Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Appendisitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan
memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius.
Appendisitis yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
penderita. Untuk itu ketepatan diagnosis sangat dibutuhkan dalam pengambilan
keputusan tindakan. Ketepatan diagnosis tergantung dari kemampuan dokter
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.1
Insiden appendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi
diantara kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun
demikian, diagnosis serta keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Pada
beberapa keadaan Appendisitis akut agak sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal
dari gejala Appendisitis akut dan tandanya masih sangat samar apalagi bila sudah
diberikan terapi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan teliti risiko
kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita kesalahan diagnosis ini
mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat wanita sering timbul gangguan
organ lain dengan gejala yang serupa dengan appendisitis akut.1
Mengingat masalah di atas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan
laboratorium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan mendiagnosis
appendisitis akut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosis tersebut untuk
memudahkan dokter dalam mendiagnosis dan mengambil keputusan.1,2

1
BAB II
ILUSTRASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 58 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan. Kapt. Pattimura RT.19, Simp. IV Sipin
MRS : 07 Juni 2018, Pukul 19.37 WIB

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Os datang dengan nyeri perut bagian kanan bawah sejak ±
10 jam yang lalu SMRS.

Riwayat Perjalanan Sekarang :


Sejak ± 10 jam SMRS, Os mengeluh nyeri pada perut bagian kanan
bawah. Nyeri muncul secara tiba-tiba, pada ulu hati sampai sekitar pusar.
Sejak ± 6 jam SMRS Nyeri dirasakan terus menerus sepanjang hari
dan dirasakan bertambah berat serta pindah ke perut kanan bawah dan
menetap. Nyeri hilang timbul dan dirasakan semakin memberat dengan
aktivitas. Demam (+) dan turun dengan pemberian obat penurun panas.
Keluhan juga disertai mual dan muntah serta nafsu makan yang
berkurang. Os sudah muntah sebanyak 4 kali sebanyak ½ gelas belimbing. Os
juga mengeluhkan sakit kepala dan badan yang terasa lemas. BAB tidak
lancar sejak 3 hari yang lalu, dan BAB terakhir ±1 hari SMRS. Flatus (+),
BAK disertai rasa yang tidak puas.
Nyeri tidak menjalar ke punggung maupun ke selangkangan. Nyeri
juga tidak dipengaruhi oleh makanan, baik setelah makan maupun
sebelumnya nyeri tetap ada. Os pernah mempunyai keluhan nyeri perut kanan

2
bawah yang awalnya juga dimulai di ulu hati dan disertai demam, mual, dan
muntah pada ±1 tahun yang lalu. Os sudah direncanakan untuk dilakukan
operasi, namun keluarga menolak untuk dioperasi.

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat keluhan seperti ini : Os pernah menderita keluhan yang
sama ±1 tahun yang lalu dan sudah
direncanakan operasi tapi dibatalkan
karena keluarga menolak.
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat Hipertensi : Os memiliki riwayat hipertensi (+). Os
pernah diberikan obat valsartan 1x10mg
dan Propanolol 1x10mg.
- Riwayat Stroke : Os pernah memiliki riwayat stroke ±6
tahun yang lalu.
- Riwayat DM : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ditemukan keluhan serupa.

Kebiasaan:
 Merokok disangkal
 Konsumsi alkohol disangkal
 Tidak begitu suka makan sayur dan buah-buahan.
 BAB tiap 1-2 hari sekali, pernah sulit BAB.

C. Pemeriksaan Fisik

3
TANDA VITAL
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TD : 130 / 90 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Suhu : 37,60 c
RR : 25 x/menit

STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Kulit putih Suhu 37,6ºC
Efloresensi : (-) Turgor : Baik
Pigmentasi : Dalam batas normal Ikterus : (-)
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Rambut : Rambut tumbuh merata

Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Ekspresi muka : Tampak sakit sedang
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)

4
Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (+)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah
Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn
Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : Simetris
 Paru-paru
 Inspeksi : Pernafasan simetris
 Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)

5
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
 Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis
sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : tampak datar, sikatrik (-), massa (-), bekas operasi (-)
 Palpasi : Supel, Nyeri tekan (+) kuadran kanan bawah, nyeri lepas
(+), hepar dan lien tidak teraba membesar.
 Mc Burney (+)
 Rovsing sign (+)
 Blumberg Sign (+)
 Obturator Sign (+)
 Psoas Sign (-)
 Perkusi : Timpani (+) pada keempat kuadran abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

Rectal Touche : Tidak Dilakukan

Punggung dan Pinggang :

6
Inspeksi : Tidak ditemukan skoliosis, lordosis, maupun kifosis.
Simetris dalam keadaan statis maupun dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan = stem fremitus kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru, nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler, Rh - / -, Wh -/ -

Ekstremitas Superior et Inferior :


