LEUKEMIA LI AKUT
Disusun Oleh:
1610029053
Pembimbing:
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
refleksi kasus dengan judul Leukemia Limfositik Akut. Dalam kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis dalam
pelaksanaan hingga terselesaikannya refleksi kasus ini, diantaranya:
2. Bapak dr. H. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman selaku Ketua Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK Unmul serta.
4. dr. Diane M. Supit, Sp.A, selaku dosen Pembimbing Klinik yang dengan sabar
memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang sangat berharga dalam
penyusunan laporan kasus ini dan juga yang selalu bersedia meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, saran, dan solusi selama penulis menjalani
co.assisten di lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang. Terakhir, semoga
2
refleksi kasus yang sederhana ini dapat membawa berkah dan memberikan
manfaat bagi seluruh pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Penulis
3
Refleksi Kasus
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak
DINI KAMILAH ISLAMI
1610029053
Menyetujui,
4
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 4
DAFTAR ISI ..................................................................................................... 5
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 6
2. KASUS ..................................................................................................... 7
3. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 15
2.1 Definisi .................................................................................................. 15
2.2 Epidemiologi ......................................................................................... 15
2.3 Patofisiologi .......................................................................................... 16
2.4 Klasifikasi ............................................................................................. 18
2.5 Manifestasi Klinis ................................................................................. 19
2.6 Diagnosis............................................................................................... 21
2.6 Diagnosis Banding ................................................................................ 23
2.7 Penatalaksanaan .................................................................................... 24
4. PEMBAHASAN ........................................................................................... 30
5. PENUTUP ..................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 35
5
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Untuk mempelajari dan lebih memahami kasus Acute Lymphoblastic Leukemia
(ALL) yang didapatkan di preklinik dengan teori ALL yang telah dipelajarI dan
merefleksikannya terhadap teori yang ada.
6
BAB 2
KASUS
Identitas pasien
- Nama : MAS
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Umur : 1 tahun 1 bulan
- Alamat : Jalan Cendana gang 05
- Anak ke : 1 dari 1 bersaudara
- MRS : 29 April 2017
- No. RM : 950412
- Kamar : 02
7
Anamnesis
Keluhan Utama :
Perut kembung selama 1 minggu
Pasien datang ke IGD RSUD AWS dengan keluhan perut kembung selama 1
minggu, bintik-bitik di seluruh badan disertai dengan pembengkakan limpa.
Sebelumnya pasien berobat ke dokter praktek Sp. A dan dikatakan menderita
keganasan sehingga pasien dianjurkan untuk rawat inap. Perut mulai kembung
saat usia pasien 9 bulan. Tidak ditemukan adanya demam. Batuk dan pilek selama
4 hari. Pasien tampak lesu dan sering menangis. BAB dan BAK normal.
-
Riwayat Penyakit Keluarga :.
Tidak ada keluarga yang memiliki gejala/riwayat penyakit serupa, baik keluarga
dari ayah ataupun ibu pasien
Riwayat Saudara-Saudaranya :
8
Panjang badan lahir : 50 cm
Tersenyum : 1 bulan
Miring : 2 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 7 bulan
Berdiri : 9 bulan
9
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Bidan
Riwayat Kelahiran :
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Bidan
Keluarga berencana : Ya
IMUNISASI
Polio + - - - - -
10
Campak - - /////// /////// /////// ///////
DPT + - - /////// - -
Hepatitis B + - - /////// - -
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : E4 V5 M6
Tanda Vital
Berat badan : 9 kg
Tinggi Badan : 74 cm
Kepala
Rambut : Hitam
11
Leher
Thoraks
Batas jantung
Abdomen
Perkusi : timpani
Ekstremitas : akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik,
sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-/-)
12
Pemeriksaan Penunjang
Saran : BMP
a. Darah Lengkap:
- Hb : 8,5 grdL
- Leukosit : 11.950/ul
- Trombosit : 34.000/ul
- Ery : 3,71
- HCT : 26%
- MCV : 69 fl
- MCH : 23 pg
- MCHC : 33%
13
Hasil:
Selularitas : meningkat
Cadangan Fe : negatif
Kesimpulan:
Gambaran darah tepi dan sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan Acute
Lymphocyte Leukemia (ALL-L1)
Diagnosis Lain :-
14
Diagnosis Komplikasi :-
Penatalaksanaan IGD
Follow Up
15
(+), splenomegali (+), akral
hangat (+)
16
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1 Definisi
Leukemia adalah penyakit kanker darah (neoplastik hematologi) dengan
adanya diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoetik yang menyebabkan
penekanan dan penggantian unsur sumsum yang normal. Leukemia
mengakibatkan proliferasi ganas sel induk hemopoetik dalam sumsum tulang
akibat abnormalitas genetik. Progeni sel tersebut memiliki kelainan komponen
genetik sehingga kemampuan proliferasi berlebihan (Price & Wilson, 2005;
Bakta, 2006; DG & A, 2011; Lockwood, 2015).
2.2.2 Klasifikasi
Leukemia dapat diklasifikasikan menurut berbagai cara(Bakta, 2006).:
1. Garis turunan (cell line) yang mengalami transformasi ganas
2. Onset penyakit: akut dan kronik
Klasifikasi yang lain adalah klasifikasi MIC (morphology,
immunophenotyping, cytogenetics).
17
Tabel 2.1 Klasifikasi Leukemia
Akut Kronik
I. Acute myeloid leukemia/ I. Chronic myeloid leukemia
acute nonlyphoblastic (CML)
leukemia (ANLL) II. Chronic lymphocytic leukemia
Klasifikasi FAB (CLL)
i) M0- myeloblastic III. Bentuk yang tidak biasa
without differentiation a. Hairy cell leukemia
ii) M1- myeloblastic b. Prolymphocytic
without maturation c. Cutaneus cell leukemia
iii) M2- myeloblastic with d. Mycosis funguides
maturation
iv) M3- acute
promyelocytic
v) M4-acute
myelomonocytic
vi) M5- monocytic
vii) M6- erythroleukemia
viii) M7-acute
megakaryocytic
leukemia
II. Acute Lymphoblastic
leukemia (ALL)
a. Common-ALL
b. Null-ALL
c. Thy-ALL
d. B-ALL
Varian menurut FAB:
a. L1
b. L2
c. L3
III. Sindrom
18
preleukemia/sindrom
mielodisplastik
Sumber: Bakta, 2006
19
L-3 Kasus dewasa 5% Sel besar dan homogen dengan nukleoli
Kasus anak 1% multiple, sitoplasma biru tua, vakuola sitoplasma
sering banyak. Cocok ke sel B.
Prognosis jelek.
Sumber: Price & Wilson, 2013
Tabel 2.3 Klasifikasi ALL berdasarkan immunofenotipenya
Subtipe Persentase Deskripsi
Sel pra-B awal 57 Positif untuk antigen terkait-turunan B dan
HLA-DR
Sel pra-B 25 Positif untuk Ig sitoplasmik tetapi kekurangan
Ig permukaan
Sel pra-B 1 Positif untuk Ig permukaan dan sitoplasmik
transisional berat dan pengganti rantai ringan
Sel T 2 Positif untuk Ig permukaan dan morfologi L3
Sel B 15 Positif untuk antigen terkait turunan-T
Sumber: Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2006
20
- Respon yang baik pada tahap pertama kemoterapi (induksi)
2. Risiko Tinggi
- Anak-anak berusia <1 tahun atau > 9 tahun dan anak-anak yang memiliki
jumlah sel darah putih 50.000/L atau lebih pada saat diagnosis
- memiliki sejumlah besar sel-sel leukemia dalam CSF
- anak-anak dengan LLA risiko tinggi biasanya menerima perawatan lebih
agresif daripada anak-anak dengan LLA risiko standar
21
AML dengan translokasi atau inervasi kromosom 16
AML dengan perubahan kromosom 11
AML (M3), biasanya translokasi kromosom 15 dan 17
- AML dengan displasia multi-lineage (lebih dari satu sel abnormal)
- AML terkait terapi
- AML spesifik:
AML undifferentiated (M0)
AML dengan maturasi minimal (M1)
AML dengan maturasi (M2)
Leukemia mielomonositik akut (M4)
Leukemia monositik akut (M5)
Leukemia eritroid akut (M6)
Leukemia megakarioblastik akut (M7)
Leukemia basofilik akut
Panmielosis akut dengan fibrosis
Sarkoma mieloid (sarkoma granulositik atau kloroma)
- Undifferentiated atau leukemia bifenotipik akut (tampak limfositik dan mieloid).
22
sel leukemia berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan
klonal (clonal disorder) dari pluripotent stem cell dan tergolong sebagai salah satu
kelainan mieloproliferatif (myeloproliferative disorders) (Bakta, 2006).
