Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN DEPRESI MENETAP (DISTIMIA)”

Penguji:
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ

Disusun oleh :
Nurullia Rahmawati G4A017075

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN DEPRESI MENETAP (DISTIMIA)”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepanitraan Klinik di Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Prof Margono Soekarjo

Oleh:
Nurullia Rahmawati G4A017075

Disetujui
Pada tanggal, Oktober 2019
Penguji

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ


NIP. 19570919 198312 2 001

2
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan suasana perasaan (mood/affek disorder) merupakan hal yang


umum dan lazim. Gangguan ini terbanyak ditemukan baik di pelayanan kesehatan
mental maupun dalam praktek dokter medis umum. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa, diperkirakan 9-26% wanita dan 5-
12% pria pernah mengalami depresi yang gawat didalam kehidupan mereka.
Gangguan suasana perasaan didefinisikan sebagai perubahan suasana perasaan
(mood) atau afek biasanya kearah depresi dengan atau tanpa ansietas yang
menyertainya atau ke arah elasi (suasana perasaan yang meningkat).
Adapun menurut Departemen Kesehatan RI dalam PPDGJ III, Gangguan
suasana perasaan (gangguan afektif atau mood) merupakan sekelompok gambaran
klinis yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kontrol emosi dan
pengendalian diri. Perubahan afek ini biasanya disertai dengan suatu perubahan
pada keseluruhan tingkat aktivitas kehidupan dan kebanyakan gejala lainnya adalah
sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah dipahami hubungannya dengan
perubahan tersebut.
Berdasarkan penelitian komunitas yang dilakukan di New Haven, Baltimore,
dan St. Louis pada tahun 1980 sampai 1982 didapatkan angka prevalensi enam
bulan terbanyak dengan nomor urut satu sampai empat pada usia 65 tahun ke atas
sebagai berikut : perempuan usia lanjut lebih banyak mengalami fobia, gangguan
kognitif berat, distimia, dan depresi berat tanpa berkabung, sedangkan pada laki-
laki usia lanjut lebih banyak mengalami gangguan kognitif berat, fobia,
penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol dan distimia. Perempuan usia 45-64
tahun lebih banyak mengalami fobia, distimia, depresi berat dan obsesif kompulsif,
sedangkan laki-laki berumur 45-64 tahun lebih banyak mengalami penyalahgunaan
atau ketergantungan alkohol, fobia, distimia, depresi berat (Myers dan kawan-
kawan 1984).

