Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

PENYAKIT GINJAL KRONIK

Oleh:
Dian Natalia, S.Ked 04084821921097
Norlaila Binti Chahril, S.Ked 04054821921164

Pembimbing:
dr. Della Fitri Cana, Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. M RABAIN MUARA ENIM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Penyakit Ginjal Kronik

Oleh:

Dian Natalia, S.Ked 04054821921097

Norlaila BintI Chahril, S.Ked 04054821821164

Case ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD H.M. Rabain
Muara Enim Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 17 Juni s.d 12
Juli 2019

Palembang, 27 Juni 2019

dr. Della Fitri Cana, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan
berkat-Nya Case Report yang berjudul “PENYAKIT GINJAL KRONIK” ini
dapat diselesaikan tepat waktu. Case Report ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat ujian kepaniteraan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Della Fitricana
Sp.PD atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah
Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akandatang.

Palembang, 27 Juni 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................iii
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................12
3.1. Definisi ...................................................................................................12
3.2. Epidemiologi...........................................................................................12
3.3. Etiologi dan Faktor Risiko .....................................................................14
3.4. Patogenesis .............................................................................................15
3.5. Manifestasi Klinis ..................................................................................16
3.6. Penegakan Diagnosis ..............................................................................19
3.7. Pemeriksaan Penunjang ..........................................................................21
3.8. Derajat Berat Ringannya Penykit SLE ...................................................23
3.9. Penilaian Aktivitas Penyakit SLE ..........................................................24
3.10. Penatalaksanaan SLE Secara Umum ......................................................25
3.11. Manifestasi Anemia pada SLE ...............................................................33
BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................42

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patologis dengan berbagai
macam penyebab ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang progresif. 1
Penyakit ginjal kronik merupakan keadaan yang memengaruhi fungsi dan struktur
ginjal dengan berbagai macam gambaran klinis berdasarkan penyebab, keparahan,
dan progresivitas penyakit yang mendasarinya.2 Pada umumnya PGK berakhir
dengan gagal ginjal.1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) menunjukkan jumlah
penderita PGK di Indonesia memiliki pertumbuhan hampir 100% dalam kurun
waktu 2014-2015. Kejadian PGK terus meningkat sejalan dengan meningkatnya
penduduk usia lanjut.4 Prevalensi PGK di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang tahun 2012 sebesar 61% yang terdiri dari 8,7% derajat 3a; 4,7%
derajat 3b; 6,3% derajat 4 dan 41,3% derajat 5.5
Penyakit ginjal kronik menyebabkan berbagai macam komplikasi seperti
anemia dan osteodistrofi renal, 80-90% pasien PGK mengalami anemia. 1 PGK
diketahui berhubungan dengan kejadian hipertensi, anemia dan overload volume,
hyperparathyroidism dan metabolism kalsium – fosfat yang abnormal. Faktor –
faktor tersebut telah dihubungkan dengan perkembangan terjadinya left
ventricular hypertrophy (LVH), left ventricular dilatation, myocardial fibrosis dan
kalsfikasi pembuluh darah serta katup jantung.1
Peningkatan cardiac output merupakan faktor risiko kuat terjadinya LVH
sebagai mekanisme kompensasi tubuh agar distribusi oksigen tetap memadai.
Oleh karena itu, anemia dapat menyebabkan peningkatan risiko morbiditas dan
mortalitas pada penderita PGK secara bermakna yaitu sebesar 40-45% kematian
disebakan oleh penyakit kardiovaskular.1,6

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1IDENTIFIKASI
• Nama : Tn. HRZ
• Umur : 51 tahun
• Jeniskelamin : Laki-laki
• Alamat : Lubai Ulu, MuaraEnim
• Status : Menikah
• Pekerjaan :Petani
• Agama :Islam
• MRS : 09Juni 2019

2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada tanggal


19Juni 2019 pukul 15.00 WIB)

Keluhanutama
Sesak yang memberat + 4 hari SMRS disertai bengkak seluruh tubuh

Keluhan tambahan
Tidak nafsu makan

Riwayat perjalanan penyakit


Sejak ± 4 bulan SMRS, pasien mengeluh sesak nafas yang dirasakan terus
menerus tanpa dipengaruhi cuaca. Pasien mengaku sesak bertambah berat jika
pasien berjalan +100 meter. Sesak yang dirasakan berkurang jika pasien istirahat
dengan posisi duduk. Pasien mengeluh sering terbangun pada malam hari karena
sesak yang dirasakan, oleh karena itu pasien mengaku lebih nyaman tidur pada
posisi bantal tinggi (2-3 bantal). Batuk (-), demam (-), mual (-), muntah (-),
penurunan nafsu makan (-). Pasien berobat ke RS Santo Antonio di Baturaja
dinyatakan mengalami sakit ginjal dan sakit jantung. Pasien diberi obat yang
pasien lupa namanya apa.

Sejak + 3 bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas disertai sembab pada
wajah. Pasien mengaku sesak bertambah berat jika pasien berjalan + 50 meter.
Mual (-), muntah (-), demam (-), penurunan nafsu makan (-), batuk (-). Pasien
2
kembali ke RS Santo Antonio untuk melakukan pengobatan diberi obat darah
tinggi, kencing manis, dan pengurang sembab wajah. Pasien rutin berobat ke RS
Antonio sejak 3 bulan ini dikarenakan sesak dan sembab wajah yang sering
kambuh. Keluhan sesak dan sembab dirasakan berkurang jika pasien ke rumah
sakit.

Sejak + 2 minggu SMRS pasien mengeluh sesak bertambah berat disertai


bengak pada wajah dan kaki. Pasien mengaku sesak bertambah berat saat pasien
berjalan ke kamar mandi. Mual (+), muntah (-), muntah isi makanan yang
dimakan, demam (-), penurunan nafsu makan (+), batuk (-). Pasien kembali ke RS
Santo Antonio dan dirawat beberapa hari namun tidak ada perbaikkan.

Sejak + 1 SMRS mengeluh sesak bertambah berat dan bengkak dirasakan


bertambah parah, menyebar ke seluruh tubuh dan perut dirasakan mengencang.
Mual (+), muntah (+), muntah isi makanan yang dimakan, demam (-), penurunan
nafsu makan (+), batuk (-), batuk dirasakan seperti ada dahak, tetapi dahak tidak
keluar. Pasien dirujuk ke RSUD Rabain untuk ditatalaksana lebih lanjut.

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat darah tinggi (+) diketahui sejak + 5 tahun lalu, tidak rutin berobat
- Riwayat kencing manis (+) diketahui sejak + 5 tahun lalu, tidak rutin berobat, +
2 tahun yang lalu pasien mulai merasakan nafsu makan meningkat tetapi berat
badan pasien menurun
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat penyakit keluarga


- Riwayat keluhan serupa (tubuh bengkak) ada pada ayah pasien
- Riwayat darah tinggi dalam keluarga (+) pada ayah pasien
- Riwayat kencing manis dalam keluarga (+) pada ayah pasien
Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok sejak usia 20 tahun, berhenti +2 tahun yang lalu, 2 bungkus
rokok perhari.
- Riwayat minum kopi (+)
- Riwayat minum alkohol disangkal

3
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 26 x/menit, reguler, torakoabdominal
Suhu : 36,4° C
SpO2 : 99%
Beratbadan : 43 kg
Tinggibadan : 158 cm
IMT : 17,2 kg/m2
Statusgizi : Underweight

Keadaan spesifik
 Kepala
Normosefali, simetris, deformasi (-), sembab (+)
 Mata
Eksophtalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (+/+), konjungtiva
palpebra anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), diameter 3
mm, reflek cahaya (+/+), pergerakan mata ke segala arah baik.
 Hidung
Deformitas (-) sekret (-), septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan.

 Telinga
Deformitas (-), MAE lapang, sekret (-), tophi (-), nyeri tekan processus
mastoideus (-).
 Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-
), atrofi papil lidah (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
 Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), Pembesaran kelenjar tiroid tidak
ada, JVP (5-2) cmH2O, kaku kuduk (-).

