Anda di halaman 1dari 60

Laporan Kasus

SINDROM NEFROTIK

Yolanda Fitriani, S.Ked


712021037

Pembimbing:
dr. Kristinawati Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus berjudul


SINDROM NEFROTIK

Dipersiapkan dan disusun oleh


Yolanda Fitiani, S.Ked
712021037

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepani
teraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di De
partemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI.

Palembang, Mei 2023


Dosen Pembimbing

dr. Kristinawati Sp.PD

KATA PENGANTAR

ii
Puji Syukur kehadirat Allah swt, Yang Maha Esa dengan segala keindahan-Nya, z
at Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang terlepas dari segala sifat
lemah semua makhluk. 
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Sindrom Nefrotik” sebagai salah satu syarat dalam mengi
kuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadi
yah Palembang di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Pale
mbang BARI.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Kri
stinawati, Sp.PD selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis meny
adari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu hany
a milik Allah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membang
un sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Palembang, Mei 2023

Penulis

DAFTAR ISI

iii
HALAMANPENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB II. LAPORAN KASUS.................................................................................3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................20
3.1. Anatomi Ginjal..................................................................................... 20
3.2. Definisi Sindrom Nefrotik.................................................................... 24
BAB IV. ANALISA KASUS .............................................................................. 50
BAB V. KESIMPULAN ..................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 56

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sindrom nefrotik adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan
proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Etiologi sindrom
nefrotik dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein, dan lain lain.1
Umumnya, sindrom nefrotik disebabkan oleh adanya kelainan glomerulus.
Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik
idiopatik, karena penyebab terjadinya gejala yang tidak diketahui secara pasti.
Selain idiopatik, sindrom nefrotik dapat juga disebabkan oleh gangguan sistemik
lain yang menyebabkan kerusakan ginjal atau yang disebut juga dengan sindrom
nefrotik sekunder.2
Pada pengobatan kortikosteroid inisial, sebagian besar SNKM (94%)
mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak
responsive (resisten steroid).5,6 Prognosis jangka panjang SNKM selama
pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal,
sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada
sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.4,5,6 Pada berbagai
penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih
sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran
patologi anatomi. Mortalitas dan prognosis sindrom nefrotik bervariasi
berdasarkan etiologinya, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang
mendasari, dan responnya terhadap pengobatan.5,6

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap kasus
Sindrom Nefrotik.

1
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi laporan
Sindrom Nefrotik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Sindrom Nefrotik.

1.3. Manfaat
1.3.1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang laporan kasus ini
1.3.2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
No. RM : 69.39.62
Nama lengkap : Tn. A
Umur : 13 Oktober 2001/ 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Tidak bekerja

2
Alamat : Jl. Ps Ing Kenayan Lr Sehaluan
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 24 April 2023
Tanggal Pemeriksaan : 24 April 2023
Dokter Pemeriksa : dr. Kristinawati, Sp.PD
Ruangan : Bangsal PDL

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Bengkak di wajah, tungkai dan perut sejak 1 bulan SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan bengkak
di wajah, tungkai dan perut sejak 1 bulan SMRS. Awalnya bengkak hanya di
wajah saja. Pasien mengeluh bengkak di wajah sering hilang timbul. Kemudian 1
minggu SMRS, pasien mengaku mulai merasakan bengkak di bagian seluruh
bagian tungkai dari pinggul sampai ujung kaki. Pasien juga mengaku perutnya
mulai membengkak.
Pada saat wajah yang bengkak, pasien mengatakan bahwa mungkin
bengkak disebabkan karena os minum obat-obatan anti nyeri sendi. Pasien
mengatakan kadang wajah bengkak hanya sebelah saja. Pada saat perut bengkak,
pasien mengatakan sulit bernapas. Pasien merasakan sesak pada sakit perut
kembung. keluhan adanya batuk, demam, mual dan muntah disangkal pasien.
Pasien memiliki kebiasaan sering minum-minuman panther 2 botol
perhari dan pasien juga sering minum-minuman soft drink. Pasien mengaku
sangat jarang minum air putih. Pasien juga mengaku sering begadang pada malam
hari karena menjaga toko.
Pasien BAB 1x sehari normal. BAK 5x perhari berwarna kuning nafsu
makan normal. Pasien mengatakan sebelum bengkak berat badan 47 kg dan
setelah bengkak berat badan menjadi 52 kg. Keluhan ini baru pertama kali
dirasakan pasien. Keluhan yang sama pada keluarga disangkal.

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

3
Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit lambung : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit tiroid : disangkal

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit lambung : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal

2.5 Riwayat Kebiasaan


Pasien mengatakan setiap hari merokok dan menghabiskan rokok sebanyak 1
bungkus perhari. Pasien juga sering mengkonsumsi kopi sekitar 1-2 gelas perhari.
Selain itu, pasien mengaku tidak tidur teratur biasanya hanya 2-3 jam.
2.6 Pemeriksaan fisik
Dilakukan pada tanggal 24 April 2023
Keadaan Umum:
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 140/90 mmHg
- Nadi : 74x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 20x/ menit, tipe thorakoabdominal
- Temperature : 36,9oC
- Berat Badan : 52 kg

4
- Tinggi Badan : 173 cm

Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk kepala : Normocepali
- Rambut : Tidak rontok, tidak mudah dicabut
- Muka : Bengkak (+)

2. Pemeriksaan Mata:
- Exoftalmus : Tidak ada
- Endoftalmus : Tidak ada
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Refleks cahaya (+/+), (3mm/3mm), isokor
- Visus : Kabur jarak dekat dan jauh
- Gerakan : Baik ke segala arah, dengan jarak 6 meter
- Lapang Pandang : Luas

3. Pemeriksaan Telinga :
- Liang telinga :Normal
- Serumen : (-/-)
- Sekret : (-/-)
- Nyeri tekan : (-/-)
- Gangguan pendengaran : (-)

4. Pemeriksaan Hidung :
- Deformitas : (-)
- Nafas cuping hidung : (-)
- Sekret : (-)
- Epistaksis : (-)
- Mukosa hiperemis : (-)

5
- Septum deviasi : (-)

5. Pemeriksaan Mulut danTengorokan:


- Mulut mengot : (-)
- Bibir : sianosis (-), pucat (-)
- Gigi-Geligi : Karies (+)
- Gusi : hiperemis (-)
- Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
- Tonsil : T1-T1 Tenang
- Faring : hiperemis (-)

6. Pemeriksaan Leher :
- Inspeksi : tidak terlihat pulsasi vena jugularis, tidak terlihat
benjolan, lesi pada kulit (-)
- Palpasi : Pembesaran Tiroid (-), Pembesaran KGB (-)
- JVP : 5-2 cm H2O

7. Pemeriksaan Kulit :
- Hiperpigmentasi : (-)
- Ikterik : (-)
- Petikhie : (-)
- Sianosis : (-)
- Kulit : Normal
- Turgor : CRT > 2 detik

8. Pemeriksaan Thorax:
Paru-Paru Depan
Inspeksi : Simetris dan dinamis, Spider nevi (-), Sela iga melebar (-),
retraksi intercostae (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

6
Paru-Paru Belakang
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) menghilang sebelah kiri, ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Atas : ICS II linea parasternalis dextra et sinistra
- Kanan Bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
- Kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, reguler, Murmur (-),
Gallop (-)

9. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Cembung, venektasi (-), caput medusa (-), spider nevi (-),
benjolan (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba,
massa (-), ballotement (-), nyeri tekan suprapubik (-), ketok CVA
(-)
Perkusi : Tympani (+), undulasi (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

