i
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Rizky Rafiqoh Afdin, S.Ked
G1A217097
Universitas Jambi
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat Case Report Session (CRS) yang berjudul
“Hipoglikemia + Hematemesis melena ec suspect gastritis erosive + Gangrene
Pedis Sinistra digiti 3,4 dan 5 Kriteria Wagner IV dengan osteomyelitis ec
Diabetes Melitus tipe 2 normoweight tidak terkontrol” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.Monalisa,SpPD, yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Laporan Kasus
ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan kasus ini. Penulis mengharapkan semoga Laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
3
DAFTAR ISI
4
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1……………………………………………………….......................... 32
Tabel 3.2……………………………………………………….......................... 32
Tabel 3.3……………………………………………………….......................... 34
Tabel 3.4……………………………………………………….......................... 35
Tabel 3.5……………………………………………………….......................... 47
Tabel 3.6……………………………………………………….......................... 48
Tabel 3.7……………………………………………………….......................... 51
Tabel 3.8……………………………………………………….......................... 51
Tabel 3.9……………………………………………………….......................... 54
Tabel 3.10……………………………………………………............................ 35
Tabel 3.11……………………………………………………............................ 36
Tabel 3.12……………………………………………………............................ 37
Tabel 3.13……………………………………………………............................ 62
Tabel 3.14……………………………………………………............................ 74
Tabel 3.15……………………………………………………............................ 80
Tabel 3.16……………………………………………………............................ 101
Tabel 3.17……………………………………………………............................ 101
Tabel 3.18……………………………………………………............................ 103
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1……………………………………………………............................ 27
Gambar 3.2……………………………………………………............................ 28
Gambar 3.3……………………………………………………............................ 30
Gambar 3.4……………………………………………………............................ 31
Gambar 3.5……………………………………………………............................ 36
Gambar 3.6……………………………………………………............................ 38
Gambar 3.7……………………………………………………............................ 41
Gambar 3.8……………………………………………………............................ 52
Gambar 3.9……………………………………………………............................ 59
Gambar 3.10…………………………………………………….......................... 60
Gambar 3.11…………………………………………………….......................... 64
Gambar 3.12…………………………………………………….......................... 69
Gambar 3.13…………………………………………………….......................... 71
Gambar 3.14…………………………………………………….......................... 77
Gambar 3.15…………………………………………………….......................... 77
Gambar 3.16…………………………………………………….......................... 83
Gambar 3.17…………………………………………………….......................... 91
Gambar 3.18…………………………………………………….......................... 94
Gambar 3.19…………………………………………………….......................... 96
Gambar 3.20…………………………………………………............................ 105
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
[2]
tingkat tertentu sehingga memberikan keluhan (symptom) dan gejala (sign).
Hipoglikemia juga dapat didefinisikan dengan terdapatnya keluhan otonom atau
neuroglikopenia, kadar glukosa plasma yang rendah (≤ 70 mg/dL / ≤ 3.9 mmol/L
pada pasien dengan pengobatan insulin atau insulin secretagogue); adanya respon
perbaikan keluhan terhadap pemberian glukosa. [3]
Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) bisa beragam
tergantung lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang, dan apakah perdarahan
berlangsung terus menerus atau tidak. Pasien SCBA biasanya datang dengan kemungkinan
(1) Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama.
(2) Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa
gangguan hemodinamik dimana derajat hipovolemik menentukan tingkat kegawatan
pasien. Penyebab perdarahan SCBA yang sering dilaporkan adalah pecahnya varises
esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, dan
keganasan.
8
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Lemas yang memberat sejak 1 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun SMRS. Awalnya pasien
sering merasa haus, sehingga membuat pasien sering minum, frekuensi minum
dalam sehari > 10 kali dalam takaran tiap kali minum sebanyak 1 gelas aqua
240 cc. Pasien juga sering merasa lapar, makan berat 3 kali sehari, tiap kali
makan sebanyak 1 ½ piring nasi dengan lauk tahu, tempe, ikan dan disaat pasien
lapar, sering kali pasien memakan makanan seperti mie atau cemilan lainnya
untuk mengatasi rasa laparnya. Pasien sering BAK sepanjang hari dan sering
terbangun dari tidur pada malam hari untuk BAK, frekuensi BAK malam hari
lebih dari 5 kali, tidak ada nyeri, terputus-putus ataupun rasa berpasir saat BAK.
Karena pasien merasa badannya lemas dan pandangannya sedikit kabur, pasien
memeriksa diri ke Puskesmas dan didiagnosa menderita diabetes mellitus.
Pasien tidak rutin minum obat DMnya, dan hanya berobat ke Puskesmas jika
pasien merasa badannya lemas dan di Puskesmas diberi obat DM untuk 3 hari
yang diminum 1 kali sehari pada pagi hari sebelum makan.
Pasien mengatakan nafsu makan menurun dan berat badan menurun kurang
lebih 20kg dalam 1 tahun SMRS, yaitu dari awalnya 75 kg menjadi 55 kg.
9
Sejak 1 tahun SMRS kaki pasien luka awalnya pada ibu jari kaki, tertusuk paku
payung yang ada di sandal pasien, ibu jari tertusuk beberapa kali hingga
membuat kaki pasien nyeri dan bernanah, pasien hanya membersihkan lukanya
dengan mencuci menggunakan air hangat kemudian pasien memberi particol
oles yang dibeli di apotek dan luka tidak di balut.
7 bulan SMRS, luka pada kaki tidak kunjung sembuh dan luka semakin meluas
hingga mengenai jari-jari kaki lainnya dan bengkak kemerahan dikedua
tungkai, mengeluarkan pus dan berbau sehingga jari kaki kiri, 3 4 dan 5 pasien
menghitam, sehingga pasien dibawa ke RS DKT, di RS DKT dilakukan
pengecekan GDS pasien yaitu > 600 mg/dl. Di RS DKT di rawat inap 4 hari
dan di bersihkan luka pada kaki.
6 bulan SMRS Kaki pasien sempat bengkak dari lutut ke bawah dan bernanah.
Sejak kaki pasien bengkak pasien tidak memakai sandal karna alasan tidak
muat, dan jarang membersihkan kakinya karena jika sering dibersihkan pasien
takut kakinya menjadi lembab, sekarang kaki pasien terasa kebas dan nyeri pada
telapak kaki, sertai disertai bengkak dan panas kemerahan dan hingga saat ini
pasien masih sanggup berjalan dengan berjinjit pada tumit kaki.
2 minggu SMRS pasien mengalami keluhan badan lemas yang memberat sejak
2 hari, hingga membuat pasien pingsan kemudian dirujuk ke RS DKT, dan
kemudian dirujuk ke RSUD Raden Mattaher, dan dirawat inap selama 5 hari.
Di RSUD Raden Mattaher pasien disarankan untuk amputasi kaki, namun
pasien menolak.
Sejak 3 hari SMRS, pasien juga mengeluh badan terasa lemas dan berlangsung
sepanjang hari, namun pasien masih sanggup untuk berjalan dan melakukan
aktivitas didalam rumah, keluhan disertai penurunan nafsu makan, karena tiap
makan pasien merasa mual dan muntah. Muntah sebanyak 5 kali/hari, pasien
muntah tiap kali makan, berisi apa yang dimakan dan pernah 1 kali muntah
bercampur darah. Muntah sebanyak > 1 gelas belimbing. BAB pernah berwarna
hitam 1 kali yaitu pada 3 hari SMRS, konsistensi lunak. Lendir (-).
Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit badan dirasa semakin lemas sehingga
pasien merasa tidak sanggup untuk duduk dan hanya bisa berbaring sehingga
10
pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Raden Mattaher dan di IGD
dilakukan pengecekan GD yaitu 29 mg/dl.
11
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
TD : 120/80 HR : 100x/menit RR : 22/menit Suhu : 360C
Status Gizi
BB : 55 Kg TB : 160 cm IMT : 21,4 (Normoweight)
Kulit
Warna : sawo matang
Efloresensi : (+)
Jaringan Parut : (-)
Pertumbuhan Rambut : normal
Pertumbuhan Darah : (-)
Suhu : 36,70C
Turgor : normal, <2detik
Edema : edema (+) tungkai kiri
Lainnya : (-)
Kepala
Bentuk Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Ekspresi : Tampak sakit sedang
Simetris Muka : Simetris
12
Mata
Konjungtiva : Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera : Sklera Ikterik (-/-)
Pupil : isokor (bulat, 3 mm), reflex cahaya langsung (+/+)
Lensa : normal
Gerakan : normal
Lapangan Pandang : normal
Hidung
Bentuk : Simetris
Sekret : (-)
Septum : deviasi (-)
Selaput Lendir : (-)
Sumbatan : (-)
Pendarahan : (-)
Mulut
Bibir : Kering (+), Sianosis (-), pucat (-)
Lidah : atrofi papila lidah (-)
Telinga
Bentuk : simetris
Serumen : (+/+)
Pendengaran : normal
Leher
JVP : 5+1 cmH2O
Kelenjar Tiroid : tidak teraba
Kelenjar Limfonodi : tidak teraba
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat di ICS V linea Midclavicula Sinistra
13
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider nervi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, jaringan parut (-), venektasi (-)
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastric (+)
Hati : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Perkusi : Timpani.
