Anda di halaman 1dari 49

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A217112

**Pembimbing

ADNEXITIS DAN FATTY LIVER

Intan Karnina Putri, S.Ked* dr.H. Ali Imran Lubis, Sp. Rad**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU RADIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

DISUSUN OLEH

Intan Karnina Putri, S.Ked

G1A217112

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas

Bagian Ilmu Kedokteran Radiologi RSUD Raden Mattaher Jambi Program Studi

Pendidikan Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Jambi, Agustus 2018

PEMBIMBING

dr. H. Ali Imran Lubis, Sp.Rad


NIP. 19591115 198603 1 009

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul Adnexitis dan fatty liver Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Radiologi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Ali Imran Lubis, Sp.Rad selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Case
Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Agustus 2018

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit radang panggul (PID) sulit didiagnosis karena gejala seringkali


ringan dan tidak menonjol. Hingga saat ini belum ada tes yang tepat dan spesifik
untuk PID oleh karena itu diagnosa didasarkan pada temuan klinis. Namun,
diagnosis klinis PID masih terhambat karena kurangnya spesifisitas tanda dan
gejala. Pada pemeriksaan fisik terkait dengan PID dapat ditemukan nyeri pada
1
pelvis dan abdomen, sekresi serviks yang abnormal dan kenaikan suhu tubuh.
Namun, dalam sebuah studi oleh Jacobson dan Westrom (1969), hanya 65%
pasien dengan diagnosis klinis PID telah dikonfirmasi adnexitis ketika
laparoskopi dilakukan, 23% memiliki temuan normal dan dalam sisa laparoskopi
12% mengungkapkan kondisi patologis lainnya yang tidak terkait dengan PID
seperti apendisitis akut, kehamilan ektopik, endometriosis pelvis dan beberapa
kelainan panggul lainnya.2
Adneksa atau massa yang teraba merupakan temuan umum pada wanita
dengan salpingitis dan berhubungan dengan tingkat keparahan peradangan setelah
dilakukan laparoskopi. Namun, adanya adneksa atau massa yang teraba juga
dilaporkan pada beberapa wanita dengan temuan normal laparoskopi.2
Penyakit radang panggul mendapat perhatian utama karena dapat
menyebabkan kecacatan reproduksi jangka panjang, termasuk infertilitas,
kehamilan ektopik, dan nyeri panggul kronis. Setelah pengenalan laparoskopi
pada tahun 1960, penelitian tentang penyakit radang panggul menjamur hingga
1970-an, 1980-an, dan 1990-an, menyebabkan terobosan besar dalam memahami
penyebab mikroba penyakit dan hubungannya dengan cacat reproduksi, serta
memungkinkan standarisasi pengobatan antimikroba. Menurut perkiraan nasional,
penyakit radang panggul tetap menjadi masalah karena hasil reproduksi antara
pasien yang diobati masih suboptimal, subklinis penyakit radang panggul tetap
kurang terkontrol, dan program yang ditujukan untuk pencegahan penyakit radang
panggul yang tidak layak di banyak negara berkembang.3

4
Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) mulai banyak dikenal sebagai
penyebab morbiditas dan mortalitas pada penyakit hati.4 NAFLD merupakan
penyebab umum dari penyakit hati kronis dan insidennya mengalami peningkatan
di seluruh dunia.4 Awalnya, NAFLD diduga merupakan penyakit ringan dengan
signifikansi klinis yang sedikit, namun saat ini telah disadari bahwa NAFLD
merupakan penyebab utama cryptogenic cirrhosis pada hati.4
NAFLD merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan
abnormalitas histologi, dari benign steatosis hingga nonalcoholic steatohepatitis
(NASH), pada orang yang mengonsumsi sedikit alkohol atau tidak mengonsumsi
alcohol.5 Meskipun riwayat NAFLD belum sepenuhnya dipahami, namun data
yang saat ini tersedia menunjukkan bahwa NAFLD memiliki potensi untuk
menjadi sirosis, hepatocellular carcinoma (HCC), end-stage liver disease, dan
liver-related death.
NAFLD memiliki karakteristik kerusakan hati yang sama dengan yang
disebabkan oleh alkohol. NAFLD merupakan salah satu gangguan hati yang
memiliki karakteristik steatosis makrovesikuler yang terjadi tanpa pengonsumsian
alkohol atau pengonsumsian alkohol pada batas yang dapat ditoleransi oleh hati
(kurang dari 40 gram etanol per minggu). Gangguan hati tersebut dapat bervariasi
mulai dari steatosis hepatis sederhana tanpa disertai peradangan atau fibrosis
sampai steatosis hepatis dengan komponen nekroinflamasi yang dapat atau tidak
memiliki hubungan dengan fibrosis (non-alcoholic steatohepatitis-NASH) dan
dapat berlanjut menjadi sirosis.3

5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. Nurmala
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : RT 25 Kenali Asam
Agama : Islam
MRS : 07 Agustus 2018
2.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Sakit perut bagian bawah sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit.

b. Riwayat perjalanan penyakit


Sejak ± 2 hari SMRS Pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut,
nyeri dirasakan pada perut kanan hingga perut tengah bagian bawah. Nyeri
bermula pada pada perut bagian tengah dan tidak menjalar dari ulu hati. Nyeri
dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan terasa keram. Nyeri bertambah saat pasien
melakukan aktivitas. Pasien juga mengeluh mual (+) dan muntah (+). Nafsu
makan menurun dan tidak ada keluhan pada buang air besar.
Pasien juga mengeluhkan badan terasa panas dan pusing serta mengeluh
nyeri saat buang air kecil, pancaran tidak lemah dan tidak terputus-putus. Kencing
berdarah disangkal, endapan pada air kencing disangkal. Riwayat menstruasi
normal dan didapatkan hari terakhir periode menstruasi bulan ini ± 5 hari SMRS.
Pasien menyangkal adanya cairan abnormal yang keluar dari vagina, namun
pasien mengalami keputihan semenjak hari terakhir menstruasi.
Pasien memiliki kebiasaan minum air putih yang cukup dan teratur. Pasien
juga suka mengkonsumsi sayur dan buah-buahan. Pasien sering mengalami keram

6
pada perut yang berlebihan saat memasuki periode menstruasi. Kebiasaan
berolahraga tidak rutin, dan tidak memiliki riwayat yang sama sebelumnya.
c. Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat keluhan serupa sebelumnya (-)
- Riwayat Appendisitis (-)
- Riwayat ISK (-)
- Riwayat STD (-)
d. Riwayat penyakit keluarga (-)
Tidak ada keluhan yang serupa
e. Riwayat sosial ekonomi
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, memiliki satu orang anak,
hubungan keluarga harmonis. Pembiayaan perawatan menggunakan BPJS. Suami
pasien bekerja di swasta sebagai sopir dan kerja serabutan.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis GCS 15 (E4/V5/M6)
Tanda Vital
Suhu : 37,8oC
Nadi : 92 x/menit
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
RR : 22 x/menit
SpO2 : 100%
2.3.1 Status Generalisata

1. Kulit
 Warna : sawo matang
 Pigmentasi : hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
 Jaringan parut/ koloid : (-)
 Pertumbuhan rambut : normal

7
2. Kepala dan leher
 Kepala : Normochepal, tidak ada trauma maupun memar
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RC
(+/+), Pupil isokor
 Hidung : Epistaksis (-), deviasi septum (-)
 Mulut : Bentuk normal, bibir kering (-), bibir sianosis (-)
 Telinga : Bentuk normal, deformitas (-), othorea (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
3. Thoraks
Paru
 Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi dinding dada (-),
sikatriks (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus dada kanan = kiri
 Perkusi : Redup pada perkusi kanan ICS IV-V
 Auskultasi : Vesikuler (+/+) menurun,Ronkhi (-/-),Wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS Vlinea midclavicula sinistra
 Perkusi : Batas atas : ICS II linea parastenalis sinistra
Batas bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi : BJ1- BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
4. Abdomen
 Inspeksi : Datar, Distensi (-) ,sikatrik (-),Darmn Countour (-),
Darmn Staefung (-), letak umbilikus di tengah, massa
(-), striae (+)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Nyeri tekan kuadran kanan atas (+) Nyeri tekan
Regio Hipokondriak (+), Soepel, Defans Muskular

8
(-), Massa(-), Mc Burney (+) , Rebound sign (-),
obturator sign (+), Psoas Sign (+)
 Perkusi : Timpani (+), nyeri ketuk (+), Shifting dulnes (-),
undulasi (-)
 Hepar : Tidak ada tanda pembesaran
 Lien : Tidak ada tanda pembesaran
5. Ekstremitas
Superior Inferior
Look : Jejas (-/-), luka (-/-) hematom Look : Jejas (-/-), luka (-/-) hematom
(-/-), edema (-/-) (-/-), edema (-/-)
Feel : Nyeri tekan (-/-), sensibilitas Feel : Nyeri tekan (-/-), sensibilitas
(+/+), akral hangat, CRT<2detik (+/+), akral hangat, CRT<2detik
Move : Nyeri gerak aktif (-/-),pasif (-/-), Move : Nyeri gerak aktif (-/-), pasif (-
gerak aktif dan pasif dalam batas /-), gerak aktif dan pasif dalam batas
normal normal

