Anda di halaman 1dari 37

CASE REPORT

ANEMIA BERAT MIKROSITIK HIPOKROM ec PENYAKIT KRONIS +


CKD STAGE V ec NEFROPATI OBSTRUKSI +
HEPATOCELULER CARCINOMA SEKUNDER

Oleh
dr. Rachilla Arandita Saraswati

Pembimbing
dr. Yanrike Harahap, Sp.PD

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD H. ABDUL MANAP KOTA JAMBI
2022

1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP RSUD H. ABDUL MANAP
KOTA JAMBI PERIODE 2021-2022

Laporan kasus ini disusun sebagai tugas wajib untuk menyelesaikan Program
Internsip dalam forum ilmiah RSUD H Abdul Manap Kota Jambi.
Laporan kasus ini dipresentasikan oleh:
Nama : dr. Rachilla Arandita Saraswati
Hari/Tanggal : Mei 2022
Waktu : 12.00 WIB
Tempat : RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi
Kasus : Anemia ec Penyakit Kronis + CKD Stage V + Hepatoceluler
Carcinoma Sekunder
Pembimbing : dr. Yanrike Harahap, Sp.PD

Jambi, Mei 2022


Mengetahui,
Pembimbing:

dr. Yanrike Harahap, Sp.PD

2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP RSUD H ABDUL MANAP
KOTA JAMBI PERIODE 2020-2021

Laporan kasus ini disusun sebagai tugas wajib untuk menyelesaikan Program
Internsip dalam forum ilmiah RSUD H Abdul Manap Kota Jambi.
Laporan kasus ini dipresentasikan oleh:
Nama : dr. Rachilla Arandita Saraswati
Hari/Tanggal : Mei 2022
Waktu : 12.00 WIB
Tempat : RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi
Kasus : Anemia ec Penyakit Kronis + CKD Stage V + Hepatoceluler
Carcinoma Sekunder
Pembimbing : dr. Yanrike Harahap, Sp.PD

Jambi, Januari 2022


Mengetahui,
Pendamping:

dr. Dini Rahayu Handayani

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat waktu.
Laporan kasus berjudul “Anemia ec Penyakit Kronis + CKD Stage V +
Hepatoceluler Carcinoma Sekunder” ini disusun dalam rangka mengikuti Program
Intership Dokter Indonesia (PIDI) angkatan III periode September 2021 – 2022.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:
1. dr. Yanrike Harahap, Sp.PD selaku pembimbing sekaligus DPJP pasien.
2. dr. Dini Rahayu Handayani selaku pendampingbagian Rawat Inap RSUD H.
Abdul Manap
3. dr. Maria Inge Jammin selaku pendamping bagian Puskesmas Kebun Handil
4. dr. Sri Rosianti selaku pendamping bagian Puskesmas Paal X
5. Rekan-rekan dokter internsip
6. Pihak-pihak lain yang telah banyak membantu
Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat khususnya kepada penulis dan
kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai dokter.

Jambi, Mei 2022

Penulis

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia penyakit kronis mengacu pada anemia normokromik, normositik,


hipoproliferatif dalam konteks keadaan inflamasi akut atau kronis, termasuk infeksi,
keganasan, dan kondisi autoimun. Beberapa studi epidemiologi telah melaporkan bahwa
anemia penyakit kronis juga ditemukan pada kondisi klinis yang disertai peradangan
ringan tapi persisten termasuk chronic kidney disease (CKD), diabetes mellitus, dan
penuaan. Anema penyakit kronis adalah anemia yang paling umum kedua setelah
anemia defisiensi besi, paling sering ditemukan pada usia tua. Prevalensi anemia dari
sebagian besar penyebab telah menurun secara global antara tahun 1990 dan 2010,
tetapi anemia penyakit kronis diperkirakan akan meningkat seiring bertambahnya usia
populasi.1,2,3
Anemia penyakit kronis umumnya ringan atau sedang ditandai oleh kadar Hb
berkisar 7-11 g/dL, kadar Fe serum menurun disertai TIBC rendah, cadangan Fe yang
tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang dan disertai oleh rasa lemah
dan penurunan berat badan.4
Chronic Kidney Disease adalah kerusakan atau kelainan fungsi ginjal yang
muncul selama > 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) atau dengan adanya penanda kerusakan ginjal
yaitu albuminuria, kelainan sedimen urin, elektrolit dan kelainan lain akibat kelainan
tubulus, kelainan yang terdeteksi oleh histologi, kelainan struktural terdeteksi oleh
pencitraan, riwayat transplantasi ginjal. Laju filtrasi glomerulus (LFG) yang
dikategorikan sebagai CKD adalah <60ml/menit/1,73m 2, dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.4,5
Tumor hepar sekunder (metastasis) lebih sering ditemukan daripada tumor
primer. Penyebab yang paling umum dari keganasan primer yang bermetastasis ke hati
termasuk kanker payudara, paru-paru dan kolon. Keganasan hepar sekunder (metastasis)
mewakili sekitar 95% dari semua keganasan hati. Ditemukan sekitar 10 hingga 20%
pasien dengan kanker kolorektal. Frekuensi metastasis hati pada kanker gastrointestinal
(GI) tinggi, karena drainase vena portal dari saluran GI ke hati. Diagnosis dapat bersifat
insidental ditemukan saat pemeriksaan radiologi untuk penyakit lain.6

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny.M
Umur : 66 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Tanggal Masuk : 5 Maret 2022 (19.02 WIB)

2.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Lemas yang dirasa semakin memberat sejak ± 5 Jam SMRS

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan lemas yang dirasakan semakin
memberat sejak ± 5 Jam SMRS, lemas sebelumnya sudah dirasakan pasien
sejak ± 1 minggu SMRS,. Keluhan disertai dengan nyeri kepala terasa
seperti berdenyut-denyut, padangan kunang-kunang (+), sempoyongan (+),
os juga mengeluh nyeri pada perut kiri bawah seperti melilit dan hilang
timbul, mual (-), muntah (-), demam (-), batuk (-), pilek (-). BAB tidak ada
keluhan, BAK sedikit.
± 11 bulan SMRS, pasien juga mengeluh nyeri pada perut kiri bawah
yang dirasakan melilit dan hilang timbul, nyeri dirasa memberat saat os
hendak BAB. pasien mengatakan nyeri tidak terlalu mengganggu aktivitas
sehingga os tidak berobat untuk keluhan ini. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
± 3 minggu SMRS, pasien mengeluh nyeri perut kiri bawah semakin
memberat. Os juga mengeluh adanya BAB hitam dengan konsistensi cair,
banyaknya ± ½ gelas belimbing. Os juga mengatakan sering kesulitan untuk
flatus (+), mual (-), muntah (-). Riwayat BAB seperti kotoran kambing (+).