Auskultasi : Bising Usus (+)
Neurologi
Triceps (++/++)
Patella (+/-)
Achilles (+/-)
14
Ekstremitas
Superior kiri : Akral hangat, edema (+)
Superior kanan : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Inferior kiri : Tampak gangrene digiti 3 4 5, nyeri (+), bengkak (+), kemerahan (+),
kulit menghitam (+), pus (+), pulsasi A. Dorsalis pedis (menurun),
pulsasi A. Tibialis posterior (menurun), rambut kaki (-), kulit
kering (+), charcot foot (+)
Inferior kanan : Akral hangat, CRT < 2 detik, bengkak (-), pulsasi A. Dorsalis pedis
(+), pulsasi A. Tibialis posterior (+), rambut kaki (-), kulit kering (+)
Tingkat Lesi
15
Klasifikasi PEDIS
Impaired Perfusion :Derajat 2
Infection :Derajat 3
16
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (25 Agustus 2018. Pukul 18.04 WIB)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin 9,8 g/dL 11-16
Hematokrit 27,3 % 35-50
RBC 3,57 10^12/L 3,5-5,5
MCV 76,4 fL 80-100
MCH 27,5 Pg 27-34
MCHC 359 g/L 320-360
Trombosit 457 10^9/L 100-300
Leukosit 7,7 10^9/L 4-10
Gambaran Darah Tepi
Eritrosit Normositik normokromik
Leukosit Dalam batas normal
Trombosit Dalam batas normal
Kesan Anemia normositik normokromik
Faal Ginjal
Ureum 10 mg/dl 15 – 39
Kreatinin 1,1 Mg/dl L 0,9 – 1,3
Gula Darah
GDS 648 Mg/dl <200
Elektrolit
Natrium 131,14 mmol/L 135-148
Kalium 3,16 mmol/L 3,2-5,3
Chlorida 91,07 mmol/L 98-110
Calcium 1,24 mmol/L 1,19-1,23
Urin Rutin
Warna Kuning Muda
Berat Jenis 1010
PH 7
Glukosa +3
Keton +2
Sel Leukosit 2-3 LPB
Eritrosit 5-7 LPB
Epitel 2-3 LPK
17
Laboratorium sederhana :
Hb Sahli : 9 mg/dl
Glukosa urin : +3
Protein urin : (-)
18
Diagnosis sekunder
Anemia + imbalance elektrolit
2.7 Tatalaksana
Farmakologis:
O2 2-4 lpm (k/p)
IVFD D 10% 20 tpm
Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Inj Asam traneksamat 3 x 50 mg
Sucralfate Syr 3 x C1
Ceftriaxone 2 x 1 gram
KSR 3 x 600 mg
Jika Gula darah ≥ 180 Nacl 0,9%20 tpm
Non Farmakologis:
Tirah baring
Diet DM 1350 kalori
Menjaga kebersihan kaki
2.9 Edukasi
Menjelaskan mengenai penyakit yang diderita pasien dan kondisi pasisen
saat ini
Mengurangi makanan tinggi kadar glukosa
Diet Diabetes
Kontrol Gula darah secara berkala
Menjaga kebersihan kaki
Mengurangi tekanan pada kaki
19
2.10 Prognosis
Quo Vitam : Dubia ad malam
Quo Functionam : Dubia ad malam
Quo Sanactionam : Dubia ad malam
2.11 Follow Up
Tabel 2.1 Follow Up Pasien
Tanggal Perkembangan
GDS :
00.00WIB : 48 mg.dl
Pemeriksaan generalisata:
Konjungtiva anemis (+/+), bibir kering (+), edem (+) kaki kiri,
gangrene pedis sinistra digiti 3 4 5 (+)
20
Wagner IV dengan osteomyelitis ec Diabetes Melitus tipe 2
normoweight tidak terkontrol
P: Farmakologis:
Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Sucralfate Syr 3 x C1
Ceftriaxone 2 x 1
Non Farmakologis:
Tirah baring
GDS :
21
Pemeriksaan generalisata:
Konjungtiva anemis (+/+), bibir kering (+), edem (+) kaki kiri,
gangrene pedis sinistra digiti 3 4 5 (+)
P: Farmakologis:
Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Sucralfate Syr 3 x C1
Ceftriaxone 2 x 1
Non Farmakologis:
Tirah baring
GDS :
22
03.00 WIB : 89 mg/dl
Pemeriksaan generalisata:
Konjungtiva anemis (-/-), bibir kering (+), edem (+) kaki kiri,
gangrene pedis sinistra digiti 3 4 5 (+)
P: Farmakologis:
Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Sucralfate Syr 3 x C1
Ceftriaxone 2 x 1
Non Farmakologis:
Tirah baring
23
29/8/2018 S: Nyeri kaki kiri (+)
GD N : 69 mg/dl
Pemeriksaan generalisata:
Konjungtiva anemis (-/-), bibir kering (-), edem (+) kaki kiri,
gangrene pedis sinistra digiti 3 4 5 (+)
P: Farmakologis:
Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Sucralfate Syr 3 x C1
Ceftriaxone 2 x 1
Non Farmakologis:
Tirah baring
24
O: TD: 110/70 N : 80x/menit RR: 20x/menit T : 36°C
GD N : 160 mg/dl
Pemeriksaan generalisata:
Konjungtiva anemis (-/-), bibir kering (+), edem (+) kaki kiri,
gangrene pedis sinistra digiti 3 4 5 (+)
P: Farmakologis:
Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Sucralfate Syr 3 x C1
Ceftriaxone 2 x 1
Non Farmakologis:
Tirah baring
25
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Pankreas terdiri dari dua tipe jaringan utama, yaitu acini yang
mensekresikan enzim menuju ke duodenum untuk membantu mencerna makanan
dan sel pulau Langerhans yang mensekresikan insulin dan glukagon menuju ke
aliran darah. Pankreas, disamping memiliki fungsi dalam pencernaan, juga
mensekresikan dua hormon penting, yaitu insulin dan glukagon. Kedua hormone
tersebut penting dalam regulasi normal pada metabolisme glukosa, lipid, dan
protein. Pankreas memiliki satu sampai dua juta sel islet Langerhans, masing-
masing memiliki diameter 0,3 milimeter dan terdiri dari kapiler kecil yang
merupakan tempat dari hormon disekresikan.
Gambar 3.1
Sel pulau Langerhans memiliki tiga tipe sel utama, yaitu sel alfa, beta, dan
delta, yang dapat dibedakan melalui morfologi dan sifat dalam pewarnaan. Sel beta,
merupakan sekitar 60% dari seluruh sel pada sel pulau Langerhans, mensekresikan
26
insulin dan amylin, hormone yang sering disekresikan bersamaan dengan insulin,
walaupun fungsinya masih belum jelas. Sel alfa, merupakan sekitar 25% dari sel
pulau Langerhans, mensekresikan glukagon. Dan sel delta, yang merupakan 10%
dari keseluruhan, mensekresikan somatostatin.
Gambar 3.2
27
adipokin, miokin, dan metabolit yang mempengaruhi fungsi hepar. Dalam keadaan
puasa, kadar insulin yang rendah meningkatkan produksi glukosa dengan adanya
glukoneogenesis dan glikogenolisis di hepar. Selain itu, terdapat juga adanya
pengurangan ambilan glukosa pada jaringan yang sensitif terhadap insulin seperti
otot skeletal dan lemak sehingga terjadi peningkatan mobilisasi dari asam amino
dan asam lemak bebas (lipolisis).
Glukagon disekresikan oleh sel alfa pankreas ketika kadar glukosa darah
atau insulin rendah, merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hepar
dan medula renal. Setelah makan, peningkatan glukosa memicu adanya kenaikan
insulin dan penurunan glukagon. Insulin, yang merupakan hormon anabolik,
mendorong penyimpanan karbohidrat dan lemak serta sintesis protein. Glukosa post
prandial paling banyak digunakan oleh otot skeletal dimana hal tersebut merupakan
efek dari stimulasi insulin untuk pengambilan glukosa. Jaringan lain, terutama otak,
menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin. Faktor-faktor yang disekresikan oleh
miosit skeletal (irisin) dan adiposit (leptin, resistin, adiponektin) juga
mempengaruhi homeostasis glukosa.
