Anda di halaman 1dari 45

SMF/Lab Obstetri dan Ginekologi Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Ketuban Pecah Dini Pada Post Seksio Saesar

Disusun Oleh
Lamtioma R. S Gultom 1510029050

Pembimbing
dr. Prima Deri Pella T, Sp.OG

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


SMF/Laboratorium Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN
Ketuban Pecah Dini Pada Post Seksio Saesar

Laporan Kasus

Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik


padaSMF/Lab Obstetri dan Ginekologi

Disusun oleh:
Lamtioma R.S Gultom
1510029050

Dipresentasikan pada Juli 2017

Pembimbing

dr. Prima Deri Pella T, Sp.OG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat,
hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan yang

berjudul Ketuban Pecah Dini Pada Post Seksio Saesar.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan laporan kasus ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Prima Deri Pella T, Sp. OG sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
Obstetri dan Ginekologi
2. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi , terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada kami.
3. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD AWS/FK
UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang. Terakhir, semoga
Laporan Kasus yang sederhana ini dapat membawa berkah dan memberikan manfaat
bagi seluruh pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Samarinda, Juli 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN............................................................................................... 1
DAFTAR ISI.............................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................5
Latar Belakang............................................................................................................5
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 18
3.1 Ketuban Pecah Dini.............18
3.2 Seksio Sesarea.................................................................................................. 31
BAB IV PEMBAHASAN...................................................................................... 35
BAB V KESIMPULAN...........................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ . 44

4
BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ketuban pecah dini atau Spontaneous/early/premature rupture of membran
merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan tanpa disertai tanda-tanda
persalinan (Medina & Hill, 2006). Kejadian KPD mendekati 10% dari semua
persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu kejadiannya sekitar 4%
(Manuaba,1998). Faktor Risiko terjadinya KPD bermacam macam, termasuk di
antaranya kebiasaan merokok, riwayat koitus 24 jam sebelumnya, infeksi, status
nutrisi, penderita diabetes mellitus, hipertensi, ras, status sosioekonomi rendah yang
berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, dan penyakit menular
seksual (chlamydia trachomatis dan nescheria gonorrhea). Selain itu, infeksi yang
terjadi secara langsung pada selaput ketuban, fisiologi selaput amnion/ketuban yang
abnormal, servik yang inkompetensia, dan trauma oleh beberapa ahli disepakati
sebagai faktor predisposisi atau penyebab terjadinya ketuban pecah dini. Trauma yang
didapat misalnya hubungan seksual dan pemeriksaan dalam (Sualman, 2009).
Penelitian lain di sebuah Rumah Bersalin Tiyanti, Maospati Jawa Barat,
menyebutkan faktor paritas yaitu pada multipara sebesar 37,59% juga mempengaruhi
terjadinya ketuban pecah dini, selain itu riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
sebesar 18,75% dan usia ibu yang lebih dari 35 tahun mengalami ketuban pecah dini
(Rukmana, 2011). KPD adalah kejadian yang terjadi saat kehamilan yang dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin (Nili & Ansari, 2003).
Efek pada ibu adalah korioamnionitis, tindakan operatif, dan sepsis puerperal,
sedangkan pada janin komplikasi yang sering terjadi ialah prematuritas, gawat janin
ataupun kematian janin akibat penekanan tali pusat (Parsons, M. T., & Williams, N.
S., 1999).
Penyebab kematian langsung adalah kematian ibu karena akibat langsung dari
penyakit penyulit kehamilan, persalinan, dan nifas: misalnya infeksi, eklamsia,
perdarahan, emboli air ketuban, trauma anestesi, trauma operasi, dan lain-lain. Infeksi

5
yang banyak dialami oleh ibu sebagian besar merupakan akibat dari adanya
komplikasi/penyulit kehamilan, seperti febris, korioamnionitis, infeksi saluran kemih,
dan sebanyak 65% adalah karena ketuban pecah dini (KPD) yang banyak
menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi (Prawirohardjo, 2002). Hal ini dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnya (Mocthar, 1998).

1.1 Tujuan
1.2.1 Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
yang diperlukan dan penegakkan diagnosis obstetrik.
1.2.2 Mengetahui keadaan patologis kehamilan yang didapatkan dalam kasus ini,
yaitu ketuban pecah dini termasuk alur penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaannya.
1.2.3 Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dalam kasus
ini.

6
BAB 2
LAPORAN KASUS

Autoanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan diIGD RSUD A.W. Syahranie


Samarinda pada tanggal 11 Juni 2017, pukul 15.00 WITA, diperoleh data sebagai
berikut :

2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : Ny.SF
Umur : 23 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Mugirejo Samarinda

Identitas Suami Pasien


Nama : Tn. EH
Umur : 29 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : D3
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Mugirejo Samarinda

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Keluar air-air dari jalan lahir

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda

7
dengan keluhan keluar air-air dari jalan lahir sejak 6 jam sebelum masuk
rumah sakit. Air yang keluar terasa merembes. Keluhan awalnya tidak disertai
dengan rasa perut kencang-kencang dan juga tidak disertai dengan keluarnya
lendir darah. Keluhan perut terasa kencang dan keluar lendir darah baru
dirasakan sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu:


-Pasien memiliki riwayat operasi seksio caesar 1 kali
-Pasien tidak memiliki riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus dan Penyakit
Jantung

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Tidak ada riwayat Hipertensi dalam keluarga
- Tidak ada riwayat Diabetes Melitus dalam keluarga
- Tidak ada riwayat tumor atau kanker dalam keluarga

Riwayat Menstruasi :
- Menarche usia 13 tahun
- Lama haid 7 hari, dalam sehari mengganti pembalut 3-4 kali
- Haid pertama haid terakhir : ? Agustus 2016
- Taksiran Persalinan: ? Mei 2017

Riwayat Pernikahan
- Menikah 1 kali
- Usia pertama kali menikah 19 tahun dengan suami sekarang
- Lama pernikahan dengan suami sekarang 4 tahun.

8
Riwayat Obstetrik :
Jenis Keadaan
Tahun Tempat Umur Penolong
No Jenis Persalinan Kelamin Anak
Partus Partus kehamilan Persalinan
Anak/ BB Sekarang
SC a/i
Ketuban pecah Dokter Perempuan
1 2014 RS Aterm Sehat
dini dan Sp.OG 3200 gr
oligohidroamnion

2 2017 HAMIL INI

Riwayat Kontrasepsi :
Pasien pernah menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan selama 1 tahun.