6. Alvarado Score
 Migration of Pain :0
 Anorexia :1
 Nausea-Vomiting :1
 Tenderness in RLQ :2
 Rebound Pain :0
 Elevation of temperature: 1
 Leukocytosis :2
 Shift to the left :0
Alvarado’s score : 7 (sangat mungkin apendisitis akut)

9
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi (7 Agustus 2018)

Parameter Nilai Normal Hasil Keterangan


WBC 4-10 x 109/L 11,1 Meningkat
RBC 3.5-5.5 1012/L 4,25 Normal
HGB 11-16 g/dL 12,5 Normal
MCV 80-100 fl 85,7 Normal
MCH 27-34 pg 29,4 Normal
MCHC 320-360 g/L 340 Normal
HCT 35-50% 36,4 Normal
PLT 100-300 x 109/L 238 Normal

b. Kimia Darah (7 Agustus 2018)

Parameter Nilai Normal Hasil Keterangan


Faal Hati
Protein total 6,4-8,4 g/dl 7,3 Normal
Albumin 3.5-5.0 g/dl 4,6 Normal
Globulin 3,0-3,6 g/dl 3,5 Normal
Faal Ginjal
Ureum 15-39 mg/dl 19 Normal
Kreatinin 0,9-1,3 mg/dl 1,1 Normal
Gula Darah
GDS < 200 mg/dl 145 Normal

c. Elektrolit (7 Mei 2018)


Parameter Nilai Normal Hasil Keterangan
Natrium (Na) 135-148 mmol/L 136,72 Normal
Kalium (K) 3.5-5.3 mmol/L 4,34 Normal

10
Chlorida (Cl) 98-110 mmol/L 98,59 Normal
Calcium (Ca) 1.19-1.23 mmol/L 1,21 Normal

DD: Appendicitis/Adnexitis/ISK

d. USG (8 Agustus 2018)

11

USG

Abdomen
Hepar:
 Ekosruktur Hiperekoik inhomogen
 Tidak tampak lesi fokal
 Vaskularisasi Baik
Lien dan Pankreas : Normal
Ginjal kanan dan kiri: Normal

12
Kantong Empedu dan Vesika Urinaria : Normal
Adnexa Kanan:
 Tampak lebih Hypoechoic dibanding kiri
 Fluid Collection Minimal
Kesan : Adnexitis + Fatty Liver

2.5 Diagnosa

Adnexitis+Fatty Liver

2.6 Penatalaksanaan

 Penatalaksanaan di IGD

- IVFD RL 20 gtt/menit
- Inj Ceftriaxone 1x2 gram
- Omeprazole 1x4 gram
- Ondansentron 2x1 gram

 Penatalaksanaan di Bangsal
- IVFD RL 20gtt/menit
- Inj. Ceftriaxone 250 miligram IM
- Metronidazole 500 mg PO
- Ketorolac 3x30mg
2.7 Perencanaan Selanjutnya
- Terapi dilanjutkan
- Rencanakan Vaginal Swab
- Rencanakan Laparoskopi
- Edukasi berat badan
- Konsultasi Gizi
- Konsultasi Keluarga bila ditemukan bakteri penyebab PID
- Berikan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Penyakit Radang Panggul (PID)
3.1.1 Definisi dan Epidemiologi
Penyakit radang panggul (PID) adalah gangguan infeksi dan inflamasi
saluran kelamin wanita bagian atas (uterus, tuba fallopii/adnexitis, ovarium, atau
peritoneum pelvis dan struktur panggul yang berdekatan). Insiden tertinggi terlihat
pada wanita yang aktif secara seksual di usia remaja, dengan 75% kasus di bawah
25 tahun. Di Amerika Serikat, sekitar 1 juta wanita dianggap menderita PID per
tahun, dan hampir 275.000 dari mereka diyakini dirawat di rumah sakit. 7

Gambar 3.1 Gambaran Adnexitis


3.1.2 Etiologi
 Penyakit radang panggul (PID) biasanya merupakan hasil infeksi asending
dari endoserviks yang menyebabkan endometritis, salpingitis, parametritis,
oophoritis, abses tubo-ovarium dan / atau panggul peritonitis.
 Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis telah diidentifikasi
sebagai agen penyebab.7,8 C. trachomatis adalah penyebab paling umum
yang menyebabkan akuntansi untuk 14-35% kasus sementara Gardnerella
vaginalis, anaerob (termasuk Prevotella, Atopobium dan Leptotrichia) dan
lainnya Organisme yang umum ditemukan di vagina juga dapat terlibat.9

14
 Mycoplasma genitalium memiliki dikaitkan dengan infeksi saluran genital
atas pada wanita dan kemungkinan besar penyebab PID.10 PID negatif
patogen biasa terjadi.9
 N. gonorrhoeae dan C. trachomatis terdeteksi lebih jarang pada wanita
yang lebih tua dengan PID.
 Penyisipan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) meningkatkan risiko
pengembangan PID tetapi hanya untuk 4-6 minggu setelah penyisipan.
Risiko ini mungkin paling tinggi pada wanita dengan gonore atau C. yang
sudah ada sebelumnya. trachomatis.
3.1.3. Patofisiologi dan Mikroba Penyebab
Akut (durasi ≤30 hari), klinis didiagnosis penyakit radang panggul
disebabkan oleh kenaikan spontan mikroba dari serviks atau vagina ke
endometrium, tuba falopi, dan struktur yang berdekatan. Lebih dari 85% infeksi
disebabkan oleh patogen menular seksual serviks atau mikroba vaginosis terkait
bakteri, dan sekitar 15% adalah karena organisme pernapasan atau enterik yang
telah menjajah saluran kelamin yang lebih rendah (Tabel 1). Penyakit radang
panggul subklinis memiliki penyebab serupa dengan penyakit radang panggul
akut dan mungkin dua kali lebih umum.
Kronis (>durasi 30 hari) penyakit radang panggul didefinisikan sebagai
infeksi kronis karena Mycobacterium tuberculosis atau spesies Actinomyces
daripada nyeri panggul kronis seperti berulang, yang tetap umum setelah
pengobatan penyakit radang panggul akut.12
Ulasan ini berfokus pada penyakit radang panggul akut dan subklinis.
Infeksi asending dari serviks sering disebabkan infeksi yang didapat secara
seksual karena N. gonorrhoeae atau C. trachomatis. Mycoplasma genitalium
menular seksual dan telah diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab servisitis,
endometritis, salpingitis, dan infertilitas, tetapi bukti telah tidak konsisten. Faktor
penentu infeksi serviks asending yang menuju saluran reproduksi bagian atas
belum sepenuhnya dijelaskan, tetapi data dari studi prospektif menunjukkan
bahwa sekitar 15% dari infeksi klamidia yang tidak diobati berkembang menjadi
klinis didiagnosis penyakit radang panggul.

15
Risiko penyakit radang panggul setelah infeksi gonokokal mungkin
bahkan lebih tinggi. Hubungan seksual dan menstruasi retrograde mungkin sangat
penting dalam gerakan organisme dari bawah ke saluran kelamin bagian atas.
Anaerobik fakultatif dan bakteri yang ditemukan dalam flora vagina telah diisolasi
tersendiri atau dengan N. gonorrhoeae dan infeksi trachomatis C dalam tuba falopi
wanita dengan penyakit radang panggul akut (Tabel 1). Organisme ini terjadi
pada konsentrasi yang lebih besar dalam hubungan dengan vaginosis bakteri,
sebuah dysbiosis polymicrobial ditandai dengan penurunan laktobasilus vagina
normal dan pertumbuhan berlebih dari anaerobik biofilm terkait microbiome jauh
lebih kompleks.

Tabel 3.1. Klasifikasi PID dan mikrobial penyebab


Vaginosis bakteri dikaitkan dengan produksi lokal enzim yang
mendegradasi lendir serviks dan terkait peptida antimikroba. Degradasi ini dapat
mengganggu penghalang terhadap infeksi serviks asending dan memfasilitasi
penyebaran mikroorganisme ke saluran reproduksi bagian atas. Hasil infeksi
kerusakan fibrinous atau supuratif inflamasi sepanjang permukaan epitel saluran
tuba dan permukaan peritoneal dari saluran tuba dan ovarium, yang mengarah ke
jaringan parut, adhesi, dan obstruksi mungkin parsial atau total saluran tuba.
Respon imun adaptif berperan dalam patogenesis penyakit radang panggul
karena infeksi ulang secara substansial meningkatkan risiko tuba-faktor infertilitas
(yaitu, ketidakmampuan untuk hamil karena kerusakan struktural atau fungsional
untuk saluran tuba). Kehilangan selektif infeksi yang disebabkan sel epitel bersilia

16
sepanjang tabung falopi epitel dapat menyebabkan gangguan transportasi ovum,
sehingga tuba-faktor infertilitas atau kehamilan ektopik (Gambar. 3.2). Adhesi
Peritoneal sepanjang saluran tuba dapat mencegah kehamilan, dan adhesi dalam
panggul yang berhubungan dengan nyeri panggul.