28
Gambar 3.3
2.3.1 Definisi
3.3.1 Epidemiologi
29
mendapatkan bahwa proporsi DM pada Riskesdas 2013 meningkat hampir dua kali
lipat dibandingkan tahun 2007. [8]
Gambar 3.4
Menurut hasil penelitian Riskesdas 2013, prevalensi DM di Indonesia
berdasarkan diagnosis dokter/gejala adalah sebesar 2,1% dan diagnosis dokter
sebesar 1,5%. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI
Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan
Timur (2,3%). Berdasarkan karakteristik kelompok umur, dari hasil diagnosis
dokter, usia 55-64 tahun menempati urutan pertama sebesar 4,8% disusul dengan
65-74 tahun di urutan kedua sebesar 4,2%. [9]
30
- Tingkat kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau tingkat trigliserida > 250
mg/dL
- Riwayat penyakit kardiovaskular
Pemeriksaan dianjurkan untuk dilakukan pada seluruh pasien yang berusia
> 45 tahun.
Jika hasil normal, pemeriksaan dapat diulang pada interval 3 tahun atau
tergantung dari risko yang dimiliki pasien.
Tabel 3.1
- Proses imunologik
- Idiopatik
Diabetes Melitus Tipe 2 (Bervariasi; predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif dan predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin)
31
Diabetes Tipe lain
Tabel 3.2
3.3.3 Diagnosis
32
Tabel 3.3
Penilaian kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan mengukur kadar gula
darah puasa/fasting plasma glucose (GDP/FPG), atau nilai glukosa plasma 2 jam
setelah pemberian beban glukosa 75 gram per oral (oral glucose tolerance test /
OGTT). Selain itu, International Expert Committee menambahkan kadar A1C
(dengan nilai ambang ≥ 6,5%) sebagai kriteria untuk diagnosis DM.
33
Kriteria diagnosis DM Tipe 2 (American Diabetes Association, 2016): [10]
Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dL (7 Puasa berarti tidak ada intake kalori
mmol/L) selama ± 8 jam *
2 Jam Glukosa Post ≥ 200 mg/dL (11,1 Selama tes toleransi glukosa oral. Tes
Prandial mmol/L) harus dilakukan sesuai WHO,
menggunakan 75 gr glukosa
dilarutkan dalam air *
Gula Darah Sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 Pada pasien dengan gejala klasik
mmol/L) hiperglikemia / krisis hiperglikemia *
*Pada hasil yang tidak menunjukkan hiperglikemia, harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan ulang
(*)
NGSP: National Glycohemoglobin Standarization Program
(**)
DCCT: Diabetes Control and Complications Trial
Tabel 3.4
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM
tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous
octet.
34
Gambar 3.5
The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia
pada DM tipe 2
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi
sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
35
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free
Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-
dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan
ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis
glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi
glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4
inhibitor dan amylin.
36
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden
dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi
di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.10
Gambar 3.6
37
3.3.4 KLASIFIKASI DIABETES MELITUS
1. Diabetes tipe I:
38
3.3.6 Faktor Risiko
Faktor risiko Diabetes Melitus Secara umum, diabetes melitus dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu:
1.Genetika
2. Obesitas
(berat badan ≥ 20% dari berat ideal) Obesitas yang terjadi pada seseorang dapat
mengakibatkan berkurangnya jumlah sisi reseptor insulin yang dapat bekerja dalam
sel pada otot skeletal dan jaringan lemak. Dengan terjadinya obesitas maka akan
merusak sel beta dalam memproduksi dan melepaskan insulin, sehingga terjadi
penumpukan gula darah.
3. Usia
39
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Gambar 3.7
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang
meliputi:
1. Riwayat Penyakit
Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat
perubahan berat badan.
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
40
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi dan berat badan
Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,
neuropati, dan adanya deformitas).
Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,
hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas
lokasi penyuntikan insulin).
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
3. Evaluasi Laboratorium
Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam setelah TTGO.
Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan Komplikasi Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap
penderita yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:
Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density
Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan
trigliserida.
Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
Tes urin rutin Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
41
badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke
Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
Lemak
• Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori,
dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Komposisi yang dianjurkan:
◊ lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.4
◊ lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
◊ selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal
• Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
Protein
• Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
• Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe
42
• Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari
kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik
tinggi. Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani
hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
Natrium
• Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama
dengan orang sehat yaitu
• Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,
dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium
nitrit
Serat
• Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacangkacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat.
• Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang
berasal dari berbagai sumber bahan makanan.
2. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal.
Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut:
Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca
yang dimodifikasi:
• Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
• Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita
di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
• Berat badan ideal (BBI) =
(TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal: BB ideal ± 10 %
43
Kurus: kurang dari BBI - 10 %
Gemuk: lebih dari BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
• Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2 )
Klasifikasi IMT:
o BB kurang < 18,5
o BB normal 18,5-22,9
o BB lebih > 23,0
Dengan resiko 23,0-24,9
Obes 1 25,0-29,9
Obes II >30
44
hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain
di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan
perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan
ini adalah Pioglitazone.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran Pencernaa:
Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
45
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan:GFR<30ml/menit/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah Acarbose.
Tabel 3.5
46
Obat Antihiperglikemia Suntik.
1) Insulin
Tabel 3.6
2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic Pengobatan dengan dasar peningkatan
GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-
47
1 dapat bekerja sebagai perangsang pengelepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis
GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek samping yang
timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
d. Terapi Kombinasi Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik
secara terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal,
harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda.
Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum
tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral
dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan
insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia
oral dapat menjadi pilihan. Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang
banyak dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada
malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal,
maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian
obat antihiperglikemia oral dihentikan
48
3.4 Hipoglikemia
3.4.1 Definisi
3.4.2 Etiologi
49
Tabel 3.7
Tabel 3.8
50
3.4.5 Patofisiologi [7]
Gambar 3.8
Glukosa merupakan bahan bakar metabolik utama untuk otak dalam kondisi
fisiologis. Otak tidak dapat mensintesis glukosa atau menyimpannya lebih dari
beberapa menit seperti glikogen, oleh karena itu otak membutuhkan suplai glukosa
secara terus-menerus dari sirkulasi arterial. Jika konsentrasi glukosa plasma arterial
menurun dibawah kisaran normal, suplai darah ke otak menjadi tidak cukup untuk
menyokong metabolisme energi dan fungsi pada otak. Namun, tubuh memiliki
mekanisme fisiologis untuk mencegah atau mengoreksi terjadinya hipoglikemia
secara cepat.
51
lebih cepat jika kebutuhan glukosa meningkat dikarenakan olahraga atau jika
terdapat deplesi pada simpanan glikogen karena penyakit atau kelaparan.
Saat kadar glukosa plasma menurun lebih lanjut, gejala yang diikuti
perubahan sikap merupakan mekanisme pertahanan terhadap hipoglikemia,
termasuk konsumsi makanan. Ambang batas glikemik normal pada respon ini
adalah menurunkan kadar glukosa plasma. Hal ini terjadi secara dinamis. Terdapat
52
pergeseran batas kadar glukosa dari yang paling tinggi ke normal pada pasien
dengan DM tidak terkontrol yang dapat memiliki gejala hipoglikemia saat kadar
glukosa darah menurun menuju kisaran normal (pseudohipoglikemia). Di sisi lain,
pergeseran batas kadar glukosa dari rendah ke normal pada pasien dengan
hipoglikemia rekuren, seperti pada pasien dengan pengobatan DM secara intensif
dan insulinoma, dapat memiliki gejala saat kadar glukosa lebih rendah dari kadar
yang dapat memberikan gejala pada individu yang sehat.
Tabel 3.9
2.4.3 Klasifikasi Hipoglikemia Menurut American Diabetes Association (2013)
[11]
1) Hipoglikemia Berat
53
2) Hipoglikemia simptomatik terdokumentasi
5) Pseudo-hipoglikemia
Table 3.10
54
3.4.6 Derajat Hipoglikemia Menurut Canadian Diabetes Association (2013) [3]
1) Ringan
Ditemukan adanya gejala otonom. Individu dapat mengobati sendiri (tanpa
bantuan orang lain).
2) Sedang
Ditemukan adanya gejala otonom dan neuroglikopenia. Individu dapat
mengobati sendiri (tanpa bantuan orang lain).
3) Berat
Individu membutuhkan asistensi atau bantuan dari orang lain. Dapat terjadi
penurunan kesadaran. Kadar glukosa plasma biasanya < 2.8 mmol/L.
Tabel 3.11
55
Gejala klinis biasanya muncul pada kadar glukosa darah < 60 mg/dL,
meskipun pada orang tertentu sudah dirasakan diatas kadar tersebut ( < 70 mg/dL).