4
 Thoraks
Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)
Pulmo
 I : Statis,dinamis simetris kanan = kiri, barrel Chest (-), pelebaran sela
iga (-), retraksi (-) suprasternal danintercostal
 P : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan(-)
 P : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-), batas paru hepar ICS
VI, peranjakan (+) 1 selaiga
 A:Vesikular (+) normal, ekspirasi memanjang (-\-), ronkhi (+/+) basah
halus, wheezing (-/-)
Cor
 I : Iktus cordis tidakterlihat
 P : Iktus codis tidakteraba
 P : Batas jantung atas ICSII
Batas jantung kanan ICS IV Linea sternalis dextra Batas jantung
kiri ICS V Linea aksilaris anterior sinistra
 A : BJ I dan II (+), reguler, murmur (-), gallop(-)

 Abdomen
 I : Datar, venektasi (-), spider naevi (-), tumor (-), pusat tidakmenonjol
 A: Bising usus (+)normal
5
 P : Keras (+), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, ballotement
ginjal(-)
 P : Timpani, nyeri ketok (-), shifting dullnes (+), undulasi(-)

 Extremitas atas:
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri tekan (-) edema (+),
jaringan parut (-), clubbing finger (-),akral hangat (+/+), turgor kembali
lambat.

 Extremitas bawah:
Eutoni, eutrophi, gerakan terbatas pada lutut kanan, kekuatan +5,
teraba hangat (+/+), nyeri tekan (-), edema pretibial (+/+), turgor
kembali lambat.

 Genitalia :

6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab tanggal 9 Juni 2019
Hb : 9,2 g/dL
WBC : 3,25 x 103 /mm3
RBC : 4,29x 106 / mm3
Ht : 27,4 %
MCV : 84,3 fL
MCH : 28,3 pg
MCHC : 33,6
Plt : 182.000 /mm3
D/C : 0/0,2/90,7/1,2/7,9
Kimia Klinik
BSS : 421 mg/dL
Kolesterol total : 268 mg/dL
Ureum : 133 mg/dL
Kreatinin : 3,6 mg/dL
Protein Total : 5,0 mg/dL
Albumin : 3,2 mg/dL
Globulin : 1,8 mg/dL
SGOT : 16 mg/dL
SGPT : 21 mg/dL
Mg : 2,1 mg/dL
Ca : 7,0 mg/dL

Pemeriksaan Lab tanggal 9 Juni 2019


Kejernihan : Keruh
Warna : Kuning
Gula : Positif 3 (+++)
Protein : Positif 3 (+++)
Bilirubin : Negatif
Urobilinogen : Negatif
7
Keton : Negatif
pH :6
Berat jenis : 1,020
Nitrit : Negatif
Sedimen
Leukosit : 5-9 /lp
Eritrosit : 10-29 /lp
Sel Epitel : Skuamosa <4
Silinder : Granular (+)
Kristal : Negatif

Pemeriksaan Lab tanggal 13 Juni 2019


BSS : 546 mg/dL
Ureum : 121 mg/dL
Kreatinin : 4,2 mg/dL
Protein Total : 5,0 mg/dL
Albumin : 3,5 mg/dL
Globulin : 1,8 mg/dL
Bilirubin total : 0,6 mg/dL
Bilirubin direk : 0,4 mg/dL
Bilirubin indirek : 0,2 mg/dL
SGOT : 69U/L
SGPT : 58U/L
Alkali fosfat : 126 U/L
Pemeriksaan Lab tanggal 18 Juni 2019
BSS : 142 mg/dL
Ureum : 127 mg/dL
Kreatinin : 5,3 mg/dL

Rontgen Thorax

8
Kesan :
 Kardiomegali disertai edema paru dan efusi pleura bilateral

USG

Kesan :
 Proses kronis kedua ginjal
 Ascites

9
EKG
Irama sinus, HR 75x/menit, regular, Axis normal, PR interval normal, QRS
sempit.

Kesan: EKG normal


Echocardiografi

Kesan : Dilated Cardiomiopathy


10
2.5 DIAGNOSISSEMENTARA
CKD stage IV + DM tipe II + Hipertensi Stage II + Anemia Penyakit Renal

2.6 RENCANA PEMERIKSAAN


Cek ulang kimia darah

11
2.7TATALAKSANA AWAL

Nonfarmakologis
 Edukasi mengenai penyakit.
 Meninggikan posisitidur

Farmakologis
 NS gtt v/menit(micro)
 Inj. Ceftriaxon 2x1g (i.v)
 Omeprazole 1x1 vial (i.v)
 Furosemid 1x1amp (i.v)
 Apidra 3x8 unit
 Prorenal 3x1 tab

2.8PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanationam : dubia ad malam
2.9 FOLLOWUP
Perkembangan di Bangsal Utama (19 Juni 2019)

Tanggal 19-06-2019
S Sesak disertai lemas
O:
Kesadaran Compos mentis
TD 150/100 mmHg
Nadi 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan 26x/menit
Suhu 36,5oc
Kepala Simetris, tidak ada deformitas
Mata Konjugtiva palpebra pucat (-), Sklera Ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Thorax : Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi
(-)
Pulmo
 I : Statis,dinamis simetris kanan = kiri, barrel
Chest (-), pelebaran sela iga (-), retraksi (-)
suprasternal danintercostal
 P : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan(-)
 P : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-),
batas paru hepar ICS VI, peranjakan (+) 1 selaiga
 A:Vesikular (+) normal, ekspirasi memanjang
12
(-\-), ronkhi (+/+) basah halus, wheezing (-/-)
Cor
 I : Iktus cordis tidak terlihat
 P : Iktus codis tidak teraba
 P : Batas jantung atas ICSII
Batas jantung kanan ICS IV Linea sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V Linea aksilaris anterior
sinistra
 A : A : BJ I dan II (+), reguler, murmur (-), gallop(-)
 I : Datar, venektasi (-), spider naevi (-), tumor (-), pusat
Abdomen tidakmenonjol
 A: Bising usus (+)normal
 P : Keras (+), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotement ginjal(-)
 P : Timpani, nyeri ketok (-), shifting dullnes (+), undulasi
(-)
Ekstremtas Extremitasatas :
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri
tekan (-) edema (+), jaringan parut (-), clubbing
finger (-), akral hangat (+/+), turgor kembali lambat.
Extremitas bawah:
Eutoni, eutrophi, gerakan terbatas pada lutut kanan,
kekuatan +5, teraba hangat (+/+), nyeri tekan (-),
edema pretibial (+/+), turgor kembali lambat.
Genitalia Skrotum bengkak (+)
A Hiperglikemi ec DM tipe II + CKD stage IV + Hipertensi
Stage II
P  IVFD NS gtt v/menit(micro)
 Inj. Ceftriaxon 2x1g (i.v)
 Inj. Omeprazole 1x1 vial (i.v)
 Inj. Furosemid 2x2amp (i.v)
 Amlodipine 1x10 mg
 Asam folat 1x400 mg
 Ketorolax 3x1
 Candesartan 1x8 mg
 Spironolakton 1x25 mg
 Apidra 3x8 unit
 Ambroxol 3x1

13
Tanggal 20-06-2019
S Sesak disertai lemas dan mencret 3x/hari
O:
Kesadaran Compos mentis
TD 140/90 mmHg
Nadi 82x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan 28x/menit
Suhu 36,3oc
Kepala Simetris, tidak ada deformitas
Mata Konjugtiva palpebra pucat (-), Sklera Ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Thorax : Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi
(-)
Pulmo
 I : Statis,dinamis simetris kanan = kiri, barrel
Chest (-), pelebaran sela iga (-), retraksi (-)
suprasternal danintercostal
 P : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan(-)
 P : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-),
batas paru hepar ICS VI, peranjakan (+) 1 selaiga
 A:Vesikular (+) normal, ekspirasi memanjang
(-\-), ronkhi (+/+) basah halus, wheezing (-/-)
Cor
 I : Iktus cordis tidakterlihat
 P : Iktus codis tidakteraba
 P : Batas jantung atas ICSII
Batas jantung kanan ICS IV Linea sternalis dextra Batas
jantung kiri ICS V Linea aksilaris anterior sinistra
 A : A : BJ I dan II (+), reguler, murmur (-), gallop(-)

Abdomen  I : Datar, venektasi (-), spider naevi (-), tumor (-), pusat
tidakmenonjol
 A: Bising usus (+)normal
 P : Keras (+), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotement ginjal(-)
 P : Timpani, nyeri ketok (-), shifting dullnes (+), undulasi
(-)
Ekstremitas Extremitasatas :
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri
tekan (-) edema (+), jaringan parut (-), clubbing
finger (-), akral hangat (+/+), turgor kembali lambat.
Extremitas bawah:
Eutoni, eutrophi, gerakan terbatas pada lutut kanan,
kekuatan +5, teraba hangat (+/+), nyeri tekan (-),
edema pretibial (+/+), turgor kembali lambat.
Genitalia Skrotum bengkak (+)
A Hiperglikemi ec DM tipe II + CKD stage IV + Hipertensi
Stage I +
P  IVFD NS gtt v/menit(micro)
 Inj. Omeprazole 1x40mg
 Inj. Furosemid 2x2amp (i.v)
 Amlodipine 1x10 mg
 Asam folat 1x400 mg
 Ketorolax 3x1
 Candesartan 1x8 mg
 Spironolakton 1x25 mg
 Apidra 3x8 unit
 Ambroxol 3x1
 Diet rendah protein