10. Pemeriksaan Genitalia:


Tidak diperiksa

11.Ekstremitas:
Lengan Kiri Kanan

7
- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi

Tangan Kiri Kanan


- Warna telapak Pucat Pucat
- Kuku Normal Normal
- Kelainan jari Normal Normal
- Edema + +

Tungkai dan kaki Kiri Kanan


- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi
- Edema + +

Reflek Fisiologis Kiri Kanan


- Biceps Normal Normal
- Triceps Normal Normal
- Patella Normal Normal
- Achilles Normal Normal

Reflek Patologis Kiri Kanan


- Babynski Negatif Negatif
- Oppenheim Negatif Negatif
- Gordon Negatif Negatif
- Schaeffer Negatif Negatif
- Rossolimo Negatif Negatif

2.7 Pemeriksaan Penunjang

8
 Pemeriksaan EKG ( Tanggal 24 April 2023)

Interpretasi : EKG Normal

 Pemeriksaan Rontgen Thorax (Tanggal 24 April 2023)

9
Pada pemeriksaan foto Rontgen didapatkan :
 Cor tidak bias dievaluasi
 Pulmo perselubungan latero basal kanan dan kiri
 Sinus costophrenicus kanan kiri tumpul

Kesan :
Pleura effusion bilateral

 Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 24 April 2023)


Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hematologi
Hemoglobin 14,6 g/dl 14,0 - 16,0 g/dl Normal
Eritrosit 5,34 juta/ul 4.5-5.5 juta/ul Normal
Hematokrit 18 % 40-52% Normal
Trombosit 536 10 /ul
3
150-400 10 /ul3
Meningkat
Leukosit 12,3 103/ul 5-10 103/ul Meningkat
Hitung Jenis
Eosinophil 1% 1-3% Normal
Basophil 0% 0-1% Normal
Neutrophil batang 1% 2-6 % Normal

10
Neutrophil segmen 61% 50-70% Normal
Limfosit 30% 20-40% Normal
Monosit 7% 2-8% Normal
Kimia Klinik
Protein total 3,4 g/dl 6,7-8,7 g/dl Menurun
Albumin 1,31 g/dl 3,8-5,1 g/dl Menurun
Globulin 2,09 g/dl 1,5-3,0 g/dl Normal
Cholesterol Total 628 mg/dl <200 mg/dl Meningkat
Ureum 74 mg/dl 20-40 mg/dl Meningkat
Kreatinin 1,5 mg/dl 0,9-1,3 mg/dl Meningkat
Urine
Warna Kuning
Kejernihan Keruh
Sedimen urine :
Leukosit 5-7/LPB 0-5
Eritrosit 5-7 1-3
Sel Epitel 1-2
Reaksi/Ph 8,0 5-8,5
Berat jenis 1,010 1,000-1,030
Protein +++ Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah/Hb ++ Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif

Lekosit + Negatif
Silinder Granuler
(+)
Kristal Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif
Lain-lain Negatif
2.8 Resume

11
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan bengkak di
wajah, tungkai dan perut sejak 1 bulan SMRS. Awalnya bengkak hanya di wajah
saja. Pasien mengeluh bengkak di wajah sering hilang timbul. Kemudian 1
minggu SMRS, pasien mengaku mulai merasakan bengkak di bagian seluruh
bagian tungkai dari pinggul sampai ujung kaki. Pasien juga mengaku perutnya
mulai membengkak.
Pada saat wajah yang bengkak, pasien mengatakan bahwa mungkin
bengkak disebabkan karena os minum obat-obatan anti nyeri sendi. Pasien
mengatakan kadang wajah bengkak hanya sebelah saja. Pada saat perut bengkak,
pasien mengatakan sulit bernapas. Pasien merasakan sesak pada sakit perut
kembung. keluhan adanya batuk, demam, mual dan muntah disangkal pasien.
Pasien memiliki kebiasaan sering minum-minuman panther 2 botol perhari
dan pasien juga sering minum-minuman soft drink. Pasien mengaku sangat jarang
minum air putih. Pasien juga mengaku sering begadang pada malam hari karena
menjaga toko.
Pasien BAB 1x sehari normal. BAK 5x perhari berwarna kuning nafsu
makan normal. Pasien mengatakan sebelum bengkak berat badan 47 kg dan
setelah bengkak berat badan menjadi 52 kg. Keluhan ini baru pertama kali
dirasakan pasien. Keluhan yang sama pada keluarga disangkal.

2.9 Assessment

1. Diagnosis Kerja : Sindrom Nefrotik et causa OAINS


Subjektif :
Keluhan terdapat bengkak di wajah, tungkai dan perut sejak 1 bulan SMRS.
Awalnya bengkak hanya di wajah saja. Pasien mengeluh bengkak di wajah sering
hilang timbul. Kemudian 1 minggu SMRS, pasien mengaku mulai merasakan
bengkak di bagian seluruh bagian tungkai dari pinggul sampai ujung kaki. Pasien
juga mengaku perutnya mulai membengkak. Pasien memiliki kebiasaan sering
minum-minuman panther 2 botol perhari dan pasien juga sering minum-minuman
soft drink. Pasien mengaku sangat jarang minum air putih. Pasien juga mengaku
sering begadang pada malam hari karena menjaga toko.

12
Objektif :
- Edema pada wajah, tungkai dan perut (+)

Diagnosis Banding :
1. Sindrom Nefrotik et causa infeksi
2. Sindrom Nefritik

Rencana Pemeriksaan Tambahan : Analisa Gas Darah

P:
 Non Farmakologi
- Tirah baring
- Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
- Stop merokok, olahraga, kurangi makan makanan yang tinggi kolesterol
dan memiliki kandungan garam yang tinggi
 Farmakologi
- Pemberian obat-obatan diuretik
2. Diagnosis kerja : Hipoalbumin ec proteinuria
Subjektif :
Keluhan terdapat bengkak di wajah, tungkai dan perut sejak 1 bulan SMRS.
Awalnya bengkak hanya di wajah saja. Pasien mengeluh bengkak di wajah sering
hilang timbul. Kemudian 1 minggu SMRS, pasien mengaku mulai merasakan
bengkak di bagian seluruh bagian tungkai dari pinggul sampai ujung kaki. Pasien
juga mengaku perutnya mulai membengkak.
Objektif :
- Edema pada wajah, tungkai dan perut (+)
Objektif :
- Edema pada wajah, tungkai dan perut (+)

13
Diagnosis Banding :
1. Hipoalbumin ec DLI
2. Hipoalbumin ec CKD

Rencana Pemeriksaan Tambahan : Analisa Gas Darah

P:
 Non Farmakologi
- Tirah baring
- Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
 Farmakologi
- Koreksi albumin
- Human albumin 20%
3. Leukositosis
Subjektif :
-
Objektif :
Leukosit 12.300 ribu/ul
Leukosit urin : +

P:
 Non Farmakologi
- Tirah baring
- Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
 Farmakologi
- Pemberian obat-obatan sesuai sumber infeksi
4. Hiperkolestrolemia et causa Sindrom Nefrotik
S:

14
-
Objektif :
Cholestrolo total 628mg/dl

Rencana Pemeriksaan Tambahan : LDL, Trigliserida, HDL.