CML terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu (Bakta, 2006):
Leukemia mieloid kronik, Ph + (CML, Ph +) (chronic granulocytic leukemia,
CGL)
Leukemia mieloid kronik, Ph
Juvenile chronic myeloid leukemia
Chronic nuetrophilic leukemia
Eosinophilic leukemia
Chronic myelomonocytic leukemia (CML)
Sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML, Ph+
23
Gambar 2.4 Hapusan tipis darah leukemia limfoid kronik
Sumber: (Mir, 2016)
Tabel 2.5 Klasifikasi Leukemia Limfoid Kronik menurut WHO (2008) untuk
tumor pada jaringan Hematopoetik dan Limfoid
Sel B Sel T
1. Leukemia limfositik 1. Leukemia limfositik granular
kronik/chronic lymphocytic besar
leukemia (CLL) 2. Leukemia prolimfositik sel T
2. Leukemia prolimfositik/ (T-PLL)
prolymphocytic leukemia (PLL) 3. Leukemia/ limfoma sel T
3. Hairy cell leukaemia (HCL) dewasa
4. Leukemia sel plasma
Sumber: Hoffbrand, Moss, Pendit, Setiawan, & Iriani, 2013
2.2.3 Epidemiologi
Diperkirakan 44.790 kasus baru akan didiagnosis di US. Frekuensi
leukemia adalah 15.490 (35%) CLL, 12.810 (27%) AML, 5.760 (13%) ALL, dan
5.050 (11%) CML (Wu, 2015). Setiap tahunnya, sekitar 3000 anak di US
didiagnosis ALL dengan insiden 3.7-4.9 kasus per 100.000 anak usia 0-14 tahun.
Puncak insiden ALL terjadi diusia 2-5 tahun dan berkurang dengan bertambahnya
usia (Kanwar, 2014). Di dunia, insiden tertinggi ALL terdapat di Itali, United
States, Switerland, dan Kosta Rica (Seiter, 2015). Di Yogyakarta, insiden ALL
sebesar 20,8/1.000.000 sedangkan AML sebesar 8/1.000.000. Angka tersebut
menghasilkan proporsi AML terhadap leukemia akut sebesar 27,7%. Proporsi ini
24
cukup tinggi apabila dibandingkan dengan negara barat (Supriyadi, Purwanto, &
Widjajanto, 2013).
2.2.4 Faktor Predisposisi
a. Ras
Di US, ALL dan CLL lebih sering pada ras kulit putih dibandingkan ras
kulit hitam (Wu, 2015).
b. Jenis Kelamin
Diperkirakan 44.790 kasus baru leukemia yang didiagnosis selama tahun
2009, 25.630 kasus pada pria dan 19.160 kasus pada wanita. Rincian kasus baru
dari leukemia berdasarkan jenis kelamin dan kategori adalah sebagai berikut (Wu,
2015).:
CLL: 9.200 kasus pada pria dan 6.290 kasus pada wanita
CML: 2930 kasus pada laki-laki dan 2.120 kasus pada wanita
ALL: 3350 kasus pada laki-laki dan 2.410 kasus pada wanita; anak ALL
menunjukkan dominasi pada laki-laki.
AML: 6290 kasus pada laki-laki dan 5.890 kasus pada wanita
Dalam leukemia lainnya, 3,230 kasus pada laki-laki dan 2.450 kasus pada
wanita
Lebih dominannya leukemia pada anak laki-laki menunjukkan pada
prognosis leukemia. Jenis kelamin perempuan memiliki prognosis yang lebih baik
karena laki-laki digambarkan lebih sering terdapat massa mediastinum atau
organomegali dan hiperleukositosis dalam Permono & Ugrasena (2015). Hal ini
sejalan dengan penelitian di Yorkshire yang mendapatkan survival rate pada
perempuan meningkat secara signifikan dibanding laki-laki (Larr, Kinsey, &
Feltbower, 2015). Dapat juga akibat terdapat perbedaan metabolisme
merkaptopurin dan metotreksat (Permono & Ugrasena, 2012). Merkaptopurin dan
metotreksat ini adalah suatu obat yang menghambat pertumbuhan sel (sitostatika)
yang dipakai dalam kemoterapi (Koolman & Rohm, 2001). Kecepatan
metabolisme kedua zat inilah yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan.
Hal ini didukung oleh penelitian Irene yang menemukan terdapat hubungan antara
jenis kelamin dengan kemoterapi fase induksi pada pasien leukemia anak di
Padang. Selain itu juga, jenis kelamin akan memperlihatkan frekuensi relaps pada
25
pasien leukemia anak. Menurut Rahma, Rasyidi, & Daud (2016), jenis kelamin
laki-laki menggambarkan kejadian relaps yang jarang terjadi dibandingkan
dengan perempuan. Dari data statistik diperoleh frekuensi laki-laki 20% yang
mengalami relaps dibanding perempuan 33,3%.
Jenis kelamin pada penelitian didapatkan lebih banyak pada anak laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi faktor risiko lebih sering pada jenis
kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian Wolley et. al yang
mendapatkan frekuensi laki-laki lebih banyak baik pada faktor risiko tinggi
maupun standar di RSUD dr. Kandou Manado. Begitu juga dengan data penelitian
di RS Kariadi Semarang yang menunjukkan rasio laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan.
c. Usia
Leukemia akut lebih sering pada anak. ALL adalah keganasan yang umum
pada anak di usia 2-10 tahun. AML sekitar 15-20% dari leukemia akut pada anak.
CML kurang dari 5% pada leukemia anak. Insiden CLL adalah 10 per 100.000
(Wu, 2015).
Jumlah ALL paling tinggi pada usia 3-7 tahun dengan 75% kasus terjadi
sebelum usia 6 tahun. 85% kasus berasal dari turunan sel B dan sisanya ALL sel
T (T-ALL) (Hoffbrand A. V., Moss, Pendit, Setiawan, & Iriani, 2013).
Selain dari prognosis, usia akan memberikan pengaruh terhadap interaksi
obat yang dberikan pada pasien leukemia akut. Interaksi obat yang terjadi akan
memberikan 20-30% pengaruh terhadap efek samping yang berakibat buruk
terhadap pasien. Hal ini akan menambah waktu rawat inap pasien leukemia anak
(Fitriani, Mutiara, Malik, & Andriastuti, 2016). Selain itu juga, terdapat
kesintasan 5 tahun terhadap fase remisi leukemia. Apabila telah lewat dari 5 tahun
dari pertama kali di diagnosis, maka prognosis baik dengan ditemukannya fase
remisi komplit (sembuh) (Simanjorang, Kodim, & Tehuteru, 2013).
Usia pasien leukemia anak ini menggambarkan faktor risiko untuk
terjadinya leukemia. Dari penelitian Fardani et. al, usia 14 tahun dan menerima
ASI yang cukup lama, akan menurunkan risiko kejadian leukemia akut. Hal ini
terjadi karena etiologi leukemia masih belum jelas dan diperkirakan akibat
paparan radiasi atau infeksi virus. ASI atau Bifidobacterium akan menurunkan
26
risiko anak menderita leukemia (Fardani, Aditya, Nency, Movieta, Cayami, &
Kurniawan, 2013). Selain itu, penelitian di Yogyakarta menunjukkan usia
termasuk dalam kategori faktor prediktor dalam menentukan kualitas hidup
pasien ALL. Median usia yang diperoleh adalah 8,4 3,4 tahun (Danuaji, 2009).
27
bahwa jumlah pasien leukemia anak yang berobat dari kota medan sebanyak 39
orang (22,4%) dan luar kota medan 135 orang (77,6%) di tahun 2012-2013.
Menurut Sulistiawan (2015), penelitian yang dilakukan di RSUD A.W. Sjahranie
diperoleh data bahwa domisili pasien leukemia anak terbanyak di Samarinda,
yaitu sebanyak 39 pasien (76,5%) dan luar samarinda sebanyak (23,5%) dari
tahun 2010-2015.
Menurut Belson, kingsley, & holmes (2006), beberapa data epidemiologi
menunjukkan hubungan antara leukemia pada anak dengan radiasi yang didapat
dari orang tua. Penelitian ini memperlihatkan terjadi peningkatan jumlah pasien
leukemia anak dengan orang tua yang bekerja di West Cumbria, Inggris pada
tahun 1950-1985. Orang tua ini memiliki pekerjaan di pusat nuklir Sellafield,
Inggris. Selain itu, terdapat hubungan juga dengan domisili yang berada dekat
dengan Sellafield. Menurut Hjalmars et al (1994), terjadi peningkatan pada daerah
dengan kontaminasi tinggi di Swedia. Selain itu, Gracia et.al menunjukkan bahwa
anak yang tinggal dengan jarak 2,5 km dari kawasan industri dapat
meningkatkan risiko terjadinya leukemia pada anak. Hal ini dikatikan dengan
adanya paparan polutan yang dihasilkan dari sisa industri. Menurut Belson et. al,
paparan zat akibat batu bara/minyak bumi dapat meningkatkan kejadian leukemia.
28
(benzene) diyakini memiliki faktor risiko tinggi terhadap beberapa jenis leukemia.
Riwayat paparan rokok juga diyakini menjadi faktor risiko terjadinya AML.
Paparan bahan kimia lain seperti pestisida juga diketahui meningkat risiko
kejadian leukemia. Paparan pestisida ini hanya berpengaruh apabila dalam kondisi
prekonsepsi maternal. Untuk paparan pestisida pada kondisi paternal diketahui
memiliki hubungan yang lemah (Wigle, Turner, & Krewski, 2009).
Paparan bahan kimia merupakan yang paling berpengaruh pada kejadian
peningkatan leukemia anak. Menurut Freedman et al (2001), paparan terhadap
pestisida di rumah atau paparan sekunder yang berasal dari pakaian orang tua
yang bekerja dan dicuci di rumah merupakan faktor risiko tinggi. Terutama
dengan penggunaan hidrokarbon (benzene). Hidrokarbon ini banyak digunaka
pada pembuatan cat, plastik, dan bahan bakar kendaraan (minyak bumi/batu bara).
