Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN PANIK”

Penguji:
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ

Disusun oleh :
Lambang Ksatriya Bregas G4A017081

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN PANIK”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepanitraan Klinik di Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Prof Margono Soekarjo

Oleh:
Lambang Ksatriya Bregas G4A017081

Disetujui
Pada tanggal, Mei 2019
Penguji

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ

2
I. PENDAHULUAN

Karena gangguan panik dimasukkan sebagai diagnosis di tahun 1980


dalam Diagnostic and Statistical Manual Mental Disorder edisi ketiga (DSM-
III), banyak data penelitian tentang gangguan dan pengalaman klinis dengan
pasien yang terkena telah dikumpulkan. Kemampuan petugas pelayanan
kesehatan untuk menangani gejala gangguan panik telah meningkat sejak tahun
1980, dan yang paling penting, terapi yang efektif dan spesifik telah
dikembangkan dan telah terbukti efektif. Semua petugas pelayanan kesehatan
harus mampu menangani gangguan gejala panik, sehingga pasien yang
menderitanya dapat memperoleh terapi yang sesuai, termasuk obat
farmakoterapi dan psikoterapi (Shelton, 2008).
Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak
diduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut intens yang hati-hati
dan bervariasi dari sejumlah serangan sepanjang hari samapi hanya sedikit
serangan selama satu tahun. yang disertai oleh gejala somatik tertentu seperti
palpitasi dan takipnea karena pasien dengan serangan panik sering kali datang
ke klinik medis, gejala mungkin keliru didiagnosis sebagai suatu kondisi medis
yang serius (sebagai contohnya, infark miokardium) atau suatu yang
dinamakan gejala histerikal. Gangguan panik sering kali disertai dengan
agorafobia, yaitu ketakutan berada sendirian di tempat-tempat publik (sebagai
contoh supermarket), khususnya tempat darimana pintu keluar yang cepat akan
sulit jika orang mengalami serangan panik. Agorafobia mungkin merupakan
fobia yang paling menganggu, karena terjadinya agorafobia dapat mengganggu
secara bermakna kemapuan seseorang untuk berfungsi di dalam situasi kerja
dan sosial didalam rumah (Katon, 2008).
Di Amerika Serikat, sebagian besar peneliti bagian gangguan panik
percaya bahwa agorafobia hampir selalu berkembang sebagai suatu komplikasi
pada pasien yang memiliki gangguan panik. Dengan kata lain agorafobia
dihipotesiskan disebabkan oleh pekembangan ketakutan bahwa orang tersebut
akan mengalami serangan panik di tempat publik dari mana jalan keluar
3
mungkin sulit. Peneliti di negara lain dan juga beberapa peneliti klinisi Amerika
Serikat, tidak menerima teori tersebut. Tetapi, DSM edisi ke empat (DSM IV)
memasukkan gangguan panik didalam gangguan yang predominan di dalamnya
dan memiliki diagnosis untuk gangguan panik dengan agorafobia dan gangguan
panik tanpa agorafobia. DSM –IV juga mengandung kriteria diagnostik untuk
agorafobia tanpa riwayat ganguan panik. Serangan panik sendiri dapat terjadi
serangan panik tidak sendirinya mengarahkan diagnosis gangguan panik (Han,
2009).

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gangguan Panik adalah satu perasaan serangan cemas mendadak dan terus
menerus disertai perasaan akan datangnya bahaya/bencana, ditandai dengan
adanya serangan panik yang tidak diduga dan spontan yang terdiri atas periode
rasa takut intens yang hati-hati dan bervariasi dari sejumlah serangan sepanjang
hari sampai hanya sedikit serangan selama satu tahun. Gangguan Panik disebut
juga Anxietas Paroksismal Episodik (Yaunin, 2012; Sadock, 2007).
Gangguan panik disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan
takipnea karena pasien dengan serangan panik sering kali datang ke klinik medis,
gejala mungkin keliru didiagnosis sebagai suatu kondisi medis yang serius
(sebagai contohnya, infark miokardium) atau suatu yang dinamakan gejala
histerikal. Gangguan panik sering kali disertai dengan agorafobia, yaitu
ketakutan benda, sendirian di tempat-tempat publik (sebagai contoh
supermarket), khususnya tempat darimana pintu keluar yang cepat akan sulit
jika orang mengalami serangan panik. Agorafobia mungkin merupakan fobia
yang paling menganggu, karena terjadinya agorafobia dapat mengganggu secara
bermakna kemampuan seseorang untuk berfungsi di dalam situasi kerja dan
sosial didalam rumah (Sadock, 2007)
Deskripsi gangguan panik pertama kali dikemukakan oleh freud dalam
kasus agorafobia. Sedangkan serangan panik merupakan kekuatan akan
timbulnya serangan serta diyakini akan terjadi. Individu yang mengalami
serangan panik berusaha untuk melarikan diri dari keadaan yang tidak pernah di
prediksi.