3
Distimia dikenal dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders edisi ketiga yang direvisi (DSM-III-R). Pada DSM-V, disebutkan istilah
distimia telah digabung bersama gangguan depresi mayor kronik menjadi,
gangguan depresi menetap.
Apabila kondisi ini terjadi pada anak atau remaja yang perlu diperhatikan
manifestasinya dapat dalam bentuk mudah marah. Hampir sepanjang hari pasien
selalu mengeluh keadaan mood terdepresi atau pada anak dan remaja mudah marah
ditemukan, dan keluhan ini sudah berlangsung selama sedikitnya 2 tahun.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gannguan suasana
perasaan antara lain faktor biologi termasuk didalamnya faktor genetik. Menurut
penelitian, anak dari pasien bipolar kemungkin 18 kali lebih besar terkena gangguan
suasana perasaan. Selain itu faktor biologis lainnya yang menjadi penyebab adalah
neurotransmitter, endokrin, ritme tidur, dan aktifitas otak. Faktor psikologis dan
faktor sosial juga dapat mempengaruhi angka kejadian terjadinya gangguan suasana
perasaan seseorang.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut DSM-V, distimia atau gangguan depresi menetap didefinisikan
sebagai kondisi penurunan mood yang berlangsung setidaknya dua tahun atau
pada anak dan remaja minimal satu tahun.
Pada PPDGJ-III, distimia diartikan sebagai afek depresif yang berlangsung
sangat lama yang tidak pernah atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi
kriteria depresi ringan atau sedang.
2.2 Epidemiologi
Distimia memiliki prevalensi 6 % dari keseluruhan gangguan depresi.
Morbiditi dan mortalitas tidak hanya ditandai dengan adanya kejadian bunuh
diri namun juga penyakit fisik yang berkomorbisitas dengan distimia (Ismail,
2010).
Cyranowski (2001) mengatakan angka kejadian distimia pada perempuan
dan laki-laki sebelum masa pubertas dan sesudah masa menopause adalah
sama. Namun memasuki masa dewasa, perempuan mempunyai angka kejadian
yang lebih besar dibandingkan laki-laki, dengan rasio 2:1. Pada orang usia
lanjut, Distimia lebih besar terjadi pada perempuan namun lebih
mempengaruhi kelanjutan hidup laki-laki (Ismail, 2010).
Distimia memiliki onset pada usia muda, yaitu pada masa kanak-kanak
dengan keluhan perasaan tidak bahagia yang tidak dapat dijelaskan, dan terus
berlanjut saat memasuki usia remaja dan menginjak usia 20 tahun. Pada onset
usia lanjut, distimia terjadi pada usia pertengahan dan usia lanjut (Ismail,
2010).
Distimia sering ditemukan pada orang yang tidak menikah dan orang muda
dan orang berpenghasilan rendah (Kaplan, 2010).
Menurut Freud, orang rentan terhadap depresi, tergantung secara oral dan
membutuhkan pemuasan narsistik yang terus menerus. Apabila individu tidak
mendapatkan cinta, kasih sayang yang bermakna, ia akan mengalami depresi.

5
Bila mereka kehilangan objek cintanya maka mekanisme pertahanan yang
digunakan adalah internalisasi atau introyeksi objek yang hilang (Ismail, 2010).
2.3 Faktor yang mempengaruhi
a. Faktor Biologis
Menurut Kaplan (2010), kondisi distimia dapat disebabkan oleh kondisi
ketidakseimbangan neurotransmiter. Dalam hal ini neurotransmiter yang
berperan adalah serotonin dan norepineprin.
Dalam DSM-V disebutkan bahwa gangguan depresi menetap dipengaruhi
faktor genetik namun masih belum ada kepastian mengenai penjelasan
teorinya. Beberapa bagian otak yang dapat mempengaruhi kondisi
gangguan depresi menetap adalah korteks prefrontal, amygdala dan
hipokampus.
b. Faktor Psikososial
Teori psikodinamik mengenai timbulnya Distimia menyatakan bahwa
gangguan ini berasal dari perkembangan ego dan kepribadian dan
puncaknya pada kesulitan dalam adaptasi pada masa remaja dan dewasa.
Karl Abraham contohnya, menduga bahwa konflik depresi berpusat pada
stadium oral dan anal. Ciri bawaan anal mencakup keteraturan yang
berlebihan, rasa bersalah, serta kepedulian terhadap orang lain; hal ini
dihipotesiskan sebagai perlawanan terhadap preokupasi akan hal-hal anal
dan disorganisasi, hostilitas, serta preokupasi diri. Mekanisme defensi
utama yang digunakan adalah reaction formation. Harga diri rendah,
anhedonia, serat introversi sering dikaitakan dengan ciri depresif (Kaplan,
2010).
Didalam “Mourning and Melancholia” Sigmund Freud menyatakan bahwa
kekecewaan intepersonal di masa awal dapat menyebabkan kerentanan
terhadap depresi, menyebabkan ambivalensi hubungan cinta sebagai orang
dewasa; kehilangan atau ancaman akan kehilangan pada kehidupan dewasa
kemudian menyebabkan depresi. Orang yang rentan terhadap depresi secara
oral bergantung dan membutuhkan kepuasan narsistik yang konstan. Ketika
kekurangan cinta, kasih sayang , dan perhatian, mereka menjadi depresi
secara klinis; ketika mereka mengalami kehilangan yang sesungguhnya,

6
mereka menginternalisasikan dan memproyeksikan objek yang hilang serta
mengubah kemarahannya terhadap hal itu terhadap diri sendiri (Kaplan,
2010).
c. Teori Kognitif
Teori Kognitif depresi juga berlaku untuk distimia. Teori ini berpegang pada
perbedaan antara kenyataan dan situasi khayalan mengakibatkan
berkurangnya harga diri dan rasa tidak berdaya. Keberhasilan terapi kognitif
di dalam terapi sejumlah pasien distimia dapat memberikan dukungan untuk
model teoritis (Kaplan, 2010).