2.3 Pemeriksaan fisik:


1. Berat badan 56 kg, tinggi badan 150 cm
2. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
3. Kesadaran : Komposmentis, GCS : E4V5M6
4. Tanda vital:
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 90 x/menit, kuat angkat, reguler
Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler
Suhu : 38,3 C
5. Status generalis:
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-)
Telinga/hidung/tenggorokan : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

9
Paru : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeki: Pembesaran abdomen sesuai kehamilan, bekas operasi (+),
linea nigra (+), striae (+)
Palpasi :
Leopold I- Bokong
Leopold II- Punggung kanan
Leopold III-Letak kepala
Leopold IV-sudah masuk PAP
DJJ : 148 kali/menit
TFU : 30 cm
HIS 2X10=20-30``
Ekstremitas : Atas: akral hangat
Bawah: akral hangat edema tungkai (-/-),
varices(-/-)
7. Status Ginekologi
Pemeriksaan Dalam:
Vagina/vulva :normal
Portio :teraba kenyal lunak
Pembukaan : 1 cm
Ketuban : positif
Bagian terbawah : teraba lunak
Pelepasan : terdapat darah dan bloodslyme

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Tanggal 11 Juni 2017
Pemeriksaan Darah Lengkap :
Hemoglobin : 10,4 g/dl
Hematokrit : 33 %
Leukosit : 13.900/ mm3

10
Trombosit : 194.000/ mm3
BT : 3
CT : 10
HbsAg : Non Reaktif
112 : Non Reaktif
Pemeriksaan Kimia Darah
Glukosa sewaktu : 92 mg/dl
Ureum : 20,0 mg/dl
Creatinin : 0,5 mg/dl
Pemeriksaan Urin Lengkap
Berat jenis : 1.003
Keton : negatif
Leukosit : +++
Hemoglobin : negatif
pH : 8.0

2.5 Diagnosis
G2P1A0 Gravid 39-40 minggu, janin tunggal hidup intrauterine + Kala I fase laten
+ Ketuban Pecah Dini + Post Seksio Saesar 1 kali

2.6 Rencana Tindakan


Pro Seksio Saesar
Terapi:
IVFD Ringer Laktat 20 tpm
Injeksi Cefotaxime 1gr/8jam IV
2.7 Prognosis
Dubia ad Bonam

11
2.7 Follow Up
Follow Up Perawatan Pasien Post Operasi di Ruang Mawar
Tanggal Follow up
11/06/2017 S: Menerima pasien baru di VK dengan G2P1A0 gravid 39-40
00.45 wita minggu, janin tunggal hidup intrauterine + ketuban pecah dini +
post seksio saesar 1 kali
O: KU : sakit sedang, kesadaran komposmentis
TD : 110/70 mmHg
N : 90x/menit
RR : 20x/menit
T : 38,5 C
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax :
Jantung: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi: Bentuk abdomen membesar sesuai kehamilan,
bekas operasi (+), linea nigra (+), striae (+)
Palpasi:
Leopold I- Bokong
Leopold II- Punggung kanan
Leopold III-Letak kepala
Leopold IV-sudah masuk PAP
DJJ : 148 kali/menit, HIS 2X10=20-30``
TFU : 30 cm
VT: portio teraba kenyal lunak, pembukaan 1 cm,

12
ketuban (-), kepala H-1, bloodyslime (+)
Ekstremitas :
Atas : Akral hangat, edema (-/-)
Bawah : Edema tungkai (-/-), varices (-/-),
A : G2P1A0 Gravid 39-40 minggu, janin tunggal hidup
intrauterine + inpartu kala I fase laten + Ketuban pecah dini + Post
seksio saesar 1 kali
P : Konsul dr.Sp.OG
Pro Seksio Saesar
Puasa
KIE
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
11/06/2017 S : rembesan tetap ada
07.00 wita O : kesadaran komposmentis
TD : 110/70 mmHg
RR: 20x/menit
N: 88x/menit
T: 38,1 o C
A : G2P1A0 Gravid 39-40 minggu, janin tunggal hidup intrauterin
+ Ketuban pecah dini + Post seksio sesar 1 kali
P : Pro Seksio Saesar
Paracetamol tab 3x500 mg per oral
11/06/2017 Persiapan sebelum operasi:
-Informed Consent
-Menjelaskan pada klien tentang penyakit yang diderita
-Menjelaskan mengenai tindakan operasi yang akan dilakukan
(prosedur tindakan, tujuan dan manfaat tindakan)
-Puasa
11/06/2017 Pasien mulai dipuasakan untuk persiapan operasi

13
08.15 wita Laporan Operasi
Tanggal operasi: 11/06/2017
Waktu operasi:08.15 WITA
Diagnosis pre-operatif: G2P1A0 Gravid 39-40 minggu + inpartu
kala I fase laten + Ketuban pecah dini + Post seksio sesar 1 kali
Diagnosis post-operatif: P2A0 post Seksio Caessarea a/i Ketuban
pecah dini
Jenis operasi: Sectio Caessarea Transperitoneal Profunda

Langkah-langkah operasi:
1. Pasien disiapkan diatas meja operasi, dilakukan anastesi spinal.
2. Pasien diposisikan berbaring.
3. Dilakukan desinfektan dinding perut dan lapangan operasi
dipersempit dengan duk steril.
4. Dibuat insisi vertical sepanjang 12 cm, dari atas simpisis pubis
sampai bawah umbilicus, secara tumpul dibuka lapis demi lapis
(kulit-subkutis-lemak-fasia tranversa dibuka secara tajam-
m.oblique eksternus-m.rectus abdominis-m.piramidalis-
m.obliqus interna-m.transversus-peritoneum)
5. Dilakukan insisi pada segmen bawah rahim 1cm di bawah plika
vesikouterina, dibuka perlahan-lahan (diperlebar dengan kedua
jari operator)
6. Kepala anak didorong dari arah vagina kea rah abdomen.
7. Anak dilahirkan mulai dari kepala, badan, kaki per abdominal.
Dilakukan suction kemudian dilakukan pemotongan tali pusat.
Disuntikkan oksitosin 10 iu pada uterus, lalu plasenta
dikeluarkan secara manual. Membersihkan sisa-sisa darah dan
jaringan plasenta pada cavum uteri.
8. Dilakukan pembersihan cavum uteri dengan kassa betadin dan

14
pastikan tidak ada plasenta yang tertinggal.
9. Menjahit luka irisan pada segmen bawah rahim dengan
monocryl no.1.0
10. Membersihkan kavum abdomen dengan cairan NaCl dan
kemudian dilakukan suction.
11. Menjahit lapisan dinding abdomen lapis demi lapis:
a. Peritoneum dan otot dengan plain catgut 2.0
b. Fasia dengan Vycril 1.0
c. Lemak dengan plain catgut 2.0
d. Subcutan dan cutis dengan Vycril 3.0
12. Permukaan abdomen dibersihkan dengan NaCl 0.9%
13. Luka ditutup dengan sufratul, kassa, dan plester.
14. Eksplorasi ke dalam vagina untuk mengeluarkan sisa darah
15. Operasi selesai

Laporan Kelahiran Bayi:


Bayi lahir jenis kelamin laki-laki dengan Apgar Score 9/10, berat
badan 3.100 gram dan panjang badan 50cm, anus ada tidak
didapatkan kelainan yang lain.