Tanggal 21-06-2019

S
O:

Kesadaran Compos mentis

TD mmHg

Nadi x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan x/menit
o
Suhu c

Kepala Simetris, tidak ada deformitas

Mata Konjugtiva palpebra pucat (-), Sklera Ikterik (-)

Leher JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)

Thorax : Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-),
krepitasi (-)
Pulmo
 I : Statis,dinamis simetris kanan = kiri, barrel
Chest (-), pelebaran sela iga (-), retraksi (-)
suprasternal danintercostal
 P : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan(-)
 P : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-),
batas paru hepar ICS VI, peranjakan (+) 1
selaiga
 A:Vesikular (+) normal, ekspirasi memanjang
(-\-), ronkhi (+/+) basah halus, wheezing (-/-)
Cor
 I : Iktus cordis tidakterlihat
 P : Iktus codis tidakteraba
 P : Batas jantung atas ICSII
Batas jantung kanan ICS IV
Linea sternalis dextra Batas
jantung kiri ICS V Linea
aksilaris anterior sinistra

 A : A : BJ I dan II (+), reguler, murmur (-), gallop(-)

Abdomen  I : Datar, venektasi (-), spider naevi (-), tumor (-), pusat
tidakmenonjol
 A: Bising usus (+)normal
 P : Keras (+), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotement ginjal(-)
 P : Timpani, nyeri ketok (-), shifting dullnes (+),
undulasi(-)
Ekstremtas Extremitasatas :
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri
tekan (-) edema (+), jaringan parut (-), clubbing
finger (-), akral hangat (+/+), turgor kembali lambat.

Extremitas bawah:
Eutoni, eutrophi, gerakan terbatas pada lutut kanan,
kekuatan +5, teraba hangat (+/+), nyeri tekan (-),
edema pretibial (+/+), turgor kembali lambat.
A Hiperglikemi ec DM tipe II + CKD stage IV + Hipertensi
Stage I

P  IVFD NS gtt v/menit(micro)


 Inj. Omeprazole 1x40 mg
 Inj. Furosemid 2x2amp (i.v)
 Amlodipine 1x10 mg
 Asam folat 1x400 mg
 Ketorolax 3x1
 Candesartan 1x8 mg
 Spironolakton 1x25 mg
 Apidra 3x8 unit
 Ambroxol 3x1
 Diet rendah protein
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patologis ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang progresif akibat berbagai macam
etiologi. Penurunan fungsi ginjal pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal
kronik. Penurunan fungsi ginjal biasa ditandai dengan adanya peningkatan
kadar kreatinin serum dan kadar ureum.1
Penyakit ginjal kronik mencakup berbagai perbedaan proses
patofisiologi ditandai dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan
LFG secara progresif. Penyakit ginjal kronik ditentukan berdasarkan ada
tidaknya gangguan ginjal dan tingkat fungsi ginjal tanpa melihat tipe penyakit
yang mendasarinya.2,6

Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik


1. Terjadi kerusakan ginjal (renal damage) > 3 bulan, berupa kelainan
fungsional atau struktural dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan
manifestasi:
a. Kelainan patologis
b. Terdapat kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan
dalam tes pencitraan (imaging tests) yang merupakan tanda kelainan
ginjal
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 mL/menit/1,73m 2 dengan atau tanpa
kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan,
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2014.

3.2. Epidemiologi
Prevalensi PGK di dunia pada populasi umum berkisar 11-13% dengan
prevalensi terbesar pada derajat 3. Pada tahun 1995-1999, data insiden di
Amerika Serikat menyatakan bahwa diperkirakan ada 100 kasus PGK setiap
tahun pada setiap juta penduduk. Insiden PGK ini terus meningkat sebesar
8% setiap tahunnya. Insiden gagal ginjal di negara lain seperti Malaysia
diperkirakan terdapat sebesar 1800 kasus PGK pada 18 juta populasi
pertahunnya. Insiden pada negara berkembang diperkirakan sekitar 40-60
kasus PGK setiap tahun pada setiap juta penduduk. Data Riskesdas pada
tahun 2013 didapatkan 0,2% populasi berumur ≥ 15 didiagnosis menderita
gagal ginjal kronik. 1,3,4

3.3. Etiologi dan Faktor Risiko


Penyakit ginjal kronik disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
Perbedaan etiologi PGK sangat bervariasi pada setiap negara. Tabel 2.
menunjukkan insiden PGK berdasarkan data di Amerika Serikat dan etiologi
utama yang mendasari terjadinya PGK.

Tabel 2. Etiologi Utama PGK di Amerika Serikat pada tahun 1995-999


Penyebab Insiden
Diabetes Melitus 44%
Tipe 1 (7%)
Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstisialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (misal: lupus dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2014.

Pada Tabel 3. dinyatakan etiologi gagal ginjal di Indonesia pada pasien


gagal ginjal yang menjalani hemodialisis berdasarkan data yang diperoleh
dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000. Etiologi yang
didapatkan berdasarkan data tersebut adalah glomerulonefritis sebagai
etiologi terbanyak.1

Prevalensi PGK beserta penyebab yang mendasari terjadinya PGK di


RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Pada hasil penelitian tersebut
didapatkan bahwa penderita PGK yang tercatat pada tahun tersebut sebesar
68,9% penderita PGK memiliki riwayat hipertensi, sebesar 33,3% memiliki
riwayat diabetes melitus, sebesar 14,2% memiliki riwayat infeksi saluran
kemih (ISK), sebesar 11,5% memiliki riwayat kejadian batu saluran kemih,
dan 2,7% memiliki riwayat lupus eritematosus sistemik (LES). Pada hasil
penelitian tersebut didapakan bahwa riwayat hipertensi dan riwayat diabetes
melitus merupakan faktor risiko terbanyak pada kejadian PGK.5

Tabel 3. Etiologi yang Menyebabkan Hemodialisis pada Penderita Gagal


Ginjal di Indonesia Tahun 2000
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2014.
Keterangan : Sebab lain dikelompokkan sebagai penyakit lain di antaranya
adalah nefropati urat, lupus nefritis, penyakit ginjal bawaan,
tumor ginjal, intoksikasi obat, dan penyebab yang tidak
diketahui.

Berbagai macam penyebab yang dapat mengakibatkan penyakit ginjal


kronik didukung faktor-faktor keadaan dan perilaku seseorang. Faktor yang
dimaksud memiliki peranan sebagai faktor kerentanan (susceptibility factor),
faktor inisiasi (initiation factor), dan faktor progresi (progression factor)
yang ditampilkan pada Tabel 4. Kejadian PGK perempuan lebih banyak
daripada kejadian PGK pada laki-laki yaitu sebesar 53% dan 47%. Selain itu,
kejadian PGK mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan umur
penderita PGK. Prevalen penyakit ginjal kronik pada individu 75 tahun keatas
dilaporkan sekitar 56% dan pada populasi umum dan insiden kejadian PGK
pada laki-laki didapatkan lebih besar dibanding perempuan. 5,7,8

1. Susceptibility Factors
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko individu
mengalami penyakit ginjal kronik setelah adanya paparan pada faktor yang
memiliki potensi mengakibatkan kerusakan ginjal.8
2. Initiation Factors
Faktor yang berhubungan langsung mengakibatkan atau menginisiasi
rusaknya ginjal pada individu yang rentan. Contoh: paparan obat
nefrotoksin, obstruksi saluran kemih, glomerulopati yang dapat
menyebabkan penyakit ginjal kronik pada beberapa individu dan tidak
pada semua individu.8
3. Progression Factors
Faktor yang berkontribusi dalam proses kerusakan ginjal setelah
penyakit ginjal kronik terjadi. Contoh: hipertensi yang mengeksaserbasi
peningkatan tekanan intraglomerular yang mengarah pada peningkatan
kerusakan ginjal. 8

Tabel 4. Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik


Non-Modifable Modifable
Umur (S) Hipertensi sistemik (I, P)
Jenis kelamin (S) Diabetes Melitus (I, P)
Ras/ Etnik (S) Proteinuria (P)
Predisposisi genetik (S) Dislipidemia (I, P)
Riwayat keluarga (S) Merokok (I, P)
Berat lahir rendah (S) Obesitas (I, P)
Konsumsi alkohol (I, P)
Status sosioekonomi rendah (S)
Infeksi (I)
Penyalahgunaan obat-obatan (I)
Penyakit autoimun/ uropati obstruktif
(I)
Sumber: ABC of Kidney Disease 2nd Edition, 2013.
Keterangan: S= susceptibility factor, I= initiation factor, dan P= progression
factor.