2.4 Perjalanan Penyakit


a. Usia awitan
Distimia seringkali terjadi pada usia sebelum remaja, yang terus
berlanjut hingga memasuki usia 20-an, dengan gejala yang samar-samar.
Prevalensi distimia dengan late-onset sangat sedikit, yaitu dengan usia
awitan pada usia pertengahan dan usia lanjut. Setelah mengalami satu
dekade gejala biasanya pasien baru mencari bantuan. Dari penelitian
diketahui sekitar 20 persen dari mereka yang mengalami neurosis depresi
berkembang menjadi gangguan depresi berat (Ismail, 2010).
b. Penyesuaian sosial
Pasien dengan distimia biasanya memiliki fungsi sosial yang stabil.
Namun seringkali kestabilan itu terganggu, biasanya mereka meninggalkan
aktivitas sosial dan kegiatan yang biasanya menyenangkan dan
mengkompensasi dengan terus bekerja sehingga menimbulkan masalah
dalam perkawinan. Pasien dengan distimia seringkali mengorbankan
seluruh waktunya untuk pekerjaan sebagai bentuk kompesasi dan
mekanisme pertahanan. Mereka seringkali mengeluhkan perasaan kosong
dan tidak bahagia untuk kegiatan di luar pekerjaan (Ismail, 2010).
c. Perjalanan penyakit
Onset gangguan berlangsung perlahan dimulai sejak akhir masa
kanak atau awal masa remaja, mendahului perjalanan penyakit yang
tumpang tindih (superimposed) dengan gangguan depresi mayor. Pasien

7
dengan distimia sering mengeluh selalu merasa sedih sejak lahir atau
sepanjang waktu. (Ismail, 2010).

2.5 Kriteria Diagnosis


Kriteria Diagnostik untuk distimia menurut DSM-V, antara lain:
A. Mood depresi sepanjang hari, ebih banyak hari-hari dia mengalami mood
depresi dibandingkan tidak depresi, diperoleh dari penjelasan subjektif
atau pengamatan orang lain, sekurang-kurangnya 2 tahun.
Catatan: pada anak dan remaja mood-nya dalam bentuk mudah
tersinggung (irritabel) dan lamanya harus 1 tahun.
B. Saat mood terdepresi ditemukan dua atau lebih gejala berikut:
1) Nafsu makan yang menurun atau makan berlebih
2) Insomnia atau hiperinsomnia.
3) Energi menurun atau lelah
4) Harga diri yang menurun
5) Konsentrasi buruk atau sulit mengambil keputusan
6) Perasaan putus asa
C. Selama periode 2 tahun gangguan (1 tahun untuk anak-anak dan remaja),
mereka tidak pernah bebas gejala criteria A dan B selama lebih dari 2
bulan pada satu waktu.
D. Kriteria gangguan depresi mayor mungkin dapat muncul secara terus-
menerus selama 2 tahun.
E. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran atau episode
hipomanik, dan tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan
siklotimik.
F. Gangguan tidak terjadi bersamaan dengan gangguan psikotik kronis,
seperti skizofrenia atau gangguan waham.
G. Gejala bukan merupakan efek fisiologis langsung dari suatu zat (missal
obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis
umum (missal hipotiroidisme)
H. Gejala menyebabkan penderita bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.