Look : Deformitas (-), Edema (-), Dalam Batas Normal
Feel : Krepitasi (-), Akral hangat, CRT<2 detik, Dalam
Batas Normal
Move : ROM Aktif dan Pasif dalam batas normal. 5/5
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin
WBC : 15,49 103/mm3
NEUT : 13,74 109/ L
RBC : 5,35 106/mm3
HB : 16,2 g/dl
HCT : 45,7 %
PLT : 145 103/mm3
GDS : 96 mg/dl
Kesan : Leukositosis
2. Kimia Darah
Ureum : 11 mg/dl
Kreatinin : 1,2 mg/dl

3. Elektrolit
o Na : 140,96
o K : 3,65
o Cl : 106,46

7
o Ca : 1,26

Skor Alvarado
- Migration of pain :1
- Anoreksia :1
- Mual/muntah :1
- Nyeri tekan :2
- Nyeri lepas :1
- Febris :1
- Leukositosis :2
- Left shift in leukocyte : -
TOTAL = 9 (Have a high likelihood Appendicitis)
E. Diagnosa Kerja
Appendicitis Kronis Eksaserbasi Akut
F. Diagnosa Banding
- Gastritis
- Urolithiasis
- Chron’s Disease
- Meckel’s Diverticulitis
- Acute Mesentric Adenitis
G. Tatalaksana
Awal pengobatan
Pre Op
- IVFD RL 20 gtt/ menit
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gram
- Inj. Ranitidine 25mg/mL
- Inj. Ondansentron 2mg/mL
- USG

8
Operasi
- Laparotomi eksplorasi
- Appendektomi
Post Op
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gram
- Inj. Ranitidine 2x 1 ampul
- Inj. Ketorolac 3x 30mg
- Jaringan di PA kan
- Bed Rest 24 jam
H. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad santionam : dubia ad bonam

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Appendiks

Gambar 2.1 Anatomi appendiks


Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm), diameter sekitar 0,5-0,8 cm, dan berpangkal di caecum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun
demikian, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya.3 Appendiks mengandung banyak jaringan limfoid di
dalam dindingnya. Appendiks melekat pada permukaan posteromedial caecum,
sekitar 1 inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis. Appendiks vermiformis
diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada mesenterium intestinum
tenue oleh mesenteriumnya sendiri yang pendek disebut mesoappendiks.
Mesoappendiks berisi arteria dan vena appendikularis dan nervus.4
Appendiks vermiformis terletak di fossa iliaca dextra, dan dalam
hubungannya dengan dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke
atas di garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilikus (titik
McBurney). Di dalam abdomen, dasar appendiks vermiformis mudah ditemukan
dengan mencari taenia coli caecum dan mengikutinya sampai appendiks

10
vermiformis, di mana taenia ini bersatu membentuk tunica muscularis longitudinalis
yang lengkap.4
Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara
ileum dan colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan
apppendiks terlihat pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans
caecum. Dalam proses perkembangannya, awalnya appendiks berada pada apeks
caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat plica ileocaecalis.1,2

1
2

6 8
w
e
w w
e
e e
k
e e
s
k k
s s

a a

t d
Gambar 2.2 Embriologi appendiks
u
Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum
b l
dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi
i t
appendiks terbanyak adalah retrocaecal 65,28%, baik intraperitoneal maupun
r
retroperitoneal di mana appendiks berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga
t
terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01% (appendiks menggantung ke arah pelvic
h
minor), subcaecal (di bawah caecum) 2,26%, retroileal (di belakang usus halus)
0,4%, retrocolic, dan pre-ileal.1

11
Gambar 2.3 Variasi letak appendiks
Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di
sepanjang masoappendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang
merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain dari arteri appendikularis
yang memperdarahi hampir seluruh appendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri
asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocolica berjalan ke
vena mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal.1
Persarafan parasimpatis dari appendiks berasal dari cabang nervus vagus
yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n. thorakalis X.1
2.2 Fisiologi Appendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.3
Awalnya, appendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari
sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi

12
virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh
tubuh.3
2.3 Histologi Appendiks
Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan
yakni mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan
dalam atau mukosa secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda
dengan gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen
limfoid ini mengakibatkan lumen dari appendiks seringkali berbentuk irreguler
(stelata) pada potongan melintang. Dindingnya berstruktur sebagai berikut:5
A. Tunica mucosa
Tidak mempunyai vili intestinalis.
1. Epitel, berbentuk silindris selapis dengan sel piala. Banyak ditemukan
sel argentafin dan kadang-kadang sel paneth
2 . Lamina propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid dengan
adanya pula nodulus limfatikus yang tersusun berderet-deret sekeliling
lumen. Di antaranya terdapat crypta Lieberkühn
3. Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan
limfoid dan kadang-kadang terputus-putus
B. Tunica submucosa
Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang
merata. Di dalam jaringan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh
darah dan saraf.
C. Tunica muscularis
Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan.
D. Tunica serosa

13
Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak ada pada intestinum tenue.
Kadang-kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendiks
yang merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum viserale.

