Anda di halaman 1dari 42

Konsep Dasar, Pengkajian, dan Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi dan Istirahatp ada Pasien

Kritis

Dosen Pengampu
Ns. Rycco Darmareja, S. Kep., M. Kep

Kelompok 4
Muhammad Helmy Maulani 1910711066
Angga Bhakti Samudra 1910711067
Rahma Dewi S 1910711072
Putri Widiana P 1910711076
Fadhia Syaharani A 1910711077

Mata Kuliah :
Keperawatan Kritis

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Makalah yang berjudul “Konsep Dasar Pengkajian dan Pemenuhan Kebutuhan Kenyamanan dan
Kebutuhan Mobilisasi Pada Pasien Kritis” ini ditulis guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Kritis. Didalamnya, penulis akan membahas mengenai konsep dasar, pengkajian dan
pemenuhan kebutuhan kenyamanan dan kebutuhan mobilisasi pada pasien kritis.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penulis makalah menyampaikan rasa hormat dan
ucapan dan terimakasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan
dan dorongan kepada penulis sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari pembaca.

Jakarta, 27 Agustus 2022

Penulis
A. Konsep Dasar, Pengkajian dan Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Pada Pasien Kritis
1. Konsep Dasar Nutrisi
a. Pengertian Nutrisi
Nutrisi adalah zat-zat gizi dan zat lain yang berhubungan dengan
kesehatan dan penyakit, termasuk keseluruhan proses dalam tubuh manusia untuk
menerima makanan atau bahan-bahan dari lingkungan hidupnya dan
menggunakan bahan-bahan tersebut untuk aktivitas penting dalam tubuhnya serta
mengeluarkan sisanya. Nutrisi dapat dikatakan sebagai ilmu tentang makanan,
zat-zat gizi dan zat lain yang terkandung, aksi, reaksi dan keseimbangan yang
berhubungan dengan kesehatan dan penyakit.
b. Nutrisi pada Pasien Kritis
Pasien kritis seringkali mengalami stress akibat trauma, cedera,
pembedahan, sepsis dan penyakitnya sehingga mengakibatkan peningkatan
metabolisme dan katabolisme yang berujung pada malnutrisi. Kondisi malnutrisi
dapat meningkatkan kematian dan komplikasi serta memperlama lama rawat,
biaya dan waktu penyembuhan. Malnutrisi berdampak pada emosional dan fisik
pasien, dampak fisik diantaranya kegagalan fungsi imun, penyembuhan luka yang
lama sedangkan dampak emosional yaitu perawatan yang lama dapat
meningkatnya biaya perawatan dan menjadi beban bagi pasien (Wright-Myrie
Donnete, 2013).
Hampir semua pasien kritis mengalami anoreksia atau ketidakmampuan
makan karena penurunan kesadaran, pemberian sedasi, dan terintubasi. Pasien
yang tidak dapat makan atau tidak boleh makan harus tetap mendapat masukan
nutrisi melalui cara enteral dengan selang nasogastric (NGT) maupun selang
oralgastrik (OGT) atau cara parenteral (intravena) baik itu menggunakan vena
central maupun perifer.
c. Tujuan Pemberian Nutrisi pada Pasien Kritis
1) Memperoleh bantuan nutrisi yang sesuai dengan kondisi medik penderita,
status nutrisi dan cara pemberiannya.
2) Mencegah atau mengobati kekurangan atau defisiensi makro nutrien dan
mikro nutrien.
3) Memperoleh nutrien yang layak dengan adanya metabolisme
4) Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan tehnik pemberian diet
5) Meningkatkan outcome pasien; mengurangi morbiditas, mortalitas dan waktu
penyembuhan.