Benzene inilah yang bersifat karsinogenik. Penelitian Reynolds et al (2003)
memperlihatkan hubungan antara polusi udara yang mengandung banyak zat
karsinogenik dengan risiko tinggi terjadinya leukemia di California, US.
Sedangkan penelitian di Semarang menunjukkan terdapat hubungan antara
paparan polutan ganda benzena dengan kejadian leukemia pada anak (Iswandi,
2013). Hal ini diperkuat oleh Soemarko & Mansyur (2014) yang menunjukkan
bahwa paparan terhadap benzena akan meningkatkan risiko terjadinya leukemia
apabila ditemukan kadar benzena > 1 ppm. Faktor risiko selain benzena, yaitu
minyak bumi. Paparan minyak bumi pada pekerjaan orang tua memperlihatkan
hubungan dengan meningkatnya kasus leukemia pada anak (Zhang et. al, 2016).
Faktor genetik
Anak dengan sindrom down (trisomi 21) memiliki risiko leukemia,
kebanyakan jenis leukemia megakarioblastik akut (AML). Risiko ini sekitar 400
kali lebih besar dibandingkan yang tidak menderita sindrom down (Weinblatt,
2014).
Terdapat dua teori untuk faktor genetik pada leukemia yang disebut two-
hit model. Teori hit pertama adalah translokasi kromosom di uterus. Teori
selanjutnya terjadi pada saat post natal yang menyebabkan proliferasi leukemia.
Hipotesis lain mengatakan bahwa bayi lahir besar berhubungan dengan produksi
insulin-like growth factor (IGF-1) pada infant yang menstimulasi pertumbuhan sel
29
mieloid dan limfoid. Orang tua yang melahirkan di usia lebih dari 35 tahun
memiliki risiko anak yang menderita leukemia karena diperkirakan ada mutasi
(Bangun, Lubis, Sofyani, Rosdiana, & Siregar, 2014).
Pada ALL terjadi translokasi 11q23/MLL rearrangements yang muncul
pada masa in utero. Hal ini terdapat pada lebih 80% kasus. Gen ini berperan
penting pada perkembangan dan defrensiasi sel hematopoetik. Gen AF-4 pada
kromosom pita 4q21 adalah pasangan gen MLL yang umumnya terdapat pada
bayi dengan ALL. Gen ENL pada kromosom pita 19p13 adalah pasangan gen
lainnya (Mulatsih & Meiliana, 2009).
Selain itu, sekelompok gen yang berperan dalam perkembangan sel B
(IKZF1) berpengaruh pada patogenesis ALL. IKZF1 menyebabkan supresi tumor
di sel B-ALL. Ditemukan delesi atau mutasi pada 15% pasien B-ALL (Forero,
Hernandez, & Hernandez-Rivas, 2013).
Infeksi
Anak-anak memiliki predisposisi menjadi ALL dari sel galur benih
tersebut. Proporsi kasus ALL pada anak dimulai dengan mutadi genetik yang
terjadi saat dalam rahim. Anak-anak dengan aktivitas sosial yang tinggi, terutama
mereka yang lebih dahulu masuk ke tempat penitipan anak, memiliki insiden ALL
lebih sedikit, sementara anak-anak yang hidup dalam komunitas terisolasi dan
kurang terpapar dengan infeksi umum pada tahun pertama kehidupan memiliki
risiko lebih tinggi (Hoffbrand & Moss, 2013).
2.2.6 Patofisiologi
Penyakit keganasan atau kanker adalah penyakit yang ditandai oleh
pertumbuhan dan penyebaran sel-sel abnormal dalam tubuh. (Sambo & Chozie,
2016). Karsinogenesis merupakan suatu proses perkembangan kanker yang
dimulai dari kerusakan genetik yang disebabkan oleh mutasi sel somatik.
Karsinogenesis dibagi menjadi tiga tahap yaitu inisiasi, promosi, dan progresi.
Inisiasi merupakan suatu proses yang melibatkan mutasi genetik yang menjadi
permanen dalam DNA sel. Pada tahap inisiasi terdapat enzim-enzim yang dapat
mendeteksi kekeliruan dalam proses transkripsi dan memperbaiki kekeliruan
tersebut. Jika protein pengatur dapat mengenalinya dan menghalangi terjadinya
30
pembelahan sel yang lebih lanjut, maka kekeliruan ini dapat diperbaiki. Namun,
jika protein pengatur tidak mengenali kekeliruan tersebut maka sel akan
mengalami mutasi permanen yang akan diteruskan pada generasi sel berikutnya.
Promosi adalah suatu tahap sel mutan mengalami proliferasi. Klon sel yang tidak
stabil dan mengalami inisiasi akan melakukan proliferasi dan mutasi tambahan
sehingga akan berkembang menjadi tumor ganas. Tahap promosi meliputi
keterpajanan dengan faktor-faktor yang disebut promoter. Sel yang telah
mengalami mutasi dapat diubah promoter dengan mengubah fungsi gen yang
mengontrol pertumbuhan dan duplikasi sel, mengubah respon sel terhadap
stimulator, dan komunikasi antarsel. Progresi adalah suatu tahap ketika klon sel
mutan mendapatkan satu atau lebih karakteristik neoplasma ganas seiring dengan
berkembangnya tumor, sel akan menjadi lebih heterogen akibat mutasi tambahan.
Selama stadium progresi, massa tumor akan mengalami perubahan yang
memungkinkan tumor menginvasi jaringan yang berdekatan dan dapat memulai
suatu angiogenesis, penetrasi ke dalam pembuluh darah, dan mengalami
metastasis untuk membentuk tumor sekunder (Sukardja, 2000 ;Price & Wilson,
2005).
Jenis penyakit keganasan tergantung jenis sel tubuh yang berubah menjadi
tidak normal. Terdapat dua jenis penyakit keganasan pada anak, yaitu tumor padat
dan keganasan sel darah (leukemia). Jenis yang paling banyak djumpai adalah
keganasan sel darah (Sambo & Chozie, 2016).
Hematopoesis adalah proses sel-sel darah terbentuk dari prekursor sel
induk yang dibutuhkan. Hematopoesis ini bermula dengan satu sel punca
pluripoten yang dapat memperbaharui diri dan juga menjadi sumber dari beberapa
galur sel yang terpisah. Sel punca hematopoetik ini akan mengalami diferensiasi
sel melalui progenitor hematopoetik menjadi sel progenitor mieloid dan sel
progenitor limfoid. Sel progenitor mieloid ini menghasilkan granulosit, eritrosit,
monosit, dan megakariosit. Sel progenitor limfoid akan menghasilkan limfosit B,
limfosit T, dan sel NK (Hoffbrand & Moss, Hemopoesis, 2013).
Diferensiasi sel punca menjadi eritrosit, granulosit, limfosit, monosit, dan
keping darah sbeenarnya masih belum jelas bagaimana fase awalnya. Tetapi,
diperikan protein yang bernama sitokin terlibat dalam fase ini. Mungkin, karena
31
sel darah putih matur mempunyai waktu yang lebih pendek, prekursor sel darah
putih lebih banyak daripada sel darah merah dengan perbandingan 3:1 di sumsum
tulang (Davoren, 2006).
Untuk sel darah putih, pembentukannya kebanyakan selnya adalah
granulosit karena sitoplasmanya terdapat granul. Disini, neutrofil adalah yang
paling banyak dan sangat penting untuk menyebabkan inflamasi (Davoren, 2006).
Peningkatan kelainan genetik biasanya terjadi diawal maturasi sel punca yang
akan mengarah pada leukemia (Moasser, 2006). Pada leukemia, mutasi terjadi
pada mieloid atau limfoid dari sel induk (Lockwood, 2015).
AML terjadi akibat adanya aktivitas neoplasma yang menyerang sel punca
mieloid pada prekursor hematopoetik. Hal ini akan mempengaruhi granulosit,
monosit, eritrosit, dan keping darah. Terdapat dua kemungkinan munculnya
AML. Pertama, adanya lag-time selama 5-10 tahun untuk perkembangan
leukemia setelah paparan radiasi atau kemoterapi. Kedua, banyak kasus terjadinya
secondary leukemia akibat dari fase prolonge yang bermanifestasi sindrom
mielodisplasia (Moasser, 2006).
Sebagai neoplasma hematopoetik, leukemia akut akan mempengaruhi
sumsum tulang dan bermanifestasi sel blas. Infiltrasi leukemia ke ekstramedular
atau biasanya disebut chloromas dapat dilihat di mukosa. Peningkatan sel blas
terkadang dapat mengakibatkan obstruksi dan hemoragik serta infark serebral dan
vaskular pulmonary beds. Dari hasil perhitungan darah tepi akan ditemukan
penurunan jumlah granulosit, eritrosit, dan keping darah pada leukemia. Hal ini
terjadi karena sumsum tulang dipenuhi oleh sel blas yang akan menghambat
proses hematopoesis normal. Maka, terjadi penekanan granulosit dan perdarahan
yang abnormal sebagai akibat produksi keping darah yang rendah (Moasser,
2006).