Gambar 2.4 Potongan melintang appendiks vermiformis normal


2.4 Definisi Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang
dikenal juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical
emergency dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering
ditemui.5

14
Gambar 2.5 Inflamasi appendiks
2.5 Epidemiologi Appendisitis
Penelitian epidemiologi dan demografi melaporkan bahwa insiden
appendisitis bervariasi menurut usia, jenis kelamin, ras, status sosioekonomik,
budaya makanan, dan perubahan musim. Oleh karena itu, frekuensi appendisitis akut
berbeda di tiap negara.6
Appendisitis akut adalah penyakit yang paling banyak ditemukan di klinik
darurat, dengan sekitar 250,000 kasus appendisitis yang dilaporkan di AS dan 40,000
di Inggris tiap tahun. Penelitian menunjukkan bahwa appendisitis akut terlihat paling
umum di negara-negara barat, terutama pada anak muda dan laki-laki. Penelitian
yang dilakukan di Turki tahun 2012 juga menunjukkan bahwa appendisitis akut
umum dijumpai pada anak muda usia 10-19 tahun dan pada laki-laki. Insiden
appendisitis akut menurun seiring usia. Hanya 5-10% kasus appendisitis akut yang
dijumpai pada usia lanjut.6
Insiden appendisitis akut di Afrika dan Asia diketahui rendah dan terdapat
perbedaan insiden yang jelas antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hal ini
mungkin karena orang-orang yang tinggal di daerah ini kurang dipengaruhi oleh tipe
diet barat (diet cepat saji) dengan mayoritas makanan yang dikonsumsi tinggi
karbohidrat dan rendah serat. Bagaimanapun, efek hormon kelamin pada perempuan

15
di samping predisposisi laki-laki yang mengkonsumsi makanan cepat saji
berpengaruh pada temuan ini.6
Perbandingan insiden pada remaja laki-laki dan perempuan adalah 3:2 dan
dewasa muda; pada dewasa, insiden appendisitis sekitar 1,4 kali lebih banyak pada
laki-laki dibanding perempuan. Insiden appendektomi primer kira-kira seimbang
pada keduanya.7
Insiden appendisitis secara bertahap meningkat dari kelahiran, memuncak
pada usia remaja akhir, dan bertahap menurun pada usia lanjut. Usia rata-rata ketika
appendisitis terjadi pada populasi pediatri adalah 6-10 tahun. Hiperplasia limfoid
diamati lebih sering pada bayi dan dewasa dan berperan dalam peningkatan insiden
appendisitis dalam kelompok usia ini. Anak-anak yang lebih muda mempunyai rasio
perforasi yang lebih tinggi, dengan rasio yang dilaporkan 50-85%. Usia median saat
appendektomi adalah 22 tahun. Meskipun jarang, appendisitis neonatal dan bahkan
prenatal pernah dilaporkan.7
2.6 Etiologi Appendisitis
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendisitis akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith, tumor
appendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.5
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, di antaranya:
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya appendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hiperplasia jaringan limfoid submukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena
benda asing dan sebab lainnya, 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan
cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada
bermacam-macam appendisitis akut diantaranya: 40% pada kasus

16
appendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus appendisitis akut gangrenosa
tanpa ruptur, dan 90% pada kasus appendisitis akut dengan ruptur.5,8
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
appendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen appendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen appendiks. Pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan
E.coli, Lactobacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanchnicus. Sedangkan
kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96%
dan aerob <10%.5,8
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis ialah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Ulserasi
mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.5,8

17
c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan
kuman flora kolon biasa sehingga mempermudah timbulnya appendisitis
akut. Pemberian laksatif pada penderita appendisitis akan merangsang
peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.5,8
d. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter
dari organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik
dan letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi
lumen.5,8
e. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai risiko
lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat
sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola
makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang, yang
dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat,
memiliki risiko appendisitis yang lebih tinggi.5,8
2.7 Klasifikasi Appendisitis
Ada beberapa jenis appendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda
berhubungan dengan appendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan
prognosis. Appendisitis diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Appendisitis akut
a. Appendisitis akut sederhana (Catarrhal Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi

18
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe,
mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali
dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan
demam ringan. Pada appendisitis kataral terjadi leukositosis dan
appendiks terlihat normal, hiperemis, edema, dan tidak ada eksudat
serosa.8,9
b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada appendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram
karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, heperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.8,9
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik McBurney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak
aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.8,9
c. Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-
tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Pada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.8,9
2. Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, caecum, kolon dan