8
Pada DSM-V, disebutkan bahwa pasien dengan gejala-gejala yang
memenuhi kriteria diagnosis gangguan depresi mayor selama 2 tahun dapat
didiagnosis sebagai gangguan depresi menetap (distimia). Pasien dengan
gangguan depresi menetap (distimia) merasakan perasaan sedih yang harus
ditandai dengan 2 dari 6 gejala pada kriteria B. Selain itu, berdasarkan onsetnya
DSM-V membagi gangguan depresi menetap menjadi dua yaitu early onset
(gangguan muncul sebelum usia 21 tahun) dan late onset (gangguan muncul
setelah 21 tahun).
Berdasarkan Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di
Indonesia III (PPDGJ-III):
F34.1 Distimia
Pedoman Diagnostik
 Ciri esensial ialah depresi suasana perasaan (mood) yang berlangsung
sangat lama yang tak pernah atau jarang sekali cukup parah untuk
memenuhi criteria gangguan depresif berulang ringan atau sedang ( F33.0
atau F33.1)
 Biasanya mulai dini dalam masa kehidupan dewasa dan berlangsung
sekurang-kurangnya beberapa tahun, kadang-kadang untuk jangka waktu
yang tidak terbatas. Jika onsetnya pada usia lebih lanjut, gangguan ini
sering kali merupakan kelanjutan suatu episode depresif tersendiri (F32)
dan berhubungan dengan masa berkabung atau stress nyata lainnya
(Maslim, 2001).

2.6 Diagnosis Banding


Menurut DSM-V, beberapa kondisi yang dapat menjadi diagnosis banding
dari gangguan depresi menetap, antara lain :
1) Gangguan depresi mayor
Pada gangguan depresi mayor, kondisi individu memenuhi kriteria
gangguan depresi mayor namun durasinya tidak mencapai 2 tahun.
Perbedaan yang mendasar dari gangguan depresi mayor dan menetap adalah
bergantung pada durasinya.

9
2) Gangguan Psikotik
Depresi sangat erat hubungannya dengan gangguan psikotik kronik.
Namun, gangguan depresi menetap (distimia) hanya dapat didiagnosis
apabila saat terjadi depresi tidak bersamaan dengan tanda gejala pada
gangguan psikotik (Skizoafektif, Skizofrenia residual, gangguan delusi).
3) Depresi atau bipolar karena dalam masa pengobatan medis
Diagnosis gangguan depresi menetap tidak dapat ditetapkan pada pasien
yang menjalani pengobatan karena suatu penyakit kronik meskipun pasien
tersebut terlihat gejala depresi. Untuk mengetahui kondisi depresi tersebut
muncul karena pengobatan atau tidak maka diperlukan data medis
sebelumnya, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

2.7 Penatalaksanaan
Penanganan distimia dapat berupa terapi farmakologi, perawatan di
rumah sakit dan dengan terapi non farmakologi. Kombinasi farmakoterapi dan
terapi kognitif maupun perilaku merupakan pengobatan yang paling efektif
untuk Distimia.
a) Farmakologi
Antidepresan dibutuhkan untuk mengatasi gangguan vegetatif yang
sering dialami oleh penderita distimia, seperti gangguan tidur, rasa lelah,
anhedonia dan rasa nyeri (Bherman, 2005). Respon pengobatan dengan
antidepresan sebesar 55 persen. Dari beberapa pelaporan diperoleh bahwa
SSRI, tricyclic antidepresant dan monoamine oksidase inhibitor sama
efektif, tetapi diantara obat tersebut SSRI yang dapat ditoleransi lebih baik.
Setelah pasien mengalami perbaikan gejala dengan menggunakan
antidepresan maka ia dapat menggunakan modalitas terapi lainnya dengan
lebih baik.
Penggunaan antidepresan harus memperhatikan efek samping yang
ditimbulkan karena obat digunakan dalam jangka panjang. Pasien usia
lanjut dan anak dengan riwayat gangguan perhatian dapat diberikan
psikostimulan seperti amfetamin dan metilfenidat. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pemilihan antidepresan adalah:

10
 Efek samping yang harus dihindari oleh individu tersebut.
 Individu memiliki riwayat penggunaan antidepresan sebelumnya.
 Apabila obat tersebut memiliki efektivitas yang baik bagi anggota
keluarga lainnya yang memiliki gejala yang sama.
Penggunaan antidepresan harus berhati-hati untuk pasien dengan
Distimia dengan komorbiditas gangguan kecemasan, karena dosis awal
yang terlalu tinggi atau peningkatan dosis yang terlalu cepat akan
memberikan efek samping yang akan mempengaruhi kepatuhan dalam
berobat (Ismail, 2010).
1) Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor adalah obat antidepresan
yang mekanisme kerjanya menghambat pengambilan serotonin yang
telah disekresikan dalam sinap (gap antar neuron), sehingga kadar
serotonin dalam otak meningkat. Peningkatan kadar serotonin dalam
sinap diyakini bermanfaat sebagai antidepresan (Prayitno, 2008). SSRI
memiliki efikasi yang setara dengan antidepresan trisiklik pada
penderita depresi mayor (Mann, 2005). Pada pasien depresi yang tidak
merespon antidepresan trisiklik (TCA) dapat diberikan SSRI (
MacGillvray et al., 2003). Untuk gangguan depresi mayor yang berat,
antidepresan trisiklik memiki efikasi yang lebih besar daripada SSRI,
namun untuk gangguan depresi bipolar SSRI lebih efektif dibandingkan
antidepresan trisiklik , hal ini dikarenakan antidepresan trisiklik dapat
memicu timbulnya mania dan hipomania ( Gijsman, 2004).
Obat antidepresan yang termasuk dalam golongan SSRI seperti
Citalopram, Escitalopram, Fluoxetine, Fluvoxamine, Paroxetine, dan
Sertraline (Teter et al.,2007). Fluoxetine merupakan antidepresan
golongan SSRI yang memiliki waktu paro yang lebih panjang
dibandingkan dengan anidepresan golongan SSRI yang lain, sehingga
fluoxetine dapat digunakan satu kali sehari (Mann, 2005). Efek
samping yang ditimbulkan Antidepresan SSRI yaitu gejala
gastrointestinal ( mual, muntah, dan diare), disfungsi sexsual pada pria

11
dan wanita, pusing, dan gangguan tidur. Efek samping ini hanya bersifat
sementara (Teter et al., 2007).
Antidepresan golongan SSRI yang seringkali diberikan adalah
fluoxetin dengan dosis awal 20 mg(untuk dewasa), sekali sehari pada
pagi hari. Dosis dapat ditingkatkan secara perlahan dalam beberapa
minggu sebesar 20 mg dengan dosis maksimal 80 mg perhari. Selain
fluoxetin, dapat diberikan sertralin dengan dosis awal 50 mg (untuk
dewasa) sekali sehari pada pagi hari, dan dosis dapat ditingkatkan
dalam beberapa minggu sebesar 50 mg, dengan dosis maksimal 200 mg
perhari. Antidepresan diberikan dengan waktu yang tidak terbatas,
namun dosis dapat diturunkan sesuai dengan evaluasi perbaikan gejala.
Namun obat tidak boleh diturunkan terlebih dahulu sampai 6 bulan
setelah gejala membaik (Kaplan, 2010).
2) Antidepresan Trisiklik (TCA)
Antidepresan trisiklik (TCA) merupakan antidepresan yang
mekanisme kerjanya menghambat pengambilan kembali amin biogenik
seperti norepinerin (NE), Serotonin ( 5 – HT) dan dopamin didalam
otak, karena menghambat ambilan kembali neurotransmitter yang tidak
selektif,sehingga menyebabkan efek samping yang besar ( Prayitno,
2008). Antidperesan trisiklik efektif dalam mengobati depresi tetapi
tidak lagi digunakan sebagai obat lini pertama, karena efek sampingnya
dan efek kardiotoksik pada pasien yang overdosis TCA (Unutzer,
2007). Efek samping yang sering ditimbulkan TCA yaitu efek
kolinergik seperti mulut kering, sembelit, penglihatan kabur, pusing,
takikardi, ingatan menurun, dan retensi urin. Obat – obat yang termasuk
golongan TCA antara lain Amitripilin, Clomipramine, Doxepin,
Imipramine, Desipiramine, Nortriptyline (Teter et al., 2007).
3) Serotonin/Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI)
Antidepresan golongan Serotonin/Norepinephrin Reuptake
Inhibitor (SNRI) mekanisme kerjanya mengeblok monoamin dengan
lebih selektif daripada antidepresan trisiklik, serta tidak menimbulkan
efek yang tidak ditimbulkan antidepresan trisiklik ( Mann, 2005).