Gambar 3.2 Perubahan patologis pada permukaan epitel tuba falopi setelah
terkena PID

17
3.1.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Gejala:10
1. Nyeri perut bagian bawah yang biasanya bilateral (tetapi bisa unilateral)
2. Keputihan normal vagina atau leher rahim yang sering bernanah
3. Dispareunia
4. Perdarahan vagina abnormal, termasuk perdarahan pasca koitus,
perdarahan inter-menstruasi dan menorrhagia
5. Dysmenorea sekunder
Tanda-tanda:
1. Nyeri perut bagian bawah yang biasanya bilateral
2. Nyeri adneksa pada pemeriksaan vagina bimanual - massa yang lembut
kadang-kadang hadir
Penyakit radang panggul umum terjadi di kalangan wanita muda dan
remaja yang aktif secara seksual, yang paling sering dirawat di klinik rawat jalan,
klinik dokter, atau instalasi gawat darurat. Timbulnya mendadak sakit perut yang
parah rendah selama atau segera setelah menstruasi telah menjadi gejala klasik
yang digunakan untuk mengidentifikasi penyakit radang panggul akut, meskipun
sekarang diakui juga bahwa baik onset dan keparahan gejala dapat lebih tidak
jelas dan halus.
Demam dapat terjadi, tetapi manifestasi sistemik tidak fitur yang menonjol
dari penyakit radang panggul. Kadang-kadang, nyeri kanan atas kuadran sugestif
peradangan dan pembentukan adhesi dalam kapsul hati (perihepatitis atau sindrom
Fitz-Hugh-Curtis) dapat menyertai penyakit radang panggul.14
Di antara perempuan dengan tuba-faktor infertilitas, spesimen biopsi
menunjukkan sejenis kerusakan tuba patologis pada wanita yang memiliki riwayat
penyakit radang panggul dan mereka yang tidak. Namun, catatan, dalam satu studi
yang melibatkan wanita subur tanpa riwayat didiagnosis penyakit radang
panggul, 60% dari wanita dengan faktor infertilitas tuba, dibandingkan dengan
hanya 19% dari mereka yang tidak faktor infertilitas tuba, melaporkan kunjungan
perawatan kesehatan untuk sakit perut; ini menunjukkan bahwa banyak kasus

18
penyakit radang panggul yang tidak terjawab dan bahwa dokter harus memiliki
ambang yang rendah untuk mempertimbangkan diagnosis.
Tanda-tanda peradangan saluran kelamin yang lebih rendah termasuk
mucopus serviks, yang terlihat sebagai eksudat dari endoserviks atau sebagai
lendir kuning atau hijau pada kapas-tipped ditempatkan lembut ke os serviks
(positif "uji swab"); kerapuhan serviks (mudah diinduksi columnar epithelial
perdarahan); atau peningkatan jumlah sel darah putih diamati pada pemeriksaan
mikroskopis garam dari cairan vagina (basah mount) (Gambar. 3.3).14

Gambar 3.3. Diagnosa Pelvic Inflamatory Disease


Nyeri panggul apapun memiliki sensitivitas yang tinggi (> 95%) untuk
diagnosa penyakit radang panggul, tetapi memiliki spesifikasi yang rendah.
Temuan peradangan saluran kelamin yang lebih rendah meningkatkan spesifisitas
diagnosis. Hanya sekitar 75% dari perempuan yang telah menerima diagnosis
klinis penyakit radang panggul yang didasarkan pada gejala nyeri panggul dan
radang saluran kelamin yang lebih rendah memiliki konfirmasi laparoskopi
salpingitis (visualisasi peradangan tuba dan rahim, eksudat, perlengketan, atau

19
abses). Meskipun laparoskopi telah dianggap sebagai standar untuk diagnosis
penyakit radang panggul, memiliki variabilitas interobserver tinggi dan mungkin
tidak mendeteksi endometritis atau peradangan tuba awal.
Selain itu, itu adalah prosedur bedah invasif yang tidak tersedia di banyak
rangkaian dan tidak rutin dilakukan, terutama pada wanita dengan gejala ringan
sampai sedang. Aspirasi endometrium transervikal dengan temuan histopatologi
peningkatan jumlah sel plasma dan neutrofil lebih sering digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis penyakit radang panggul, dan temuan ini sering terlihat
dalam hubungan dengan laparoskopi dikonfirmasi adnexitis. Namun, biopsi
endometrium agak invasif, membutuhkan keterampilan untuk interpretasi
patologis sampel, dan menghasilkan diagnosis tertunda. Ultrasonografi
transvaginal dan magnetic resonance imaging (MRI) mengungkapkan menebal,
tabung berisi cairan yang tersedia selama pemeriksaan diagnostik dan sangat
spesifik untuk salpingitis.

Gambar 3.4 Gambaran Adnexitis

20
Gambar 3.5 Adnexitis. Behind the bladder (B) is a mass with irregular
echogenicmargins and a hypoechoic center (T). Hypoechoic free fluid is visible
above themass. May be mistaken for an ovarian tumor in patients with elevated
tumor markers (diagnosis established by histologic examination)

21
Gambar 3.6 Gambaran Ultrasonografi Adnexitis pada USG dan Doppler
Ultrasound images from one patient with moderate acute salpingitis
verified by laparosocopy. (A) and (B) show gray scale ultrasound images
of the left tube, (C) and (D) show colour Doppler images of the same tube.
The lesion is a sausage-shaped thick walled unilocular cystic structure
with a very small amount of echogenic fluid inside. We interpret the white
oval ring in (B) as the mucosa of the inflamed tube. As seen in (C) and
(D), the tube is extremely well vascularized in Doppler ultrasound
examination. Please note the ring of colour in (D). We interpret this as
rich vascularisation surrounding a transverse section through the
inflamed tube.

22
Gambar 3.7 Gambaran ultrasonografi salpingitis akut ringan
Ultrasound images of moderate acute salpingitis verified by laparosocopy in a
third patient. (A) A unilocular sausage-shaped thick-walled structure
corresponding to the inflamed tube with a very small amount of echogenic fluid
inside. (B) A transverse section through the same tube. (C) The rich
vascularisation of the same tube.
Temuan Sonografi adnexitis:
 Tampak masa kistik/ solid yang terlihat dari dinding yang menebal dan
akumulasi dari pus.
 Rasa nyeri pada tekanan probe
Tingkat keakuratan diagnosa adnexitis melalui sonografi:
 Temuan sonografi pada diagnostik adneksitis berkisar sekitar 80% pada
semua kasus. Tingkat keakuratan ini bisa bertambah melalui scan
transvaginal yang mampu membedakan dengan temuan tumor.
Namun, sensitivitas ultrasonografi hanya sedikit, dan meskipun MRI
memiliki sensitivitas yang tinggi, itu mahal dan tidak biasanya tersedia di
rangkaian miskin sumber daya. Studi daya Doppler menunjukkan peningkatan

23
aliran darah tuba tabung sangat sugestif infeksi. Pencitraan juga dapat berguna
dalam membuat diagnosis alternatif, seperti kista ovarium, endometriosis,
kehamilan ektopik, atau apendisitis akut; kondisi ini dapat ditemukan di 10
sampai 25% dari wanita yang diduga memiliki penyakit radang panggul akut.
Semua pasien dengan dugaan penyakit radang panggul harus menjalani tes
amplifikasi asam nukleat serviks atau vagina untuk N. gonorrhoeae dan infeksi C.
trachomatis; jika hasilnya positif, kemungkinan bahwa penyakit radang panggul
hadir meningkat secara substansial. Tes molekuler untuk M. genitalium belum
tersedia secara komersial. Cairan vagina harus dievaluasi untuk peningkatan
jumlah sel darah putih (lebih dari satu neutrofil per sel epitel) dan tanda-tanda
vaginosis bakteri, termasuk sel-sel epitel vagina yang memiliki margin sel mereka
dikaburkan oleh bakteri yang menempel (yaitu, sel petunjuk), pH tinggi, dan bau
amina pada penambahan kalium hidroksida (positif "bau" test).
Biasanya, bakteri vaginosis adalah kondisi peradangan, dan jika sel darah
putih menemani sel petunjuk, ini menunjukkan penyakit radang panggul. Tes
kehamilan harus rutin diminta untuk membantu menyingkirkan kehamilan
ektopik. Pengujian serologi untuk human immunodeficiency virus (HIV) harus
dilakukan; HIV meningkatkan risiko abses tuboovarium. Sebuah laju endap darah
tinggi atau tingkat protein C-reaktif dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis
penyakit radang panggul.
3.1.5. Pengobatan
Pedoman untuk pengobatan penyakit radang panggul telah dikembangkan
oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) atas dasar hasil uji
klinis dan rekomendasi dari dokter ahli konsensus (Tabel 2).