Penatalaksanaan Post Operasi:


Infus RL+2 ampul oksitosin 20 tpm sampai 12 jam
Inj. Cefotaxim 1gr/8 jam IV
Inj. Antrain 1 ampul/ 8 jam IV
Inj. Ranitidin 50mg/8 jam IV

11/06/2017 S : nyeri post operasi


13.00 wita O : kesadaran komposmentis
TD : 120/80 mmHg

15
RR: 19x/menit
N: 81x/menit
T: 37,5 o C
A : P2A0 post Seksio saesar a/i Ketuban pecah dini
P : Drip Oksitosin 10 IU dalam Ringer Laktat 500cc 28 tpm
inj. Cefotaxime 1gr/8jam IV
Inj. Antrain 1 ampul/ 8 jam IV
Inj. Ranitidin 50mg/8jam IV
Pasien pindah ruang mawar Nifas
12/06/2017 S : Nyeri bekas operasi
08.00 wita O : KU : sakit sedang, kesadaran komposmentis
TD : 120/80 mmHg
N : 80x/menit
RR : 18x/menit
T : 36,8 C
A : P2A0 post Seksio saesar a/i Ketuban pecah dini
P : inj. Cefotaxime 1gr/8jam IV
Inj. Antrain 50mg/8jam IV
Inj. Ranitidin 50mg/8jam IV
13/06/2017 S : Nyeri bekas operasi
08.00 wita O : KU : sakit sedang, kesadaran komposmentis
TD : 120/80 mmHg
N : 82x/menit
RR : 18x/menit
T : 36,9 C
A : P2A0 post Seksio saesar a/i Ketuban pecah dini
P:
Lepas kateter
Lepas infus

16
14/06/2017 S : Nyeri bekas operasi berkurang
08.00 wita O : KU : sakit sedang, kesadaran komposmentis
TD : 120/80 mmHg
N : 83x/menit
RR : 18x/menit
T : 36,8 C
Anemis (-/-)
A : P2A0 post Seksio saesar a/i Ketuban pecah dini
P: Boleh pulang, pasien kontrol dipoli Obgyn 1 minggu kemudian
Obat pulang:
-Cefadroxil tab 500mg/8 jam per oral
-Asam Mefenamat tab 500mg/8 jam per oral
-Biosanbe 1 tablet/24 jam per oral

17
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 KETUBAN PECAH DINI


3.1.1 Definisi
Ada bermacam-macam batasan, teori dan definisi mengenai Ketuban Pecah
Dini (KPD). Beberapa penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban pecah
spontan tanpa di ikuti adanya tanda-tanda persalinan. Ada juga teori yang menghitung
durasi waktu pecahnya selaput ketuban sebelum inpartu, misalnya 1 atau 6 jam
sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan dalam ukuran pembukaan serviks 3 cm
dan kurang dari 5 cm pada multigravida. Hecker (2001) mendefinisikan KPD sebagai
amnioreksis sebelum permulaan persalinan pada setiap tahap kehamilan. Sedangkan
Mocthar (1998) mengatakan bahwa KPD adalah pecahnya ketuban sebelum in partu,
yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5
cm.
Ketuban pecah dini didefinisikan sesuai dengan jumlah jam dari waktu pecah
ketuban sampai awitan persalinan yaitu interval periode laten yang dapat terjadi
kapan saja dari 1-12 jam atau lebih. Insiden KPD banyak terjadi pada wanita dengan
serviks inkopenten, polihidramnion, malpresentasi janin, kehamilan kembar, atau
infeksi vagina (FK Unhas, 2000). Dari beberapa definisi KPD di atas maka dapat
disimpulkan bahwa KPD adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda tanda
persalinan.

3.1.2 Etiologik
Penyebab KPD belum diketahui dengan pasti, namun dengan pendekatan
fisiologis dapat dilihat kemungkinan penyebabnya. Selaput yang menyelubungi janin
terdiri dari lapisan amnion dan korion. Amnion adalah lapisan yang lebih dalam,
walaupun lebih tipis. Lapisan ini lebih kuat dari pada korion. Korion menempel ke
permukaan luar pada desidua. Keseimbangan pada faktor intrinsik yang mengatur
sintesis jaringan penghubung dan degradasi dari amnion dan korion, dan suatu enzim

18
yang bernama metallo proteninase yang mengkatabolisme komponen ekstraseluler,
juga inhibitor dari enzim tersebut. Mendekati cukup bulan, metabolisme proteolisis
dari membran mendominasi, sehingga konsentrasi kolagen pada membrane menurun,
membuat membran menjadi lemah dan robek. Tetapi, membran yang pecah sebelum
kehamilan cukup bulan sepertinya lebih karena mekanisme fokal bukan karena
melemah ataupun menipisnya membran (Parsons & Williams, 1999).
Cairan amnion yang mengelilingi janin ini sangat penting karena berfungsi sebagai
bantalan untuk melindungi janin dari tekanan. Jika selaput ketuban pecah, maka
mekanisme bantalan tersebut akan terganggu, dan sebagai tambahan akan terjadi
hubungan langsung dari vagina ke kavum uteri sehingga membuka jalan untuk
irregular pada tingkat mikroskopik, degenerasi fokal kolagen ditambah dengan
infeksi bakteri dianggap dapat menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya korion
amnion dan menimbulkan KPD. (Williams NS, 1999).

