Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus

Chronic Kidney Disease Stage V

Penyusun:
Yolanda Fitriani, S.Ked.
712021037

Pembimbing:
Prof. dr. Eddy Mart Salim, Sp.PD, KAI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:
Chronic Kidney Disease Stage V

Oleh:
Yolanda Fitriani, S.Ked.

Telah dilaksanakan pada bulan April 2023 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, April 2023


Pembimbing

Prof .dr. Eddy Mart Salim, Sp.PD, KAI

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Chronic Kidney Disease Stage V” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:
1. Prof. dr. Eddy Mart Salim, Sp.PD, KAI, selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan, arahan,
serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan dokter muda atas kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu pengetahuan
kedokteran.

Palembang, April 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan..................................................................................1
1.3. Manfaat....................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................3
2.1. Identifikasi...............................................................................................3
2.2. Anamnesis................................................................................................3
2.3. Pemeriksaan Fisik....................................................................................4
2.4. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................8
2.5. Resume...................................................................................................11
2.6. Diagnosis Banding.................................................................................11
2.7. Diagnosis Kerja......................................................................................12
2.8. Penatalaksanaan.....................................................................................12
2.9. Prognosis................................................................................................12
2.10. Follow-Up..............................................................................................13
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................14
3.1. Chronic Kidney Disease........................................................................14
3.2. Anemia...................................................................................................31
BAB IV ANALISA KASUS.................................................................................40
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................48

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
kelainan dari struktur atau fungsi ginjal. Keadaan ini muncul selama lebih dari 3
bulan dan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan. Penurunan fungsi ginjal dapat
menimbulkan gejala pada pasien PGK.1
Menurut laporan Indonesian Renal Registry (2015), Jumlah pasien baru
terus meningkat dari tahun ke tahun dimana pada tahun 2007 terdapat 4.977
pasien, tahun 2008 meningkat menjadi 5.392 pasien, tahun 2009 meningkat
menjadi 8.193 pasien, tahun 2010 meningkat menjadi 9.649 pasien, tahun 2011
meningkat menjadi 15.353 pasien, tahun 2012 meningkat menjadi 19.621 pasien,
tahun 2013 terdapat penurunan menjadi 15.128 pasien, tahun 2014 meningkat
kembali menjadi 17.193 pasien, tahun 2015 meningkat menjadi 21.050 pasien.
World Health Organization memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan
pasien PGK pada tahun 1995-2025 sebesar 41,4% dan menurut data dari
Persatuan Nefrologi Indonesia (Pernefri) diperkirakan terdapat 70.000 pasien
penyakit ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10% setiap
tahunnya.2
Menurut World Health Organization (WHO), antara tahun 1995-2025
diperkirakan akan terjadi peningkatan pasien dengan penyakit ginjal 41,4% di
Indonesia. Prevalensi anemia pada pasien GGK menurut World Health
Organizatin (WHO) adalah 84,5% dengan prevalensi pada pasien dialysis kronis
menjadi 100% dan 73% pada pasien pradialisis.1

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap
kasus Chronic Kidney Disease (CKD).
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi
laporan Chronic Kidney Disease (CKD) dengan pembimbing klinik.

1
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Chronic Kidney Disease
(CKD), serta penyebabnya, terkait pada kegiatan kepaniteraan.

1.3. Manfaat
1.3.1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang laporan kasus ini.

1.3.2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identifikasi
Nama : Nn AS
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 07 September 1997 / 25 tahun
Alamat : Jl. A. Yani, Lr. Manggis Ujung, Silaberanti, Palembang
Dahulu pasien seorang TKI di malaysia, namun
Pekerjaan :
sekarang pasien tidak Bekerja
Agama : Islam
No. Reg. RS : 88-39-41
No. HP : 0898334648
Jaminan/Asuransi : BPJS (JKM)

Tanggal Pemeriksaan : 28 Maret 2023


Ruang : AD 8 Bed 1
Dokter Pemeriksa : Dr. Adhi Permana, Sp. PD
Co. Asisten : Yolanda Fitriani
MRS tanggal : 27 Maret 2023
Pulang : 31 Maret 2023

2.2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Dada terasa sesak

b. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien dating ke poliklinik RS Muhammadiyh Palembang dengan
keluhan dada terasa sesak sejak ± 2 hari SMRS. Sesak yang dirasakan
menetap dan tidak dipengaruhi aktivitas berat. Sesak membaik saat pasien
duduk. Sesak yang ditasakan tidak dipengaruhi cuaca, atau pencetus
sebelumnya. Sesak juga tidak disertai dengan mengi.
Pasien juga mengeluh badan terasa lemas, kelopak mata terasa
bengkak, dan kaki terasa gatal. Pasien mengaku sejak ± 2 hari SMRS
mengalami sakit kepala, nyeri ulu hati, nyeri pada lutut, gatal-gatal seluruh
3
tubuh, dan kaki bengkan. Demam, mual, dan muntah disangkal, BAB dan
BAK normal.
Pasien sempat dirawat di salah satu Rumah Sakit di Malaysia ± 1
minggu SMRS. Pasien melakukan cuci darah 2 kali di Malaysia pada
waktu seminggu sebelum ke indonesia. Pasien memutuskan untuk
melanjutkan pengobatan di Indonesia. Pasien sudah hemodialisa sebanyak
2x di RS Muhammadiyah Palembang. Untuk pembayaran hemodialisa
pasien mendapatkan gratis karena pasien memiliki Jaminan Kesehatan
Masyarakat (JKM).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi tidak terkontrol ada
- Riwayat penyakit diabetes disangkal
- Riwayat penyakit batu ginjal disangkal
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal
- Riwayat asma sebelumnya disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat darah tinggi ada pada ayah
- Riwayat penyakit diabetes melitus ada pada ibu
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat asma disangkal

e. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan suka makan makanan asin dan jarang
melakukan olahraga.

f. Riwayat Gizi
Makan 2 kali sehari sebanyak 1 piring. Pasien makan denggan teratur
dan nafsu makan baik.

2.3. Pemeriksaan Fisik

4
a. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Berat Badan : 66 kg
Tinggi Badan : 161 cm
Keadaan Gizi : Normal
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi
- Frekuensi : 98 x/m
- Irama : reguler
- Isi : cukup
- Tegangan : cukup
- Kualitas : baik
Pernapasan
- Frekuensi : 20 x/menit
- Irama : reguler
- Tipe : thorako-abdominal
Temperatur : 36,1oC

b. Keadaan Spesifik
Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala : normocephali
- Ekspresi : wajar
- Simetris muka : simetris
- Rambut : hitam, tidak mudah dicabut, tidak rontok

Pemeriksaan Mata
- Eksoftalmus : tidak ada (-/-)
- Endoftalmus : tidak ada (-/-)
- Palpebra : edema (+/+)
- Konjungtiva : anemis (+/+)
- Sklera : ikterik (-/-)
- Pupil : isokor, refleks cahaya (+/+)

5
- Gerakan : baik ke segala arah

Pemeriksaan Telinga
- Liang telinga : normal
- Serumen : ada (+/+)
- Sekret : tidak ada (-/-)
- Nyeri tekan : tidak ada (-/-)
- Gangguan pendengaran : tidak ada

Pemeriksaan Hidung
- Bagian luar : normal
- Septum : tidak ada deviasi (-)
- Deformitas : tidak ada (-)
- Epistaksis : tidak ada (-/-)
- Penyumbatan : tidak ada (-)

Pemeriksaan Mulut dan Tenggorokan


- Bibir : sianosis (-)
- Gigi-geligi : lengkap
- Gusi : hiperemis (-), normal
- Lidah : kotor (-), atrofi papil tidak ada (-)
- Tonsil : T1-T1 tenang
- Faring : hiperemis (-)

Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : simetris, tidak terlihat benjolan
- Palpasi : pembesaran tiroid dan KGB tidak ada (-)
- JVP : 5-2 cm H2O, distensi vena leher (-)

Pemeriksaan Kulit
- Hiperpigmentasi : tidak ada
- Ikterik : tidak adda
- Ptekie : tidak ada
- Sianosis : ada
6
- Turgor : baik
- Jaringan parut : tidak ada

Pemeriksaan Thorax
Paru Depan
- Inspeksi : Simetris. Dalam keadaan statis dan dinamis pergerakan
lapang paru sama. Venektasi (-), Tonjolan tumor (-), Luka bekas
operasi (-). Dyspnea.
- Palpasi : Stem fremitus sama pada kedua lapang paru kanan kiri,
nyeri tekan (-), krepitasi (-)
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal. Ronkhi (-/-). Wheezing (-/-)

Paru Belakang
- Inspeksi : Simetris. Dalam keadaan statis dan dinamis pergerakan
lapang paru sama. Venektasi (-)
- Palpasi : Stem fremitus sama pada kedua lapang paru kanan kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan kiri
- Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Atas : ICS II linea parasternalis dextra
- Bawah : ICS IV linea parasternalis sinistra
- Kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), spider nevi (-), benjolan (-), bekas
operasi (-)

7
Palpasi : Tegang, nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-),
bimanual ginjal kiri (-) tidak teraba, splenomegali (-), nyeri
tekan bimanual kanan ( - ) tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+), nyeri ketok CVA (-), shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus normal

Pemeriksaan Genitalia :
Tidak dilakukan pemeriksaan

8
Pemeriksaan Ekstremitas
- Superior Dextra : akral hangat, edema (+), kekuatan (5), nyeri
sendi (-), eritema (-), CRT < 2 detik.
- Superior Sinitra : akral hangat, edema (+), kekuatan (5), nyeri
sendi (-), eritema (-), sianosis (+), CRT < 2 detik.
- Inferior Dextra : akral hangat, edema (-), kekuatan (5), nyeri
sendi (-), eritema (-), CRT < 2 detik.
- Inferior Sinistra : akral hangat, edema (-), kekuatan (5), nyeri
sendi (-), eritema (-), CRT < 2 detik.

