Anda di halaman 1dari 48

PRESENTASI KASUS

Gravida 1 Para 0 Abortus 0 Usia 27 Tahun Hamil 36 Minggu 5 Hari dengan Pre
Eklampsia, Letak Lintang, dan Plasenta Previa Totalis

Pembimbing:

dr. Edy Priyanto, Sp.OG(K)FER, M.Kes

Disusun oleh:

Rizqiana Arum Sari G4A018083


Nurul Afifah Munaya G4A018033
Timotius Pratama G4A018058

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul

Gravida 1 Para 0 Abortus 0 Usia 27 Tahun Hamil 36 Minggu 5 Hari dengan Pre
Eklampsia, Letak Lintang, dan Plasenta Previa Totalis

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian di Bagian Obstetri dan
Ginekologi Program Profesi Dokter di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto

Disusun oleh:
Rizqiana Arum Sari G4A018083
Nurul Afifah Munaya G4A018033
Timotius Pratama G4A018058

Purwokerto, November 2019


Dokter Pembimbing,

dr. Edy Priyanto, Sp.OG(K)FER, M.Kes


NIP. 19800401 201404 1 001
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .......................................................................................... 2

LAPORAN KASUS ....................................................................................... 3


A. Identitas Pasien .................................................................................... 3
B. Anamnesis ............................................................................................ 3
C. Pemeriksaan fisik ................................................................................. 5
D. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 7
E. Diagnosis .............................................................................................. 8
F. Tindakan dan Terapi ............................................................................ 9
G. Follow Up ............................................................................................ 10
H. Diagnosis Akhir ................................................................................... 11
I. Prognosis .............................................................................................. 11

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 12


A. Preeklampsia ...................................................................................... 12
1. Definisi ........................................................................................... 12
2. Etiologi .......................................................................................... 12
3. Faktor Resiko ................................................................................. 14
4. Tanda dan Gejala ........................................................................... 16
5. Diagnosis ........................................................................................ 17
6. Tatalaksana .................................................................................... 18
B. Letak Lintang ..................................................................................... 27
1. Definisi .......................................................................................... 27
2. Etiologi ........................................................................................... 27
3. Diagnosis ........................................................................................ 27
4. Komplikasi ..................................................................................... 28
5. Penatalaksanaan ............................................................................. 29
C. Plasenta Previa ................................................................................... 32
1. Definisi ........................................................................................... 32
2. Tanda dan Gejala ........................................................................... 32
3. Diagnosis ........................................................................................ 33
4. Tatalaksana .................................................................................... 34
D. Sectio Caesarea ................................................................................... 37
1. Definisi ........................................................................................... 37
2. Indikasi Sectio Caesarea ................................................................ 37
3. Kontraindikasi ................................................................................ 38
4. Jenis- jenis Sectio Caesaria ............................................................ 40
5. Komplikasi .................................................................................... 40

PEMBAHASAN ............................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 43

1
I. PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai


dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Kira-kira 85% preeklamsi terjadi
pada kehamilan pertama. Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari
kejadian preeklamsi dan risiko meningkat lagi pada grande multigravida. Ibu yang
hamil pada usia < 20 tahun dan mempunyai resiko terjadinya preeklamsia berat 3,58
kali dibandingkan ibu hamil yang berusia 20-35 tahun. Sedangkan pada ibu hamil
dengan usia > 35 tahun juga memiliki resiko 3,97 kali dibandingkan ibu hamil pada
usia 20-35 tahun (ACOG, 2013).
Kehamilan letak lintang adalah suatu keadaan dimana sumbu panjang janin
tegak lurus atau hampir tegak lurus pada sumbu panjang ibu. Beberapa Rumah Sakit
di Indonesia melaporkan angka kejadian letak lintang: antara lain RSU dr. Pirngadi
Medan 0,6%, RS Hasan Sadikin Bandung 1,9%, RSUP dr. Cipto Mangunkusumo
0,1% (Sastrawinata, 2015).
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen
bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang
ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya
rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan. Jika
tidak tertangani komplikasi dapat terjadi pada ibu dan bayi yaitu selama kehamilan
pada ibu dapat menimbulkan perdarahan antepartum yang dapat menimbulkan syok
(Yeni, 2017).
Beberapa kasus di atas seringkali dilakukan section caesarea untuk
persalinannya. Seksio secarea merupakan prosedur operatif, yaang di lakukan di
bawah anestesia sehingga janin, plasenta daan ketuban di lahirkan melalui insisi
dinding abdomen dan uterus. prevalensi persalinan sectio caesarea mengalami
peningkatan yang sangat pesat hal ini di sebabkan oleh keputusan dalam menegakkan
indikasi semakin longgar dan indikasi persalian sectio caesarea semakin
berkembang, selain indikasi medis ada pula indikasi non medis (Mitayani, 2016;
Rasjidi, 2015).

2
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : Ny. NF
2. Usia : 27 tahun
3. Jenia Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Suku : Jawa
6. Pendidikan : SMA
7. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
8. Alamat : Tinggarjaya 2/5, Jatilawang
9. Tanggal masuk : 29 Oktober 2019 dari Poliklinik Kandungan RSMS

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Keluar darah dari jalan lahir
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kandungan RSMS dengan keluhan keluar
darah dari jalan lahir sejak 5 hari yang lalu. Darah berwarna merah segar,
dan tidak berbau amis. Darah keluar terus menerus namun tidak banyak,
hanya seperti bercak darah. Ganti pembalut 2 kali sehari. Darah keluar
semakin banyak ketika aktivitas berat. Tidak ada kegiatan yang
mengurangi keluhan pasien. Pasien mengaku tidak ada nyeri perut yang
dirasakan baik sebelum atau setelah darah keluar dirasakan. Riwayat
nyeri saat berhubungan dan riwayat keputihan disangkal. Pasien memiliki
riwayat sakit kuning ketika kecil.
Kenceng- kenceng disangkal, keluar air dari jalan lahir disangkal,
gerakan bayi aktif. Pasien saat ini hamil 33 minggu 5 hari. Sebelumnya
pasien memeriksakan kandungannya ke dokter spesialis kandungan dan
dinyatakan bahwa letak plasenta menutupi jalan lahir, pas kapan ??, rutin
periksa ke dokter spog atau bidan?. Pernah tidak mengalami perdarahan

3
seperti ini? Mondok atau tidak? Saat mondok pernah diberikan
pematangan paru janin tidak?
3. Riwayat Menstruasi
a. Menarche : usia 15 tahun
b. Siklus menstruasi : teratur setiap bulan, siklus 28 hari
c. Lama menstruasi : ± 8 hari
d. Nyeri selama menstruasi : disangkal
e. Volume darah : ganti pembalut 2-3 kali perhari
4. Riwayat Menikah
Pasien menikah 1 kali selama 5 tahun.
5. Riwayat Obstetri : G1P0A0
a. HPHT : 14 Februari 2019
b. HPL : 21 November 2019
c. UK : 36 minggu + 5 hari
d. Anak pertama : Hamil ini
6. Riwayat ANC
Pasien rutin melakukan kunjungan antenatal ke dokter pada bulan ke 2,
4, 6, 8, dan 9. Pasien juga pernah ke bidan dan disarankan untuk periksa
darah di puskesmas. Pada kehamilan bulan ke 6 dideteksi adanya HbsAg
(+). Rutin ke dokter spog berapa kali? Ketahuan plasenta previa totalis
pada uk ke berapa?
7. Riwayat KB
Pasien belum pernah menggunakan alat kontrasepsi sebelumnya.
8. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit jantung : disangkal
b. Riwayat hepatitis : positif
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
9. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat hepatitis : disangkal
b. Riwayat kencing manis : disangkal

4
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat penyakit kandungan : ibu (mioma uteri)