12
Antidepresan golongan SNRI memiliki aksi ganda dan efikasi yang
lebih baik dibandingkan dengan SSRI dan TCA dalam mengatasi remisi
pada depresi parah ( Sthal, 2002).
Obat yang termasuk golongan SNRI yaitu Venlafaxine dan
Duloxetine. Efek samping yang biasa muncul pada obat Venlafaxine
yaitu mual, disfungsi sexual. Efek samping yang muncul dari
Duloxetine yaitu mual, mulut kering, konstipasi, dan insomnia (Teter et
al., 2007).
4) Mono Amin Oxidase Inhibitor ( MAOI )
Mono Amin Oxidase Inhibitor adalah suatu enzim komplek yang
terdistribusi didalam tubuh, yang digunakan dalam dekomposisi amin
biogenik (norepinefrin, epinefrin, dopamin, dan serotonin) (Depkes,
2007).
MAOI bekerja memetabolisme NE dan serotonin untuk mengakhiri
kerjanya dan supaya mudah disekresikan. Dengan dihambatnya MAO,
akan terjadi peningkatan kadar NE dan serotonin di sinap, sehingga
akan terjadi perangsangan SSP (Prayitno, 2008).MAOI memiliki
efikasi yang mirip dengan antidepresan trisiklik. MAOI juga dipakai
untuk pasien yang tidak merespon terhadap antidepresan trisiklik
(Benkert, 2002). Enzim pada MAOI memiliki dua tipe yaitu MAO – A
dan MAO – B. Kedua obat hanya akan digunakan apabila obat – obat
antidepresan yang lain sudah tidak bisa mengobati depresi ( tidak
manjur ). Moclobomida merupakan suatu obat baru yang menginhibisi
MAO – A secara ireversibel, tetapi apabila pada keadaan overdosis
selektivitasnya akan hilang. Selegin secara selektif memblokir MAO –
B dan dapat digunakan sebagai antidepresan pada dosis yang tinggi dan
beresiko efek samping. MAO – B sekarang sudah tidak digunakan lagi
sebagai antidepresan ( Tjay & Rahardja, 2007 ). Obat – obat yang
tergolong dalam MAOI yaitu Phenelzine, Tranylcypromine, dan
Selegiline. Efek samping yang sering muncul yaitu postural hipotensi (
efek samping tersebut lebih sering muncul pada pengguna phenelzine