3.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuban pecah dini


Meskipun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya secara langsung
masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan
menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun
faktor-faktor yang lebih berperan sulit diketahui (Sualman, 2009).
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis). Korioamnionitis adalah keadaan pada
perempuan hamil dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.
Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan
dapat berlanjut menjadi sepsis (Prawirohardjo, 2008).
b. Infeksi genitalia Meskipun Chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri
paling umum yang ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh
infeksi serviks oleh organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm
belum jelas. Pada wanita yang mengalami infeksi ini banyak mengalami keputihan
saat hamil juga mengalami ketuban pecah dini kurang dari satu jam sebelum
persalinan dan mengakibatkan berat badan lahir (Cunningham, 2006). Dari berbagai

19
macam keputihan yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling sering adalah
Kandidiosis vaginalis, Vaginosisbakterial dan Trikomoniasi. (Sualman, 2009).
Infeksi akut lain yang sering menyerang daerah genital pada ibu hamil ini termasuk
herpes simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) dan sering menjadi faktor penyebab
pada kelahiran preterm dan bayi berat badan rendah (Chapman, 2006).
c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada
adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan.
Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester
kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti
septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma
bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi
berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik (Prawirohardjo,
2008).
d. Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini. Trauma
yang di dapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi yang lebih
dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang sangat
dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan dalam,
maupun amnosintesis dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini karena
biasanya disertai infeksi. Kelainan letak janin misalnya letak lintang, sehingga tidak
ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat
menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah (Sualman, 2009).
e. Faktor paritas dan graviditas. Faktor paritas terbagi menjadi primipara dan
multipara. Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai
titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah dini
berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan fisiologis
seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan (Cunningham, 2006).
Selain itu, hal ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir
triwulan kedua dan awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan
didukung oleh faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal. Sedangkan
multipara adalah wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan

20
melahirkan anak hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami
ketuban pecah dini pada graviditas (kehamilan) sebelumnya serta jarak kelahiran
yang terlampau dekat, diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini
pada kehamilan berikutnya. Dengan kata lain, riwayat graviditas sebelumnya
mempengaruhi tingginya resiko ketuban pecah dini terulang kembali
(Cunningham,2006).
f. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban
pecah dini kembali. Menurut Maeyer RL, riwayat KPD pada kehamilan sebelumnya
akan meningkatkan risiko kejadian KPD berulang sebesar 21%15, sedangkan
menurut Ekachai & Sermsak (2000). Riwayat KPD sebelumnya akan meningkatkan
risiko KPD sebesar 28,6%. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat
ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga
memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada
pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau
menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami
ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari
pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi
membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun
pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2006).
g. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering
terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering
mengalami ketuban pecah dini (Cunningham, 2006). Perubahan pada volume cairan
amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus.
Baik karakteristik janin maupun ibu dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan
amnion.
h. Usia ibu yang 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan
uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban
pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua
untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami

21
ketuban pecah dini (Cornelia, 2008)
Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama,
pada kesehatan janin dan proses persalinan. World Health Organisation (WHO)
memberikan rekomendasi sebagaimana disampaikan Seno seorang ahli kebidanan
dan kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi
WHO untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan
adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun dapat
menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap (Manuaba, 2008).

i. Usia kehamilan dan warna air ketuban


Usia Kehamilan dibagi menjadi kehamilan preterm, aterm dan posterm.
Kehamilan preterm adalah kehamilan sampai dengan 22-37 minggu dan berat anak
<2500 g. Kehamilan aterm adalah kehamilan yang sampai pada 37-40 minggu dengan
berat anak >2500 g, sedangkan kehamilan posterm adalah kehamilan yang melebihi
40 minggu (Sualman, 2009).
Kehamilan preterm cenderung beresiko untuk terjadi ketuban pecah dini.
Sehingga harus dapat membedakan antara air ketuban dengan air urin. Umumnya air
ketuban tidak berwarna atau bening serta mempunyai bau yang khas, agak amis dan
manis dan bila di tes dengan kertas lakmus maka akan timbul warna biru (basa) yang
membedakan dengan air urin yang bila di tes dengan kertas lakmus akan timbul
warna merah (asam). Bila warna air ketuban menjadi keruh ataupun berwarna hijau
yang dapat menyebabkan gawat janin. Air ketuban keruh disebabkan oleh jumlah air
ketuban yang sedikit biasanya terjadi pada partus lama. Normalnya air ketuban
sekitar >500 cc sampai 1000 cc. Air ketuban berwarna kehijauan disebabkan air
ketuban tercampur oleh meconeum yang berasal dari produk sisa pencernaan bayi
yang berasal dari ususnya. Air ketuban berwarna hijau bisa terjadi pada kehamilan
preterm maupun posterm (Sualman, 2009).
Pada kehamilan preterm, adanya meconeum berhubungan dengan segala
bentuk gangguan pada tali pusat bayi, apabila tali pusat bayi terganggu,contohnya
terlilit, maka bayi akan kekurangan oksigen atau makanan. Bila bayi kekurangan

22
oksigen, maka sphincter ani akan terbuka sehingga meconeum akan keluar mengotori
air ketuban. Pada kehamilan posterm, bayi tersebut sudah memiliki fungsi pencernaan
yang matang sehingga mengeluarkan meconeum (Sualman, 2009).

3.1.4 Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini


Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus
dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi
perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena
selaput ketuban rapuh. Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
trimester tiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ada
hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin.
Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah
dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal,
misalnya infeksi yang menjalar dari vagina (Prawirohardjo, 2008).
Mekanisme ketuban pecah dini ini terjadi pembukaan prematur serviks dan
membran terkait dengan pembukaan terjadi depolarisasi dan nekrosis serta dapat
diikuti pecah spontan. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin
berkurang. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang
mengeluarkan enzim proteolitik, enzim kolagenase. Masa interval sejak ketuban
pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten, makin panjang fase laten, semakin
tinggi kemungkinan infeksi. Semakin muda kehamilan, maka akan semakin sulit pula
pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin. Oleh karena itu komplikasi
ketuban pecah dini semakin meningkat (Manuaba, 2009).
Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan
jumlah jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan
aktivitas kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks
metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah
komponen-komponen matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput
ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple helix dari kolagen
fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga

23
memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat
metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase(TIMP). TIMP-1 menghambat
aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-2.
TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1 (Manuaba,
2009).
Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh
karena aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi.
Saat mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan
kadar MMP yang meningkat dan penurunan yang tajam dari TIMP yang akan
menyebabkan terjadinya degradasi matriks ektraseluler selaput ketuban.
Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi patologis
pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui meningkat pada kehamilan
aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada preterm didapatkan kadar protease
yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar TIMP-1 yang rendah (Manuaba, 2009).
Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya gangguan
pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini. Mikronutrien
lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini adalah asam
askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari kolagen. Zat
tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban pecah dini.
Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah (Manuaba, 2009).
Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme.
Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus dan
Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya
degradasi membran dan akhirnya melemahkan selaput ketuban. Respon terhadap
infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP, dan
prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan tumor nekrosis
faktor yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas MMP-1 dan
MMP-3 pada sel korion. Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang
produksi prostalglandin oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan

24
ketuban pecah dini preterm karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi
kolagen membran. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menghasilkan fosfolipase A2
yang melepaskan prekursor prostalglandin dari membran fosfolipid (Manuaba, 2009).
Respon imunologis terhadap infeksi juga menyebabkan produksi
prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan sitokin yang diproduksi oleh
monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim siklooksigenase II yang berfungsi
mengubah asam arakidonat menjadi prostalglandin. Sampai saat ini hubungan
langsung antara produksi prostalglandin dan ketuban pecah dini belum diketahui,
namun prostaglandin terutama E2 dan F2 telah dikenal sebagai mediator dalam
persalinan mamalia dan prostaglandin E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen
pada selaput ketuban dan meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-33. Indikasi
terjadi infeksi pada ibu dapat ditelusuri metode skrining klasik, yaitu temperatur
rektal ibu dimana dikatakan positif jika temperatur rektal lebih 38C, peningkatan
denyut jantung ibu lebih dari 100x/menit, peningkatan leukosit dan cairan vaginal
berbau (Manuaba, 2009).
Hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler
pada jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan menurunkan konsentrasi
MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks
dari kelinci percobaan. Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan
penurunan produksi kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat
menstimulasi produksi kolagen. Ada juga protein hormon relaxin yang berfungsi
mengatur pembentukan jaringan ikat diproduksi secara lokal oleh sel desidua dan
plasenta. Hormon ini mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh
progesteron dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam
membran janin. Aktivitas hormon ini meningkat sebelum persalinan pada selaput
ketuban manusia saat aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam patogenesis
pecahnya selaput ketuban belum dapat sepenuhnya dijelaskan (Cunningham, 2012).
Kematian Sel Terprogram
Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian

25
sel terpogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput
ketuban. Pada korioamnionitis terlihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan
granulosit, yang menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian
sel. Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks
ekstraseluler dimulai, menunjukkan bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan
penyebab degradasi tersebut. Namun mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum
diketahui dengan jelas (Cunningham, 2012).
Peregangan Selaput Ketuban
Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di selaput
ketuban seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga
merangsang aktivitas MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel
amnion dan korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas
kolegenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses
sintesis dan degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya
selaput ketuban (Manuaba, 2009)

3.1.5 Diagnosis
Diagnosis KPD sebagian besar dapat ditegakkan cukup melalui anamnesis saja,
yaitu adanya riwayat keluar cairan dari vagina, tetapi perlu juga dilakukan
pemeriksaan dengan spekulum untuk melihat cairan yang keluar dari kanalis
servikalis dan untuk mengevaluasi apakah telah terjadi dilatasi serviks dan
effacement. Apabila dicurigai terjadi KPD, sangat penting untuk menghindari
pemeriksaan dalam, karena pemeriksaan ini meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas (Manuaba, 2009).
1. Anamnesis
Dari anamnesis, bisa ditegakkan 90 % dari diagnosis. Kadangkala, cairan
seperti urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita
merasa basah pada vagina atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-
tiba dari jalan lahir (Manuaba, 2009).

26
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina,
bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan
ini akan lebih jelas.
b. Pemeriksaan Inspekulo
Pemeriksaan ini merupakan langkah pertama dalam mendiagnosis KPD
karena pemeriksaan dalam seperti vaginal toucher dapat meningkatkan
risiko infeksi. Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa: warna,
konsentrasi, bau, dan pH-nya. Yang dinilai lainnya adalah:
Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan pendataran dari
serviks. Dilihat juga prolapse dari tali pusat atau ekstremitas bayi. Bau
dari amnion yang khas juga diperhatikan.
Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung
diagnosis KPD. Melakukan perasat valsava dengan menyuruh pasien
batuk dapat memudahkan melihat pooling,
Cairan amnion dikonfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test.
Dilakukan pemeriksaan mikroskopis (tes pakis). Jika dengan pooling
dan tes nitrazin masih samar, maka dapat dilakukan pemeriksaan
mikroskopis dari cairan yang diambil dari forniks posterior. Cairan di
swab kemudian dikeringkan di atas gelas objek, kemudian dilihat di
bawah mikroskop. Gambaran ferning menandakan cairan amnion.
Dapat dilakukan pula kultur dari swab untuk mengetahui apakah ada
bakteri chlamydia, Gonnorhea dan Streptococcus grup B.
Pemeriksaan di atas ditambah dengan tidak adanya kontraksi uterus dan
dilatasi serviks < 3 cm dapat menjadi dasar untuk menegakkan diagnosis
KPD. Terdapat penelitian yang memaparkan bahwa 90% diagnosis KPD
dapat ditegakkan hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan spekulum
saja. Bukti adanya cairan keluar dari liang vagina, atau rembesan dari
serviks waktu pasien batuk atau diberikan tekanan pada fundus, akan

27
membantu menegakkan diagnosis KPD (Cunningham, 2012). Keluarnya
cairan dari vagina dapat di diagnosis diferensial dengan beberapa keadaan
seperti inkotinensia urin dan keputihan, karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengkonfirmasi bahwa cairan tersebut adalah cairan
ketuban. Uji Nitrazine dan uji Fern adalah metode diagnostik dengan
menggunakan kertas nitrazine dan uji ferning memiliki sensitivitas sampai
90%. pH normal vagina berkisar antara 4,5 6,0, dimana cairan amnion
bersifat lebih alkali dengan pH berkisar antara 7,1 7,3. Kertas nitrazine
akan berubah menjadi biru bila PH diatas 6,0; tetapi adanya substansi yang
mengkontaminasi (misalnya darah, semen, atau sabun antiseptik yang
bersifat alkali) dapat juga menyebabkan kertas nitrazine berubah warna
menjadi biru, memberikan hasil positif palsu. Bakterial vaginosis dapat
juga menyebabkan hasil serupa. Usap yang terpisah seharusnya digunakan
untuk mendapat cairan dari forniks posterior dan dinding samping vagina.
Jika cairan telah mengering pada satu sisi, dapat diperiksa ferning
(arborization) dengan mikroskop berkekuatan rendah. Adanya ferning
mengindikasikan adanya ferns, dan bahwa mukus serviks dapat
menyebabkan hasil positif palsu (Cunningham, 2012).
3. Pemeriksaan USG
Pada beberapa kasus yang tidak biasa, misalnya dari anamnesis dicurigai
adanya KPD tetapi pemeriksaan fisik gagal untuk mengkonfirmasi diagnosis, maka
pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat membantu pasien dengan hasil tes yang
berlawanan (Cunningham, 2012).
4. Pemeriksaan lainnya
Termasuk: Uji Diamine oksidase, permeriksaan feto protein, amnioskopi dan
injeksi fluorescent intra amnion. Bila tidak tersedia pemeriksaan USG atau situasi
klinis menuntut diagnosis yang tepat (misalnya pada keadaan dimana perlu
ditentukan haruskah pasien dikonsul ke pusat perawatan dengan tingkatan lebih
tinggi), amniosintesis dapat membantu menentukan apakah selaput ketuban telah
pecah (Cunningham, 2012).