3.4. Klasifikasi
Penyakit ginjal kronik telah diklasifikasikan menjadi beberapa derajat
(stage) berdasarkan hasil laju filtrasi glomerulus tanpa melihat kerusakan
ginjal dan keadaan proteinuria. Istilah gagal ginjal kronik muncul dari proses
penurunan jumlah nefron secara terus-menerus yang dapat disamakan dengan
derajat 3-5.7,8
Tabel 5. Klasifikasi PGK Berdasarkan Derajat Keparahan

LFGe
Derajat Deskripsi
(mL/menit/1,73m2)
1 > 90 Kerusukan ginjal dengan LFG dalam batas
normal atau meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG
ringan
3A 45-59 Penurunan nilai LFG sedang, dengan atau
3B 30-44 tanpa kerusakan pada ginjal
4 15-29 Penurunan nilai LFG berta, dengan atau
tanpa kerusakan pada ginjal
5 < 15 Gagal Ginjal atau End Stage Renal
Failure (ESRF)
Sumber: KDIGO Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification, 2002.

Diagnosis PGK diklasifikasi berdasarkan penyebab atau penyakit yang


mendasarinya. Penyakit yang mendasari terjadinya PGK dibagi menjadi tiga
bagian.

Tabel 6. Klasifikasi PGK Berdasarkan Diagnosis Etiologi


Penyakit Tipe Mayor
Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal Non Diabetes Penyakit glomerular (penyakit autoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit pada Transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/ takrolimus)
Penyakit rekuren (glomerular)
Transplant glomerulopati
Sumber: National Kidney Foundation, K/DOQI Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification, 2002.

Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan laju filtrasi


glomerulus dan adanya albumin di dalam urin (KDIGO, 2013). Kedua hal
tersebut digunakan untuk mencerminkan risiko perburukkan yang dapat
terjadi. Pada Gambar 1 mencerminkan risiko perburukan (progression)
dengan menggunakan pewarnaan (hijau, kuning, oranye, merah, dan merah
tua). Warna hijau menandakan penyakit stabil yang membutuhkan follow-up
secara tahunan jika mengalami PGK, warna kuning memerlukan perhatian
dan perlu dilakukan pemeriksaan setidaknya sekali dalam setahun, warna
oranye memerlukan pemeriksaan 2 kali setahun, warna merah memerlukan
pemeriksaan 3 kali dalam setahun, sedangkan warna merah tua memerlukan
pemeriksaan kira-kira 4 kali atau lebih (setiap 1-3 bulan).

Gambar 1. Klasifikasi PGK Berdasarkan Nilai LFG dan Kadar Albumin


dalam Urin (KDIGO, 2013).

3.5. Patofisiologi
Proses terjadinya PGK bergantung pada etiologi dan penyakit yang
mendasarinya menjelaskan patofisiologi gagal ginjal kronik terdiri dari 2
mekanisme yaitu mekanisme inisiasi yang spesifik pada etiologi yang
mendasarinya (pada tipe glomerulonefritis dengan mediator inflmasi dan
kompleks imun dan pada tipe kerusakan interstisiu dan tubulus tubulus ginjal
dengan adanya paparan toksin) dan rangkaian mekanisme progesif seperti
hiperfiltrasi dan hipertropi nefron. 6
Kerusakan pada ginjal mengakibatkan adanya penurunan massa ginjal.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya proses adaptasi berupa hipertropi
struktural dan fungsional surviving nephrons (nefron sisa). Proses adaptasi
itu diperantarai oleh sitokin (molekul vasoaktif) dan growth factors.
Hipertropi nefron memicu terjadinya peningkatan aliran darah glomerulus
dan tekanan kapiler (hiperfiltrasi). Pada akhirnya proses adaptasi yang
dilakukan ginjal akan diikuti oleh proses maladaptasi. Proses maladaptasi
yang terjadi berupa sklerosis surviving nefrons. Pada keadaan ini, proses
penyakit yang mendasari sudah tidak berlangsung lagi namun penurunan
fungsi nefron tetap terjadi secara progresif .1

Nefropati Adaptasi
hipertropi dan
hiperfiltrasi

Jumlah nefron
berkurang
Protein bocor
Hipertensi Agiotensin II melalui
sistemik
glomerulus

Glomerulosklerosis ↑Ekspresi growth mediators/


inflamasi/ fibrosis
Gambar 2. Proses Adaptasi dan Maladaptasi Ginjal pada PGK (Suwitra dalam
Setiati, 2014)

Aksis intrarenal renin-angiotensin-aldosteron (RAA) akan mengalami


peningkatan berkontribusi sebagai inisiasi pada kedua proses hiperfiltrasi
(adaptasi), hipertropi (maladaptasi), dan sklerosis nefron. Aktivitas aksis
RAA dalam waktu yang lama akan diperantarai transforming growth factor β
(TGF-β) yang merupakan salah satu growth factor. Hipertensi, albuminuria,
hiperglikemi, dan dislipidemia merupakan beberapa hal yang dianggap juga
ikut berperan dalam progresivitas PGK. 1,6

3.6. Penegakkan Diagnosis


Terdapat 4 pendekatan diagnostik yang digunakan untuk mengetahui
seseorang mengalami penyakit ginjal kronik, 4 pendekatan diagnostik
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Gejala Klinis
Gejala klinis penderita PGK akan sesuai dengan gejala klinis
penyakit yang mendasarinya. Gejala yang umum dijumpai adalah letargi,
anoreksia, mual, muntah, letargi, nokturia, perikarditis, volume overload¸
neuropati perifer, uremic fost, pruritus, kejang hingga koma. Gejala
tersebut adalah tanda dari sindrom uremia. Anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung merupakan gejala yang timbul akibat komplikasi PGK.1
2. Gambaran Laboratoris
emeriksaan laboratorium penderita PGK dapat diketahui melalui
pemeriksaan urinalisis, kimia darah, dan tes fungsi ginjal. Protein dengan
jumlah yang kecil pada urin dapat dijumpai pada orang sehat. Pemeriksaan
urinalisis juga meliputi pemeriksan mikroalbuminuria (MAU).
Mikroalbuminuria pada urin menandakan terjadinya peningkatan
konsentrasi albumin pada urin dan menandakan terjadinya malfungsi
ginjal.7
Pada penderita PGK terjadi kelainan biokimiawi darah seperti
perubahan kadar Hb, asidosis metabolic, kadar asam urat yang meningkat,
dan gangguan keseimbangan elektrolit. Penggunaan plasma kreatinin
untuk memperoleh laju klirens kreatinin sangat berguna secara klinik dan
kini direkomendasikan untuk membantu mengidentifikasi dengan tepat
pasien penyakit ginjal kronik ginjal. Peningkatan kadar kreatinin serum
dan kadar merupakan tanda laboratoris utama yang sering diperiksa.1,7
3. Radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilaukan pada penderita PGK
berupa foto polos abdomen, pielografi intravena, pieloantegrad,
pieloretrograd, renografi, dan USG untuk melihat ukuran, korteks, batu
ginjal atau hidronefrosis, tumor, dan kalsifikasi. Tabel 7. menunjukkan
metode pemeriksaan yang dapat digunakan pada beberapa kondisi sesuai
dengan keadaan ginjal mulai dari keadaan gagal ginjal hingga infeksi dan
fibrosis retroperitoneal.1

Tabel 7. Teknik Gambaran Radiologis dan Indikasinya

Kondisi Ginjal Teknik yang Digunakan


Gagal ginjal Ultrasound
Proteinuria/ sindrom nefrotik Ultrasound
Stenosis arteri ginjal MRA
Batu ginjal Foto polos abdomen
CT non-kontras
Infeksi ginjal Ultrasound atau CT abdomen
Fibrosis retroperitoneal CT abdomen
nd
Sumber: ABC of Kidney Disease 2 Edition, 2013.
Keterangan: MRA= Magnetic Resonance Angiogram, CT= Computed
Tomography