B. Epidemiologi
Penelitian epidemiologi telah melaporkan prevalensi seumur hidup untuk
gangguan panik adalah 1,5-5 % dan untuk serangan panik adalah 3 – 5.6 %.
Sebagai contohnya, satu penelitian terakhir pada lebih dari 1.600 orang dewasa
yang dipilih secara acak di Texas menemukan bahwa angka prevalensi seumur

5
hidup adalah 3,8 % untuk gangguan panik, 5,6 % untuk serangan panik, dan 2,2
% untuk serangan panik dengan gejala yang terbatas yang tidak memenuhi
kriteria diagnostik lengkap (Shelton, 2008).
Jenis Kelamin wanita 2-3 kali lebih sering terkena dari pada laki-laki,
walaupun kurangnya diagnosis gangguan panik pada laki-laki mungkin berperan
dalam distribusi yang tidak sama tersebut. Perbedaan antara kelompok Hispanik,
kulit putih non-Hispanik, dan kulit hitam adalah sangat kecil. Faktor sosial satu-
satunya yang dikenali berperan dalam perkembangan gangguan panik adalah
riwayat perceraian atau perpisahan yang belum lama. Gangguan paling sering
berkembang pada dewasa muda - usia rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25
tahun, tetapi baik gangguan panik maupun agorafobia dapat berkembang pada
setiap usia. Sebagai contohnya. gangguan panik telah dilaporkan terjadi pada
anak-anak dan remaja. dan kemungkinanan kurang diagnosis pada mereka
(Sadock, 2007).

C. Etiologi
1. Faktor Biologis
Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah
menghasilkan berbagai temuan; satu interpretasi adalah bahwa gejala
gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam
struktur otak dan fungsi otak. penelitian tersebut dan penelitian lainnya telah
menghasilkan hipotesis yang melibatkan disregulasi system saraf perifer
dan pusat di dalam patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf otonomik
pada beberapa pasien gangguan panik telah dilaporkan menunjukkan
peningkatan tonus simpatik, beradaptasi secara lambat terhadap stimuli
yang berulang, dan berespon secara berlebihan terhadap stimuli yang
sedang.
Sistem neurotransmiter utama yang terlibat adalah norepinefrin,
serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Disfungsi serotonergik
cukup terlihat pada gangguan panik dan berbagai studi dengan obat
campuran agonis-antagonis serotonin menujukkan peningkatan angka
ansietas. Respon tersebut dapat disebabkan oleh hipersensitivitas serotonin
6
pascasinaps pada gangguan panik. Terdapat bukti praklinis bahwa
melemahnya transmisi inhibisi lokal GABAnergik di amigdala basolateral,
otak tengah, dan hipotalamus dapat mencetuskan respons fisiologis mirip
ansietas.
2. Zat Pencetus Panik
Zat-zat yang bisa menginduksi terjadinya “Serangan Panik” (Panikogen)
antara lain :
 Carbon Dioksida (5 s/d 35%)
 Sodium Laktat dan Bicarbonat
 Bahan Neurokimiawi yang bekerja melalui sistem Neu-rotransmitter
spesifik (yohimbin, α2-adrenergik receptor antagonist,
mchlorophenylpiperazine/mCP, bahan yang berefek sero-tonergik)
 Cholecystokinin dan caffein
 Isoproterenol.
Zat-zat yang menginduksi serangan panik tersebut diperkirakan
bereaksi mulanya pada baroreseptor kardiovaskuler di perifer dan sinyal ke
sistem vagal-afferent terus ke nucleus tractus solitarii diteruskan ke nucleus
paragigantoselularis di medulla. Terjadinya hiperventilasi pada pasien
gangguan panik mungkin disebabkan hipersensitif akan kekurangan
oksigen karena peningkatan tekanan CO2 dan konsentrasi laktat dalam otak
yang selanjutnya akan mengaktifkan monitor asfiksia secara fisiologis.
Bahan Neurokimiawi yang menginduksi panik diduga mempengaruhi
sistem noradrenergik, serotonergik dan reseptor GABA dalam susunan
syaraf pusat secara langsung (Yaunin, 2012).
3. Faktor Genetika
Bahwa gangguan ini memiliki komponen genetika yang jelas.
Angka prevalensi tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita
gangguan panik. Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan
resiko gangguan panik sebesar 4-8 kali lipat pada sanak saudara derajat
pertama pasien dengan gangguan panik dibandingkan dengan sanak saudara
derajat pertama dari pasien dengan gangguan psikiatrik lainnya. Demikian
juga pada kembar monozigot.
7
4. Faktor Psikososial
Baik teori kognitif perilaku dan psikoanalitik telah dikembangkan
untuk menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agoraphobia. Teori
kognitif perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang
dipelajari baik dari perilaku modeling orang tua atau melalui proses
pembiasan klasik.
a. Teori Kognitif
Teori perilaku mengatakan bahwa anxietas adalah respon yang
dipelajari baik dari menirukan perilaku orang tua maupun melalui proses
pembelajaran klasik. Dalam metode pembelajaran klasik pada gangguan
panik dan agarofobia, stimulus berbaaya (seperti serangan panik) yang
timbul bersama stimulus netral (seperti naik bus) dapat mengakibatkan
penghindaran stimulus netral. Teori perilaku lain menyatakan hubungan
antara sensasi gejala somatim ringan (seperti palpitasi) dan timbulnya
serangan panik. Teori ini tidak menerangkan timbulnya serangan panik
pertama yang tidak dicetuskan dan tidak disangka yang dialami pasien
(Sadock, 2007).
b. Teori psikoanalitik
Teori ini memandang serangan panik sebagai akibat dari pertahanan
yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan kecemasan.
Apa yang sebelumnya merupakan suatu sinyal kecemasan ringan menjadi
suatu perasaan ketakutan yang melanda, lengkap dengan gejala somatik.

