Anda di halaman 1dari 27

COMPARASION OF AUTOMETED AND MANUAL VITAL SIGN COLLECTION AT

HOSPITAL WARDS (PERBANDINGAN PENGUMPULAN HASIL TTV DENGAN


CARA OTOMATIS DENGAN MANUAL DI RUMAH SAKIT)

Pemeriksaan ttv adalah sebuah pemeriksaan yang sering dilakukan dirumah sakit, terutama
dibagian bangsal, pemeriksaan ini mungkin dianggap biasa namun pemeriksaan ttv ini adalah
suatu hal kecil yang merupakan bagian penting yang akan menggambarkan perawatan
selanjutnya yang akan diberikan kepada pasien. Pengumpulan pemeriksaan ttv selanjutnya akan
dimasukkan ke rekam medis pasien dan tersedia untuk penyedia layanan kesehatan untuk
dievaluasi dan menentukan tindakan selanjutnya. Proses memasukkan data dari hasil
pemeriksaan ttv yang masih menggunakan proses manual, maka hal ini akan membuat kualitas
perawatan klinis berpotensi terkena dampak negatif karena petugas kesehatan sering tidak punya
waktu untuk memasukkan tanda-tanda vital ke dalam catatan pasien sampai berjam-jam setelah
dikumpulkan, seringkali pada akhir shift mereka baru memasukkan pemeriksaan ini.

Metode

Untuk pengumpulan tanda-tanda vital otomatis, kami menggunakan sistem yang


menangkap secara otomatis output dari monitor, seperti (tekanan darah, denyut nadi, suhu, dan
saturasi oksigen), dan juga mendukung skala penilaian standar untuk nyeri dan pernapasan
dengan menggunakan pembaca barcode USB untuk memindai gelang pasien. Data ini nantinya
secara otomatis akan dikirim ke ESDM melalui Wi-Fi, dan juga terhubung kesebuah sistem
printed portabel dan juga terhubung ke sistem hardcopy.

Enam oarang perawat bangsal diidentifikasi untuk berperan serta dalam penelitian ini.
Perawat membuat sebuah kuesioner demografis dan survei menilai kepuasan perawat dengan
metode pengumpulan tanda vital saat ini (manual). Menggunakan cross-over desain, tanda-tanda
vital dikumpulkan dari 60 pasien oleh 6 perawat ini. Setiap perawat secara acak ditugaskan untuk
mengumpulkan tanda vital secara manual pada 5 pasien dan pengumpulan data pemeriksaan ttv
secara otomatis pada 5 pasien lainnya. Secara keseluruhan, tanda-tanda vital dikumpulkan secara
manual dari 30 pasien dan secara otomatis dari 30 pasien lainnya. Baik dengan secara manual
ataupun otomatis, perawat mendekati pasien dan menggunakan monitor tanda vital untuk
pengumpulan data.
Dalam kelompok pengumpulan data otomatis, informasi dari monitor hasil tanda-tanda vital
selanjutnya dihubungkan secara otomatis ke ESDM melalui laptop seluler. Pada kelompok
pengumpulan data secara manual, tenaga kesehatan mengukur tanda vital dengan cara biasa dan
menyalinnya pada formulir atau kertas biasa.

Perawat kemudian secara manual memasukkan data tanda vital pasien ke catatan rekam
medik. Pada akhir penelitian, perawat diberikan survei untuk menilai kepuasan mereka dengan
pengumpulan tanda vital otomatis. Pada akhir studi dilakukan wawancara untuk menilai
pendapat perawat tentang perbandingan dua cara dalam proses mengumpulkan hasil dari tanda
vital tersebut.

Hasil

Usia dari 6 perawat yang berpartisipasi berkisar antara 31 tahun hingga 56 tahun, 50%
adalah 35 tahun atau lebih muda, 33% adalah laki-laki, semua perawat menggunakan komputer
setiap harinya. Waktu yang diperlukan dalam mengumpulkan hasil pemeriksaan tanda vital
dengan ESDM adalah secara signifikan (p <0,004) lebih lama dibandingkan dengan
pengumpulan data otomatis (158,7 ± 67,0).

Perbedaan antara waktu perekaman untuk setiap metode pengumpulan data adalah
signifikan, perbedaan mendasar dapat terlihat ketika menganalisis total waktu. Analisis kualitas
akurasi data pada kedua kelompok pasien terungkap, akurasi 100% untuk pengumpulan data
otomatis (30 dari 30 pasien) sedangkan pada pengumpulan data kelompok manual ada 7 pasien
yang setidaknya memiliki satu atau lebih parameter yang masuk ke ESDM yang salah dan 2
pasien yang tidak memiliki data tanda vital yang dimasukkan sama sekali.

Analisis dari perawat yang berpartisipasi mengenai pengumpulan tanda vital secara otomatis
menunjukkan bahwa 33% dari mereka merasa bahwa cara otomatis dapat menghemat banyak
waktu dan 67% merasa itu akan menghemat jumlah waktu yang moderat; 67% melaporkan
bahwa cara otomatis dapat sangat meningkatkan efisiensi mereka selama praktik saat ini dan
33% merasa akan cukup meningkatkan efisiensinya, 33% merasa bahwa data pengumpulan ttv
secara otomatis sangat dapat mengurangi kesalahan dan 67% merasa bahwa itu bisa sedikit
mengurangi kesalahan. Ketika disurvei tentang kesulitan menggunakan pengumpulan data
otomatis, 33% melaporkannya lebih sulit dibandingkan manual dan 67% mengatakan itu lebih
mudah dari pada secara manual. Ketika ditanya metode pengumpulan tanda-tanda vital yang
lebih disukai, 100% menunjukkan pengumpulan tanda vital otomatis sebagai metode pilihan
yang lebih disukai.

Diskusi

Pengumpulan data tanda vital secara otomatis menunjukkan dapat meningkatkan efisiensi,
akurasi dan kelengkapan proses dokumentasi klinis. Pengurangan waktu yang dihabiskan dalam
pengumpulan data dapat menghemat biaya yang cukup besar dan perawatan klinis yang lebih
baik, Pengumpulan tanda vital secara otomatis dapat diterima dengan sangat baik oleh staf klinis
dan para pasien dan implementasi dalam praktik klinis rutin sangat dianjurkan.
DELAPAN PEMANTAUAN TANDA VITAL

Selama lebih dari 100 tahun, perawat telah melakukan pengawasan pasien untuk perubahan
kondisi mereka menggunakan tanda-tanda vital yang sama: suhu, denyut nadi,tekanan darah, laju
pernapasan dan dalam beberapa tahun terakhir, saturasi oksigen. Deteksi yang cepat dan
pelaporan perubahan tanda-tanda vital sangat penting, karena keterlambatan memulai
pengobatan yang tepat dapat mempengaruhi kondisi pasien pasien. Pada pasien yang memiliki
kebutuhan perawatan yang lebih kompleks, lima tanda vital mungkin tidak memadai untuk
mendeteksi perubahan klinis pada pasien. Oleh sebab itu, pada jurnal ini direkomendasikan
tanda-tanda vital tambahan yang harus menjadi bagian dari penilaian pasien perawatan akut.

a. Suhu

Suhu tubuh mewakili keseimbangan antara panas yang dihasilkan dan panas yang hilang,
atau dikenal sebagai termoregulasi. Dalam lingkungan klinis, suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti patofisiologi yang mendasarinya (mis. Sepsis), paparan kulit (mis. Di ruang
operasi) atau usia. Faktor-faktor lain mungkin tidak mempengaruhi suhu inti tubuh tetapi dapat
berkontribusi pada pengukuran yang tidak akurat, seperti konsumsi cairan panas atau dingin
sebelum pengukuran suhu oral.