2
Os juga mengatakan kedua kaki mulai membengkak terutama saat os duduk
mengantung lama. Penurunan berat badan (+).
± 1 minggu SMRS, os berobat ke poli penyakit dalam dengan keluhan
nyeri perut yang dirasa semakin memberat dan kedua kaki bengkak.
Kemudian os disarankan untuk cek labor dan USG abdomen. ± 1 hari
SMRS, os kembali kontrol ke poli penyakit dalam, dikatakan ada keganasan
dan fungsi ginjal kurang baik sehingga butuh cuci darah, kemudian os di
rujuk ke RS Raden Mattaher. Namun saat di RS Raden Mattaher, os di tolak
sehingga os kembali lagi ke poli penyakit dalam RS HAM ± 9 Jam SMRS.
Os disarankan untuk dirawat namun os belum mau. ± 3 Jam SMRS, os
merasa semakin lemas sehingga os datang ke IGD RS HAM.
Pasien datang dengan membawa hasil pemerikaan USG tanggal 26
februari 2022, dengan kesan terdapat Massa heterogen ireguler di regio
pelvis sisi kiri (curiga dari proyeksi sigmoid-rectum) dengan suspek infiltrasi
dinding vesika sisi posterolateral kiri, Lesi hipoekoik ireguler lobus kiri liver
ec, susp metastasis, dan Mild fatty liver.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol
- Riwayat diabetes melitus disangkal
- Riwayat maagh (+)
- Riwayat sakit kuning disangkal
- Riwayat sakit jantung di sangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat keganasan disangkal
- Riwayat sakit kuning disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat diabetes melitus disangkal

3
e. Riwayat Kebiasaan
- Pasien rutin konsumsi jamu-jamuan seduh sejak usia muda dan terakhir
minum jamu 2 minggu yang lalu

f. Riwayat Pengobatan
- Allopurinol 1 x 100 mg
- Vitamin B Complex 3 x 1 tab
- Asam folat 2 x 1 tab
- Curcuma forte 3 x 1 tab

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 167/91 mmHg
Frekuensi nadi : 78 x / menit
Frekuensi nafas : 22 x / menit
Suhu :36,6 °C
SpO2 : 99 %

Keadaan spesifik
Mata
Conjunctiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil isokor Ø 3mm/3mm, refleks
cahaya +/+
Leher
JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), struma
nodusa (-), bruit (-).
Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru-paru
I : Statis,dinamis, simetris kanan = kiri

4
P : Stem fremitus paru kanan = kiri
P : Sonor pada kedua lapang paru
A : Vesikuler (+) di seluruh lapang paru, wheezing (-), ronkhi (-)
Jantung
I : Iktus cordis tidak terlihat
P : Iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS ICS V
P : Batas kanan: ICS IV linea parasternalisdextra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kiri : ICS V linea midcalvicula sinistra
A : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
I : Datar, distensi (-)
A : BU (+) normal
P : Soepel; Nyeri tekan (+) regio kiri bawah; hepar teraba 2 jari bawah arcus
costae, permukaan rata, tepi tumpul, konsistensi lunak; lien tidak teraba.
P : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-/-)

Ekstremitas
Superior : Palmar anemis (+/+), edema (-/-), akral hangat, CRT < 2”
Inferior : Edema (-/-), akral hangat, CRT < 2”

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. LABORATORIUM
DARAH RUTIN (5 Maret 2022)
Jenis Hasil Normal
Pemeriksaan
WBC 19,4 (4-10,0 103/mm3)
RBC 2,62 (3,5-5,5 106/mm3)
HGB 6,3 (11,5-16,5 g/dl)
HCT 18,5 (35,0-50,0 %)
PLT 593 (100-300 103/mm3)
MCV 70,7 (75-100 fl)

5
MCH 24,3 (25-35 pg)
MCHC 34,4 (31,0-38,0/dl)
GDS 109 <200 mg/dl

FAAL HATI (4 Maret 2022)


Parameter Hasil Normal
Protein total 5,3 6,4 – 8,4 mg/l
Albumin 1,8 3,5 – 5,0 mg/l
Globulin 3,5 3,0 – 3,6 mg/l

FAAL GINJAL (5 Maret 2022)


Parameter Hasil Normal
Ureum 108 15 – 39 mg/l
Kreatinin 5,0 0,6 – 1,1 mg/l

ELEKTROLIT (5 Maret 2022)


Parameter Hasil Normal
Natrium 137,78 135 – 150 mmol/l
Kalium 4,14 3,6 – 5,5 mmol/l
Clorida 96,83 95 – 110 mmol/l
Calsium 1,08 8,6 – 10,3 mmol/l

b. EKG (5 Maret 2022)

6
Interpretasi EKG
Irama : Sinus rhytm
Regularitas : Reguler
HR : 101 x/menit
Axis : Normal Axis
PR Interval : Reguler
ST Segmen : Normal
Kesimpulan  Sinus Rhytm, Normoaxis

c. USG Abdomen (26 Februari 2022)

Hasil :
- Tidak tampak efusi pleura. Tidak tampak cairan bebas di intraabdomen
- Hepar : bentuk dan ukuran normal, ekhostruktur parenkim meningkat
homogen, Struktur vaskuler dan saluran billier tidak melebar. Tampak lesi

7
hipoekhoik ireguler berlobulasi batas relatif tegas berukuran sekitar 3,1 x 2,0
cm di lobus kiri hepar.
- Kandung empedu : Ukuran normal, dinding tidak menebal, tidak tampak
batu maupun lesi.
- Pankreas : ukuran dalam batas normal, ekhostruktur parenkim homogen.
Tidak tampak lesi fokal.
- Lien : bentuk dan ukuran normal, ekhostruktur parenkim homogen.
ekhostruktur parenkim homogen. Tidak tampak lesi fokal.
- Kedua ginjal : bentuk dan ukuran baik, diferensiasi korteks medula jelas,
sistem pelviokalises tidak melebar patologis. Tidak tampak batu/lesi fokal.
Curiga urothelial thickening ringan ginjal bilateral.
- Aorta : kaliber normal, tidak tampak kelenjar limfe paraaorta.
- Vesica urinaria : dinding tampak menebal dengan curiga lesi hipoekhoik
heterogen di sisi posterolateral kiri (infiltrasi massa?)
- Tampak lesi hipoekhoik heterogen batas tidak tegas di regio pelvis sisi kiri
curiga dari proyeksi kolon sigmoid-rektum. Pada konfirmasi Doppler tampak
vaskularisasi di intra-perilesi. Massa curiga menempel dan menginfiltrasi
dinding vesika sisi posterolateral kiri.

Kesan :
- Massa heterogen ireguler di regio pelvis sisi kiri (curiga dari proyeksi
sigmoid-rectum) dengan suspek infiltrasi dinding vesika sisi
posterolateral kiri.
- Lesi hipoekoik ireguler lobus kiri liver ec, susp metastasis
- Mild fatty liver.