28
3.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan KPD pertama kali adalah dengan memantau secara periodik
beberapa parameter, yaitu tanda vital, kelembekan uterus, hitung leukosit, usap
vagina untuk melihat pola bakteri dan uji kepekaan terhadap antibiotika, USG untuk
melihat volume cairan ketuban, dan kardiotokografi untuk memantau keadaan janin
(Cuningham, Gant, Leveno, Gilstrap, Hautch, & Wenstrom, 2001).
Pasien KPD dengan usia kehamilan > 36 minggu sebaiknya diinduksi. Induksi
dapat dimulai segera bila sudah terjadi pematangan serviks. Persalinan spontan dapat
ditunggu maksimal 24 jam, karena menurut Davies dkk KPD > 24 jam dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (Davies, Martindale, &
Heddad, 1991).
Penatalaksanaan KPD menurut Buku Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Primer di
Indonesia:
1. Pembatasan aktivitas pasien.
2. Apabila belum inpartu berikan Eritromisin 4x250 mg selama 10 hari.
3. Segera rujuk pasien ke fasilitas pelayanan sekunder.
4. Di RS rujukan:
1. Usia kehamilan > 34 minggu : lakukan induksi persalinan apabila tidak
ada kontraindikasi.
2. Usia kehamilan 24-33 minggu :
bila terdapat amnionitis, abruptio plasenta, dan kematian janin,
lakukan persalinan segera.
Berikan deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam atau
betametason 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam.
Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai kondisi ibu dan janin.
Bayi dilahirkan diusia 34 minggu, bila dapat dilakukan pemeriksaan
kematangan paru dan hasil menunjukkan bahwa paru sudah matang.
3. Usia kehamilan < 24 minggu:
pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan janin.

29
Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan
mungkin menjadi pilihan.
Jika terjadi infeksi (korioamnionitis), lakukan tatalaksana
korioamnionitis.
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi kepada ibu adanya air ketuban yang keluar
sebelum tanda inpartu
2. Menenangkan ibu dan memberitahu kepada suami dan keluarga agar
ibu dapat diberi kesempatan untuk tirah baring.
3. Memberi penjelasan mengenai persalinan yang lebih cepat dan rujukan
yang akan dilakukan ke pusat pelayanan sekunder.

3.1.7 Komplikasi
Komplikasi KPD dapat dibedakan menjadi komplikasi pada ibu dan
komplikasi pada janin. Infeksi pada ibu yang tersering adalah korioamnionitis.
Insidens korioamnionitis berkisar antara 4,2% - 10,5% (Alexander, et al., 2000). Nili
& Ansari (2003) mengatakan pada KPD risiko korioamnionitis meningkat sekitar
20% dan peningkatannya berbanding terbalik dengan usia kehamilan. Pada janin,
KPD sering menyebabkan infeksi neonatus seperti sepsis, asfiksia neonatorum,
respiratory distress syndrome, prematuritas, konjungtivitis, infeksi kulit dan keadaan
gawat janin.
Ada tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini adalah
peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena prematuritas, komplikasi
selama persalinan dan kelahiran yaitu resiko resusitasi, dan yang ketiga adanya risiko
infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena ketuban yang utuh
merupakan barrier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi
(Prawirohardjo, 2008).
Sekitar tiga puluh persen kejadian mortalitas pada bayi preterm dengan ibu
yang mengalami ketuban pecah dini adalah akibat infeksi, biasanya infeksi saluran
pernafasan (asfiksia). Selain itu, akan terjadi prematuritas. Sedangkan, prolaps tali

30
pusat dan malpresentrasi akan lebih memperburuk kondisi bayi preterm dan
prematuritas (Sualman, 2009).
Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada ketuban pecah dini, flora
vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa membahayakan baik pada
ibu maupun pada janinnya. Morbiditas dan mortalitas neonatal meningkat dengan
makin rendahnya umur kehamilan (Sualman, 2009).
Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan
korioamnionitis akibat jalan lahir telah terbuka, apalagi bila terlalu sering dilakukan
pemeriksaan dalam. Dari studi pemeriksaan histologis cairan ketuban 50% wanita
yang melahirkan prematur, didapatkan korioamnionitis (infeksi saluran ketuban),
akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan klinis. Infeksi janin dapat terjadi
septikemia, pneumonia, infeksi traktus urinarius dan infeksi lokal misalnya
konjungtivitis (Sualman, 2009).
Selain itu juga dapat dijumpai perdarahan postpartum, infeksi puerpuralis
(nifas), peritonitis, atonia uteri dan septikemia, serta dry-labor. Ibu akan merasa lelah
karena berbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan naik,
nadi cepat dan tampaklah gejala-gejala infeksi (Manuaba, 2008).

3.2 JENIS JENIS OPERASI SEKSIO SESAREA


3.2.1 Seksio Sesarea Transperitonealis
1. Seksio sesarea klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri).
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10
cm.
Kelebihan:
Mengeluarkan janin dengan cepat.
Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik. Sayatan bisa
diperpanjang proksimal atau distal.
Kekurangan:
Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperitonealis yang baik. Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi

31
ruptur uteri spontan (Wiknojosastro, 2007)
2. Seksio sesarea ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen
bawah rahim).
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang pada segmen bawah rahim (low
servical transversal) kira-kira 10 cm.
Kelebihan:
Penjahitan luka lebih mudah.
Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik.
Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum.
Perdarahan tidak begitu banyak.
Kemungkinan ruptur uteri spontan berkurang atau lebih kecil.

Kekurangan:
Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat
menyebabkan uteri uterin pecah sehingga mengakibatkan perdarahan
banyak.
Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi. (Wiknojosastro, 2007;
Dewi 2007)

3.2.2 Seksio Sesarea Ekstra Peritonealis


yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka
kavum abdominal.
Vagina (seksio sesarea vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, seksio sesarea dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Sayatan memanjang (longitudinal).
2. Sayatan melintang (transversal).
3. Sayatan huruf T (T insicion) (Dewi, 2007).