Namun, pada umumnya kadar glukosa darah < 50 mg/dL telah memberi dampak
pada fungsi serebral. Pada tahap lanjut, hipoglikemia akan memberikan gejala
defisiensi glukosa pada jaringan serebral (gejala neuroglikopenik) seperti sulit
berpikir, kejang, dan koma. Bila hipoglikemia tidak cepat teratasi, maka dapat
menimbulkan kecacatan bahkan kematian. [2]
Tabel 3.12
3.4.8 Diagnosis
56
Gejala klinis hipoglikemia
(+)
Pemeriksaan fisik yang diperlukan meliputi keadaan umum, tanda vital, dan
status generalis. Dari keadaan umum perlu ditentukan kesadaran, kesan gizi,
maupun kesan sakit pasien. Pada tanda vital dapat ditemukan adanya peningkatan
nadi dan tekanan darah. Pada pemeriksaan status generalis dapat ditemukan
kelainan pada mata, mulut, dan jantung, dan ekstremitas. Diperlukan pemeriksaan
visus mata seperti hitung jari, lambaian tangan, dan proyeksi cahaya untuk menilai
adakah gangguan pada penglihatan pasien. Selain itu, pemeriksaan gerak bola mata
juga dapat dilakukan untuk menilai diplopia dan refleks pupil untuk menilai miosis.
Pada mulut, akibat peningkatan saraf simpatis, dapat ditemukan mulut kering
57
dengan jumlah saliva sedikit. Pada jantung, jika sudah terdapat komplikasi, dapat
ditemukan bunyi jantung I dan II yang ireguler. Pada ekstremitas dapat dilihat ada
tidaknya tremor maupun keringat yang berlebihan pada pasien.
Gambar 3.9
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan paling utama adalah pemeriksaan
kadar glukosa darah untuk memantau keadaan dan keberhasilan penanganan
hipoglikemia. Selain itu, diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk menilai
komplikasi maupun reaksi dari tubuh terhadap hipoglikemia. Pemeriksaan EKG
dapat dilakukan untuk menilai kelainan pada jantung. Pada pemeriksaan EKG dapat
ditemukan adanya aritmia seperti atrial dan ventrikel fibrilasi, interval QT yang
memanjang, serta ST depresi. Pada pemeriksaan lab selain kadar glukosa darah,
dapat dinilai kadar C-reactive protein untuk menilai adanya proses inflamasi pada
pasien. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan adanya peningkatan
netrofil dan trombosit. Pada pemeriksaan elektrolit, dapat ditemukan adanya
hipokalemia akibat peningkatan katekolamin. [12]
58
Gambar 3.10
3.4.9 Tatalaksana
59
glukosa darah secara signifikan dari 3.0 sampai 12.0 mmol/L dalam 60 menit.
Namun, efek tersebut dapat menurun pada individu yang mengkonsumsi lebih dari
dua minuman beralkohol pada beberapa jam sebelumnya atau pada individu dengan
penyakit hepar stadium lanjut.
60
Jika keadaan hipoglikemia telah berhasil teratasi, pasien dapat makan
makanan besar atau camilan pada saat itu untuk mencegah
hipoglikemia berulang. Jika makanan besar telah dikonsumsi > 1 jam,
makanan camilan (termasuk 15 gram karbohidrat dan protein) dapat
dikonsumsi.
Pasien yang mendapatkan pengobatan anti-hiperglikemik yang
menimbulkan hipoglikemia dapat menjalankan konseling mengenai
pencegahan dan edukasi mengenai pengobatan hipoglikemia.
Tabel 3.13
61
etiologi utama dimana diperlukan penyesuaian untuk dosis yang diberikan.
Pengaturan dosis insulin pertama didasari pada kadar glukosa darah puasa.
Misalnya, dosis awal dari insulin glargine akan bergantung pada berat badan pasien.
Pada umumnya, pemberian dosis dapat dimulai dengan 10 sampai 15 unit pada
waktu tidur. Selanjutnya, dosis dapat ditingkatkan 1 sampai 2 unit untuk setiap 1.1
mmol/L (20 mg/dL) pada glukosa darah puasa lebih dari 5.5 mmol/L (100 mg/dL).
Penyesuaian dosis dapat dilakukan dalam interval kurang lebih 3 hari. Pada
penurunan glukosa darah 60-79 mg/dL dapat dikurangi dosis insulin basal sebanyak
2 unit dan jika < 60 mg/dL dapat dikurangi 4 unit.
Jika dosis insulin harian dibutuhkan dalam jumlah yang lebih banyak (1-2
unit/kg). Pada pasien yang memiliki kebutuhan insulin > 1 unit/kg dan diberikan
62
long-acting insulin, maka insulin dapat dikombinasikan dengan metformin atau
thiazolinedione. Kombinasi obat ini dapat mengurangi terjadinya hipoglikemia.
[13,14]
Gambar 3.11
63
atau obat sulfonylurea/glinide, terutama pada pasien dengan riwayat hipoglikemia
rekuren atau gangguan kognitif sehingga menurunkan kewaspadaan pada
hipoglikemia. Selain itu, pasien juga harus mengetahui cara kerja obat sehingga
dapat meminimalisasi risiko hipoglikemia.
64
Pada pasien yang menggunakan insulin secara injeksi dapat menurunkan
insulin basal sebelum dan atau sesudah olahraga untuk mencegah hipoglikemia.
Farmakokinetik dan farmakodinamik penting untuk dipertimbangkan pada
intermediate atau long-acting insulin untuk menentukan seberapa banyak insulin
basal yang harus dikurangi. Pada pasien dengan penggunaan Continuous
Subcutaneous Insulin Infusion (CSII), insulin basal dapat diinaktifkan sebelum,
selama, dan atau sesudah berolahraga. Insulin basal dapat dikurangi pada 30 menit
sebelum memulai olahraga sehingga reseptor pada insulin menjadi inaktif. Namun,
penggunaan CSII di Indonesia masih sangat terbatas.
Selain itu, pemantauan kadar glukosa darah juga berperan penting dalam
penanganan pasien yang memiliki risiko hipoglikemia. Pasien yang mendapatkan
pengobatan dengan insulin, sulfonilurea, ataupun glinide harus memeriksakan
kadar glukosa darahnya ketika terdapat gejala dari hipoglikemia sehingga dapat
langsung diberikan penanganan yang tepat. Selain itu, pemantauan glukosa darah
secara rutin juga dapat digunakan untuk modifikasi terapi farmakologis sehingga
dapat menghindari kejadian hipoglikemia baik episode baru maupun berulang.
65
3.4.11 Komplikasi [16]
3.4.12 Prognosis
66
adalah ad malam baik pada ad vitam, ad sanationam, dan ad fungsionam.
Komplikasi penyerta tersebut dapat menimbulkan kematian mendadak pada pasien.
1. Superfisialis atau epidermis Pada lapisan ini terdapat beberapa lapisan yang
menyusun epidermis yaitu stratum korneum, stratum lucidum, stratum granulosum
dan stratum germinativum.
2. Lapisan dermis Adalah lapisan dibaawah epidermis yang jauh lebih tebal dari
pada epidermis. Lapisan ini terdiri atas pars papilare yang berisi ujung serabut saraf
dan pembuluh darah dan pars retikulare yang terletak dibawah pars papilare dimana
pada pars retikulare berisi serabut kolagen, elastik dan retikulin.
3. Lapisan subkutis Terdiri atas jaringan ikat longgar yang berisi sel-sel
lemak.Lapisan terdalam yang banyak mengandung sel liposit yang menghasilkan
banyak lemak. Merupakan jaringan adipose sebagai bantalan antara kulit dan
setruktur internal seperti otot dan tulang.8
67
Gambar 3.12
3.5.2 Definisi
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir disertai
kematian jaringan yang luas dan invasif kuman saprofit. Ulkus diabetikum adalah
salah satu komplikasi kronik DM berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang
dapat disertai adanya kematian jaringan setempat. 18
3.5.3 Epidemiologi
68
Diabetikum merupakan ,sekitar 50-70% anggota gerak bagian bawah yang terkena
ulkus akan mengalami amputasi.
3.5.4 Patogenesis20
Kaki diabetik disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut Trias yaitu:
Iskemik, Neuropati, dan Infeksi. Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah
tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan
perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa
sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi,
parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan
hilang rasa, apabila diabetisi tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan menjadi
ulkus diabetika.
Terjadinya masalah ulkus kaki diabetik diawali adanya hiperglikemi pada
penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Neuropati, baik yang neuropati sensorik maupun motorik dan
autonomikakan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki
dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan
kakidiabetik.
Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati
perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang berakibat
terganggunya proses penyembuhan luka. Faktor lingkungan, terutama adalah
trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya)
merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus.
Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada
serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat
menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes
cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan
adanya neuropati memudahkanterbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris
69
yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan sensasi nyeri
sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki.
Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik
menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema
kaki.Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya
artropati Charcot.
Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya
iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab terjadinya ulkus juga
mempersulit prosespenyembuhan ulkus kaki 11
Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori,
yaitu ulkus diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki
diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%) sisanya adalah akibat
neuroiskemia dan murni akibat iskemia.