5
10. Riwayat Nutrisi
Pasien mengonsumi makan besar dengan nasi dan lauk pauk seperti
daging dan sayur sebanyak 2-3 kali perhari, kadang pasien memasak
makanannya sendiri dan kadang membelinya di warung dekat rumah.
Pasien juga mengaku suka makan jajanan seperti cilok, cilor, cimol.
11. Riwayat Imunisasi (tidak usah dicantumkan)
a. Vaksin hepatitis B : tidak diketahui
b. Vaksin Polio : tidak diketahui
c. Vaksin BCG : tidak diketahui
d. Vaksin DPT : tidak diketahui
e. Vaksin Campak : tidak diketahui
12. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas sehari-hari
lebih banyak di rumah. Suami pasien merupakan seorang karyawan yang
bekerja di luar kota memiiliki penghasilan cukup. Pasien menggunakan
jaminan kesehatan BPJS Non-PBI kelas 1. Kesan social ekonomi cukup.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Kedaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Status Antropometri
a. Berat badan saat hamil : 72 kg
b. Berat badan sebelum hamil : 59 kg
c. Tinggi badan : 156 cm
d. IMT sebelum hamil : 24,24 kg/m2 (Overweight)
e. IMT setelah hamil : 29,9 kg/m2 (Overweight)
f. Kenaikkan berat badan : 13 kg (Normal)
4. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 153/84 mmHg
b. Nadi : 78 kali/menit
c. Laju pernapasan : 20 kali/menit
d. Suhu : 36,3 oC

6
5. Status Generalis
a. Mata : Kongjungtiva anemis (-/-)
b. Hidung : Napas cuping hidung (-/-), discharge (-/-)
c. Mulut : Bibir sianosis (-)
d. Telinga : Deformitas (-/-), dishcarge (-/-)
e. Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
f. Thorax : Bentuk normal, gerak simetris, jejas (-)
g. Pulmo
1) Inspeksi : Gerak simetris
2) Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra, gerak
simetris
3) Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
4) Auskultasi : SC vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
h. Cor
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus cordis teraba setinggi SIC V LMCS
3) Perkusi
Batas kanan atas : SIC II LPSD
Batas kanan bawah: SIC IV LPSD
Batas kiri atas : SIC II LPSS
Batas kiri bawah : SIC V LMCS
4) Auskultasi : S1>S2, murmur (-), gallop (-)
i. Abdomen
1) Inspeksi : Cembung, distensi (-)
2) Auskultasi : Bising usus (+) normal
3) Perkusi : Timpani
4) Palpasi : Cembung gravid, nyeri tekan -, tidak teraba
massa
j. Esktremitas : Edema (-), akral teraba hangat

7
6. Status obstetri
Pemeriksaan Leopold
a. Leopold 1 : Teraba tahanan memanjang, TFU: 30 cm,
TBJ empiris :
b. Leopold 2 : Teraba 1 bagian bulat keras, di sebelah kanan,
teraba 1 bagian bulat lunak di sebelah kiri
c. Leopold 3 : Teraba bagian kecil janin
d. Leopold 4 : Tidak dilakukan
Pemeriksaan genitalia
a. Inspeksi eksternal : Vulva tenang, lesi (-), fluor albus (-)
b. Inspekulo : fluksus (+), flour (-), portio belum ada
pembukaan
c. Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan

His : tidak ada

DJJ :

D. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Darah RSMS 29 Oktober 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Darah Lengkap
Hemoglobin 12,5 g/dl 11.7-15.5
Leukosit 9530 U/L 3600-11000
Hematokrit 37 % 35-47
Eritrosit 4.2 10^6/Ul 3,8-5,2
Trombosit 247000 /uL 150.000-440.000
MCV 87,6 fL 80-100
MCH 29,8 Pg 26-34
MCHC 34,1 % 32-36
RDW 13,2 % 11,5-14,5
MPV 9,6 fL 9,4-12,3
Basofil 0,3 % 0.3
Eosinofil L 0,7 % 1.7
Batang L 0,7 % 0.3
Segmen H 72,8 % 63.4
Limfosit L 20,1 % 26.7

8
Monosit 5,4 % 7.6
PT L 8,8 Detik 10.4
APTT 28,9 Detik 39.2
Kimia Klinik
Albumin L 2,69 g/dL 3.4 – 5
SGOT 19 U/L 15 – 37
SGPT 23 U/L 14-59
Ureum L 12,7 mg/dL 14.92 – 38.52
Creatinin 0,87 mg/dL 0.60 – 1.00
GDS 97 mg/dL <= 200
Natrium 141 mEq/L 134-146
Kalium 3,6 mEq/L 3.4-4.5
Klorida H 111 mEq/L 96-108
HbsAg Reaktif - Non reaktif
Urin Lengkap
Warna Kuning Kng Muda-Kng
Tua
Kekeruhan Agak keruh Jernih
Bau Khas Khas
Urobilinogen 0.1 mg/dl 0.1-1.9
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Berat Jenis 1.020 1.001-1.035
Ph 6.5 5.0-9.0
Protein 30 Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit 0 Negatif
Sedimen
Eritrosit 0-1 Negatif/LPB
Leukosit 0-1 Negatif/LPB
Epitel 2-5 Negatif/LPK
Silinder Hialin Negatif Negatif/LPB
Silinder Lilin Negatif Negatif/LPB

b. Pemeriksaan USG
 Janin tunggal, letak lintang dorsosuperior
 Placenta implantasi di corpus posterior meluas sampai segmen
bawah rahim menutupi OUI
 Air ketuban Cukup, jernih
 FHR +
 EFW 2200-2300 gr
Kesan : hamil tunggal, letak lintang, hidup, placena previa totalis

9
E. Diagnosis
G1P0A0 Usia 27 Tahun Hamil 36 Minggu + 5 Hari
Janin I hidup intrauterine
Letak Lintang Dorsosuperior
Pre Eklampsia
Plasenta Previa Totalis

F. Tindakan dan Terapi


1. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pasien mengenai penyakit
2. KIE mengenai rencana tindakan yang akan dilakukan
3. Rencana program SCTP elektif Rabu, 30/10/19, pukul 08.00
4. Izin tindakan
5. Konsul anestesi
6. Konsul perinatology
7. Puasa 6 jam pre operasi
8. Pengawasan KU, TTV, HIS, PPV, DJJ
9. Bila perdarahan banyak SC cito

10
G. Follow Up
Tabel 2.2 Catatan Perkembangan Pasien
Waktu Subjektif Objektif Assessment Planning
Flamboyan Darah KU/kes: Baik/ G1P0A0 27 Pro SCTP + IUD
30/10/19 keluar dari composmentis tahun hamil (Rabu, 30/10/19)
07.30 jalan lahir TD: 130/90 mmHg 36 minggu
sedikit, N: 96 x/menit dengan pre
tidak ada RR: 18 x/menit eklampsia,
kenceng- S: 36,5 C letak lintang,
kenceng Status generalis dan plasenta
Dalam batas previa totalis
normal

Flour (-)
PPV (+) flek darah
His :
DJJ :

Flamboyan Nyeri KU/kes: Baik/ P1A0 27  Inf RL 20 tpm


31/10/19 pasca composmentis tahun  Inj 3x1 gr
08.40 operasi TD: 153/84 mmHg Post SCTP +  Inj asam
N: 78 x/menit IUD atas tranexamat
RR: 20x/menit indikasi letak 3x500 mg
S: 36,7 C lintang, dan  Inj ketorolac
Status generalis plasenta 3x30 mg
Dalam batas previa totalis  Metildopa
normal 3x250 mg
Preeklampsia  Adfer 1x1 tab
ASI : sudah keluar  Klindamisin
Ppv : (+) lochea Akseptor 2x300 mg
rubra IUD  Paracetamol
TFU : 2 jari di 3x500 mg
bawah pusar,  ASI eksklusif
kontraksi kuat  Diet bertahap
 Mobilisasi
Lahir bayi : bertahap
Perempuan  Hygiene luka
BBL : operasi
Apgar Score : 7-8-
9

Flamboyan Nyeri KU/kes: Baik/CM P1A0 27  Klindamisin


1/11/19 bekas TD 130/80 mmHg tahun post tab 2x300 mg
07.05 operasi N 80 x/menit SCTP + IUD  Ranitidin tab
RR 18 x/menit atas indikasi 2x150 mg
S 36,5 C preeklampsia,  Ketorolac tab
Status generalis letak lintang, 3x10 mg

11
Pulmo SDV +/+ dan plasenta  Ganti balut
Cor S1>S2 previa totalis  Rencana
Abd NT (-) pulang
Status lokalis GE  Kontrol 1
Ppv (+) nifas minggu
FA (-)

H. Diagnosis Akhir
P1A0 27 tahun
Post SCTP + IUD atas indikasi letak lintang, dan plasenta previa totalis
Preeklampsia
Akseptor IUD

I. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam

12
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. PREEKLAMPSIA
1. Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan
yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal
terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan
koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya
hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan
gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu.
Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya
hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset
hypertension with proteinuria) (ACOG, 2013). Meskipun kedua
kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa
wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan
multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri.
Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik
karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan
normal (JOCC, 2014).

2. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi dari
preeklampsia, meliputi (Pribadi, A., et al., 2015) :
a. Abnormalitas invasi tropoblas
Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang
sempurna, maka akan terjadi kegagalan remodeling a. spiralis.
Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna
hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka
waktu lama mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia
plasenta. Hipoksia dalam jangka lama menyebabkan
kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat

13
hipoksia. Produk dari kerusakan vaskuler selanjutknya akan
terlepas dan memasuki darah ibu yang memicu gejala klinis
preeklampsia.
b. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-
fetal
Berawal pada awal trimester kedua pada wanita yang
kemungkinan akan terjadi preeklampsia, Th1 akan meningkat
dan rasio Th1/Th2 berubah. Hal ini disebabkan karena reaksi
inflamasi yang distimulasi oleh mikropartikel plasenta dan
adiposit.
c. Maladaptasi kadiovaskular atau perubahan proses inflamasi
dari proses.
d. Kehamilan normal.
e. Faktor genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara
mekanisme epigenetik.
Dari sudut pandang herediter, preeklampsia adalah
penyakit multifaktorial dan poligenik. Predisposisi herediter
untuk preeklampsia mungkin merupakan hasil interaksi dari
ratusan gen yang diwariskan baik secara maternal ataupun
paternal yang mengontrol fungsi enzimatik dan metabolism
pada setiap sistem organ. Faktor plasma yang diturunkan
dapat menyebabkan preeklampsia. Ward dan Taylor (2014)
menyatakan bahwa insidensi preeklampsia bisa terjadi 20
sampai 40 persen pada anak perempuan yang ibunya
mengalami preeklampsia; 11 sampai 37 persen saudara
perempuan yang mengalami preeklampsia dan 22 sampai 47
persen pada orang kembar.

14
3. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko ibu terjadinya preeklamsi:
a. Paritas
Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan
pertama. Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau
dari kejadian preeklamsi dan risiko meningkat lagi pada
grande multigravida. Selain itu primitua, lama perkawinan ≥4
tahun juga dapat berisiko tinggi timbul preeklamsi. Faktor
yang mempengaruhi pre-eklampsia frekuensi primigravida
lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama
primigravida muda. Persalinan yang berulang-ulang akan
mempunyai banyak risiko terhadap kehamilan, telah terbukti
bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah persalinan yang
paling aman (Rochjati, 2010).
b. Usia
Ibu yang hamil pada usia < 20 tahun dan mempunyai
resiko terjadinya preeklamsia berat 3,58 kali dibandingkan ibu
hamil yang berusia 20-35 tahun. Sedangkan pada ibu hamil
dengan usia > 35 tahun juga memiliki resiko 3,97 kali
dibandingkan ibu hamil pada usia 20-35 tahun.Selain itu ibu
hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi perubahan pada
jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi
sehingga lebih berisiko untuk terjadi preeklamsi (Rochjati,
2010).
c. Riwayat hipertensi
Salah satu faktor predisposing terjadinya pre-
eklampsia atau eklampsia adalah adanya riwayat hipertensi
kronis, atau penyakit vaskuler hipertensi sebelumnya, atau
hipertensi esensial. Sebagian besar kehamilan dengan
hipertensi esensial berlangsung normal sampai cukup bulan.
Pada kira-kira sepertiga diantara parawanita penderita tekanan
darahnya tinggi setelah kehamilan 30 minggu tanpa disertai

15
gejala lain. Kirakira 20% menunjukkan kenaikan yang lebih
mencolok dan dapat disertai satu gejala preeklampsia atau
lebih, seperti edema, proteinuria, nyeri kepala, nyeri
epigastrium, muntah, gangguan visus (Supperimposed
preeklampsia), bahkan dapat timbul eklampsia dan perdarahan
otak. Riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami
hipertensi sebelum hamil atau sebelum umur kehamilan 20
minggu. Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi berisiko
lebih besar mengalami preeklamsi, serta meningkatkan
morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal lebih tinggi.
Diagnosa preeklamsia ditegakkan berdasarkan peningkatan
tekanan darah yang disertai dengan proteinuria atau edema
anasarka (Cunningham, 2013).
d. Hiperplasentosis /kelainan trofoblast
Hiperplasentosis/kelainan trofoblas juga dianggap
sebagai faktor predisposisi terjadinya preeklamsi, karena
trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan perfusi
uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi
endotel yang dapat mengakibatkan terjadinya vasospasme,
dan vasospasme adalah dasar patofisiologi
preeklamsi/eklamsi. Hiperplasentosis tersebut misalnya:
kehamilan multiple, diabetes melitus, bayi besar, 70% terjadi
pada kasus molahidatidosa (Prawirohardjo, 2010)
e. Obesitas
Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang
berlebihan di dalam tubuh. Obesitas merupakan masalah gizi
karena kelebihan kalori, biasanya disertai kelebihan lemak
dan protein hewani, kelebihan gula dan garam yang kelak bisa
merupakan faktor risiko terjadinya berbagai jenis penyakit
degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit
jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan
(kanker) dan gangguan kesehatan lain. Hubungan antara berat

16
badan ibu dengan risiko preeklamsia bersifat progresif,
meningkat dari 4,3% untuk wanita dengan indeks massa tubuh
kurang dari 19,8 kg/m2 terjadi peningkatan menjadi 13,3 %
untuk mereka yang indeksnya ≥35 kg/m2 (Cunningham,
2013).

4. Tanda dan Gejala


Gejala klinis preeklampsia sangat bervariasi dari yang ringan
sampai yang mengancam kematian pada ibu. Efek yang sama terjadi
pula pada janin, mulai dari yang ringan, pertumbuhan janin terlambat
(PJT) dengan komplikasi pascasalin sampai kematian intrauterine
(Pribadi et al., 2015). Gejala dan tanda preeklampsia meliputi
(Cunningham, 2013):
a. Preeklamsia ringan :
1) Tekanan darah diastolik <100mmHg
2) Proteinuria samar (trace) sampai 1+
3) Tidak ada nyeri kepala
4) Tidak ada gangguan penglihatan
5) Tidak ada nyeri abdomen atas
6) Tidak ada oliguria
7) Tidak ada kejang
8) Kreatinin serum normal
9) Tidak ada trobositopenia
10) Peningkatan enzim hati minimal
11) Tidak ada pertumbuhan janin terhambat
12) Tidak ada edema paru
b. Preeklamsia berat
1) Tekanan darah diastolik 110mmHg atau lebih
2) Proteinuria +2 persisten atau lebih
3) Terdapat nyeri kepala
4) Terdapat gangguan penglihatan
5) Terdapat nyeri abdomen atas

17
6) Terdapat oliguria
7) Terdapat kejang (eklamsia)
8) Kreatinin serum meningkat
9) Terdapat trombositopenia
10) Peningkatan enzim hati nyata
11) Pertumbugan janin terhambat jelas
12) Terdapat edema paru

5. Diagnosis
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan,
akan dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau
disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang
menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia
berat adalah salah satu dibawah ini (Tranquilli, et al. 2014):
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolic pada dua kali pemeriksaan berjarak 15
menit menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter
c. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau
didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi
dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
d. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio
kanan atas abdomen
e. Edema Paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan
visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkan absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV).

18
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya
hubungan antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia,
sehingga kondisi protein urin masif (lebih dari 5 g) telah dieleminasi
dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria
terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan,
dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya
dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
secara signifikan dalam waktu singkat. (Tranquilli, et al. 2014):
6. Tatalaksana
Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian
morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka
seksio sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat memperpanjang
usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas perinatal seperti
penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan
perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir
bayi rata – rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun
insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian
kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan
intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal (ACOG,
2013).
a. Perawatan ekspektatif pada preeklampsia tanpa gejala berat:
1) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu dengan evaluasi maternal dan
janin yang lebih ketat
2) Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada
kasus preeklampsia tanpa gejala berat.
3) Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
a) Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap
hari oleh pasien
b) Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu
secara poliklinis

19
c) Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap
minggu
d) Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara
berkala (dianjurkan 2 kali dalam seminggu)
e) Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin
terhambat, evaluasi menggunakan Doppler
velocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan (JOGC, 2014)

Gambar 1. Manajemen Ekspektatif Preeklamsia tanpa Gejala Berat,


Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, 2016

20
b. Perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat :
1) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus
preeklampsia berat dengan usia kehamilan kurang dari
34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil.
2) Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga
direkomendasikan untuk melakukan perawatan di
fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia
perawatan intensif bagi maternal dan neonatal
3) Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif
preeklamsia berat, pemberian kortikosteroid
direkomendasikan untuk membantu pematangan paru
janin
4) Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan
untuk melakukan rawat inap selama melakukan
perawatan ekspektatif (JOGC, 2014).