Salah satu konsekuensi utama leukemia adalah berkurangnya kemampuan
pertahanan terhadap invasi organisme asing. Pada leukemia, hitung SDP dapat
mencapai 500.000/mm3, dibandingkan nilai normal 7000/mm3, tetapi karena
sebagian besar sel ini abnormal atau imatur, mereka tidak dapat melaksanakan
fungsi pertahanan normal. Konsekuensi merugikan yang lain dari leukemia adalah
digantikannya turunan sel darah lain di sumsum tulang. Hal ini menyebabkan
32
anemia karena eritropoesis berkurang dan perdarahan internal karena defisinsi
trombosit. Trombosit ini berperan penting dalam mencegah perdarahan dari
kerusakan-kerusakan kecil yang dalam keadaan normal terjadi di dinding
pembuluh darah halus. Karena itu, infeksi berat atau perdarahan adalah penyebab
tersering kematian pada pasien leukemia (Sherwood, 2014).
Proses patofisiologi leukemia akut dimulai dari transformasi ganas sel
induk hematologik atau turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan
sel leukemia akan mengakibatkan (Bakta, 2006):
1) Penekanan hemotopoesis normal sehingga terjadi bone marrow failure
2) Infiltrasi sel leukemia ke dalam organ sehingga menimbulkan organomegali
3) Katabolisme sel meningkat sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik
Pada CML dijumpai Philadelphia kromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal
translocation 9,22 (t 9;22). Terjadi translokasi sebagian materi genetik pada
lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat
resiprokal. Sebagai akibatnya, sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang
kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada
lengan panjang kromosom 22. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru
(chimeric oncogen) yaitu bcr-abl oncogen. Gen baru akan mentranskripsikan
chrimeric RNA sehingga terbentuk chrimeric protein. Timbulnya protein baru ini
akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel
sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel mieloid dan menurunnya
apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (Bakta, Leukemia
dan Penyakit Mieloproliferatif, 2006).
Sel AML yang mengalami transformasi dapat terjadi di berbagai tempat
pada jalur pekembangan sel induk dari analisis sitogenetik, isoenzim, dan fenotip
sel. Sel AML ini akan mengekpresikan perkembangan gugus sel tertentu sehingga
terjadi berbagai jenis leukemia. Misalnya transformasi leukemia terjadi pada sel
induk pluripoten yang akan mengenai eritrosit dan trombosit atau pada sel induk
untuk granulositopoisis atau monositopoisis.
Penelitian yang dilakukan pada ALL menunjukkan bahwa sebagian besar
ALL mempunyai homogenitas pada permukaan sel blast dari setiap pasien.
Dugaan ini menunjukkan sel leukemia berasal dari sel tunggal.
33
Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada
patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sedikit
diketahui. Pansitopenia tidak selalu yang terjadi akibat desakan populasi sel
leukemia. Hal ini terlihat pada keadaan yang mengalami pansitopeni, tetapi
gambaran sumsum tulang malah hiposeluler.
Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya akibatnya penekanan
sumsum tulang yang cepat dan hebat atau adanya infiltrasi sel leukemia tersebut
ke organ tubuh pasien (Permono & Ugrasena, 2012).
34
Gejala klinis leukemia anak AML dibagi menjadi: (1) disebabkan oleh
defiensi sel yang berfungsi dengan normal, (2) proliferasi dan infiltrasi sel
leukemik abnormal, dan (3) gejala berkelanjutan.
1. Gejala akibat defiensi sel yang berfungsi dengan normal, yaitu
sitopenia, anemia (pucat, cepat lelah, takikardi, dan sakit kepala),
perdarahan (memar, peteki, epistaksis, gusi berdarah), demam yang
biasanya akibat infeksi.
2. Gejala akibat proliferasi dan infiltrasi sel leukemik abnormal, yaitu
infiltrasi ekstramedular, massa mediastinal, massa abdomen,
hiperplasia gusi, infiltrasi CNS (akibat leukemia monoblastik)
(Weinblatt, 2014).
Gejala klinis leukemia CML, yaitu:
o Gejala klinis fase kronik, yaitu lemas, pengeluaran keringat dari
hipermetabolisme, peningkatan sel darah putih, splenomegali,
pembesaran lien, hepatomegali, nyeri kuadran atas kanan abdomen
akibat limpa yang infark.
o Gejala klinis penyakit yang progresif, yaitu mimisan, petekie,
ekimosis selama fase akut, nyeri tulang, demam selama fase blast,
anemia, trombositopenia, basofilia, pembesaran lien secara cepat
selama fase blast (Besa, 2015).
Gejala klinis leukemia CLL, yaitu pembesaran pembuluh limfa, hati atau
lien, infeksi berulang, kehilangan nafsu makan, memar abnormal, fatigue,
dan keringat malam hari (Mir, 2016).
2.2.8 Diagnosis
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis leukemia. Namun, leukemia dapat dipastikan dengan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi
dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang lain. Cara ini
dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut, yakni sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi
molekuler.
35
Pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung
jenis leukosit dan trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif. Pemeriksaan
preparat hapus darah tepi didapatkan sel-sel blast. Berdasarkan protokol WK-ALL
dan protokol nasional (protokol jakarta), pasien ALL dimasukkan dalam kategori
risiko tinggi bila jumlah leukosit >50.000 l, ada masa mediastinum, ditemukan
leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah sel blast total setelah 1 minggu
diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm3. Massa mediastinum tampak
pada radiografi dada. Untuk menentukan leukemia SSP dilakukan aspirasi cairan
serebrospinal (pungsi lumbal) dan pemeriksaan sitologi (Permono & Ugrasena,
2012). Sedangkan menurut Pui & Crist (2006), hitung sel pada kondisi awal akan
memperlihatkan abnormalitas. Anemia, leukosit, dan hitung diferensial yang
abnormal, serta trombositopenia biasanya ditemukan saat diagnosis. Pada pulasan
sumsum tulang akan ditemukan limfoblas atau limfosit. Faktor risiko tinggi pada
ALL adalah apabila ditemukan leukosit yang meningkat. Hitung jumlah leukosit
ini akan menentukan faktor keberhasilan pengobatan terapi dan penentuan faktor
risiko tinggi bila ditemukan leukosit meningkat >50.000/mm3 (Wolley, Gunawan,
& Warouw, 2016).
Pasien dengan risiko tinggi dan standar ditemukan 2 daerah relaps
ekstramedular (diluar sumsum), yang penting adalah susunan saraf pusat (SSP)
dan testis (Permono & Ugrasena, 2012). Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk
menentukan (Kanwar, 2014):
Ultrasonografi: untuk mengevaluasi infiltrasi testis pada anak laki-laki
dengan pembesaran testis, evaluasi ginjal leukemik sebagai risiko sindrom
lisis tumor
ECG (ekokardiogram): mengidentifikasi disfungsi kardiak sebelum
pemberian antrhacyclines (EBM), memonitor fungsi hati selama pengobatan
dengan antrhracyclines
Manifestasi awal yang lazim pada leukemia SSP adalah akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Muntah dan nyeri kepala (terutama pagi hari),
papiledema, dan letargi progresif. Kejang dan kaku kuduk, parase saraf kranial ke-
6 (abdusen) dengan diplopia dan strabismus merupakan manifestasi lanjut.
Apabila ada peningkatan berat badan yang berlebihan, gangguan tingkah laku, dan
36
autisme dapat dicurigai keterlibatan hipotalamus. Pada hampir seluruh pasien
dengan keterlibatan SSP, tekanan cairan spinal meningkat. Sebanyak 85% pasien
mengalai pleositosis sel-sel leukemik. Jika hitung sel tidak meningkat, sel-sel
leukemia dapat ditemukan pada sediaan apus cairan spinal setelah disentrifus
(Behrman, Kliegman, & B.F Santon, 2011).
Di negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi
sumsum tulang (BMP) secara morfologis, immunofenotip, dan karakter genetik.
Leukemia dapat menjadi kasus gawat darurat dengan komplikasi infeksi,
perdarahan atau disfungsi organ yang terjadi akibat leukostatis.
Biasanya diagnosis AML diawali dengan prolonged preleukemia
ditunjukkan dengan adanya kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga
terjadi anemia refrakter, neutropenia, atau trombositopenia. Pemeriksaan sumsum
tulang tidak menunjukkan leukemia, tetapi ada perubahan morfologi yang jelas.
Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik (MDS) dan mempunyai
klasifikasi FAB sendiri. Biasanya sumsum tulang menunjukkan hiperseluler,
kadang hipoplastik yang berkembang menjadi leukemia akut.
Pada AML, hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia,
trombositopenia, dan leukositosis. Kadar hemoglobin 7.0-8.5 gr/dl, trombosit
umumnya <50.000/ul, dan jumlah leukositnya sekitar 24.000/ul. Sekitar 20%
pasien, jumlah leukositnya >100.000/ul (Permono & Ugrasena, 2012).
Diagnosis CML ditentukan tergantung dari hasil fasenya. Fase CML
terbagi menjadi tiga, yaitu (Kotiah, 2015).:
a. Fase kronik stabil
Sel blast dari hapusan perifer kurang dari 10% di dalam darah ataupun
sumsum tulang.
b. Fase akselerasi
Sel blast 10-19% dari sel darah putih dalam sumsum tulang perifer dan atau
nukleasi, ditemukan trombositopenia (<100 x 109/L), meningkatnya sel darah
putih dan ukuran limpa tidak responsif terhadap terapi
c. Fase Krisis Blas
37
Sel blas 20% dari sel darah putih atau sel sumsum tulang berinti, proliferasi
blast ekstramedular, dan fokus besar atau blast berkelompok pada biopsi
sumsum tulang
2.2.9 Pengobatan
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
(Bakta,2006):
1. Terapi spesifik: dalam bentuk kemoterapi
2. Terapi suportif: untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena
leukemia maupun terapi.
Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemia berupa
kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf
pusat dan rumatan. Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi menetukan
protokol kemoterapi. Di Indonesia, pasien ALL menggunakan protokol nasional
(Jakarta) dan protokol WK-ALL 2000 (Permono & Ugrasena, 2012). Tahapan
pengobatan kemoterapi terdiri atas:
1. Fase Induksi Remisi
Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu suatu keadaan di
mana gejala klinis menghilang, disertai blast dalam sumsum tulang kurang dari
5%, dan pemeriksaan morfologi tidak dapat dijumpai sel leukemia dalam sumsum
tulang dan darah tepi (Bakta, 2006). Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu
dengan dasar 3-4 obat yang berbeda (deksametason, vinkristin, L-asparaginase
dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi komplit,
remisi parsial, atau gagal (Permono & Ugrasena, 2012).
2. Fase Postremisi
Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama mungkin yang
pada akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini dicapai dengan:
Kemoterapi lanjutan, terdiri atas (Bakta, 2006):
i. Terapi konsolidasi
ii. Terapi pemeliharaan (maintenance)
iii. Late intensification
38
Transplantasi sumsum tulang: merupakan terapi konsolidasi yang
memberikan penyembuhan permanen pada sebagian penderita.
Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi
komplit dan untuk profilaksis leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil yang
diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan
kesembuhan. Pada pasien risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna
memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien akan mendapat remisi di fase
ini. Terapi SSP, yaitu secara langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan
obat metotreksat, dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis sedang
(500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa pasien
risiko tinggi dengan umur > 5 tahun lebih efektif dengan radiasi kranial dan
kemoterapi sistemik dosis tinggi (Permono & Ugrasena, 2012).
Terapi lanjutan rumatan dengan obat merkaptopurin tiap hari dan
metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostika lain selama perawatan
tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini adalah 2-2,5 tahun dan tidak ada
keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis sitostatika secara
individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor konsentrasi obat
selama terapi rumatan.
Penatalaksaan ALL yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini mengacu
pada Protokol ALL yang diterbitkan oleh Indonesian Childhood ALL pada tahun
2013. Penatalaksanaan ALL terbagi menjadi dua yaitu : persiapan sebelum
mengawali pemberian sitostatika kemudian dilanjutkan dengan pemberian
sitostatika. Berikut pembahasan lebih detail mengenai kedua tahapan
tersebut(Indonesian Childhood ALL, 2013).
39
cc/kg/hari. Alkalinisasi urin dilakukan dengan menambahkan sodium
bikarbonat ke dalam cairan parenteral sebanyak 40-60 meq/L untuk
mempertahankan pH urin antara 7,0-7,5.2 Dengan kenaikkan pH urin tersebut
menyebabkan asam urat terionisasi sehingga mencegah pembentukan kristal
asam urat. Namun bila terjadi alkalinisasi yang berlebihan, dapat menyebabkan
deposisi kompleks kalsium-fosfat yang kemudianakan terjadi penurunan laju
filtrasi glomerulus. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan ketat pH urin.
Pemberian allopurinol dengan dosis 200-300 mg/m2/ hari atau 10
mg/kgBB/hari ditujukan untuk menurunkan konsentrasi asam urat plasma.
Obat ini diberikan sampai didapatkan pH urin mencapai sekitar 7,5 (Endang &
Caroline, 2002).
- Transfusi dianjurkan untuk mempertahankankadar hemoglobin> 10 g/dl selama
pelaksanaan kemoterapi. Catat berat badan guna mengontrol kelebihan cairan,
bila perlu beri furosemide.
Kadar Hb optimal untuk pemberian sitostatika adalah > 8 g/dl. Namun
setelah pemberian sitostatika selesai, transfusi komponen sel darah merah
diberikan hingga kadar Hb mencapai > 10 g/dl (oksigenasi jaringan
dianggap cukup optimal pada kadar Hb 8 12 g/dl )
Saat pemberian intratekal yang pertama, bila trombosit < 50.000/mm3,
beri transfusikomponen trombosit.
Dianjurkan untuk memeriksa immature plateletfraction(IPF). Bila ada
trombositopenia disertai dengan tanda perdarahan mutlak diberitransfusi
konsentrat trombosit.Jika trombositopenia berkepanjangan, dapat
diberikan transfusi trombosit bersamaan tindakan intratekal (IT), atau
segera setelah selesai melakukan IT.
Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan yang
disebabkan karena faktor koagulasi yang dibuktikan dengan pemanjangan
dari jalur intrinsik dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis.
- Nutrisi. Direkomendasikan untuk pemberian nutrisi yang adekuat sebelum
memulai kemoterapi terutama pada kasus malnutrisi, intake kalori harus
dipastikan, jangan ragu menggunakan NGT (nasogastric tube).
Pengendalian infeksi perlu diperhatikan yaitu diantaranya :
40
wajib mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien
periksa rutin dan menjaga kebersihan mulut dan mandi sikat gigi
hindari terjadinya luka dan perdarahan gusi dengan jangan menggosok
gigi terlalu keras
tidak diperlukan profilaksis antibiotic maupun anti jamur (utamanya
derivat azol ; flukonazol,itrakonazol) maupun dekontaminasi usus. Jika
terdapat sepsis, pemberian sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum
minimal 3x24 jam dengan pemberian antibiotika intravena, jika infeksi
ringan, pemberian sitostatika bersamaan dengan antibiotika.
oral hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke
dokter gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus
infeksi pada saat sakit dan tiap 6 bulan.
Bila perlu konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi. Parasit :
obat cacing (mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg selama 3
hari; albendazol 200 mg dosis tunggal; pirantel pamoat 10-12,5 mg/kgBB)
dapat diberikan pada anak yang baru didiagnosis.
Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan
20mg/kg sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu
merupakan rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi dari
jerovecii,diberikan segera setelah selesai fase konsolidasi.
Pemeriksaan status gizi senantiasa dilakukan pada awal pengobatan,
setelah induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan sebelum blok steroid.
Pemeriksaan status nutrisi termasuk : anamnesa riwayat tumbuh kembang,
antropometri.
Pemeriksaan laboratorium berupa evaluasi hitung jenis, Na, K, Ca, P,
ureum, kreatinin, albumin SGOT, SGPT, bilirubin direk, bilirubin total,
asam urat, dan pH urin.
2. Pemberian Sitostatika
1. Induksi
41
Sitostatika yang digunakan pada pengobatan induksi terdiri dari prednisone
(PRED), vincristine (VCR), L-Asparaginase (L-Asp), Daunorubicin (DNR), dan
methotrexate ( MTX ) intratekal.
Prednisone(PRED) :
- digunakan pada Risiko Biasa (RB) dan Risiko Tinggi (RT).
- Pada RB, window period diberikan dosis 60 mg/m2 per oral dibagi dalam 3
dosis selama 1 minggu. Selanjutnya diberikan 40 mg/m2 selama 5 minggu
(total 6 minggu). Setelah 5 minggu dosis harus diturunkan setiap 3 hari
menjadi separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada hari ke 42.
- Pada RT dosis ditingkatkan secara bertahap.
Jika BMP tertunda hingga 7-10 hari setelah prednisone selesai, harus
diwaspadai terjadinya risiko rebound cell ( hematogones ).
Gambar Protokol Fase Induksi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood ALL, 2013)
*bila BMP tidak remisi, induksi dilanjutkan sesuai denganminggu ke-5 protokol
RT.
42
Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor , terapi intratekal hanya
menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada pemeriksaan
liquor,menggunakan MTX tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ), 2x seminggu
dilakukan sampai negatif 3x berturut-turut.
Apabila terjadi relaps CNS akan dikelola secara khusus. Dosis 30 mg/m2, bila
tidak ada dapat diganti Doxorubicin 20 mg/m.
Vinkristin (VCR)
dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 (dalam 10
ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
Daunorubisin (DNR)intravena
untuk risiko biasa diberikan 2 x selama induksi yaitu hari ke 21 dan ke 28
dengan dosis 30 mg/m2.
untuk pasien risiko tinggi dosis 30 mg/m2 , diberikan 4 kali pada hari ke-21,
28, 35,dan ke 42( DNR dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 100 cc diberikan secara
43
drip IV dalam 1 jam ). Bila tidak tersedia adanya DNR, dapat diganti dengan
Daunorubicin dengan dosis 20 mg/m2.
- Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau i.m
dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp diaspirasi
dalam syringe, ditambahkan 0,5 1 ml lidocain dalam syringe yang sama (tidak
dikocok agar tidak tercampur), kemudian berikan im pelahan-lahan.
- Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis
20000 IU/m2/dosis.
- Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada
pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase
reinduksi.
- Jika ada trombositopenia dalam pemberian im, maka berikan transfusi
trombosit terlebih dahulu.
44
Gambar Dosis MTX (Indonesian Childhood ALL, 2013)
45
selama 2-4 jam setelah penyuntikan dengan maksud agar obat menyebar
sampai ke ruang araknoid (arachnoid space).
6. Periksa glukosa urin minimal 1 kali seminggu.
7. Bila jumlah lekosit 100.000/mm3, ada organomegali dan atau hiperurikemia
: beri allopurinol 200 mg/m2/hari p.o. selama 3 7 hari.
Minggu pertama :
- Stabilisasi kondisi pasien. Masalah yang paling sering ditemukan adalah
infeksi, anemia, trombositopenia, dan neutropenia.