4. Pemeriksaan Histopatologi dan Biopsi Ginjal


Pemeriksaan histopatologi dan biopsi ginjal pada pasien PGK
biasanya dilakukan jika diketahui ukuran ginjal pada pasien tersebut
normal ataupun masih mendekati normal. Pemeriksaan histopatologi dan
biopsy ginjal juga dilakukan jika diagnosis tidak dapat ditegakkan
walaupun telah dilakukan prosedur secara invasif. Pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk menentukan penyebab, tatalaksana yang akan diberikan,
keadaan kedepan pasien, dan evaluasi terhadap tatalaksana yang telah
dilakukan.1
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan setelah
mempertimbangkan risiko dan manfaat yang akan diperoleh. Pertimbangan
biopsi dan pemeriksaan histopoatologi ginjal juga harus memperhatikan
indikasi, kontraindikasi, dan komplikasi yang dapat terjadi yang tercantum
pada Tabel 8. Pertimbangan indikasi, kontraindikasi, dan komplikasi
dilakukannya biopsi dan pemeriksaan histopatologis sangat perlu
dilakukan untuk menjamin keadaan pasien. 7

Tabel 8. Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Biopsi Ginjal

Indikasi Kontraindikasi Komplikasi

Sindrom nefrotik Kista ginjal multiple Nyeri


Penyakit sistemik Solitary kidney Perdarahan- hematuria,
dengan proteinuria/ (relatif) hematoma (signifikan
gagal ginjal <5%)
Acute Kidney Injury Pielonefritis akut Organ lain terbiopsi
(colon, spleen, hepar)
Proteinuria (PCR >50- Neoplasma ginjal Fistula arteriovenosa
100) (0,1%)
Proteinuria dan Tekanan darah tidak Nephrectomy (0,1%)
hematuria terkendali
Unexplained CKD Pembekuan darah Kematian (<0,01%)
abnormal
Ginjal transplantasi Obesitas yang
berbahaya (relatif)

Sumber: ABC of Kidney Disease 2nd Edition, 2013.

3.7. Manajemen Terapi


Manajemen penyakit ginjal kronik dilakukan sesuai dengan derajat
penyakit yang diderita. Rencana tatalaksana PGK dapat dilakukan sesuai
dengan beratnya derajat PGK (Tabel 9). Terdapat berbagai macam
manajemen terapi pada penderita PGK. Manajemen terapi tersebut dapat
dilakukan dengan mengobati penyakit yang mendasarinya, pencegahan risiko
yang menyebabkannya (comorbid condition), mencegah terjadinya
perburukkan (progression), mencegah terjadinya komplikasi berupa penyakit
kardiovaskular, serta mencegah dilakukannya dialisis dan transplantasi atau
proses penggantian ginjal pada penderita PGK.1
Terapi spesifik terhadap penyakit dasar yang menyebab penyakit ginjal
kronik paling tepat dilakukan sebelum terjadinya penurunan LFG. Pada
pemeriksaan USG, histopatologi, dan biopsi, ginjal yang memiliki ukuran
yang masih normal dapat digunakan untuk membantu dalam menentukkan
terapi yang spesifik dan indikasi yang tepat dalam pelaksanaan terapi yang
sesuai.1
Proses perburukkan (progression) fungsi ginjal dapat diperlambat
dengan restriksi protein atau dengan membatasi asupan protein. Restriksi
protein berfungsi untuk menurunkan gejala yang terjadi akibat uremia dan
juga memperlambat penurunan LFG pada derajat awal penyakit ginjal
kronik.6

Tabel 9. Rencana Terapi Penderita PGK berdasarkan Tingkat Keparahan


Derajatnya
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
(mL/min/1,73m2)
1 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi perburukan
> 90
(progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular
2 Menghambat perburukan fungsi
60-89
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 Persiapan untuk terapi pengganti
15-29
ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal
Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition, 2008.

Pada pendeirta PGK akan terjadi penimbunan ion anorganik dan


substansi nitrogen jika mengonsumsi diet protein tinggi. Penimbunan tersebut
dapat mengakibatkan uremia yang ditandai dengan adanya gangguan klinis
dan gangguan metabolik gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia
Asupan protein yang dibutuhkan sehari adalah sekitar 0,6-0,75 g/kgBB/hari,
yang bergantung pada penyakit komorbid, proteinuria, dan status nutrisi
pasien. Pada penderita PGK dengan LFG < 60 mL/min/1,73m2 perlu
dilakukan pembatasan protein (restriksi protein), pada penderita PGK dengan
nilai LFG lebih dari tersebut pembatasan asupan protein tidak dilakukan.1,2
Mengontrol hipertensi sistemik dan hipertensi glomerular sama
pentingnya dengan restriksi protein untuk memperlambat perburukkan fungsi
ginjal. Hipertensi yang terkontrol juga dapat menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular, obat antihipertensi pada pasien PGK juga dapat
memperlambat kerusakan nefron dengan menurunkan hipertensi
intraglomerular. Pemberian terapi yang efektif mencegah penurunan LFG.
ACE inhibitors dan ARBs menghambat angiotensin menginduksi
vasokontriksi arteri eferen dari mikrofiltrasi di glomerulus yang
menyebabkan penurunan tekanan intraglomerular dan proteinuria. Ketika
mikroalbumin terdeteksi di urin, pada pasien PGK diabetik ataupun non-
diabetik pemberian ACE inhibitor dan ARBs harus dipertimbangkan. 2,6,7
Pengendalian diabetes, anemia, hipertensi, dislipidemia,
hiperfosfatemia, dan keseimbangan elektrolit serta kelebhan elektrolit dapat
dilakukan sebagai cara untuk menegah penyakit kardiovaskular. Pasien PGK
dengan diabetes atau proteinuria > 1 g/hari harus menurunkan tekanan darah
hingga 125/75 mmHg, pengurangan asupan garam dan penggunan diuretik
dapat dijadikan terapi lini pertama. Ketika manjemen volume tidak cukup,
penggunaan ACE inhibitor dan ARBs dapat digunakan bahkan untuk pasien
dialisis, tapi penggunaan ACE inhibitor dan ARBs harus diawasi karena
dapat menyebabkan hiperkalemia. Statin dapat digunakan sebagai
pencegahan primer penyakit kardiovaskular sama halnya seperti orang tanpa
PGK, sedangkan statin dan obat antiplatelet dapat digunakan sebagai
pencegahan sekunder penyakit kardiovaskular. Pengendalian hiperfosfatemia
dapat dilakukan dengan melakukan pembatasan asupan fosfat yang dapat
dilihat pada Tabel 10. dan pada pasien tahap lanjut dilakukan dengan
dialisis.1,6,7
Komplikasi anemia yang paling sering terjadi dapat dilakukan
pencegahab dengan melakukan evaluasi anemia secara rutin. Evaluasi anemia
mulai dilakukan saat kadar Hb < 10 g/dL atau hematokrit < 30%. Evaluasi
anemia yang dilakukan berupa evaluasi status Fe (kadar besi serum/ serum
iron, ferritin serum, dan TIBC), mencari kemungkinan terjadinya perdarahan,
dan kemungkinan terjadinya hemolisis.1

Tabel 10. Nilai Anjuran Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat penderita
PGK
LFG Asupan Protein (g/kgBB/hari) Fosfat
2
(mL/min/1,73m ) (g/kgBB/hari)
> 60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8 g/kgBB/hari, termasuk > 35g < 10 g
atau < 10 g/kgBB/hari protein nilai
biologi tinggi
5-25 0,6-0,8 g/kgBB/hari, termasuk >35g < 10 g
atau <10 g/kgBB/hari protein nilai
biologi tinggi atau tambahan 0,3g asam
amino esensial atau asam keton nefritis
akut
< 60 (sindrom 0,8 g/kgBB/hari (+1 g protein/ 1 g <9g
nefrotik) peoteinuria atau 0,3 g/kgBB tambahan
asam amino esensial atau asam keton)
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2014.