2.4. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium (27 Maret 2023)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Kesan
Rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 5.4 g/dl 14.0 – 18.0 Rendah

Hematokrit 16.4 % 42.0 – 52.0 Rendah

Trombosit 304 10^3/ul 150 – 440 Normal

Leukosit 8.4 10^3/ul 4.2 – 11.0 Normal

Hitung Jenis
Eosinofil 10.5 % 1–3 Meningkat
Basofil 0.6 % 0–1 Normal

Neutrofil 60.3 % 40 – 60 Meningkat

Limfosit 21.3 % 20 – 50 Normal


Monosit 7.3 % 2–8 Normal
LED 1 Jam 65 mm/jam <10 Meningkat

Kimia Klinik
Ureum 226 mg/dl 10–50 Meningkat
Kreatinin 6.1 mg/dl 0.50–1.50 Meningkat
Natrium 138 mEq/L 132–145 Normal

9
Kalium 5.9 mEq/L 3.5–5.5 Meningkat
Golongan B/+
darah
Urin rutin
Makroskopis Warna Kuning
kuning
muda
Kejernihan Agak Jernih
keruh
Berat jenis 1.010 1.005-1.030
Ph 7.0 4.5-7.5
Protein urin POS (++ Negatif
+)
Glukosa urin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif

b. Pemeriksaan Radiologi
(Thorax AP) (27 Maret 2023)
Pada pemeriksaan foto Thorax AP di dapatkan:
- Cor tidak membesar
- Corakan bronkovaskuler normal
- Tidak tampak infiltrate
- Diafragma kanan dan kiri licin
- Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
- Tulang-tulang intak
- Soft tissue baik

Kesan: Radiologis tak tampak kelainan thorax (inspirasi kurang


dalam)

10
c. Pemeriksaan USG
(28 Maret 2023)

Telah dilakukan pemeriksaan USG TUG didapatkan:


- Ginjal kanan: ukuran normal, tampak kista ukuran 0,6 cm, tak
tampak batu / hidronefrosis, tampak peningkatan intensitas echo
parenkim ginjal kanan
- Ginjal kiri: ukuran normal, tak tampak batu / hidronefrosis /
kista, tampak peningkatan intensitas echo parenkim ginjal kiri
- Vesika urinarius: dinding rata, tidak menebal, tak tampak batu
- Uterus: tidak membesar, homogen
Kesimpulan:
Parenkimal kidney disease bilateral
Kista ukuran 0,6 cm di ginjal kanan

d. Pemeriksaan EKG

11
Interpretasi EKG:
1) Irama Sinus Rhytm
2) HR : 98 x/menit
3) Axis tidak ado deviasi
4) Gelombang P normal
5) PR interval: Normal
6) Gelombang Q: Normal
7) Kompleks QRS: Normal
8) Gelombang T: Normal
Kesan: Normal

2.5. Resume
Pasien datang ke poliklinik RS Muhammadiyah Palembang dengan keluhan
sesak napas sejak ± 2 hari SMRS. Sesak dirasakan menetap terutama saat tidur
dan bangun tidur, dan membaik saat posisi duduk. Pasien juga mengeluh badan
terasa lemas, kelopak mata bengkak, kaki gatal. Seka ± 2 hari SMRS, pasien juga
mengeluh sakit kepala, nyeri ulu hati, dan lutut, gatal-gatal seluruh tubuh, dan
kaki bengkak.
Riwayat hiprtensi ado tidak terkontrol, pasien rutin melakukan cuci darah 1
minggu 2 kali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan,
sensorium compos mentis, tekanan darah 160/90 mmHg, HR 98x/menit, RR

12
20x/menit, temperature 36,1oC, dan saturasi oksigen 98%. Pada pasien didapatkan
konjungtiva anemis (+/+) dan edema pada palpebra.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb pasien rendah yaitu 5,4 g/dl
dengan hematokrit 16,4%, peningkatan ureum (226mg/dL), peningkatan kreatinin
(6.1 mg/dL), dan peningkatan kalium (5.9 mEq/L).
Pada pemeriksaan USG ginjal didapatkan kesan parenkimal kidney disease
bilateral dan kista ukuran 0,6 cm di ginjal kanan.

2.6. Diagnosis Banding

1. Chronic Kidney Disease stage V + Anemia ec CKD


2. Acute Kidney Injury + Anemia defisiensi besi

2.7. Diagnosis Kerja


Chronic Kidney Disease stage V + Anemia ec CKD

2.8. Penatalaksanaan

Non Farmakologis
- Edukasi mengenai penyakit pasien
- Diet rendah garam
- Pengaturan carian
- Transfusi PRC
- Hemodialisa

Farmakologis
- Inj. Furosemid 2x1 amp
- Nefrosteril inf 1x1 fls
- Amlodipine 1x5 mg tab
- Asam folat 3x5 mg tab
- Lansoprazole 2x1 caps
- Sucralfate syr 3x1 cth
- CaCo3 3x1 tab

13
2.9. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

14
2.10. Follow-Up
Tanggal Catatan Tindakan
28/03/2023 S: - Telah dilakukan hemodialisa
Pasien mengeluh sesak napas selama 1 jam
- Furosemide 2x1
O: - Nefrosteril 1 x1 fls
KU: tampak sakit sedang
- Amlodipine 1x5 mg
Sens: Compos Mentis
Nadi: 98x/mnt
RR: 21x/mnt
TD: 160/90 mmHg
Temp: 36,1oC
SpO2: 98%

A:
Chronic Kidney Disease Stage V + Anemia
29/03/2023 S: - Telah dilakukan hemodialisa
Pasien mengeluh sesak napas selama 1 jam
- Furosemide 2x1 amp
O: - Nefrosteril 1x1 fls

KU: tampak sakit sedang - Amlodipine 1x5 mg


- CaCO3 3x1
Sens: Compos Mentis
- Asam folat 3x1
Nadi: 98x/menit
- Lansoprazole 3x1 caps
RR: 23x/menit
- Sucralfate Syr 3x1
TD: 160/80 mmHg
Temp: 36,5oC
SpO2: 98%

A:
Chronic Kidney Disease Stage V + Anemia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

15
3.1. Chronic Kidney Disease
3.1.1. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu kelainan pada
struktur atau fungsi ginjal, yang berlangsung > 3 bulan, yang berdampak
pada kesehatan. CKD diklasifikasikan berdasarkan penyebab, Kategori GFR
(G1-G5) dan kategori albuminuria (A1-A3).3 Chronic Kidney Disease
(CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal dengan penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 selama minimal
3 bulan.5 CKD adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal.6

3.1.2. Epidemiologi
Pada tahun 2015, hasil Global Burden of Disease, menyebutkan
bahwa PGK merupakan penyebab kematian terbanyak ke-12, sekitar 1,1 juta
orang meninggal akibat PGK di seluruh dunia. Mortalitas PGK meningkat
sekitar 31,7% dalam 10 tahun terakhir, menjadikan PGK salah satu
penyebab kematian yang mengalami peningkatan tercepat, selain diabetes
dan demensia2. Pada studi yang sama, kematian akibat PGK berada pada
peringkat 17, meningkat 18,4% dari tahun 2005. Hal ini berlawanan dengan
penyakit tidak menular lainnya seperti penyakit kardiovaskular dan penyakit
paru obstruktif kronis, di mana mortalitas yang disebabkannya yaitu
menurun sekitar 10,2% dan 3,0%.7
Sedangkan, di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan
ranking dua pebiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit
jantung1. Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis
gagal ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan
prevalensi PGK di negara-negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi
PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap data
orang yang terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar PGK di Indonesia
baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir.8

16
Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok
umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi
pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih
tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%),
pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3%.
Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah
sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing
0,4 %. Di Sumatera Selatan, prevalensi penyakit gagal ginjal kronis adalah
0,1%.8
Data IRR dari 249 renal unit yang melaporm tercatat 30.544 pasien
aktif menjalani dialisis pada tahun 2015, sebagian besar adalah pasien
dengan gagal ginjal kronik. Sedangkan menurut penyebabnya, yang
terbanyak adalah akibat penyakit ginjal hipertensi dan nefropati diabetika.
Secara global, penyebab PGK adalah diabetes mellitus. Di Indonesia,
sampai dengan tahun 2000, penyebab terbanyak adalah glomerulonefritis,
namun beberapa tahun terakhir menjadi hipertensi berdasarkan data IRR.
Namun, belum dapat dipastikan apakah memang hipertensi merupakan
penyebab PGK atau hipertensi akibat penyakit ginjal tahap akhir, karena
data IRR didapatkan dari pasien hemodialisis yang sebagian merupakan
pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir.9

3.1.3. Etiologi & Faktor Risiko


Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit multifaktorial. Penyebab
penyakit ginjal kronik bervariasi antara satu negara dengan negara yang
lainnya. Penyebab penyakit ginjal kronik yang paling sering di negara maju
seperti Amerika Serikat adalah diabetik nefropati, sedangkan penyebab
penyakit ginjal kronik di negara berkembang adalah glomerulonefritis
kronik dan nefritis intertisial17. Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat
menyebabkan penyakit ginjal kronik seperti hipertensi, diabetes melitus,
pertambahan usia, ada riwayat keluarga penyakit ginjal kronik, obesitas,