P:
 Non Farmakologi
- Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
- Mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak trans tidak jenuh
- Mengurangi asupan kolestrol
- Perbanyak aktifitias fisik
- Berhenti merokok
 Farmakologi
- Atorvastatin 1x20 mg
5. Uremia renal
S:
-
Objektif :
Ureum 70 /dl
Diagnosis Banding :
1. Uremia prerenalis
2. Uuremia posrenalis
Rencana Pemeriksaan Tambahan : Pemeriksaan ffungsi ginjal
P:
 Non Farmakologi
- Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
- Batasi asupan protein

15
 Farmakologi
 Hemodialisis

2.10 Diagnosis Kerja


1. Sindrom Nefrotik et causa OAINS

2.11 Diagnosis Banding


1. Sindrom Nefrotik et causa infeksi
2. Sindrom Nefritik

2.12 Rencana Pemeriksaan Penunjang Khusus


1. Analisa gas darah

2.13 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis
 Tirah baring
 Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
 Stop merokok, olahraga, kurangi makan makanan yang tinggi kolesterol
dan memiliki kandungan garam yang tinggi.

b. Farmakologis
- Drip furosemide 4 amp dalam D5% 100 cc habis dalam 2 jam
- Inj. Omeprazole 2x40 mg
- Atorvastatin 1x20 mg
- Albumin 25% 1 x sehari selama 2 hari
- Aspilet 1x80 mg
- Candersartan 1x8 mg
- Inj. Metil prednisolon

16
2.14 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia
- Quo ad fungtionam : Dubia
- Quo ad Sanationam : Dubia

2.15 Follow Up

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning


24 April Bengkak KU: Tampak saki Sindrom Nefrotik Non Farmakologi
2023 pada wajah, t sedang - Tirah baring
tungkai dan Sens: Compos me - Edukasi mengenai
perut. ntis penyakit
TD: 140/90 mmH - Stop merokok,
g olahraga, kurangi
N:74x/menit, makan makanan yang
regular, isi dan te tinggi kolesterol dan
gangan cukup memiliki kandungan
RR: 20 x/menit garam yang tinggi.
T: 36,9ºC
Farmakologi:
- Drip furosemide 4
amp dalam D5% 100
cc habis dalam 2 jam
- Inj. Omeprazole 2x40
mg
- Atorvastatin 1x20 mg
- Albumin 25% 1 x
sehari selama 2 hari
- Aspilet 1x80 mg
- Candersartan 1x8 mg

17
- Inj. Metil prednisolon
25 April Bengkak KU: Tampak saki Sindrom Nefrotik Non Farmakologi
2023 pada wajah, t sedang - Tirah baring
tungkai dan Sens: Compos me - Edukasi mengenai
perut. ntis penyakit
TD: 130/80 mmH - Stop merokok,
g olahraga, kurangi
N:74x/menit, makan makanan yang
regular, isi dan te tinggi kolesterol dan
gangan cukup memiliki kandungan
RR: 20 x/menit garam yang tinggi.
T: 36,9ºC
Farmakologi:
- Drip furosemide 4
amp dalam D5% 100
cc habis dalam 2 jam
- Inj. Omeprazole 2x40
mg
- Atorvastatin 1x20 mg
- Albumin 25% 1 x
sehari selama 2 hari
- Aspilet 1x80 mg
- Candersartan 1x8 mg
- Inj. Metil prednisolon
26 April Bengkak KU: Tampak saki Sindrom Nefrotik Non Farmakologi
2023 pada wajah, t sedang - Tirah baring
tungkai dan Sens: Compos me - Edukasi mengenai
perut. ntis penyakit
TD: 130/90 mmH - Stop merokok,
g olahraga, kurangi
N:74x/menit, makan makanan yang
regular, isi dan te tinggi kolesterol dan

18
gangan cukup memiliki kandungan
RR: 22 x/menit garam yang tinggi.
T: 36,9ºC
Farmakologi:
- Drip furosemide 4
amp dalam D5% 100
cc habis dalam 2 jam
- Inj. Omeprazole 2x40
mg
- Atorvastatin 1x20 mg
- Albumin 25% 1 x
sehari selama 2 hari
- Aspilet 1x80 mg
- Candersartan 1x8 mg
- Inj. Metil prednisolon
27 April Bengkak KU: Tampak saki Sindrom Nefrotik Non Farmakologi
2023 pada wajah, t sedang - Tirah baring
tungkai dan Sens: Compos me - Edukasi mengenai
perut. ntis penyakit
TD: 140/90 mmH - Stop merokok,
g olahraga, kurangi
N:74x/menit, makan makanan yang
regular, isi dan te tinggi kolesterol dan
gangan cukup memiliki kandungan
RR: 20 x/menit garam yang tinggi.
T: 36,9ºC
Farmakologi:
- Drip furosemide 4
amp dalam D5% 100
cc habis dalam 2 jam
- Inj. Omeprazole 2x40
mg

19
- Atorvastatin 1x20 mg
- Albumin 25% 1 x
sehari selama 2 hari
- Aspilet 1x80 mg
- Candersartan 1x8 mg
- Inj. Metil prednisolon
28 April Bengkak KU: Tampak saki Sindrom Nefrotik Non Farmakologi
2023 pada wajah, t sedang - Tirah baring
tungkai dan Sens: Compos me - Edukasi mengenai
perut ntis penyakit
berkurang. TD: 120/90 mmH - Stop merokok,
g olahraga, kurangi
N:80x/menit, makan makanan yang
regular, isi dan te tinggi kolesterol dan
gangan cukup memiliki kandungan
RR: 21 x/menit garam yang tinggi.
T: 36,9ºC
Farmakologi:
- Drip furosemide 4
amp dalam D5% 100
cc habis dalam 2 jam
- Inj. Omeprazole 2x40
mg
- Atorvastatin 1x20 mg
- Albumin 25% 1 x
sehari selama 2 hari
- Aspilet 1x80 mg
- Candersartan 1x8 mg
- Inj. Metil prednisolon
29 April Bengkak KU: Tampak saki Sindrom Nefrotik Non Farmakologi
2023 pada wajah, t sedang - Tirah baring
tungkai dan Sens: Compos me - Edukasi mengenai

20
perut ntis penyakit
berkurang. TD: 120/90 mmH - Stop merokok,
g olahraga, kurangi
N:85x/menit, makan makanan yang
regular, isi dan te tinggi kolesterol dan
gangan cukup memiliki kandungan
RR: 20 x/menit garam yang tinggi.
T: 36,9ºC
Farmakologi:
- Drip furosemide 4
amp dalam D5% 100
cc habis dalam 2 jam
- Inj. Omeprazole 2x40
mg
- Atorvastatin 1x20 mg
- Albumin 25% 1 x
sehari selama 2 hari
- Aspilet 1x80 mg
- Candersartan 1x8 mg
- Inj. Metil prednisolon

21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untu
k homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan
cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masi
ng di sisi kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang
peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter,
sebuah vesika urinaria (buli- buli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lin
gkungan luar tubuh.7

Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masin
g-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal k
anan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri karena diseba
bkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Batas atas ginjal kiri yaitu tepi at
as iga 11 (vertebra T12), sedangkan batas atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 ata
u iga 12. Batas bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 c
m dari krista iliaka) sedangkan batas bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3.
7,8

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:8-10


 Korteks: bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan
tubulus kontortus distalis.
 Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung
Henle dan tubulus pengumpul (ductus kolektivus).
 Columna renalis: bagian korteks di antara pyramid ginjal
 Processus renalis: bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks
 Hilus renalis: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus
memasuki/meninggalkan ginjal.
 Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix
22
minor.
 Calix minor: percabangan dari calix major.
 Calix major: percabangan dari pelvis renalis.
 Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara
calix major dan ureter.
 Ureter: saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi
(yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle da
n tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus
ginjal tersebut terdapat pembuluh darah kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari
dan menuju glomerulus serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). B
erdasarkan letaknya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di ma
na korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit
saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, ya
itu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle y
ang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus y
ang disebut sebagai vasa rekta.8,9
Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan
dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setel
ah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris a. a
rcuata dan a.interlobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, y
aitu segmen superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.7,8
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis gi
njal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus
dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan pers
arafan simpatis melalui n.vagus.7,10

Fisiologi Ginjal
Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur
keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah,
pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yait
u9,10 :
23
a. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi te
kanan vaskuler.
b. Eritropoietin berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah.
c. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usu
s dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis.
d. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan va
skuler dan produksi aldosteron.