13
dan Tranylcypromine ), penambahan berat badan, gangguan sexual
(penurunan libido, anorgasmia) ( Teter et al., 2007).
b) Perawatan di rumah sakit
Perawatan di rumah sakit biasanya tidak diindikasikan untuk pasien
Distimia. Namun, dapat menjadi indikasi saat muncul gejala yang parah,
inkapasitas sosial atau profesional yang nyata yang membutuhkan prosedur
diagnostik yang luas dan gagasan bunuh diri (Kaplan, 2010).
c) Non Farmakologi
1) Terapi Kognitif
Terapi Kognitif adalah suatu teknik dimana pasien diajarkan cara
berpikir dan berkelakukan yang baru untuk manggantikan sikap negatif
yang salah terhadap dirinya sendiri, dunia dan masa depan. Terapi ini
merupakan program terapi jangka pendek yang diarahkan pada masalah
saat ini dan pemecahannya (Behrman, 2005).
2) Terapi perilaku
Terapi perilaku untuk gangguan depresif didasarkan pada teori bahwa
depresi disebabkan oleh hilangnya pendorong positif sebagai akibat
perpisahan, kematian, atau perubahan lingkungan yang tiba-tiba.
Berbagai metode pengobatan berpusat pada tujuan spesifik untuk
meningkatkan aktivitas, untuk mendapatkan pengalaman
menyenangkan dan untuk mengajarkan pasien bagaimana cara
bersantai. Mengganti perilaku pribadi pasien terdepresi dipercaya
merupakan cara paling efektif untuk mengubah pikiran dan perasaan
depresi yang menyertai. Terapi ini seringkali digunakan untuk
mengobati keputusasaan yang dipelajari pada beberapa pasien yang
tampaknya menghadapi setiap tantangan kehidupan dengan rasa
ketidakmampuan (Behrman, 2005).
3) Psikoterapi berorientasi tilikan (Psikoanalitik)
Pendekatan psikoterapeutik berusaha untuk menghubungkan
perkembangan dan pemeliharaan gejala depresif dan ciri kepribadian
maladaptif dengan konflik yang tidak terpecahkan pada masa anak-
anak awal. Tilikan ke dalam ekivalen depresi (seperti penyalahgunaan

14
zat) atau ke dalam kekecewaan masa anak-anak sebagai pendahulu
terhadap depresi dewasa dapat digali melalui terapi. Hubungan
sekarang yang ambivalen dengan orang tua, teman, dan orang lain di
dalam kehidupan pasien sekarng ini diperiksa. Distimia melibatkan
suatu keadaan depresi kronis yang menjadi cara hidup orang tertentu.
Mereka secara sadar mengalami dirinya sendiri berada di dalam belas
kasihan dari objek internal yang menyengsarakan yang tidak henti-
hentinya menyiksa mereka (Kaplan, 2010).
4) Terapi interpersonal
Di dalam terapi interpersonal untuk Distimia, pengalaman interpersonal
pasien sekarang ini dan cara mereka mengatasi stres dinilai untuk
menurunkan gejala depresif dan menigkatkan harga diri. Terapi
interpersonal terdiri kira-kira 12-16 sesi mingguan dan dapat
dikombinasi dengan medikasi antidepresan (Kaplan, 2010).
5) Terapi Keluarga dan Kelompok
Terapi keluarga dapat membantu pasien dan keluarganya untuk
menghadapi gejala gangguan, khususnya jika sindrom subafektif yang
didasarkan secara biologis tampaknya akan timbul. Terapi kelompok
dapat membantu pasien yang menarik diri untuk mempelajari cara baru
mengatasi masalah interpersonalnya di dalam situasi sosial (Kaplan,
2010; Behrman, 2005).

2.8 Prognosis
Prognosis distimia adalah bervariasi. Prediksi kedepan tentang
prognosis distimia dengan adanya tatalaksana obat antidepresan yang baru
seperti fluoxetine, bupropion dan terapi kognitif dan perilaku akan
memperlihatkan hasil yang baik pada prognosis distimia. Data yang lama
menunjukan antara 10-15 persen pasien distimia dalam kondisi remisi setelah
didiagnosis. Sekitar 25 persen dari distimia tidak mencapai pemulihan lengkap.
Edukasi yang baik terhadap pasien dan keluarga dapat meningkatkan prognosis
yang baik. Keluarga dikenalkan pada gangguan yang dialami pasien dan gejala

15
awal bila pasien mengalami kekambuhan serta gejala yang dapat
membahayakan diri sendiri dan orang lain (Ismail, 2010).