Secara klinis, ada tiga jenis suhu tubuh: suhu tubuh inti pasien, bagaimana pasien
mengatakan perasaan mereka, dan suhu tubuh permukaan atau bagaimana perasaan pasien untuk
disentuh. Yang penting, ketiganya tidak selalu sama dan mungkin berbeda sesuai dengan proses
penyakit yang mendasarinya. Perawat harus dapat menafsirkan temuan penilaian yang
bertentangan seperti ini mengingat patofisiologi yang mendasari pasien.

Saat mengukur suhu tubuh, sejumlah faktor harus dipertimbangkan. Tidak hanya alat
pengukur harus dikalibrasi dengan benar, tetapi perawat juga harus menyadari perbedaan suhu
inti antara situs anatomi. Sebagai contoh, sebuah penelitian menemukan perbedaan signifikan
dalam akurasi dan konsistensi beberapa perangkat yang biasa digunakan untuk mengukur suhu
timpani, oral, listrik oral dan arteri temporal. Ini menyoroti pentingnya kalibrasi rutin,
penggunaan yang benar, dokumentasi yang akurat (situs pengukuran dan pembacaan suhu) dan
konsistensi (menggunakan situs yang sama) sebagai cara mengidentifikasi suhu inti pasien secara
akurat. Tidak ada hanya termometer atau tempat pengukuran yang direkomendasikan sebagai
praktik terbaik, tetapi untuk memastikan akurasi dan praktik yang aman, perawat harus
mengetahui faktor-faktor tersebut.

b. Nadi
Denyut nadi didefinisikan sebagai ekspansi ritme teraba dari arteri yang dihasilkan oleh
peningkatan volume darah yang didorong ke dalam pembuluh oleh kontraksi dan relaksasi
jantung. Denyut nadi dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk usia, kondisi medis yang ada
(mis. Demam), obat-obatan (mis. Beta-blocker) dan status cairan (mis. Hiper / hipovolemia).
Perawat harus menyadari bahwa denyut nadi tidak selalu merupakan cerminan dari kontraktilitas
atau keluaran jantung; dalam kasus stenosis aorta, misalnya, nadi mungkin lemah meskipun
terdapat kontraksi jantung yang kuat.

Denyut nadi juga tidak boleh dianggap sama dengan detak jantung, yang sebenarnya
merupakan karakteristik nadi terukur. Ketika denyut nadi teraba, karakteristik selain laju juga
perlu dinilai. Ini termasuk kekuatan atau amplitudo denyut nadi, persamaan denyut nadi perifer,
dan keteraturan denyut nadi. Ini memberikan informasi lebih lanjut kepada perawat tentang
kondisi pasien atau respons terhadap perawatan klinis.

Ada perdebatan dalam literatur tentang apakah denyut nadi harus dinilai selama 15 detik
atau lebih. Menghitung nadi selama 30 detik atau kurang berpotensi menimbulkan masalah
karena nadi tidak teratur mungkin tidak terdeteksi selama interval ini. Menggunakan periode
waktu pendek, seperti ini, juga telah terbukti meningkatkan kesalahan perhitungan empat hingga
enam kali lipat. Perawat seharusnya tidak mengandalkan pulse oksimeter untuk menentukan
denyut nadi pasien. Sebaliknya, mereka harus menggunakan pengetahuan dan keterampilan
penilaian fisik mereka untuk secara akurat menilai denyut nadi. Misalnya, jika denyut nadi tidak
teratur atau pasien kedinginan atau hipovolemik, oksimeter denyut nadi mungkin memberikan
pembacaan yang tidak akurat. Ketergantungan pada teknologi untuk melakukan pengamatan
dapat merusak perawatan pasien, karena petunjuk lain yang jelas tentang kondisi pasien dapat
dengan mudah dilewatkan.

c. Tekanan darah

Tekanan darah mengacu pada tekanan yang diberikan oleh darah terhadap dinding arteri.
Ini dipengaruhi oleh curah jantung, resistensi pembuluh darah perifer, volume darah dan
viskositas dan elastisitas dinding pembuluh darah. TD adalah tanda vital yang penting untuk
diukur karena memberikan refleksi aliran darah ketika jantung berkontraksi (sistol) dan rileks
(diastole). Ini juga salah satu dari banyak indikator pengiriman oksigen seluler.

Perubahan atau tren tekanan darah dapat mencerminkan patofisiologi yang mendasarinya
atau upaya tubuh untuk mempertahankan homeostasis. Penurunan TD, misalnya, telah ditemukan
sebagai tanda umum pada pasien sebelum henti jantung. Namun, perubahan TD saja tidak
mengindikasikan bahwa pasien akan mengalami serangan jantung, tetapi harus memicu perawat
untuk melakukan penilaian yang lebih rinci. Jika pembacaan TD secara konsisten meremehkan
tekanan diastolik sebesar 5mm Hg, itu bisa mengakibatkan dua pertiga dari pasien hipertensi
tidak diberikan pengobatan pencegahan.

Dalam sebuah penelitian terhadap 95% yang membandingkan monitor digital dan aneroid
dengan sphygmomanometer, hanya 34% dari tekanan darah sistolik yang diukur dengan
perangkat digital berada dalam 5 mm Hg dari sphygmomanometer. Monitor TD otomatis juga
tidak boleh digunakan sebagai 'generator nomor acak'. Jika salah satu dari mesin ini mencatat
pengukuran TD yang berada di luar rentang normal, mudah bagi perawat untuk melakukan
pembacaan lain menggunakan mesin dan terus melakukannya, sampai nilai dalam kisaran normal
diperoleh. Praktek ini menunjukkan kurangnya pemikiran kritis dan juga dapat didefinisikan
sebagai kesalahan profesional. Tanda-tanda vital yang dicatat oleh seorang perawat harus
merupakan cerminan sejati dari kondisi pasien. Dalam situasi di mana monitor otomatis
memberikan pembacaan TD yang bervariasi, TD harus dinilai menggunakan
sphygmomanometer. Dalam tinjauan sistematis, penggunaan auskultasi untuk memastikan
pengukuran TD yang akurat direkomendasikan.

d. Tingkat pernapasan

Laju pernapasan adalah pengamatan awal yang penting dan pengukurannya yang akurat
adalah bagian mendasar dari penilaian pasien. Pengukuran laju pernapasan meliputi sejumlah
tujuan, seperti menjadi penanda awal asidosis. Ini juga merupakan salah satu indikator penyakit
kritis yang paling sensitif. Peningkatan dari tingkat normal pasien, bahkan tiga hingga lima napas
per menit adalah tanda awal dan penting dari gangguan pernapasan dan potensi hipoksemia.

Meskipun demikian, penelitian telah menemukan bahwa laju pernapasan sering tidak
dicatat dalam pengaturan klinis atau hanya dugaan. Ini mengganggu mengingat bahwa tingkat
pernapasan abnormal adalah prediktor terbaik dari efek samping yang akan datang seperti henti
jantung. Mungkin karena itu perawat mengasumsikan bahwa saturasi oksigen memberikan
refleksi yang lebih besar dari fungsi pernapasan pasien atau karena tidak ada mesin otomatis
untuk mengukur laju pernapasan.