19
peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa phlegmon yang melekat
erat satu dengan yang lainnya.8,9
3. Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari caecum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.8,9
4. Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan
pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.8,9
5. Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang
yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis
baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Secara histologi, dinding appendiks menebal,
submukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel
radang limfosit dan eosinofil pada submukosa, muskularis propia, dan serosa.
Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.8,9
2.8 Patofisiologi Appendisitis
Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh
infeksi. Beberapa hal ini dapat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan
limfoid, fekalith, benda asing, striktur, kingking, perlengketan.
Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun
dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intraluminer tinggi. Tekanan ini akan
mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa,
stadium ini disebut Appendisitis Akut Ringan. Tekanan yang meninggi, edema dan
disertai inflamasi menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga menyebabkan

20
trombosis yang memperberat iskemia dan edema. Pada lumen appendiks juga
terdapat bakteri, sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks cocok
buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga
menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis Akut
Purulenta.
Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri
juga terganggu, terutama bagian antemesenterial yang mempunyai vaskularisasi
minimal, sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut Appendisitis
Gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena tekanan
intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi, mendorong
pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini disebut
Appendisitis Akut Perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum dan abses
sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di atas,
karena ada usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara walling off oleh
omentum, lengkung usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi
gumpalan massa phlegmon yang melekat erat. Keadaan ini disebut Appendisitis
Infiltrat.
Appendisitis infiltrat adalah suatu phlegmon yang berupa massa yang
membengkak dan terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan
sedikit atau tanpa pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa
sempurna atau tidak sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau
kondisi penderita yang kurang baik, sehingga appendikular infiltrat dibagi menjadi
dua:
a. Appendikuler infiltrat mobile
b. Appendikuler infiltrat fixed
Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga akan
terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan
terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum.

21
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya dan menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi
dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut. Appendisitis terjadi dari proses
inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala,
kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.5,8

Gambar 2.6 Tahap-tahap Appendisitis

22
Gambar 2.7 Patofisiologi Appendisitis

23
2.9 Manifestasi Klinis Appendisitis
a. Nyeri abdominal
Karena adanya kontraksi appendiks, distensi dari lumen appendiks
ataupun karena tarikan dinding appendiks yang mengalami peradangan.
Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang
merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus
karena appendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama.
Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan menetap di abdomen
kanan bawah (titik McBurney). Apabila terjadi inflamasi (>6 jam) akan
terjadi nyeri somatik setempat yang berarti sudah terjadi rangsangan pada
peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta
nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.9
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari appendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada
letak appendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut:
 Bila letak appendiks retrosekal dan retroperitoneal, yaitu di
belakang caecum (terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut
kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut kanan atau nyeri timbul
pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam,
batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.
psoas mayor yang menegang dari dorsal.
 Bila appendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih
cepat dan berulang-ulang (diare).

24
 Bila appendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena
rangsangan dindingnya.9
b. Mual-muntah biasanya pada fase awal
Disebabkan karena rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus.
Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut
menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali.
c. Nafsu makan menurun (anoreksia)
Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis
akut. Bila hal in tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu
dipertanyakan.
d. Obstipasi dan diare pada anak-anak
Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum
datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare. Hal
tersebut timbul biasanya pada letak appendiks pelvikal yang merangsang
daerah rektum.
e. Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.9
Tabel 2.1 Gejala dan tanda appendisitis
Kelainan patologi Keluhan dan tanda
Peradangan awal Kurang enak ulu hati/daerah pusat,
mungkin kolik.
Apenditis mukosa Nyeri tekan kanan bawah
(rangsaganan automik).
Radang di seluruh ketebalan dinding Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,

25
mual dan muntah.
Appendisitis komplet radang Rangsangan peritoneum lokal
peritoneum parietal appendiks (somatik), nyeri pada gerak aktif dan
pasif,defans muskuler lokal.
Radang alat/jaringan yang Genitalia interna, ureter, m.psoas
menempel pada appendiks mayor, kantung kemih, rektum.
Appendisitis gangrenosa Demam sedang, takikardia,
mulai toksik, leukositosis.
Perforasi Nyeri dan defans muskuler seluruh
perut.
Pembungkusan tidak berhasil Demam tinggi, dehidrasi,
syok, toksik
Pembungkusan berhasil Massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik
Abses Demam remiten, keadaan umum
toksik,
keluhan dan tanda setempat

2.10 Diagnosis Appendisitis


a. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada appendisitis didasarkan atas
anamnesis ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan
penunjang lainnya. Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4
hal penting yaitu:
 Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa
waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah
 Muntah oleh karena nyeri viseral
 Demam

26
 Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan,
penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah
perut10
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
2) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus
paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
3) Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik McBurney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
 Nyeri tekan (+) McBurney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik
McBurney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang
hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan
bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah
sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan di titik
McBurney.
 Defans muskuler (+) karena rangsangan m. rektus abdominis
Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen
yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada

27
appendiks letak retroperitoneal, defans muskuler mungkin tidak
ada, yang ada nyeri pinggang.
Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada appendisitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
4) Perkusi: nyeri ketuk (+)10
c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus
 Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena
tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga
menggerakkan peritoneum sekitar appendiks yang meradang (somatic
pain).
 Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau
kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa
nyeri pada kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
 Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara
memeriksa:
1. Aktif: Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila
terasa nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring ke kiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.