Gambar 3.13
70
3.5.5 Klasifikasi Kaki Diabetik21
Menurut berat ringannya lesi, kelainan ulkus diabetikum dibagi menjadi enam
derajat menurut Wagner, yaitu :
1. Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai
dengan kelainan bentuk kaki "claw,callus"
5. Derajat IV : ulkus pada jari kaki atau bagian distal kaki atau tanpa selulitas
71
Stage 3: Ulcerated foot Stage 4: Infected foot
0 1 2 3
72
C Iskemik Iskemik Iskemik Iskemik
D Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan iskemik Infeksi dan iskemik
iskemik iskemik
Tabel 3.15
73
Severe :disertai gejala infeksi sistemik atau ketidakstabilan
metabolik
1) Lama diabetes
5) Alergi
6) Pola hidup
7) Medikasi terakhir
8) Kebiasaan merokok
9) Minum alcohol
74
Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki,
pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas, gejala neuropati
dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan
ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman, penampakan ulkus,
temperatur dan bau.
b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit, pecah pecah;
berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya kalus atau bula; bentuk kuku;
adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap dan postur dari tungkai
kaki; deformitas pada kaki membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan
gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan kekuatan kaki.
Gambar 3.14
75
3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada
arteri kaki, capillary refiling time, perubahan warna, atropi kulit dan kuku
dan pengukuran ankle brachial index.
Gambar 3.15
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman,
tipe sepatu dan ukurannya.
c. Pemeriksaan laboratorium
d. Pemeriksaan penunjang
76
e. Pemeriksaan sederhana
Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada semua orang
1 Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air
2 Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit
77
6 Keringkan kaki, sela-sela jari kaki teratur setelah dari kamar
mandi
9 Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang
dibuat khusus
hak tinggi
Kaki
Tabel 3.16
3.5.9 Tatalaksana2
78
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik diabetes, salah satunya
adalah terjadinya gangren diabetik. Jika kadar glukosa darah dapat selalu
dikendalikan dengan baik, diharapkan semua komplikasi yang akan terjadi
dapat dicegah, paling sedikit dihambat. Dalam mengelola diabetes melitus
langkah yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis,
Perubahan gaya hidup, dengan melakukan pengaturan pola makan yang
dikenal sebagai terapi gizi medis dan meningkatkan aktivitas jasmani
berupaolah raga ringan.
Perencanaan makanan pada penderita diabetes melitus juga
merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan diabetes
melitus.Perencanaan makanan yang memenuhi standar untuk diabetes
umumnya berdasarkan dua hal, yaitu; a).Tinggi karbohidrat, rendah lemak,
tinggi serat, atau b).Tinggi karbohidrat, tinggi asam lemak tidak jenuh
berikatan tunggal. Edukasi kepada keluarga juga sangat berpengaruh akan
keadaan pasien. Peran keluarga sendiri adalah mengkontrol asupan makanan,
obat-obat gula yang dikonsumsi setiap hari serta mencegah semaksimal
mungkin agar penderita tidak mengalami luka yang dapat memicu timbulnya
infeksi.
b) Terapi farmakologis
Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan
terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Terapi farmakologis yang
diberikan adalah pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.
Terdapat enam golongan obat anti diabetes oral yaitu:
Golongan sulfonilurea
Glinid
Tiazolidindion
Penghambat Glukosidase α
Biguanid
Obat-obat kombinasi dari golongan-golangan diatas
79
2) Penanganan Ulkus Diabetikum
Penanganan pada ulkus diabetikumdilakukan secara komprehensif.
Penanganan luka merupakan salah satu terapi yang sangat penting dan dapat
berpengaruh besar akan kesembuhan luka dan pencegahan infeksi lebih lanjut.
Penanganan luka pada ulkus diabetikum dapat melalui beberapa cara yaitu:
menghilangkan atau mengurangi tekanan beban (offloading), menjaga luka agar
selalu lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen, revaskularisasi dan skin
graft
a) Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting padakasus
ulkus diabetika.Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya
pembersihkan benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan
sembuh apabila masih didapatkan jaringan nekrotik, debris, calus, fistula atau
rongga yang memungkinkan kuman berkembang. Setelah dilakukan
debridemen luka harus diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau
pembersih lain dandilakukan dressing (kompres). Tujuan dilakukan
debridemen bedah adalah:
80
Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan kondisi
lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai agent yang
melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses granulasi. Menghilangkan atau
mengurangi tekanan beban (offloading) .
b) Perawatan Luka
Perawatan luka modern menekankan metode moist wound healing atau
menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Lingkungan luka yang seimbang
kelembabannya memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen didalam
matrik non-selular yang sehat. Luka akan menjadi cepat sembuh apabila eksudat
dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan lembab, luka tidak lengket
dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel terhadap
gas.Tindakan dressing merupakan salah satu komponen penting dalam
mempercepat penyembuhan lesi.Prinsip dressing adalah bagaimana
menciptakan suasana dalam keadaan lembab sehingga dapat meminimalisasi
trauma dan risiko operasi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan
dalam memilih dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya
eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada beberapa jenis
dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid,
hydrogel, calcium alginate, foam, kompres anti mikroba.
c) Pengendalian Infeksi
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Pada infeksi
berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih.Pada beberapa
penelitian menyebutkan bahwa bakteri yang dominan pada infeksi ulkus diabetik
diantaranya adalah s.aureus kemudian diikuti dengan
streotococcus,staphylococcus koagulase negative, Enterococcus,
corynebacterium dan pseudomonas. Pada ulkus diabetika ringan atau sedang
antibiotika yang diberikan di fokuskan pada patogen gram positif.Pada ulkus
terinfeksi yang berat kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri gram
positif berbentuk coccus, gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob)
antibiotika harus bersifat broadspektrum, diberikan secara injeksi.
81
d) Skin Graft
Gambar 3.16
Suatu tindakan penutupan luka dimana kulit dipindahkan dari lokasi donor
dan ditransfer ke lokasi resipien. Terdapat dua macam skin graft yaitu full thickness
dan split thickness. Skin graft merupakan salah satu cara rekonstruksi dari defek
kulit, yang diakibatkan oleh berbagai hal. Tujuan skin graft digunakan pada
rekonstruksi setelah operasi pengangkatan keganasan kulit, mempercepat
penyembuhan luka, mencegah kontraktur, mengurangi lamanya perawatan,
memperbaiki defek yang terjadi akibat eksisi tumor kulit, menutup daerah kulit
yang terkelupas dan menutup luka dimana kulit sekitarnya tidak cukup
menutupinya(4). Selain itu skin graft juga digunakan untuk menutup ulkus kulit yang
kronik dan sulit sembuh. Terdapat 3 fase dari skin graft yaitu: imbibition,
inosculation, dan revascularization. Pada fase imbibition terjadi proses absorpsi
nutrient ke dalam graft yang nantinya akan menjadi sumber nutrisi pada graft selam
24-48 jam pertama. Fase kedua yaitu inosculation yang merupakan proses dimana
pembuluh darah donor dan resipien saling berhubungan. Selama kedua fase ini,
graft saling menempel ke jaringan resipien dengan adanya deposisi fibrosa pada
permukaannya. Pada fase ketiga yaitu revascularization terjadi diferensiasi dari
pembuluh darah pada arteriola dan venula
e) Tindakan Amputasi
Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas gangren, jaringan
terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi, mengangkat bagian kaki yang
mengalami ulkus berulang.Komplikasi berat dari infeksi kaki pada pasien DM
adalah fasciitis nekrotika dan gas gangren.Pada keadaan demikian diperlukan
tindakan bedah emergensi berupa amputasi. Amputasi bertujuan untuk
82
menghilangkan kondisi patologis yang mengganggu fungsi, penyebab kecacatan
atau menghilangkan penyebab yang didapat.
Tingkat 0 :
Penanganan meliputi edukasi kepada pasien tentang alas kaki khusus dan
pelengkap alas kaki yang dianjurkan. Sepatu atau sandal yang dibuat secara khusus
dapat mengurangi tekanan yang terjadi. Bila pada kaki terdapat tulang yang
menonjol atau adanya deformitas, biasanya tidak dapat hanya diatasi dengan
pengguna-an alas kaki buatan umumnya memerlukan tindakan pemotongan tulang
yang menonjol (exostectomy) atau dengan pembenahan deformitas.
Tingkat I
Memerlukan debridemen jaringan nekrotik atau jaringan yang infeksius,
perawatan lokal luka dan pengurangan beban.
Tingkat II :
Memerlukan debridemen, antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur,
perawatan lokal luka dan teknik pengurangan beban yang lebih berarti.
Tingkat III :
Memerlukan debridemen jaringan yang sudah menjadi gangren, amputasi
sebagian, imobilisasi yang lebih ketat, dan pemberian antibiotik parenteral yang
sesuai dengan kultur.
Tingkat IV :
Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagian atau
amputasi seluruh kaki.
3) EvaluasiUlkus Diabetikum
Prinsip dasar yang baik pengeolaan terhadap ulkus diabetikum adalah:
83
a) Evaluasi keadaan klinis luka, dalamnya luka, gambaran radiologi (benda asing,
osteomielitis, adanya gas subkutis), lokasi, biopsy vaskularisasi (non invasive).