17
penyakit kardiovaskular, berat lahir rendah, penyakit autoimun seperti lupus
eritematosus sistemik, keracunan obat, infeksi sistemik, infeksi saluran
kemih, batu saluran kemih dan penyakit ginjal bawaan.10
Faktor risiko terjadinya penyakit ginjal kronik, antara lain:
a) Pertambahan usia akan mempengaruhi anatomi, fisiologi dan sitologi
pada ginjal. Setelah usia 30 tahun, ginjal akan mengalami atrofi dan
ketebalan kortek ginjal akan berkurang sekitar 20% setiap dekade.
Perubahan lain yang akan terjadi seiring dengan bertambahnya usia
berupa penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangium
glomerular dan terjadinya deposit protein matriks ekstraselular
sehingga menyebabkan glomerulosklerosis.11
b) Berdasarkan Indonesian Society of Nephrology (InaSN) tahun 2000,
diabetes dan hipertensi merupakan penyebab kedua dan ketiga gagal
ginjal kronik di Indonesia setelah glomerulonephritis.12
c) Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan
resistensi arteriol aferen dan terjadi penyempitan arteriol eferen akibat
perubahan struktur mikrovaskuler. Kondisi ini akan menyebabkan
iskemik glomerular dan mengaktivasi respon inflamasi. Hasilnya,
akan terjadi pelepasan mediator inflamasi, endotelin dan aktivasi
angiostensin II intrarenal. Kondisi ini akan menyebabkan terjadi
apoptosis, meningkatkan produksi matriks dan deposit pada
mikrovaskuler glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau
nefrosklerosis.13
d) Keadaan hiperglikemia yang lama akan berakibat buruk pada ginjal
dan dapat menyebabkan terjadinya fibrosis dan inflamasi pada
glomerulus dan tubulus. Kondisi ini menyebabkan percepatan
kerusakan fungsi ginjal.
e) Riwayat batu saluran kemih akan menyababkan obstruksi yang
diakibatkan oleh batu saluran kemih tersebut dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intratubular yang diikuti oleh vasokonstriksi
pembuluh darah hingga mengakibatkan iskemik pada ginjal. Iskemik
pada waktu yang lama dapat menyebabkan glomeruloskerosis, atrofi

18
tubulus dan fibrosis intertisial. Obstruksi komplit pada ginjal selama
24 jam akan mengakibatkan kehilangan fungsi nefron secara
permanen sebanyak 15%.14
f) Infeksi saluran kemih merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
penyakit ginjal kronik. Terjadinya infeksi saluran kemih disertai
dengan refluk vesiko ureter akan memperbesar terbentuknya skar di
ginjal yang akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal.15
g) Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit autoimun yang
menyerang banyak organ salah satunya adalah ginjal. Enam puluh
persen pasien LES akan mengalami kerusakan ginjal.16

3.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini menyebabkan
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
renin-angiotensin-aldosteron sentrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor b (TGF-
b). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulus interstisial.17
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana LFG masih normal

19
atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum
merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi
keluhan pada pasien seperti, nokturi, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, uremia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas maupun infeksi
saluran cerna, juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo dan
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektolit antara lain natrium dan
kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah membutuhkan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.17
Terdapat 3 patogenesis yang terjadi pada PGK diantaranya adalah:18
a. Toksik Azotemia (metabolit toksik)
Toksik Azotemia adalah substansi normal, pada penurunan LFG
menyebabkan retensi zat tersebut (Ureum, Metilguanidin,
Guanindinosuccinic acid). Retensi zat-zat tersebut menyebabkan
beberapa keluhan diantaranya: haus, poliuria, mual, anoreksia,
stomatitis, kolitis ulserasi mukosa duodenum dan gaster,
perdarahan, kejang-kejang otot, parese saraf motorik,
hipertrigliseridemia.
b. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik
Kelainan metabolisme:
- Metabolisme Karbohidrat
Terjadi pseudo diabetes melitus, menurut beberapa penelitian
gangguan metabolisme ini terjadi akibat adanya antagonis

20
insulin perifer, kelainan insulin basal, dan sekresi insulin yang
lambat terhadap beban glukosa.
- Metabolisme Lemak
Hiprertrigliserida terjadi diduga akibat dari kenaikan sintesis
Triglyserida-rich lipoprotein dalam hepar.
- Metabolisme Protein
Pada orang normal pembatasan jumlah protein dalam waktu
lama akan menyebabkan keseimbangan negatif dari nitrogen.
Sebaliknya pada pasien PGK pembatasan jumlah protein tidak
akan menyebabkan keseimbangan negatif dari nitrogen.
- Metabolisme Asam urat
Hiperurikemia pada pasien PGK tidak mempunyai hubungan
dengan derajat penurunan faal ginjal, namun digunakan sebagai
indikator penentuan diagnosis dini dari PGK.
- Metabolisme Elektrolit
Metabolisme Na
Peningkatan ekskresi Na yang diduga akibat adanya atrial
natriuretic factor (ANF) yang menghambat reabsorbsi ion Na
pada tubulus ginjal. Normalnya Na diekskresikan sebesar 20-40
mEq/hari, pada keadaan salt-wasting, Na diekskresikan
mencapai 100-200 mEq/hari. Mekanisme salt-wasting, memiliki
hubungan dengan beberapa faktor diantaranya beban urea
redistribusi aliran darah intrarenal, hormon/faktor natriuresis,
dan muntah-muntah.
Bila kehilangan Na disertai penurunan volume cairan
ekstraselular (VCES), akan diikuti dengan penurunan filtrasi
glomerulus, sehingga faal ginjal akan lebih buruk lagi. Keadaan
ini terjadi pada acute on chronic renal failure. Bila kehilangan
Na ini tidak disertai dengan kehilangan air (VCES normal),
makan akan terjadi kondisi hiponatremia. Pada sebagian pasien
PGK, terutama yang berhubungan dengan glomerulopati sering
ekskresi Na menurun, terjadi retensi Na dan air yang akan

21
menyebakan terjadinya odema. Jadi memahami metabolisme Na
pada pasien PGK sangat penting terutama untuk pemberian
garam Na dalam menu diet.
- Metabolisme air
Gangguan kemampuan filtrasi pada pasien PGK tidak selalu
berhubungan dengan penyakit dari collecting duct atau loop of
Henle, lebih sering akibat beban urea dari nefron-nefron yang
masih utuh. Pada beberapa pasien PGK dengan jumlah nefron
makin berkurang, fleksibilitas untuk ekskresi air juga akan
berkurang sehingga dengan mudah terjadi kelebihan cairan
(water overload). Keadaan water overload baik renal maupun
ekstra renal dapat menyebabkan hiponatremia. Defisit air
disertai natrium (dehidrasi) lebih sering menyebabkan
penurunan faal ginjal yang terbalikan pada pasien-pasien gagal
ginjal sehingga terjadi oliguria, keadaan demikian dinamakan
acute on chronic on failure. Penurunan kemampuan untuk
keseimbangan cairan ini akan mengakibatkan sering kencing
pada malam hari (nokturia). Bila nokturia ini tidak diimbangi
dengan pemberian air dapat menyebabkan dehidrasi pada malam
hari. Keadaan dehidrasi ini akan memperburuk LFG. Keluhan
mual dan muntah makin berat pada pagi hari seperti muntah
sedang hamil muda (morning sickness).
- Metabolism kalsium
Pada pasien PGK sering ditemukan hipokalsemia, disebabkan
penurunan absorbsi Ca melalui usus dan gangguan mobilisasi
Ca serta hiperfosfatemia.
- Kesimbangan asam basa
Pada PGK terjadi gangguan ekskresi ion H+ sehingga dapat
menyebabkan asidosis sistemik dengan penurunan pH plasma
dan darah. Patogenesis asidosis metabolic pada PGK:
1) Penurunan ekskresi ammonia karena kehilangan sejumlah
nefron.

22
2) Penurunan ekskresi titrable acid terutama fosfat, karena
asupan dan absorbsi melalui usus berkurang.
3) Kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urine
(bicarbonate wasting).
- Fosfat
Hiperfosfatemia yang terjadi pada PGK memegang peranan
penting pada hipokalsemia dan hiperparatiroidisme, dan
akhirnya dapat menyebabkan penyebaran kalsifikasi pada organ-
organ lain (metastatic calcification).
- Magnesium
Kenaikan serum Magnesium sangat jarang menimbulkan
keluhan akan gejala, kecuali magnesium yang terkandung dalam
laksantif dan antasida akan menekan SSP.