21
Gambar 2. Manajemen Ekspektatif Preeklamsia Berat,
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, 2016

22
Tabel 1. Kriteria terminasi kehamilan pada preeklamsia berat
Terminasi kehamilan
Data Maternal Data Janin
Hipertensi berat tidak terkontrol Usia hemilan 34 minggu
Gejalan preeklamsia berat yang tidak Pertumbuhan janin
berkurang (nyeri kepala, pandangan terhambat
kabur, dsbnya)
Penurunan fungsi ginjal progresif Oligrohidramnion
progresif
Trombositopenia persisten atau Profil biofisik <4
HELLP Sindrom
Edema paru Deselerasi variable dan
lambat pada NST
Eklamsia Doppler a. Umbilicalis:
reversed end diastolic
flow
Solusio plasenta Kematian Janin
Persalinan atau ketuban pecah
Sumber: Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, 2016

c. Pemberian magnesium sulfat


1) Pemberian magnesium sulfat bermakna dalam
mencegah kejang dan kejang berulang dibandingkan
pemberian plasebo.
2) Pemberian magnesium sulfat tidak mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal.
3) Efek samping minor kadang dijumpai pada
penggunaan magnesium sulfat, dimana yang
terbanyak ditemukan adalah flushing.
4) Tidak ditemukan perbedaan kejadian toksisitas akibat
pemberian magnesium sulfat dibandingkan plasebo.
5) Penghentian pengobatan lebih sering terjadi pada
pemberian magnesium sulfat intramuskular. Hal ini
disebabkan karena alasan nyeri pada lokasi suntikan.
6) Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah
dipublikasi mengenai waktu yang optimal untuk
memulai magnesium sulfat, dosis (loading dan

23
pemeliharaan), rute administrasi (intramuskular atau
intravena) serta lama terapi.
7) Pemberian magnesium sulfat lebih baik dalam
mencegah kejang atau kejang berulang dibandingkan
antikonvulsan lainnya.
8) Mortalitas maternal ditemukan lebih tinggi pada
penggunaan diazepam dibandingkan magnesium
sulfat.
9) Tidak ditemukan perbedaan bermakna morbiditas
maternal dan perinatal serta mortalitas perinatal antara
penggunaan magnesium sulfat dan antikonvulsan
lainnya (Duley, 2015).

d. Obat antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada
hipertensi ringan - sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90
– 109 mmHg), masih kontroversial. European Society of
Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan
pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita dengan
hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria),
hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional,
hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada
usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain, pemberian
antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95
mmHg (Montan, 2014).
1) Indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada
kehamilan adalah untuk keselamatan ibu dalam
mencegah penyakit serebrovaskular.
2) Pemberian antihipertensi berhubungan dengan
pertumbuhan janin terhambat sesuai dengan
penurunan tekanan arteri rata – rata.

24
3) Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia
dengan hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥
160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg.
4) Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160
mmHg dan diastolik < 110 mmHg.
5) Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah
nifedipin oral short acting, hidralazine dan labetalol
parenteral.
6) Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah
nitogliserin, metildopa, labetalol.

e. Kortikosteroid untuk Pematangan Paru


1) Pemberian kortikosteroid antenatal berhubungan
dengan penurunan mortalitas janin dan neonatal, RDS,
kebutuhan ventilasi mekanik/CPAP, kebutuhan
surfaktan dan perdarahan serebrovaskular, necrotizing
enterocolitis serta gangguan pekembangan neurologis.
2) Pemberian kortikosteroid tidak berhubungan dengan
infeksi, sepsis puerpuralis dan hipertensi pada ibu.
3) Pemberian deksametason maupun betametason
menurunkan bermakna kematian janin dan neonatal,
kematian neonatal, RDS dan perdarahan
serebrovaskular. Pemberian betametason memberikan
penurunan RDS yang lebih besar dibandingkan
deksametason.
4) Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan ≤ 34
minggu untuk menurunkan risiko RDS dan mortalitas
janin serta neonatal (Robert dan Dalziel, 2016).

25
f. Terminasi Kehamilan
Preeklamsia berat merupakan salah satu alasan tersering
untuk melahirkan bayi sebelum waktunya. Seringnya bayi
dilahirkan sebelum wanita memasuki fase persalinan.
Beberapa dokter biasanya akan melakukan tindakan sectio
caesarea pada wanita dengan preeklamsia berat, walaupun
bayi masih dalam keadaan sehat (Amorim, 2017). Masih
banyak dilema di antara klinisi terkait metode terbaik untuk
terminasi pasien pada preeklamsia jika indikasi absolut SC
tidak ada (Alanis, 2008).
Sebanyak 73% kasus preeklamsia di dunia dilakukan
terminasi dengan cara sectio caesarea pada usia kehamilan di
bawah 32 minggu (Alanis, 2008). Beberapa pertimbangan
untuk dilakukan SC adalah untuk meningkatkan kelahiran bayi
sehat saat kondisi kehamilan masih baik pada preeklamsia
(Kumari, 2016). Namun ada beberapa pendapat lain bahwa SC
meningkatkan risiko komplikasi perinatal seperti RDS dan
asfiksia, sehingga meningkatkan angka morbiditas dan
kematian perinatal (Katz, 2015).
Banyak studi yang mempelajari dan membandingkan
kelahiran pervaginam dan sectio caesarea pada pasien dengan
preeklamsia dan terdapat beberapa kesimpulan. Berdasarkan
Saadat (2017) kelahiran pervaginam lebih baik dibandingkan
SC pada pasien dengan preeklamsia kecuali ada indikasi SC
lain terutama indikasi absolut SC. Menurut Coppage (2002)
kelahiran dengan SC tidak ada keuntungannya pada
preeklamsia karena tidak menurunkan angka morbiditas
pasien dengan preeklamsia baik pada ibu dan anak. Alanis
(2008) menyatakan induksi untuk kelahiran pervaginam aman
dan lebih banyak berhasil jika dilakukan pada usia kehamilan
>28 minggu. Apabila akan melakukan terminasi di usia
kehamilan <28 minggu pertimbangkan untuk dilakukan SC

26
karena sangat berisiko jika dilahirkan pervaginam. Pada
penelitian oleh Katz (2014) didapati SC sering dilakukan
untuk terminasi pasien dengan preeklamsia namun indikasi
nyatanya belum jelas, namun kesuksesan untuk dilakukannya
induksi persalinan juga harus diteliti kembali pada kasus yang
lebih banyak. Pada pendapat dari Kumari (2016) outcome dari
ibu dan bayi dapat ditingkatkan dengan mempertimbangkan
SC apabila pembukaan cervix tidak baik atau persalinan
normal tak dicapai setelah 6 jam.
Masih perlu banyak penelitian klinis lagi untuk
menentukan apakah persalinan per vaginam atau sectio
caesarea yang memiliki dampak yang lebih baik untuk
terminasi kehamilan pada pasien dengan preeklamsia baik
untuk ibu maupun bayi. Wanita dengan preeklamsia berat akan
lebih baik untuk berdiskusi dengan dokternya terkait pilihan
untuk cara melahirkannya, baik untuk bayi dan dampak ke
depannya. Dokter dan pasien harus memutuskan bersama
apakah persalinan per vaginam atau sectio caesarea yang akan
ditempuh (Amorim, 2017).

27
B. LETAK LINTANG
1. Definisi Letak Lintang
Kehamilan letak lintang adalah suatu keadaan dimana sumbu
panjang janin tegak lurus atau hampir tegak lurus pada sumbu panjang
ibu. Pada letak lintang, bahu menjadi bagian terendah yang disebut
presentasi bahu atau presentasi akromion. Jika punggung di bagian
depan disebut dorso anterior dan jika dibelakang disebut dorso
posterior (Sastrawinata, 2015).