2.5 DIAGNOSIS KERJA


 Anemia Berat Mikrositik Hipokrom ec Penyakit Kronis
 CKD Stage V ec Nefropati Obstruksi
 Hepatocelluler carcinoma sekunder susp metastase ca. colorectal
 Hipoalbumin

8
2.6 DIAGNOSIS BANDING
 Anemia Berat Mikrositik Hipokrom ec Perdarahan
 CKD Stage V ec Hipertensi

2.7 TERAPI
NON FARMAKOLOGI
- Istirahat yang cukup
- Diet Makanan Lunak Rendah Protein (1 gr/kgBB/hari  45 gr/hari)
- Edukasi pasien dan keluarga

FARMAKOLOGI
- IVFD Kidmin : Asering  1 : 1 / 12 jam
- Inj. Lansoprazole 2 x 30 mg/iv
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
- Inj. Vitamin K 3 x 1 amp/iv
- Transfusi PRC 1 kolf/12 jam
 Premed : Inj. Furosemide 1 amp/iv
- Transfusi Albumin 25 % 1 fls
- PO Asam Folat 1 x 5 mg
- PO Bicnat 3 x 1 tab
- PO Ketosteril 2 x 1
- PO Candesartan 1 x 8 mg

2.8 PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia ad malam
 Quo ad functionam : Dubia ad malam
 Quo ad sanationam : Dubia ad malam

9
2.9 FOLLOW UP
Hari/ Tanggal S O A P
06/03/2021 Pucat (+), perdarahan GCS: 15  Anemia Berat  Diet ML Rendah Protein
(-), Vital sign: Mikrositik Hipokrom  IVFD Kidmin : Asering  1 : 1 /
TD : 150/74 mmHg 12 jam
ec Penyakit Kronis
 Inj. Lansoprazole 2 x 30 mg/iv
RR : 20 x/i  CKD Stage V ec  Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
N : 92 x/i Nefropati Obstruksi  Inj. Vitamin K 3 x 1 amp/iv
Suhu : 37,2 C  Hepatocelluler  Transfusi PRC 1 kolf/12 jam
 Premed : Inj. Furosemide 1
carcinoma sekunder
Pem. Fisik Abdomen: amp/iv
susp metastase ca.
I : Datar  Transfusi Albumin 25 % 1 fls
colorectal
P : Soepel, NTE (-), hepar teraba 2  PO Asam Folat 1 x 5 mg
 Hipoalbumin
jari BAC  PO Bicnat 3 x 1 tab
 Hipertensi
P : Timpani  PO Ketosteril 2 x 1
A : BU (+) normal  PO Candesartan 1 x 8 mg

Laboratorium (06/03/2022)
Morfologi Darah Tepi
 Eritrosit : Dominasi mikrosit,
normoit, sigar, burr, ovalosit, sel

10
pensil, normokromik
 Leukosit : Jumlah meningkat,
granulasi toksik neutrofil
 Trombosit : Jumlah meningkat,
penyebaran merata, ditemukan
trombosit besar
Kesan :
- Anemia mikrositik
- Leukoitosis, netroglia absolut
disertai reaktivasi netrofil
- Trombositosis
Simpulan :
Gambaran anemia ec susp penyakit
kronis disertai defisiensi besi tahap
awal disertai proses infeksi susp.
Bakterial
07/03/2021 Pucat (+), perdarahan GCS: 15  Anemia Berat  Diet ML Rendah Protein
(-), Vital sign: Mikrositik Hipokrom  IVFD Kidmin : Asering  1 : 1 /
Os mengeluh kurang TD : 150/80 mmHg 12 jam
ec Penyakit Kronis
nafsu makan  Inj. Lansoprazole 2 x 30 mg/iv
RR : 20 x/i  CKD Stage V ec  Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv

11
N : 90 x/i Nefropati Obstruksi  Inj. Vitamin K 3 x 1 amp/iv
Suhu : 36,8 C  Hepatocelluler  Transfusi PRC 1 kolf/12 jam
 Premed : Inj. Furosemide 1
Pem. Fisik Abdomen: carcinoma sekunder
amp/iv cek DR ulang setelah
I : Datar susp metastase ca.
2 kolf
P : Soepel, NTE (-), hepar teraba 2 colorectal
jari BAC  Transfusi Albumin 25 % 1 fls
 Hipoalbumin
P : Timpani  ISK  PO Asam Folat 1 x 5 mg

A : BU (+) normal  Hipertensi  PO Bicnat 3 x 1 tab


 PO Ketosteril 2 x 1
Laboratorium (07/03/2022)  PO Candesartan 1 x 8 mg
Darah Rutin
WBC : 22.700  Konsul bedah urologi
Hb : 8,9 g/dl
HCT : 25,6 %
PLT : 341.000
RBC : 3,79 x 1012/l

Urin Rutin
Mikroskopis
 Warna : Kuning muda

12
 Kejernihan: Jernih
 pH : 5,5
 Berat Jenis: 1.010
 Protein :+1
 Glukosa : (-)
 Keton : (-)
 Blood :+3
 Bilirubin : (-)
 Urobilin : (-)
 Urobilinogen : (-)
 Nitrit : (-)

Makroskopis
 Leukosit : 10 – 15 /LPB
 Eritrosit : > 25/ LPB
 Sel epitel : 6 – 8 /LPK
 Silinder : (-)
 Kristal : (-)
08/03/2021 Pucat (+), perdarahan GCS: 15  Anemia Berat  Diet cair susu hepatosal 6 x 100 cc
(-)

13
Vital sign: Mikrositik Hipokrom  IVFD Kidmin : Asering  1 : 1 /
TD : 137/77 mmHg ec Penyakit Kronis 10 jam
 Inj. Lansoprazole 2 x 30 mg/iv
RR : 20 x/i  CKD Stage V ec
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
N : 88 x/i Nefropati Obstruksi  Inj. Vitamin K 3 x 1 amp/iv
Suhu : 36,1 C  Hepatocelluler  Transfusi PRC 1 kolf/12 jam sd
carcinoma sekunder Hb > 10
 Premed: Inj. Furosemide 1 amp/iv
Pem. Fisik Abdomen: susp metastase ca.
 Transfusi Albumin 25 % 1 fls
I : Datar colorectal
 PO Asam Folat 1 x 5 mg
P : Soepel, NTE (-), hepar teraba 2  Hipoalbumin
jari BAC  ISK  PO Bicnat 3 x 1 tab
P : Timpani  Hipertensi  PO Ketosteril 2 x 1
A : BU (+) normal  PO Candesartan 1 x 8 mg
 Konsul bedah urologi :
Laboratorium (08/03/2022) Dx : Ca colorectal infiltrasi buli
Albumin : 2,1 mg/l + Anemia ec chronic disease
Saran :
- Co Sp.B-KBD
- Pertimbangkan HD dan
transfusi intraHD
09/03/2021 Pucat berkurang, nafsu GCS: 15  Anemia Berat  Diet cair susu hepatosal 6 x 100 cc
 IVFD Kidmin : Asering  1 : 1 /

14
makan bertambah Vital sign: Mikrositik Hipokrom 10 jam
TD : 169/85 mmHg ec Penyakit Kronis  Inj. Lansoprazole 2 x 30 mg/iv
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
RR : 20 x/i  CKD Stage V ec
 Inj. Vitamin K 3 x 1 amp/iv
N : 86 x/i Nefropati Obstruksi  Transfusi PRC 1 kolf/12 jam sd
Suhu : 36,7 C  Hepatocelluler Hb > 10
carcinoma sekunder  Premed : Inj. Furosemide 1