28
Gambar 2.8 Cara melakukan psoas sign
 Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae.
Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.10

29
Gambar 2.9 Cara melakukan obturator sign
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah: pada laboratorium darah terdapat leukositosis
ringan (10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel
polimorfonuklear (PMN), neutrofil (shift to the left) di mana
terjadi pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien
dengan akut appendisitis dan appendisitis tanpa komplikasi.

30
Sedangkan leukosit >18.000/mm3 meningkatkan kemungkinan
terjadinya perforasi appendiks dengan atau tanpa abses.
 Pemeriksaan urin: untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan
bakteri dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendisitis.
 Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosis
appendisitis adalah C-reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase
akut terhadap infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar
serum mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan karena
tidak spesifik. Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil
dari CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.10
2) Foto polos abdomen
Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk
biaya, dan dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%,
suatu fekalith buram mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah.
Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Pada appendisitis akut dapat terlihat abnormal “gas pattern”
dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan fekalith dapat
mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid
level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah,
perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi
perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi
tertentu misalnya perforasi, obstruksi usus, saluran kemih kalkulus.
Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin

31
atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri
abdomen yang akut.
3) USG
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
diagnosis appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan
dengan cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat
digunakan pada pasien yang sedang hamil karena tidak mengganggu
paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasikan sebagai
“blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk
mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya noncompressible
appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter anteroposterior,
adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa,
dan cairan atau massa periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis
termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi
penyakit lapisan struktur dinding appendiks) atau abses, lemak
pericaecal menonjol, dan kehilangan keliling dari layer submukosa.
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii
dan pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum
Meckel, divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang
panggul, dan endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada
appendiks.
4) Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium
ke colon melalui anus. Barium enema merupakan kontraindikasi pada
suspek appendisitis akut sebab pada appendisitis akut ada
kemungkinan sudah terjadi mikroperforasi sehingga kontras dapat
masuk ke intraabdomen menyebabkan penyebaran kuman ke
intraabdomen. Barium enema indikasi untuk appendisitis kronik.
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4

32
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1 : 3 secara
peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8 – 10 jam untuk anak-
anak atau 10 – 12 jam untuk dewasa. Pemeriksaan ini dikatakan
positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling dengan indentasi
dari caecum menunjukkan adanya appendisitis kronis. Hal ini
menunjukkan adanya inflamasi pericaecal. False negative (partial
filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema ini sudah tidak
lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai
menderita appendisitis akut.
5) CT Scan
Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses
inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk
appendisitis. Appendiks normal akan terlihat struktur tubular tipis
pada kuadran kanan bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras.
Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi homogenus berbentuk cincin
(halo sign), dan terlihat pada 25% populasi.9
Appendisitis akut dapat didiagnosis berdasarkan CT Scan
apabila didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada
periappendiceal. Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi
atau menebal dan membesar >5-7 mm. Sedangkan yang termasuk
inflamasi periappendiceal antara lain adalah abses, kumpulan cairan,
edema, dan phlegmon. Inflamasi periappendiceal atau edem terlihat
sebagai perkapuran dari lemak mesenterium (“dirty fat”), penebalan
fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran
kanan bawah. CT Scan khususnya digunakan pada pasien yang
mengalami penanganan gejala klinis yang telat (48-72 jam) sehingga
dapat berkembang menjadi phlegmon atau abses. Fekalith dapat
dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalith bukan patognomonik

33
adanya appendisitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang
disebabkan penebalan dari caecum.8
Kekurangan dari CT Scan termasuk mungkin iodinasi-kontras-
media alergi, ketidaknyamanan pasien dari pemberian media kontras
(terutama jika media kontras rektal digunakan), paparan radiasi
pengion, biaya dan tidak dapat digunakan untuk wanita hamil.8
e. Scoring Appendisitis
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor Alvarado
dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan skor >6.
Selanjutnya dilakukan appendektomi, setelah operasi dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan appendiks dan hasilnya
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu radang akut dan bukan radang
akut.11
Tabel 2.2 Skor Alvarado

Keterangan Alvarado score:


 Interpretasi dari Modified Alvarado Score:
1–4 : sangat mungkin bukan appendisitis akut
5–7 : sangat mungkin appendisitis akut
8 – 10 : pasti appendisitis akut