2. Etiologi Letak Lintang


Menurut Manuaba (2017) beberapa etiologi yang
menyebabkan kehamilan letak lintang, antara lain :
a. Relaksasi dinding abdomen karena multipara, hidramnion,
atau kehamilan ganda
b. Oligohidramnion
c. Kehamilan prematur
d. Bentuk uterus abnormal (Uterus arkuatus, septus)
e. Panggul sempit
f. Ada penghalang di pintu atas panggul (plasenta previa,
terdapat tumor genitalia interna)
g. Kelainan bentuk janin intrauterin
h. Lilitan tali pusat pada janin (leher dan lainnya)

3. Diagnosis
a. Pada inspeksi, tampak perut melebar ke samping dan pada
kehamilan cukup bulan fundus uteri lebih rendah dari biasa,
hanya beberapa jari diatas pusar (Sastrawinata, 2015).
b. Pemeriksaan abdominal: sumbu panjang janin teraba
melintang, tidak teraba bagian pada pelvis inlet sehingga
terasa kosong (WHO, 2018).

28
c. Tinggi fundus lebih rendah, kelainan bentuk uterus
(memanjang ke lateral), kepala dapat diraba di sisi lateral
(biasanya sisi kiri) (Datta, 2014).
d. Pemeriksaan abdomen dengan palpasi perasat leopold
mendapatkan hasil (Sastrawinata, 2015) :
1) Leopold I fundus uteri tidak ditemukan bagian janin
(kosong)
2) Leopold II teraba balotemen kepala pada salah satu
fosa iliaka dan bokong pada fosa iliaka yang lain.
3) Leopold III dan IV, bagian bawah Rahim kosong
e. Auskultasi : denyut jantung janin setinggi pusat kanan atau
kiri.
f. Pada pemeriksaan vaginal, tidak ada bagian terendah yang
teraba di pelvis, sedangkan pada saat inpartu, yang teraba
adalah bahu, siku atau tangan, (WHO, 2018).

4. Komplikasi
Komplikasi pada kehamilan letak lintang menurut
Sastrawinata (2015), antara lain :
a. Pada Ibu
1) Ruptur uteri dan traumatik uteri
2) Infeksi
3) Terdapatnya letak lintang kasep (Neglected
Transverse Lie), yang berpotensi meningkatkan
kematian pernatal, diketahui dengan :
a) Adanya ruptur uteri mengancam
b) Tangan yang dimasukan kedalam kavum uteri
terjepit antara janin dan panggul
c) Dengan narkosa dalam sulit merubah letak
janin
4) Meningkatnya kematian maternal karena :
a) Letak lintang selalu disertai plasenta previa

29
b) Kemungkinan terjadi cedera tali pusat
meningkat.
c) Keharusan tindakan Operasi SC tidak bisa
dihindari
d) Sepsis setelah ketuban pecah atau lengan
menumbung melalui vagina
b. Pada Janin
Kematian janin akibat :
1) Prolaps funikuli
2) Asfiksia karena gangguan sirkulasi uteroplasental
3) Tekukan leher yang kuat

5. Penatalaksanaan
a. Pada kehamilan
Dalam kehamilan, diusahakan versi luar segera setelah
diagnosis letak lintang ditegakkan. Sedapat-dapatnya
dijadikan letak kepala, namun jika ini tidak memungkinkan,
diusahakan versi menjadi letak sungsang. Jika versi ini
berhasil, kepala didorong kedalam pintu atas panggul supaya
kepala terfiksasi oleh PAP dan anak tidak memutar kembali.
Agar tidak berputar kembali, terutama pada multipara sesudah
versi luar berhasil, sebaiknya pasien dianjurkan memakai
gurita (Sastrawinata, 2015). Versi luar pada letak lintang
hanya terdiri dari dua tahap yaitu tahap rotasi dan tahap fiksasi
(Wiknjosastro, 2017).
Tindakan menangani letak lintang dengan melakukan
versi luar sudah ditinggalkan tetapi masih dapat dicoba untuk
melakukan versi luar alami dengan jalan menganjurkan ibu
untuk melakukan posisi lutut-dada ( knee-chest ) selama 10-
15 menit setiap hari sebanyak 2-3 kali sampai terjadi
perubahan posisi janin dalam rahim. Anjuran ini hanya
mungkin bila kehamilan masih muda sehingga hukum gaya

30
berat masih berlaku karena longgarnya ruangan intrauterine.
Masa kehamilan sekitar 6,5 – 7,5 bulan, usia kehamilan lebih
dari ini sudah sulit dilakukan karena ruangan dalam rahim
sudah semakin sempit, (Manuaba, 2017)
b. Pada persalinan
Pertolongan persalinan letak lintang pada multipara
bergantung kepada beberapa faktor. Apabila riwayat obstetri
yang bersangkutan baik, tidak didapatkan kesempitan panggul
dan janin tidak seberapa besar, dapat ditunggu dan diawasi
sampai pembukaan lengkap untuk melakukan versi ekstraksi.
Selama menunggu harus diusahakan supaya ketuban tetap
utuh dan melarang ibu meneran atau bangun. Apabila ketuban
pecah sebelum pembukaan lengkap dan terdapat prolapsus
funikuli, harus segera dilakukan seksio sesaria. Jika ketuban
pecah, tetapi tidak ada prolapsus funikuli, maka bergantung
tekanan dapat ditunggu sampai pembukaan lengkap kemudian
dilakukan versi ekstraksi atau mengakhiri persalinan dengan
seksio sesaria. Dalam hal ini, persalinan dapat diawasi untuk
beberapa waktu guna mengetahui apakah pembukaan terjadi
dengan lancar atau tidak. Versi ekstraksi dapat dilakukan pula
pada kehamilan kembar, apabila setelah bayi pertama lahir,
ditemukan bayi kedua berada dalam letak lintang (Manuaba,
2017).
Pada letak lintang belum kasep, ketuban masih ada,
dan pembukaan kurang dari 4 cm, dicoba versi luar. Jika
pembukaan lebih dari 4 cm pada primigravida dengan janin
hidup dilakukan sectio caesaria, jika janin mati, tunggu
pembukaan lengkap, kemudian dilakukan embriotomi. Pada
multigravida dengan janin hidup dan riwayat obstetri baik
dilakukan versi ekstraksi, jika riwayat obstetri jelek dilakukan
SC. Pada letak lintang kasep janin hidup dilakukan SC, jika
janin mati dilakukan embriotomi. (Manuaba, 2017).

31
Pada letak lintang kasep, bagian janin terendah tidak
dapat didorong ke atas, dan tangan pemeriksa yang
dimasukkan ke dalam uterus tertekan antara tubuh janin dan
dinding uterus. Demikian pula ditemukan lingkaran Bandl
yang tinggi. Berhubung adanya bahaya ruptur uteri, letak
lintang kasep merupakan kontraindikasi mutlak melakukan
versi ekstraksi. Bila janin masih hidup, hendaknya dilakukan
seksio sesaria dengan segera (Manuaba, 2017).
Versi dalam merupakan alternatif lain pada kasus letak
lintang. Versi dalam merupakan metode dimana salah satu
tangan penolong masuk melalui serviks yang telah membuka
dan menarik salah satu atau kedua tungkai janin ke arah
bawah. Umumnya versi dalam dilakukan pada kasus janin
letak lintang yang telah meninggal di dalam kandungan
dengan pembukaan serviks lengkap. Namun, dalam keadaan
tertentu, misalnya pada daerah-daerah terpencil, jika
dilakukan oleh penolong yang kompeten dan berpengalaman,
versi dalam dapat dilakukan untuk kasus janin letak lintang
yang masih hidup untuk mengurangi risiko kematian ibu
akibat ruptur uteri. Namun, pada kasus letak lintang dengan
ruptur uteri mengancam, korioamnionitis dan risiko
perdarahan akibat manipulasi uterus, maka pilihan utama
tetaplah seksio sesaria (Manuaba, 2017).
Dalam posisi letak lintang, keadaan lebih berbahaya
karena persalinan spontan tidak mungkin berlangsung. Satu-
satunya jalan yang dapat mencapai bayi lahir baik dan keadaan
ibu baik hanyalah dengan jalan seksio sesaria (Manuaba,
2017).