Pem. Fisik Abdomen: susp metastase ca. amp/iv

I : Datar colorectal  Transfusi Albumin 25 % 1 fls

P : Soepel, NTE (-), hepar teraba 2  Hipoalbumin  PO Asam Folat 1 x 5 mg


jari BAC  ISK  PO Bicnat 3 x 1 tab
P : Timpani  Hipertensi
 PO Ketosteril 2 x 1
A : BU (+) normal  PO Candesartan 1 x 8 mg

10/03/2021 Keluhan (-) GCS: 15  Anemia Berat  Rawat Jalan, terapi :


Vital sign: Mikrositik Hipokrom - Asam folat 1 x 5 mg
ec Penyakit Kronis

15
TD : 172/93 mmHg  CKD Stage V ec - Bicnat 3 x 500 mg
RR : 20 x/i Nefropati Obstruksi - Ketosteril 2 x 1 tab
N : 82 x/i  Hepatocelluler - Curcuma 3 x 1 tab

Suhu : 36,6 C carcinoma sekunder - Candesartan 1 x 16 mg


Pem. Fisik Abdomen: susp metastase ca. - Kontrol ke poli bedah
I : Datar colorectal
P : Soepel, NTE (-), hepar teraba 2  Hipoalbumin
jari BAC  ISK
P : Timpani  Hipertensi

A : BU (+) normal
Laboratorium (10/03/2022)
WBC : 10.500
Hb : 12,0 g/dl
HCT : 36,4 %
PLT : 264.000
RBC : 5,15 x 1012/l

Albumin : 2,7 mg/l

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anemia pada Keganasan dengan CKD


Kanker dan penyakit ginjal dihubungkan oleh kausalitas dan komorbiditas.
Lebih dari 50% pasien dengan diagnosis kanker atau ESRD juga mengalami anemia.
CKD pada pasien dengan kanker dapat terjadi karena efek langsung dan tidak langsung
dari tumor pada ginjal itu sendiri atau dari toksisitas terkait pengobatan. Kanker
merupakan penyebab kematian tersering di negara maju dan penyebab kematian nomor
dua di negara berkembang. Perkiraan global untuk tahun 2008 menunjukkan 12,7 juta
kasus kanker dan 7,6 juta kematian akibat kanker.7,8,9
Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang terjadi 1,62 miliar
orang di seluruh dunia. Database global WHO tentang Anemia untuk 1993-2005
mematok prevalensi anemia di seluruh dunia sebesar 25%. Anemia adalah manifestasi
hematologi pada kanker yang paling umum dan mayoritas pasien kanker adalah anemia.
Anemia kadang-kadang dapat menjadi satu-satunya manifestasi kanker dan pemeriksaan
diagnostik anemia dapat mengungkap keganasan tersembunyi seperti adenokarsinoma
gastrointestinal (refractory iron deficiency anemia (IDA), mungkin satu-satunya
manifestasi), hairy cell leukemia (HCL), atau myelodysplastic syndrome (MDS).
Anemia yang paling umum pada pasien dengan keganasan adalah anemia penyakit
inflamasi/kronis, meskipun penyebab lain tergantung pada lokasi juga dapat terjadi
(misalnya kehilangan darah pada keganasan lambung, kandung kemih, rahim, dan
serviks).7
Anemia pada chronic kidney disease (CKD) biasanya terjadi ketika laju filtrasi
glomerulus (GFR) turun di bawah 30 mL/menit/1,73 m2. Penyebab anemia pada CKD
adalah multifaktorial yaitu pemendekan masa hidup eritrosit, sekresi sitokin pro-
inflamasi yang menekan eritropoiesis, penurunan produksi eritropoietin ginjal dan
penurunan respons perifer terhadap hormon.10
Mirip dengan CKD, anemia juga sering dikaitkan dengan solid cancer dan
keganasan hematologi, yang merupakan kelainan hematologi yang paling umum pada
kanker. Meskipun kejadian anemia bervariasi dengan berbagai jenis keganasan (solid
cancer atau keganasan hematologi) dan stadium penyakit (terutama keterlibatan

18
sumsum tulang), telah diasumsikan bahwa lebih dari 40% dari semua pasien kanker
menunjukkan kadar hemoglobin yang rendah pada saat diagnosis. Angka ini dapat
meningkat hingga 80% pada pasien dengan penyakit tumor lanjutan.10

3.1.1 Patogenesis
Patogenesis anemia terkait kanker adalah genesis multifaktorial dan karena itu
evaluasi yang tepat menjadi lebih kompleks. Anemia dapat dikaitkan dengan
komorbiditas yang mendasarinya, termasuk perdarahan, kehilangan darah kronis akibat
intervensi bedah, hemolisis, penyakit herediter, insufisiensi ginjal yang menyertai atau
defisiensi nutrisi. Selanjutnya, kanker itu sendiri dapat berkontribusi pada
perkembangan anemia dengan menekan hematopoiesis dan mengurangi jumlah sel
progenitor eritroid melalui infiltrasi dan disfungsi sumsum tulang. Tumor dapat
menghasilkan sitokin parakrin dan endokrin, yang menyebabkan penyerapan zat besi
dan selanjutnya mengurangi produksi sel darah merah. Selama perjalanan penyakit,
mielosupresi oleh kemoterapi dan radiasi menambahkan hematotoksisitas iatrogenik
pada masalah yang sudah ada sebelumnya. Efek tidak langsung seperti gangguan
pemanfaatan kembali besi serta produksi dan respons eritropoietin yang tidak adekuat
memperburuk perkembangan anemia secara berat. Selain itu, defisiensi besi absolut dan
fungsional juga sering terjadi pada pasien kanker dan CKD. Kekurangan zat besi
absolut/absolute iron deficiency (AID) ditandai dengan berkurangnya simpanan zat besi
tubuh yang disebabkan oleh asupan zat besi yang tidak mencukupi dan/atau peningkatan
kehilangan zat besi. Pada functional iron deficiency (FID), simpanan besi internal tidak
habis, namun mobilisasi besi terganggu terutama karena regulasi negatif dari small
peptide hormone hepcidin. Jadi, ketersediaan besi untuk prekursor eritrosit yang
berproliferasi terbatas.10,11

19
Tabel 1. Patogenesis anemia pada keganasan berdasarkan etiologi.11

Gambar 1. Patogenesis dan Temuan Klinis anemia pada Ca Colorectal.

3.1.2 Patofisiologi1,2,5
1. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit
Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stress
hematologik (haematological stress), di mana terjadi produksi sitokin yang
berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi inflamasi atau kanker. Sitokin
tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banya zat
besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa menekan produksi eritropoietin oleh
ginjal, serts menyebabkan perangsangan yang inadekuat pade entropoiesis di

20
sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan
transformasi T4 (tetra-iodothyronine) menjadi T3 (tri-iodothyroning) menyebabkan
hipotiroid fungsional di mana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut
oksigen sehingga sintesis eritropoietin akhirnya berkurang

2. Penghancuran Eritrosit
Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek
pada sekitar 20-30% pasien. Defek ini terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila
eritrosit pasien ditranfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi
makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut
dan sebagai bagian dari filter limpa (compulsive screening). menjadi kurang toleran
terhadap perubahan/kerusakan minor dari eritrosit.