34
 Penanganan berdasarkan skor Alvarado:
1–4 : observasi
5–7 : antibiotik
8 – 10 : operasi dini

35
Ohmann Score.U11
Sign/Symptom Value
Pain on compression in the lower right quadrant 4,5
Rebound pain 2,5
Absence of urinary symptoms 2,0
Continuous pain 2,0
White blood cell count > 10000/mIL 1,5
Age under 50 years 1,5
Migration of pain to the right lower quadrant 1,0
Involuntary muscular tension (defense) 1,0
Low: <5, Moderate: 6 – 11, High: 12 – 13
Skoring appendisitis pada anak-anak
Yang sering digunakan adalah Samuel Score. Sistem penilaian ini
meliputi 9 variabel untuk menilai appendisitis akut:
No Kriteria Skoring
1. Gender
1) Laki-laki 2
2) Perempuan 0
2. Intensitas nyeri
1) Berat 2
2) Sedang 0
3. Perpindahan nyeri
1) Ya 4
2) Tidak 0
4. Nyeri perut kuadran kanan bawah
1) Ya 4
2) Tidak 0
5. Muntah

36
1) Ya 2
2) Tidak 0
6. Suhu badan
1) 37,50C 3
2) <37,50C 0
7. Guarding
1) Ya 2
2) Tidak 0
8. Bising Usus
1) Absent/meningkat 4
2) Normal 0
9. Rebound tenderness
1) Ya 7
2) Tidak 0
 Appendisitis akut mempunyai nilai 0 sampai nilai maksimal 32. Dan nilai
ini digunakan untuk mendiagnosis ada atu tidaknya appendisitis akut.
 Nilai batas untuk appendisitis akut adalah >21 kemungkinan besar
appendisitis akut.
 Jika nilai <15, kemungkinan untuk appendisitis akut adalah rendah.11
2.11 Diagnosis Banding Appendisitis
Diagnosis banding appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin:
- Pada anak-anak dan balita: intususepsi, diverkulitis dan gastroenteritis
akut
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia di bawah 3
tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan appendisitis. Nyeri
divertikulitis hampir sama dengan appendisitis, tetapi lokasinya berbeda,
yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya

37
inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang
agak sulit ditegakkan adalah gatroenteritis akut, karena memiliki gejala-
gejala yang mirip dengan appendisitis, yakni diare, mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses.
- Pada anak – anak usia sekolah: gastroenteritis, konstipasi, infark
omentum
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan
appendisitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi,
merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi
tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum jug dapat dijumpai pada
anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendisitis. Pada
infark omentum, dpaat teraba massa apada abdomen dan nyerinya tidak
berpindah.
- Pada pria dewasa muda: crohn’s disease, kolik traktur urogenitalis dan
epididimitis
Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan
diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada
skrotum. Pada crohn’s disease terdapat gejala kram dan diare yang lebih
menyolok, sedangkan anoreksia tidak terdapat. Pada kolik traktus
urogenital didapatkan gejala yang menjalar dari pinggang ke genitalia,
pada pemeriksaan urin terdapat kelainan sedimen misalnya eritrosit
meningkat dan biasanya tidak disertai leukositosis.
- Pada wanita usia muda: pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium,
infeksi saluran kencing
Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada
kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
- Pada usia lanjut: keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran
reproduksi, diverkulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis

38
Appendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Keganasan
dapat terlihat di CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada
appendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan
dengan appendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan.
Perforasi ulkus dapat diketahui dari onset yang akut dan nyerinya tidak
berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti
dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.5,8,9
Tanda-tanda yang membedakan appendisitis dengan penyakit lain adalah:
a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering
ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan
appendisitis.
b. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan
nyeri perut yang samar-samar terutama di sebelah kanan, dan disertai
dengan perasaan mual dan muntah.
c. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua
organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau
adnesitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat
kontak seksual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan.
Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri.
d. Kehamilan ektopik
Adanya riwayat terhambat menstruasi denga keluhan yang tidak menentu.
Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan
timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan
terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan

39
nyeri dan penonjolan kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan
didapatkan darah.
e. Divertikulitis
Meskipun diverkulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi
kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi
peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar
dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.
f. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
2.12 Penatalaksanaan Appendisitis
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
appendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada
appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Pada appendisitis akut,
abses, dan perforasi diperlukan tindakan operasi appendektomi cito.
Untuk pasien yang dicurigai appendisitis:
 Puasakan.
 Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgesik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
 Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia produktif.
 Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan laparotomi.
Terapi Non-Operatif:
 Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi operasi

40
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memiliki risiko
tinggi untuk dilakukan operasi.
 Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Terapi Operatif:
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)
 Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post operasi.
 Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan anaerob.
 Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
 Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri
yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.
Indikasi Appendektomi:
 Appendisitis akut
 Appendisitis kronik
 Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
 Appendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
 Appendisitis perforata
Teknik operasi Appendektomi:
1) Open Appendectomy
- Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik
- Dibuat sayatan kulit:
Lokasi Insisi:
 Incisi Grid Iron (McBurney Incision)
Insisi Grid Iron pada titik McBurney. Garis insisi paralel dengan otot
oblikus eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina illiaka anterior superior kanan dan umbilikus.