24
Tabel 3.2. Lini Pertama pengobatan Pelvic Inflamatory Disease
Pengobatan penyakit radang panggul adalah secara empiris dan melibatkan
penggunaan rejimen kombinasi spektrum luas antimikroba untuk menutupi
kemungkinan patogen. Pengobatan harus mencakup patogen utama, N.
gonorrhoeae dan C. trachomatis, terlepas dari hasil pengujian.
Studi Kesehatan Klinis dan Evaluasi Penyakit Radang Panggul (PEACH)
menunjukkan bahwa di antara wanita dengan penyakit ringan sampai sedang
radang panggul, terdapat kemanjuran terapi cefoxitin-doxycycline. Alasan untuk
rawat inap untuk penyakit radang panggul saat ini termasuk kehamilan,
ketidakmampuan untuk menyingkirkan diagnosa banding, keadaan parah dengan
ketidakmampuan untuk mengkonsumsi obat oral, ataupun abses tuba.12-14
Kebanyakan pasien yang berhasil diobati sebagai pasien rawat jalan
dengan dosis tunggal ceftriaxone intramuskular, cefoxitin ditambah probenicid,
atau sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim atau ceftizoxime) lainnya, diikuti
oleh doksisiklin oral dengan atau tanpa metronidazole selama 2 minggu (Tabel 2).
Untuk pasien rawat inap, terapi dengan cefotetan atau cefoxitin (diberikan secara
parenteral sampai 24 sampai 48 jam setelah perbaikan klinis) bersamaan dengan
doxycycline dan diikuti oleh doksisiklin dengan atau tanpa metronidazol selama 2
minggu pengobatan. Sebuah rejimen klindamisin dan aminoglikosida mungkin
sangat sesuai untuk pasien dengan abses tubo-ovarium. Obat anti-inflamasi
nonsteroid ajuvan tidak meningkatkan hasil klinis. Penghapusan alat kontrasepsi
dalam rahim (IUD) tidak mempercepat solusi klinis (dan mungkin menunda hal
itu), dan dalam kebanyakan kasus IUD yang tertinggal di tempat.13
3.1.6 Pencegahan
Ukuran kesehatan masyarakat yang paling penting untuk pencegahan
penyakit radang panggul adalah pencegahan dan pengendalian infeksi menular
seksual dengan C. trachomatis atau N. gonorrhoeae. Banyak negara-negara
berpenghasilan tinggi telah menerapkan program untuk menyaring dan
memperlakukan perempuan untuk asimtomatik infeksi trachomatis C, atas dasar
bukti dari percobaan terkontrol acak yang menunjukkan bahwa skrining untuk dan

25
mengobati infeksi serviks C. trachomatis dapat mengurangi risiko seorang wanita
dari penyakit radang panggul oleh sekitar 30 sampai 50% lebih 1 tahun.14
US Preventive Services Task Force, CDC, dan organisasi profesi lainnya
merekomendasikan skrining C. trachomatis tahunan untuk semua wanita yang
aktif secara seksual lebih muda dari 25 tahun dan wanita yang lebih tua pada
peningkatan risiko untuk infeksi (misalnya, wanita dengan beberapa atau baru
pasangan seks). Kelompok-kelompok ini juga merekomendasikan pengujian
untuk N. gonorrhoeae kalangan perempuan pada peningkatan risiko untuk infeksi
(misalnya, wanita dengan banyak pasangan seks atau infeksi gonore sebelumnya
dan perempuan yang hidup dalam komunitas dengan prevalensi tinggi penyakit).
Pendidikan seks yang komprehensif, promosi penggunaan kondom, dan
penyediaan kondom merupakan pilar pencegahan infeksi menular seksual secara
global dan juga memiliki manfaat untuk pencegahan penyakit radang panggul.
Data dari studi PEACH menunjukkan bahwa penggunaan kondom persisten
selama masa follow-up dikaitkan dengan risiko penurunan penyakit radang
panggul berulang, nyeri panggul kronis, dan infertilitas. Pada wanita dengan
penyakit radang panggul karena N. gonorrhoeae atau C. trachomatis, reinfeksi dan
ulangi penyakit radang panggul yang umum. Dengan demikian, evaluasi dan
pengobatan empiris pasangan seks laki-laki dari wanita dengan penyakit radang
panggul atau infeksi serviks sangat penting.
3.2 Fatty Liver
3.2.1 Definisi
NAFLD merupakan deposisi lemak di hati pada subjek yang non-
alkoholik, suatu kondisi yang mungkin memburuk menjadi end-stage liver
disease. Spektrum perburukan NAFLD sama dengan alcoholic liver disease,
namun tidak disebabkan konsumsi alkohol kronis. Spektrum perubahan patologis
pada NAFLD terdiri dari 4 tipe (Tabel I). Implikasi klinis NAFLD adalah
signifikansinya pada populasi umum dan kemungkinan perburukannya menjadi
sirosis hepatis dan liver cell failure.4
NAFLD didefinisikan sebagai adanya lemak yang berlebihan pada hati,
yang terdeteksi baik melalui imaging maupun biopsi hati. NAFLD merupakan

26
diagnosa eksklusi pada pasien yang tidak mengalami penyakit hati lainnya; namun
semenjak berkembangnya kriteria histologik, terdapat pula NAFLD dan NASH
yang disertai bentuk lain penyakit hati. Untuk menegakkan diagnosa, pasien harus
bebas dari alkohol atau hanya minum alkohol sesekali. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa maximal safe level dari konsumsi ethanol adalah 30 gram /
hari, meski kriteria yang lebih ketat seperti 20 gram / hari untuk pria dan 10 gram
/ hari untuk wanita juga sering digunakan pada penelitian terhadap pasien dengan
NAFLD.5
NAFLD meliputi spektrum luas dari penyakit hati, mulai dari fatty liver
sederhana (steatosis), sampai ke nonalcoholic steatohepatitis (NASH), dan sirosis
(irreversible, advanced scarring of the liver). Pada semua derajat NAFLD terjadi
akumulasi lemak (fatty infiltration) ke dalam sel-sel hati (hepatocytes). Pada
NASH, akumulasi lemak dihubungkan dengan derajat yang bervariasi dari
peradangan (hepatitis) dan fibrosis hati.
Istilah “nonalchoholic” dipakai karena NAFLD dan NASH terjadi pada
individu yang tidak mengonsumsi alkohol secara berlebihan. Pada banyak aspek,
gambaran histologi dari NAFLD sama dengan gambaran histologi pada penyakit
hati yang disebabkan oleh konsumsi alkohol berlebihan. Namun gambaran klinis
pada NAFLD dan NASH sangatlah berbeda dengan gambaran klinis pada
alcoholic liver disease (ALD).
Spektrum NAFLD diperkirakan bermula dan berkembang dari tingkat
yang paling sederhana yang disebut fatty liver sederhana (steatosis). Jadi fatty
liver adalah kelainan awal dalam spektrum NAFLD. Fatty liver sederhana hanya
terkait dengan akumulasi lemak di dalam sel-sel hati tanpa peradangan atau
fibrosis (scarring). Lemak sesungguhnya terdiri dari tipe lemak khusus
(triglyceride) yang berakumulasi pada kantong kecil di dalam sel-sel hati.
Akumulasi lemak di dalam sel-sel hati tidak sama dengan sel-sel lemak
(adipocytes) yang membentuk lemak tubuh kita. Fatty liver adalah kondisi yang
tidak berbahaya, yang berarti dia sendiri tidak akan menyebabkan kerusakan hati
yang signifikan.4

27
3.2.2 Patogenesis
Terdapat dua tipe dari NAFLD yang telah diketahui: NAFLD primer
(berkaitan dengan sindroma metabolik) dan NAFLD sekunder (berkaitan dengan
kondisi metabolik atau iatrogenik spesifik lainnya yang berbeda dari sindroma
metabolik).4
Patogenesis pada NAFLD ditandai oleh deposisi lemak, inflamasi, dan
fibrosis hati yang diuraikan sebagai berikut:4
• Deposisi lemak: terjadi deposisi lemak makrovesikular pada hati.
• Inflamasi: terjadi steatohepatitis sebagai konsekuensi dari berbagai
faktor, resistensi insulin menyebabkan akumulasi free fatty acids; dan
mekanisme lain seperti stres oksidatif, peroksidasi lipid, endotoksin,
dan sebagainya. Berbagai sitokin, seperti tumor necrosis factor (TNF)
dan interleukins (IL-6, IL-8) berperan terhadap terjadinya inflamasi.
TNF terutama mempengaruhi sintesa trigliserida di hati.
• Fibrosis: steatohepatitis memburuk menjadi peningkatan fibrsis dan
kemudian terjadi sirosis. Sekitar 12% dengan NAFLD memburuk
menjadi sirosis dalam 7 tahun. Sirosis yang terjadi sekunder terhadap
NASH dapat memburuk menjadi hepatocellular carcinoma.
Prediktor terhadap terjadinya NASH dan fibrosis lanjut dapat dihitung
menggunakan sistem scoring sebagai berikut:5
HAIR score
1. Hipertensi
2. Alanine transaminase (ALT) > 40 IU/l
3. Resistensi insulin (IR) index > 5
Adanya 2 dari 3 kriteria tersebut merupakan prediktor terjadinya NASH.
BAAT score
1. Body mass index (BMI) > 28 kg/m2
2. Usia > 50 tahun
3. Peningkatan ALT > 2 kali lipat
4. TG > 1.7 mmol/l