Pengobatan ulkus sangat dipengaruhi oleh derajat dan dalamnya ulkus.Hati-
hati apabila menjumpai ulkus yang nampaknya kecil dan dangkal karena kadang-
kadang hal tersebut hanya merupakan puncak dari gunung es dan pada pemeriksaan
yang seksama penetrasi itu mungkin mencapai jaringan yang lebih dalam.
b) Pengelolaan terhadap neuropati diabetic
Pada dasarnyapengelolaan neuropati diabetic dilakukan dengan mengontrol
gula darah dan pemberian obat-obatan kausal dan simptomatik. Pengontrolan gula
darah secara terus menerus dan pengobatan DM yang intensif akan menghambat
progresitifitas neuropati sebesar 60%.
c) Kontrol metabolik
Terjadinya aterosklerosis adalah akibat defek metabolik dan defek
fisik.Faktor resiko terjadinya aterosklerosis antara lain hiperglikemia,
hiperinsulinemia,dislipidemia, hipertensi, obesitas, hiperkoagulabilitas, genetik,
dan merokok. Semua faktor resiko yang dapat diobati seharusnya segera dikontrol
dengan sebaik-baiknya untuk menghambat proses terjadinya aterosklerosis lebih
lanjut.
d) Debridemen dan pembalutan
Pada dasarnya terapi ulkus diabetikum sama dengan terapi lain, yaitu
mempersiapkan bed luka yang baik untuk menunjang tumbuhnya jaringan
granulasi, sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi. Kita mengenalnya
dengan preparasi bed luka. Harus diketahui bahwa tidak ada obat-obatan topikal
yang dapat menggantikan debridement yang baik dengan teknik yang benar dan
proses penyembuhan luka selalu dimulai dari jaringan yang bersih. Tujuan dasar
dari debridement adalah mengurangi kontaminasi pada luka untuk mengontrol dan
mencegah infeksi. Pemeriksaan kultur diperlukan terutama pada ulkus yang dalam
dan diambil dari jaringan yang dalam. Diperlukan debridement yang optimal
sampai nampak jaringan sehat dengan cara membuang jaringan nekrotik.
Debridemen yang tidak optimal akan menghambat penyembuhan ulkus.
84
Pembalutan berguna untuk menjaga dan melindungi kelembaban jaringan,
perangsang penyembuhan luka, melindungi dari suhu luar, serta mudah dibuka
tanpa rasa nyeri dan merusak luka.Suasana lembab membuat suasana optimal untuk
akselerasi penyembuhan dan memacu pertumbuhan jaringan.
e) Biakan kultur
Untuk menentukan bakteri penyebab infeksi diperlukan kultur.
Pengambilan bahan kultur dengan cara swab tidak dianjurkan.Hasil kultur akan
lebih dipercaya apabila pengambilan bahan dengan cara curettage dari hasil ulkus
setelah debridement.
f) Antibiotika
Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan difokuskan
pada pathogen gram positif.Pada ulkus terinfeksi berat lebih bersifat
polimikrobial.Antibiotika harus bersifat broadspectrum dan diberikan secara
injeksi.
AntibiotikaAdapun prinsip-prinsip penggunaan antibiotik pada kaki
diabetik :
- Pilihlah antibiotik yang paling potent terhadap bakteri-bakteri ditempatyang
dicurigai sebagai lokasi (site infeksi).
- Harus diketahui potensi antibiotik yang kita pilih terhadap bakteri-bakteri
tertentu. Antibiotik yang mempunyai potensi baik, memungkinkan pemberian
dosis yang kecil khususnya pada infeksi yang ringan — sedang.
- Spektrum antibiotik. Pada infeksi yang dalam dan mengancam jiwa biasanya
penyebabnyapolymicrobial. Sehingga gunakanantibiotik yang melawan aerob
gram positif, aerob gram negatif, dan anaerob
Pemberian antibiotika didasarkan pada :
1. Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan
difokuskan pada patogen Gram positif.
2. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening infection) kuman
lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri Gram positif
85
berbentuk coccus, Gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob).
Antibiotika harus bersifat broadspectrum dan diberikan secara injeksi.
Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection dapat
diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti : mpicillin/sulbactam,
ticarcillin/clavulanate, piperacillin/ tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime +
clindamycin, fluoroquinolone + clindamycin. Sementara pada infeksi berat yang
bersifat life threatening infection dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika
seperti berikut : ampicillin/sulbactam + aztreonam, piperacillin/tazobactam +
vancomycin, vancomycin + metronbidazole + ceftazidime, imipenem/cilastatin
atau fluoroquinolone + vancomycin + metronidazole. Pada infeksi berat
pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih.
Pada kaki diabetik dengan infeksi superfisial, dapat dimulai dengan
antibiotik per oral seperti kombinasi amoxycillin-clavulanat atau cyprofloxacine
yang dikombinasi dengan clindamycin.Keuntungan clindamycine oleh karena
mempunyai daya penetrasi jaringan yang baik. Pemakaian cyprofloxacine atau
fluoroquinolon lainnya saja tidak dianjurkan, mengingat sebagian kuman gram
positive dan kuman anerob tidak mempan dengan obat ini.
Pada keadaan infeksi berat terutama disertai sepsis penggunaan
antibiotik harus dilakukan semaksimal mungkin, sebaiknya menggunakan obat
parenteral. Dengan pemikiran bahwa infeks berat umumnya disebabkan oleh
lebih dari satu jenis disamping itu sering juga disertai kuman anerob, maka
Edmond dkk menganjurkan pemberian tiga jenis obat yaitu cefalosporin i.v 1
gram/8 jam, flucloxacillin 500 mg i.v/6 jam dan metronidazole 1 gram /8 jam.
Pengalaman di klinik kami kombinasi cefalosporin i.v, aminoglicoside dan
metronidazole sangat baik pada kaki diabetik dengan infeksi berat. Perlu
diingat penderita dengan kaki diabetik mungkin disertai gangguan ginjal,
sehingga pemakaian aminoglikoside harus berhati-hati, Dengansendirinya
biakkan kuman dan tes kepekaan sangat penting untuk menentukan pilihan
antibiotik yang paling tepat pada tiap infeksi kaki diabetic
86
g) Perbaikan sirkulasi
Penderita DM mempunyai kecenderungan untuk lebih mudah mengalami
koagulasi dibandingkan yang bukan DM akibat adanya gangguan viskositas pada
plasma, deformibilitas eritrosit, agregasi trombosit serta adanya peningkatan trogen
dan faktor Willbrand.Obat-obat yang mempunyai efek reologik bencyclame,
pentoxyfilin dapat memperbaiki eritrosit disamping mengurangi agregasi eritrosit
pada trombosit.
87
konsultasikan kepada ahli fisioterapi agar proses penyembuhan bisa lebih
maksimal.(24)
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran makanan
proksimal dari ligamentun Treitz. Untuk keperluan klinik dibedakan perdarahan varises
esofagus dan non-varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam
pengelolaan dan prognosisnya. Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) bisa beragam tergantung lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang,
dan apakah perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak. Pasien SCBA biasanya
datang dengan kemungkinan:
Penyebab perdarahan SCBA yang sering dilaporkan adalah pecahnya varises esofagus,
gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, dan
keganasan. Perbedaan di antara laporan-laporan penyebab perdarahan SCBA terletak pada
urutan penyebab tersebut. Yang termasuk dalam saluran cerna bagian atas adalah saluran
cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum,
gaster dan esofagus.
3.6.1 Anatomi
Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus hingga jejunum.
Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu
suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus
esofagus dan berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan jejunum.
88
Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung).
Sekitar duaperlima dari sisa usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima bagian
akhirnya adalah ileum. Jejunum terletak di regio mid-abdominalis sinistra,
sedangkan ileum cenderung terletak di regio abdominalis dekstra sebelah bawah.
Masuknya kimus ke dalam usus halus diatur oleh sfingter pilorus, sedangkan
pengeluaran zat yang telah tercerna ke dalam usus besar diatur oleh katup ileosekal.
Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar (lapisan
serosa) dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan viseral dan
parietal, dan ruang yang terletak di antara lapisan – lapisan ini disebut sebagai
rongga peritoneum. Peritoneum melipat dan meliputi hampir seluruh visera
abdomen.
Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan: lapisan luar terdiri
atas serabut – serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam terdiri atas
serabut – serabut sirkular. Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltik
usus halus. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa
bagian dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar.
Gambar 3.17
Lambung
89
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat
di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J,
dan bila penuh akan berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung
adalah 1 sampai 2 L. Secara anatomis, lambung terbagi atas fundus, korpus, dan
antrum pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan
kurvatura minor dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter
pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang terjadi.
Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke
dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali.
Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah
kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam
duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran
balik isi usus ke dalam lambung.
Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami stenosis
(penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus peptikum.
Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis pilorus atau
pilorospasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami hipertrofi atau spasme
sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan makanan dari lambung ke dalam
duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan tersebut dan tidak mencerna atau
menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat
adrenergik yang menyebabkan relaksasi serabut otot.