Tiga tahap pembentukan urine:


1) Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, yaitu proses
untuk menyaring darah yang melintasi kapiler glomerulus.Membran filtrasi antara lain, d
inding kapiler glomerulus yang terdiri dari satu lapis sel endotel gepeng memiliki banya
k pori berdiameter 0,1 µ sehingga 100 kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut
daripada kapiler di bagian tubuh lain, membran basalis yang terdiri dari lapisan gelatinos
a aselular terbentuk dari kolagen dan glikoprotein yang tersisip di antara glomerulus dan
kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural dan glikoprotein mengham
bat filtrasi protein plasma kecil. Protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi
karena tidak dapat melewati pori. Tetapi permeabilitas juga ditentukan oleh muatan. Mol
ekul yang bermuatan negative akan lebih sulit lewat karena glikoprotein bermuatan nega
tif sehingga menolak zat yang bermuatan negatif, misalnya albumin secara ukuran dapat
melewati pori tetapi karena muatannya negatif sehingga glikoprotein menolak albumin.
Oleh karena itu, protein plasma hampir tidak terdapat dalam filtrat. Lapisan terakhir, yait
u lapisan visceral kapsula bowman yang terdiri dari podosit yang tersusun saling terjalin
dan meninggalkan celah disebut celah pori.8-
Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantu
ng atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit d
ialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerul
us (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut fil
trat. Tekanan yang menentukan GFR, yaitu tekanan darah kapiler glomerulus ditimbulk
an oleh darah di dalam kapiler glomerulus yang mendorong filtrasi, tekanan osmotik kol
oid plasma ditimbulkan dari protein plasma yang tidak terfiltrasi yang melawan filtrasi,
dan tekanan hidrostatik kapsula bowman ditimbulkan oleh filtrate dalam kapsula bowm
24
an yang melawan filtrasi. Tekanan filtrasi netto yang merupakan perbedaan tekanan yan
g mendorong dan melawan filtrasi yang nantinya akan mendorong filtrasi.8,10

2) Reabsorpsi
Reabsorpsi merupakan proses penyerapan kembali air dan susbtansi penting seperti
natrium, air, glukosa, asam amino, dan bikarbonat dari tubulus renal kembali ke dalam d
arah. Reabsorpsi terdiri dari proses aktif yang melawan gradien elektrokimia menggunak
an energi dan proses pasif yang mengikuti gradient elektrokimia. Lokasi reabsorbsi ham
pir terjadi di seluruh tubular nefron, yaitu 88% filtrat diserap kembali dalam tubulus kont
ortus proksimal yang dibentuk oleh sel epitel dengan brush border yang meningkatkan l
uas permukaan reabsorpsi, natrium dan klorida yang diserap dari ansa henle, dan tubulu
s kontortus distal menyerap kembali natrium, kalsium, dan bikarbonat Reabsorpsi substa
nsi penting, yaitu narium dengan tahap transportasi dari lumen tubulus renal de dalam se
l epitel tubulus, transportasi dari sel tubulus ke dalam cairan interstisial menggunakan p
ompa natrium kalium, dan transpotasi dari cairan interstisial ke dalam darah, kemudian
reabsorpsi air yang terjadi di tubulus kontortus proksimal serta distal dalam duktus kol
igentes dengan peranan ADH dan aquaporin, reabsorpsi glukosa dalam tubulus kontort
us proksimal, reabsorpsi asam amino dan bikarbonat yang terjadi di tubulus kontortus pr
oksimal.10

3) Sekresi
Sekresi tubular merupakan proses untuk mengangkut substansi dari darah ke dalam
tubulus renal. Proses sekresi tubuler juga dapat dinamakan ekskresi tubular. Sejumlah su
bstansi disekresikan ke dalam lumen dari kapiler peritubular melalui sel epitel tubuler. A
da bahan lain yang juga disekresikan, misalnya penisilin. Substansi yang disekresikan da
lam berbagai segmen tubulus renal, yaitu kalium disekresikan secara aktif oleh pompa n
atrium kalium dalam tubulus kontortus proksimal serta distal dan duktus koligentes, amo
nia disekresikan dalma tubulus kontortus proksimal, dan ion hidrogen disekresikan dala
m tubulus kontortus proksimal dan distal, yang terjadi maksimal di tubulus proksimal ya
ng bertujuan untuk mengontrol pH. Pada proses sekresi ini juga membuang senyawa yan
g tidak dapat difiltrasi atau membuang senyawa yang tidak diinginkan, seperti obat, urea,
dan asam urat.8,10
Jadi urin terbentuk dalam nefron melalui proses filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi tubular k
25
emudian urin didorong oleh kontraksi peristaltik melalui ureter dari ginjal menuju kandu
ng kemih kemudian dikeluarkan melalui uretra.8,9

Gambar 1. Skematik Nefron dalam Pembentukan Urin8

3.2 Definisi Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala: 1,6,11
1. Proteinuria massif (≥40 mg / m2/ LBP / jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2mg/ mg atau dipstick ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia ≤ 2,5g /dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg / dL

3.3 Epidemiologi Sindrom Nefrotik


Kebanyakan sindrom nefrotik terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan ana
k perempuan dengan perbandingan 2:1.4,5 Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak le
bih sering jika dibanding dengan angka kejadian sindrom nefrotik pada dewasa, dan keb
anyakan sindrom nefrotik pada anak adalah sindrom nefrotik primer.2
Sindrom nefrotik idiopatik pada anak, sebagian besar (80-90%) mempunyai gamba
ran patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM) terutama pada anak di bawah 16
tahun. Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental

26
(GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 1,9 – 2,3%, glomerulonefritis membra
noproliferatif (GNMP) 6,2%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,3%. Pada orang dewa
sa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun.1,4,5
Pada pengobatan kortikosteroid inisial, sebagian besar SNKM (94%) mengalami re
misi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).5,6
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5
% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal termin
al dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.4,5,6 Pa
da berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebi
h sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi a
natomi. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan et
iologinya, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responny
a terhadap pengobatan.5,6