3.1.5. Klasifikasi
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium
ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi
menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi
tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.3
Klasifikasi PGK dibuat atas dasar CGA yaitu berdasarkan penyebab,
kategori LFG, dan kategori albuminuria. Perhitungan LFG dengan rumus
Cockroft-Gault untuk orang dewasa, yaitu:3

LFG (ml/mnt/1,73m2) =
( 140−umur ) x berat badan
x(0,85 jika wanita)
72 x kreatinin serum

Kategori LFG LFG ml/mnt/1,73 m2 Arti


G1 ≥ 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Sedikit menurun
G3a 45-59 Sedikit-sedang menurun
G3b 30-44 Sedang-berat menurun
G4 15-29 Berat menurun

23
G5 <15 Gagal ginjal
Tabel 1. Kategori LFG

Penyakit Contoh
Penyakit glomerular Diabetes, pemyakit autoimun sistemik,
infeksi sistemik, obat-obatan, neoplasia
Penyakit tubulointerstisial Infeksi sistemik, autoimun, sarcoidosis,
obat-obatan, toksin lingkungan, neoplasia
Aterosklerosis, hipertensi, iskemia, emboli
Penyakit vascular kolesterol, vaskulitis sistemik,
mikroangiopati trombosis, sklerosis
sistemik
Penyakit kistik dan kongenital Penyakit ginjal polikistik, Alport syndrome,
penyakit Fabry
Tabel 2. Kategori Etiologi

Kategori AER ACR Arti


mg/mmol mg/g
A1 <30 <3 <30 Normal-sedikit
meningkat
A2 30- 3-30 30-300 Sedang meningkat
300
A3 >300 >30 >300 Berat meningkat
Tabel 3. Katergori Albuminuria

Penyebab Kategori Kategori Kriteria PGK Keterangan


LFG albuminuria
Penyakit ginjal G5 A3 Penurunan LFG,
diabetik albuminuria
Sklerosis fokal G2 A3 Albuminuria Penyebab tersering
idiopatik sindrom nefrotik
pada anak-anak
Penerima G2 A1 Riwayat Prognosis baik

24
transplantasi transplantasi setelah transplantasi
ginjal ginjal ginjal
Penyakit ginjal G2 A1 Gambaran Penyebab tersering
polikistik radiologi penyakit yang
disebablan oleh
mutasi single gene
Refleks G1 A1 Abnormalitas Kondisi tersering
vesicoureteral radiologi pada anak-anak
Asidosis G1 A1 Abnormalitas Gangguan genetik
tubulus distal elektrolit yang jarang
renal
Penyakit ginjal G4 A2 Penurunan LFG Biasanya
hipertensi dan albuminuria disebabkan oleh
hipertensi kronis
tidak terkontrol,
dengan pasien yang
memiliki
predisposisi
Tabel 4. Stadium PGK berdasarkan kategori penyebab, LFG, dan
albuminuria

3.1.6. Manifestasi Klinis


Pada penyakit ginjal kronis, setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan
gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat
kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien. Manifestasi
kardiovaskuler, pada penyakit ginjal kronis mencakup hipertensi (akibat
retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron), gagal jantung kongestif, edema pulmoner (akibat cairan
berlebihan), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh
toksin uremik).1,3
Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang
parah (pruritis). Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit, saat
ini jarang terjadi akibat penanganan dini dan agresif terhadap penyakit

25
ginjal tahap akhir. Gejala gastrointestinal juga sering terjadi dan mencakup
anoreksia, mual, muntah dan cegukan. Perubahan neuromuskuler mencakup
perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot,
dan kejang.1,3
Keluhan gejala klinis yang timbul pada CKD hampir mengenai
seluruh sistem, yaitu:1,3
Sistem Organ Manifestasi Klinis
Umum Lemah, malaise, gangguan pertumbuhan dan
debilitas, edema
Kulit Pucat, rapuh, gatal, bruising

Kepala dan leher Fetor uremia


Mata Fundus hipertensi, mata merah
Jantung dan Hipertensi, sindroma overload, payah jantung,
vaskuler pericarditis uremik, tamponade

Respirasi Efusi pleura, nafas Kussmaul, pleuritis uremik


Gastrointestinal Anoreksia, mual, muntah, gastritis, ulkus, colitis
uremik, perdarahan saluran cerna
Ginjal Nokturia, poliuria, haus, proteinuria, hematuria
Reproduksi Penurunan libido, impotensi, amenorrhea,
infertilitas, genikomasti
Syaraf Letargi, malaise, anoreksia, drowsiness, tremor,
mioklonus, asteriksis, kejang, penurunan kesadaran,
koma
Tulang Kalsifikasi jaringan lunak
Sendi Gout, pseudogout, kalsifikasi
Darah Anemia, kecenderungan berdarah karena penurunan
fungsi trombosit, defisiensi imun akibat penurunan
fungsi imunologis dan fagositosis
Endokrin Intoleransi glukosa, resistensi insulin,
hiperlipidemia, penurunan kadar testosteron dan
estrogen
Farmasi Penurunan ekskresi lewat ginjal

26
Tabel 5. Gejala klinis PGK

3.1.7. Diagnosis
Pendekatan diagnosis Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit
ginjal kronis (PGK) mempunyai sasaran sebagai berikut:17
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Menentukan prognosis

Kriteria penyakit ginjal kronik, adalah sebagai berikut:


a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural maupun fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG,
dengan manifestasi: kelainan patologis, terdapat tanda kelainan
ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urine, atau
kelainan dalam tes pencitraan
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/mnt/1,73 m 2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pertanda kerusakan ginjal


Albuminuria (AER (albumin excretion rate) ≥30mg/24jam; ACR
(albumin to creatinine ratio) ≥30mg/g [≥3mg/mmol])
Kelainan urine sedimen
Kelainan elektrolit dikarenakan kelainan tubular
Kelainan dari sudut histologi
Kelainan struktural yang terdeteksi dari pemeriksaan penunjang
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan LFG: Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/mnt/1,73 m2 (LFG kategori G3a-G5)
Tabel 6. Pertanda kerusakan ginjal

27
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila
dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang rutin dan khusus.1,17
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi
PGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (kelainan subyektif
dan obyektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum
klinis luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat
penurunan faal ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal, identifikasi etiologi, dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
- Pemeriksaan faal ginjal (RFT)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum, dan asam urat serum sudah
cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal.
- Etiologi Penyakit ginjal kronik
Analisis urine rutin, mikrobiologi urine, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
- Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresifitas penurunan faal ginjal, hemopoesis, elektrolit,
endokrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama
faktor pemburuk faal ginjal.
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan
tujuannya, yaitu:
- Diagnosis etiologi PGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos
abdomen, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi

28
retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography
(MCU).
- Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan
pemeriksaan ultrasonografi (USG).

3.1.8. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Semua
faktor yang berperan dalam terjadinya gagal ginjal kronik dicari dan diatasi.
Penatalaksanaan konservatif, meliputi:17
- Pengaturan diet, cairan dan garam
- Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
- Mengendalikan hipertensi
- Penanggulangan asidosis
- Pengobatan neuropati
- Deteksi dan mengatasi komplikasi
Penatalaksanaan terapi pengganti ginjal diantaranya dialisis
(hemodialisis, peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal. Selain itu tujuan
penatalaksanaannya adalah menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
serta mencegah komplikasi yaitu sebagai berikut:3,17
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan pendarahan, dan
membantu menyembuhkan luka.
2. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah
jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah,
hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi

29
hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake
kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3. Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.
Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya
terdapat insufisiensi koroner.
4. Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium
bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Hemodialisis dan dialisis
peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
5. Pengendalian hipertensi
Semua obat antihipertensi mampu menurunkan tekanan kapiler
intraglomerular bila tekanan darah turun mencapai tekanan optimal yang
dapat memberikan preservasi ginjal. Obat golongan penghambat sistem renin
angiotensin aldosteron (ACE-inhibitor, ARB) mempunyai nilai lebih dalam
mencegah progresi PGK karena mempunyai efek renoprotektor. Beberapa
penelitian memerlukan lebih dari satu macam obat untuk mencapai tekanan
darah optimal.
Tujuan terapi hipertensi pada PGK antara lain:
- Mempertahankan atau preserve fungsi ginjal dengan cara
mempertahankan LFG dan mengurangi ekskresi protein.
- Menurunkan tekanan darah secara agresif
- Menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pada
PGK.
Terapi hipertensi pada PGK non diabetik dan PGK diabetik, level
turunnya tekanan darah sistolik dan level proteinuria dipakai sebagai
diagnosis dan prognosis progresifitas dan komplikasi CVD pada PGK.
a. Hipertensi PGK non diabetic
Tekanan darah dianjurkan mencapai < 140/90 mmHg dan
pemeriksaan urine dimana nilai rasio total protein/kreatinin > 200
mg/g dengan atau tanpa hipertensi dianjurkan diterapi dengan
ACE-I atau ARB.
b. Hipertensi PGK dengan diabetes

30
Target tekanan darah < 140/90 mmHg, PGK diabetes stage 1-4:
ARB atau ACE-I, bila diperlukan dikombinasi dengan diuretika.

Gambar 1. Target tekanan darah dan terapi farmakologi dan


non-farmakologi

6. Transplantasi Ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien PGK, maka seluruh
faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.

3.1.9. Indikasi dialisis


Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan
dialisis tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya LFG sekitar 5-10
ml/mnt. Dialisis juga diiperlukan bila:10,12
- Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
- Gangguan elektrolit (hiperkalemia, hiponatremi) yang tidak dapat
diatasi dengan obat-obatan
- Overload cairan (edema paru)
- Anuria
- Ensefalopati uremikum, penurunan kesadaran
- Efusi perikardial
- Sindrom uremia (mual,muntah, anoreksia, neuropati, pruritus) yang
memburuk.