3. Produksi Eritrosit
a. Gangguan metabolisme zat besi.
Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya
gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal ini memberikan konsep
bahwa anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb.
Penelitian akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin lebih penting
untuk diagnosis daripada untuk patogenesis anemia tersebut.
Adanya infeksi, inflamasi atau keganasan menyebabkan aktivasi makrofag
sehingga merangsang pengeluaran IL-6. Selanjutnya IL-6 akan mengaktivvasi sel-sel
retikulo-endotelial di hati untuk menghasilkan hepsidin. Hepsidin akan berinteraksi
dengan feropontin yakni protein membran yang akan menghambat absorbsi besi oleh
usus halus, di samping itu hepsidin juga akan menurunkan pelepasan besi oleh
makrofag. Akibat kedua efek hepsidin tersebut, maka kadar besi dalam plasma akan
menurun (hipo-feremial), yang menjadi karakteristik untuk anemia penyakit kronis.

b. Fungsi sumsum tulang.


Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi peendekan masa
hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia akibat anemia. Pada
penyakit kronis, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat

21
berkurangnya pelepasan atau menurunnya respons terhadap eritropoietin. Penelitian
mengenai penglepasan eritropoietin menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada
beberapa penelitian kadar eritropoetin tidak berbeda bermakna pada pasien anemia
tanpa kelainan kronis, sedangkan penelitian lain menunjukkan penurunan produksi
eritropoietin sebagai respons terhadap anemia sedang berat. Agaknya hal ini
disebabkan oleh sitokin sepert IL-1 dan TNF- α yang dikeluarkan oleh sel-sel yang
cedera. Penelitian in vitro pada sel hepatoma menunjukkan bahwa sitokin-sitokin ini
mengurangi sintesis entropoietin
Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF- α, IL-1, IFN- yang ditemukan dalam
plasma pasien dengan penyakit inflamasi atau kanker terdapat hubungan secara
langsung antara kadar sitokin ini dengan beratnya anemia. TNF- α dihasilkan oleh
makrofag aktif dan bila disuntikan pada tikus menyebabkan anemia ringan dengan
gambaran khas seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang manusia
ia akan menekan eritropoesis pada pembentukan BFU-E dan CFU-E. Penelitian
terkini menunjukkan bahwa efek TNF- α ini melalui IFN- yang dinduksi oleh TNF
dan sel stroma.
IL-1 berperan dalam berbagai manifestasi inflamasi juga terdapat dalam serum
penderita penyakit kronis seperti halnya TNF, akan menginduksi anemia pada tikus
dan menekan pembentukan CFU-E pada kultut sumsum tulang manusia.
Kedua interferon tadi diduga dapat langsung menghambat CIU-E tanpa melalui
efek TNF-a, serta dapat menekan progenitor non-eritroid. Walaupun demikian,
bagaimana peranannya dalam patogenesis anemia secara pasti belum dapat
dijelaskan, karena masih banyak faktor-faktor lain yang tak terduga yang mungkin
berperan penting dalam patogenesis anemia jenis ini.

3.1.3 Manifestasi Klinis4,5


Anemia pada penyakit kronis umumnya derajat ringan dan sedang dengan kadar
Hb berkisar 7-11 g/dL anemia ini bersifat asimtomatik dan sering kali gejalanya tertutup
oleh penyakit yang mendasarinya. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas
fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport O2 jaringan akan memperjelas gejala
anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya seperti lesu dan lemas.
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa

22
kelainan yang khas dan diagnosis tergantung hasil pemeriksaan laboratorium.
Gambaran klinis pada pasien penyakit ginjal kronik bisa sesuai dengan penyakit
yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemia, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi,
anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
ektrolit (sodium, kalium, klorida). Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai
sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti:
kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri
dan kelainan kardiovaskular.
Kanker kolorektal sporadis biasanya ditemukan pada usia antara dekade keenam
dan kedelapan kehidupan sedangkan dalam bentuk herediter diagnosis biasanya
sebelum usia 50 tahun. Manifestasi klinis bervariasi tergantung pada lokasi tumor.
Dalam diagnosis banding kanker kolorektal harus mencakup neoplasma gastrointestinal
lainnya dan entitas lain seperti inflammatory bowel disease, angiodisplasia,
divertikulitis, aktinik, kolitis iskemik atau infeksi, dan tuberkulosis usus.12
Metastasis hati dini umumnya asimtomatik. Gejala non-spesifik kanker
(penurunan berat badan, anoreksia, malaise) sering muncul lebih dulu. Mungkin ada
hepatomegali, yang keras atau lunak. Hepar yang teraba nodular menunjukkan penyakit
stadium lanjut. Gambaran karakteristik bruit hepatik dan nyeri tipe pleuritik dengan
friction rub jarang terjadi. Ikterus progresif dan ensefalopati hepatik menyebabkan
kematian pada stadium terminal.6
Pada pasien metastasis hepar dari ca colorectal dapat ditemukan gejala seperti
perubahan pola buang air besar, hematokezia dan konstipasi. Kanker kolorektal dapat
menimbulkan obstruksi dengan gejala nyeri abdomen pada obstruksi partial, dan nausea,
muntah, distensi dan obstipasi pada obstruksi total.4

3.1.4 Pemeriksaan Laboratorium5,7,12


Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien
mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin

23
Capacity) <31 g/dl dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV (Mean
Corpuscular Volume) <80 fL. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal dan
trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya.
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk
diagnosa penyakit anemia karena penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah
timbul onset suatu infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia.
Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih
tinggi dari pada anemia defisiensi besi. Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi
dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam
sirkulasi kepada sel eritroid imatur.
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat dari pada
penurunan Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari)
dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.
Jika kanker kolorektal dicurigai, sangat penting untuk melakukan kolonoskopi
untuk memastikan adanya neoplasia dan untuk mendapatkan biopsi untuk diagnosis
histologis. Endoskopi juga memungkinkan identifikasi potensi lesi yang menyertai.
Mengenai skrining kanker kolorektal, telah ditunjukkan bahwa pada individu yang lebih
tua dari 50 tahun tanpa riwayat keluarga kanker kolorektal, dengan melakukan annual or
biennial fecal occult blood test (FOBT) sigmoidoskopi setiap 5 tahun atau kolonoskopi
setiap 10 tahun dapat menurunkan insiden dan kematian akibat kanker kolorektal
Immunochemical FOBT didasarkan pada deteksi hemoglobin manusia oleh
antibodi spesifik dan memiliki sensitivitas 66-90% dan spesifisitas lebih tinggi dari
90%. FOBT adalah teknik non-invasif yang tidak mahal, sederhana, dan tidak invasif.
diterima oleh pasien, yang tidak terpengaruh oleh asupan makanan dengan aktivitas
peroksidase atau obat-obatan
Pedoman KDIGO merekomendasikan untuk melakukan studi endoskopi pada
pasien yang menunjukkan hiporesponsif terhadap pengobatan dengan erythropoiesis-
stimulating agents (ESA). Karena pada pasien dengan CKD dan anemia, merupakan
prioritas untuk melakukan penelitian untuk mengidentifikasi asal anemia,
mengesampingkan faktor-faktor yang berkontribusi dan mengoptimalkan respons
terhadap pengobatan.