3.4 Etiologi Sindrom Nefrotik


Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :12,13
 Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefro
tik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pad
a glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijum
pai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kon
genital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir ata
u usia di bawah 1 tahun.13,14
Sindrom nefrotik kongenital
Bayi-bayi yang menunjukan gejala sindrom nefrotik dalam 3 bulan pertama kehid
upannya didiagnosis sebagai sindrom nefrotik kongenital. Penyebab utama kelainan ini a
dalah sindrom nefrotik kongenital finnish type, suatu penyakit yang diturunkan secara au
tosomal resesif, terbanyak ditemukan pada populasi skandinavia dengan angka kejadi
an 1 diantar 8.000 bayi.4
Pada sindrom nefrotik kongenital tipe ini telah ditemukan adanya mutasi gen NPH
S1 yang berlokasi pada kromosom 19q13.1 gen ini mengkode protein nephrin, yaitu ko
mponen protein utama pada slit diaphragma di lapisan epitel glomerulus yang berpartisi
pasi dalam pembentukan anion. Lapisan anion ini berfungsi untuk menolak protein plas
ma secara elektro kimiawi. Sindrom nefrotik kongenital sering disertai gambaran klinis l
27
ain seperti lahir prematur dengan berat badan lahir kecil dibandingkan masa gestasinya,
plasenta besar, kelainan bentuk kepala dan wajah, gangguan pernapasan. Perjalanan pen
yakit ini berupa edema persisten, disertai infeksi berulang, dan penurunan fungsi ginjal p
rogresif, kematian umumnya terjadi sebelum usia lima tahun. Sindrom nefrotik kongenit
al dapat juga disebabkan oleh sifilis kongenital, toksoplasmosis dan infeksi sitomegalovi
rus yang diderita oleh ibu selama kehamilan.4,15
Sindrom nefrotik primer idiopatik
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan
ini paling sering dijumpai pada anak, yaitu meliputi 90% dari seluruh sindrom nefrotik
pada anak. Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompo
kkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Child
ren). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikrosko
p /cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektr
on dan imunofluoresensi.15,16
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom n
efrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan mi
nimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.4

Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik ata
u sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Pen
yebab yang sering dijumpai adalah: 3,4,15
1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, m
iksedema.
2. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial End
ocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion, probenecid, pen
isillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik, purpura Hen
och-Schonlein, sarkoidosis.
5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor gastrointestinal.
6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome

28
3.5 Patofisiologi Sindrom Nefrotik
Hipotesis “UNDERFILL”
Menurut hipotesis ini proteinuria masih menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia
dan tekanan onkotik plasma menurun. Cairan berpindah dari intravaskuler ke jaringan in
terstisial sehingga terjadi edema dan hipovolemia. Hipovolemia merangsang sistem sara
f simpatis, sistem rennin-angiotensin- aldosteron (RAAS).4,9,12 Aldosteron akan mereabs
orpsi garam dan air di tubulus ginjal, dengan tujuan menambah volume cairan intravask
ular, tetapi karena tekanan onkotik plasma tetap rendah maka cairan di kapiler akan ber
pindah lagi ke interstisial sehingga edema makin bertambah.4,15 Dalam proses ini akibat
adanya hipovolemia juga terjadi perangsangan terhadap hormon antidiuretik (ADH) dan
peptida natriuretik atrial (ANP = Atrial Natriuretic peptide). ADH meningkat hingga
menambah retensi air, ANP menurun dengan akibat terjadi retensi Natrium di tubulus. 3,4,
12

Gambar 2. Skema Hipotesis “Underfill” 12

2. Hipotesis “OVERFILL”
Pada hipotesis ini mekanisme utama adalah defek tubulus primer di ginjal (intra re
nal). Di tubulus distal terjadi restensi natrium (primer) dengan akibat terjadi hipervolemi
a dan edema. Jadi edema terjadi akibat overfilling cairan ke jaringan interstisial. Pada hi
29
potesis overfill karena terjadi hipervolemia, sistem RAAS (aldosteron) akan menurun. D
emikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat karena tubulus resisten terhadap ANP.
Akibatnya retensi Na tetap berlangsung dengan akibat terjadi edema 3,4,12
Kelompok pertama (underfill) disebut juga tipe nefrotik dan yang paling sering terj
adi SN kelainan minimal. Pada keadaan ini retensi Na dan air bersifat sekunder, terhada
p hipovolemia dan kadar renin dan aldosteron menurun, ANP rendah atau normal. Kelo
mpok kedua (overfill) disebut tipe Nefritik biasanya dijumpai pada SN bukan kelainan
(BKM) atau glomerulonefritis kronik.3,4,9
SN BKM pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain adanya hi
pervolemia juga sering dijumpai hipertensi, kadar renin dan aldosteron rendah atau norm
al dan ANP tinggi.12

Gambar 3. Skema Hipotesis “Overvill”12

 Proteinuria
Penyebab proteinuria pada SN adalah kerusakan fungsi atau struktur membran filtr
asi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus terdiri dari endotel fenestra sebelah dalam,
membran basalis dan sel epitel khusus dibagian luar yang dikenal dengan podosit. 9
Podosit memiliki tonjolan – tonjolan menyerupai kaki (foot processes), diantara to
njolan – tonjolan tersebut, terdapat celah diafragma, yang berperan penting dalam pemel
iharan fungsi filtrasi glomerulus. 4,9
Terdapat dua mekanisme yang berperan pada patogenesis SN, yaitu pertama secara
imunologis sel T memproduksi circulating factor, berupa vascular permeability factor
(VPF) yang merupakan asam amino identik dengan vascular endothelial growth factor
30
(VEGF). Hal ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler gromelurus sehingga
terjadi kebocoran protein. Mekanisme kedua adalah terdapatnya defek primer pada barie
r filtrasi glomerulus yang mengakibatkan celah diafragma melebar. 3,4
Zat – zat terlarut yang dapat melewati sawar gromelurus ditentukan oleh besarnya
molekul. Molekul > 10 kDa akan ditahan sehingga tidak dapat melewati sawar tersebut
(size selectivity barrier ). Bila ada gangguan pada mekanisme ini menyebabkan proteinu
ria baik protein dengan berat molekul besar (proteinuria nonselektif).9 Faktor lain yang d
apat mempengaruhi adalah adanya daya elektrostatik dari muatan negatif permukaan mo
lekul pada epitel foot processes yang dibentuk oleh siklprotein kapiler, heparan sulfat m
embran basalis gromelurus dan podokaliksin (charge-selectivity barrier).9,12 Gangguan
pada daya elektrostatik tersebut menyebabkan proteinuria selektif (protein dengan berat
molekul < berat molekul albumin dapat melewati membran filtrasi gromelurus). Kerusak
an struktur dan sawar elektrostatik ini menyebabkan banyaknya protein plasma yang mel
ewati filtrasi gromelurus.4,9 Pada penderita SNRS diduga selain charge – selectivity barr
ier juga berperan size – selectivity barrier yang menyebabkan proteinuria yang keluar se
lain berat molekul rendah (selektif) juga protein dengan berat molekul tinggi (non-selekt
if). 3,4,9

 Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkata
n katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tida
k memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal ata
u menurun.13
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah h
ipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan normal, pro
duksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi
sama dengan jumlah yang dikatabolisme.9 Katabolisme secara dominan terjadi pada ekst
rarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi al
bumin yang telah difiltrasi.9,13 Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupaka
n manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabo
lisme albumin. Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hin
gga 300%, sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbumine
31
mia menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan nor
mal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sinte
sis terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat.4

 Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.3,4,9,12 Teori u
nderfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema
pada SN.4 Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, sehingga
cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat pen
urunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan
ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengekserbasi
terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.3,4,13
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retens
i natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ektraselular meningkat sehingga terjadi edema
4 Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natr
ium dan edema akibat teraktivasinya sistem renin – angiotensin – aldosteron terutama ke
naikan konsentrasi hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel – sel tubulus ginjal
untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga eksresi ion natrium (natriuresis) menurun.9 Se
lain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakiba
tkan penurunan LFG dan kenaikan desakan starling kapiler peritubuler sehingga terjadi
penurunan eksresi natrium.9,13

 Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (L
DL), trigliserida meningkat, sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat,
normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penuru
nan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprpotein, VLDL, kilomikron, int
ermediate densitiy lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimul
asi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.9