31
3.1.10. Komplikasi
Pada PGK dapat terjadi beberapa komplikasi sebagai berikut:
LFG
Derajat Penjelasan Komplikasi
(ml/men/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal ≥ 90 -
dengan LFG
normal
2 Kerusakan ginjal 60-89 Tekanan darah mulai
dengan penurunan meningkat
LFG ringan
3 Kerusakan ginjal 30-59 - Hiperfosfatemia
dengan penurunan - Hipokalsemia
LFG sedang - Anemia
- Hiperparatiroid
- Hiperosmosisteinemia
4 Kerusakan ginjal 15-29 - Malnutrisi
dengan penurunan - Asidosis metabolik
LFG berat - Cenderung hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 - Gagal jantung
- Uremia
Tabel 7. Komplikasi PGK

3.1.11. Prognosis
Penentuan prognosis pada penderita PGK, harus diperhatikan
beberapa hal berikut seperti 1) penyebab PGK; 2) kategori LFG; 3) kategori
albuminuria; 4) faktor risiko lain dan kondisi komorbiditas.3

32
Gambar 2. Prognosis PGK

3.2. Anemia
3.2.1. Definisi
Anemia umumnya didefinisikan sebagai hemoglobin kurang dari
13,0 g/dL pada pria dan kurang dari 12,0 g / dL pada wanita premenopause. 3
Anemia penyakit ginjal kronis (CKD) adalah bentuk anemia yang terjadi pa
da penyakit ginjal kronis (CKD). Di antara komplikasi CKD lainnya, sering
dikaitkan dengan hasil yang buruk pada CKD dan meningkatkan
mortalitas.18,19

3.2.2. Etiologi
Penyebab terjadinya anemia pada pasien dengan CKD antara lain
kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, uremic milieu,
kapasitas produksi erythropoietin atau defisiensi erythropoietin (EPO),
defisiensi zat besi.20

3.2.3. Epidemiologi
Kondisi ini biasanya mulai berkembang setelah kehilangan fungsi
ginjal lebih dari 50 persen, biasanya ketika laju filtrasi glomerulus (GFR)
menurun hingga kurang dari 60 mL / menit. 7 Tingkat keparahan anemia
cenderung memburuk saat penyakit ginjal kronis (CKD) berlanjut.
Kekurangan produksi eritropoietin ginjal dan tingkat keparahan anemia
tidak selalu cenderung berkorelasi dengan tingkat keparahan disfungsi

33
ginjal. Setidaknya 90% pasien yang akhirnya menjalani dialisis pada
akhirnya akan mengalami anemia akibat penyakit kronis.18,19,20

3.2.4. Patofisiologi
Pasien dengan CKD memiliki risiko kehilangan darah karena
disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien CKD yaitu
dialisis, terutama hemodialisis, dan kehilangan darah ini menyebabkan
defisiensi zat besi yang berat. Pasien dengan hemodialisis mungkin
mengalami penurunan 3 sampai 5 gram zat besi per tahun. Secara normal,
setiap orang mengalami penurunan zat besi sebesar 1 sampai 2 mg per hari,
jadi pada pasien dengan dialisis terjadi penurunan zat besi 10 sampai 20 kali
lipat lebih besar dibanding individu normal. Selain kehilangn darah, pemend
ekan masa hidup sel darah merah juga mennjadi penyebab terjadinya anemia
Masa hidup sel darah merah mengalami penurunan kurang lebih sebesar 1/3
pada pasien hemodialisis.20
Uremic milieu merupakan istilah yang umum digunakan untuk
menjelaskan adanya disfungsi organ multiple pada CKD. Penelitian pada
pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis menunjukkan adanya
peningkatan hematokrit ketika terjadi peningkatan intensitas hemodialisis.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan menurunkan uremia dapat
mengembalikan atau meningkatkan fungsi sumsum tulang belakang.20
Defisiensi EPO juga menjadi salah satu penyebab terjadinya anemia.
Erythropoietin (EPO) adalah hormon peptida yang terlibat dalam kontrol
produksi erythrocyte oleh sumsum tulang. Sumber utama dari erythropoietin
adalah ginjal, walaupun disekresikan juga dalam jumlah sedikit oleh hati.
Sel ginjal yang mensekresi adalah sekumpulan sel di interstitium. Stimulus
dari pengsekresian erythropoietin adalah berkurangnya tekanan parsial
oksigen pada ginjal, seperti pada anemia, hipoksia arterial, dan tidak
adekuatnya aliran darah ginjal. Erythropoietin menstimulasi sumsum tulang
untuk meningkatkan produksi eritrosit.20
Defisiensi EPO diduga merupakan penyebab utama terjadinya anemia
pada pasien CKD. Sel-sel yang memproduksi erythropoietin mengalami

34
deplesi atau kerusakan seiring dengan perkembangan CKD, sehingga
produksi EPO menjadi lebih rendah. Defisiensi EPO pada CKD mungkin
merupakan respon fungsional terhadap penurunan GFR. Mekanisme yang
mendasari mungkin sel-sel yang memproduksi EPO pada ginjal tidak
mengalami hypoxia. Jika GFR rendah, maka reabsorbsi natrium juga
mengalami penurunan. Reabsorbsi natrium merupakan determinan utama
konsumsi oksigen di ginjal, sehingga pada ginjal mungkin terdapat oksigen
yang berlebih yang dapat menyebabkan down regulasi produksi EPO. Selain
itu, pasien yang mendapatkan terapi dialysis dapat mempertahankan
kemampuan untuk meningkatkan produksi EPO.20
Selain defisiensi EPO, defisiensi zat besi juga menjadi salah satu peny
ebab anemia. Homeostasis zat besi dalam tubuh tergantung pada jumlah zat
besi yang diabsorbsi dalam duodenum dan dari sel darah merah yang telah
mati. Sebagian besar zat besi terikat pada hemoglobin dan disimpan dalam
hepatosit dan makrofag pada sistem reticuloendothelial. Zat besi ditransport
ke eritrosit yang matur oleh protein yang disebut transferrin, yang
mengangkut zat besi yang diserap dan dilepas makrofag. Pada pasien
dengan CKD terjadi gangguan pada homeostasis zat besi. Transferrin pada
pasien dengan CKD hanya terdapat sebesar 1/3 sampai ½ dari jumlah
normal, yang menunjukkan kapasitas sistem transport zat besi dalam tubuh.
Hal ini diduga disebabkan oleh ketidakmampuan untuk melepas zat besi
yang disimpan dalam makrofag dan hepatosit.20,21

3.2.5. Gejala
Gejala klinis anemia pada penyakit ginjal tidak berbeda dari anemia
karena penyebab lain. Gejala umum meliputi:22
- Dispnea (sesak napas)
- Kelelahan
- Kelemahan umum
- Sakit kepala
- Konsentrasi menurun
- Pusing

35
- Mengurangi toleransi olahraga.
- Tanda-tanda yang dapat diamati meliputi:
- Kulit dan pucat konjungtiva
- Gangguan pernapasan
- Takikardia
- Nyeri dada (kebanyakan dengan anemia berat)
- Gagal jantung (biasanya dengan anemia berat kronis)

3.2.6. Diagnosis dan Evaluasi Anemia pada Pasien CKD1


- Pada pasien PGK tanpa anemia, lakukan pemantauan kadar
Hemoglobin (Hb) jika terindikasi atau secara berkala (tergantung
stadium).
- Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi Erythroporesis
Stimulating Agent (ESA), lakukan pemantauan kadar Hb jika
terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium).
- Diagnosis anemia pada pasien dewasa atau anak usia >15 tahun
jika kadar Hb <13 g/ dL pada pria atau < 12 g/dL pada wanita.
- Diagnosis anemia pada pasien anak jika kadar Hb < 11 g/dL (usia
0,5 – 5 tahun), < 11,5 g/dL (usia 5 – 12 tahun), dan < 12 g/dL (usia
12 – 15 tahun).
- Pada pasien PGK dengan anemia, lakukan pemeriksaan: darah
perifer lengkap, hitung retikulosit absolut, kadar feritin serum,
saturasi transferin serum (TSAT), kadar vitamin B12 dan folat
serum.

3.2.7. Pemberian Fe untuk Terapi Anemia pada Pasien CKD1


- Saat memberikan terapi Fe, pertimbang- kan rasio risiko – manfaat
(meminimalkan transfusi darah, pemberian ESA, gejala dan
komplikasi anemia, serta risiko efek samping terapi Fe).
- Pada pasien PGK dewasa dengan anemia tanpa terapi ESA atau Fe,
dianjurkan pemberian Fe IV sebagai uji coba (trial) jika diinginkan

36
peningkatan kadar Hb tanpa pemberian ESA atau kadar TSAT ≤
30% dan kadar feritin ≤ 500 ng/mL.
- Pada pasien PGK dewasa yang tidak mendapat terapi Fe namun
mendapat terapi ESA, dianjurkan pemberian Fe IV sebagai uji coba
(trial) jika diinginkan peningkatan kadar Hb atau penurunan dosis
ESA dan TSAT ≤ 30% dan kadar feritin ≤ 500 ng/mL.
- Pada pasien PGK non-dialisis yang membutuhkan suplementasi Fe,
pemilihan rute pemberian Fe berdasarkan derajat defisiensi Fe,
ketersediaan akses intravena, respons terhadap pemberian Fe oral
sebelumnya, efek samping pemberian Fe oral / IV sebelumnya,
tingkat kepatuhan pasien, dan biaya terapi.
- Pemberian Fe berikutnya disesuaikan berdasarkan respons Hb,
status Fe, respons terhadap terapi ESA, dan status klinis pasien. •
Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang tidak
mendapat terapi Fe atau ESA, direkomendasikan pemberian Fe oral
(atau Fe IV jika menjalani hemodialisis) saat TSAT ≤ 20% dan
kadar feritin serum ≤100 ng/ mL.
- Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang mendapat
terapi ESA namun tidak mendapat terapi Fe, direkomendasikan
pemberian Fe oral (atau Fe IV jika menjalani hemodialisis) untuk
mempertahankan TSAT > 20% dan feritin serum >100 ng/mL.
- Pemantauan status Fe (TSAT dan feritin serum) dilakukan minimal
setiap 3 bulan selama mendapat terapi ESA. Pemantauan
dianjurkan lebih sering saat awal atau peningkatan dosis terapi
ESA, saat terjadi kehilangan darah, pemantauan respons setelah 1
siklus terapi Fe IV, atau kondisi lain kehilangan Fe.
- Pasien yang mendapat Fe IV dianjurkan untuk dipantau selama 60
menit pasca infus terhadap terjadinya reaksi alergi.
- Hindari pemberian Fe IV pada pasien dengan infeksi sistemik.