24
3.1.5 Diagnosis5,7,8
Diagnosis anemia pada keganasan dengan CKD dapat diidentifikasi berdasarkan
gejala khas, riwayat pasien yang terperinci, evaluasi klinis menyeluruh dan berbagai tes
khusus.
Seperti disebutkan sebelumnya, anemia penyakit kronis dapat ditemukan pada
penyakit kronis yang mendasarinya. Diagnosis anemia penyakit kronis menunjukkan
gejala-gejala anemia yang mungkin ditemukan, seperti wajah pucat, konjungtiva pucat,
lelah, lemah, dan gejala-gejala lain yang berhubungan dengan anemia. Selain itu,
diagnosis anemia penyakit kronis dapat ditegakkan dengan memeriksa pemeriksaan
laboratorium seperti: mengalami anemia dalam keadaan ringan sampai sedang, dimana
hemoglobin sekitar 7-11 g/dL; gambaran morfologi darah tepi, biasanya normositik
normokromik atau ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat ditemukan pada sepertiga
pasien dengan anemia penyakit kronis; volume sel rata-rata (MCV berarti Volume Sel
Rata-rata) normal atau sedikit menurun (=80 fl); penurunan serum besi (<60 mug/dL);
kemampuan mengikat besi deacrease (<250 mug/dL); penurunan saturasi transferin
(<20%); feritin serum normal atau meningkat (>100 mg/mL).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan sumsum tulang dan
kadar protoporfirin eritrosit bebas (FEP : Free Eritrosit Protoforfirin), tetapi
pemeriksaan ini jarang dilakukan. Menafsirkan hasil pemeriksaan sumsum tulang
mungkin sulit, karena bentuk dan struktur sel sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit
yang mendasarinya.
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronis, peradangan dan keganasan
menderita anemia, anemia disebut anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia
sedang, selularitas sumsum tulang normal, besi serum dan kadar TIBC rendah, kadar
besi dalam makrofag dalam sumsum tulang normal atau meningkat, dan feritin serum
meningkat.

25
Gambar 2. Alogaritma pendekatan diagnosis untuk anemia pada pasien kanker.

26
3.1.6 Tatalaksana
Jika tidak ditangani dengan benar, anemia akan menyebabkan kinerja fisik yang
buruk, memperburuk prognosis serta hasil terapi. Hal ini juga terkait dengan
peningkatan risiko kejadian kardio dan serebrovaskular dan memiliki efek buruk pada
survival.
Pilihan terapi yang paling umum untuk koreksi anemia termasuk suplementasi
zat besi, substitusi dengan erythropoiesis-stimulating agents (ESA) dan transfusi sel
darah merah. Tujuan akhir dari tatalaksana anemia adalah optimalisasi kadar
hemoglobin, mengurangi kebutuhan transfusi dan meningkatkan kualitas hidup dan
fatigue. Karena progresi CKD dan penyakit kanker disertai dengan penipisan simpanan
besi internal dan penurunan produksi eritropoietin, terapi substitusi yang tepat
tampaknya logis. Namun, efek samping terapi harus diperhatikan. Terutama, transfusi
darah jangka panjang harus selalu dipertimbangkan sebagai rasio ultima karena
komplikasi yang tidak diinginkan (misalnya: infeksi, hemosiderosis, allosensitization of
kidney transplant candidates, dll). Masih dalam kondisi tertentu seperti kegagalan
sumsum tulang, resistensi ESA atau hemoglobinopati, transfusi mungkin tak terelakkan.
Sejumlah penelitian mengangkat masalah keamanan dan efek yang tidak
menguntungkan dari koreksi anemia dengan ESA. Hal ini sebagian besar terkait dengan
komplikasi tromboemboli, perkembangan tumor dan peningkatan kematian terkait
kanker. Untuk menghindari komplikasi ini, dapat diasumsikan bahwa peningkatan
suplementasi zat besi dapat menjadi alternatif. Namun, efek jangka panjang pada hasil
klinis yang berat (kematian, kejadian kardiovaskular, rawat inap, dll.) dan keamanan
substitusi zat besi yang berlebihan, terutama pada kondisi CKD dan kanker bersamaan
sampai saat ini tidak diketahui.10
Guidelines lengkap telah tersedia untuk tatalaksana anemia pada pasien CKD
dari KDIGO dan pada pasien kanker dari ASCO dan ASH. Kedua pedoman
mengusulkan bahwa pemeriksaan awal untuk anemia harus mencakup anamnesis
perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik, dan tes diagnostik (CBC, jumlah retikulosit, besi
serum, feritin dan iron saturation [TSAT], B12, dan kadar folat), untuk mengidentifikasi
penyebab anemia selain dari kemoterapi, keganasan hematopoietik atau CKD. Pedoman
ASCO/ASH (Tabel 3) sebagian besar mengacu pada solid tumor.12
Tinjauan guideline ini menyoroti perlunya komunikasi lebih lanjut antara ahli

27
nefrologi dan ahli onkologi karena pengambilan keputusan bergantung pada faktor
spesifik pasien. Tersirat dalam pedoman adalah perlu bagi dokter untuk mendiskusikan
risiko dan manfaat relatif dari ESA versus transfusi RBC (tRBC) pada inisiasi
pengobatan dan ketika perubahan terapi terjadi. Pedoman ASCO/ASH menetapkan
bahwa ESA harus digunakan hanya bila anemia pada pasien kanker adalah akibat dari
terapi myelosupresif, yaitu, pengobatan kanker apa pun, termasuk radiasi, yang
membunuh sel normal dan sel kanker di sumsum tulang. ESA hanya boleh digunakan
jika Hg <10 g/dL dan ESA tidak boleh digunakan pada pasien kanker yang tidak sedang
menjalani pengobatan aktif dan untuk mereka yang pengobatan kanker diharapkan dapat
menyembuhkan penyakitnya.12
Untuk pasien dengan gejala anemia, KDIGO dan ASCO/ASH setuju bahwa
transfusi RBC tampaknya menjadi tatalaksana pilihan. tRBC akan segera memperbaiki
gejala, sedangkan ESA dapat memakan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-
bulan untuk memperbaiki gejala ini.12
Untuk pasien dengan anemia asimtomatik, ketika memutuskan apakah akan
diobati dengan transfusi RBC atau ESA, ahli nefrologi harus mempertimbangkan
diagnosis kanker primer pasien, harapan hidup dari kanker, risiko TE, riwayat transfusi,
komorbiditas, kualitas hidup, dan risiko yang menyertai unutk transfusi RBC.
Pendekatan yang lebih taktis dapat memberikan manfaat yang lebih besar dan
meminimalkan resiko. Transfusi RBC pada pasien yang mungkin memerlukan
transplantasi ginjal sebaiknya dihindari. Untuk pasien dengan risiko tinggi untuk
tromboemboli (riwayat operasi, imobilitas, atau yang menerima terapi anti angiogenik
atau hormonal), dapat mulai diberikan terapi tromboprofilaksis dengan antikoagulan
oral atau low molecular weight heparin sebelum memulai terapi kanker dan kemudian
mempertimbangkan penggunaan ESA setelah terdapat respon terhadap pengobatan.12
Untuk pasien dengan status fungsional yang buruk, komorbiditas yang
signifikan, dan yang prognosis kankernya buruk, transfusi RBC dan ESA dapat menjadi
pilihan untuk manajemen anemia tergantung pada preferensi dan kenyamanan pasien.
ESA mungkin harus dimulai pada tingkat Hb di mana pasien belum menunjukkan gejala
yang berhubungan dengan anemia. Untuk pasien yang lebih muda tanpa komorbiditas,
kadar Hb yang dimaksud mungkin serendah 7,5 g/dL. Untuk pasien yang lebih tua dan
mereka yang memiliki penyakit kardiovaskular, 8-8,5 g/dL mungkin merupakan