32
C. PLASENTA PREVIA
1. Definisi
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada
bagian segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau
seluruh jalan lahir yang ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat
keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri pada kehamilan
trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan (Yeni, 2017).
Plasenta previa disebut total apabila menutupi seluruh ostium uteri
interna, dan disebut parsial apabila hanya menutupi sebagian dari
ostium uteri interna (Abduljabbar, 2016). Jika tidak tertangani
komplikasi dapat terjadi pada ibu dan bayi yaitu selama kehamilan
pada ibu dapat menimbulkan perdarahan antepartum yang dapat
menimbulkan syok (Vedy, 2017).

2. Tanda dan Gejala


Pada anamnesis pasien plasenta previa akan didapatkan
keluhan seperti perdarahan yang keluar tanpa sebab, tanpa rasa nyeri
biasanya berulang, darah berwarna merah segar, terjadi pada saat tidur
atau saat melakukan aktivitas dan darah yang keluar bisa dikit ataupun
banyak. Perdarahan pervaginam bewarna merah segar tanpa rasa
nyeri pada trimester kedua kehamilan merupakan tanda utama dari
plasenta previa (Maryani, 2018). Pada pasien dengan plasenta previa
juga sering ditemukan adanya kelainan posisi janin seperti letak
lintang atau presentasi bokong, sering juga dijumpai bagian terbawah
janin yang belum masuk pintu atas panggul pada periode akhir
kehamilan. Tanda dan gejala anemia juga dapat ditemukan pada
pasien akibat perdarahan yang terjadi, seperti pucat dan lemas (Yeni,
2017).

33
3. Diagnosis
Adapun pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosa placenta previa meliputi: keadaan umum dan
tanda vital, inspeksi genitalia eksterna, pemeriksaan inspekulo dan
leopold. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda vital dapat dinilai
jumlah perdarahan yang terjadi pada pasien (Yeni, 2017).
Plasenta previa dapat didiagnosis dengan melihat gejala klinis
dan pemeriksaan obstetri menggunakan USG (Oppenheimer, 2008).
Pemeriksaan spekulum dapat dilakukan untuk menilai vagina dan
serviks. Vaginal toucher harus dihindari pada semua ibu yang
mengalami perdarahan antepartum sampai terdiagnosis bukan sebagai
plasenta previa (OGCCU, 2009).
Pada pemeriksaan fisik obstetrik berupa palpasi abdomen
(leopold manuver) sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi
fundus uteri yang rendah karena belum cukup bulan. Juga sering
dijumpai bahwa bagian terbawah janin belum turun, apabila letak
kepala, biasanya kepala masih bergoyang, terapung atau mengolak
diatas pintu atas panggul (Yeni, 2017).
Beberapa metode pemeriksaan penunjang telah digunakan
untuk mendiagnosis plasenta previa diantaranya USG
transabdominal, USG transvaginal dan MRI (Oppenheimer, 2008).
Pemeriksan ultrasonografi bertujuan untuk menilai keadaan janin
yaitu berupa pertumbuhan janin yang dinilai dari nilai Biparietal
Diameter (BPD), Head Circumference (HC), Abdominal
Circumference (AC), Fmur Length (FL). Dimana berdasarkan data
biometri dapat disimpulkan pertumbuhan janin intrauterine berupa
taksiran berat janin serta perkiraan usia kehamilan. Selain itu,
pemeriksaan ultrasonografi berfungsi untuk menilai apakah terdapat
keadaan patologis intrauterine seperti berkurang/bertambahnya
jumlah cairan amnion diatas normal maupun letak implantasi plasenta
yang abnormal. Pada placenta previa implantasi terjadi pada segmen

34
bawah rahim, dimana dapat diklasifikasikan menjadi placenta previa
totalis, parsialis, marginalis, dan letak rendah (Yeni, 2017).
Penggunaan USG transvaginal lebih direkomendasikan
karena mempunyai tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan
dengan USG transabdominal. Terdapat beberapa kekurangan USG
transabdominal yaitu visualisasi yang kurang baik pada plasenta letak
posterior dan segmen bawah rahim akibat terhalang kepala bayi,
obesitas serta keadaan kandung kemih yang kosong atau terlalu
penuh. MRI juga mempunyai tingkat akurasi yang lebih baik bila
dibandingkan dengan USG transabdominal. Namun tidak dapat
memberikan gambaran lokasi plasenta sebaik USG transvaginal,
selain itu MRI tidak tersedia pada semua pelayanan kesehatan
(Oppenheimer, 2008).

4. Tatalaksana
Prinsip dasar yang harus segera dilakukan pada semua kasus
perdarahan antepartum adalah menilai kondisi ibu dan janin,
melakukan resusitasi secara tepat apabila diperlukan, apabila terdapat
fetal distress dan bayi sudah cukup matur untuk dilahirkan maka perlu
dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan (Neilson, 2007).
Cara pesalinan ditentukan oleh jarak antara tepi plasenta dan
ostium uteri internum dengan pemeriksaan USG transvaginal pada
minggu ke 35 kehamilan. Apabila jaraknya >20 mm persalinan
pervaginam kemungkinan besar berhasil. Apabila jarak antara tepi
plasenta dengan ostium uteri internum 0-20 mm maka besar
kemungkinan dilakukan bedah sesar, namun persalinan pervaginam
masih dapat dilakukan tergantung keadaan klinis pasien
(Oppenheimer, 2008).
Sectio Caesarea menjadi pilihan dalam tindakan operatif
karena plasenta telah menutup jalan lahir sehingga bayi tidak bisa
dikeluarkan secara normal. Insisi dilakukan pada abdomen dan

35
dinding uterus agar bayi dapat lahir tanpa terhalang oleh plasenta
(Pawa, 2017).
Dahulu ada anggapan bahwa kehamilan dengan plasenta
previa harus segera diakhiri untuk menghindarkan perdarahan yang
fatal. Namun sekarang ternyata terapi ekspektatif dapat dibenarkan
dengan alasan sebagai berikut: perdarahan pertama pada plasenta
previa jarang fatal dan untuk menurunkan kematian bayi karena
prematuritas. Kriteria penanganan ekspektatif: umur kehamilan
kurang dari 37 minggu, perdarahan sedikit, belum ada tanda-tanda
persalinan, keadaan umum baik, kadar Hb 8 % atau lebih (Weldimira,
2015).
Perdarahan pada plasenta previa pertama kali terjadi biasanya
sebelum paru paru janin matur sehingga penanganan pasif ditujukan
untuk meningkatkan survival rate dari janin. Langkah awal adalah
transfusi untuk mengganti kehilangan darah dan penggunaan agen
tokolitik untuk mencegah persalinan prematur sampai usia kehamilan
36 minggu. Sesudah usia kehamilan 36 minggu, penambahan
maturasi paru-paru janin dipertimbangkan dengan beratnya resiko
perdarahan mayor (Rudra, 2010).
Dalam memilih waktu yang optimum untuk persalinan,
dilakukan tes maturasi janin meliputi penilaian surfaktan cairan
amnion dan pengukuran pertumbuhan janin dengan ultrasonografi.
Penderita dengan umur kehamilan antara 24-34 minggu diberikan
preparat tunggal betamethason (2x12 mg intramuskular) untuk
meningkatkan maturasi paru janin (Rudra, 2010).
Pada terapi ekspektatif, pasien dirawat di rumah sakit sampai
berat anak ± 2500 gr atau kehamilan sudah sampai 37 minggu. Selama
terapi ekspektatif diusahakan untuk menentukan lokasi plasenta
dengan pemeriksaan USG dan memperbaiki keadaan umum ibu.
Penderita plasenta previa juga harus diberikan antibiotik mengingat
kemungkinan terjadinya infeksi yang besar disebabkan oleh
perdarahan dan tindakan-tindakan intrauterin. Setelah kondisi stabil