32
Gambar 4. Patofisiologi Sindrom Nefrotik 9

3.6 Manifestasi Klinis Sindrom Nefrotik


Adapun manifesitasi klinik dari sindrom nefrotik adalah :
 Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak
pada sekitar 95% dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat se
hingga keluarga mengira bertambah gemuk. Pada fase awal edema sering bersifat int
ermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi ja
ringan yang rendah (misalnya daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya ede
ma menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).1,4,
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema muka
pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas
bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan
(pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih tipis dan m
engalami oozing. Edema biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandin
gkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria d
an hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.4
Edema paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan mini
33
mal (SNKM). Bila ringan, edema biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai re
sistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Edema bersifat
menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasa
rka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompens
asi berupa tachypnea. Akibat edema kulit, anak tampak lebih pucat.13
 Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik.
Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa us
us. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau ked
uanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pa
da sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena edema dinding perut atau pembeng
kakan hati.3,4
 Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakib
atkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid.4
 Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.4,13
 Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka per
napasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.2
 Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat da
n kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang ber
kembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emo
sional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kece
masan orang tua serta perawatan yang terlalu

34
sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.3,4
 Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International
Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM me
mpunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.1

3.7 Pemeriksaan Penunjang Sindrom Nefrotik


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:1,5
1. Urinalisis.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin p
ada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
3.1 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hemat
okrit, LED)
3.2 Albumin dan kolesterol serum
3.3 Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin
3.4 Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan dit
ambah dengan komplemen C4, ANA (antinuclear antibody), dan anti ds-DNA
4. Biopsi ginjal1

Hasil pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik yaitu :


 Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam a
tau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM b
iasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang l
ain.5
 Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. 1,
5

 Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berk
orelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meni
ngkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-
3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria. 5
 Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak
dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.3,4
 Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Pen
35
urunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjad
i pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM. 1,5
 Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada pe
meriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut b
erkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan
kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat
normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal deng
an ekogenisitas yang normal. 3

3.8 Kriteria Diagnosis Sindrom Nefrotik


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
1) Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,perut, tung
kai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga
dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.5,6

2) Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak
mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang- kadang ditemukan
hipertensi.6

3) Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
 Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara kualitatif +2 sampai +4. Seca
ra kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai reagen ESBACH ). Pada sedi
men ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel yang mengandung butir-butir lemak,
kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin dan toraks eritrosit.2,3,4,5
 Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun (N:6,2-8,1 gm/100ml), al
bumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2
globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-09 gm/100ml), γ
globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), kompleme
n C3 normal/rendah (N:80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin nor
36
mal kecuali ada penurunan fungsi ginjal, hiperkolesterolemia, dan laju endap darah y
ang meningkat. 2,3,4
 Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom gangguan nafas untuk mencari
penyebabnya apakah pneumonia atau edema paru akut.2
 Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun biopsy ginjal secara perkutan at
au pembedahan bersifat invasive, maka biopsy ginjal hanya dilakukan atas indikasi t
ertentu dan bila orang tua dan anak setuju.15

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara lain:
1. Urinalisis
Proteinuria dapat dideteksi menggunakan uji dipstick dengan hasil +3 atau +4. Pe
meriksaan kuantitatif menunjukan hasil dengan batasan 1-10g/hari. Proteinuria pada SN
didefinisikan >50mg/kg/hari atau >40mg/m2 LPB/jam. Jumlah protein yang diekskresika
n dalam urin tidak mencerminkan kuantitas protein yang melewati glomerular basement
membrane (GBM) karena sejumlah tertentu telah direabsorbsi di tubulus proksimal. 1 Bi
asanya pada SN resisten terhadap steroid (SNRS), urin tidak hanya mengandung albumi
n tapi juga protein lain engan berat molekul yang lebih tinggi. Hal ini dilihat pada po
lyacrylamide gel electrophoresis dan dihitung dengan alat indeks selektivitas.1,3

2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari13

3. Pemeriksaan darah15
 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
 Albumin
o Protein serum biasanya menurun dan lipid serum dapat meningkat. Proteinemia
<50g/L terjadi pada 80% pasien dan <40g/L pada 40% pasien. Konsentrasi albumin
menurun <20g/L hingga 10g/L.
 Kolestrol serum
o Hiperlipidemia akibat dari peningkatan sintesis kolestrol, trigliserida dan lipoprotein,
menurunnya katabolisme lipoprotein karena menurunnya akitivitas lipase
37
lipoprotein.
 Elektrolit serum
o Kadar natrium yang rendah berkaitan dengan dilusi yang disebabkan hipovolemia
dan sekresi hormon antidiuretik yang terganggu. Kalium dapat meningkat pada
pasien oliguria.
 Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin
o Kadar blood urea nitrogen dapat normal atau sedikit meningkat, anemia dengan
mikrositosis bias terjadi dan berhubungan dengan kehilangan siderophilin melalui
urin.
o Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz.
Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).15

3.9 Tatalaksana Sindrom Nefrotik


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada ko
ntraindikasi.1,11 Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon11.
Pemeriksaan yang dilakukan sebelum dimulainya terapi:5
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit
sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan.
Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

A. Terapi inisial1
Terapi inisial pada dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid s
esuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/
kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi.5 Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu.1,5,11 Bila terjadi rem
isi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m 2
LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), dalam do
sis terbagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh kemudian dilanjutkan

38
dengan tapering off alternate dose selama 3 bulan (gambar 2.7) 11 bila tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.5,11

Gambar 5.: Pengobatan sindroma nefrotik dengan terapi insial

Gambar 6. Skema pengobatan inisial dan relaps pada sindrom nefrotik

B. Pengobatan relaps
Skema pengobatan relaps dengan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal
4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remis
i yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian pred
nison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas.5 Bila terdapat i
nfeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perl
u diberikan pengobatan relaps.16 Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai ede
ma, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.1

39
Gambar 7. Pengobatan SN relaps

C. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


1. Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgb
b secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kg
bb setiap 2 minggu.16 Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil ya
ng tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis i
ni disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-
1 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekola
h sampai 1 mg/kgbb secara alternating.1,5
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating,
maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, di
berikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunka
n menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 m
g/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison
pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.16
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tet
api < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikom
binasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau la
ngsung diberikan siklofosfamid (CPA).1,5

40
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberik
an dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efe
k samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitis rash, dan neut
ropenia yang reversibel.1,16

3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak ada
lah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.5 Siklofosfamid dapat diberikan peroral
dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal , maupun secara intravena ata
u puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan
dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan se
banyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah
6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopes
ia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
keganasan.6 Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar
hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <30
00/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sem
entara dan diteruskan kembali setelah leukosit>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, t
rombosit >100.000/uL.5,6
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumul
atif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempuny
ai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan d
engan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pa
da SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.1

Gambar 8. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral.

