulang. Karena neuritis optik
secara rutin dikaitkan dengan kehilangan RNFL dan GC+IPL, metode ideal
untuk mengoptimalkan outcome penglihatan jangka panjang adalah pencegahan
serangan di masa mendatang, terutama dengan NMOSD-ON dan MOG-ON.
Meskipun tidak ada terapi yang disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan NMOSD, ada penelitian yang mendukung penggunaan
off-label azathioprine, mycophenolate mofetil, methotrexate, rituximab, dan
tocilizumab (70-74). Membedakan NMOSD dari MS adalah penting karena
penyakit yang memburuk telah dilaporkan setelah pengobatan dengan beberapa
terapi MS yang disetujui: beta-interferon (75), natalizumab (76), dimetil fumarat
(77), alemtuzumab (78), dan fingolimod (79). Kejadian rekuren dari neuritis opik
dan mielitis transversa telah dilaporkan pada pasien seropositif untuk MOG-IgG
(80-82). Rejimen steroid dan steroid-sparing yang optimal untuk pasien dewasa
dan anak-anak yang rekuren belum ditentukan tetapi mungkin terdiri dari
campuran yang digunakan pada MS dan NMOSD (80,83). AON (84) dan
CRION (85,86) didefinisikan sebagai kasus neuritis optik rekuren seronegatif
yang responsif terhadap steroid (steroid-responsive) dan bergantung pada steroid
(steroid-dependent). Apakah perlu untuk mempertahankan penunjukan historis
ini, hal ini masih bisa diperdebatkan karena kemungkinan petunjuk ini akan
berkurang penggunaannya karena perbaikan terus-menerus dalam uji imunologi
dan molekuler yang digunakan untuk mendefinisikan nosologi neuritis optik.

KESIMPULAN
Neuritis Optik akut disebabkan oleh jumlah gangguan yang semakin
kompleks yang dapat dibedakan berdasarkan riwayat, funduskopi, pencitraan,
dan serologi. Studi imunologi baru-baru ini telah menunjukkan bahwa pemulihan
penglihatan setelah neuritis optik autoimun tidak menjanjikan secara seragam,
dan penggunaan rutin kortikosteroid dosis tinggi untuk mempercepat pemulihan
mungkin tidak cukup dalam keadaan tertentu. Pengobatan neuritis optik akut
kemungkinan akan mendapat manfaat dari evaluasi terfokus yang dirancang
untuk mengidentifikasi pencitraan dan data laboratorium yang mendukung
etiologi infeksi, paraneoplastik, dan autoimun tertentu. Dengan menggunakan
hasil ini, pengobatan dapat disesuaikan untuk menanggapi mekanisme cedera
dan prognosis visual. Percobaan pengobatan prospektif yang dirancang untuk
menyelidiki rejimen pengobatan agresif pada inflamasi akut neuritis optik
cenderung mendukung treatment rationales yang mempercepat pemulihan dan
mempertahankan fungsi penglihatan dan komponen struktural saraf optik.

Anda mungkin juga menyukai