Pada pasien yang sakit akut, laju pernapasan harus dihitung satu menit penuh, bukan 30
detik dan kemudian berlipat ganda. Dalam mengukur laju pernapasan, polanya juga harus dinilai
dan diklasifikasikan sebagai eupnoea, tachypnoea, bradypnoea atau hypopnoea. Memberi label
demikian mendorong perawat untuk melakukan lebih dari sekadar menghitung angka, dan
mempertimbangkan mengapa laju pernapasan mungkin cepat atau lambat. Perawat juga harus
menilai. upaya pernapasan (kedalaman inspirasi dan penggunaan otot-otot tambahan) dan
persamaan ekspansi toraks.

e. Saturasi oksigen (SpO2)

Oksimeter denyut adalah alat klinis yang sangat berharga dan mudah digunakan.
Penelitian menunjukkan bahwa pulse oksimetri berguna untuk mendeteksi perubahan kondisi
yang mungkin terlewatkan, yang mengakibatkan perubahan manajemen pasien dan pengurangan
jumlah pengawasan yang dilakukan. Untuk menghindari kesalahan dengan penggunaannya,
perawat harus memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keakuratannya, tetapi penelitian
telah menunjukkan bahwa pengetahuan ini sering kurang. Secara khusus, perawat harus
memahami fisiologi pernapasan, cara menilai sirkulasi perifer dan kurva disosiasi
oksihaemoglobin.

Untuk bekerja secara efektif, pulse oksimetri membutuhkan aliran darah perifer yang
memadai. Aliran ini dapat terganggu oleh faktor-faktor seperti pergerakan pasien (mis. Tremor,
menggigil), hipovolemia, hipotermia, aritmia, vasokonstriksi atau gagal jantung. Pembacaan
SpO2 juga dapat menyesatkan jika pasien mengalami anemia, karena oksimeter tidak mengukur
tingkat hemoglobin pasien, dan pasien anemia mungkin memiliki SpO2 normal meskipun
memiliki potensi yang lebih rendah untuk membawa oksigen. Untuk alasan ini, perawat tidak
boleh mengandalkan SpO2 sebagai satu-satunya indikator oksigenasi jaringan pasien. Penilaian
lain, seperti laju pernapasan dan pengukuran TD, juga harus dilakukan.
f. Rasa sakit

Pasien harus sering dinilai untuk mengetahui adanya rasa sakit dan harus segera diobati
dan efektif. Untuk beberapa waktu, rasa sakit telah digambarkan sebagai tanda vital keenam dan
ini mencerminkan pentingnya dalam penilaian keperawatan dan perawatan pasien. Nyeri juga
merupakan kondisi pasien yang peka terhadap penilaian perawat, yang berarti bahwa
manajemennya yang sukses berhubungan langsung dengan kualitas asuhan keperawatan yang
diberikan. Oleh karena itu, perawat harus membuat penilaian nyeri sebagai bagian rutin dari
perawatan mereka, daripada menunggu pasien untuk mengekspresikan rasa sakit mereka.
Penelitian juga menemukan bahwa manajemen nyeri yang tepat menghasilkan penurunan
lamanya tinggal di rumah sakit dan peningkatan hasil fungsional.

Namun, penelitian menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri terlalu sering di rumah
sakit dan ini bisa jadi karena perawat tidak menilai atau mengelolanya sebagaimana mestinya. Ini
sebagian dijelaskan oleh gangguan yang sering terjadi selama perawatan, menyebabkan
keterlambatan antara penilaian nyeri dan pemberian analgesik. Gangguan ini dapat terjadi karena
faktor sistem di luar kendali perawat seperti beban kerja klinis: rasio pasien, meskipun
kesenjangan pengetahuan juga berkontribusi.Penilaian rasa sakit sangat penting, karena
memberikan satu-satunya cara untuk memastikan bahwa metode manajemen tepat dan efektif.
Penilaian juga penting dalam menentukan penyebab rasa sakit dan mengevaluasi efektivitas
analgesik. Namun, hanya karena seorang perawat tidak bekerja di bangsal bedah akut, ia tidak
diizinkan memiliki keterampilan penilaian nyeri yang baik.

g. Tingkat kesadaran

Karena banyak faktor yang dapat mengubah tingkat kesadaran pasien, perawat harus
menilai secara rutin bersama dengan tanda-tanda vital lainnya. Defisit kognitif sering luput
dalam presentasi mereka dan dapat dengan mudah diabaikan oleh perawat yang berfokus pada
masalah fisik yang lebih jelas, seperti nyeri parah. Akan tetapi, banyak perawat tidak memiliki
pemahaman yang baik tentang mekanisme yang mendasari yang menghasilkan tingkat kesadaran
yang berubah. Sebagai contoh, perubahan halus dalam kepribadian pasien seperti pasien yang
tiba-tiba atau agresif dapat menyarankan penarikan alkohol, hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia,
hipotensi atau efek samping obat (mis. Benzodiazepin, anxiolitik, opioid.
Perawat tidak perlu melakukan penilaian neurologis penuh sebagai bagian dari
pengukuran tanda vital mereka, namun, tingkat kesadaran harus menjadi bagian dari penilaian
pasien rutin. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa hanya karena pasien tidak memiliki kondisi
neurologis primer, sistem saraf pusatnya tidak akan terganggu oleh proses penyakit mereka.
Perawat harus selalu waspada terhadap perubahan neurologis yang halus pada pasien mereka,
yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Glasgow Coma Scale adalah alat yang paling
umum untuk menilai tingkat kesadaran.

h. Output urin

Output urin merupakan refleksi tidak langsung dari fungsi ginjal dan status cairan, oleh
karena itu, harus dipantau secara ketat pada pasien yang sakit akut. Keluaran urin bukanlah
indikator absolut untuk gagal ginjal, tetapi mungkin merupakan indikator klinis pertama dari
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang jika tidak diobati dapat menyebabkan gagal ginjal.
Dalam sebuah penelitian lebih dari 2000 rawat inap berturut-turut, 5% pasien mengalami gagal
ginjal akut, dengan penyebab utama adalah hipoperfusi (mis. Hipotensi, disfungsi jantung) dan
operasi besar. Pada gagal ginjal akut yang didapat di rumah sakit, hipoperfusi adalah penyebab
paling umum. Pasien yang paling mungkin mengalami gagal ginjal akut adalah pasien dengan
perfusi ginjal yang buruk, disfungsi ginjal yang sudah ada sebelumnya, diabetes mellitus, sepsis,
penyakit pembuluh darah dan penyakit hati.