41
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi: cutis - sub cutis - fascia
scarfa - fascia camfer - aponeurosis MOE - MOI - m. transversus - fascia
transversalis - preperitoneum - peritoneum.
Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fascia. Otot-otot dinding
perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan
tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan)
yang disayat secukupnya untuk meluksasi caecum. Caecum dikenali dari
ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih, mempunya
haustrae dan taenia koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan
tidak mempunyai haustrae dan taenia koli. Basis appendiks dicari pada
pertemuan ketiga taenia koli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan
karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi
herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat
pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih cepat.
Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu
operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong
secara tajam.

Gambar 2.10 Insisi Grid Iron (McBurney Incision)

42
Teknik appendektomi McBurney:
a) Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian
lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.
b) Dibuat sayatan menurut McBurney sepanjang kurang lebih 10 cm dan
dinding perut dibelah menurut arah serabut otot secara tumpul, berturut-turut
m. oblikus abdominis eksternus, m. abdominis internus, sampai tampak
peritoneum.
c) Peritoneum disayat cukup lebar untuk eksplorasi.
d) Caecum dan appendiks diluksasi keluar.
e) Mesoappendiks dibebaskan dan dipotong dari appendiks secara biasa, dari
appendiks ke arah basis.
f) Semua perdarahan dirawat.
g) Disiapkan tabac sac mengelilingi basis appendiks dengan sutra, basis
appendiks kemudian dijahit dengan catgut.
h) Lakukan pemotongan appendiks apikal dari jahitan tersebut.
i) Puntung appendiks diolesi povidon iodin.
j) Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul
tersebut. Mesoappendiks diikat dengan sutera.
k) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di
dalamnya, semua perdarahan dirawat.
l) Caecum dikembalikan ke dalam abdomen.
m) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan
untuk memudahkan penutupannya. Peritoneum dijahit jelujur dengan chromic
cat gut dan otot-otot dikembalikan.
n) Dinding perut ditutup lapis demi lapis, fascia dengan sutera, subkutis dengan
cat gut dan akhirnya kulit dengan sutera.
o) Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kassa steril.12

43
Gambar 2.11 Teknik appendektomi

44
 Lanz transverse incision
Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada
garis midklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang
lebih baik daripada insisi grid iron.

Gambar 2.12 Lanz transverse incision


 Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika
appendiks terletak di paracaecal atau retrocaecal dan terfiksir.

Gambar 2.13 Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)


 Low Midline Incision
Dilakukan jika appendiks sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis
umum.

45
 Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline 2,5 cm di bawah umbilikus
sampai di atas pubis.

Gambar 2.14 Lokasi insisi appendektomi


Perawatan Pasca Bedah
Pada hari operasi penderita diberikan infus menurut kebutuhan sehari kurang
lebih 2-3 liter cairan Ringer Laktat dan Dekstrosa. Pada appendisitis tanpa perforasi:
antibiotik diberikan hanya 1 x 24 jam. Pada appendisitis dengan perforasi: antibiotik
diberikan hingga jika gejala klinis infeksi reda dan laboratorium normal. Mobilisasi
secepatnya setelah penderita sadar dengan menggerakkan kaki miring ke kiri dan ke
kanan bergantian dan duduk. Penderita boleh berjalan pada hari pertama pasca
operasi. Pemberian makan peroral di mulai dengan memberikan minum sedikit-
sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktifitas usus yaitu adanya flatus dan
bising usus. Bilamana dengan pemberian minum bebas penderita tidak kembung
maka pemberian makanan peroral dimulai. Jahitan diangkat pada hari kelima sampai
hari ke tujuh pasca bedah.7

46
2) Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopicdapat dipakai
sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan
suspek appendisitis akut. Laparoscopickemungkinan sangat berguna untuk
pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan
penyakit akut ginekologi dari appendisitis akut sangat mudah dengan
menggunakan laparoskop.7

Gambar 2.15 Laparoscopic Incisions


Komplikasi:
Durante operasi: perdarahan intraperitoneal, dinding perut, robekan pada caecum
atau usus lain.
Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi, hematom, paralitik ileus, peritonitis, fistel
usus, abses intraperitoneal.

2.13 Komplikasi Appendisitis


- Massa periappendikuler
Massa appendiks terjadi bila appendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk

47
usus halus. Pada massa periappendikuler dengan pembentukan dinding
yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periappendikuler yang masih bebas (mobile)
sebaiknya dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Riwayat klasik
appendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di regio
iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau
abses periappendikuler.3