Osteodistrofi renal yang merupakan salah satu komplikasi dari PGK


dapat dimanajemen dengan pemberian hormon kalsitriol (1,25(OH)2D3) dan
menanggulangi kejadian hiperfosfatemia. Pemberian kalsitriol untuk
mengatasi osteodistrofi renal membantu peningkatan penyerapan kalsium dan
fosfat oleh saluran cerna yang dapat mengakibatkan kalsifikasi metastatik
akibat penumpukan garam kalsium karbonat di jaringan (Suwitra dalam
Setiati, 2014). Pemberian kalsitriol juga dapat menghambat hormon
paratiroid, sehingga penggunaan pada pasien yang memiliki nilai normal pada
kadar fosfat darah dan nilai > 2,5 kali normal pada kadar hormon PTH akan
dibatasi.1
Manajemen terapi yang terakhir adalah penggantian ginjal. Penggantian
ginjal yang dapat dilakukan adalah dialisis atau transplantasi. Proses
penggatian ginjal ini dianjurkan pada pasien telah mengalami komplikasi dari
uremia yang biasanya telah mencapai derajat 5. Transplantasi ginjal memiliki
dampak yang baik pada peningkatan laju filtrasi glomerulus menjadi > 40
mL/min/1,73m2 dalam satu tahun. Sebanyak 41% dari penderita yang
menjalani transplantasi ginjal mengalami kegagalan selama follow-up dan
59% kegagalan terjadi 2,5 tahun post-transplantasi.6

Tabel 11. Indikasi Terapi Penggantian Ginjal (Renal Replacement Therapy)

GGA PGK
Hiperkalemia (K> 6,5) CKD derajat 5 (LFGe < 15 mL/min)
Asidosis (pH < 7,1 dan resisten Hiperkalemia
terhadap terapi)
Cairan berlebih/ fluid overload (jika Cairan berlebih/ fluid overload
dicurigai mengganggu fungsi paru)
Uremia simtomatik (perikarditis, Uremia simtomatik
neuropathy, encephalopathy)
Sepsis dan gangguan multi-organ Malnutrisi
Keracunan/ poisoning (lithium dan
methanol)
Sumber: ABC of Kidney Disease 2nd Edition, 2013.

3.8. Komplikasi
Penyakit ginjal kronik memengaruhi beberapa sistem organ. Pengaruh
terhadap sistem organ tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai jenis
komplikasi seperti anemia, hipertensi, asidosis, defisiensi vitamin D,
hiperfosfatemia, hipoalbuminemia, dan hiperparatiroid. Pada Tabel 12.
ditampilkan prevalensi dari komplikasi PGK. 2

Tabel 2.12 Prevalen Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan LFG


Kategori GFR (mL/min/1,73m2)
Komplikasi
> 90 60-89 45-59 30-44 <30
Anemia 4.0% 4,7% 12,3% 22,7% 51,5%
Hipertensi 18,3% 41,0% 71,8% 78,3% 82,1%
Defisiensi vitamin D 14,1% 9,1% 10,7% 27,2%
Asidosis 11,2% 8,4% 9,4% 18,1% 31,5%
Hiperfosfatemia 7,2% 7,4% 9,2% 9,3% 23,0%
Hipoalbunemia 1,0% 1,3% 2,8% 9,0% 7,5%
Hiperparatiroid 5,5% 9,4% 23,0% 44,0% 72,5%
Sumber: KDIGO, 2013.
Penurunan fungsi ginjal (LFG) pada penderita PGK akan
mengakibatkan terjadinya berbagai macam komplikasi. Komplikasi dapat
dikelompokkan sesuai dengan derajat penurunan LFG pada Tabel 13.
Berdasarkan tabel tersebut dinyatakan bahwa anemia menjadi salah satu
komplikasi jika LFG berkisar antara 30-59 mL/menit/1,7m2.1

Tabel 13. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik


LFG
Derajat Penjelasan Komplikasi
(mL/min)
1 Kerusakan ginjal dengan > 90
LFG normal
2 Keruskaan ginjal dengan 60-89 Tekanan darah mulai
penurunan LFG ringan meningkat
3 Penurunan LFG sedang 30-59 Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosisteinemia
4 Penurunan LFG berat 15-29 Malnutrisi
Asidosis metabolik
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung
Uremia
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2014.

3.9. Perhitungan Laju Filtrasi Glomerulus


Laju filtrasi glomerulus merupakan pengukuran yang dilakukan untuk
menilai fungsi ekskresi ginjal dengan mengukur banyaknya filtrat yang dapat
dihasilkan oleh glomerulus. Laju filtrasi pada nefron dipengaruhi aliran
plasma, luas kapiler, dperbedaan tekanan, dan luas permukaan kapiler. Oleh
karena itu, LFG adalah jumlah nilai ekskresi ginjal dari seluruh nefron.
Penurunan LFG yang dapat dihitung menggunakan beberapa persamaan. Dua
persamaan yang sering digunakan untuk mengukur LFG estimasi (LFGe)
adalah persamaan Cockcroft-Gault dan MDRD (Modification of Diet in
Renal Disease).9

Tabel 15. Persamaan Cockcroft-Gault

Persamaan Cockcroft-Gault

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2014.


Keterangan: Untuk perempuan hasil x 0,85; BB: Berat Badan

Persamaan yang digunakan untuk mengestimasi LFG menggunakan


kadar kreatinin serum sebagai petanda (marker). Penggunaan kreatinin serum
ini memiliki kekurangan pada jumlah massa otot penderita PGK. Untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat, penggunaan kreatinin pada penderita
PGK yang memiliki gangguan massa otot dapat dipertimbangkan
menggunakan klirens urin dan petanda eksogen.9

Kreatinin secara konstan diekskresikan oleh ginjal. Peningkatan


signifikan kreatinin terjadi jika terdapat kerusakan nefron dalam jumlah yang
besar. Oleh karena itu, kreatinin digunakan sebagai petanda untuk mengukur
LFG. Kreatinin bebas melewati glomerulus karena tidak berikatan dengan
protein serta tidak direabsorbsi tubulus dan diekskresikan dalam jumlah yang
kecil melalui tubulus. Peningkatan kadar kreatinin plasma dari nilai normal
sebesar 1-2 mg/dL menggambarkan penurunan nilai LFG sebesar + 50% .9

Tabel 16. Persamaan Klirens Kreatinin

Persamaan Klirens Kreatinin

Sumber: Pemeriksaan Fungsi Ginjal, 2016.


Keterangan:
Ccr : Klirens kreatinin
Pcr : Kadar kreatinin serum
Vur : Volume urin dalam 24 jam
Ucr : Kreatinin urin
1,73/A: Faktor luas permukaan tubuh
Klirens kreatinin atau bersihan kreatinin adalah perhitungan LFG
estimasi dengan menggunakan urin 24 jam. Pengukuran klirens kreatinin
merupakan pengukuran yang paling spesifik untuk menentukan fungsi ginjal.
Perhitungan klirens kreatinin pada penderita PGK digunakan sebagai standar
dalam penentuan nilai LFG. Perhitungan klirens kreatinin adalah dengan
membandingkan kadar kreatinin urin dan kadar kreatinin serum yang
didapatkan melalui pengumpulan urin 24 jam. Sebagian kecil kadar kreatinin
pada tubuh direabsorpsi oleh tubulus. Sebesar 10% kadar kreatinin urin
disekresikan oleh tubulus, mengakibatkan pengukuran klirens kreatinin
sebagai nilai LFG menjadi tidak absolut. Perhitungan klirens kreatinin
digunakan untuk mendeteksi penurunan fungsi ginjal lebih cepat
dibandingkan serum kreatinin karena serum kreatinin berada dalam batas
normal sampai klirens kreatinin mengalami penurunan setengahnya.9,10

Laju filtrasi glomerulus dipengaruhi umur, jenis kelamin, dan luas


permukaan tubuh. Laju filtrasi glomerulus pada orang dewasa rata-rata
berkisar 130 mL/min/1,73m2 untuk laki-laki dan 120 mL/min/1,73m 2 dengan
koefisien variasi sebesar 14-18% pada perempuan. Umur akan memengaruhi
LFG + 10 mL/min/1,73m2 per dekade pada umur > 40 tahun. Penurunan LFG
tersebut mengakibatkan penurunan LFG sebesar + 50% pada umur 80 tahun.
Pada kehamilan trimester pertama LFG akan meningkat sebesar 50% dan
menjadi normal kembali setelah melahirkan.9

Laju filtrasi glomerulus memiliki ritme sirkadian pada sore hari yaitu
meningkat sebesar 10%. Laju filtrasi glomerulus juga dipengaruhi waktu
makan dan olahraga, yaitu akan meningkat setalah makan 1 jam dan LFG
akan mengalami penurunan sementara selama olahraga. Makanan protein
tinggi atau suplemen dapat memengaruhi LFGe, sehingga disarankan tidak
mengkonsumsi daging setidaknya 12 jam sebelum melakukan tes darah untuk
LFGe. Progresivitas PGK dapat diketahui melalui pengukuran LFGe dengan
minimal 3 kali pengukuran selama periode yang tidak kurang dari 90 hari.
Progresivitas PGK ditentukan sebagai penurunan LFGe > 5 mL/min/1,73m 2
dalam 1 tahun atau > 10 mL/min/1,73m2 dalam 5 tahun. 7