36
dan terkontrol, penderita diperbolehkan pulang dengan pesan segera
kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan ulang (Weldimira,
2015).
Terminasi kehamilan dilakukan jika janin yang dikandung
telah matur, IUFD (Intra Uterine Fetal Death) atau terdapat anomali
dan kelainan lain yang dapat mengurangi kelangsungan hidup ibu,
pada perdarahan aktif dan banyak (Oppenheimer, 2008). Kriteria
penanganan aktif/terminasi kehamilan pada plasenta previa adalah
sebagai berikut umur kehamilan ≥ 37 minggu, BB janin ≥ 2500 gram,
perdarahan banyak 500 cc atau lebih, ada tanda-tanda persalinan, dan
keadaan umum pasien tidak baik ibu anemis Hb < 8 gr % (Weldimira,
2015).
Perdarahan banyak dan berulang merupakan indikasi mutlak
sectio caesarea karena perdarahan itu biasanya disebabkan oleh
plasenta previa yang lebih tinggi derajatnya dari pada yang ditemukan
pada pemeriksaan dalam, atau vaskularisasi yang hebat pada servik
dan segmen bawah uterus. Multigravida dengan plasenta letak rendah,
plasenta previa marginalis atau plasenta previa parsialis pada
pembukaan lebih dari 5 cm dapat ditanggulangi dengan pemecahan
selaput ketuban. Tetapi jika dengan pemecahan selaput ketuban tidak
mengurangi perdarahan yang timbul, maka sectio caesarea harus
dilakukan (Prawirohardjo, 2009).
Persiapan untuk resusitasi janin perlu dilakukan.
Kemungkinan kehilangan darah harus dimonitor sesudah plasenta
disayat. Penurunan hemoglobin 12 mg/dl dalam 3 jam atau sampai 10
mg/dl dalam 24 jam membutuhkan transfusi segera. Komplikasi post
operasi yang paling sering dijumpai adalah infeksi masa nifas dan
anemia. Tindakan sectio caesarea pada plasenta previa, selain dapat
mengurangi kematian bayi, terutama juga dilakukan untuk
kepentingan ibu (Weldimira, 2015).

37
D. SECTIO CAESAREA
1. Definisi
Seksio secarea merupakan prosedur operatif, yaang di lakukan
di bawah anestesia sehingga janin, plasenta daan ketuban di lahirkan
melalui insisi dinding abdomen dan uterus (Mitayani, 2016).
Menurut Reeder (2015) sectio sesarea adalah pengeluaran
janin melalui insisi abdomen. Teknik ini digunakan jika kondisi ibu
menimbulkan distres pada janin atau jika telah terjadi distres janin.
Sebagian kelainan yang sering memicu tindakan ini adalah malposisi
janin, plasenta previa, diabetes ibu, dan disproporsi sefalopelvis janin
dan ibu. Sectio sesarea dapat merupakan prosedur elektif atau darurat
.Untuk sectio caesarea biasanya dilakukan anestesi spinal atau
epidural. Apabila dipilih anestesi umum, maka persiapan dan
pemasangan duk dilakukan sebelum induksi untuk mengurangi efek
depresif obat anestesi pada bayi
2. Indikasi Sectio Caesarea
Indikasi persalinan sectio caesarea yang dibenarkan dapat
terjadi secara tunggal atau secara kombinasi, prevalensi persalinan
sectio caesarea mengalami peningkatan yang sangat pesat hal ini di
sebabkan oleh keputusan dalam menegakkan indikasi semakin
longgar dan indikasi persalian sectio caesarea semakin berkembang,
selain indikasi medis ada pula indikasi non medis. Sebelum dilakukan
persalinan SC hal yang harus selalu diperhatikan adalah mengetahui
indikasi apa saja perlu tindakan tersebut, cara apa yang dikerjakan dan
bagaimana penyembuhan luka tersebut. Ada beberapa hal yang perlu
di perhatikan dalam persalinan SC (Rasjidi, 2015).
a. Indikasi Mutlak
Faktor mutlak untuk dilakukan SC dapat dibagi
menjadi dua indikasi, yang pertama adalah indikasi ibu, antara
lain: panggul sempit absolut, kegagalan melahirkan secara
normal karena kurang kuatnya stimulasi, adanya tumor jalan
lahir, stenosis serviks, plasenta previa, disproporsi

38
sefalopelvik, dan ruptur uteri. Indikasi yang kedua adalah
indikasi janin, antara lain: kelaianan otak, gawat janin,
prolapsus plasenta, perkembangan bayi yang terhambat, dan
mencegah hipoksia janin karena preeklamasi (Rasjidi, 2015).
b. Indikasi Relatif
Indikasi Relatif dilakukan persalinan secara SC, antara
lain : riwayat sectio caesarea sebelumnya, presentasi bokong,
distosia fetal distress, preeklamsi berat, ibu dengan HIV
positif sebelum inpartu atau gemeli (Rasjidi, 2015).
c. Indikasi Sosial
Permintaaan ibu untuk melakukan sectio caesarea
sebenarnya bukanlah suatu indikasi untuk dilakukan sectio
caesarea. Alasan yang spesifik dan rasional harus dieksplorasi
dan didiskusikan. Beberapa alasan ibu meminta dilakukan
persalinan sectio caesarea, antara lain: ibu yang melahirkan
berdasarkan pengalaman sebelumnya, ibu yang ingin sectio
caesarea secara elektif karena takut bayinya mengalami cedera
atau asfiksia selama persalinan, namun keputusan pasien
harus tetap dihargai dan perlu ditawari pilihan cara melahirkan
yang lainnya. Angka bedah sectio caesarea secara global
menunjukkan kenaikan. 30 tahun yang lalu 1 dari 12
persalinan diakhiri dengan sectio caesarea sekarang
perbandingan dengan ini adalah 1 dari 3 persalinan.
Kelayakan kenaikan angka bedah masih diperdebatkan, World
Health Organisation (WHO) mematok angka 15% (Rasjidi,
2015).
3. Kontraindikasi
Kontraindikasi dilakukan sectio caesarea adalah tidak adanya
indikasi yang tepat untuk melakukan sectio caesarea. Adapun secara
lebih rinci dari kontraindikasi sectio caesarea adalah : Janin mati,
syok, anemia berat, kelainan kongenital berat, infeksi progenik pada
dinding abdomen, minimnya fasilitas operasi sectio caesarea.

39
Sebaiknya sebelum dilakukan persalinan SC perlu dilakukan
pemeriksaan : Kadar Hb, pemeriksaan Ultra sound pada usia 12
sampai 20 minggu, pemeriksaan Doppler untuk mengetahui kondisi
jantung janin, pemeriksaan hormone Hcg untuk mengetahui umur
kehamilan, amniosentesis untuk mengetahui fungsi paru janin
(Arikunto, 2010).
Persalinan sectio caesarea juga mengalami beberapa kesulitan,
antara lain: Kesulitan menentukan jenis irisan, kesulitan yang
berhubungan dengan presentasi janin, kesulitan yang berhubungan
plasenta dan perdarahan, kesulitan yang berhubungan dengan saluran
kemih. Sedangkan komplikasi utama persalinan sectio caesarea
adalah kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria dan uterus saat
dilangsungkannya operasi, komplikasi anastesi, perdarahan, infeksi
dan tromboemboli. Kematian ibu lebih besar jika dibandingkan
dengan persalinan pervaginam. Sulit untuk memastikan hal tersebut
terjadi apakah dikarenakan prosedur operasinya atau karena alasan
yang menyebabkan ibu hamil tersebut harus dioperasi (Ismael, 2017).
Sectio caesarea merupakan operasi besar dengan banyak
keuntungan tetapi juga dengan banyak resiko yang mungkin terjadi
pada ibu dan janin. Resiko dapat diperkecil dengan menghindari
sectio caesarea yang tidak memiliki indikasi tepat dan memperhatikan
dengan sungguh-sungguh pendekatan anasthesi dan tehnik operasi
yang digunakan. Penurunan komplikasi ibu dan janin pada sectio
caesarea dimulai dengan pengertian serta tanggung jawab yang benar
tentang bahaya dari tindakan yang dilakukan dan seleksi ketat pasien
yang minta dilakukan persalinan SC. Setiap tindakan medis
memerlukan persetujuan atas penjelasan baik secara lisan maupun
tulisan, untuk itu tindakan darurat yang bertujuan menyelamatkan
jiwa pasien tidak perlu dibuat terlebih dahulu (Pratiwi, 2011).

40
4. Jenis- jenis Sectio Caesaria
Tipe-tipe sectio caesaria menurut Machfoed (2017) adalah :
a. Tipe-tipe segmen bawah : insisi melintang
Insisi melintang segmen bawah uterus merupakan
prosedur pilihan abdomen dibuka dan disingkapkan, lipatan
vesika uterina peristoneum yang terlalu dekat sambungan
segmen atas dan bawah uterus di sayat melintang dilepaskan
dan segmen bawah serta ditarik atas tidak menutupi lapangan
pandangan.
b. Tipe-tipe segmen bawah : insisi membujur
Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus
sama seperti pada insisi melintang. Insisi membujur dibuat
dengan skapal dan dilebarkan dengan gunting tumpul untuk
menghindari cedera pada bayi.
c. Sectio caesaria klasik
Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan skapal
ke dalam dinding anterior uterus dan dilebarkan ke atas serta
ke bawah dengan gunting berujung tumpul
d. Sectio caesaria ekstra peritoneal
Pembedahan ektraperitonial dikerjakan untuk
menghindari perlunya histerektomi pada kasus-kasus yang
mengalami infeksi luas.