28
Tidak ada atau hanya terdapat 1 faktor menyingkirkan kemungkinan fibrosis atau
sirosis.
Jaringan adiposa kini disadari sebagai sumber metabolik yang penting dan
mediator inflamasi. Adipokin ini memiliki efek proinflamasi (leptin, TNF-α, and
IL-6) dan anti-inflamasi (adiponectin). Adiponectin juga memiliki efek
antilipogenik. Adipokin mengatur glukosa perifer dan hepatik serta metabolisme
lipid. Meskipun sitokin dan hormon ini secara normal bekerja dalam
keseimbangan, homeostasis ini dapat mengalami kerusakan pada pasien NASH.
Pasien NASH mengalami penurunan kadar adiponektin dan peningkatan kadar
TNF-α (Hijona et al, 2010).
Obesitas, diabetes tipe 2, hiperlipidemia, dan kondisi-kondisi lain yang
terkait dengan resistensi insulin umumnya muncul pada pasien dengan NAFLD.
Resistensi insulin juga didapatkan pada pasien dengan NAFLD yang tidak
obesitas dan mereka yang memiliki toleransi glukosa normal. Mekanisme
molekuler yang memicu resistensi insulin cukup rumit dan belum diuraikan
seluruhnya. Beberapa molekul (TNF-α, PC-1 membrane glycoprotein, leptin, dan
asam lemak) tampaknya mengganggu jalur sinyal insulin. Perubahan metabolisme
lemak terkait dengan resistensi insulin hasil dari interaksi antara efek resistensi
insulin terlokasi primer pada lemak dan jaringan adiposa serta dampak dari
kompensasi hiperinsulinemia pada jaringan yang tetap sensitif pada insulin.
Perubahan tersebut meliputi peningkatan lipolisis perifer, peningkatan uptake hati
terhadap FFA dan peningkatan sintesis trigliserida hati. Influks FFA dan
neosintesis oksidasi FFA serta sekresi trigliserida menghasillkan efek berlanjut
pada akumulasi lemak hati. Hal ini dapat menjelaskan kunci penting resistensi
insulin pada perkembangan steatosis hati dan steatohepatitis (Duvnjak et al,
2007).
Penumpukan lemak di dalam sel-sel hati mempunyai beberapa efek. FFA
menghalangi pensinyalan insulin dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin
hati melalui mekanisme yang memerlukan pengaktifan PKC-3, JNK, I-B kinase
(IKK-) dan NFkB. Resistensi insulin hati menambah oksidasi asam lemak di
dalam mitokondria. FFA dan hasil metabolismenya merupakan ligand untuk

29
peroxisomal proliferators-activated receptor- (PPAR-) yaitu faktor transkripsi
yang mengatur ekspresi gen yang menyandikan enzim yang terlibat di
mitokondria, peroksisomal dan oksidasi asam lemak mikrosomal. Pada akhirnya
efek yang timbul dari penumpukan lemak di hati (adanya resistensi insulin dan
peningkatan regulasi dari PPAR-α-regulated genes) adalah peningkatan oksidasi
FFA (Duvnjak et al, 2007).
Oksidasi mitokondria dan asam lemak peroksisomal dapat memproduksi
radikal oksigen bebas hepatotoksik yang berkontribusi terhadap perkembangan
stres oksidatif. Berdasarkan data-data yang ada, tampak resistensi insulin dapat
menyebabkan patogenesis NASH. Abnormalitas struktur mitokondria ditemukan
pada pasien-pasien dengan NASH, namun tidak pada pasien-pasien dengan
steatosis hepatis sederhana. Ditemukan juga bahwa ekpresi beberapa gen yang
penting untuk fungsi mitokondria ditekan pada pasien-pasien dengan NASH.4,5,6
Selain itu, terdapat beberapa data yang meyakinkan bahwa sitokin
inflamatori (TNF-α, IL-6 dan IL-1β) juga memegang peranan penting pada
patogenesis NAFLD, yaitu dapat menyebabkan resistensi insulin sistemik dan
hati. Selain itu juga dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati dan apoptosis,
kemotaksis neutrofil, dan aktivasi sel stellata hati. Crespo et al telah menemukan
bahwa pasien obesitas dengan NASH dibandingkan dengan mereka yang tidak
obesitas secara signifikan terjadi peningkatan ekspresi hati TNF- α dan reseptor
P55, serta terjadi peningkatan ekspresi TNF- α dalam jaringan adiposa. Ekspresi
yang meningkat ini berhubungan dengan derajat fibrosis hati. Akumulasi FFA
pada sel-sel hati menstimulasi ekspresi sitokin inflamatori NF-κB-dependent
(TNF-α, IL-6, IL-1β). Sel Kupffer sebagai makrofag yang spesifik pada hati juga
merupakan sumber potensial untuk sitokin proinflamatori. Stimulus aktivasi dapat
berupa sitokin derivat dari sel-sel hati, klirens dari deposit lemak teroksidasi
melalui reseptor scavenger, atau endotoksin derivat dari usus pada pasien dengan
pertumbuhan bakteri yang berlebih pada usus kecil (Duvnjak et al, 2007).
Pada akhirnya jaringan adiposa pada orang obesitas diinfiltrasi oleh
makrofag dan membuatnya menjadi sumber lain dari sitokin proinflamatori.
Sitokin diproduksi oleh makrofag jaringan adiposa (terutama TNF-α) yang dapat

30
menjadi perantara resistensi insulin sistemik dan hati, serta menyebabkan
penurunan sekresi adiponektin adipositokin protektif (Duvnjak et al, 2007).
Adipositokin merupakan peptida-peptida yang diproduksi oleh jaringan
adiposa viseral. Di antaranya adiponektin dan leptin yang secara langsung terlibat
dalam jalur metabolik dan inflamatori yang berbeda dan terutama penting pada
patogenesis NAFLD. Adiponektin tampaknya memiliki peran penting dalam
meningkatkan oksidasi asam lemak dan menurunkan sintesis asam lemak. Hati
dan sel otot memiliki reseptor adiponektin. Stimulasi pada reseptor adiponektin di
hati menyebabkan aktivasi dari PPAR-α dan AMP-activated protein kinase
(AMPK). Karenanya, adiponektin meningkatkan β-oksidasi asam lemak dan
menurunkan konten trigliserida hati dan resistensi insulin hati (Duvnjak et al,
2007).
Adiponektin juga memiliki efek langsung anti-peradangan, menekan
produksi TNF-α pada hati. Studi terbaru menunjukkan penurunan kadar serum
adiponektin dan penurunan ekspresi hati terhadap reseptornya pada pasien dengan
NASH dibandingkan dengan mereka yang memiliki steatosis sederhana.
Tampaknya peningkatan produksi dari TNF-α dan generasi ROS bertanggung
jawab atas pengurangan sekresi adiponektin. Hal ini sekali lagi melibatkan bahwa
TNF-α dan supresi adiponektin melalui ROS memegang peranan penting pada
patogenesis dari NAFLD progresif. Sebuah studi terhadap tikus obesitas dengan
defisiensi leptin menunjukkan perbaikan signifikan pada steatosis hati,
hepatomegali, dan kadar aminotransferase diikuti administrasi adiponektin.4
Leptin merupakan peptida lain yang diproduksi di jaringan adiposa yang
dapat memiliki peran penting pada perkembangan resistensi insulin. Leptin
menginaktivasi substrat reseptor insulin (defosforilasi substrat reseptor insulin)
sehingga menginduksi resistensi insulin perifer dan hati. Kadar leptin darah
berhubungan dengan derajat fibrosis pada pasien dengan hepatitis C kronis.
Namun Angulo et al tidak menemukan adanya korelasi antara kadar leptin dengan
derajat fibrosis hati pada studi terhadap 88 pasien dengan NAFLD. Cohen et al
telah menemukan bahwa leptin, pada kadar yang dapat dibandingkan dengan

31
pasien obesitas secara individu, menginduksi resistensi insulin hati melalui
defosforilasi terhadap substrat reseptor insulin.4
Pada akhirnya, kerusakan sel-sel hati dan peradangan terkait akan memicu
aktivasi sel stellata hati dan sintesis protein matriks ekstraseluler dengan fibrosis
hati sebagai konsekuensi akhir. Sebagai tambahan, kematian sel apoptosis juga
merupakan faktor penting pada fibrogenesis hati. Hal ini memicu aktivasi sel
stellata dengan cara pencernaan sel-sel hati terapoptosi oleh sel Kupffer dan
pengeluaran berikutnya dari TGF-β. Terdapat beberapa mediator lain yang
mungkin terlibat dalam patogenesis fibrosis hati pada NAFLD. Leptin
adipositokin dapat memegang peranan pada fibrogenesis. Berkurangnya produksi
adiponektin terkait dengan obesitas juga berkontribusi terhadap berkembangnya
fibrosis hati (Duvnjak et al, 2007).
Angiotensin, yang juga disekresi oleh jaringan adiposa dan ditingkatkan di
serum, memiliki efek profibrogenik. Pada akhirnya hiperglikemi dan
hiperinsulinemi terkait dengan resistensi insulin juga merupakan faktor kunci
pada perkembangan fibrosis melalui up-regulasi faktor pertumbuhan sintesis
jaringan ikat oleh sel stellata. Meskipun semua kemajuan baru-baru ini dalam
memahami patogenesis NAFLD, namun alasan mengapa hanya sebagian kecil
pasien dengan faktor risiko klasik untuk NAFLD berkembang menjadi lebih dari
sekedar steatosis sederhana masih belum jelas.4
2.3 Gejala dan Tanda
Secara umum, gejala-gejala dari NAFLD dan NASH sama. Keduanya
muncul perlahan dan tidak spesifik (dapat juga diamati pada penyakit-penyakit
lainnya). Keduanya dapat terjadi baik pada usia dewasa, maupun pada anak-anak,
umumnya timbul pada usia di atas 10 tahun. Kebanyakan pasien tidak
menampakkan gejala. Namun mereka kadang mengalami nyeri perut yang samar
pada kuadran kanan atas (di bawah arcus costae pada sisi kanan). Nyeri ini
memiliki karakteristik tumpul, tanpa didahului suatu pola kejadian yang dapat
diprediksikan. Nyeri bukan dirasakan sebagai suatu nyeri hebat, tiba-tiba, dan
sangat nyeri, misalnya seperti pada cholelithiasis. Nyeri abdomen pada NAFLD