3.10. Gagal Jantung pada Penyakit Ginjal Kronik


Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme
jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah definisi gagal relatif
terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan
pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium
ditujukan spesifik pada fungsi miokardium.Gagal miokardium umumnya
mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi
dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit menjadi
gagal jantung.10
Gagal Jantung adalah sindrom klinis kompleks berupa disfungsi
ventrikel kanan, ventrikel kiri atau keduanya, yang menyebabkan perubahan
pengaturan neurohormonal. Sindrom ini biasanya diikuti dengan intoleransi
aktivitas, retensi cairan dan upaya untuk bernafas normal. Umumnya terjadi
pada penyakit jantung stadium akhir setelah miokard dan sirkulasi perifer
mengalami kekurangan cadangan oksigen dan nutrisi serta sebagai akibat
mekanisme kompensasi. Pasien gagal jantung memiliki tampilan
berupagejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat
beraktivitas dengan disertai kelelahan atau tidak), tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema kaki), adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istrahat. 10,11
Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal
jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri.
Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik
dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan
hipertropi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal
jantung. Adanya krisis hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal
jantung akut. 10,11
Penyebab Gagal jantung dapat dibedakan dalam tiga kelompok yang
terdiri dari:
1) Kerusakan kontraktilitas ventrikel,
2) Peningkatan afterload, dan
3) Kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel.
Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan coronary arteri disease
(miokard infark dan miokard iskemia), chronic volume overload (mitral dan
aortic regurgitasi dan cardiomyopathies). 10,11
Gagal jantung merupakan suatu gangguan progresif pada jantung yang
dimulai setelah serangkaian peristiwa terjadi, seperti kerusakan otot jantung,
hilangnya fungsi sel otot jantung, atau hilangnya kemampuan otot jantung
dalam berkontraksi secara normal. Peristiwa-peristiwa ini dapat terjadi
secara tiba-tiba atau perlahan-lahan.10
Mekanisme kompensasi tubuh (mekanisme neurohormonal) dalam
menghadapi kondisi pompa jantung atau curah jantung yang menurun,
meliputi pengaktivasian: 10,11
1. Sistem saraf simpatis, dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung
2. Sistem renin-angitensin-aldosteron (RAA), sistem saraf adrenergik, dan
sistem ADH. Sistem-sistem ini melalui ginjal dapat meningkatkan
retensi natrium dan air sehingga dapat meningkatkan tekanan pengisian
jantung.
3. Sistem-sistem vasodilator seperti ANP, BNP, prostaglandin, dan NO
yang dapat mengimbangi vasokonstriksi perifer yang berlebihan.
Pasien gagal jantung mengalami penurunan curah jantung yang dapat
memicu disfungsi baroreseptor pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arkus
aorta. Disfungsi tersebut menyebabkan hilangnya inhibisi tonus
parasimpatis terhadap sistem saraf pusat, sehingga tonus saraf simpatis
eferen dapat meningkat secara general. Peningkatan tonus simpatis eferen
menyebabkan pelepasan ADH (vasokonstriktor poten) dan terjadi retensi
air. Aktivasi sistem saraf simpatis juga dapat menyebabkan pelepasan
sistem RAA yang dapat menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II dan
aldosteron melalui ginjal. Kedua aktivasi RAA dan ADH dapat
meningkatan retensi air dan natrium tubuh serta memicu vasokonstriksi
perifer, hipertrofi miosit, kematian sel miosit, dan fibrosis miokardium.
Mekanisme kompensasi neurohormonal sebenarnya hanya dapat
memfasilitasi adaptasi turunnya curah jantung dalam waktu yang singkat
dengan mempertahankan tekanan darah, sehingga mempertahankan perfusi
ke organ-organ vital. Aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus
dapat menyebabkan perubahan pada jantung dan sitem sirkulasi, meliputi
retensi natrium dan air yang berlebihan pada gagal jantung lanjut.Aktivasi
sistem-sistem neurohormonal dalam waktu yang lama dapat menginduksi
proses maladaptif yang dapat menyebabkan remodelling ventrikel dan
disfungsi organ. 10,11
Edema jaringan terjadi ketika transudasi cairan dari kapiler ke
jaringan interstisial melebihi kapasitas drainase sistem limfatik,
meningkatnya tekanan hidrostatik transkapiler, dan menurunnya tekanan
onkotik transkapiler. Pada individu yang sehat, peningkatan retensi natrium
biasanya tidak akan disertai pembentukan edema karena jaringan
glikosaminoglikan akan menyangga retensi natrium tersebut. Retensi
natrium terjadi secara terus menerus pada pasien gagal jantung sehingga
jaringan glikosaminoglikan akan mengalami gangguan fungsi dan sistem
sangga ini tidak akan terjadi. Hal ini memudahkan terjadinya edema paru
dan edema sistemik.11
Pasien gagal jantung akut dengan hipertensi, terjadi perubahan yang
dapat meningkatan afterload dan menurunkan kapasitas vena (peningkatan
preload). Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan
fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ atau kemampuannya hanya
ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (filling
pressure). 11
Tabel 17. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung Berdasarkan NYHA Classification
NYHA I Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan
dalam aktivitas fisik sehari-hari biasa, misalnya berjalan,
naik tangga, dan sebagainya.
NYHA II Gejala ringan (sesak nafas ringan dan/atau angina) serta
terdapat keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik sehari-
hari biasa)
NYHA III Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari akibat
gejala gagal jantung pada tingkatan yang lebih ringan,
misalnya berjalan 20-100 m. Pasien hanya merasa nyaman
saat istirahat.
NYHA IV Terdapat keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala
muncul saat istirahat.

Tabel 18. Tanda dan Gejala Gagal Jantung


Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Sesak nafas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojugular
- Paroxysmal nocturnal dyspneu - Suara Jantung SIII (gallop)
- Toleransi aktivitas yang berkurang - Apex jantung bergeser ke lateral
- Cepat lelah - Bising jantung
- Bengkak di pergelangan kaki
Kurang Tipikal Kurang Tipikal
- Batuk di malam hari/ dini hari - Edema paru
- Mengi - Krepitasi pulmonal
- BB bertambah > 2 kg/minggu - Suara pekak di basal paru pada
- BB turun/ gagal jantung stadium perkusi
lanjut - Takikardi
- Perasaan kembung/begah - Nadi irreguler
- Nafsu makan menurun - Nafas cepat
- Perasaan bingung (terutama usia - Hepatomegali
lanjut) - Asites
- Depresi
- Berdebar
- Pingsan
Dikutip dari ESC Guidelines for diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2016.

Berdasarkan gejala dan tanda yang dapat ditemukan diatas, ditetapkan


suatu kriteria diagnosis menurut system Framingham untuk memudahkan
dalam menegakkan diagnosis pasien dengan kecurigaan menderita CHF.
Gejala dan tanda diatas akan dikelompokkan menjadi kriteria mayor dan
kriteria minor, dimana selanjutnya diagnosis CHF dapat ditegakkan apabila
memenuhi:
a. Dua kriteria Mayor terpenuhi, atau
b. Satu kriteria Mayor dan 2 Kriteria Minor terpenuhi secara bersamaan,
dengan syarat kriteria minor berlaku apabila gejala yang muncul bukan
akibat kondisi medis lainnya.
Diagnosis gagal jantung kronik dapat ditegakkan bila terdapat paling
sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor.8