D. Manifestasi Klinis
Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan
relative singkat dan disertai gejala somatik. Suatu serangan panik secara tiba-
tiba akan menyebabkan minimal 4 dari gejala-gejala somatik berikut:
1. Palpitasi, berdebar, takikardi
2. Berkeringat
3. Perasaan tercekik
4. Sesak napas
5. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman
8
6. Gemetar
7. Pusing, kepala terasa ringan
8. Rasa dingin atau panas yang menjaar
9. Mual atau nyeri perut
Serangan panik pertama seringkali sama sekali spontan, walaupun
serangan panik kadang-kadang terjadi setelah luapan kegembiraan, kelelahan
fisik, aktivitas seksual, atau trauma emosional sedang. DSM-IV menekankan
bahwa sekurangnya serangan pertama harus diperkirakan (tidak memiliki
tanda) untuk memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan panik. Aktivitas
tersebut dapat termasuk penggunaan kafein, alkohol, nikotin, atau zat lain,
pola tidur atau makan yang tidak biasanya dan keadaan lingkungan spesifik,
seperti pencahayaan kuat di tempat kerja.
Serangan sering dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan
cepat selama 10 menit. Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat dan
suatu perasaan ancaman kematian dan kiamat. Pasien biasanya tidak mampu
untuk menyebutkan sumber ketakutannya. Pasien mungkin merasa
kebingungan dan mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian. Tanda
fisik adalah takikardia, palpitasi, sesak nafas, dan berkeringat. Pasien sering
mencoba pergi walau dalam situasi apapun untuk mencari pertolongan.
Serangan biasanya bertahan 20-30 menit dan jarang lebih dari 1 jam.
Pemeriksaan status mental formal selama serangan panik dapat
mengungkapkan adanya perenungan, kesulitan bicara (gagap) dan gangguan
memori. Pasien dapat mengalami deresi atau depersonalisasi selama serangan.
Gejala dapat hilang segera atau bertahap.
Kekhawatiran somatik akan kematian akibat masalah jantung atau
pernapasan (palpitasi dan nyeri dada) dapat menjadi fokus utama perhatian
pasien selama serangan panik. Sebanyak 20 persen pasien mengalami episode
sinkop. Hiperventilasi dapat menimbulkan alkalosis respiratorik da gejala lain.
Gejala depresif seringkali ditemukan pada serangan panik dan
agoraphobia, dan pada beberapa pasien suatu gangguan depresif ditemukan
bersama-sama dengan gangguan panik. Penelitian telah menemukan bahwa

9
resiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan gangguan panik adalah
lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa gangguan mental (Sadock, 2007).