28
ambang batas yang masuk akal.12
ASCO/ASH membuat satu pengecualian untuk rekomendasinya bahwa ESA
hanya digunakan untuk pasien yang menjalani terapi kanker paliatif. Telah dibuktikan
bahwa pasien dengan sindrom myelodysplastic (MDS) dan kadar EPO serum <500 IU/L
telah ditandai peningkatan kadar Hg dengan ESA.12
Tabel 3. Ringkasan Guideline Praktik Klinis Terbaru dari American Society of Clinical
Oncology/American Society of Hematology12
Before offering an ESA, conduct a history, physical exam and diagnostic tests to identify alternative
causes of anemia aside from chemotherapy or an underlying hematopoietic malignancy.
ESAs should not be offered to patients with chemotherapy associ ated anemia whose cancer treatment is
curative in intent.
ESAs may be offered to patients with chemotherapy associated anemia whose cancer treatment in not
curative in intent and whose Hg is <10 g/dL. Depending on the severity of anemia and clinical
circumstances, RBC transfusion is also an option.
ESAs should not be offered to patients with nonchemotherapy associated anemia. One exception is that
ESAs may be offered to patients with lower risk MDS and a serum EPO level <500 IU/L
For patients with MM, NHL or CLL, clinicians should observe the hematologic response before
considering an ESA.
All ESA (epoetin beta and alfa, biosimilar epoetin alfa) are considered equivalent with regard to safety
and efficacy.
ESAs increase the risk for thromboembolism. Physicians must weight the risks of thromboembolism and
use caution and clinical judgment when considering ESA use.
When starting or modifying ESA doses, follow the FDA guidelines.
ESAs may be used to target the lowest Hg concentration needed to avoid or reduce the need for RBC
transfusions.
ESAs should be discontinued in patients who do not respond within 6‐8 wk, as evidenced by a rise in Hg of less than 1‐2 g/dL
or no decrease in transfusion requirement. Patients who do not respond to ESA should be reevaluated for underlying
tumor progression, iron deficiency or other etiologies.
Iron replacement may be used to improve Hg response and reduce RBC transfusions for patients
receiving ESA with or without iron deficiency
Abbreviations: CLL, Chronic Lymphocytic Leukemia; EPO, Epoetin; ESA, Erythropoietin
Stimulating Agents; MDS, Myelodysplastic Syndrome; MM Multiple Myeloma; NHL, Non
Hodgkin Lymphoma

Tabel 4. Guideline penggunaan ESA (epoetin dan darbepoetin) pada dewasa. 12

29
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien Ny. M usia 66 tahun datang ke IGD dengan keluhan lemas yang dirasa
semakin memberat sejak ± 5 Jam SMRS, lemas dirasakan sejak ± 1 minggu SMRS .
Keluhan disertai dengan nyeri kepala terasa seperti berdenyut-denyut, padangan
kunang-kunang (+), sempoyongan (+), os juga mengeluh nyeri pada perut kiri bawah
seperti melilit dan hilang timbul, mual (-), muntah (-), demam (-), batuk (-), pilek (-).
BAB tidak ada keluhan, BAK sedikit. ± 11 bulan SMRS, pasien juga mengeluh nyeri
pada perut kiri bawah yang dirasakan melilit dan hilang timbul, nyeri dirasa memberat
saat os hendak BAB. pasien mengatakan nyeri tidak terlalu mengganggu aktivitas
sehingga os tidak berobat untuk keluhan ini. BAB dan BAK tidak ada keluhan. ± 3
minggu SMRS, pasien mengeluh nyeri perut kiri bawah semakin memberat. Os juga
mengeluh adanya BAB hitam dengan konsistensi cair, banyaknya ± ½ gelas belimbing.
Os juga mengatakan jarang BAB dan sering kesulitan untuk flatus (+), mual (-), muntah
(-). Riwayat BAB seperti kotoran kambing (+). Os juga mengatakan kedua kaki mulai
membengkak terutama saat os duduk mengantung lama. Penurunan berat badan (+). ± 1
minggu SMRS, os berobat ke poli penyakit dalam dengan keluhan nyeri perut yang
dirasa semakin memberat dan kedua kaki bengkak.
Berdasarkan teori, anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD)
sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan.
Anemia ini umumnya ringan atau sedang berkisar antara 7-11 g/dl, disertai oleh rasa
lemah dan penurunan berat badan. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien yaitu merasa
lemas, dengan riwayat adanya nyeri perut kiri bawah berulang sejak ± 11 bulan yang
lalu dan adanya perubahan konsistensi feces dan pola buang air besar disertai penurunan
berat badan. Dari keluhan ini dicurigai adanya kelainan pada kolon, penurunan berat
badan yang signifikan tanpa diketahui penyebabnya meningkatkan kecurigaan adanya
keganasan pada pasien.
Dari tanda-tanda vital pasien didapatkan tekanan darah: 167/91 mmHg, nadi:
78x/menit, regular, RR: 22x/menit, suhu : 36,6˚C, SpO2: 99%. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya konjungtiva anemis, dan palmar anemis, pemeriksaan abdomen
didapatkan soepel, nyeri tekan (+) regio kiri bawah, dan hepar teraba 2 jari bawah arcus