2. Pengkajian Nutrisi pada Pasien Kritis


Pengkajian nutrisi adalah proses standar, dimulai dengan riwayat dan kondisi
medis pasien yang memberikan informasi penting yang menginformasikan rencana
asuhan gizi pasien selama masa perawatan. Misalnya, kondisi peradangan kronis
mempengaruhi pasien untuk katabolisme dan dengan demikian dapat menjadi
indikasi awal kemungkinan massa otot berkurang. Pengkajian nutrisi kemudian
mempertimbangkan berat badan pasien dan riwayat diet. Dalam pengaturan ICU,
mungkin sulit untuk mendapatkan rincian ini pada awalnya, dan seringkali asumsi
dibuat dari riwayat medis pasien, dikuatkan oleh informasi dari keluarga atau teman
bila tersedia. Proses pengkajian nutrisi adalah proses spesifik yang mendalam yang
mengevaluasi status nutrisi pasien menggunakan semua data relevan yang tersedia
dan menggunakan teknik tertentu untuk menilai komposisi tubuh pasien,
mengidentifikasi simpanan protein yang habis, dan juga menilai fungsi jika
memungkinkan. Pengkajian status nutrisi merupakan hal yang penting selain
pengkajian kondisi medis pasien yang lain. Tujuan dari pengkajian nutrisi adalah
untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami atau memiliki resiko malnutrisi,
menentukan derajat malnutrisi, dan memantau hasil dukungan nutrisi yang diberikan.

3. Rute Pemberian Nutrisi


I. Nutrisi Enteral

Nutrisi enteral adalah semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam


tubuh lewat saluran cerna, baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun
selang melalui lubang stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum
(jejunostomi).
Pendapat lain mengatakan bahwa Nutrisi enteral/ Enteral Nutrition (EN)
adalah nutrisi yang diberikan pada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
nutrisinya melalui rute oral, formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam
lambung (gastric tube), nasogastrik tube (NGT), atau jejunum dapat secara
manual maupun dengan bantuan pompa mesin (gastrostomy dan jejunum
percutaneous) (Yuliana, 2009).

A. Tujuan Pemberian Nutrisi Enteral


1. Suplementasi pada pasien yang masih dapat makan dan minum akan tetapi
tidak mencukupi kebutuhan energi dan protein.
2. Pengobatan
3. Untuk memenuhi semua kebutuhan zat gizi bila pasien tidak bisa makan
sama sekali

B. Indikasi
1. Disfagia berat akibat obstruksi atau disfungsi orofaring atau esophagus.
2. Penurunan kesadaran
3. Anoreksia persisten, mual, muntah
4. Obstruksi gaster atau usus halus
5. Fistula usus halus distal atau kolon
6. Malabsorpsi berat
7. Aspirasi berulang
8. Penyakit yang membutuhkan cairan khusus atau peningkatan kebutuhan
nutrisi yang tidak dapat di capai dengan oral

C. Kontraindikasi :
1. Potensial mengalami pneumonia aspirasi
2. Gangguan fungsi saluran cerna (misal perdarahan GIT berat, Vomitus
persisten, diare berat)
3. Peritonitis
4. Obstruksi saluran cerna leus paralitik
5. Perdarahan gastrointestinal
6. Intactable vomitus
D. Jenis makanan nutrisi enteral :
1. Formula rumah Sakit (blenderized)
Kandungan nutrien : terbatas untuk pemenuhan kalori, sedikit Vitamin dan
mineral Rasa kurang disukai oleh pasien. Osmolaritas tidak terukur, hanya
Via bolus.
2. Formula Komersial
Berupa bubuk yang siap dicairkan atau berupa cairan yang dapat segera
diberikan. Benis nutrisi enteral komersial yang ada di Indonesia antara lain:
a. Polimerik mengandung protein utuh untuk pasien dengan GIT normal
atau mendekati normal. Contoh: Panenteral, Fresubin
b. Pradigesti dalam bentuk susu elemental, yang banyak mengandung
asam amino/peptida dan lemak MCT (medium chain tryglyceride).
Digunakan pada pasien dengan gangguan GIT Contoh: Pepti 2000
c. Diet enteral khusus Sirosis (ex: Aminoleban EN, Falkamin) Diabetes
(ex : Diabetasol) ; Gagal ginjal (ex : Nefrisol) ; dan tinggi protein (ex :
Peptisol)
d. Diet enteral tinggi serat (ex: indovita)