Untuk orang dewasa, output urin normal setidaknya 0,5 ml / kg / jam. Pada pasien yang
dikateterisasi, keluaran kurang dari 0,5 ml / kg / jam selama 2 jam berturut-turut merupakan
penanda hipoperfusi ginjal dan harus memicu penilaian dan tindakan lebih lanjut. Perlu juga
dicatat, bahwa gagal ginjal akut dapat terjadi meskipun volume urin yang diproduksi normal.
Mungkin sulit untuk memantau pengeluaran urin dengan cermat jika pasien tidak memiliki
kateter urin yang menetap. Oleh karena itu, pasien yang berisiko tinggi mengalami gagal ginjal
akut harus memasukkan kateter urin, terutama karena penurunan urin yang tiba-tiba dan cepat
jarang merupakan tanda dehidrasi sederhana yang akan dikoreksi dengan cairan. Jika pasien
tidak dapat dikateterisasi, maka bagan keseimbangan cairan harus dipertahankan, yang jelas
membutuhkan kerja sama pasien. Perawat juga harus memperhatikan karakteristik urin lainnya
seperti warna, sedimen, bau dan gravitasi spesifik.
Kesimpulan

Interpretasi data dari penilaian sangat penting dalam menentukan tingkat perawatan yang
dibutuhkan pasien, menyediakan perawatan dan mencegah pasien memburuk dari penyebab yang
sebaliknya dapat dicegah. Karena pasien di rumah sakit saat ini lebih sakit daripada di masa lalu,
perawat tidak dapat lagi mengandalkan lima tanda vital tradisional untuk mengidentifikasi
perubahan klinis pada pasien. Perawat tidak hanya harus tahu cara mengukur tanda-tanda vital
ini secara akurat, mereka juga harus tahu bagaimana menafsirkan dan menindaklanjutinya.
Selain itu, perawat harus memasukkan tanda-tanda vital tambahan ketika melakukan penilaian
pasien.

KESESUAIAN TIPE TENSIMETER AIR RAKSA DAN TENSIMETER DIGITAL


TERHADAP PENGUKURAN TEKANAN DARAH PADA USIA DEWASA
Tanda vital merupakan suatu parameter tubuh yang berfungsi untuk menilai fungsi
fisiologis organ vital tubuh yang terdiri dari tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan
suhu tubuh. Salah satu pemeriksaan tanda vital yang paling sering dan mudah dilakukan yaitu
pemeriksaan tekanan darah. Tekanan darah merupakan faktor yang penting pada sistem sirkulasi
tubuh manusia. Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Diketahui
tekanan sistolik adalah tekanan puncak yang terjadi pada saat ventrikel berkontraksi dan tekanan
diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi pada saat jantung beristirahat. Nilai tekanan darah
sangat bervariasi bergantung pada keadaan, akan meningkat pada aktivitas fisik, emosi, dan
stress dan turun selama tidur. Samuel Siegfried Karl Ritter von Basch adalah seorang dokter
berkebangsaan Austria yang pertama kali menemukan sebuah alat yang dapat digunakan untuk
mengukur tekanan darah pasien pada tahun 1881 yaitu Sphygmomanometer (tensimeter).
Menurut Sustrani, dkk (2005) ada tiga tipe tensimeter yaitu tipe aneroid, air raksa dan digital.
Tensimeter air raksa adalah yang paling umum digunakan terdiri dari manset yang bisa
digembungkan dan dihubungkan dengan tabung panjang berisi air raksa. Tensimeter digital
merupakan alat pengukur tekanan darah terbaru dan lebih mudah digunakan dimana hasil data
dikonversikan oleh mikroprosesor menjadi bacaan tekanan darah (Harjoko , N.Yazid. 2011).
Menurut Komisi Kesehatan Uni Eropa memberlakukan peraturan sejak 3 April 2009 bahwa
penggunaan alat kesehatan yang mengandung air raksa dilarang dan berdasarkan penelitian tahun
2011 yang dilakukan di Oxfordshire Primary Care Trust menunjukkan bahwa
Sphygnomanometer digital yang digunakan mempunyai nilai keakuratan paling tinggi
dibandingkan dengan sphygmomanometer air raksa (Christine A’Court, Richard Stevens, dkk
2011) Namun, keakuratan pengukuran tensimeter digital bergantung kepada daya tahan baterai
yang digunakan. Penggunaan merek tensimeter air raksa dan digital yang digunakan dan juga
kalibrasi yang tidak dilakukan berkala bisa mempengaruhi hasil pengukuran.
Penelitian ini merupakan penelitian observational analitik menggunakan desain cross-
sectional. Subjek penelitian sebanyak 50 mahasiswa berusia 20-22 tahun. Dilakukan pengukuran
sebanyak 3 kali pada setiap jenis tensimeter, diambil nilai rata-rata hasil pengukuran kemudian
diolah dengan menggunakan uji Kappa.
Hasil yang didapatkan Nilai rata-rata tekanan darah sistolik pada tensimeter air raksa
108,26 mmHg; 114,30 mmHg pada tensimeter digital dengan uji Kappa didapatkan nilai
kesesuaian derajat baik yaitu k = 0,782 (0,61-0,80). Nilai rata-rata tekanan darah diastolik pada
tensimeter air raksa 73,93 mmHg; 73,65 mmHg pada tensimeter digital dengan uji Kappa nilai
didapatkan nilai kesesuaian derajat cukup k = 0,565 (0,41-0,60). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat kesesuaian pengukuran tekanan darah sistolik dengan menggunakan tensimeter
air raksa dan tensimeter digital. Didapatkan juga kesesuaian pengukuran tekanan darah diastolik
dengan menggunakan tensimeter air raksa dan tensimeter digital. Sehingga, terdapat kesesuaian
pengukuran tekanan darah sistolik dan diastolik dengan menggunakan tensimeter air raksa dan
tensimeter digital pada usia dewasa.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TEKANAN