32
dan NASH diperkirakan disebabkan oleh peregangan dari kapsula hati ketika hati
membesar dan/atau ketika ada peradangan dalam hati.
Fatty liver juga terdapat dalam beberapa sindroma lainnya. Sebagai
contoh, fatty liver terjadi pada polycystic ovarian, dimana polycystic ovarian
dihubungkan dengan obesitas, rambut yang berlebihan (hirsutisme), dan resistensi
insulin. Gejala-gejala lipodystrophy sejak lahir, yang merupakan kelainan yang
jarang, dimana lemak pada tubuh dan ekstremitas bergeser ke perut, adalah juga
berhubungan dengan suatu fatty liver yang membesar.
Sebagian besar pasien dengan NAFLD (45 - 100%) tidak memiliki gejala
maupun tanda penyakit hati pada saat diagnosa. Pada pasien-pasien ini, hasil tes
fungsi hati yang abnormal seringkali ditemukan secara tidak sengaja. Saat
terdapat gejala, seringkali gejalanya tidak spesifik seperti kelelahan yang persisten
(50 - 73%), pruritus (0 - 6%), oedema (2 - 10%), malaise, dan right upper
quadrant discomfort atau nyeri. Gambaran lain seperti perdarahan saluran cerna (0
- 3%), jaundice (0 - 5%), ascites (0 - 3%), pruritus, dan oedema merupakan
gambaran dari penyakit hati berat. Ascites, hepatic encephalopathy, dan variceal
bleeding menunjukkan terjadinya sirosis hepatis karena NASH progresif. 5
Ketika penyakit tidak berlanjut, hepatomegali yang halus, difus, dan tidak
lunak terjadi pada 25 - 53% pasien. Pasien biasanya obese dan/atau mengalami
diabetes. Penyakit lanjut mungkin disertai right hypochondrium tenderness,
jaundice, palmar erythema, spider angioma, portal hypertension, ascites, varices,
and splenomegaly.5
3.2.5 Diagnosis
Diagnosa NAFLD ditegakkan setelah mengeksklusi penyebab lain dari
disfungsi hati. Hal ini dilakukan dengan memastikan tidak adanya
penyalahgunaan alkohol, infeksi virus, autoimun, metabolik, herediter atau
penyebab lain patologi hati. Secara umum, tidak adanya penyalahgunaan alkohol
atau konsumsi alkohol < 20 gram / hari dalam waktu lama, dan hasil tes serologi
terhadap hepatitis B dan C negatif seharusnya meningkatkan kecurigaan
terjadinya NAFLD.5

33
3.2.5.1 Diagnosis NAFLD secara Laboratoris
Tabel 3.3 Parameter Biokimia pada NAFLD4
Parameter Laboratoris Abnormalitas

ALT Peningkatan 4 - 5 kali lipat

AST Peningkatan 4 - 5 kali lipat

ALT/AST ratio Biasanya < 1 pada sirosis

< 2 pada alcoholic liver disease

Alkaline phosphatase Peningkatan 2 - 3 kali lipat

GGT Biasanya normal, dapat meningkat 2 -3


pada beberapa kasus

Bilirubin Meningkat pada NAFLD tahap lanjut

Albumin Menurun pada NAFLD tahap lanjut

Prothrombin time Meningkat pada NAFLD tahap lanjut

Serum iron chemistry

Serum ferritin Meningkat pada 50% kasus

Serum iron Meningkat

Transferrin saturation Menurun

ANA Positif pada 15 - 20% kasus

Lipids Meningkat pada kasus dengan underlying


hyperlipidaemia

Viral markers Untuk mengekskluasi viral hepatitis

34
Sebagian besar pasien dengan NAFLD datang ke dokter karena
peningkatan liver function test yang tidak sengaja ditemukan. Walaupun kadar
aminotransferase meningkat pada mayoritas pasien, tetapi pasien dengan kadar
aminotransferase yang normal juga dapat ditemukan perubahan nekroinflamatori
atau fibrosis. Hal tersebut sudah dibuktikan pada studi terhadap 51 subyek dengan
kadar ALT yang normal di mana 12 subyek telah terdapat fibrosis dan 6 subyek
terdapat sirosis.4
Dalam studi longitudinal histologis pada 103 pasien dengan peningkatan
aminotransferase memiliki korelasi dengan peningkatan nilai aktivitas, tetapi
perubahan pada kadar aminotransferase tidak berkorelasi dengan perubahan pada
tahap fibrosis. Menariknya, kadar aminotransferase menurun secara signifikan
antarbiopsi baik pada pasien dengan fibrosis progresif maupun pada pasien tanpa
fibrosis.5
2.5.2 Diagnosis NAFLD melalui Imaging
Metode imaging memiliki nilai diagnosis kecil pada NAFLD. Hasil USG
pada NAFLD sudah sering ditemukan gambaran hiperechoic, tetapi hal ini tidak
cukup sensitif maupun.5 Pencitraan radiologi non-invasif seperti USG, CT scan
abdomen, dan MRI dapat membantu diagnosis infiltrasi lemak pada hati. Namun,
tiga metode imaging yang paling sering digunakan (US, CT, MRI) tersebut telah
terbukti tidak dapat membedakan antara NASH dan bentuk lain dari NAFLD,
seperti fatty liver, steatohepatitis, dan steatohepatitis dengan fibrosis, sehingga
dibutuhkan biopsi hati.5

35
Gambar 3.8.CT Scan pada Fatty Liver
46-year-old man with nonalcoholic fatty liver disease. A–D, Progression of
nonalcoholic fatty liver disease is shown in comparable axial images from CT
studies in 2002 (A), 2003 (B), 2004 (C), and 2006 (D). Note progressive increase
in hepatic fatty content between 2002 and 2004. In 2004, liver biopsy confirmed
nonalcoholic steatohepatitis. No obvious morphologic changes are seen in liver
contour during this period. In 2006, patient was diagnosed as having cirrhosis.
Again, no obvious morphologic abnormality is evident other than reduction in
hepatic fatty content.

36
Gambar 3.7 Pebedaan Hepar normal, fatty liver, sirosis

Gambar 3.9 Gambaran USG Normal & Fatty Liver

37
3.2.5.3 Diagnosis NAFLD secara Histologis
Biopsi hati merupakan gold standar diagnosis, tidak hanya untuk
mendapatkan diagnosa yang tepat dan mendokumentasikan grading
nekroinflamasi dan staging fibrosis, namun juga memprediksi prognosa pada
pasien dengan bukti klinis atau radiologis sebagai NAFLD.6 Peran dari biopsi hati
pada NAFLD sudah sering dibahas dan korelasi antara penemuan histologis dan
gambaran klinis atau prognosis penyakit telah dipelajari secara ekstensif. Biopsi
hati merupakan satu-satunya cara untuk menegakkan diagnosis NAFLD dan
membedakan antara fatty liver dengan NASH. Biopsi juga dapat menentukan
tingkat keparahan penyakit dan memberikan wawasan tentang prognosis. Namun
demikian, tidak ada guideline yang telah dibuat untuk menentukan kapan dan
pada siapa biopsi hati diperlukan.4
Setelah mengeksklusi penyakit hati lainnya, diagnosis NAFLD hanya
dapat ditegakkan biopsi hati. Ini merupakan pemeriksaan paling sensitif dan
spesifik, juga dibutuhkan untuk staging, typing, dan menjelaskan prognosa
penyakit. Pada pemeriksaan histologi, temuan NAFLD sangat mirip dengan
temuan pada alcoholic liver disease. Penentuan hepatic iron store merupakan
parameter penting dalam membedakan NAFLD dari haemochromatosis. Derajat
peningkatan kadar ferritin lebih tinggi pada haemochromatosis dibanding
NAFLD.
Masalah yang berkaitan dengan biopsi hati adalah terdapat beberapa
keterbatasan yang signifikan. Pertama, kualitas spesimen biopsi hati bervariasi.
Beberapa studi menunjukkan interpretasi yang bervariasi pada inter dan
intraobserver terhadap spesimen biopsi. Selain itu telah lama diketahui bahwa
parenkim hati yang terkena pada berbagai penyakit hati kronis tidak homogen,
dan biopsi cenderung bervariasi. Hal ini juga telah dibuktikan untuk NASH pada
studi di mana dua biopsi hati dilakukan pada 51 pasien dengan NAFLD.4
Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang sering muncul pada interpretasi
biopsi hati, Matteoni et al membagi NAFLD menjadi 4 kategori berdasarkan
adanya steatosis, radang lobuler, hepatosit ballooning dan Mallory bodies /
fibrosis. Tipe 3 dan 4 dikaitkan dengan gambaran klinis terburuk.5