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar merupakan
bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis menyatu pada kurvatura
minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati, membentuk omentum
minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ menuju ke organ lain disebut
sebagai ligamentum. Jadi, omentum minus (disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau
hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada
kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi
usus halus dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah tempat
yang sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyulit
pankreatitis akut.
90
Tidak seperti daerah saluran cernal lain, bagian muskularis tersusun atas
tiga lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan
sirkular di bagian tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot
yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang
diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel – partikel yang kecil,
mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan
mendorongnya ke arah duodenum.
Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa
dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan
peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe.
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan – lipatan longitudinal yang
disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi makanan.
Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi
lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di dekat orifisium kardia dan
mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan pada hampir
seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe utama sel. Sel – sel zimogenik
(chief cell) mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana
asam. Sel – sel parietal mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan faktor intrinsik. Faktor
intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B12 di dalam usus halus. Kekurangan faktor
intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa. Sel – sel mukus (leher)
ditemukan di leher kelenjar fundus dan mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi
oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik
untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi
dalam lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium, dan
klorida.
91
ulkus duodenum. Hal ini akan dibahas dengan lebih lengkap pada bagian
selanjutnya dalam bab ini.
Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut
– serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi
otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut – serabut
eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus
(Auerbach) dan submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung
dan mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa)
terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang
– cabang yang memperdarahi kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting
dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis
(retroduodenalis) yang berjalan di sepanjang bulbus posterior duodenum. Ulkus pada
dinding posterior duodenum dapat mengerosi arteri ini dan menyebabkan terjadinya
perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta yang berasal dari pankreas,
limpa, dan bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke hati melalui vena porta.
Gambar 3.18
3.6.2 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan berasal
pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum Treitz. Yang
92
termasuk organ – organ saluran cerna di proximal Ligamentum Trieitz adalah esofagus,
lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari jejunum. Kejadian perdarahan
saluran cerna bagian atas merupakan yang paling sering terjadi dan sering ditemukan
dibandingkan dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah. Lebih dari 50%
kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas dikarenakan oleh penyakit erosif dan
ulseratif dari gaster dan/atau duodenum.
Etiopatologi terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas menurut literatur yang
ditulis oleh Margaret Shuhart, M.D. , Kris Kowdley, M.D., and Bill Neighbor,
M.D., 2002, yaitu:
1. Erosi/ulkus duodenum.
2. Erosi/ulkus gaster.
3. Stress gastritis.
4. Sindrom Mallory-Weiss.
5. Esofagitis / ulkus esofagus.
6. Varises esofagus/gaster.
7. Hipertensi portal gastropati.
8. Neoplasma
a. Karsinoma gaster.
b. Karsinoma esofagus.
c. Tumor stroma.
93
1. Ulkus peptikum.
2. Sindrome Mallory-Weiss.
3. V arises esofagus.
4. Erosi gastritis.
5. Penggunaan obat berupa NSAID, aspirin, steroid, trombolitik, dan antikoagulan.
6. Esofagitis.
7. Duodenitis.
8. Keganasan.
9. Idiopatik.
Dan penyebab timbulnya perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang ditemukan
adalah:
1. Kelainan perdarahan.
2. Hipertensi portal gastropati.
3. Fistula aorto-enterikus.
4. Angiodisplasia.
5. Hemobilia.
6. Lesi dieulafoy.
7. Divertikulum Meckel.
8. Sindrome Peutz-Jegher.
9. Sindrome Osler-Weber-Rendu
Dalam literatur yang ditulis oleh Pangestu Adi, 2007, penyebab timbulnya
perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering dilaporkan adalah varises esofagus,
gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindrome Mallory- Weiss, dan
keganasan.
94
3.6.3 Gastritis erosive
Gambar 3.19
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosal
lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Pada gastritis akan
didapatkan mukosa memerah, edema, dan ditutupi oleh mukus yang melekat serta
sering terjadi erosi kecil dan perdarahan. Derajat perdarahan yang ada sangat
bervariasi. Manifestasi klinis gastritis erosif ini dapat bervariasi dari keluhan
abodmen yang tidak jelas, seperti anoreksia, bersendawa, atau mual, sampai gejala
yang lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, perdarahan, dan hematemesis.
Pada beberapa kasus tertentu, bila gejala – gejala tersebut menetap dan adanya
resistensi terhadap pengobatan, maka akan diperlukan tindakan diagnostik
tambahan seperti endoskopi, biopsi mukosa, dan analisis cairan lambung untuk
memperjelas penegakan diagnosis.
Penggunaan obat anti – inflamasi non – steroid (OAINS) yang memiliki efek
perusakan mukosa yang bersifat lokal dan sistemik. Contoh OAINS yang dapat
menimbulkan gastritis erosif hingga menjadi ulkus ini adalah indometasin,
diklofenak, aspirin (terutama dosis tinggi), ibuprofen, naproksen, serta obat – obat
yang lain berupa sulfonamida, steroid, dan digitalis. Selain itu, asam empedu,
enzim pankreas, dan etanol juga diketahui dapat mengganggu sawar mukosa
lambung. Efek anti – inflamasi dan analgetiknya terutama didasarkan melalui
penghambatan siklo – oksigenase sehingga menghambat sintesis prostaglandin
(dari asam arakidonat). Salah satu efek OAINS yang tidak diinginkan adalah obat
95
ini menghambat sintesis prostaglandin secara sistemik, termasuk di epitel lambung
Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering
ditemukan pada pasien adalah:
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah menentukan beratnya
perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi:
96
6. Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda – tanda sebagai
berikut:
1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi lebih
dari 100x/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun lebih dari
20 mmHg.
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.
4. Akral dingin.
5. Kesadaran menurun
6. Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:
1. Hematemesis.
2. Hematoskezia.
3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih.
4. Hipotensi persisten.
5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800 – 1000 ml.
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid (misalnya
cairan garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum berdiameter besar
(minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous pressure); tujuannya
memulihkan tanda – tanda vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai
memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia
berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk menentukan golongan darah, kadar
hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu
97
segera ditindaklanjuti dengan melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu
perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PTT, dan aPTT.
1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar.
98
2. Riwayat perdarahan sebelumnya.
3. Riwayat perdarahan dalam keluarga.
4. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain.
5. Penggunaan obat – obatan terutama anti inflamasi non-steroid dan anti koagulan.
6. Kebiasaan minum alkohol.
7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam
tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi dan alergi obat – obatan.
8. Riwayat transfusi sebelumnya.
Cara praktis dalam membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas atau saluran
cerna bagian bawah terdapat pada tabel berikut ini.
99
Tabel 317 3.7
Kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas, dibawah
35 kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah. Pada kasus
yang masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah pemeriksaan
selanjutnya ialah endoskopi saluran cerna bagian atas.
Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit
Dalam RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises
esofagus, 19.2% oleh gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker
lambung, dan 2.6% oleh karena sebab – sebab yang lain. Laporan dari RS
pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak
perdarahan saluran cerna bagian atas sama dengan di RSU dr.Sutomo Surabaya.
Sedangkan laporan dari RS pemerintah di Ujung Pandang menyebutkan tukak
peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas.
Laporan kasus di rumah sakit swasta, yakni RS Darmo Surabaya, perdarahan
karena tukak peptik sebanyak 51.2%, gastritis erosif sebanyak 11.7%, varises
esofagus sebanyak 10.9%, keganasan sebanyak 9.8%, esofagitis 5.3%, sindrom
Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik sebanyak 7% dan penyebab – penyebab
lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik berada di urutan pertama
sebagai penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas dengan frekuensi sekitar
50%. Walaupun pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas telah banyak
berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 – 10%.
Hal ini dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat
komorbiditas yang menyertai.
100
Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran cerna
adalah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid, dan
angiografi. Pada semua pasien dengan tanda – tanda perdarahan saluran cerna
bagian atas atau yang asal perdarahannya masih meragukan, maka pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan prosedur pilihan. Dengan
pemeriksaan ini sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bisa
ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapeutik. Bila
perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit diidentifikasi perlu
dipertimbangkan pemeriksaan dengan radionuklid atau angiografi yang sekaligus
bisa digunakan untuk menghentikan perdarahan. Adapun hasil tindakan endoskopi
atau angiografi sangat tergantung tingkat keahlian, keterampilan, dan pengalaman
operator pelaksana.
Tabel 3.18
3.6.10 Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-Endoskopis
101
hemostatik, namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak
terbukti. Bilas lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan
endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan.
Berdasar percobaan hewan, bilas lambung dengan air es kurang menguntungkan,
waktu perdarahan menjadi memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa
timbul ulserasi pada mukosa lambung.
102
somatostatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam
selama 12 – 24 jam atau sampai perdarahan berhenti; ocreotide dosis bolus 100
mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam selama 8 – 24 jam atau sampai perdarahan
berhenti.