48
- Appendisitis perforata
Adanya fekalith di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil),
dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya perforasi appendiks. Insiden perforasi pada penderita di atas
usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang memengaruhi
tingginya insiden perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi appendiks berupa
penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insiden tinggi pada anak
disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses
pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat
dan omentum anak belum berkembang.
Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang
ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh
perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans
muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum
maksimum di regio iliaka kanan; peristalsis usus dapat menurun sampai
menghilang akibat adanya ileus paralitik.3
2.14 Prognosis Appendisitis
Rasio mortalitas keseluruhan yaitu 0,2-0,8% diakibatkan oleh komplikasi
penyakit dan bukan akibat intervensi bedah. Rasio mortalitas pada anak bervariasi
dari 0,1-1%; pada pasien usia lebih dari 70 tahun, rasio meningkat di atas 20%,
terutama akibat tertundanya diagnostik dan terapeutik.7
Appendisitis perforata berhubungan lebih erat dengan kenaikan morbiditas
dan mortalitas penyakit dibanding appendisitis nonperforata. Risiko mortalitas
appendisitis akut namun tidak gangrenosa kurang dari 0,1%, namun risikonya
meningkat hingga 0,6% pada appendisitis gangrenosa. Rasio perforasi bervariasi dari
16-40%, dengan frekuensi terjadi lebih tinggi pada kelompok usia muda (40-57%)
dan pasien lebih tua dari 50 tahun (55-70%), di mana kesalahan dan tertundanya

49
diagnosis lebih umum terjadi. Komplikasi terjadi pada 1-5% pasien dengan
appendisitis, dan infeksi luka pasca operasi bertanggung jawab terhadap hampir
sepertiga morbiditas yang terkait.7
Dalam suatu analisis multivariabel, faktor independen yang prediktif terhadap
appendisitis komplikatif pada anak-anak di antaranya:
 Usia kurang dari 5 tahun
 Durasi gejala lebih dari 24 jam
 Hiponatremia
 Leukositosis7

50
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan bagian bawah. Setelah
dilakukan anamnesis lebih lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka pasien ini di diagnosis appendisitis kronis eksaserbasi akut.
Diagnosa bisa ditegakkan berdasarkan hasil temuan klinis yang didapat pada
anamnesis pasien, lalu temuan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta
hasil lain yang mendukung dari pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis gejala yang didapatkan pada pasien ini adalah nyeri
perut kanan bagian bawah yang diawali nyeri di ulu hati, suhu tubuh yang naik,
mual dan muntah, nafsu makan menurun, nyeri terasa tertusuk-tusuk, nyeri
dirasakan terus menerus dan bertambah nyeri jika sedang beraktivitas, pasien
mengeluhkan sulit BAB, sedangkan BAK lancar. Keluhan ini pernah dirasakan
oleh pasien pada 1 tahun yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di regio abdomen dari inspeksi abdomen
terlihat datar, tidak distensi, pada aukustasi bunyi bising usus normal, ketika di
palpasi terdapat nyeri tekan kanan bawah(mc burney sign), nyeri lepas pada
kanan bawah (rebound sign), rovsing dan blumberg sign (+), obturator sign (+),
saat di perkusi seluruh kuadran timpani dengan nyeri ketok pada kuadran kanan
bawah.
Pemeriksaan Penunjang
Terjadi peningkatan dari WBC yaitu 15,49, pada pemeriksaan USG terdapat
“target sign”.
Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini adalah appendisitis kronis eksaserbasi akut
Tatalaksana

51
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah tindakan bedah.. Penangan pada pasien ini
selama observasi yaitu dipasang kateter, rehidrasi dengan Ringer Lactat
,pemberian antibiotic, dan pemberian anti-nausea.

Pre Op
- IVFD RL 20 gtt/ menit
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gram
- Inj. Ranitidine 25mg/mL
- Inj. Ondansentron 2mg/mL
- USG
Operasi
- Laparotomi eksplorasi
- Appendektomi
Post Op
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gram
- Inj. Ranitidine 2x ½ ampul
- Inj. Ketorolac 3x 30mg
- Jaringan di PA kan
- Bed Rest 24 jam

52
BAB V
KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis dan


merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering terjadi pada anak-anak
maupun dewasa. Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya seimbang, kecuali
pada umur 20-30 tahun, didapatkan insiden lebih tinggi pada laki-laki. Appendisitis
disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongesti
vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal
yang paling penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Gejala awal yang
khas, yang merupakan gejala klasik appendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikalis. Dalam pemeriksaan
fisik dapat ditemukan tanda peritonitis lokal pada titik McBurney, dan rangsangan
kontralateral; blumberg dan rovsing sign. Pemeriksaan lain yang dapt mendukung
diagnosis yaitu psoas sign, obturator sign, dan nyeri tekan pada rectal toucher. Upaya
mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain dengan menggunakan
sarana diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin, CRP), foto polos abdomen,
pemeriksaan barium-enema, USG dan CT Scan abdomen. Diagnosis jugadapat
dibantu dengan skoring Alvarado, Ohmann, dan skoring appendisitis pada anak.
Kita juga perlu menyingkirkan diagnosis banding, mencegah komplikasi dan
mengenali appendisitis pada keadaan khusus yaitu pada anak, usia lanjut, wanita
hamil, dan pada pasien dengan infeksi HIV.
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendektomi,dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic appendectomy.

53
54

Anda mungkin juga menyukai