E. Metode Pemberian Nutrisi Enteral


Metode pemberian nutrisi enteral ada 2 yaitu:
1. gravity drip (pemberian menggunakan corong yang disambungkan ke
selang nasogastric dengan kecepatan mengikuti gaya gravitasi).
2. intermittent feeding (pemberian nutrisi secara bertahap yang diatur
kecepatannya menggunakan syringe pump). Metode intermittent
feeding lebih efektif dibandingkan metode gravity drip, hal ini dilihat
dari nilai mean volume residu lambung yang dihasilkan pada
intermittent feeding lebih sedikit dibandingkan gravity drip yaitu 2,47
ml : 6,93 ml. Hal ini dikarenakan kondisi lambung yang penuh akibat
pemberian secara gravity drip akan memperlambat motilitas lambung
dan menyebabkan isi lambung semakin asam sehingga akan
mempengaruhi pembukaan spinkter pylorus. Efek dari serangkaian
kegiatan tersebut adalah terjadinya pengosongan lambung (Munawaroh,
et al., 2012).

F. Pipa Nutrisi Enteral


Pipa Nasoenterik adalah pipa yang dimasukkan melalui hidung ke bagian
saluran cerna yang diinginkan. Pipa ini digunakan dalam jangka waktu
pendek (kurang dari 4 minggu) dan kadang digunakan sementara sebelum
pipa enterostomi dipasang. Contohnya : Pipa Nasogastrik, nasoduodenal
dan nasoyeyunal.
Pipa Enterostomi adalah pipa yang dimasukkan melalui dinding abdomen
digunakan untuk jangka waktu (lebih dari 30 hari) atau diberikan bila terjadi
obstruksi sehingga tidak memungkinkan memasukkan pipa lewat hidung ke
saluran cerna yang diinginkan. Pemasangannya dilakukan secara bedah
seperti laporoptomi, dengan batuan radiologi atau dengan endoskopi.

G. Monitor Efektifitas Nutrisi Enteral


Untuk memonitor efektivitas dari pemberian nutrisi enteral dapat dilihat dari
beberapa macam :
1. Penimbangan BB, BMI
2. Pemeriksaan Lingkar Pinggang Panggung, LLA, tebal lipat kulit trisep
3. Pemeriksaan keseimbangan Nitrogen
4. Pemeriksaan Albumin, Prealbumin serum, kilesterol darah , kadar besi
transferrin darah
5. Anamnesis Gizi

H. Komplikasi Nutrisi Enteral


Komplikasi Penyebab
Gastrointestina Nausea/vomitus Ansietas, residu gaster banyak,
l formula “malodorous”, obat, letak
selang, posisi pasien tidak tepat,
pemberian makanan dingin,
kecepatan pemberian
Diare Kecepatan infus cepat, makanan/
obat hiperosomolar, intoleransi
laktosa, terapi antibiotik,
hipoalbuminemia, formula
terkontaminasi bakteri, formula
rendah residu
Konstipasi Formula rendah residu, dehidrasi,
obat
Kembung dan kram Gangguan motilitas usus halus dan
abdomen besar
Metabolik Dehidrasi Demam, infeksi, intake kurang,
kehilangan cairan berlebih
Peningkatan elektrolit Peningkatan elektrolit dalam
serum formula, intake cairan tidak adekuat,
kehilangan cairan berlebih
Penurunan elektrolit Retensi cairan berlebih, elektrolit
serum tidak adekuat dalam formula
Hiperglikemia Stres metabolik, riwayat diabetes,
glukosa diet berlebih
Mekanik Selang makanan Residu formula berlebih dalam
tersumbat selang
Iritasi dan erosi nasal Pemberian obat dalam selang
Perubahan posisi selang Batuk/muntah
Patologi esofagus Efek lokal selang nasoentrik
(esofagitis, erosi, ulkus,
perdarahan, striktur
Fistula trakeoesofagus Tekanan berat yang menimbulkan
sklerosis
Laring serak, ulserasi, Efek lokal
stenosis
Ruptur varises Efek lokal