103
Gambar 2.20
3.6.11 Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Secara Endoskopi
Gambar 2.21
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan
pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan
oleh ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat
diterapkan pada 90% kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, sedangkan 10% sisanya
tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga
pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan
tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan yang berasal dari
arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%.
104
Terapi endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah
penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10.000
sebanyak 0,5 – 1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%)
tidak melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol
umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis
jaringan di lokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan
perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang
frekuensinya sekitar 15 – 20%.
3.6.13 Pembedahan
105
BAB IV
Analisa Masalah
Dari riwayat penyakit keluarga, didapatkan: Riwayat keluhan yang sama (+)
Paman pasien, r iwayat DM (+) Ayah dan Paman pasien. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan pandangan mata kabur, Merasa kesemutan, badan lemas. Serta adanya
riwayat mengkonsumsi obat hiperglikemi oral.
Sejak 1 tahun SMRS kaki pasien luka awalnya pada ibu jari kaki, tertusuk
paku payung yang ada di sandal pasien, ibu jari tertusuk beberapa kali hingga
membuat kaki pasien nyeri dan bernanah. 7 bulan SMRS, luka pada kaki tidak
kunjung sembuh dan luka semakin meluas hingga mengenai jari-jari kaki lainnya
dan bengkak kemerahan dikedua tungkai, mengeluarkan pus dan berbau sehingga
jari kaki kiri, 3 4 dan 5 pasien menghitam,
106
Penelitian dilaporkan sebanyak 70% dari pasien yang terkena kaki diabetik
adalah laki-laki. Penelitian lain oleh Hokkam (2009) juga menunjukkan bahwa
jenis kelamin laki-laki mempunyai faktor risiko tinggi mengalami kaki diabetik.
Pada pasien ini didapatkan 7 gejala dari kaki diabetes berupa kulit kaki yang
kering, terdapat bekas luka, kaki baal dan kesemutan, dan perubahan warna pada
kulit kaki yaitu warna menjadi hitam kemerahan, rambut kaki menipis, kuku tebal
dan terdapat perubahan bentuk jari dan telapak kaki. Terdapat penurunan refleks
fisiologis, penurunan kekuatan motoric dan penurunan sensasi pada tungkai kiri pasien.
Inferior kiri : Tampak gangrene digiti 3 4 5, nyeri (+), bengkak (+), kemerahan
(+), kulit menghitam (+), pus (+), pulsasi A. Dorsalis pedis (menurun), pulsasi A.
Tibialis posterior (menurun), rambut kaki (-), kulit kering (+), charcot foot (+)
Inferior kanan : Akral hangat, CRT < 2 detik, bengkak (-), pulsasi A. Dorsalis pedis
(+), pulsasi A. Tibialis posterior (+), rambut kaki (-), kulit kering (+)
Terapi pasien DM tipe II diawali dengan edukasi, pada pasien ini telah
dilakukan edukasi rutin dengan tujuan promosi hidup sehat, mengenai pengertian,
perjalanan, pengendalian dan pemantauan DM tipe II serta berbagai penyulitnya
baik yang akut atau kronik. Memotong kuku secara teratur, Dan juga dianjurkan
untuk memberikan bantalan agar kaki yang terjadi ulkus lebih tinggi. Dan juga
107
diberikan obat-obatan hipoglikemik oral atau insulin yang digunakan serta target
pengobatan yang dijalani.
Hal ini sesuai dengan teori untuk perawatan kaki diabetik. Mengeringkan kaki
secara berkala dan menghindari terjadinya kelembapan pada kaki. Pengelolaan luka
dilakukan dengan membersihkan luka, dan mengganti perban setiap hari. Hal ini
dilakukan agar kebersihan dan kelembapan luka tetap terjaga.
Terapi gizi medis pasien DM tipe II dengan menghitung kebutuhan kalori
dalam sehari. Kebutuhan kalori basal pada pasien ini dihitung dengan
menggunakan berat badan ideal, yaitu 90% x {160 (TB dalam cm) – 100}x1kg,
yaitu 54 kg. Kebutuhan kalori basalnya adalah 25kal/kg BB yaitu 1.350 kal.
Kebutuhan kalori ini dibagi menjadi 3 porsi besar untuk makan pagi (25% = 337,5
kal), makan siang (30%= 405 kal), makan malam (25%=337,5 kal) dan 2 porsi
ringan disela porsi besar (masing-masing 10% = 135 kal).
Sejak 3 hari SMRS, pasien juga mengeluh badan terasa lemas dan
berlangsung sepanjang hari, namun pasien masih sanggup untuk berjalan dan
melakukan aktivitas didalam rumah, keluhan disertai penurunan nafsu makan,
karena tiap makan pasien merasa mual dan muntah. Muntah sebanyak 5 kali/hari,
pasien muntah tiap kali makan, berisi apa yang dimakan dan pernah 1 kali muntah
bercampur darah. Muntah sebanyak > 1 gelas belimbing. BAB pernah berwarna
hitam 1 kali yaitu pada 3 hari SMRS, konsistensi lunak. Lendir (-).
Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit badan dirasa semakin lemas
sehingga pasien merasa tidak sanggup untuk duduk dan hanya bisa berbaring
sehingga pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Raden Mattaher dan di IGD
dilakukan pengecekan GD yaitu 29 mg/dl.
108
pada pasien dengan pengobatan insulin atau insulin secretagogue); adanya respon
perbaikan keluhan terhadap pemberian glukosa.
109
110
Untuk penatalaksanaan Diabetes Melitusnya diberikan PO Metformin 3x 500mg,
Lantus 1 x 12 IU, Novorapid 3 x 6 IU. Hal ini sesuai dengan pedoman
penatalaksanaan menurut American Diabetes Association (ADA) 2016
111
Dari anamnesis juga didapatkan keluhan muntah bercampur darah dan pernah BAB
hitam
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan
berasal pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum
Treitz. Kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan yang paling
sering terjadi dan sering ditemukan dibandingkan dengan kejadian perdarahan
saluran cerna bagian bawah. Salah satunya gastritis erosive.
112
Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering ditemukan
pada pasien adalah:
113
BAB V
KESIMPULAN
Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya
lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria)
dan pruritus vulva (wanita).
114
Edukasi yang tepat bagi pasien hipoglikemia diperlukan untuk mencegah
terjadinya episode hipoglikemia berulang. Edukasi yang dapat dilaksanakan secara
mandiri adalah dengan selalu membawa karbohidrat/glukosa, memperhatikan
keteraturan pola makan, penggunaan insulin yang tepat, serta tidak melakukan
aktivitas fisik secara berlebihan. Selain itu, pasien juga harus rutin mengontrol dan
memonitor kadar glukosa darah agar tidak jatuh dibawah normal.
115
DAFTAR PUSTAKA
116
15. Younk LM, Mikeladze M, Tate D, Davis SN. Exercise-related
hypoglycemia in diabetes mellitus. Expert Rev Endocrinol Metab
2011;6(1): 93–108.
16. Handelsman Y, Bloomgarden ZT, Grunberger G, Umpierrez G,
Zimmerman RS. AACE/ACE Diabetes Guidelines. Endocr Pract
2015;21(1):31-2.
17. HamdyO.Hypoglycemia.Availableat:http://emedicine.medscape.com/articl
e/122122-overview#a7. Accessed on September 10 2018.
18. Misnadiarly. Diabetes Mellitus : Ulcer, Infeksi, Ganggren. Penerbit Populer
Obor, Jakarta, 2006.
19. Riyanto B. Infeksi pada Kaki Diabetik. Dalam : Darmono, dkk, editors.
Naskah Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit
dalam dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2007. p.15-30.
20. Djokomoeljanto. Tinjauan Umum tentang Kaki Diabetes. Dalam:
Djokomoeljanto dkk, editor, Kaki Diabetik Patogenesis dan
Penatalaksanaannya, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,
1997.
21. Frykberb Robert G. Risk Factor, Pathogenesis and Management of Diabetic
Foot Ulcers, Des Moines University, Iowa, 2002.
22. William C. The Diabetic Foot, In ( Ellenberg, Rifkin’s, eds), Diabetes
Mellitus, Sixth Edision, USA, 2003.
23. Sapico FL. Food Ulcer in Patients with Diabetes Mellitus, Journal of
American Podiatric Medical Association, Vol 79, Issue 482-485.
http://www.bmj.com/cgi/feedback.
24. Adi, Pangestu. “ Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas”.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007.
Hal: 289 – 292.
25. Lindseth, Glenda N. “Gangguan Lambung dan Duodenum”.
PATOFISIOLOGI – Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I.
Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 417-419, 423,
428
26. Sabatine, Marc S. “ Gastrointestinal Bleeding ”. Pocket Medicine: The
Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth
Edition. Wolters Kluwer Health and Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. 2011. Section: GIB 3–3.
27. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. “Gastritis”. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Cetakan I. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.2007.
Hal: 142, 146.
117
118