32
3.2.3 INDIKASI
Operasi seksio sesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan
menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal yang
perlu tindakan seksio sesarea proses persalinan normal lama/kegagalan proses
persalinan normal (distosia).
Indikasi seksio sesarea:
1.Indikasi dari ibu
Penyakit jantung dan paru-paru
Eklamsia dan Preeklamsia
Demam yang lebih dari 38C / infeksi pada ibu
Lingkaran retraksi patologis
Edema jalan lahir
Perdarahan yang hebat
Maternal exhaustion
2.Indikasi dari janin
Bunyi jantung anak yang buruk
Tali pusat menumbung
Keluarnya mekonium pada letak kepala atau sungsang dengan
bokong masih tinggi
3.Indikasi pencegahan (profilaktik)
Panggul sempit
Partus lama
Primi tua
4.Indikasi sosial
Anak mahal (Liu, 2008)

33
Riwayat seksio sesarea dan distosia merupakan indikasi utama seksio sesarea di
Amerika Serikat dan negara industri di barat lainnya. Walaupun kita tidak mungkin
membuat daftar menyeluruh semua indikasi yang layak untuk seksio sesarea lebih
dari 85 % seksio sesarea dilakukan atas indikasi:
1. Riwayat seksio sesarea
2. Distosia persalinan
3. Gawat janin
4. Letak sungsang (Jones&Rock, 2008).

34
BAB 4
PEMBAHASAN

Ny. SF, 23 tahun, masuk ke rumah sakit dengan keluhan keluar air-air dari
jalan lahir yang dirasakan keluar merembes sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan diikuti dengan perut terasa kencang-kencang sejak 3 sebelum masuk rumah
sakit Pasien sudah pernah menjalani operasi seksio saesar saat melahirkan anak
pertama 3 tahun yang lalu. Pasien direncanakan section caessarea dengan indikasi
ketuban pecah dini dan riwayat seksio saesar pada kehamilan sebelumnya.

ANAMNESIS

Kasus Teori

Pasien wanita usia 23 tahun Ketuban pecah dini adalah keadaan


G2P1A0 gravid 39-40 minggu ketuban pecah spontan tanpa
datang dengan keluhan keluar air- diikuti adanya tanda-tanda
air dari jalan lahir sejak 6 jam persalinan selama 1 atau 6 jam
SMRS, air-air dirasakan sebelum inpartu.
merembes. Keluhan awalnya Keadaan dimana pecahnya ketuban
tidak disertai dengan rasa perut sebelum inpartu yaitu bila
kencang-kencang dan juga tidak pembukaan pada primi kurang dari
disertai dengan keluarnya lendir 3cm dan pada multipara kurang
darah. dari 5cm.
Pasien memiliki riwayat operasi Beberapa faktor penyebab ketuban
seksio saesar sebelumnya 3 tahun pecah dini adalah faktor paritas dan
yang lalu atas indikasi ketuban graviditas, wanita yang telah
pecah dini dan oligohidoamnion melahirkan beberapa kali dan
mengalami ketuban pecah dini
pada graviditas sebelumnya serta
jarak kelahiran yang terlampau

35
dekat diyakini lebih beresiko akan
mengalami ketuban pecah dini
pada kehamilan berikutnya.
Riwayat ketuban pecah dini
sebelumnya beresiko 2-4 kali
mengalami ketuban pecah dini
kembali.
Indikasi seksio saesar:
Indikasi dari ibu:
- Penyakit jantung dan paru
- Eklamsia dan preeklamsia
- Demam yang lebih dari
38oC / infeksi pada ibu
- Edema jalan lahir
- Perdarahan yang hebat
- Maternal exhaustion
Riwayat seksio saesar
sebelumnya dan distosia bahu
merupakan indikasi utama seksio
saesar.

PEMERIKSAAN FISIK

KASUS TEORI
Keadaan Umum : Tampak sakit
ringan Pemeriksaan fisik pada pasien
Kesadaran : Komposmentis, GCS : dengan ketuban pecah dini:
E4V5M6 a. Inspeksi: pengamatan dengan
Tanda vital: mata biasa akan tampak
Tekanan darah : 110/70 mmHg keluarnya cairan dari vagina,

36
Frekuensi nadi : 90 x/menit, kuat bila ketuban baru pecah dan
angkat, reguler jumlah air ketuban masih
Frekuensi napas: 20 x/menit, reguler banyak, pemeriksaan ini akan
Suhu : 38,3C lebih jelas.
b. Pemeriksaan inspekulo:
Pemeriksaan Obstetri : pemeriksaan ini merupakan
Inspeksi: Pembesaran abdomen langkah pertama dalam
sesuai kehamilan, bekas operasi mendiagnosis ketuban pecah
(+), linea nigra (+), striae (+) dini karena pemeriksaan dalam
Palpasi : seperti vaginal toucher dapat
Leopold I- Bokong meningkatkan risiko infeksi.
Leopold II- Punggung kanan c. Keadaan umum dari serviks,
Leopold III-Letak kepala juga dinilai dilatasi dan
Leopold IV-sudah masuk PAP pendataran serviks. Dilihat
DJJ : 148 kali/menit juga prolapse dari tali pusat
TFU : 30 cm atau ekstremitas bayi. Bau dari
amnion yang khas juga
Status Ginekologi: diperhatikan.
Pemeriksaan Dalam: portio teraba d. Pooling pada cairan amnion
kenyal, lunak, 1cm, ketuban (+), dari forniks posterior
bloodslyme (+) mendukung diagnosis ketuban
Pemeriksaan inspekulo: tidak pecah dini. Melakukan parasat
dilakukan valsava dengan menyuruh
pasien batuk dapat
Pemeriksaan fisik dalam batas normal memudahkan melihat pooling
Pemeriksaan diatas ditambah
dengan tidak adanya kontraksi
uterus dan dilatasi serviks <3cm
dapat menjadi dasar untuk

37
menegakkan diagnosis ketuban
pecah dini.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

KASUS TEORI

Pemeriksaan darah lengkap Cairan yang keluar dari vagina


Hemoglobin 10,4 gr/dl perlu diperiksa: warna,
Hematokrit 33% konsentrasi, bau dan pHnya.
Leukosit 13.900/mm3 Cairan amnion dikonfirmasikan
Trombosit 194.000/mm3 dengan menggunakan nitrazine
BT 3` test.
CT 10` Dilakukan pemeriksaan
HbsAg NR mikroskopis (tes pakis). Cairan
AbHIV NR diambil dari forniks posterior.
Pemeriksaan kimia darah Cairan di swab kemudian
GDS 92 mg/dl dikeringkan diatas gelas objek,
Ureum 20,0 mg/dl kemudian dilihat dibawah
Kreatinin 0,5 mg/dl mikroskop. Gambaran ferning
Pemeriksaan urin lengkap menandakan cairan amnion.
Berat jenis 1.003 Dapat dilakukan pula kultur dari
Keton (negatif) swab untuk mengetahui apakah
Leukosit (+++) ada bakteri Chlamydia,
Hemoglobin (negatif) Gonnorhea dan Streptococcus B.
pH normal vagina berkisar antara
pH 8.0
4,5-6,0 dimana cairan amnion
bersifat alkali dengan pH berkisar
7,1-7,3.
Pemeriksaan USG. Pada beberapa
kasus yang tidak biasa, misalnya

38
dari anamnesis dicurigai adanya
KPD tetapi pemeriksaan fisik
gagal untuk mengkonfirmasi
diagnosis, maka pemeriksaan
USG dapat membantu pasien
dengan hasil tes yang berlawanan.