I. Nutrisi Enteral pada Kondisi Khusus :


1. Penyakit saluran cerna
Pada penyakit saluran cerna direkomendasikan diet oral/enteral dengan
sumber protein asam amino/peptide, sumber karbohidrat glukosa primer,
sumber lemak trigliserid dengan rantai asam lemak sedang dan asam
linoleate, 1 kkal/ml, osmolaritas 450-600 mOsm/kg, total energy
bertahap (kombinasi parenteal), elektrolit 70-90 mmol/L (Na 30-70
mmol/L ; K 70-90 mmol/L) Vitamin 1,5x kebutuhan mineral per hari.
Pemberian nutrisi enteral sebaiknya diberikan perdrip tidak bolus
langsung dengan botol 500 cc
2. Pasien Cancer
Pada pasien ini, jenis nutrisi khusus tidak ada. Namun terapi nutrisi
enteral dibutuhkan karena pada pasien kanker terjadi peningkatan
kebututuhan nutrisi sehingga tidak dapat atau kurang terpenuhi dengan
nutrisi oral. Target yang ingin dicapai pada pasien cancer yang di
suplementasi dengan nutrisi enteral adalah kebutuhan kalori minimal 35
kalori/kg BB/hari dengan protein 1,5 g/kg BB/hari
3. Pasien Immunocompremised
Dianjurkan nutrisi enteral yang mengandung asam amino glutamin
karena sebagai sumber energy utama khusus usus halus dan oksidan
selama keadaan katabolic. Makanan yang diberikan diusahakan bebas
dari kontaminasi
4. Pasien Geriatri
Pasien > 60 th, RDA kebutuhan kalori energy disesuaikan dengan BB
ideal dengan rumus yang ada. Kebutuhan protein yang telah disepakati
0,8 gram /kg BB/hr, lemak 10-15% dari kebutuhan energy total,
kebutuhan serat 25g/hr
5. Penyakit hati
Pada penyakit ini, protein yang diberikan dikurangi untuk mencegah
peningkatan kadar ammonia dalam darah yang masuk ke otak sehingga
dapat mencegah timbulnya enselofati dan koma hepatikum.
6. Penyakit Ginjal
Penyakit Ginjal akut harus diberikan diet bebas protein/rendah
protein,mengandung kalori atau gula. Pada Gagal ginjal kronik, untuk
mencegah uremia, protein yang diberikan dalam bentuk protein nilai
biologi tinggi (AA esensial) 20 g/hr
Kemudian pada gagal ginjal kronik tidak terkompensasi (termasuk yang
menjalani HD) kebutuhan energy sama dengan dewasa sehat, hanya saja
keseimbangan nitrogen netral dicapai dengan pemasukan nutrisi yang
mengandung protein nilai biologi tinggi 0,55-0,60 g/kg BB/hr dan kalori
35 kkal/kg BB/hr
Pada Gagal ginjal kronik dan penyakit katabolic berat, kebutuhan kalori
dan protein lebih tinggi, tidak berbeda dengan pasien yang tidak
menderita gagal ginjal. Pasien dengan gagal ginjal disertai hyperkalemia
dilakukan pembatasan kalium atau diberikan fosfor.