41
Keterangan: Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai r
emisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilajutkan dengan prednison intermittent at
au alternating (AD) 40mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per
oral, dosis tunggal selama 8 minggu5,6

Gambar 9. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid 1

4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitos
tatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (10
0-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin da
rah berkisar antara 150-250 ng/mL.5 Pada SN relaps sering atau dependen steroid,
CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroi
d dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relap
s kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA
dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.6

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau
25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.1
6 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.16

D. Pengobatan SN dengan kontraindikasi steroid

42
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, se
perti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, m
aka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.1 Siklofosfamid dapat d
iberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara int
ravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan den
gan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9
%, diberikan selama 2 jam.6 CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interva
l 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).5

E. Pengobatan SN resisten steroid


Pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginj
al untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis.1,5

Gambar 10. Tatalaksana Sindrom Nefrotik

43
Gambar 11. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Terapi Suportif
A)Diet
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan koantraindikasi, hal ini k
arena pemberian diet tinggi protein akan menambahkan beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metobolisme dari protein (hiperfiltrasi) sehingga akan menyeb
abkan sklerosis glomerulus. Sedangkan jika diberikan diet rendah protein akan, pa
sien akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan per
tumbuhan anak.6 Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan recomme
nded daily allowances yaitu 1,5-2g/KgBB/hari. Selain itu, dapat juga diberi diet r
endah garam (1-2g/hari) tetapi hanya diperlukan selama anak menderita edema.6

B) Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama edema berat. Biasanya diberikan furosem
id 1-3 mg/KgBB/hari, bila perlu kombinasi dengan spironolakton 2-4 mg/KgBB/h
ari.

44
Jika pemberian diuretik tidak berhasil, maka dapat diberikan infus albumin 2
0- 25% dengan dosis 1 g/KgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari intersti
sial dan diakhiri dengan pemberian furosemid IV 1-2 mg/KgBB.1,5

Gambar 2.14. Algoritma pemberian diuretik (Sumber Konsensus tatalaksa


na sindrom nefrotik 2012)
1
Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan asite
s diberikan antibiotik profilaksis dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari,
sampai edema berkurang.5 Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik pr
ofilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infe
ksi 5 segera diberikan antibiotik. Biasanya diberikan antibiotik jenis amoksisilin,
eritromisin.5
C. Diet Rendah lemak dan diet rendah garam5

3.10 Komplikasi Sindrom Nefrotik


1. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi
perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah se

45
lulitis dan peritonitis primer.1 Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan
oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengob
atan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu se
fotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari.6 Infeksi lain yang sering ditemukan p
ada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila
terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam
waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan do
sis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/kgbb).28 Bila sudah terjadi infeksi p
erlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2 /hari dibagi 3 dosis) atau asiklov
ir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari, dan pengo
batan steroid sebaiknya dihentikan sementara.5

2. Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bu
kti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trom
bosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik.29 Bila diagnosis trombosis telah
ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara sub
kutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan trombo
emboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.4

3. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VL
DL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL me
nurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga
meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis. Pa
da SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan t
idak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit
lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan n
ormal untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan

46
pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).1,

4. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena: 1. Penggunaan steroid jangka pa
njang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia 2. Kebocoran metabolit vit
amin D Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama
(lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari
dan vitamin D (125-250 IU).1,5,6 Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium gl
ukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.1,5

5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terj
adi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan serin
g disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepa
t sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/k
gbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemi
a telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intrave
na.17

6. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan pen
yakit SN akibat toksisitas steroid.6 Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor
ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calciu
m channel blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah
persentil 90.1,5,15

7. Efek Samping Steroid


Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signif
ikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya.5 Efe
k samping tersebut meliputi kelainan metabolik berupa moon face, flushing, acne,
buffalo hump, striae, ekstremitas kurus, hiperglikemi, glukosauria, peningkatan na
psu makan, peningkatan berat badan, osteoporosis, miopati, gangguan pertumbuh

47
an, hipertensi, perubahan perilaku seperti euphoria, kelainan mata seperti katarak
dan glaukoma, supresi renal, peningkatan risiko infeksi, luka yang lama sembuh, t
ukak peptik dan demineralisasi tulang. 18 Pada semua pasien SN harus dilakukan p
emantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, penguk
uran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya ka
tarak setiap tahun sekali.1,5,6

3.11 Prognosis Sindrom Nefrotik


Prognosis baik jika dapat didiagnosis segera dan sensitif steroid. Pengobatan
segera dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme ko
mpensasi ginjal maupun proses autoimun.3,4 Prognosis baik, kecuali menderita unt
uk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun, disertai oleh hipertensi, hematur
ia nyata, jenis sindrom nefrotik sekunder dan resisten steroid. 3 Lebih dari 80% sin
drom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal deng
an steroid dan 50% di antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak mem
beri respons lagi dengan pengobatan steroid1,3,4

48
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan bengkak di wajah,
tungkai dan perut sejak 1 bulan SMRS. Awalnya bengkak hanya di wajah saja. Pasien
mengeluh bengkak di wajah sering hilang timbul. Kemudian 1 minggu SMRS, pasien
mengaku mulai merasakan bengkak di bagian seluruh bagian tungkai dari pinggul
sampai ujung kaki. Pasien juga mengaku perutnya mulai membengkak.
Pada saat wajah yang bengkak, pasien mengatakan bahwa mungkin bengkak
disebabkan karena os minum obat-obatan anti nyeri sendi. Pasien mengatakan kadang
wajah bengkak hanya sebelah saja. Pada saat perut bengkak, pasien mengatakan sulit
bernapas. Pasien merasakan sesak pada sakit perut kembung. keluhan adanya batuk,
demam, mual dan muntah disangkal pasien.
Pasien memiliki kebiasaan sering minum-minuman panther 2 botol perhari dan
pasien juga sering minum-minuman soft drink. Pasien mengaku sangat jarang minum
air putih. Pasien juga mengaku sering begadang pada malam hari karena menjaga toko.
Pasien BAB 1x sehari normal. BAK 5x perhari berwarna kuning nafsu makan
normal. Pasien mengatakan sebelum bengkak berat badan 47 kg dan setelah bengkak

49
berat badan menjadi 52 kg. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan pasien. Keluhan
yang sama pada keluarga disangkal.
Selain itu, pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema pada wajah, tungkai
dan perut pasien. Pada pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium, EKG dan pemeriksaan rotgen thoraks. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan adanya peningkatan pada trombosit, leukosit, cholesterol total, ureum dan
creatinin. Pada pemeriksaan laboratorium analisa urine didapatkan warna keruh
kekuningan, dengan protein +++. Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kesan
pleural effusion bilateral.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
kemungkinan pasien mengalami sindrom nefrotik. Menurut teori, sindrom nefrotik (SN)
adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala proteinuria massif (≥40 mg / m2/ LB
P / jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2mg/ mg at
au dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5g /dL, edema dan dapat disertai hiperkolesterol
emia > 200 mg / dL. 1,6,11
Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Peny
ebab yang sering dijumpai adalah: 3,4,15
1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,
miksedema.
2. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial
Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion, probenecid,
penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik, purpura
Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor gastrointestinal.
6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome
Pasien mengeluhkan adanya bengkak pada wajah, tungkai dan perut. Apapun tipe
sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak pada sekitar 95
% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat sehingga kelua
rga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal edema sering bersifat intermit

50
en; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan y
ang rendah (misalnya daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka).1,4,
Pada pasien juga ditemukan adanya undulasi positif. Edema berpindah dengan per
ubahan posisi, sering tampak sebagai edema muka pada pagi hari waktu bangun tidur, d
an kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak ber
sifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan ede
ma hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Edema biasanya tampak lebi
h hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebu
t disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.4