PENATALAKSANAAN

KASUS TEORI

Penatalaksanaan KPD pertama


kali adalah dengan memantau
secara periodik beberapa
parameter, yaitu tanda vital,

Pro seksio saesar


hitung leukosit, usap vagina

IVFD Ringer Laktat 20 tpm untuk melihat pola bakteri dan

Injeksi Cefotaxime 1gr/8jam IV


ujia kepekaan terhadap
antibiotika, USG untuk melihat
volume cairan ketuban dan
Terapi post operasi kardiotokografi untuk memantau
IVFD Ringer Laktat + 2 ampul keadaan janin.
oksitosin 20 tpm sampai 12 jam Pasien dengan usia kehamilan
Injeksi Cefotaxime 1gr/8jam IV >36minggu sebaiknya diinduksi.
Injeksi Antrain 1ampul/8jam IV Persalinan spontan dapat
Injeksi Ranitidin 50mg/8jam IV ditunggu maksimal 24jam. KPD
> 24jam dapat meningkatkan
mortalitas dan morbiditas ibu
dan anak.
Penatalaksanaan menurut Buku
Pelayanan di Faskes Primer di

39
Indonesia.
Apabila belum inpartu berikan
Eritromisin 4X250mg selama 10
hari
Segera rujuk pasien ke fasilitas
pelayanan sekunder
Di RS rujukan:
Usia kehamilan > 34
minggu: lakukan induksi
persalinan apabila tidak
ada kontraindikasi
Usia kehamilan 24-33
minggu: bila terdapat
amnionitis, abruptio
plasenta dan kematian
janin, lakukan persalinan
segera. Berikan
deksametason 6 mg IM
tiap 12 jam selama 48
jam atau betametason 12
mg IM tiap 24 jam
selama 48jam. Lakukan
pemeriksaan serial untuk
menilai kondisi ibu dan
janin. Bayi dilahirkan
diusia 34 minggu, bila
dapat dilakukan
pemeriksaan kematangan
paru dan hasil

40
menunjukkan bahwa
paru suda matang.
Usia kehamilan < 24 mingggu:
pertimbangan dilakukan dengan
melihat risiko ibu dan janin.
Lakukan konseling pada pasien,
terminasi kehamilan mungkin
menjadi pilihan. Jika terjadi
infeksi (korioamnitis), lakukan
tatalaksana korioamnitis.
Konseling dan edukasi.

KESIMPULAN
KPD (Ketuban Pecah Dini) adalah apabila ketuban pecah spontan tanpa diikuti
adanya tanda-tanda persalinan. Ketuban pecah dini didefinisikan sesuai dengan
jumlah jam dari waktu pecah ketuban sampai awitan persalinan yaitu interval
periode laten yang dapat terjadi kapan saja dari 1-12 jam atau lebih.
Insiden KPD banyak terjadi pada wanita dengan serviks inkompeten,
polihidroamnion, malpresentasi janin, kehamilan kembar atau infeksi vagina.
Penyebab KPD belum diketahui dengan pasti. Faktor-faktor yang mempengaruhi:
infeksi amnionitis atau korioamnionitis, infeksi genitalia, serviks inkompeten,
trauma saat berhubungan seksual, faktor paritas dan graviditas, riwayat KPD
sebelumnya, overdistensi uterus, usia ibu < 20 tahun, usia kehamilan dan warna
air ketuban.

41
Ibu dengan KPD dengan usia kehamilan > 34 minggu sebaiknya dilakukan
induksi persalinan apabila tidak ada kontraindikasi.
Komplikasi KPD pada ibu: infeksi tersering adalah korioamnitis. Komplikasi
KPD pada janin yang tersering menyebabkan infeksi neonatus seperti sepsis,
asfiksia neonatorum, respiratory distress syndrome, prematuritas, konjungtivitis,
infeksi kulit dan keadaan gawat janin.
Indikasi seksio saesaria dibagi menjadi indikasi dari ibu, dari janin dan indikasi
sosial.

42
BAB 5
PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien NY. SF yang berusia 23 tahun yang
masuk ke rumah sakit A.W Sjahranie Samarinda dengan keluhan keluar air-air dari
jalan lahir sejak 6 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien direncanakan section
caessarea dengan indikasi demam yang lebih dari 38OC/infeksi pada ibu dan bekas
seksio 1 kali 3 tahun yang lalu. Secara umum penegakan diagnosis maupun
penatalaksanaan pada pasien tersebut telah tepat dan sesuai dengan teori yang ada.

43
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Chapman, Vicky. (2006). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC
Cunningham FG., Gant NF., Leveno KJ.,Gilstrap LC.,John CH., Wenstrom KD.
(2006). Operative Obstetric, In: Williams Gynecology. United States: Mc
Graw Hill.
Dewi, Yusmiati. (2007). Operasi Caesar: Pengantar dari A Sampai Z. Jakarta :
Edsa Mahkota.

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa
: I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
Hacker dan Moore. (2001). Essensial Obstetri dan Ginekologi. Edisi Dua. Jakarta
Liu, David.T.Y. (2008). Manual Persalinan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Llewellyn, Derek. (2002). Dasar Dasar Obstetri dan Ginekologi, Edisi 6
Jakarta : Hipokrates.

Manuaba, C. 2008. Gawat-Darurat Obstetri-Ginekologi & ObstetriGinekologi Sosial


untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1. EGC: Jakarta
Prawirohardjo,S., 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.Profi Kesehatan 2008
Rock, J.A., Jones, H. (2008). Te Lindes. Operative Gynecology, 10th ed.
Lippincott Williams & Wilkins.
Sarmana. (2004). Determinan Non Media dalam Permintaan persalinan Sectio
Caesarea Di RS St. Elisabeth Medan Tahun 2004. (Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, Medan)

44
Sualman, K. (2009). Penatalaksanaan Ketuban pecah dini. Diambil tanggal 23 maret
2010 dari http://www. medicastore.com/Penatalaksanaan Ketuban pecah dini
oleh dr. Kamisah Sualman, Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Wiknojosastro. (2007). Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

45

Anda mungkin juga menyukai