II. Nutriri Parenteral


Pemberian nutrisi parenteral adalah upaya pemberian zat nutrient melalui
pembuluh darah vena. Tujuannya tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan energy
basal dan pemeliharaan kerja organ, tetapi juga menambah konsumsi nutrisi untuk
kondisi tertentu seperti keadaan stress.
A. Indikasi
1) Pasien dengan ketidak mampuan absorpsi nutrient melalui GIT. Meliputi
malabsoprsi berat, short bowel sindrom, muntah berat, diare, dan enteritis
radiasi
2) Pankreatisis akut berat yang membutuhkan pengistirahatan bowel
3) Intake nutrisi enteral tidak adekuat selama 7-10 hari
4) Obstruksi traktus olimeterus (adhesi, cancer esophagus)
5) Inflamasi usus halus
6) Cachexia
7) Luka bakar, trauma berat
8) Mendukung kemoterapi
9) Pasien pra bedah yang mengalami emasiasi, deplesi nutrient berate atau
kehilangan BB > 10 %
10) Pasien pasca bedah yang tidak mampu makan selama 5 hari
11) Koma, anoreksia nervosa/kelainan neurologis

B. Kontraindikasi
1) Pasien dengan GIT baik, mampu mengabsorpsi nutrient secara adekuat
2) Pasien kritis HemodGainamik (shock, dehidrasi yang belum terkoreksi)
3) Gagal napas butuh bantuan respirator

C. Jenis Nutrisi Parenteral


1. Nutrient Parenteral Perifer (PPN)
Diindikasikan penggunaan jangka pendek pada pasien yang mengalami
gangguan fungsi GIT dan membutuhkan nutrisi. Juga digunakan pada
pasien pasca operasi dini yang diharapkan untuk mulai makan dalam
beberapa hari sampai satu minggu setelah operasi.
Pada pemberian PPN ini faktor yang perlu diperhatikan yaitu
osmolaritas larutan. Osmolaritas ini tidak boleh lebih dari 600-800
mOsm/L. Dengan perhitungan 50 mOsm/L untuk setiap 1% Dextrose dan
100 mOsm/L untuk setiap 1% amino. Dalam lingkup ini kalori hemat
protein disuplai dengan larutan asam amino D5-10%/3.5% dan lemak
adalah isotonis. Emulsi lemak 20% oleh vena perifer memberikan hampir
2000 kkal/hr. Elektrolit juga dapat meningkatkan osmolaritas.
Beberapa komplikasi yang sering muncul pada penggunaan PPN yaitu
tromboplebitis. Komplikasi ini dapat dikurangi dengan pemberian PPN
low osmolaritas. Beberapa institusi menambahkan heparin atau
hidrokortisol ke dalam larutan untuk mengurangi insidensi plebitis.
Infiltrasi, emboli kateter, dan sepsis mungkin juga dapat ditemukan pada
pemberian PPN. Oleh karena itu vena kateter harus diganti setiap 48-72
jam.
2. Nutrisi parenteral total
TPN diindakasikan untuk pasien yang membutukan nutrisi lebih dari 7-
10 hari, dimana membutuhkan jumlah kalori yang tinggi, restriksi cairan
yang berat, atau akses perifer tidak bagus. TPN dimulai dengan larutan
yang mengandung konsentrasi kahir 15-35 % glukosan dan asam amino
3,5 %-5%. Selama masa kritis kebutuhan protei berfluktuasi antara 2-3,5
gr/kg bb.
Rasio kalori/glukosa terhadap nitrogen/asam amino harus 200:1. Rasio
diperlukan untuk menjaga nitrogen dalam tubuh tetap adekuat. Bila rasio
ini tidak dipertahanakan, kelebihan asam amino akan dikeluarkan melalui
urin jika terdapat glukosa yang cukup dan begitu sebaliknya terapi yang
optimal membuthkan 200 kkal untuk setiap 1 gram.