DARAH PADA PEKERJA SHIFT DAN PEKERJA NON-SHIFT DI PT. X
GRESIK
Tekanan darah merupakan faktor yang sangat penting pada sistem sirkulasi. Terdapat dua
macam kelainan tekanan darah yakni dikenal dengan hipertensi atau tekanan darah tinggi dan
hipotensi atau tekanan darah rendah. Banyak faktor yang meningkatkan risiko atau
kecenderungan seseorang menderita hipertensi salah satunya kerja shift. Dalam sebuah penelitian
di kalangan pekerja pabrik laki-laki di Malaysia menunjukkan bahwa prevalensi penyebab shift
kerja dengan kejadian hipertensi secara signifikan lebih tinggi pada pekerja shift dibandingkan
dengan pekerja non-shif. Hasil pemeriksaan Medical Check Up tahun 2017 menunjukkan bahwa
pekerja di PT. X Gresik baik pekerja shift dan pekerja non-shift dinyatakan berisiko hipertensi
sebesar 15.75% (26 pekerja). Tujuannya mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
tekanan darah pada pekerja shift dan pekerja non- shift di PT. X Gresik. Desain penelitian ini
cross-sectional dengan 44 subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok yang dipilih secara
purposive sampling. Data yang diambil melalui pengukuran dan kuesioner. Analisis univariat
dengan crosstabulation. Analisis bivariat dengan uji chi-squared dan spearmen correlation. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift dan pekerja non-shift yang memiliki tekanan darah
normal sebesar 34.1 %, prehipertensi sebesar 52.2%, dan hipertensi tahap 1 sebesar 13.6%.
Dalam penelitian ini riwayat penyakit keluarga dan indeks massa tubuh berhubungan secara
statistik dengan tekanan darah ( p < 0.05). Sedangkan usia, tingkat pendidikan, stress kerja,
aktivitas fisik, konsumsi kafein, konsumsiobat-obatan, dan kebiasaan merokok tidak
berhubungan secara statistik dengan tekanan darah (p > 0.05). Berdasarkan penelitian ini maka
saran yang diberikan adalah bagi perusahaan dapat menyediakan pelayanan kesehatan rutin dan
bagi pekerja dapat mengontrol tensi darah secara rutin serta mengatur pola makan dengan gizi
seimbang.
Hasil
Berdasarkan hasil uji stastistik antara usia dengan tekanan darah pada pekerja shift dan
pekerja non-shift dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0.291). Hasil
tersebut tidak sesuai dengan teori dari Bustan (1997) menyebutkan ditemukan kecenderungan
peningkatan prevalensi menurut usia dan disebabkan karena tekanan arterial meningkat sesuai
dengan bertambahnya usia, terjadinya regurtasi aorta, serta adanya generatif yang lebih sering
pada usia tua. Teori lain mengatakan hal yang sama bahwa pada umumnya penderita hipertensi
adalah orang-orang berusia di atas 40 tahun, namun tidak menutup kemungkinan diderita oleh
usia muda. Sebagian besar prehipertensi terjadi pada usia 25-45 tahun dan hanya pada 20%
terjadi di bawah usia 20 tahun dan di atas 50 tahun. Hal ini disebabkan karena usia produktif
jarang memperhatikan kesehatan, seperti pola makan dan pola hidup yang kurang sehat seperti
merokok (Dhaningtyas & Hendrati 2006). Hubungan antara riwayat penyakit keluarga dengan
tekanan darah pada pekerja shift dan pekerja non-shift, maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan (p=0.039). Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa
Riwayat keluarga merupakan faktor bawaan yang menjadi pemicu timbulnyahipertensi, terutama
hipertensi primer. Jika dalam keluarga seseorang hipertensi, ada 25% kemungkinan orang
tersebut terserang hipertensi. Apabila kedua orang tua mengidap hipertensi, kemungkinan
hipertensi naik menjadi 60% (Iskandar, 2010). Hubungan antara indeks massa tubuh dengan
tekanan darah pada pekerja shift dan pekerja non-shift, maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan (p=0.006). Sejalan dengan penelitian (Korneliani and Meida 2012)
bahwa obesitas berisiko terkena hipertensi sebesar 4,02 kali dibandingkan orang yang tidak
obesitas. Ketika berat badan bertambah, yang diperoleh kebanyakan adalah jaringan berlemak,
jaringan ini mengandalkan oksigen dan nutrisi di dalam darah untuk bertahan hidup. Semakin
banyak darah yang melintasi arteri, semakin bertambah tekanan yang diterima oleh dinding-
dinding arteri tersebut. Hampir semua orang yang kelebihan berat badan sebanyak 20% pada
akhirnya akan menderita tekanan darah tinggi.
Diketahui rata-rata pendidikan terakhir pekerja shift dan non-shift dominan dalam
kategori pendidikan SMA. Berdasarkan hasil uji statistik antara tingkat pendidikan dengan
tekanan darah pada pekerja shift dan pekerja non-shift maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan (p=0.521). Hal tersebut bertolak belakang dengan penelitian Anggara dan Nanang
(2012) menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian hipertensi
(p=0,042). Hal tersebut tidak disebabkan perbedaan tingkat pendidikan,namun tingkat
pendidikan berpengaruh terhadap gaya hidup sehat dengan tidak merokok, tidak minum alkohol,
dan lebih sering berolahraga (Yuliarti, 2007). Tinggi risiko terkena hipertensi pada pendidikan
yang rendah, kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan pada pekerja yang
berpendidikan rendah terhadap kesehatan dan sulit atau lambat menerima informasi yang
diberikan sehingga berdampak pada perilaku atau pola hidup sehat (Anggara dan Nanang (2012).
Berdasarkan hasil uji statistik antara stress kerja dengan tekanan darah pada pekerja shift dan
pekerja non-shift, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p=0.873).
Hal tersebut berlawanan dari penelitian di Bantul memperoleh hasil bahwa stres kerja khususnya
stres kerja berat berhubungan secara signifikan dengan hipertensi (p=0,04), pekerja yang stres
kerja berat berisiko 1,54 kali menderita hipertensidibandingkan dengan pekerja yang tidak stres
Rundengan 2005). Dari hasil observasi PT. Petrosida Gresik hubungan kerja secara psikologis
cukup memiliki interaksi kerja yang etos. Selain itu, sudahada program kebugaran yaitu senam
rutin secara tidak langsung program tersebut dapat membantu mengurangi rasa stress saat
bekerja.
Hasil uji statistik korelasi spearman pada tabel 5.18 antara aktivitas fisik dengan tekanan
darah pada pekerja shift dan pekerja non-shift dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan (p= 0.338). Berdasarkan pustaka aktivitas fisik yang kurang akan meningkatkan risiko
terjadinya peningkatan tekanan darah/ hipertensi, dan sebaliknya (Lewa. dkk., 2010).
Berkebalikan dari hasil penelitian yang ada Khairani (2003) di mana terdapatnya hubungan yang
signifikan antara aktivitas fisik dengan hipertensi. Responden yang aktifitas fisiknya rendah
memiliki risiko mengalami hipertensi sebesar 3,154 kali dibandingkan dengan responden yang
memiliki aktivitas yang tinggi. Perbedaan tersebut berbeda pada definisi operasionalnya, di mana
aktivitas fisik dibagi 2 kategori yaitu tinggi dan rendah namun dengan menggunakan skor.
Sedangkan pada penelitian ini membagi aktivitas fisik menjadi 3 kategori yaitu ringan, sedang,
dan berat. Berdasarkan hasil uji statistik antara konsumsi kafein dengan tekanan darah, maka
dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan (p=0.383). Sebagaimana disebutkan oleh
Bertrand dkk., dalam Uiterwaal, (2007) tidak ada hubungan antara kopi dengan hipertensi.
Hubungan antara kebiasaan minum kafein khususnya kopi sebagai penyebab hipertensi
memerlukan waktu penelitian dalam jangka waktu yang sangat panjang. Meskipun ada juga
berdasarkan hasil penelitian eksperimental yang menunjukkan hasil bahwa kafein yang terdapat
pada kopi dapat meningkatkan kadar plasma beberapa stres hormon yang diketahui dapat
meningkatkan tekanan darah (Winkelmayer 2005). Sehingga untuk melakukan penelitian
mengenai konsumsi sehari-hari baik dilakukan dengan penelitian eksperimental dibandingkan
dengan penelitian yang cross sectional. Berdasarkan hasil uji statistik antara konsumsi obat-
obatan dengan tekanan darah, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan
(p=0.308). Sebagaimana penelitian yang dilakukan Kristanti (2015) membuktikan bahwa pasien
yang diberikan obat antihipertensi sejenis Hidroklorotiazid,Kaptopril, Amlodipin, mengalami
penurunan tekanan darah secara bermakna antara hari ke-1 dengan hari ke-30. Hal ini masih
tidak bisa menggambarkan kejadian peningkatan tekanan darah secara crossectional, sebab untuk
mengetahuinya diperlukan waktu yang panjang dan eksperimental secara keberlanjutan.
Berdasarkan hasil uji statistik antara kebiasaan merokok dengan tekanan darah, maka
dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan (p= 0.425). Berdasarkan penelitian lain
yang sejalan, dimana tidak didapatkan hasil yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan
hipertensi seperti yang dilakukan oleh Wahyuni, (2000) yang hanya menggunakan sampel
sebanyak 72 responden. Pada penelitian Fatmaningsih ,(2008) didapatkan hasil yang tidak
signifikan juga, walaupun sampel yang digunakan lebih besar sebanyak 313responden. Dengan
demikian perbedaan besar atau kecilnya sampel yang bervariasi tidak dapat menunjukkan hasil
yang signifikan bermakna antara kebiasaan merokok dengan hipertensi. Hal ini dimungkinkan
perlu dilakukan penelitian eksperimental dan waktu yang panjang.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari pembahasan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
tekanan darah pada pekerja shift dan pekerja non-shift di PT. Petrosida Gresik, maka dapat
disimpulkan bahwa dengan terdapat hubungan pada riwayat penyakit keluarga dengan tekanan
darah memiliki hubungan bermakna (p= 0.006) dan indeks massa tubuh dengan tekanan darah
memililki hubungan bermakna (p=0.039). Sedangkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
pada usia, tingkat pendidikan, stress kerja, aktivitas fisik, konsumsi kafein, konsumsi obatobatan,
dan kebiasaan merokok dengan naik turunnya tekanan darah.
PENGARUH POSISI DUDUK DAN BERDIRI TERHADAP TEKANAN DARAH
SISTOLIK DAN DIASTOLIK PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL KABUPATEN
MINAHASA UTARA