38
Tabel 3.6 Matteoni Typing System untuk NAFLD5
Tipe Perubahan Patologis

I Hanya deposisi lemak

II Deposisi lemak + inflamasi

III Tipe I + inflamasi lanjut + ballooning degeneration

IV Tipe I + fibrosis dan/atau Mallory bodies dan perubahan


sirosis

Namun hal tersebut tidak termasuk seluruh spektrum NAFLD dan tidak
dapat digunakan sebagai penilaian respon terhadap terapi. Karena itu sistem skor
lainnya telah dikembangkan yang khusus hanya mencakup fitur cedera aktif yang
berpotensi reversibel dalam jangka pendek.5
Sistem skor histologis pertama untuk NASH diusulkan oleh Brunt et al
dan didesain berdasarkan model yang digunakan pada penyakit kronis hati lainnya
dan termasuk 3 tingkat dari aktivitas nekroinflamatori secara kualitatif
(berdasarkan tingkatan steatosis, ballooning, dan peradangan) dan 4 tahap fibrosis
(Duvnjak et al, 2007). Sistem ini membutuhkan pengecatan histokimia rutin san
mencakup 14 gambaran histologi.6
3.2.6 Penatalaksanaan
Terapi farmakologis NAFLD sebaiknya ditujukan terhadap akumulasi lemak dan
injury serta fibrosis. Modalitas terapi farmakologi NAFLD yang potensial antara
lain sebagai berikut:6

39
1. Insulin sensitizer seperti metformin dan thiazolidinedione
2. Antilipidemic agents seperti fibrate and statin
3. Anticytokine seperti anti-TNF antibodies dan TNF-receptor antagonist
4. Cytoprotectives dan antioxidants seperti ursodeoxycholic acid, vitamin
E, S-adenosylmethionine, N-acetylcysteine, selenium, carnitine, dan
silymarin
5. Antibiotik dan probiotik untuk mengurangi gut-derived endotoxin
6. Phlebotomy, choline, dan betaine
7. Antifibrotic agents
Peranan antioksidan juga telah diteliti secara luas karena terjadi akumulasi
produk peroksidasi lipid sebagai respon free radical injury yang menyebabkan
stres oksidatif yang penting dalam menyebabkan liver cell injury.5
Oleh karena itu, antioksidan seperti vitamin E, beta-carotene, vitaminC,
nlecithin, dan sebagainya dapat dicoba. Vitamin E dapat menurunkan enzim hati
secara signifikan. Betaine dan and methylated amino acids lainnya bekerja sebagai
donor grup methyl dan menurunkan uptake lemak dan akumulasi lemak si sel-sel
hati. Betaine juga merupakan opak yang menjanjikan (Dabhi et al, 2008).
Ursodeoxycholic acid (UDCA) dengan dosis 13 - 15 mg/kg/hari selama satu tahun
dapat memperbaiki ALT dan steatosis pada pasien dengan NAFLD.
UDCA ini berperan sebagai cytoprotective, immunomodulatory,
chemoprotective, dan antioxidant. UDCA berperan sebagai cytoprotective karena
memiliki sifat high lipid altering. UDCA juga dapat menstabilisasi membran
hepatosit dan mencegah jejas pada membran sel, seta memperbaiki kerusakan sel
pada hati. UDCA juga membantu memelihara fungsi mitokondria sehingga
menurunkan steatosis akibat klirens akumulasi lemak di hati. Terapi awal
merupakan pilihan terbaik untuk mencegah perburukan lebih lanjut dari NAFLD
dan mengembalikan perubahan mendekati normal.5
Penatalaksanaan Kondisi Lain yang Berhubungan:
a. Diabetes mellitus
Pasien dengan DM sebaiknya memiliki kontrol yang tepat terhadap kadar
gula darahnya. Resistensi insulin seringkali merupakan masalah pada

40
pasien ini sehingga metformin dan pioglitazone dapat ditambahkan pada
terapinya. Metformin juga memiliki kerja sebagai anoreksian dan
membantu dalam menurunkan berat badan. Namun belum ada penelitian
khusus mengenai penggunaan agen ini pada NAFLD; sehingga saran ini
hanya bersifat logika.
b. Hiperlipidemia
Restriksi lemak pada diet dan obat penurun lipid berguna pada kondisi ini.
Obat yang terutama bekerja dalam menurunkan kadar trigliserida
dibutuhkan pada kondisi ini. Obat-obatan seperti golongan gemfibrozil,
clofibrate, dan statin diindikasikan pada kondisi ini. Namun tetap perlu
diingat bahwa fibrate dapat menyebabkan drug-induced hepatitis pada
beberapa pasien.
c. Penggunaan obat-obatan lain
Beberapa obat berkaitan dengan perkembangan NAFLD. Obat-obatan ini
sebaiknya dihentikan dan diganti dengan alternatif lain yang sesuai.
d. Metronidazole
Metronidazole dengan dosis 750 - 2000 mg per hari selama 3 bulan
menunjukkan perbaikan steatohepatitis yang berkaitan dengan jejunal
bypass surgery. Terapi ini membutuhkan evaluasi untuk penggunaan pada
tipe lain NAFLD.
Kehilangan berat melalui latihan dan modifikasi diet bersama dengan
agen-agen yang dapat meningkatkan kepekaan insulin akan membantu
mengembalikan infiltrasi lemak pada hati. Terapi-terapi lainnya mungkin
bermanfaat dalam memperlambat proses-proses peradangan dan fibrosis,
khususnya pada terapi kombinasi.5
NAFLD adalah suatu penyakit hati yang ditimbulkan sendiri (self-
inflicted), sangat banyak menyerupai penyakit hati alkoholik (alcoholic liver
disease). Tetapi hanya sebagian kecil dari pasien yang gemuk atau diabetes akan
berkembang menjadi penyakit hati berat dan hal ini kemungkin besar ditentukan
secara genetik. Sebagai tambahan, banyak bukti yang menjelaskan bahwa

41
kegemukan dan diabetes dapat memperburuk penyakit hati alkoholik dan penyakit
hati yang disebabkan HCV (Duvnjak et al, 2007).

3.2.7 Komplikasi
Komplikasi-komplikasi dari NASH termasuk sirosis (juga
dipertimbangkan sebagai tingkatan akhir dari NAFLD) dan kanker hati utama atau
primary liver cancer (hepatocellular carcinoma, HCC).5

42
BAB IV

ANALISA KASUS

Dari anamnesis diketahui keluhan utama pasien mengeluh sakit


perut bagian bawah sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Sejak
± 2 hari SMRS Pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut, nyeri dirasakan
pada perut kanan hingga perut tengah bagian bawah. Nyeri bermula pada pada
perut bagian tengah dan tidak menjalar dari ulu hati. Nyeri dirasakan seperti
ditusuk-tusuk dan terasa keram. Nyeri bertambah saat pasien melakukan aktivitas.
Pasien juga mengeluh mual (+) dan muntah (+). Nafsu makan menurun dan tidak
ada keluhan pada buang air besar.
Pasien juga mengeluhkan badan terasa panas dan pusing serta mengeluh
nyeri saat buang air kecil, pancaran tidak lemah dan tidak terputus-putus. Kencing
berdarah disangkal, endapan pada air kencing disangkal. Riwayat menstruasi
normal dan didapatkan hari terakhir periode menstruasi bulan ini ± 5 hari SMRS.
Pasien menyangkal adanya cairan abnormal yang keluar dari vagina.
Pasien memiliki kebiasaan minum air putih yang cukup dan teratur. Pasien
juga suka mengkonsumsi sayur dan buah-buahan. Kebiasaan berolahraga tidak
rutin dan tidak memiliki riwayat yang sama sebelumnya.
Dari pemeriksaan tanda vital juga didapatkan pasien mengalami demam.
Pemeriksaan fisik abdomen yang dilakukan pada pasien memperlihatkan adanya
nyeri tekan pada regio abdomen bagian tengah dan kanan bawah. Pada
pemeriksaan fisik abdomen nyeri tekan pada region Mc Burney (+), Obturator
sign (+), Psoas Sign (+), Regio Hipokondriak (+), Massa (-). Sedangkan pada
auskultasi dan perkusi didapatkan bising usus normal dan tidak meningkat dan
adanya nyeri ketuk (+). Pada kasus ini pasien didapatkan skor Alvarado berjumlah
7 yang menginterpretasikan sangat mungkin appendicitis akut. Sehingga untuk
keperluan tindakan diperlukan pemeriksaan penunjang berupa USG.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan menunjukkan adanya peningkatan
leukosit hingga 11,1x10 9 /L dan hasil yang normal pada pemeriksaan hematologi
lailainnya dalam batas normal, sehingga memberikan kesan leukositosis.