- Beri antibiotika dengan spekrum luas jika demam dan jumlah netrofil
rendah.
- Bila anemia,dibutuhkan tranfusi.Jika Hemoglobin < 4g% dengan ancaman
dekompensasi cordis , maka tranfusi diberikan pelan-pelan disertai
diuretik.
- Timbang berat badan secara secara berkala untuk mengetahui adanya
kelebihan cairan .
- Pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan sindroma tumor lisis
Pemeriksaan urine lengkap, ukur produksi urin, danperiksa serum
elektrolit (Na,K, Ca, P)kreatinin serum, jika ada sindroma tumor lisis
terapkan managemensindroma tumor lisis .
- Netropenia yang terjadi saat induksi disebabkan karena leukemianya,
bukan karena steroid, vincristine, L-Asp, karena itu , steroid dan
vincristine dapat dilanjutkan.
- Amati tanda-tanda infeksi
- Jika suhu tubuh oral atau aksila> 38C, lakukan pemeriksaan fisik, cek
CRP, dan kultur darah, , urine, swab tenggorok dan lesi kulit ,termasuk lesi
anal dan sekitarnya dengan jumlah netrofil 500-1000dan tidak ada fokus
infeksi, pasien tidak pada kondisi sakit akut, tunggu beberapa jam
kemudian cek CRP dan kultur darah ulang. Jika tidak didapatkan fokus
infeksi tapi panas,segera berikan antibiotika spektrum luas.
- Pasien dengan jumlah netrofil < 500,lakukan pemeriksaan laboratorium
dan kultur dan berikan antibiotika iv dengan segera.
46
- Antibiotika spektrum luas harus mencakup gram positif dan gram
negative. Penggunaaan antibiotika berdasar pada hasil tes kepekaan
antibiotik (TKA) dan antibiotika yang tersedia dimasing masing rumah
sakit .
- Jika setelah 72 jam, masih panas, neutropenia < 500 dan anak tidak
membaik, dianjurkan pemberian anti jamur. Pada masa induksi, eradikasi
sel leukemia merupakan hal yang terpenting, sehingga sitostatika : PRED,
VCR, dan L-Asp diberikan dengan dosis penuh, mungkin DNR bisa
ditunda sementara.
2. Konsolidasi
Pada fase konsolidasi, pemberian metotreksat dosis tinggi (HD-MTX)
dengan leukovorin rescue memerlukan perhatian yang khusus.
HD-MTX
Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang
baik(adekuat) dengan hasil pemeriksaan lab :
Lekosit 2000/mm3
Trombosit 75000/ mm3
Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal)
Peningkatan kimia enzim hati (S tidak lebih dari 10 kali dari batas atas
nilainormal.
Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0)
Tidak ada infeksi, diare, mucositis
Tidak ada gangguan kencing
- Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral.
- Saat pemberian HD-MTX
Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2/24
jam ditambah bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine dibawah 8.
Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama 24
jam, Leucovorin (injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-MTX,
diberikan selama 2 hari berturut-turut setiap 6 jam. Tanda-tanda toksisitas:
ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal, toksisitas pada liver ( >5x
47
normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian tambahan 3 dosis tiap 6 jam.
cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada saat pemberian HD-MTX.
Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti gagal
liver, gagal ginjal, atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX dan
semuanya ditunda.
Hindri pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID), dan
penisilin bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15 mg/m2 iv
pada 42,48, dan 54 jam setelah dimulainya HD-MTX.
Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal dapat
ditoleransi. Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat
perut kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan
malam) dan bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan
sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan.
Metotreksat (MTX) triple drug intrathecal.
- Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28
48
Gambar Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood ALL,
2013)
Gambar 2.9 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood
ALL, 2013)
49
3. Intensifikasi
Pemberian Citarabin secara IV bolus 3x seminggu berturut-turut.
Prednison (PRED)
- Diberikan sesudah makan dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu. Setelah 4
minggu (akhir minggu ke 16) dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi
separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada akhir minggu ke 17.
Vincristine
- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam
10 ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).
50
Gambar Protokol Fase Intensifikasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian
Childhood ALL, 2013)
4. Rumatan (Maintenance)
- Untuk risiko biasa (RB), fase rumatan dimulai pada minggu ke 13 dan berakhir
pada minggu 110, sementara yang risiko tinggi (RT) dimulai minggu ke 18,
dan akan berakhir pada minggu ke 118
- Agar mendapat outcome yang baik , pemberian dosis yang tepat pada fase
rumatan merupakan hal yang esensi. Bergantung pada kondisi sensitifitas anak
terhadap kemoterapi.
- Persyaratan untuk mengawali rumatan.
kondisi umum baik.
tidak ada infeksi.
Hematologi baik, Hb 10 g/dl, minimal hitung ANC 500,
trombosit>50.000/mm3 tidak ada perdarahan.
fungsi hati dan ginjal baik.
51
6 MP dan MTX
- Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya menggunakan dosis maksimal yang
dapat ditoleransi.
- Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong
(setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan bukan
dengan susu.
- Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3
bulan. Bila ada indikasi dapat dilakukan setiap saat.
- Disarankan pemberian MTX p.o malam hari. Hentikan pemberian obat ini bila
terjadi kenaikan SGOT/SGPT > 10 kali nilai normalPengobatan dengan MTX
ini juga harus dihentikan bila ada pneumonia.
- Pertahankan jumlah lekosit diantara 2000 - 4000/mm3 pada saat terakhir
pemberian 6-MP.
Deksametason
- Selama pemberian deksametason nilai lekosit akan meningkat, itu merupakan
reaksi yang normal. Catatan : bahwa hal tersebut dapat menjadi indikasi untuk
menurunkan ataupun menaikkan dosis.
52
Gambar 2.11 Protokol Fase Rumatan ALL (Indonesian Childhood ALL,
2013)
Catatan Penting :
- Ajusted dose diatas selalu sama pada kedua jenis obat .
- Pada pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat
berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek
samping cotrimoksazol, atau kondisi relaps hematologi.
- Pada leukopenia persisten , yang tidak disebabkan infeksi atau relaps,
pemberian obat sitostatika lebih diprioritaskan dibandingcotrimoksazol.
Hentikan pemberian cotrimoksazol, bila tidak ada peningkatan lekosit setelah 1
minggu pemberian 6 MP dan MTX.
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas
gejala klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas
<5% dari sel berinti, hemoglobin >12 gr/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit
53
>3000/ul dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >2000/ul, jumlah
trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.
Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien.
Sebanyak 2-3% dari pasien anak akan meninggal dalam CCR (continuous
complete remision) dan 25-30% akan kambuh. Sebab utama kegagalan terapi
adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam 18 bulan
sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-term survival)
sementara relaps yang terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai
prognosis lebih baik, khususnya relaps testis dimana long-term survival 5-60%.
Terapi relaps harus lebih agresif untuk mengatasi resistensi obat.
Transplantasi sumsum tulang autologus menunjukkan hasil baik pada
pasien AML. Transplantasi alogenik dari donor HLA yang tidak identik masih
merupakan yang terbaik untuk kesembuhan (Permono & Ugrasena, 2012) .
2.2.10 Prognosis
Sebelumnya, leukemia merupakan penyebab kematian tertinggi pada anak
di awal tahun 1980 di US (ZipfTF, Berg, Roberts, Poplack, Steuber, & Bleyer,
2000). Mortalitas leukemia menurun 20% dari tahun 1975-1995 dan anak yang
sekarat dengan leukemia juga menurun dibandingkan dengan tumor otak (Linet,
Ries, Smith, Tarone, & Devesa, 1999).
Semua jenis leukemia memiliki 5-year survival secara global 20%. Di
negara berkembang, 31% bertahan selama lima atau beberapa tahun lebih,
dibandingkan dengan 15% di negara berkembang. Ini akibat dari kurangnya akses
ke pengobatan yang memadai di negara berkembang. Anak dengan ALL, 90%
mencapai remisi komplit dan 80% dapat bebas dari penyakit di 5 tahun
pengobatan (Wu, 2015). Di negara maju, angka harapan hidup AML mencapai
65%. Keberhasilan tersebut bukan hanya karena pemberian kemoterapi, tetapi
dipengaruhi oleh membaiknya supportive care dan klasifikasi AML yang
didasarkan pada pemeriksaan sitogenetik dan respon awal terhadap pengobatan
(Supriyadi, Purwanto, & Widjajanto, 2013). Penelitian yang dilakukan di RSUP
Cipto Mangunkusumo didapatkan pasien leukemia ALL dengan usia 1-2 tahun
54
memiliki survival-rate tertinggi dan usia 10-18 tahun memiliki survival rate
terendah (Permatasari, Windiastuti, & Satari, 2009).
Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan status kesembuhan pada
pasien leukemia. Status kesembuhan pasien anak dengan leukemia terbagi
menjadi meninggal atau hidup. Penelitian yang dilakukan di RSUP Cipto
Mangunkusumo Jakarta menunjukkan pasien anak dengan leukemia AML yang
meninggal sebanyak 50 orang dan pasien anak yang hidup sebanyak 9 orang dari
tahun 2007-2009 (Sjakti, Gatot, & Windiastuti, 2012). Sedangkan penelitian yang
dilakukan di Yogyakarta menunjukkan survival pasien anak AML yang mendapat
kemoterapi masih sangat rendah sekitar 2,4%. Ini menyebabkan kematian.