37
3.2.8. Pemberian ESA dan Terapi Lainnya untuk Terapi Anemia pada
Pasien CKD1
- Sebelum memulai terapi ESA, singkirkan kemungkinan penyebab
terjadinya anemia (termasuk defisiensi Fe dan kondisi inflamasi).
- Pertimbangkan rasio risiko – manfaat sebelum memulai terapi
ESA.
- Hati – hati pemberian ESA pada pasien PGK dengan penyakit
kanker.
- Jika kadar Hb >10 g/dL tidak direkomendasikan pemberian terapi
ESA.
- Pada pasien PGK dewasa, terapi ESA dianjurkan untuk dimulai
saat kadar Hb 9,0 – 10,0 g/dL untuk mencegah penurunan kadar Hb
< 9 g/dL. Sedangkan pada pasien anak perlu pertimbangan
individual.
- Pada beberapa pasien dengan peningkatan kualitas hidup dengan
kadar Hb lebih tinggi, terapi ESA dapat dimulai pada kadar Hb >
10 g/dL.
- Terapi ESA secara umum tidak ditujukan untuk mempertahankan
kadar Hb > 11,5 g/ dL pada pasien PGK dewasa. Namun pada
pasien tertentu kadar Hb > 11,5 g/dL mungkin diperlukan.
- Pada seluruh pasien PGK dewasa, direkomendasikan pemberian
ESA tidak untuk meningkatkan kada Hb >13 g/dL.
- Pada pasien PGK anak, pemberian ESA ditujukan untuk mencapai
kisaran kadar Hb 11,0 – 12,0 g/dL.
- Dosis ESA awal ditentukan menurut kadar Hb pasien, berat badan,
dan pertimbangan klinis.
- Dosis ESA disesuaikan menurut kadar Hb pasien, perubahan kadar
Hb, dosis ESA saat ini, serta pertimbangan klinis.
- Dosis awal ESA (epoetin alfa dan beta) yang dianjurkan yaitu 20 –
50 IU/kg 3 kali seminggu.
- Dosis epoetin alfa dapat ditingkatkan setiap 4 minggu dengan
peningkatan dosis mingguan 3 x 20 IU/kg jika diperlukan.

38
- Jika kadar Hb mendekati 11,5 g/dL, dosis ESA diturunkan 25%.
Jika kadar Hb terus meningkat, terapi perlu dihentikan sementara
hingga kadar Hb mulai turun kembali.
- Jika kadar Hb meningkat >1 g/dL dalam periode 2 minggu, dosis
ESA harus dikurangi 25% dari dosis sebelumnya.
- Dianjurkan mengurangi dosis ESA dibandingkan penghentian ESA
saat diperlukan pengurangan dosis ESA.
- Evaluasi ulang dosis ESA jika pasien mengalami efek samping
ESA atau pasien mengalami penyakit akut / progresif yang dapat
menyebabkan hiporesponsif ESA.
- Pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, ESA dapat
diberikan secara subkutan / intravena. Sedangkan pada pasien yang
tidak menjalani dialisis / dialisis peritoneal direkomendasikan
pemberian ESA secara subkutan.
- Frekuensi pemberian ESA ditentukan berdasarkan stadium PGK,
treatment setting, efikasi, toleransi dan pilihan pasien, serta jenis
ESA.
- Pemilihan ESA berdasarkan pertimbangan farmakodinamik, aspek
keamanan, efikasi, biaya, dan ketersediaan. Serta ESA yang
diberikan harus yang sudah mendapat approval dari badan regulasi
setempat.
- Selama pasien mulai mendapat ESA, pemantauan Hb sekurang –
kurangnya sebulan sekali.
- Pada pasien yang tidak menjalani dialisis, selama mendapat terapi
pemeliharaan dengan ESA, pemeriksaan kadar Hb sekurang –
kurangnya setiap 3 bulan. Sedangkan pada pasien dengan dialisis
sekurang – kurangnya sebulan sekali.
- Pasien dianggap hiporesponsif terhadap ESA jika tidak terdapat
peningkatan kadar Hb setelah 1 bulan terapi ESA dengan dosis
sesuai. Pada pasien tersebut tidak disarankan pemberian ESA
dengan dosis 2 kali lipat.

39
- Pasien diklasifikasikan sebagai acquired ESA hyporesponsiveness
jika pasca terapi dengan dosis ESA stabil, membutuhkan 2 kali
peningkatan dosis hingga 50% di atas dosis stabil sebelumnya
untuk mempertahankan kadar Hb.
- Pada pasien hiporesponsif, perlu evaluasi dan penanganan
penyebab spesifik buruknya respons terhadap ESA.
- Jika tetap hiporesponsif setelah penanganan tersebut,
direkomendasikan terapi individual dengan mempertimbangkan
rasio risiko – manfaat dari penurunan kadar Hb, kontinuitas terapi
ESA, dan transfusi darah.
- Tidak direkomendasikan pemberian androgen maupun terapi
lainnya (misal, vitamin C, D, E, asam folat, l-carnitine, dan
pentoxifyllin) sebagai terapi adjuvan ESA.
- Pantau terhadap kemungkinan terjadinya Pure Red Cell Aplasia
(PRCA) pada pasien yang mendapat terapi ESA lebih dari 8
minggu dan mengalami penurunan Hb cepat (0,5 – 1,0 g/
dfL/minggu) atau membutuhkan transfusi 1-2 kali/minggu, kadar
trombosit dan sel darah putih normal, dan jumlah retikulosit absolut
< 10.000 /μL.
- Jika pasien terdiagnosis mengalami PRCA, terapi ESA harus
dihentikan. Direkomendasikan pemberian peginesatide sebagai
terapi PRCA.

3.2.9. Transfusi Sel Darah Merah untuk Terapi Anemia pada Pasien C
KD1
- Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan sedapat
mungkin menghindari transfusi sel darah merah untuk menghindari
risikonya.
- Pada pasien kandidat transplantasi organ, direkomendasikan
sedapat mungkin menghindari transfusi sel darah merah untuk
meminimalkan risiko allosensitization.

40
- Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan pemberian
transfusi sel darah merah pada pasien yang dengan terapi ESA
tidak efektif dan risiko terapi ESA melebihi manfaatnya (misal,
riwayat keganasan / riwayat stroke).
- Pertimbangan pemberian transfusi pasien PGK dengan anemia non-
akut tidak berdasarkan ambang batas kadar Hb, namun berdasarkan
gejala anemia.
- Pada kondisi klinis akut tertentu, direkomendasikan pemberian
transfusi jika manfaatnya melebihi risiko (meliputi saat koreksi
cepat anemia dibutuhkan untuk menstabilkan kondisi pasien atau
saat koreksi Hb pre-operasi dibutuhkan).

3.2.10. Prognosis
Ada banyak pasien dengan gagal ginjal yang tidak akan menanggapi
erythropoiein dan ini penting karena merupakan prediktor penting dari
kejadian jantung yang merugikan. Dua faktor yang menyebabkan tidak
responsif termasuk kekurangan zat besi dan peradangan. Tingkat CRP yang
tinggi memprediksi resistensi terhadap erythropoietin pada pasien dialisis.
Untuk meningkatkan daya respons terhadap eritropoietin, suplemen zat besi
dianjurkan.14

3.2.11. Komplikasi
Anemia pada CKD merupakan faktor risiko independen untuk
kematian. Telah terbukti meningkatkan perkembangan hipertrofi ventrikel
kiri, kebutuhan oksigen perifer dan memburuknya hasil jantung.1

41
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke poliklinik RS Muhammadiyah Palembang dengan keluhan


sesak napas sejak ± 2 hari SMRS. Sesak dirasakan menetap terutama saat tidur
dan bangun tidur, dan membaik saat posisi duduk. Pasien juga mengeluh badan
terasa lemas, kelopak mata bengkak, kaki gatal. Sejak ± 2 hari SMRS, pasien juga
mengeluh sakit kepala, nyeri ulu hati, dan lutut, gatal-gatal seluruh tubuh, dan
kaki bengkak. Riwayat hiprtensi ada tidak terkontrol, pasien rutin melakukan cuci
darah 1 minggu 2 kali. 1 minggu sebelumnya, pasien melakukan cuci darah di
Malaysia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan,
sensorium compos mentis, tekanan darah 160/90 mmHg, HR 98x/menit, RR
20x/menit, temperature 36,1oC, dan saturasi oksigen 98%. Pada pasien didapatkan
konjungtiva anemis (+/+) dan edema pada palpebra. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb pasien rendah yaitu 5,4 g/dl dengan hematokrit
16,4%, peningkatan ureum (226 mg/dL), peningkatan kreatinin (6.1 mg/dL), dan
peningkatan kalium (5.9 mEq/L). Pada pemeriksaan USG ginjal didapatkan kesan
parenkimal kidney disease bilateral dan kista ukuran 0,6 cm di ginjal kanan.
Pasien didiagnosis dengan CKD stage V + Anemia ec CKD. Menurut teori,
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu kelainan pada struktur atau
fungsi ginjal, yang berlangsung > 3 bulan, yang berdampak pada kesehatan. CKD
diklasifikasikan berdasarkan penyebab, Kategori GFR (G1-G5) dan kategori
albuminuria (A1-A3).3 Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal dengan penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari
60 ml/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan.5 Anemia penyakit ginjal kronis
(CKD) adalah bentuk anemia yang terjadi pada penyakit ginjal kronis (CKD). Di
antara komplikasi CKD lainnya, sering dikaitkan dengan hasil yang buruk pada
CKD dan meningkatkan mortalitas.4,5 Penyebab terjadinya anemia pada pasien
dengan CKD antara lain kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah
merah, uremic milieu, kapasitas produksi erythropoietin atau defisiensi
erythropoietin (EPO), defisiensi zat besi.8,9