E. Kriteria Diagnosis
Di dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed
4), serangan panik disusun sebagai kriteria berikut (Tabel 2.1)
Tabel 2.1 Kriteria DSM-IV untuk serangan panik
Suatu periode diskret rasa takut atau ketidaknyamanan yang intens, dengan
tiba-tiba timbul 4 atau lebih gejala berikut dan mencapai puncaknya dalam
10 menit
(1) Palpitasi atau berdebar atau denyut jantung meningkat
(2) Berkeringat
(3) Gemetar
(4) Rasa napas pendek atau tercekik
(5) Rasa tersedak
(6) Nyeri atau tidak nyaman di dada
(7) Mual atau gangguan abdomen
(8) Pusing, tidak stabil, kepala terasa rigan atau pingsan
(9) Derealisasi (rasa tidak nyata)atau depersonalisasi (lepas dari diri
sendiri)
(10) Rasa takut hilang kendali atau menjadi gila
(11) Rasa takut mati
(12) Parestesi (kebas atau kesemutan)
(13) Menggigil atau rona merah di wajah

Serangan panik dapat terjadi pada gangguan jiwa selain gangguan panik,
terutama fobia spesifik, fobia sosial dan gangguan stres pascatrauma.
Serangan panik yag tidak diduga dapat terjadi kapan pun dan tidak disertai
stimulus situasi yang dapat diidentifikasi, tetapi serangan panik tidak selalu
tidak terduga. Serangan pada pasien fobia spesifik dan sosial biasanya
diperkirakan atau diisyaratkan terjadi jika ada stimulus spesifik atau dikenali.
Beberapa serangan panik tidak mudah dibedakan ke dalam diduga atau tidak
10
diduga, dan serangan ini disebut serangan panik dengan predisposisi
situasional. Serangan ini dapat atau dapat tidak terjadi ketika pasien terpajan
pemicu khusus atau terjadi segera setelah pajanan atau setelah beberapa saat.
Kriteria diagnosis gangguan panik menurut DSM V, yaitu :
 Serangan panik rekuren. Suatu periode diskret rasa takut atau
ketidaknyamanan yang intens, dengan tiba-tiba timbul 4 atau lebih gejala
berikut
1. Palpitasi atau berdebar atau denyut jantung meningkat
2. Berkeringat
3. Gemetar
4. Rasa napas pendek atau tercekik
5. Rasa tersedak
6. Nyeri atau tidak nyaman di dada
7. Mual atau gangguan abdomen
8. Pusing, tidak stabil, kepala terasa rigan atau pingsan
9. Derealisasi (rasa tidak nyata)atau depersonalisasi (lepas dari diri
sendiri)
10. Rasa takut hilang kendali atau menjadi gila
11. Rasa takut mati
12. Parestesi (kebas atau kesemutan)
13. Menggigil atau rona merah di wajah
 Sekurangnya mengalami satu serangan selama 1 bulan (atau lebih) diikuti
satu dari berikut :
1. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan atau
konsekuensi serangan contohnya hilang kontrol, serangan jantung,
menjadi gila)
2. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan
 Serangan tidak disebabkan efek fisiologi langsung zat (penyalahgunaan
obat/pengobatan) atau kondisi lain (hipertiroid, ggn cardiopulmo)
 Serangan panik tidak disebabkan gangguan jiwa lain seperti fobia sosial,
fobia spesifik, gangguan obsesi kompulsif, gangguan stres pasca trauma
atau gangguan anxietas perpisahan
11
Menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostik gangguan panik yaitu (Maslim,
2013):
 Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak
ditemukan adanya gangguan anxietas fobik.
 Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan
anxietas berat dalam masa kira-kira satu bulan :
1. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada
bahaya.
2. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situation)
3. Dengan keadaan yang relatif dari gejala-gejala anxietas pada periode
diantara serangan-serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat
terjadi juga “anxietas antisipatorik” yaitu anxietas yang terjadi setelah
membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi

F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan panik adalah
sejumlah gangguan medis dan juga gangguan mental. Untuk gangguan medis
misalnya sebagai berikut :
1. Penyakit kardiovaskuler, seperti infark miokard, angina, gagal jantung
kongestif, hipertensi.
2. Penyakit paru, seperti asma, hiperventilasi, embolus paru
3. Penyakit neurologis, seperti penyakit serebrovaskuler, epilepsi, migran,
dll.
4. Penyakit endokrin, seperti penyakt addison, cushing, hipertiroid,
hipoglikemi, dan feokromositoma, diabetes, gangguan menopause, dll.
5. Intoksikasi obat, amfetamin, kokain, antikolinergik, mariyuana, nikotin,
teofilin, antikolinergik
6. Gejala putus obat karena alkohol, antihipertensif, opiat dan opioid, serta
sedatif-hipnotik
7. Keadaan lain seperti anafilaksis, infeksi sistemik. LSE, gangguan
elektrolit, dll.
12
Untuk menapiskan gangguan medis diperluka anamnesis lengkap,
pemeriksaan fisik, dan prosedur pemeriksaan penunjang yang sesuai.
Sedangkan diagnosis banding psikiatri untuk gangguan panik adalah
malingering, gangguan buatan, hipokondriasis, fobia sosial dan spesifik,
gangguan stress pasca traumatik, dan gangguan depresi, serta skizofrenia.
Klinisi harus menentukan apakah serangan panik dapat diduga terikat situasi
atau memiliki predisposisi situasi. Serangan panik yang tidak terduga salah
satu tanda khas gangguan panik. Jika terikat situasi menunjukan kondisi fobia
sosial (ditandai penghindaran situasi umum) atau spesifik, atau gangguan
depresif (ketika dipenuhi anxietas)
.
G. Tatalaksana
Respon yang lebih baik terhadap pengobatan akan terjadi jika penderita
memahami bahwa penyakit panik melibatkan proses biologis dan psikis. Obat-
obatan dan terapi perilaku biasanya bisa mengendalikan gejala-gejalanya.
Selain itu, Psikoterapi bisa membantu menyelesaikan berbagai pertentangan
psikis yang mungkin melatarbelakangi perasaan dan perilaku cemas.
1. Farmakoterapi
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan panik adalah obat

anti-depresi dan anti-cemas :

Golongan Trisiklik ( Misalnya clomipramine dan imipramin)

Monoamin Oxidase Inhibitors ( Misalnya fenelzin)

Beberapa penelitian menyatakan MAOI lebih efektif dibandingkan obat

trisiklik.

Selective Seratonin Reuptake Inhibitors/SSRIs ( Misalnya fluoksetin)

Obat ini digunakan terutama pada pasien gangguan panic yang disertai

dengan depresi.mSSRIs lebih disukai karena efek sampingnya lebih sedikit

dan tidak terlalu menyebabkan ketergantungan fisik.

13
Benzodiazepin

Benzodiazepin bekerja lebih cepat daripada anti-depresi, tetapi bisa


menyebabkan ketergantungan fisik dan menimbulkan beberapa efek
samping (Misalnya rasa mengantuk. gangguan koordinasi dan perlambatan
waktu reaksi).
Terapi farmakologis diteruskan selama 8-12 bulan karena gangguan
panik merupakan keadaan kronis, mungkin seumur hidup dan kambuh jika
terapi dihentikan. Studi melaporkan 30-90 persen pasien gangguan panik
yang megalami keberhasilan terapi, mengalami kekambuhan kektika
obatnya dihentikan.
Jika pasien gagal memberika respon terapi terhadap salah satu obat,
golongan obat lain harus dicoba. Data terkini menyokong efektivitas
nefazodon dan venlafaksin. Kombinasi SSRI da lithium atau obat tetrasiklik
dapat dicoba. Beberapa ada laporan mengenai efektivitas karbamazepin,
valproat dan inhibitor saluran kalsium. Klinisi harus mengkaji ulang pasien
untuk menentukan adanya komoribid seperti depresi, penggunaan alkohol
atau zat.
2. Terapi Kognitif dan Perilaku