Penyebab kematian tahun pertama tersebut bisa terjadi karena efek samping
penggunaan kemoterapi (toxic-related death) ataupun kematian yang
berhubungan dengan penyakitnya sendiri (disease-related death) (Supriyadi,
Purwanto, & Widjajanto, 2013).
Faktor prognosis ALL, yaitu (Permono & Ugrasena, 2012):
1. Jumlah leukosit awal: leukosit > 50.000 ul mempunyai prognosis yang buruk.
2. Usia pasien: pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun
mempunyai prognosis lebih buruk. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau
bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis paling buruk.
3. Fenotip imunologis dari limfoblas: Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB)
dengan antibodi kappa dan lambda pada permukaan blas memiliki
prognosis buruk. Sel-T leukemia mempunyai prognosis jelek dan risiko tinggi.
4. Jenis kelamin: anak perempuan mempunyai prognosis yang lebih baik dari
anak laki yang dihubungkan dengan kejadian relaps testis, massa
mediastinum, organomegali, dan hiperluekositosis pada anak laki-laki.
5. Respon terhadap terapi dari jumlah sel blas: adanya sisa sel blas di daerah tepi
setelah satu minggu ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk.
6. Kelainan jumlah kromosom: hiperploid (>50 kromosom) pada 25% kasus
memiliki prognosis baik.
55
1. Usia didiagnosis tidak terlalu penting, tetapi bayi memiliki prognostik
lebih baik.
2. Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi.
3. FAB M3 (promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya
diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi.
4. Anak dengan sinrom Down pada 10% kasus. Sebagian besar FAB M7 dan
mempunyai respon baik dengan kemoterapi.
5. Respon awal terhadap terapi.
Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk
sembuh, khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel-T yang setelah relaps
mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional
(Permono & Ugrasena, 2012). Dilihat sebagai kelompok, pasien-pasien
dengan morfologi L-1 mempunyai prognosis yang lebih baik daripada
kelompok morfologi L-2. Pasien dengan morfologi L-3 mempunyai ciri
prognosis yang buruk seperti leukemia sel-B dan limfoma non-hodgkin.
Regimen mutakhir menunjukkan penderita yang mencapai remisi lengkap
kontinu selama 6 tahun atau lebih hanya memiliki kemungkinan relaps yang
kecil dikemudian hari (Behrman, Kliegman, & B.F Santon, 2011).
56
BAB 4
PEMBAHASAN
TEORI KASUS
ANAMNESIS
57
PEMERIKSAAN FISIK
DIAGNOSIS
58
penunjang (pemeriksaan darah tepi) seluruh badan disertai dengan
dan harus dipastikan dengan aspirasi pembengkakan limpa. Perut mulai
kembung saat usia pasien 9 bulan.
sumsum tulang (BMA) secara Pasien kemudian dirujuk ke RSUD
morfologis, immunofenotip dan AWS. Di RSUD AWS, pasien
dilakukan BMP dan ditemukan hasil
karakter genetik
ALL-L1.
PENATALAKSANAAN
- Penatalaksanaan kemoterapi
dilaksanakan sesuai dengan
Protokol Pengobatan ALL
(Indonesian Childhood ALL, 2013)
59
BAB 5
PENUTUP
60
DAFTAR PUSTAKA
Alteri, R., Bertraut, T., Brooks, D., Chambers, W., Ellen Chang, c. D., Gensler,
T., et al. (2015). cancer facts & figures 2015. Retrieved March 21, 2016,
from cancer.org:
http://www.cancer.org/acs/groups/content/@editorial/documents/documen
t/acspc-044552.pdf
Ariawati, K., Windiastuti, E., & Gatot, D. (2007). Toksisitas Kemoterapi
Leukemia LImfoblastik Akut pada Fase Induksi dan Profilaksis Susunan
Saraf Pusat dengan Metotreksat 1 Gram. Sari Pediatri, 252-258.
Arifin, Z. (2004). Pola Leukemia Limfoblastik Akut di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK-USU/Rs. Dr. Pirngadi Medan. e-USU Repository.
Bakta, I. M. (2006). Keganasan Hematologik. In Hematologi Klinik Ringkas (pp.
116-119). Jakarta: EGC.
Bakta, I. M. (2006). Leukemia dan Penyakit Mieloproliferatif. In Hematologi
Klinik Ringkas (pp. 120-149). Jakarta: EGC.
Bangun, P. K., Lubis, B., Sofyani, S., Rosdiana, N., & Siregar, O. R. (2014). Risk
Factors of Childhood Leukemia. Paediatrica Indonesiana Volume 54, 358-
364.
Barret, K. E. (2012). Darah Sebagai Cairan yang Beredar & Dinamika Aliran
Darah & Limfe. In Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong (pp. 590-
591). Jakarta: EGC.
Behrman, R. E., Kliegman, R., & B.F Santon, J. S. (2011). Nelson Textbook of
Pediatrics. Washington DC: Elsavier.
Belson, M., kingsley, B., & holmes, A. (2006). Risk Factors for Acute Leukemia
in Children: A review. Environ Health Perspect.
Besa, E. C. (2015, oktober 12). Chronic Myelogenous Leukemia. Retrieved maret
22, 2016, from medscape: http://emedicine.medscape.com/article/199425-
overview
Chandrayani, S. (2009). Gambaran Distribusi Frekuensi Leukemia di RSK
Dharmais dari Tahun 2004-2008. Skripsi FKM UI.
Ciesla, B. (2007). Hematology in Practice. Philadelphia: F.sA Davi.
Danuaji, R. (2009). Nyeri sebelum kemoterapi sebagai prediktor rendahnya
kualitas hidup penderita leukemia limfoblastik akut (LLA) anak-anak
[TESIS]. Universitas Gadjah Mada.
Davoren, J. B. (2006). Blood Disorders. In S. J. Mc.Phee, & W. F. Ganong,
Pathophysiology of Disease. New York: McGraw-Hill.
61
DG, T., & A, B. (2011). The Leukemias. In K. RM, S. BM, & B. Geme J schlor,
Nelson's textbook of pediatrics edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders.
Fitriani, S. W., Mutiara, R., Malik, A., & Andriastuti, M. (2016). Angka Kejadian
dan Faktor yang Memengaruhi Potensi Interaksi dengan Obat pada Pasien
Leukemia Akut Anak yang Menjalani Rawat Inap. Sari Pedatri, 129-136.
Forero, R. M., Hernandez, M., & Hernandez-Rivas, J. M. (2013). Genetic of
Acute Lymphoblastik Leukemia. In M. Guenova, & G. Balatzenko,
Leukemia (pp. 4-27). Croatia: InTech.
Freedman, M., Stewart, P., Kleinerman, R., Wacholder, S., Hatch, E., Tarone, R.,
et al. (2001). Household Solvent Exposures and Childhood Acute
Lymphoblastic Leukemia. Us National Library of Medicine National
Institutes of Health (Pubmed), 564-597.
Freund, M. (2013). Atlas Hematologi Heckner: Praktikum Hematologi dengan
Mikroskop. Jakarta: EGC.
Fridiyanti, Masdar, H., & Asriani, S. (2015). Profil Pasien Leukemia Anak di
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode Tahun 2013-2014. Jurnal
Fakultas Kedokteran Universitas Riau, 78-86.
Garcia, P., Lopez, A., Gome, B., Morales, P., Pardo, R., & Tamayo, I. (2015).
Childhood Leukemia and Residential Proximity to Industrial and Urban
Sites. US National Library of Medicine National Institutes of Health
(NCBI).
Gholami, A., Salarilak, S., Hejazi, S., & Khalkhali, H. R. (2011). Parental Risk
Factor of Childhood Acute Leukemia: A Case Control Study. Journal of
Research in Health Sciences (JRHS), 69-76.
Hakiki, H. (2008). Manifestasi Klinis dan Gambaran Laboratorik Leukemia
Mieloid Kronik di RSUP Dr. Kariadi Periode 1 Januari 2005-31 Maret
2007 . Fakultas Kedokteran Diponegoro Semarang.
Hatter, J. J. (2010). Childhood Leukemia. Pediatric in Review.
Hidayat, Dewi, N. S., & Dalimoenthe, N. Z. (2009). Hasil Hitung Normoblas
antara Sediaan Hapusan Tepi Penderita AML dengan ALL. Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory , 39-41.
Hillman, R. S., Aulth, K., & Rinder, H. (2005). The Acute Myeloid Leukemias. In
Hematology in Clinical Practice (pp. 206-235). Amerika Setikat:
McGraw-Hill.
Hilman, K. A., Ault, H. M., & Rinder. (2005). Hematology in Clainical Practice .
Amerika Serikat: McGraw-Hill.
62
Hjalmars, U., Kulldroff, M., & Gustafsson, G. (1994). Risk of Acute Childhood
Leukemia in Sweden after the Chernobyl Reactor Accident. Swedish Child
Leukemia Group. US National Library of Medicine National of Health
(Pubmed), 154-157.
Hoffbrand, A. V., Moss, P., Pendit, B., Setiawan, L., & Iriani, A. (2013). Kapita
Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.
Hoffbrand, A., & Moss, P. (2013). etiologi dan genetik pada keganasan
hematologi. In Kapita selekta hematolog (p. 138). Jakarta: EGC.
Hoffbrand, A., & Moss, P. (2013). Hemopoesis. In A. Hoffbrand, & P. Moss,
Kapita Selekta Hematologi (pp. 2-12). Jakarta: EGC.
Hull, D., & I.Johnston, D. (2008). Dasar-Dasar Pediatri. Jakarta: EGC.