4. Pemeriksaan Nutrisi, Penilaian, dan Intervensi pada Orang Dewasa

Skrining gizi, penilaian, dan intervensi pada pasien dengan kekurangan gizi
adalah komponen kunci dari perawatan gizi. Skrining gizi telah ditetapkan oleh
American Society for Parenteral dan Enteral Nutrition (ASPEN) sebagai “suatu
proses untuk mengidentifikasi seseorang yang kekurangan gizi atau yang berisiko
kekurangan gizi untuk menentukan apakah penilaian gizi yang rinci diindikasikan.”
Tujuan pengkajian gizi adalah untuk mengidentifikasi risiko gizi spesifik atau adanya
kekurangan gizi yang jelas. Penilaian nutrisi dapat mengarah pada rekomendasi untuk
meningkatkan status gizi (misalnya, beberapa intervensi seperti perubahan diet,
nutrisi enteral atau parenteral, atau penilaian medis lebih lanjut) atau rekomendasi
untuk penyaringan ulang. Penilaian gizi telah ditentukan oleh A.S.P.E.N. sebagai
“pendekatan komprehensif untuk mendiagnosis masalah gizi yang menggunakan
kombinasi dari yang berikut: riwayat medis, nutrisi, dan obat-obatan; pemeriksaan
fisik; pengukuran antropometrik, dan data laboratorium.
Para ahli mendefinisikan malnutrisi sebagai “keadaan gizi akut, subakut atau
kronis, di mana berbagai tingkat kekurangan gizi atau kurang gizi dengan atau tanpa
aktivitas inflamasi telah menyebabkan perubahan komposisi tubuh dan fungsi yang
berkurang.” Parameter yang digunakan untuk mendiagnosis malnutrisi dalam proses
penyaringan dan penilaian mencerminkan asupan gizi dan tingkat keparahan serta
durasi penyakit. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan perubahan habitus tubuh dan
perubahan metabolisme yang terkait dengan hasil yang buruk. International
Consensus Guideline Committee telah mengusulkan pendekatan untuk mendiagnosis
malnutrisi pada orang dewasa berdasarkan etiologi, sehingga mengintegrasikan
pemahaman saat ini tentang respon inflamasi terhadap penyakit dan trauma. Komite
mengusulkan diagnosis gizi berikut: (1) kekurangan gizi terkait kelaparan, yaitu
kelaparan kronis tanpa peradangan, (2) kekurangan gizi terkait penyakit kronis, di
mana peradangan kronis dan ringan sampai sedang, dan (3) penyakit akut atau
malnutrisi terkait cedera, di mana peradangan akut dan parah.

Tabel. Parameter Skrining Nutrisi dan Instrumen Penilaian Terpilih


Instrumen Antropometri dan / atau Tingkat Keparahan Penyakit
Pola Makan Lainnya (Fisik,
Variabel atau
Gejala Psikologis)
Birmingham Penurunan berat badan, Faktor stres,
Nutrition Risk Score IMT, nafsu makan, (keparahan
kemampuan makan diagnosis)
Malnutrition Nafsu makan, penurunan
Screening Tool berat badan yang tidak
disengaja
Malnutrition BMI, perubahan berat Adanya penyakit
Universal Screening badan akut
Tool
Maastricht Index Persentase berat badan Albumin,
ideal prealbumin, jumlah
limfosit
Nutrition Risk Penurunan berat badan, Fungsi saluran
Classification persentase berat badan cerna
ideal, asupan makanan
Nutritional Risk Berat badan sekarang dan Albumin
Index biasanya
Nutritional Risk Penurunan berat badan, Diagnosis
Screening 2002 IMT, asupan makanan (keparahan)
Prognostic Albumin,
Inflammatory and prealbumin, protein
Nutritional Index C-reaktif, α1-asam
glikoprotein
Prognostic Kulit trisep terlipat Albumin, transferrin,
Nutritional Index sensitivitas kulit
Simple Screening BMI, persentase Albumin
Tool penurunan berat badan
Short Nutrition Riwayat berat badan baru-
Assessment baru ini, nafsu makan,
Questionnaire penggunaan suplemen oral
atau makanan tabung
Mini Nutritional Data berat badan, tinggi Albumin, Persepsi diri
Assessment badan, lingkar lengan prealbumin, tentang gizi dan
tengah, lingkar betis, kolesterol, jumlah status kesehatan
riwayat diet, nafsu makan, limfosit
mode makan
Subjective Global Riwayat berat badan, Diagnosis primer, Gejala fisik
Assessment riwayat diet tingkat stres (lemak subkutan,
pengecilan otot,
edema
pergelangan kaki,
edema sakral,
asites), kapasitas
fungsional, gejala
gastrointestinal