Terapi kognitif dan perilaku adalah terapi yang efektif untuk


gangguan panik. Dua pusat utama terapi kognitif untuk gangguan panik
adalah instruksi tentang kepercayaan salah dari pasien dan informasi tentang
serangan panik. Instruksi tentang kepercayaan yang salah berpusat pada
kecenderungan pasien untuk keliru menginterpretasikan sensasi tubuh yang
ringan sebagai tanda untuk ancaman serangan panic, kiamat atau kematian.
Informasi tentang serangan panik adalah termasuk penjelasan bahwa
serangan panik jika terjadi tidak mengancam kehidupan dan terbatas waktu
(Sadock, 2007).
H. Prognosis
Gangguan panik biasanya memiliki onsetnya selama masa remaja akhir atau
masa dewasa awal, walaupun onset selama masa anak-anak, remaja awal, dan
usia pertengahan dapat terjadi. Biasanya kronik dan bervariasi tiap individu.
14
Frekuensi dan kepasrahan serangan panic mungkin berfluktuasi. Serangan
panik dapat terjadi beberapa kali sehari atau kurang dari satu kali dalam
sebulan. Penelitian follow up jangka panjang gangguan panik sulit
diinterpretasikan. Namun demikian kira-kira 30-40% pasien tampaknya bebas
dari gejala follow up jangka panjang, kira-kira 50% memiliki gejala yang
cukup ringan yang tidak mempengaruhi kehidupannya secara bermakna dan
kira-kira 10-21 % terus memiliki gejala yang bermakna. Depresi dapat
mempersulit gambaran gejala pada kira-kira 40-80 % dari semua pasien. Pasien
dengan fungsi premorbid yang baik dan lama gejala singkat cenderung
memiliki prognosis yang baik (Sadock, 2007).
I. Komorbiditas
Sembilan puluh satu persen pasien gangguan panik memiliki sedikitnya
gangguan psikiatri lainnya. Menurut DSM IV, 10 hingga 15 persen orang
dengan gangguan panik juga memiliki gangguan depresif berat . sekitar
sepertiga orang dengan kedua gangguan memiliki gangguan depresif berat
sebelum awitan gangguan panik, sekitar 2/3 pertama kali gangguan panik
selama atau setelah awitan depresi berat.
Limabelas hingga tigapuluh paisen gangguan panik juga memiliki fobia
sosial, 15 hingga 30 persen memiliki gangguan anxietas menyeluruh dan 30
persen memiliki gangguan obsesif kompulsif. Keadaan komorbid lainnya
adalah hipokondriasis, gangguan kepribadian dan gangguan terkait zat
(Sadock, 2007).

15
III. KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut.


1. Gangguan panik merupakan perasaan serangan cemas mendadak dan terus
menerus disertai perasaan akan datangnya bahaya/bencana, ditandai dengan
adanya serangan panik yang tidak diduga dan spontan yang terdiri atas periode
rasa takut intens yang hati-hati dan bervariasi dari sejumlah serangan
sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu tahun.
2. Penyebab gangguan cemas terdiri atas faktor biologis, faktor genetik, dan
faktor psikososial.
3. Kriteria diagnosis gangguan panik yaitu baru ditegakkan sebagai diagnosis
utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik dan harus
ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat dalam masa kira-kira
satu bulan.
4. Tatalaksana gangguan cemas terdiri atas pemberian farmakoterapi dan terapi
perilaku serta kognitif.

16
DAFTAR PUSTAKA

Katon,WJ. 2006. Panic Disoder in The New England Journal of Medicine. 1 : 2360-
2367.
Han, J. Park, M; Hales, RE. 2009. Anxiety Disorders in Lippincott’s Primary Care
Psychiatry edited by: Robert M.McCarron, Glen L.Xiong, James A.Bourgeois,
Lippincott Yaslinda Yaunin, Williams & Wilkins, Philadelphia
Maslim, Rusli. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III. Jakarta : PT.Nuh Raya; 2001. hal. 52 – 3.
Sadock, BJ.; Sadock, VA. 2007. Panic Disorder and Agoraphobia in Synopsis of
Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, Xth ED, USA : Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia.
Shelton, RC. 2008. Anxiety Disorders in Current Diagnosis & Treatment
Psychiatry. Second Edition; edited by Michael H.Ebert,MD; Barry
Nurombe,MD; Peter T loosen,MD,PhD;James F.Leckman,MD; Singapore :
The McGrawHill Companies Inc.

17

Anda mungkin juga menyukai