Tabel 19. Tanda dan Gejala Gagal Jantung


Kriteria Mayor Kriteria Minor
- Paroxysmal nocturnal - Edema ekstremitas
dispnea - Batuk malam
- Distensi vena-vena leher - Sesak pada saat aktivitas
- Peningkatan vena jugularis - Hepatomegalli
- Ronkhi - Efusi pleura
- Kardiomegalli - Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
- Edema paru akut normal
- Gallop bunyi jantung III - Takikardia (>120 denyut per menit)
- Refluks hepatojugular positif
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien a.n. Tn. HRZ, usia 51 tahun, alamat di Lubai Ulu, Muara Enim,
dibawa ke IGD RSUD Dr. H. M. Rabbain Muara Enim pada tanggal 09 Juni 2019
dengan keluhan utama sesak yang memberat + 4 hari SMRS disertai bengkak
seluruh tubuh. Kondisi yang dapat dipikirkan berupa
Sejak ± 4 bulan SMRS, pasien mengeluh sesak nafas yang dirasakan terus
menerus tanpa dipengaruhi cuaca. Pasien mengaku sesak bertambah berat jika
pasien berjalan + 100 meter. Sesak yang dirasakan berkurang jika pasien istirahat
dengan posisi duduk. Pasien mengeluh sering terbangun pada malam hari karena
sesak yang dirasakan, oleh karena itu pasien mengaku lebih nyaman tidur pada
posisi bantal tinggi (2-3 bantal). Batuk (-), demam (-), mual (-), muntah (-),
penurunan nafsu makan (-). Pasien berobat ke RS Santo Antonio di Baturaja
dinyatakan mengalami sakit ginjal dan sakit jantung. Pasien diberi obat yang
pasien lupa namanya apa.
Sejak + 3 bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas disertai sembab pada
wajah. Pasien mengaku sesak bertambah berat jika pasien berjalan + 50 meter.
Mual (-), muntah (-), demam (-), penurunan nafsu makan (-), batuk (-). Pasien
kembali ke RS Santo Antonio untuk melakukan pengobatan diberi obat darah
tinggi, kencing manis, dan pengurang sembab wajah. Pasien rutin berobat ke RS
Antonio sejak 3 bulan ini dikarenakan sesak dan sembab wajah yang sering
kambuh. Keluhan sesak dan sembab dirasakan berkurang jika pasien ke rumah
sakit.
Sejak + 2 minggu SMRS pasien mengeluh sesak bertambah berat disertai
bengakak pada wajah dan kaki. Pasien mengaku sesak bertambah berat saat pasien
berjalan ke kamar mandi. Mual (+), muntah (+), muntah isi makanan yang dimakan,
demam (-), penurunan nafsu makan (+), batuk (+), batuk dirasakan seperti ada dahak,
tetapi dahak tidak keluar. Pasien kembali ke RS Santo Antonio dan dirawat beberapa
hari namun tidak ada perbaikkan. Bengkak dirasakan bertambah parah, menyebar ke
seluruh tubuh dan perut dirasakan mengencang. Pasien dirujuk ke RSUD Rabain untuk
ditatalaksana lebih lanjut.
Seorang laki-laki 51 tahun datang dengan keluhan sesak nafas memberat
sejak ± 1 hari sebelum masuk rumah sakit disertai bengkak seluruh tubuh. Pasien
datang ke IGD dengan kondisi sesak yang memberat yaitu tidak dapat menghilang
dengan istirahat dan tidak dapat berkurang lagi walaupun tidur dengan 3 bantal,
pasien juga harus dalam posisi membungkuk untuk sedikit meringankan sesaknya.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak yang semakin sering dan dirasakan
sejak ± 2 minggu SMRS dengan dahak berwarna putih kental sebanyak ± 1
sendok makan setiap kali batuk, darah pada dahak tidak ada. Batuk ini
memperburuk kondisi sesak pada pasien. Sesak memberat yang dialami pasien
tidak dipengaruhi posisi, cuaca serta aktivitas. Sesak memberat terutama pada
malam hari sehingga mengganggu tidur pasien. Nyeri dada tidak ada. Rasa
berdebar-debar tidak ada. Demam tetap ada, tidak terlalu tinggi dan disertai
periode bebas demam. Sakit kepala tidak ada, keringat malam tidak ada, nafsu
makan berkurang tidak ada, berat badan menurun tidak ada, mual ada namun tidak
muntah, badan lemas tidak ada, bengkak pada tubuh tidak ada. BAK dan BAB
tidak ada kelainan.
Sesak yang dirasakan pasien mulai memberat sejak ± 3 hari SMRS, pasien
mengeluh sesak yang dirasakan terus-menerus. Sesak dipengaruhi oleh aktivitas,
namun tidak dipengaruhi posisi dan cuaca. Pasien sering terbangun pada malam
hari karena sesak nafas. Sesak terutama memberat ketika pasien batuk. Pasien
akhirnya harus tidur dengan menggunakan 3 bantal untuk meredakan sesak dan
batuknya. Sesak tidak disertai suara mengi. Nyeri dada tidak ada. Rasa berdebar-
debar tidak ada. Demam ada, tidak terlalu tinggi disertai periode bebas demam.
Sakit kepala tidak ada, keringat malam tidak ada, nafsu makan berkurang tidak
ada, berat badan menurun tidak ada, mual dan muntah tidak ada, badan lemas
tidak ada, bengkak pada tubuh tidak ada. BAK dan BAB tidak ada kelainan.
Pasien sebelumnya memiliki riwayat sakit jantung dengan keluhan yang
serupa ± 5 tahun yang lalu. Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak
nafas yang disertai dengan batuk dan bengkak pada mata, wajah, perut, dan
tungkai. Pasien didiagnosis CHF oleh dokter dan diberikan tatalaksana. Pasien
hanya ingat diberikan obat yang diletakkan di bawah lidah dan furosemide. Pasien
tidak rutin kontrol. Pasien juga memiliki riwayat darah tinggi yang diketahui sejak
± 5 tahun yang lalu. Kondisi pasien yang tidak rutin kontrol menyebabkan
keluhan CHF yang mirip seperti sebelumnya berulang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 140/110 mmHg dan
frekuensi nafas 28x/menit. Pada pemeriksaan keadaan spesifik juga didapatkan
ronkhi basah halus di basal kedua paru dan batas jantung kiri pada ICS VI linea
axillaris anterior sinistra. Pemeriksaan penunjang berupa rontgen thorax PA
pasien didapatkan kesan kardiomegali dengan CTR>50%.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan maka pasien ini memenuhi kriteria Framingham
dalam penegakan diagnosis Congestive Heart Failure (CHF). Kriteria yang
terpenuhi antara lain kriteria mayor (paroksismal nokturnal dyspnea, ronkhi paru,
kardiomegali) dan kriteria minor (batuk malam hari dan dyspnea d’effort).
Tingkat keparahan CHF pada pasien ini berdasarkan New York Heart Association
(NYHA) yaitu NYHA III yang berarti terdapat keterbatasan dari aktivitas fisik
dan lebih nyaman saat istirahat, aktivitas fisik yang ringan dapat menyebabkan
lelah, berdebar, dan sesak.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien antara lain tatalaksana non
farmakologis dan farmakologis. Tatalaksana non farmakologis yaitu tirah baring,
diet, dan edukasi mengenai penyakit serta rencana pengobatan. Tatalaksana
farmakologis yaitu pemberian O2 5L/menit via nasal canule, injeksi furosemide
2x1 ampul intravena, spironolakton 1x25 mg per oral, digoxin 1x1 tab per oral,
miniaspilet 1x1 tab per oral, dan ambroxol 3x1 tab per oral.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra, Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Siti Setiati et al. (Ed.). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna Publishing, 2014: 2161-2167
2. Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO 2012
Clinical Practice Guidelinefor the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease. Journal of The International Society of Nephrology
[Internet]. 2013 [cited 2019 June 21]; 3(1). Available from:
http://www.kidney-international.org
3. Hill, Nathan R. et al. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease: “A
Systematic Review and Meta-Analysis”. Plosone [Internet]. 2016 [cited 2018
July 5]; 11(7):1-18. Available from: http://journals.plos.org/ plosone/article?
id=10.1371/journal.pone.0158765
4. Tjekyan, R. M. Suryadi. Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik
di RSUP Dr . Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. MKs [Internet].
2014 [Cited 2019 June 20]; (4):275-282. Available from: http://eprints.
unsri.ac.id/5558/1/Prevalensi_dan_Faktor_Risiko_Penyakit_Ginjal_Kronik_d
i.pdf
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar:
Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, 2013: 32-94.
6. Bargman, Joanne M. dan Karl Skorecki. Chronic Kidney Disease. Fauci et al.
(Ed.). Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. United States
of America: McGraw-Hill Companies, 2008: 1761-1771.
7. Ackland, Penny. Prevalence, Detection, Evaluation, and Management of
Chronic Kidney Disease. Goldsmith et al. (Ed.). ABC of Kidney Disease 2nd
Edition. London: Blackwell Publishing, 2013: 15-22.
8. Brugnara, Carlo dan Kai-Uwe Eckardt. Hematologic Aspects of Kidney
Disease. Taal et al. (Ed.). Brenner and Rector’s The Kidney 9 th Edition.
United States of America: Elsevier, 2012: 2081-2121.
9. Effendi, Imam dan H. M. S. Markum. Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit
Ginjal. Siti Setiati et al. (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Jakarta: Interna Publishing, 2014: 2049-2060
10. Mann, Doglas L., dan Chakinala, Murali. Section 279. Heart Failure:
Pathophysiology and Diagnosis. Dalam: Kasper Dennis L., dkk (Editor).
Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition; 2015.
11. Ghanie, A. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi VI Jilid I. Jakarta: InternaPublishing.2014; p.1148-1160.

Anda mungkin juga menyukai