Tekanan darah adalah tekanan dari darah yang dipompa oleh jantung terhadap dinding
arteri yang merupakan kekuatan pendorong bagi darah agar dapat beredar ke seluruh tubuh untuk
memberikan darah segar yang mengandung oksigen dan nutrisi ke organ-organ tubuh. Tekanan
darah merupakan faktor yang dapat dipakai sebagai indikator untuk menilai sistem
kardiovaskuler. Tekanan darah seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah
perubahan posisi tubuh dan aktivitas fisik.

Tekanan darah bisa bervariasi bahkan pada orang yang sama misalnya pada saat
berolahraga. Olahraga akan menyebabkan tekanan darah meningkat untuk waktu yang singkat
dan akan kembali normal ketika berhenti berolahraga. Tekanan darah dalam satu hari juga
berbeda yaitu pada waktu pagi hari tekanan darah lebih tinggi dibandingkan saat tidur malam
hari. Selain itu, faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan tekanan pada pembuluh darah
adalah posisi tubuh dimana perubahan tekanan darah pada posisi tubuh dipengaruhi oleh faktor
gravitasi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan


rancangan potong lintang yang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2015 di Kompleks Kantor Bupati
Minahasa Utara, Airmadidi dengan sampel berjumlah 42 orang yang memenuhi kriteria sebagai
Pegawai Negeri Sipil yang mengabdi untuk Kabupaten Minahasa Utara.

Pada penelitian ini, variabel bebas ialah posisi duduk dan posisi berdiri sedangkan
variabel terikat adalah tekanan darah. Prosedur penelitian yaitu dilakukan pemilihan Pegawai
Negeri Sipil yang akan dijadikan sampel. Pegawai Negeri Sipil yang bersedia untuk menjadi
responden maka diminta untuk menandatangani formulir persetujuan informed consent.

Alat dan bahan yang digunakan untuk pemeriksaan antara lain sfigmomanometer air
raksa, stetoskop, dan alat tulis menulis. Teknis analisis data yang digunakan berupa analisis
univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari
variabel dependent dan variabel independent. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hasil
pengukuran tekanan darah antara posisi duduk dan posisi berdiri. Analisis bivariat dianalisis
dengan menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian, pada analisa univariat didapatkan hasil bahwa subyek
penelitian terbagi menjadi 4 kelompok usia yakni usia dibawah atau sampai dengan 30 tahun, 31-
40 tahun, 41-50 tahun dan 51-60 tahun. Kelompok usia terbanyak terdapat pada usia antara 31-
60 tahun dengan jumlah 16 orang (38,09 %), sedangkan kelompok usia paling sedikit adalah
dibawah atau sampai dengan 30 tahun dengan jumlah 5 orang (11,91 %). Untuk jenis kelamin,
Subyek terbanyak yaitu laki-laki dengan jumlah 22 orang (52,38 %) sedangkan perempuan 20
orang (47,62 %).

Pengukuran tekanan darah sistolik pada posisi duduk menunjukkan tekanan darah
terendah 92 mmHg dan tertinggi 160 mmHg dengan nilai rata-rata 117,9841±12,5877 mmHg,
sedangkan pada posisi berdiri menunjukkan tekanan darah terendah 105,33 mmHg dan tertinggi
165,33 mmHg dengan nilai rata-rata 124,7302±11,9546 mmHg. Hasil tersebut menunjukkan
terdapat perbedaan nilai tekanan darah sistolik pada posisi duduk dan posisi berdiri yang mana
perubahan yang terjadi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dari posisi duduk ke posisi
berdiri.

Pengukuran tekanan darah diastolik pada posisi duduk menunjukkan tekanan darah
terendah 64 mmHg dan tertinggi 102,67 mmHg dengan nilai rata-rata 79,2698±9,0656 mmHg,
sedangkan untuk posisi berdiri menunjukkan tekanan darah terendah 70,67 mmHg dan tertinggi
110,67 mmHg dengan nilai rata-rata 87,5238±8,6639 mmHg. Hasil tersebut menunjukkan
perbedaan nilai tekanan darah diastolik pada posisi duduk dan posisi berdiri dimana perubahan
yang terjadi ialah peningkatan tekanan darah diastolik dari posisi duduk ke posisi berdiri.

Berdasarkan hasil analisa bivariat dengan menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test
pada penelitian ini didapatkan perbedaan hasil pengukuran tekanan darah antara posisi duduk
dan posisi berdiri menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan dengan nilai p=0,000<α =
0,05.

Apabila seseorang dalam posisi berdiri, tekanan intravaskular di semua tempat menjadi
sama dengan tekanan yang dihasilkan oleh kontraksi jantung di tambah tekanan tambahan sama
dengan berat kolom darah dari jantung ke titik pengukuran.

Peningkatan tekanan akibat gravitasi mempengaruhi volume sirkulasi darah efektif


melalui beberapa cara. Pertama, peningkatan tekanan hidrostatik yang terjadi di kaki ketika
seseorang berdiri akan mendorong keluar dinding vena sehingga menyebabkan distensi.
Hasilnya adalah mengumpulnya darah di pembuluh vena. Pada posisi duduk, pusat gravitasi
berada pada bagian anterior ischia dan sekitar 25 % berat badan ditransmisikan ke bawah melalui
ekstremitas bawah sehingga anggota tubuh dalam keadaan rileks

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengukuran tekanan darah sistolik maupun
diastolik antara posisi duduk dan posisi berdiri berbeda bermakna dimana terjadi peningkatan
tekanan darah sistolik maupun diastolik dari posisi duduk ke posisi berdiri.
PENTINGNYA PENGAWASAN TANDA-TANDA VITAL BERKESINAMBUNGAN
UNTUK MENINGKATKAN KESELAMATAN PASIEN DI UNIT MEDIS / BEDAH

Kegagalan untuk menyelamatkan (Failure to Rescue) didefinisikan sebagai jumlah


kematian pada pasien yang mengalami komplikasi pasca operasi dan merupakan salah satu
metrik yang direkomendasikan oleh Forum Kualitas Nasional sebagai ukuran kualitas rumah
sakit (www.qualityforum.org/QPS). Telah dibuktikan bahwa ada tanda-tanda yang jelas dari
kemunduran kondisi pasien beberapa jam sebelum kejadian seperti henti jantung paru (Schein et
al 1990). Penilaian berkala terhadap tanda-tanda vital multi-parameter telah terbukti penting
dalam mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami efek samping yang serius, memberikan
waktu untuk intervensi keperawatan untuk mencegah FTR (Storm-Versloot et al. 2014).