16
BAB III
KESIMPULAN

Distimia adalah gangguan mood depresi yang telah berlangsung sekurang-


kurangnya 2 tahun pada dewasa dan 1 tahun pada anak-anak dan remaja.
Gejala pada distimia dapat disertai dengan gejala lain, seperti nafsu makan
yang menurun atau makan berlebih, insomnia atau hiperinsomnia, energi menurun
atau lelah, harga diri yang menurun, konsentrasi buruk atau sulit menngambil
keputusan dan perasaan putus asa.
Penanganan distimia dapat berupa terapi farmakologi, perawatan di rumah
sakit dan dengan terapi non farmakologi. Kombinasi farmakoterapi dan terapi
kognitif maupun perilaku merupakan pengobatan yang paling efektif untuk
Distimia. Pilihan golongan obat untuk distimia antara lain, SSRI, Trisiklik, SNRI
dan MAOI. Penggunaan obat pada pasien dengan distimia harus
mempertimbangkan efek samping.
Prognosis dari distimia bervariasi. Pemberian obat antidepresan dikatakan
dapat membuat prognosis lebih baik. Meskipun ada penelitian yang mengatakan
bahwa Distimia ini bersifat menetap dan tidak dapat mencapai pemulihan lengkap,
namun terapi kognitif dan dukungan dari lingkungan sekitar dapat meminimalisir
kekambuhan distimia.

17
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association (APA). 2013. Diagnostic Criteria from


DSM-5. 1st ed. Washington: American Psychiatric Association.
Axelson, D., Goldstein, B., Goldstein, T., Monk, K., Yu, H., Hickey, M.B.,
Sakolsky, D., Diler, R., Hafeman, D., Merranko, J., Iyengar, S., Brent,
D., Kupfer, D., Birmaher, B., 2015. Diagnostic precursors to bipolar
disorder in offspring of parents with bipolar disorder: a longitudinal
study. appiajp201414010035. Am. J. Psychiatry (Epub ahead of print).
Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson: Distimia. Edisi 15.
Jakarta: EGC; 2005.h.107.
Birmaher, B., Gill, M.K., Axelson, D.A., Goldstein, B.I., Goldstein, T.R., Yu,
H., Liao, F., Iyengar, S., Diler, R.S., Strober, M., Hower, H., Yen, S.,
Hunt, J., Merranko, J.A., Ryan, N.D., Keller, M.B., 2014. Longitudinal
trajectories and associated baseline predictors in youths with bipolar
spectrum disorders. Am. J. Psychiatry 171, 990–999.
Francis-Raniere, E.L., Alloy, L.B., & Abramson, L.Y. 2006. Depressive
personality styles and bipolar spectrum disorders: Prospective tests of the
event congruency hypothesis. Bipolar Disorders, 8, 382–399.
Ismail R.Irawati, Siste Kristina. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta; Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2010. h. 223-9.
Kaplan Harold IMD, Sadock Benjamin JMD, Grebb Jack AMD. Jilid I.
Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jakarta;
Penerbit Binarupa Aksara: 2010. h. 855-60.
Kaplan, I. H., Sadock, J. B., 2015. Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 11th ed. Siklotimia. Lippincott Williams &
Wilkins.
Landaas, E.T., Halmoy, A., Oedegaard, K.J., Fasmer, O.B., Haavik, J., 2012.
The impact of cyclothymic temperament in adult ADHD. J. Affect.
Disord. 142, 241–247.

18
Maslim, Rusdi. 2013. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III
dan DSM-5. Jakarta : PT Nuh Jaya.
Maslim, Rusdi. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.
Jakarta: PT Nuh Jaya.
Maslim, Rusdi. Diagnosis gangguan jiwa: rujukan ringkas PPDGJ-III. Cetakan
1. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2001. h.
68.
Sebastian, A., Jung, P., Krause-Utz, A., Lieb, K., Schmahl, C., Tuscher, O.,
2014. Frontal dysfunctions of impulse control – a systematic review in
borderline personality disorder and attention-deficit/hyperactivity
disorder. Front. Hum. Neurosci. 8, 698.
Stone, M.H., 2014. The spectrum of borderline personality disorder: a
neurophysiological view. Curr. Top. Behav. Neurosci. 21, 23–46.
Tomb David M.D. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta; Penerbit Buku
Kedokteran EGC: 2004. h. 52.

19

Anda mungkin juga menyukai