Pasien BAB 1x normal. Hal ini dapat menyingkirkan salah satu manifestasi klinis
sindrom nefrotik yaitu adanya gangguan gastrointestinal. Gangguan gastrointestinal seri
ng timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien deng
an edema masif yang disebabkan edema mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesi
s albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri peru
t yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh k
arena edema dinding perut atau pembengkakan hati.3,4
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan danya penurunan kadar albumin dan peni
ngkatan leukosit. Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin da
n peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningka
t (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mung
kin normal atau menurun. Sedangkan leukositosis dapat terjadi karena adanya infeksi se
kunder pada pasien. Pada pasiedn juga ditemukan peningkatan ureum, hal ini dapat terj
adi karena terdapat kerusakan pda ginjal sehingga proses filtrasi ginjal terganggu.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan adanya hiperkolesterolemia pada pasien.
Hal ini menjadi salah satu faktor risiko terjadinya sindrom nefrotik. Hal ini sejalan
dengan teori, bahwa kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat, sedangkan high density lipoprotein (HDL) da
pat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di he
par dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprpotein, VLDL,

51
kilomikron, intermediate densitiy lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotei
n lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.9
Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah tatalaksana non-farmakologi dan fa
rmakologi. Tatalaksana non-farmakologi meliputi tirah baring, edukasi mengenai penya
kit (definisi, penyebab, manifestasi klinis, tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasi
en kepada pasien dan keluarga. Stop merokok, olahraga, kurangi makan makanan yang t
inggi kolesterol dan memiliki kandungan garam yang tinggi. Sedangkan tatalaksana
farmakologi pasien meliputi drip furosemide 4 amp dalam D5% 100 cc habis dalam 2
jam, Inj. Omeprazole 2x40 mg, Atorvastatin 1x20 mg, Albumin 25% 1 x sehari selama
2 hari, Aspilet 1x80 mg, Candersartan 1x8 mg, Inj. Metil prednisolone.
Furosemid merupakan obat golongan diuretik loop, dimana obat ini bekerja
dengan menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida pada tubulus ginjal proksimal
dan distal serta loop Henle; dengan mengganggu sistem co-transport yang mengikat
klorida, menyebabkan peningkatan air, kalsium, magnesium, natrium, dan klorida.
Furosemid memiliki biovailabilitas sebesar 47-64% pada pemberian oral dengan onset
30-60 menit pada pemberian per oral, 30 menit pada pemberian intramuskular, dan 5
menit melalui intravena. Waktu puncak obat ini adalah 1-2 jam pada pemberian oral,
dan kurang dari 15 menit melalui intravena. Durasi kerja obat adalah 6-8 jam melalui
oral dan 2 jam melalui intravena. Furosemid dimetabolisme di hepar, dieliminasi
melalui urine dengan waktu paruh 30-120 menit pada pasien dengan fungsi ginjal
normal, dan 9 jam pada pasien dengan end stage renal disease.
Omeprazole merupakan obat golongan proton pump inhibitor yang digunakan
untuk tukak duodenum dan tukak lambung ringan, tukak peptik, refluks esofagitis,
sindrom zollinger-ellison dan eradikasi H.pylori
Atorvastatin termasuk jenis obat golongan statin yang berfungsi untuk menurunka
n kadar kolesterol jahat (LDL dan trigliserida), dan meningkatkan kolesterol baik (HD
L) dalam tubuh. Obat ini akan bekerja lebih efektif jika dibarengi dengan menerapkan di
et rendah lemak, serta pola hidup sehat lainnya, seperti berolahraga dan berhenti meroko
k. Efek samping obat atorvastatin biasanya bersifat ringan dan terjadi secara mendadak.
Beberapa efek samping yang umum terjadi, seperti konstipasi, buang-buang angin (kent
ut), sakit perut secara tiba-tiba, juga dispepsia. Dispepsia akan ditandai dengan gejala ny
eri pada perut bagian atas yang disertai dengan cepat kenyang, kembung, bersendawa, p

52
enurunan nafsu makan, mual, muntah, dan dada terasa panas.
Aspilet adalah obat tablet yang mengandung Acetylsalicylic Acid 80 mg.
Acetylsalicylic acid atau dikenal juga dengan Aspirin merupakan senyawa analgesik
non steroid yang digunakan sebagai analgesik, antipiretik, antiinflamasi dan anti-
platelet. Pada dosis kecil (80 mg - 100 mg), Acetylsalicylic acid, memiliki manfaat
sebagai anti-platelet dengan cara menghambat pembentukan trombus pada sirkulasi
arteri. Obat ini digunakan untuk mencegah agregasi platelet pada kondisi angina yang
tidak stabil dan serangan iskemik otak yang terjadi sesaat.
Albumin adalah komponen protein terbesar dari darah manusia. Albumin berperan
penting dalam pengaturan volume plasma dan kesimbangan cairan jaringan. Secara
alami, albumin diproduksi oleh hati dan bersirkulasi di dalam plasma, yaitu cairan
bening yang terdapat pada darah. Albumin dalam bentuk obat terbuat dari protein
plasma darah manusia dan tersedia dalam bentuk cairan infus. Cara kerja obat ini adalah
dengan meningkatkan volume plasma atau kadar albumin dalam darah. Pemberian
albumin ditujukan untuk menggantikan volume darah yang hilang pada kondisi
hipovolemia.
Candesartan adalah obat antihipertensi golongan penghambat reseptor angiotensin/
Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) yang bermanfaat untuk menurunkan tekanan dara
h. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pengikatan angiotensin II ke reseptor AT1
pada jaringan tubuh. Hal ini mengakibatkan pelebaran pembuluh darah sehingga aliran
darah menjadi lancar dan tekanan darah akan menurun. Selain itu, obat ini juga berfungs
i dalam pengobatan pada pasien dengan gagal jantung dan gangguan fungsi sistolik vent
rikel kiri ketika obat penghambat ACE tidak ditoleransi.

53
BAB V
KESIMPULAN

Telah dipaparkan kasus dengan diagnosis Sindrom Nefrotik. Pasien dirawat di


RSUD Palembang BARI dan saat ini pasien sudah pulang dengan kondisi perbaikan dan
disarankan untuk menjaga pola hidup sehat konsumsi obat secara teratur. Setelah
selesai dirawat pasien diminta untuk control kembali ke poliklinik penyakit dalam.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi, Idrus dkk. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Panduan Praktis
Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2021
2. Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan
Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2019
3. Avner ED, Harmon WE, Niaudet P. Pediatric nephrology. Springer. 2019. p. 667-
95
4. Kliegman RM, Emerson NW. Nelson textbook . 19th ed. Philadephia: Elsevier
Saunders. 2016. p.1801-6.
5. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2019
6. Marieb E N, Hoehn K. Human anatomy and physiology. 7th ed. Pearson
education.2019. p 166-72
7. Sherwood L. Human physiology. USA: brooks/Cole; 2017. p 554- 81

55
8. Silbernagi S, Lang F. Teks & atlas berwarna patofisiologi. Cetakan pertama. Jakarta
: EGC Penerbit Buku Kedokteran. 2017. p 92-95, 102-5
9. Sembulingam K, Sembulingam P. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi Kelima.
Jilid 1. Jakarta: Karisma. 2016. p 332-358
10. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. 2016. Indonesian Edition.
Indonesia : Saunders Elsevier. 2011. p 658 - 60
11. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Panduan pelayan medis. 2019. P 274-76
12. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta 2015. p 382- 422
13. Wigati R, Laksmi E. Alternatif terapi inisial pada sindrom nefrotik untuk untuk
menurunkan kejadian relaps. Volume 11, nomor 6. April 2018. p 415-19
14. Departemen farmakologi dan teraputik FK UI. Farmakologi dan terapi. Edisi
kelima. Badan Penerbit FKUI, Jakarta. 2016. p 513-4
15. Amir Syarif & Elysabeth. 2017. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit
FK UI.
16. Katzung, Bertram G. 2016. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta : EGC.

56

Anda mungkin juga menyukai