42
Pasien mengeluh gatal-gatal seluruh tubuh dengan eosinophil yang
meningkat. Pasien menyangkal adanya riwayat alergi sebelumnya. Berdasarkan
teori, peningkatan eosinophil menunjukkan adanya reaksi inflamasi yang terjadi
pada pasien. Eosinofil memicu reaksi inflamasi dengan cara melepaskan bahan
kimia. Keadaan eosinophil meningkat disebut dengan eosinophilia.
Pasien datang ke poliklinik RS Muhammadiyah Palembang dengan keluhan
sesak napas sejak ± 2 hari SMRS. Sesak dirasakan menetap terutama saat tidur
dan bangun tidur, dan membaik saat posisi duduk. Sesak nafas yang dirasakan
pada pasien ini akibat dari gagal ginjal, dimana gagal ginjal mengakibatkan

gangguan keseimbangan elektrolit, asam basa dan air. 1 Hal ini dapat terjadi
karena pelepasan renin di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I. Lalu angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II oleh converting enzyme. Angiotensin II merangsang pelepasan
aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi NaCl dan air terjadi
hipervolemia kemudian ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer (Hipertrofi
ventrikel kiri) selain itu dapat terjadi edema paru atau efusi pleura kemudian

timbul sesak nafas7. Tetapi pada pemeriksaan rontgen thorak tidak didapatkan
efusi pleura maupun kardiomegali.
Sejak ± 2 hari SMRS, pasien juga mengeluh sakit kepala, nyeri ulu hati, dan
lutut, gatal-gatal seluruh tubuh, dan kaki bengkak. Pada penyakit ginjal kronis,
setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan
memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang
mendasari, dan usia pasien. Gejala umum yang ditemukan yaitu lemah, malaise,
dan edema. Manifestasi gastrointestinal mencakup anoreksia, mual dan muntah.
Gejala neurologis mencakup perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kedutan otot, dan kejang. Sedangkan gatal-gatal seluruh tubuh
merupakan gejala dermatologi yang disebabkan karena uremia.3,8
Pasien mempunyai riwayat hiprtensi ada tidak terkontrol. Hal ini juga
dibuktikan dengan pemeriksaan tekanan darah pasien yaitu 160/90 mmHg.
Berdasarkan teori, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan
penyakit ginjal kronik seperti hipertensi, diabetes melitus, pertambahan usia, ada

43
riwayat keluarga penyakit ginjal kronik, obesitas, penyakit kardiovaskular, berat
lahir rendah, penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik, keracunan
obat, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu saluran kemih dan penyakit
ginjal bawaan. Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan
resistensi arteriol aferen dan terjadi penyempitan arteriol eferen akibat perubahan
struktur mikrovaskuler. Kondisi ini akan menyebabkan iskemik glomerular dan
mengaktivasi respon inflamasi. Hasilnya, akan terjadi pelepasan mediator
inflamasi, endotelin dan aktivasi angiostensin II intrarenal. Kondisi ini akan
menyebabkan terjadi apoptosis, meningkatkan produksi matriks dan deposit pada
mikrovaskuler glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau
nefrosklerosis.7,12
Pasien rutin melakukan cuci darah 1 minggu 2 kali. Cuci darah atau
hemodialisa dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas
biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara
bebas, menghilangkan kecenderungan pendarahan, dan membantu
menyembuhkan luka.2,17
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis dan terjadi
penurunan hemoglobin dan hematokrit. Hal ini merupakan tanda adanya anemia.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa Anemia umumnya didefinisikan sebagai
hemoglobin kurang dari 13,0 g/dL pada pria dan kurang dari 12,0 g / dL pada
wanita premenopause.3 Gejala umum anemia meliputi dispnea (sesak napas),
kelelahan, kelemahan umum, sakit kepala, konsentrasi menurun, pusing,
mengurangi toleransi olahraga. Adapun tanda-tanda yang dapat diamati meliputi
kulit dan pucat konjungtiva, gangguan pernapasan, takikardia, nyeri dada
(kebanyakan dengan anemia berat), gagal jantung (biasanya dengan anemia berat
kronis).19 Anemia penyakit ginjal kronis (CKD) adalah bentuk anemia yang terjadi
pada penyakit ginjal kronis (CKD). Di antara komplikasi CKD lainnya, sering
dikaitkan dengan hasil yang buruk pada CKD dan meningkatkan mortalitas. 4,5
Penyebab terjadinya anemia pada pasien dengan CKD antara lain kehilangan
darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, uremic milieu, kapasitas produks
i erythropoietin atau defisiensi erythropoietin (EPO), defisiensi zat besi.8,9

44
Pada pemeriksaan laboratorium juga didapatkan peningkatan ureum
(226mg/dL), peningkatan kreatinin (6.1 mg/dL), dan peningkatan kalium (5.9
mEq/L). Pada pemeriksaan USG ginjal didapatkan kesan parenkimal kidney
disease bilateral dan kista ukuran 0,6 cm di ginjal kanan. Ukuran ginjal yang
masih normal bukan merupakan satu-satunya penegakkan diagnosis gagal ginjal.
Salah satu cara menegakkan diagnosis gagal ginjal dengan menilai kadar ureum
dan kreatinin serum, karena kedua senyawa ini hanya dapat diekskresikan oleh
ginjal. Kreatinin adalah hasil perombakan keratin, semacam senyawa berisi
nitrogen yang terutama ada dalam otot. Banyaknya kadar kreatinin yang
diproduksi dan disekresikan berbanding sejajar dengan massa otot.22
Ureum adalah hasil akhir metabolisme protein. Berasal dari asam amino
yang telah di pindah amonianya di dalam hati dan mencapai ginjal, dan di
ekskresikan rata-rata 30 gram sehari. Kadar ureum darah yang normal adalah 20
mg – 40 mg, tetapi hal ini tergantung dari jumlah normal protein yang di makan
dan fungsi hati dalam pembentukan ureum.22
Ureum dan kreatinin merupakan senyawa kimia yang menandakan fungsi
ginjal normal. Oleh karena itu, tes ureum kreatinin selalu digunakan untuk melihat
fungsi ginjal kepada pasien yang diduga mengalami gangguan pada organ ginjal.
Apabila diketahui ureum kreatinin pada air seni menurun, akan mengakibatkan
penurunan laju filtrasi glomerolus (fungsi penyaringan ginjal). Penurunan laju
filtrasi glomerolus tersebut yang membuat ureum kreatinin akan meningkat di
dalam darah. Kadar ureum dan kreatinin yang juga tinggi dapat menyebabkan
komplikasi tambahan yaitu menyebabkan syock uremikum yang dapat berlanjut
menjadi kematian.22
Pada pasien ini terjadi penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yaitu
berdasarkan rumus Cockroft-Gault pada pasien adalah 14 mL/ menit. Dimana
berdasarkan klasifikasinya, pasien ini sudah masuk ke dalam CKD stage 5 atau
end stage renal disease.2
Pasien diberikan tatalaksana non farmakologi dan farmakologi. Tatalaksana
non farmakologis yang diberikan pada pasien yaitu edukasi mengenai penyakit
pasien, diet rendah garam, pengaturan carian, transfusi PRC, serta hemodialisa.
Adapun pembatasan diet protein pada pasien saat belum hemodialisa yaitu 0,6-

45
0,8. Sedangkan untuk pasien yang sudah hemodialisa adalah 1,2. Transfusi darah
diberikan 1 kantong 1 hari, ditransfusikan secara perlahan hingga mencapai nilai
11. Pasien tidak boleh sampai batas Hb normal karena dapat memperberat kerja
ginjal. Tatalaksana farmakologis yang diberikan pada pasien yaitu Inj. Furosemid
2x1 amp, Nefrosteril inf 1x1 fls, Amlodipine 1x5 mg tab, Asam folat 3x5 mg tab,
Lansoprazole 2x1 caps, Sucralfate syr 3x1 cth, dan CaCo3 3x1 tab.
Tujuan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Semua faktor
yang berperan dalam terjadinya gagal ginjal kronik harus dicari dan diatasi.
Dialisis dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan pendarahan, dan
membantu menyembuhkan luka.
Pada pasien diberikan transfusi darah. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa peberian transfusi dapat dilakukan pada pasien anemia pada
CKD. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-
hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin adalah 10 g/dL,
keadaan lebih buruk jika target Hb terlalu tinggi. Monitoring anemia selama 1-3
kali dalam satu bulan.2
Furosemid merupakan obat golongan loop diuretik, dimana obat ini bekerja
dengan menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida pada tubulus ginjal
proksimal dan distal serta loop Henle; dengan mengganggu sistem co-transport
yang mengikat klorida, menyebabkan peningkatan air, kalsium, magnesium,
natrium, dan klorida. Furosemid memiliki biovailabilitas sebesar 47-64% pada
pemberian oral dengan onset 30-60 menit pada pemberian per oral, 30 menit pada
pemberian intramuskular, dan 5 menit melalui intravena. Waktu puncak obat ini
adalah 1-2 jam pada pemberian oral, dan kurang dari 15 menit melalui intravena.
Durasi kerja obat adalah 6-8 jam melalui oral dan 2 jam melalui intravena.
Furosemid dimetabolisme di hepar, dieliminasi melalui urine dengan waktu paruh