5. Komplikasi
Komplikasi sectio caesaria menurut Mochtar (2016) adalah :
a. Infeksi puerpeural (nifas)
1) Ringan, dengan kenaikan suhu beberapa hari saja
2) Sedang, dengan kertaikan suhu lebih tinggi, disertai
dehidrasi, perut sedikit kembung.
3) Berat, dengan peritonitis dan sepsis, hal ini sering
dijumpai pada partus terlantar, dimana sebelumnya
telah terjadi infeksi intrapartal karena ketuban yang

41
telah pecah terlalu lama, penanganannya adalah
pemberian cairan, elektrolit dan antibiotik yang ada
dan tepat.
b. Perdarahan, disebabkan karena:
1) Banyak pembuIuh darah terputus dan terbuka.
2) Atonia uteri
c. Luka kandung kemih
d. Kemungkinan ruptura uteri spontanea pada kehamilan
mendatang

42
IV. PEMBAHASAN

Pasien Ny. NF memiliki keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 5 hari
yang lalu, sebelumnya pasien memeriksakan kandungannya ke dokter spesialis
kandungan dan dinyatakan bahwa letak plasenta menutupi jalan lahir. Darah keluar
terus menerus namun tidak banyak, hanya seperti bercak darah. Darah berwarna
merah segar, dan tidak berbau amis. Darah keluar semakin banyak ketika aktivitas
berat. Tidak ada kegiatan yang mengurangi keluhan pasien. Pasien mengaku tidak
ada nyeri yang dirasakan baik sebelum atau setelah darah keluar dirasakan. Keluhan
nyeri saat berhubungan dan keluhan keputihan disangkal, buang air besar tidak ada
keluhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yeni (2017). Bila terdapat keluahan
seperti perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri
pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan merupakan ciri-
ciri dari plasenta previa.

Selain itu, pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan hasil Leopold I tidak
ditemukan bagian janin dengan tinggi fundus uteri 30 cm, Leopold II teraba bagian
kepala di sebelah kanan, Leopold III tidak teraba bagian janin, Leopold IV tidak
dilakukan. Hal ini sejalan dengan Sastrawinata (2015) menyatakan bahwa pada
Leopold I fundus uteri tidak ditemukan bagian janin (kosong), Leopold II teraba
balotemen kepala pada salah satu fosa iliaka dan bokong pada fosa iliaka yang lain.
Leopold III dan IV, bagian bawah rahim kosong.

43
V. DAFTAR PUSTAKA

Abduljabbar, H. S., et. al. 2016. A 13 years experience at a tertiary care center in
Western Saudi Arabia. Saudi Medical Journal. Vol 37(7): 762-766.
ACOG. 2013. Task Force on Hypertension in Pregnancy, American College of
Obstetricians and Gynecologist. Hypertension in Pregnancy. Washington.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Rineka
Cipta
Cunningham FG, Kenneth JL, Steven LB, John CH, Dwight JR, Catherine YS
(2013). Obstetri Williams volume 2. Edisi 23. Alih Bahasa : Brahm U Pendit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 861 – 863
D Robert, S Dalziel. 2016. Antenatal corticosteroids for accelerating fetal lung
maturation for women at risk of preterm birth (review). Cochrane database of
systematic review.
Datta, M. 2014. Rujukan Cepat Obstetri Dan Ginekologi. Jakarta: EGC.
Duley L. 2015. Evidence and practice: the magnesium sulphate story. Clinical
Obstetrics and Gynaecology. 19(1):57-74.
Ismael, S., Sastroasmoro, S. 2017. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi
Ke-3. Jakarta : Sagung Seto.
Journal of Obstetrics Gynecology Canada. 2014. Canadian Hypertensive Disorders
of Pregnancy Working Group, Diagnosis, Evaluation, and Management of the
Hypertensive Disorders of Pregnancy: Executive Summary. 36(5); 416-438.
Machfoed, I. 2017. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan Dan
Kebidanan. Yogyakarta : Fitramaya.
Manuaba, Ida Bagus Gede. 2017. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB.
Jakarta : EGC
Maryani, D., M. Elisa. 2018. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil Dengan Plasenta
Previa Totalis Di Ruang Melati Rumah Sakit Bhayangkara TK. III Kota
Bengkulu. Journal of Midwifery. Vol 6(2): 1-6
Mitayani, 2016. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika.
Mochtar, R. 2016. Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta : EGC.

44
Montan S. 2014. Drugs used in hypertensive diseases in pregnancy. Curr Opin Obstet
Gynecol. 6:111-5.
Morgan G, Hamilton C. 2009. Obstetri & Ginekologi : Panduan Praktik. Jakarta :
EGC.
Neilson J. 2007. Interventions for suspected placenta praevia. The Cochrane
Collaboration
OGCCU. 2009. Antepartum haemorrhage Section B Clinical Guidelines. King
Edward Memorial Hospital Perth Western Australia.
Oppenheimer, L., et al. 2008. Diagnosis and management of placenta previa. J Obstet
Gynaecol Can, 29(3): 261-266.
Pawa, A. A., M. Mewengkang., E. Suparman. 2017. Profil Persalinan dengan
Plasenta Previa di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 1 Januari
2015 – 31 Desember 2015. Jurnal e-Clinic. Vol 5(1): 22-27
Pratiwi, A. 2011. Buku Ajar Keperawatan Transkultural. Edisi Pertama, Yogyakarta
: Gosyen Publishing.
Prawirohardjo S. 2009 Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Prawirohardjo, Sarwono (2010). Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit PT.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Pribadi Adhi, Mose Johanes C, Anwar Anita D. 2015. Patogenesis Preeklampsia &
Manifestasi Gejala Klinis dalam Kehamilan Risiko Tinggi Perkembangan,
Implikasi & Kontroversi. Sagung Seto. 143-164.
Rasjidi, I. 2015. Manual Seksio Sesarea Dan Laparotomi Kelainan Adneksia. Jakarta
: Sagung Seto.
RCOG. The management of severe preeclampsia/eclampsia. 2016.
Reeder., Martin. 2015. Keperawatan Maternitas, Volume 2, Edisi 18, Maternity
Nursing Family Newborn And Women’s Health Care. Jakarta : EGC.
Rochjati, P (2010). Pelayanan kebidanan di Indonesia. Dalam: Prawirohardjo, S.
Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta : Penerbit PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, pp ; 28 – 30.
Rudra, A., et al. 2010 Management of obstetric hemmorrhage. Middle East J anesth.
Vol 20(4).

45
Sastrawinata, S. 2015. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC.
Tranquilli AL, Dekker G, Magee L, Roberts J, Sibai BM, Steyn W, Zeeman GG,
Brown MA. 2014. The classification, diagnosis and management of the
hypertensive disorders of pregnancy: a revised statement from the ISSHP.
Pregnancy Hypertension: An International Journal of Women;s
Cardiovascular Health 4(2):99-104.
Vedy, H. I., M. R. Ramadhian. 2017. Multigravida Hamil 40 Minggu dengan HAP
(Hemorrhage Antepartum) e.c Plasenta Previa Totalis. Journal Medula Unila.
Vol 7(2): 53-56.
Ward K & Taylor R.N, 2015, “Genetic Factor in Etiology of Preeclampsia and
Eclampsia”, in Chesley’s Hlpertensive Disorders in Pregnancy Chapter 4,
fourth edition, p: 65-75.
Weldimira, V. 2015. Wanita Usia 36 Tahun, Hamil 35 minggu dengan Plasenta
Previa dan Janin Letak Lintang. Jurnal Medula Unila. Vol 4(2): 164-170.
WHO. 2018. Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar Dan Rujukan.
Jakarta : Kemenkes.
Wiknjosastro, H. 2017. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Yeni, C. M., M. B. Z. Hutagalung., D. S. Eljatin., A. A. Basar. 2017. Plasenta Previa
Totalis Pada Primigravida: Sebuah Tinjauan Kasus. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala. Vol 17(1): 38-42.

46

Anda mungkin juga menyukai