43
Sedangkan pada pemeriksaan kimia darah dan elektrolit semua dalam batas
normal.
Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa USG Abdomen
untuk menyingkirkan diagnosa banding berupa appendicitis akut dan adnexitis.
Diagnosa banding berupa adnexitis dicurigai dari hasil anamnesa dan pemeriksaan
fisik pada abdomen pasien yang menunjukkan terdapat nyeri pada regi
hipokondriak. Namun, tidak ditemukan adanya massa, serta kebiasaan pasien
yang tidak mengarah pada kondisi appendicitis. Selain itu, keluhan lainnya pada
pasien ditemukan adanya rasa nyeri pada buang air kecil yang umumnya sering
ditemukan pada pasien dengan adnexitis. Nyeri pada pasien juga didapatkan
setelah beberapa hari pasien selesai haid, disertai adanya keputihan. Sebelumnya
keluhan ini tidak pernah ditemukan keluhan yang sama.
Pada pemeriksaan USG Abdomen didapatkan temuan hepar dengan
ekostruktur hiperekoik inhomogen, tidak tampak lesi fokal, dan vaskularisasi baik.
Lien dan pankrean tampak normal dan ginjal kiri dan kanan juga tampak normal.
Pada adnexa kanan ditemukan lebih hypoechoic dibanding adnexa kiri dengan
fluid collection minimal. Sehingga didapatkan kesan Adnexitis dan Fatty Liver
pada pasien ini.
Pada kasus ini didapatkan kecocokan antara kondisi pasien , pemeriksaan,
serta teori yang dikemukakan. Pada Kondisi adnexitis, ditemukan gejala yang
tidak khas serta terkadang asimptomatik. Beberapa pasien lebih banyak
menunjukkan adanya nyeri pada region pubis/hipokondriak yang dapat terjadi
bilateral maupun unilateral, adanya keputihan normal/bernanah, dyspareunia,
perdarahan vaginal, dan dysmenorea sekunder. Sedangkan pada pasien ini
ditemukan adanya nyeri perut bagian bawah/hipocondria setelah menstruasi,
adanya rasa nyeri saat buang air kecil, serta keputihan. Pada pemeriksaan fisik
juga diteukan nyeri region kanan dan tengah bawah yang positif.
Pada pemeriksaan USG pasien ini juga ditemukan adanya fatty liver. Pada
teori dijelaskan gejala pada fatty liver biasanya muncul perlahan dan tidak
spesifik. Kebanyakan pasien tidak menampakkan gejala. Namun, pada awal gejala
bisa ditemukan adanya keluhan nyeri kuadran kanan atas. Fatty Liver juga

44
ditemukan pada beberapa sindroma lainnya seperti polycystic ovarian yang
dihubungkan dengan obesitas dan hirsutisme. Sehingga pada hasil analisa pasien
ini kasus fatty liver masih dibutuhkan pemeriksaan penunjang lainnya berupa
pemeriksaan parameter biokimia dan histologis.

45
BAB V

KESIMPULAN

Penyakit radang panggul (PID) sulit didiagnosis karena gejala seringkali


ringan dan tidak menonjol. Hingga saat ini belum ada tes yang tepat dan spesifik
untuk PID oleh karena itu diagnosa didasarkan pada temuan klinis. Risiko
penyakit radang panggul setelah infeksi gonokokal mungkin bahkan lebih tinggi.
Hubungan seksual dan menstruasi retrograde mungkin sangat penting dalam
gerakan organisme dari bawah ke saluran kelamin bagian atas. Insiden tertinggi
terlihat pada wanita yang aktif secara seksual di usia remaja, dengan 75% kasus di
bawah 25 tahun. Salah satu PID yang sering ditemukan adalah adnexitis melalui
anamnesa, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang. Nyeri panggul
memiliki sensitivitas yang tinggi untuk diagnose PID. . Hanya sekitar 75% dari
perempuan yang telah menerima diagnosis klinis penyakit radang panggul yang
didasarkan pada gejala nyeri panggul dan radang saluran kelamin yang lebih
rendah memiliki konfirmasi laparoskopi salpingitis (visualisasi peradangan tuba
dan rahim, eksudat, perlengketan, atau abses). Adnexitis memerlukan
pemeriksaan USG yang sederhana dan tidak invasive dan selanjutnya untuk
konfirmasi diperlukan laparoskopi.

Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) merupakan deposisi lemak


di hati pada subjek yang non-alkoholik. NAFLD didefinisikan sebagai adanya
lemak yang berlebihan pada hati, yang terdeteksi baik melalui imaging maupun
biopsi hati. Patogenesis pada NAFLD ditandai oleh deposisi lemak, inflamasi, dan
fibrosis hati. Patofisiologi NAFLD primer masih belum diketahui dengan jelas.
Salah satu hipotesa mengenai patogenesis NAFLD adalah “two-hit” hypothesis
yang diperkenalkan oleh Day dan James pada tahun 1998. Resistensi insulin
merupakan penyebab utama akumulasi lemak di hati.

Secara umum, gejala-gejala dari NAFLD. Keduanya muncul perlahan dan


tidak spesifik (dapat juga diamati pada penyakit-penyakit lainnya). Metode
imaging memiliki nilai diagnosis kecil pada NAFLD. Hasil USG pada NAFLD

46
sudah sering ditemukan gambaran hiperechoic, tetapi hal ini tidak cukup
sensitive. Pencitraan radiologi non-invasif seperti USG, CT scan abdomen, dan
MRI dapat membantu diagnosis infiltrasi lemak pada hati. Namun, tiga metode
imaging yang paling sering digunakan (US, CT, MRI) tersebut telah terbukti tidak
dapat membedakan antara NASH dan bentuk lain dari NAFLD, seperti fatty liver,
steatohepatitis, dan steatohepatitis dengan fibrosis, sehingga dibutuhkan biopsi
hati.5

47
DAFTAR PUSTAKA

1. CDC. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines. Centers for


Disease Control and Prevention, 2010,63–67. http://www.cdc.gov/
std/treatment/2010/std-treatment-2010-rr5912.pdf (1 March 2013, date last
accessed).
2. Jacobson L, Westrom L. Objectivized diagnosis of acute pelvic
inflammatory disease. Diagnostic and prognostic value of routine
laparoscopy. Am J Obstet Gynecol 1969;105:1088–1098.
3. Paavonen J, Westrom L, Eschenbach D. Pelvic inflammatory disease. In:
Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, et al., eds. Sexually transmitted
diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill, 2008.
4. Duvnjak, Marko. Et al. Pathogenesis and mangemenet issues for non
alcohol fatty liver disease. 2007. World J Gastroenterol 14;13(34):4539-
4550
5. Teli MR, James OF, Burt AD, Bennett MK, Day CP. The natural history
of nonalcoholic fatty liver: a follow-up study. Hepatology 1995; 22: 1714-
1719
6. Marchesini G, Bugianesi E, Forlani G, Cerrelli F, Lenzi M, Manini R,
Natale S, Vanni E, Villanova N, Melchionda N, Rizzetto M. Nonalcoholic
fatty liver, steatohepatitis, and the metabolic syndrome. Hepatology 2003;
37: 917-923
7. Goller J, Fairley C, Guy R, Bradshaw C, Chen M, Hocking J. Aetiology of
infections associated with 1228 cases of pelvic inflammatory disease in an
urban Australian sexual health clinic setting. Sexually Transmitted
Diseases 2014; 41: S59
8. Bevan CD, Johal BJ, Mumtaz G, Ridgway GL, Siddle NC. Clinical,
laparoscopic and microbiological findings in acute salpingitis: report on a
United Kingdom cohort. British Journal of Obstetrics & Gynaecology
1995; 102(5): 407-14.

48
9. Price MJ, Ades AE, Welton NJ, Simms I, Macleod J, Horner PJ.
Proportion of Pelvic Inflammatory Disease Cases Caused by Chlamydia
trachomatis: Consistent Picture From Different Methods. J Infect Dis
2016; 214(4): 617-24.
10. Dean G, Whetham J, Soni S, Pitt R, Alexander S. Pelvic Inflammatory
Disease (PID), Mycoplasma genitalium and macrolide resistance in
England. Sexually Transmitted Infections 2016; 92(Suppl 1): A12-A.
11. Goller JL, De Livera AM, Fairley CK, et al. Characteristics of pelvic
inflammatory disease where no sexually transmitted infection is identified:
a cross-sectional analysis of routinely collected sexual health clinic data.
Sexually Transmitted Infections 2017; 93(1): 68-70.
12. Wiesenfeld H, Cates WJ. Sexually transmitted diseases and infertility. In:
Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, et al., eds. Sexually transmitted
diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill, 2008.
13. Price MJ, Ades AE, De Angelis D, et al. Risk of pelvic inflammatory
disease following Chlamydia trachomatis infection: analysis of
prospective studies with a multistate model. Am J Epidemiol 2013; 178:
484-92.
14. Brunham C Robert, et al., Pelvic Inflamatory Disease. 2015. n engl j med
372;21:2039-48.

49

Anda mungkin juga menyukai