46
30-120 menit pada pasien dengan fungsi ginjal normal, dan 9 jam pada pasien
dengan end stage renal disease.23,24
Nefrosteril merupakan larutan asam amino yang diberikan untuk pasien
dengan insufisiensi renal. Nephrosteril Infus digunakan sebagai pasokan atau
asupan asam amino yang seimbang pada penderita gagal ginjal akut dan kronik
misalnya malnutrisi, rendahnya kadar protein dalam darah (hipoproteinemia),
sebelum dan sesudah operasi. Nephrosteril mengandung zat aktif L-isoleusin 5,1
g, L-leusin 10,3 g, L-lisin monoasetat 10,01 g (sama dengan L-lisin 7,1 g), L-
metionin 2,8 g, asetilsistein 0,5 g (sama dengan L-sistein 0,37 g), L -fenilalanin
3,8 g, L-threonin 4,8 g, L-tryptophan 1,9 g, L-valin 6,2 g, arginin 4,9 g, L-histidin
4,3 g, asam aminoasetat 3,2 g, L-alanin 6,3 g, L-prolin 4,3 g, L-serin 4,5 g, asam
L-malat 1,5 g, asam asetat glasial 1,38 g. Total asam amino 70 g, kandungan
nitrogen total 10,8 g.
Amlodipin adalah obat golongan calcium channel blocker yang bekerja
dengan cara menghambat saluran kalsium vaskuler sehingga dapat mengurangi
resistensi vaskuler. Amlodipin di indikasikan pada pasien dengan hipertensi serta
angina. Penghambat saluran kalsium merupakan obat yang dapat diberikan per
oral dan ditandai oleh efek first-pass yang tinggi, pengikatan protein plasma yang
tinggi dan metabolisme yang ekstensif. Bioavaibilitas oral Amlodipine 65-90%
dengan waktu paruh yang dibutuhkan sekitar 30-50 menit. Terapi farmakologis
ditujukan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular
juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi
membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama
pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.1
Pemberian asam folat bertujuan untuk mengatasi anemia pada pasien. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal
kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah,
defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri),

47
masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam
folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik.17
Lansoprazole merupakan obat yang berperan sebagai prodrug yang menjadi
PPI. Penghambat pompa proton adalah suatu prodrug yang membutuhkan suasana
asam untuk aktivaslnya. Setelah diabsorpsi dan masuk ke sirkulasi sistemik obat
ini akan berdiffusi ke sel parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar dan
mengalami aktivasi disitu menjadi bentuk sulfonamld tetraslklik. Bentuk aktif ini
berikatan dengan gugus sulfhldrilenzim H+, K+, ATPase (enzim ini dikenal
sebagai pompa proton) dan berada di membran apikal sel parietal. lkatan ini
menyebabkan terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung
terhenti 80% s/d 95%, setelah penghambatan pompa proton tersebut.
Penghambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi
asam lambung basal atau akibat stimutas, lepas dari jenis perangsangnya histamin.
asetilkolin atau gastrin. Hambatan ini sifatnya ireversibel, produksi asam baru
dapat kembali terjadi setelah 3-4 hari pengobatan dihentikan.24
Sucralfate adalah suatu suatu garam aluminium basa sukrosa oktasulfat.
Sucralfate melakukan pengikatan langsung pada permukaan luka maupun
stimulasi produksi endogen prostaglandin di dalam mukosa lambung sehingga
menghasilkan perbaikan lokal. Sucralfate juga mempunyai peran dalam
mengabsorpsi mukosa lambung, meningkatkan efek protektif barrier mukosa
fosfolipid permukaan.
Pemberian kalsium karbonat bertujuan untuk mencegah terjadinya
hipokalemi. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa osteodistrofi
renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Pada
osteodistrofi renal yang terjadi adalah kadar ion kalsium serum menurun. Keadaan
ini merangsang kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon lebih banyak, agar
ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat kembali normal. Gejala klinis berupa
gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang, fraktur spontan, dan nyeri
tulang. Apabila disertai gejala rakitis, akan timbul hipotonia umum, lemah otot,
dan nyeri otot. Akan ditemukan osteoporosis dan osteomalasia.1

48
BAB V
KESIMPULAN

Telah dipaparkan kasus dengan diagnosis Chronic Kidney Disease (CKD)


Grade V + Anemia. Pasien disarankan lebih lanjut untuk tetap dirawat sampai
sembuh, dan tetap konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. KDIGO, 2012. KDIGO Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Managementof Chronic Kidney Disease, Official Jounal of the International
Society of Nephrology, Vol. 3: Issue 1.
2. Khan, Y. H., T. H. Malhi., A. Sarrif., A. H. Khan., and N. Tanveer. 2018.
Prevalence of Chronic Kidney Disease in Asia: A Systematic Review of
Population-Based Studies. Journal of the College of Physicians and Surgeons
Pakistan 28(12): 960-966.)
3. KDIGO, 2017. KDIGO 2017 Clinical Practice Guideline Update for the
Diagnosis, Evaluation, Prevention, and Treatment of Chronic Kidney,
Official Journal of the International Society of Nephrology, Vol. 7: Issue 1.
4. Mulyana R, Setiati S, Martini RD, Hrimurti K, Dwimartutie N. The Effect of
Ophiocephalus stratius Extract on the Level of IGF-1 and Albumin in Elderly
Patients with Hypoalbuminemia. Acta Med Indones – Indones J Intern Med.
2017;49(4):324-329.
5. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO 2012
Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease. Kidney inter., Suppl. 2013;3:5-62
6. Wang H, Naghavi M, Allen C., et al. GBD 2015 Mortality and Causes of
Death Collaborators. Globalm Regional, and National Life Expectancy, All-
cause Mortality, and Cause-specific Mortality for 249 Causes of Death, 1980-
2015: a Systematic Analysis for the Global Burden of Disease Study 2015.
Lancet 2016; 388: 1459-544. Doi: 10.1016/S0140-6736(16)31012-1.
7. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
2013. RISKESDAS 2013. Jakarta.
8. Kemenkes RI. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI. Doi:ISSN 2442-7659.
9. Suwitra, Ketut. 2014. “Penyakit Ginjal Kronik” dalam Sudoyo, A., W., et al
(Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 6. Jakarta: FKUI

50
10. Hsieh, M. and D.A. Power. 2009. “Abnormal Renal Function and Electrolyte
Disturbance in Older People”. Journal of Pharmacy Practice and Research
Vol. 39(3). Hal. 230-234.
11. Prodjosujadi.W. 2006. Incidence, Prevalence, Treatment and Cost of End-
Stage Renal Disease in Indonesia.
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16774003 diakses pada 2 April
2023).
12. Firmansyah, M.A. 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Nefrosklerosis
Hipertensif. CDK Vol. 40(2). Hal.107-111.
13. Rule, A.D.,et al. 2011. “Chronic Kidney Disease in Kidney Stone Formers”.
Clin J Am SocNephrolVol. 6. Hal. 2069-2075.
14. Sukandar, Enday. “Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa”. Dalam Sudoyo,
Aru W, et al (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Internal Publishing,
Jakarta, Indonesia 2009 hal: 1008.
15. Rasic, S.,et al. 2010. “Long-Term Outcome of Patients with Lupus Nephritis:
a Single Center Experience”. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences
Vol.10. Hal : 63-67.
16. Eroschenko, Victor P. 2015. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi
Fungsional. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
17. Suwitra, K. 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Aru W Sudoyo, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Ed 6. Jakarta:Interna Publishing.
18. Shaikh, H. 2020. Anemia of Chronic Renal Disease.
https://emedicine.medscape.com/article/1389854-overview. Diakses pada
tanggal 30 April 2021.
19. WHO. 1968. Nutritional anaemias : report of a WHO scientific group
[meeting held in Geneva from 13 to 17 March 1967].
https://apps.who.int/iris/handle/10665/40707. Diakses pada tanggal 2 April
2023.
20. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2011.Konsensus Manajemen Anemia pada
Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta: PERNEFRI.
21. Bernhardt, W. 2010. Inhibition of Prolyl Hydroxylases Increases
Erythropoietin Production in ESRD

51
https://emedicine.medscape.com/article/13894-overview. Diakses pada
tanggal 2 April 2023.
22. Colbert, G. 2020. Anemia of Chronic Disease amd Kidney Failure.
https://emedicine.medscape.com/article/1389854-overview. Diakses pada
tanggal 30 April 2021.
23. Amir Syarif & Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI.
24. Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta :
EGC.
25. Cederlof, Anderson, Bondsson. 1990. Nifedipine as an antihypertensive drug
in patients with renal failure--pharmacokinetics and effects.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2341826/ diakses pada tanggal 2 April 2023.

52

Anda mungkin juga menyukai