Pembahasan

Contoh intervensi yang diprakarsai dari kewaspadaan terhadap vital sign :

Tekanan darah : Perawat menerima peringatan bahwa tekanan darah rendah setelah dosis
pertama obat baru diberikan. Dokter langsung diberitahu, tes tambahan dilakukan dan obat
dihentikan.

Detak Jantung : Perawat disiagakan dengan alarm Heart Rate yang tinggi dan dokter diberitahu.
Pasien didiagnosis dengan fibrilasi atrium baru dan dirawat secara medis.

Tingkat pernapasan : Perawat menerima peringatan Respiration Rate untuk pasien yang
membutuhkan CPAP. Saat mengunjungi kamar pasien ditemukan bahwa peralatan CPAP telah
gagal fungsi, mengakibatkan panggilan untuk memperbaiki peralatan.

SpO2 : Perawat disiagakan dengan SpO2 rendah (69%). Pada pemeriksaan ditemukan bahwa
pasien telah melepas kanula O2 karena pergi ke kamar mandi dan tidak menggantinya. Pasien
dan keluarga dididik tentang pentingnya mempertahankan O2 dan tabung ekstensi disediakan
untuk memungkinkan pasien mencapai kamar mandi tanpa melepas kanula.

Studi ini menunjukkan bahwa pemantauan pasien secara terus menerus dan multi-
parameter dapat dilakukan pada unit medis / bedah dengan tingkat peringatan suara yang kecil
dan sesuai. Penilaian tanda vital berkelanjutan dalam beberapa kasus telah menjadi intervensi
keperawatan yang mencegah keterlambatan penyelamatan. Perawat yang disurvei sepakat
dengan suara bulat bahwa pengawasan tanda vital berkelanjutan akan membantu meningkatkan
keselamatan pasien.

Relevansi dengan praktik klinis

Respon perawatan terhadap tanda-tanda vital yang abnormal adalah salah satu tugas yang
paling penting dalam keselamatan pasien. Pengawasan keperawatan yang rajin, suatu proses
yang melibatkan penilaian, interpretasi data, pengenalan masalah dan respons yang bermakna
(DeVita et al. 2011). Pemantauan tanda vital noninvasif terus menerus dikombinasikan dengan
pemberitahuan alarm yang bermakna, memungkinkan perawat untuk bergerak melampaui intuisi
penilaian terhadap praktik berbasis bukti, menggunakan data tren fisiologis untuk intervensi tepat
waktu, pada tanda-tanda awal kemunduran kondisi pasien. Analisis intervensi keperawatan
terhadap alarm dari tanda-tanda vital abnormal akan menghasilkan pengetahuan baru tentang
cara terbaik untuk mengidentifikasi dan merespons tanda-tanda awal kemunduran kondisi pasien.
Ini akan meningkatkan keamanan dan memajukan praktik keperawatan.

STANDAR UNTUK MENILAI, MENGUKUR DAN MEMANTAU TANDA VITAL BAYI,


ANAK ANAK DAN REMAJA

Kriteria praktik
Umum
 Anak, remaja dan / atau orangtua / pengasuh harus menyetujui penilaian tanda vital dan
pengukuran.
 Bila perlu, anak, muda orang dan orang tua / pengasuh harus diberikan kesempatan untuk
membantu praktisi dalam melakukan penilaian tanda vital dan pengukuran (RCPCH,
2016).
 Bayi, anak atau remaja seharusnya diposisikan dengan benar dan nyaman sebelum
penilaian.
 Waktu isi ulang kapiler (Capillary refill time) dapat menjadi tambahan yang berguna
untuk penilaian tanda vital dan pengukuran untuk menilai perfusi perifer dan cardiac
output.
 Alat harus ditempatkan pada posisi yang sesuai dan untuk meminimalkan risiko
kerusakan pada bayi, anak atau remaja
 Untuk remaja, perlu diakukan penilaian kulit untuk menilai tanda-tanda ruam petekie dan

Suhu
 Menanyakan keluhan anak kepada orang tua tentang demam harus dianggap valid
 Jika seorang anak mengatakan mereka kedinginan, terasa dingin juga sentuhan atau jika
kulit tampak berbintik-bintik, harus dilakukan pengukuran suhu
 Suhu harus diukur pada semua anak yang hadir di perawatan kesehatan dengan tanda
penyakit akut
 Rute oral dan rektal tidak boleh secara rutin digunakan untuk mengukur suhu tubuh di
anak-anak berusia 0-5 tahun (NICE, 2013).
 Penggunaan termometer rektal digunakan jika ada diindikasikan secara klinis dengan
menggunakan panduan yang jelas
 Pada bayi di bawah usia empat minggu, suhu harus diukur dengan termometer elektronik
di
 Untuk bayi dan anak-anak berusia empat minggu hingga lima tahun, pengukuran suhu
menggunakan termometer elektronik / kimia yang diletakkan di aksila atau atau
menggunakan temometer infra merah timpani
 Untuk anak-anak lima tahun ke atas, pengukuran suhu menggunakan termometer
elektronik / kimia
 Termometer harus digunakan dalam posisi dan waktu yang tepat, untuk memperoleh
pembacaan yang akurat (Foley, 2015).
Detak jantung / denyut nadi
 Orang tua / wali / spesialis dapat mengalihkan perhatian anak untuk membantu
mengurangi kecemasan saat mengukur nadi
 Stetoskop yang tepat digunakan untuk auskultasi denyut jantung apeks pada anak-anak
yang kurang dari dua tahun.
 Denyut nadi anak yang lebih besar dilakukan/dinilai di pergelangan tangan bagian radial.
Palpasi arteri menggunakan ujung jari pertama dan kedua, menekan dengan kuat pada
lokasi sampai terasa denyut nadi
 Denyut jantung / denyut nadi harus dihitung satu menit dengan memperhatikan laju,
kedalaman, dan ritme.
 Data elektronik harus diperiksa ulang dengan pemeriksaan manual
Pernafasan
 Pola pernapasan normal adalah ringan, santai. Proses fisiologis terganting aktivitas dan
usia anakusia dan aktivitas anak.
 Jika ada indikasi, pemantauan saturasi oksigen berada harus dilakukan dan dicatat secara
bersamaan untuk memberikan data secara lengkap
 Pola, usaha dan laju pernapasan harus diamati dan dicatat.
 Warna kulit, pucat, bintik-bintik, sianosis dan trauma petechia lainnya di sekitar kelopak
mata, wajah dan leher harus diamati dan didokumentasikan.
 Bayi dan anak-anak kurang dari enam hingga tujuh tahun didominasi oleh perut
pernapasan perut. Oleh karena itu bernapas, gerakan perut harus dihitung
 Tanda-tanda gangguan pernapasan misalnya, gerakan cuping hidung, mendengus,
mengitih, stridor, dyspnoea, resesi, penggunaan otot interkostal, bentuk dada dan Gerakan
harus dinilai dengan melihat dan mendengarkan dan temuan didokumentasikan.
 Respirasi harus dihitung selama satu menit.
 Frekuensi penilaian pernapasan dan pengukuran harus ditingkatkan jika kondisi anak
memburuk selama pemberianinfus, atau sehubungan dengan obat lain apa pun yang dapat
menyebabkan hiperventilasi atau apnea.
Misalnya: infus prostaglandin.
Pengukuran tekanan darah
 Sulit untuk mengukur BP manual di bayi dan anak kecil karena mereka tidak mau bekerja
sama atau tetap diam untuk jangka waktu yang cukup. Oleh karena itu, sebuah mesin
elektronik dengan osilometri harus digunakan (Cook dan Montgomery, 2010).
 Gerakan dapat memengaruhi keakuratan suatu mesin tekanan darah elektronik.
 Mesin tekanan darah elektronik harus dalam keadaan kerja yang baik dan digunakan
sesuai untuk
 Mengisap, menangis, dan makan dapat memengaruhi pengukuran tekanan darah dan ini
harus dicatat pada grafik pengamatan / catatan keperawatan.
 Pengukuran tekanan darah dilakukan pada bagian lengan, tetapi jika ini tidak mungkin
pada bayi, kaki bagian bawah dapat digunakan
 Ukuran manset yang benar sangat penting untuk mendapatkan pembacaan yang akurat.
Jika manset terlalu kecil, tekanan darah tinggi yang palsu akan tercatat dan dan
sebaliknya.
 Manset harus berukuran cukup untuk memastikan semua menutupi keliling dari lengan
dan 2/3 dari panjang bagian atas lengan atau kaki.
 Jika pembacaan tekanan darah konsisten tinggi pada mesin maka lakukan pengukuran
tekanan darah secara manual.
BLOOD PRESSURE MEASUREMENT ANNO 2016

Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan dua alat yaitu


sphygmomanometer dan stetoskop. Terdapat dua jenis sphygmomanometeryaitu konvensional
menggunakan sphygmomanometer raksa dan sphygmomanometer digital.

Penelitian ini dilakukan dengan metode tinjauan pustaka mengenai pengukuran tekanan
darah pada pasien yang mengalami hipertensi.

Sphygmomanometer raksa adalah yang paling banyak digunakan dan termasuk pada cara
konvensional. Pada sphygmomanometer konvensional, hipertensi di diagnosa jika ditemukan
hasil pemeriksaan 140/90 mmHg atau lebih. Pengukuran tekanan darah menggunakan
sphygmomanometerini dapat terjadi kesalahan dalam hasil pengukuran disebabkan beberapa hal,
yaitu kalibrasi pada alat, teknik yang digunakan dan kemampuan petugas dalam membaca hasil.

Sphygmomanometer digital adalah alat untuk mengukur tekanan darah yang


menggunakan baterai. Pengukuran secara digital ini dilakukan sendiri tanpa interpretasi dari
petugas. Dibandingkan dengan metode konvensional, cara ini memiliki beberapa kelebihan yaitu
meminimalisir kerja petugas, mengurangi human error.

Hasil pengukuran dari kedua jenis sphygmomanometer dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Dari tabel diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa terdapat perbedaan batas nilai hasil
pengukuran tekanan darah pada dua alat yang berbeda dan pada waktu yang berbeda, namun
tidak terdapat perbedaan pada tempat pengukuran.
Tekanan darah pada siang hari dan malam hari dapat memprediksi adanya gangguan
cardiovaskular. Menimbang efek obat anti-hipertensi yang biasanya diminum pada pagi atau
siang hari, maka tekanan darah pada malam hari adalah pembuat prognosis yang terbaik. Hal ini
menimbang posisi supine pada malam hari dan tidak adanya kegiatan yang berat.

Masked hypertension (hypertensi bertopeng) dimana pada pasien dengan normotensi dan
prehipertensi pada saat pengukuran berulang yang dilakukan saat kunjungan ke klinik, namun
mengalami hipertensi pada saat pengukuran ambulatory (diluar klinik). Sebanyak 7.5%
(normotensi) dan 29.3% (prehipertensi) mengalami white-coat hipertensi atau masked hipertensi
(OR 5,1). Kejadian masked hipertensi ini lebih tinggi pada pasien berusia 40 tahun atau lebih
(OR 2.5), pasien overweight dan obesitas (OR 2.0), konsumsi alkohol (OR 1.9), DM (OR 1.8)
dan merokok (OR 1.5).

Pengukuran tekanan darah berulang di rumah disarankan berdasarkan tingkat keparahan


hipertensi yang dialami oleh pasien. Hal ini dapat efisien dalam pengawasan terhadap tekanan
darah pasien dengan hipertensi dan membantu dalam pengambilan keputusan cepat berikutnya.

Diharapkan kedepannya terdapat alat yang efektif dan efisien baik dari segi harga
maupun fungsi yang dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat dengan hipertensi yang
membutuhkan pengukuran rutin di rumah. Hal ini memiliki banyak keuntungan baik untuk
petugas kesehatan maupun pasien.

(Staessen, J. A., Li, Y., Hara, A., Asayama, K., Dolan, E dan O’Brien, E. 2017. American
Journal of Hypertension. 30(5):453-463)

Perbandingan Pengukuran Tekanan Darah pada Lengan Kiri dan Lengan Kanan pada
Penderita Hipertensi di Ruangan Irina C BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

Tekanan darah adalah tekanan dari aliran darah dalam pembuluh nadi (arteri) yang
memiliki dua hasil pengukuran, yaitu tekanan darah sistolik dan diastolik. Pengukuran tekanan
darah merupakan jenis keterampilan yang penting bagi tenaga kesehatan dan dibutuhkan
keakuratan hasil karena akan mempengaruhi pengambilan keputusan berikutnya. Terdapat
beberapa hal yang mempengaruhi hasil pengukuran tekanan darah, salah satunya adalah posisi
lengan pada saat pengukuran.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional,


yang meneliti perbedaan hasil pengukuran tekanan darah ada lengan kiri dan lengan kanan.
Pengambilan data dilakukan di Ruangan Irina C BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
dari 30 juni – 19 juli 2014 pada 304 pasien penderita hipertensi yang melakukan kunjungan
bulanan. Pengukuran dilakukan dengan sphygmomanometer raksa.

Sebagian besar responden pada penelitian ini adalah laki-laki, yaitu sebesar 61%.
Sebanyak 58% responden berada pada kelompok umur 40-59 tahun, yaitu usia yang sudah rentan
mengalami gangguan pada pembuluh darah.

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan pada hasil pengukuran
tekanan darah antara kedua lengan (p=0.034). Rata-rata pengukuran tekanan darah sistolik dan
diastolik tertinggi terdapat pada lengan kiri. Adapun variasi normal yang akan ditemukan yaitu 5-
10 mmHg. Jika ditemukan perbedaan lebih dari 20-30 mmHg, maka hal tersebut mengarahkan
pada kecurigaan gangguan organis aliran darah pada daerah yang tekanan darahnya rendah
(lengan yang digunakan untuk pengukuran).

Adanya perbedaan tekanan darah pada anggota tubuh ini karena pada kasus hipertensi
menyebabkan perubahan struktur dalam arteri kecil dan arteriola yang mengakibatkan
penyumbatan pembuluh progresif dan beberapa kelainan pada pembuluh perifer, kondisi ini
menyebabkan perbedaan hasil pengukuran tekanan darah pada anggota tubuh yang berbeda.

(Assa, C., Rondonuwu, R dan Bidjuni, H. 2015. Perbandingan Pengukuran Tekanan Darah pada
Lengan Kiri dan Lengan Kanan pada Penderita Hipertensi di Ruangan Irina C BLU RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado.Program Studi Keperawatan Universitas Sam Ratulangi Manado)

Anda mungkin juga menyukai