30
costae, permukaan rata, konsistensi lunak, tepi tumpul, pemeriksaan ekstremitas inferior
didapatkan adanya pitting edema.
Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil
leukosit 19.400; Hb 6,3 g/dl; RBC 2,62; HCT 18,5 % dengan kesan leukositis dan
anemia. Pemeriksaan MDT didapatkan kesan gambaran anemia ec susp penyakit kronis.
Pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan ureum 108, kreatinin 5 dengan laju filtrasi
glomerulus 8.07 ml/menit/1,73 m2. Pemeriksaan fungsi hepar didapatkan albumin 1,8
mg/l. Pemeriksaan urinalisa mikroskopis didapatkan protein + 1, darah + 3 dan urinalisa
makroskopis didapatkan leukosit 10-15/LPB, eritrosit >25/LPB, dan sel epitel 6 –
8/LPK.
Pada pemeriksaan USG Abdomen didapatkan adanya massa heterogen ireguler
di regio pelvis sisi kiri (curiga dari proyeksi sigmoid-rectum) dengan suspek infiltrasi
dinding vesika sisi posterolateral kiri, lesi hipoekoik ireguler lobus kiri liver ec susp
metastasis, mild fatty liver.
Hasil pemeriksaan fisik yaitu konjungtiva dan palmar anemis, serta pemeriksaan
darah rutin didapatkan Hb 6,3 g/dl, pemeriksaan MDT didapatkan gambaran anemia ec
susp penyakit kronis. Hal ini mendukung diagnosis pasien yaitu anemia berat mikrositik
hipokrom ec penyakit kronis. Pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan laju filtrasi
glomerulus 8.07 ml/menit/1,73 m2 dan pada pemeriksaan urin rutin didapatkan adanya
protenuria sebagai marker kerusakan ginjal. Berdasarkan kriteria diagnostik CKD
menurut KDIGO, pasien termasuk dalam CKD stage V atau gagal ginjal. CKD pada
pasien ini kemungkinan disebabkan oleh nefropati obstruksi karena pada pemeriksaan
USG abdomen didapatkan adanya massa pada regio pelvis sisi kiri yang menginfiltrasi
dinding vesika. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan leukositosis disertai dengan
adanya leukositosis pada pemeriksaan urinalisa, hal ini mendukung penegakkan
diagnosis ISK pada pasien.
Gold standar untuk penegakkan diagnosis pada pasien dengan kecurigaan
adanya massa di GI tract adalah pemeriksaan CT Scan dengan kontras. Namun pada
pasien ini tidak dapat dilakukan karena fungsi ginjal pasien terganggu sehingga ekskresi
zat kontras dari tubuh tidak dapat dilakukan dengan baik
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologi yang dilakukan maka ditegakkan diagnosis pasien yaitu anemia berat

31
mikrositik hipokrom ec penyakit kronis + CKD Stage V ec nefropati obstruksi +
hepatocelluler carcinoma sekunder ec susp Ca. Colorectal + hipoalbumin + ISK +
Hipertensi.
Tatalaksana pasien diberikan diet makan lunak rendah protein 45gr/hari sesuai
berat badan pasien, IVFD Kidmin : Asering  1 : 1 / 12 jam, Inj. Lansoprazole 2 x 30
mg/iv, Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv, Inj. Vitamin K 3 x 1 amp/iv, Transfusi PRC 1
kolf/12 jam dengan Premed : Inj. Furosemide 1 amp/iv, transfusi Albumin 25 % 1 fls,
Asam Folat caps 1 x 5 mg, Bicnat tab 3 x 1, Ketosteril tab 2 x 1, Candesartan 1 x 8 mg.
Pemeriksaan laboratorium terakhir didapatkan leukosit 10.500, Hb 12,0 g/dl dan
albumin 2,7 mg/l setelah transfusi prc 5 kolf dan albumin 25 % 100 cc sebanyak 2 fls.

32
BAB V
KESIMPULAN

Anemia adalah komplikasi umum dari kanker dan chronic kidney disease (CKD)
yang berhubungan dengan penurunan kinerja fisik serta prognosis yang buruk untuk
harapan hidup. Anemia yang disebabkan penyakit ginjal dan kanker memiliki kesamaan
gambaran mengenai patogenesis dan strategi terapi.
Penyebab anemia pada kanker biasanya multifaktorial, dengan anemia
inflamasi/penyakit kronis menjadi penyebab yang paling umum. Penyebab umum
lainnya termasuk kekurangan nutrisi, kehilangan darah, dan anemia akibat terapi anti-
neoplastik.
Pendekatan diagnostik serupa dengan pendekatan pada pasien anemia non-
kanker, meskipun dengan pertimbangan khusus untuk menyingkirkan penyebab khas
keganasan. Anamnesis dan pemeriksaan rinci bersama dengan pemeriksaan darah
lengkap termasuk jumlah retikulosit sangat penting. Pendekatan patogenetik untuk
menyelidiki penyebab anemia pada pasien kanker seringkali secara klinis lebih
bermanfaat daripada skema berbasis morfologi film darah murni.
Anemia pada pasien kanker mempengaruhi kualitas hidup, kelangsungan hidup,
dan mungkin juga respon tumor terhadap kemoterapi dan radioterapi
Penatalaksanaan anemia pada kondisi ini selain mengobati penyakit dasarnya
adalah transfusi, preparat besi dan pemberian erythropoiesis-stimulating agents (ESA)

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Madu A J, Ughasoro M D. 2017. Anaemia of Chronic Disease: An In-Depth


Review. Med Princ Pract 2017;26:1–9
2. Lee Y-G, Chang Y, Kang J, Koo D-H, Lee S-S, Ryu S, et al. 2019. Risk factors for
incident anemia of chronic diseases: A cohort study. PLoS ONE 14(5): e0216062.
3. de Las Cuevas Allende R, Díaz de Entresotos L, Conde Díez S. 2021. Anaemia of
chronic diseases: Pathophysiology, diagnosis and treatment. Med Clin (Barc).
156(5):235-242.
4. Sudoyo , A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadribata, M.K., Setiati, S., 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-VI. Jakarta: Interna Publishing.
5. KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and
management of chronic kidney disease. Kidney Int Supp. 2013;3(1): 1–150.
6. Watson, John; Hydon, Katrina; Lodge, Peter. 2016. Primary and secondary liver
tumours. InnovAiT: Education and inspiration for general practice, 9(8), 477–482.
7. Gaspar, Balan Louis; Sharma, Prashant; Das, Reena. 2015. Anemia in malignancies:
Pathogenetic and diagnostic considerations. Hematology, 20(1), 18-
5. doi:10.1179/1607845414y.0000000161 
8. Latcha S. Anemia management in cancer patients with chronic kidney disease.
Semin Dial. 2019 Nov;32(6):513-519. doi: 10.1111/sdi.12841
9. Bray F, Ren JS, Masuyer E, Ferlay J. Global estimates of cancer prevalence for 27
sites in the adult population in 2008. Int J Cancer 2013;132:1133–45
10. Deak AT, et al, Anemia management in cancer patients with chronic kidney disease,
Eur J Intern Med (2016), http:// dx.doi.org/10.1016/j.ejim.2016.08.036
11. Gilreath JA, Stenehjem DD, Rodgers GM. Diagnosis and treatment of cancer-
related anemia. Am J Hematol 2014;89:203–12
12. García Agudo R, Aoufi Rabih S, González Carro P, Pérez Roldán F, Proy Vega B,
Arias Arias Á, et al. Gastrointestinal lesions in chronic kidney disease patients.
Nefrologia. 2019;39:50–57.

34

Anda mungkin juga menyukai