IDAI. (2005). Hematologi-Onkologi. Jakarta: infomedika.
Irena, N. N. (2015). Hubungan Karakteristik Pasien dengan Luaran Setelah
Kemoterapi Fase Induksi pada Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut
di RSUP Dr. M. Djamil Padang . e-Skripsi Universitas Andalas.
Isnani, N., Perwitasari, D., Andalusia, R., & Mahdi, H. (2014). Evaluasi
Toksisitas Hematologi Akibat Penggunaan 6-Merkaptopurin dalam Fase
Pemeliharaan pada Pasien Pediatri Kanker Leukemia Limfoblastik Akut di
RS KAnker Dharmais Jakarta. Media Farmasi, 90-97.
Iswandi, F. (2013). Hubungan antara Paparan Polutan yang Mengandung Benzena
dengan Leukemia Akut pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro [SKRIPSI].
Kanwar, V. S. (2014, desember 4). Pediatric Acute Lymphoblastic Leukemia.
Retrieved maret 22, 2016, from Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/990113-overview#a4
KEMENKES. (2013). Riskesdes. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Koolman, J., & Rohm, K.-H. (2001). Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Jakarta:
Hipokrates.
Kotiah, s. D. (2015, desember 30). Chronic Myelogenous Leukemia Staging.
Retrieved maret 22, 2016, from medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/2006731-overview
kumar, v., Cotran, R., & Robbins, S. (2007). Buku ajar patologi Robbins. Jakarta:
EGC.
Larr, M. V., Kinsey, S., & Feltbower, R. (2015). Survival of Childhood Acute
Lymphoid Leukaemia in Yorkshire by Clinical Trial Era 19990-2011. US
National Library of Medicine National Institutes of Health [NCBI].
63
Latamu, F., Jeanette, M., & Max, M. (2015). Angka Kejadian Diare pada Anak
dengan Leukemia Limfoblastik Akut di RSUP Prof. DR. R.D. Kandou
Manado Periode Tahun 2011-2015. Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi.
Lockwood, W. (2015). Leukemia: AML, CML, ALL, and CLL.
Marthur, S., Schexneider, K., & Hutchison, R. (2007). Hematopoesis. In R.
McPerson, & M. Pincus, Henry's Clinical Diagnosis and Management by
Laboratory Methods (pp. 484-9). Philadelphia: Saunders.
MayoClinic. (2016). Risk Factors. Retrieved Desember 5, 2016, from Mayoclinic:
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/leukemia/basics/risk-
factors/con-20024914
McCance, K., & Huether, S. (2006). Pathophysiology, The Biologic for Disease in
Adults and Children. Philadelphia: Mosby Inc.
Mir, M. A. (2016, maret 18). Chronic Lymphocytic Leukemia. Retrieved maret 22,
2016, from medscape: http://emedicine.medscape.com/article/199313-
overview
Moasser, M. M. (2006). Neoplasia. In S. J. McPhee, & W. F. Ganong,
Pathophysiology of Disease. New York: McGraw-Hill.
Mudita, I. B. (2007). Pola Penyakit dan Karakteristik Pasien Hematologi-
Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RS Sanglah Denpasar Periode 2000-2005. Sari Pediatri, 13-16.
Mulatsih, S., & Meiliana, S. (2009). Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak Usia
di Bawah Satu Tahun. Sari Pediatri Volume 11, 219-222.
Paul, S., Kantarjian, H., & Jabbour, E. (2016). Adult Acute Lymphoblastic
Leukemia. US National Library of Medicine National Institutes of Health
(NCBI).
Permatasari, E., Windiastuti, E., & Satari, H. I. (2009). Survival and prognostic
factors of chilhood acute lymphoblastic leukemia. Pediatrica Indonesiana,
365-371.
Permono, B., & Ugrasena, I. (2012). Leukemia Akut. In B. Permono, Sutaryo, I.
Ugrasena, E. W, & M. Abdulsalam, Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak
(pp. 236-245). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Pertiwi, N. N. (2013). Gangguan Hematologi Akibat Kemoterapi pada Anak
dengan Leukemia Limfositik Akut di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
Jurnal Farmasi Udayana.
Pinontoan, E., Mantik, M., & Rampengan, N. (2013). Pengaruh Kemoterapi
Terhadap Profil Hematologi pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut.
Jurnal E-Clinic (ECL).
64
Price, S. a., & Wilson, L. M. (2006). Konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6.
Jakarta: EGC.
Pui, C.-H., & Crist, W. M. (2006). Leukemia Limfoblastik Akut. In A. M.
Rudolph, J. I. Hoffman, & C. D. Rudolph, Buku Ajar Pediatri Rudolph,
Ed. 20, Vol.20 (pp. 1398-1402). Jakarta: EGC.
Pusponegoro, H. D., MZ, M., Kaban, R. K., Suradi, R., & Windiastuti, E. (2001).
Clinical features and survival pattern of central nervous system leukemia
in children with acute lymphoblastic leukemia. Paediatrica Indonesiana,
247-252.
Reynold, P., Behren, J. V., GUnier, R., Goldberg, D., Hertz, A., & Smith, D.
(2003). Chilhood Cancer Incidence Rates and Hazardous Air Pollutants in
California: An Exploratory Analysis. Us National Library of Medicine
National Institutes of Health (Pubmed), 663-668.
Rini, A. T., Aisy, m., & Asri, Y. (2010). Karakteristik Leukemia Limfoblastik
Akut di Rumah Sakit Kanker "Dharmais" 2000-2008. Indonesian Journal
of Cancer.
Rofinda, Z. D. (2012). Kelainan Homeostasis pada Leukemia. Jurnal Kesehatan
Andalas, 68-74.
Roganovic, J. (2013). Acute Lymphoblastic Leukemia in Children. In M.
GUenova, & G. Balatzenko, Leukemia (pp. 39-56). Croatia: InTech.
Rudolph, A. M., Hoffman, J., & Rudolph, c. (2006). Buku ajar pediatri Rudolph.
Jakarta: EGC.
Sambo, C. M., & Chozie, N. A. (2016, February 4). Kenali Tanda Awal Penyakit
Keganasan Pada Anak. Retrieved March 21, 2016, from idai:
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/kenali-tanda-awal-
penyakit-keganasan-pada-anak
Schuurhuis, G. J., & Konstantinov, S. (2013). Leukemia. Retrieved Januari 2016,
from ResearchGate: https://www.researchgate.net/publication/236870789
Seiter, K. (2015, oktober 13). Acute Lymphoblastic Leukemia. Retrieved maret 22,
2016, from medscape: http://emedicine.medscape.com/article/207631-
overview#a5
Sherwood, L. (2014). Introduction to Human Psysiology. Jakarta: EGC.
Sjakti, H. A., Gatot, D., & Windiastuti, E. (2012). Hasil Pengobatan Leukemia
Mieloblastik Akut pada Anak. Sari Pediatri Volume 14, 40-45.
Soemarko, D. S., & Mansyur, M. (2014). Lymphocyte Chromosome Breakage in
Low Benzene Exprosure Among Indonesia Workers. Med J Indonesia,
223.
65
Sukardja, I. d. (2000). Onkologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press.
Sulastiana, Muda, S., & Jemadi. (2012). Karakteristik Anak yang Menderita
Leukemia Akut Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-
2012.
Supriyadi, E., Purwanto, i., & Widjajanto, P. H. (2013). Terapi Leukemia
Mieloblastik Akut Anak: Protokol Ara-C, Doxorubycine dan Etoposide
(ADE) vs Modifikasi Nordic Society of Pediatric Hematology and
Oncology (m-NOPHO). Sari Pediatri Volume 14, 345-350.
Taufik, R. (2014, January 13). 1.439 Karyawan Tambang Batu Bara di PHK di
Kukar. Retrieved 2016, from Tribun Kaltim:
http://kaltim.tribunnews.com/2014/01/13/1-439-karyawan-tambang-
batubara-di-phk-di-kukar
Weinblatt, M. E. (2014, april 24). Pediatric Acute Myelocytic Leukemia.
Retrieved maret 22, 2016, from medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/987228-overview#a4
Wigle, D., Turner, M., & Krewski, D. (2009). A Systematic Review and Meta-
Analysis of Childhood Leukemia and Parental Occupational Pesticide
Exposure. National Institutes of Environmental Health Science .
Wolley, N. G., Gunawan, S., & Warouw, S. M. (2016). Perubahan Status Gizi
pada Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut selama Pengobatan.
Jurnal e-Clinic (eCI) Volume 4.
Wu, L. (2015, april 3). Leukemias. Retrieved maret 22, 2016, from Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/1201870-overview
Zhang, J., Zeng, Q., Zhao, L., Zhang, M., Zhang, L., & Gu, q. (2016). Association
Between Parental Exprosure to Environmental Risk Factors and The Risk
of Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia. US NAtional Library of
Medicine National Institutes of Health (NCBI).
ZipfTF, Berg, S., Roberts, W., Poplack, D., Steuber, C., & Bleyer, W. (2000).
Childhood Leukemias. In A. MD, A. JO, L. AS, & N. JE, Clinical
Oncologi (pp. 2402--2429). Philadelphia: Churchill Livingston.
Pudjiadi, A. H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N. S., Gandaputra, E. P., &
Harmoniati, E. D. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
66
Leukemia and Lymphoma Society. (2014). Acute Lymphoblastic Leukemia. New
York: AMGEN.
67