5. Deteksi Dini Risiko Malnutrisi


pasien yang baru masuk rumah sakit harus dilakukan deteksi dini risiko
malnutrisi melalui pemeriksaan skrining gizi. Skrining gizi adalah suatu proses untuk
mengidentifikasi seseorang yang malnutrisi atau yang berisiko mengalami malnutrisi
untuk menentukan indikasi dilakukan asesmen gizi secara lengkap (ASPEN).
Skrining gizi bertujuan mengidentifikasi status gizi pasien yang masuk dalam
kategori malnutrisi atau risiko malnutrisi, membutuhkan kajian gizi yang lebih
mendalam. Berbagai metode skrining pada pasien di rumah sakit telah dikembangkan
dan dilakukan review di beberapa negara. Metode skrining gizi yang paling banyak
digunakan adalah MST (Malnutrition Screening Tool) dan MUST (Malnutrition
Universal Screening Tool). Penelitian meta analisis telah membuktikan MST dan
MUST merupakan alat yang valid dalam penentuan malnutrisi pasien di rumah sakit
dan dapat memprediksi lama masa rawat (LOS) dan mortalitas baik pada pasien
dewasa maupun pasien lanjut usia. Sedangkan rekomendasi ESPEN (2002)
menganjurkan penggunaan Nutritional Risk Screening (NRS-2002) yang
mengandung komponen dari MUST dan menambahkan derajat beratnya penyakit
untuk mendeteksi malnutrisi di rumah sakit. Apabila didapatkan hasil skrining
berisiko, perlu dilanjutkan dengan asesmen dan perencanaan nutrisi, sedangkan
pasien yang tidak berisiko, dapat dilakukan skrining ulang dengan interval tertentu
selama di rawat di rumah sakit.
Skrining sebaiknya bersifat sederhana, cepat dan mampu mendeteksi secara dini
pasien berisiko malnutrisi serta mampu dilaksanakan oleh staf admisi. Data skrining
umumnya meliputi usia, jenis kelamin, diagnosis medis, berat badan, tinggi badan,
perubahan berat badan dan diet yang sedang dijalankan. Pengembangan dan
modifikasi skrining gizi sesuai kondisi rumah sakit harus dilakukan dokter Spesialis
Gizi Klinik (SpGK) agar pasien berisiko malnutrisi dapat dideteksi secara dini dan
ditangani dengan tepat.
Sistem akreditasi rumah sakit mengharuskan semua pasien masuk rumah sakit
dilakukan assesmen awal termasuk didalamnya skrining gizi awal yang dilakukan
oleh perawat, jika skrining gizi awal skor >2, maka diinformasikan kepada dietisien
untuk dilakukan skrining gizi lanjutan dengan menggunakan Malnutrition Universal
Screening Tools (MUST). Jika hasil skrining tersebut skor >2 maka pasien berisiko
tinggi malnutrisi, sehingga harus mendapatkan penanganan oleh tim terapi gizi.

Tabel Malnutrition Screening Tools (MST)

Langkah MUST sebagai berikut:


1. Langkah 1 : hitung indeks massa tubuh pasien (IMT) dengan menggunakan rumus
Berat badan( kg)
IMT =
[Tinggi badan(m)] 2
Jika tinggi badan atau berat badan tidak dapat diukur, dilakukan pengukuran
panjang lengan bawah (ulna) untuk memperkirakan tinggi badan dengan
menggunakan tabel di bawah ini.

Untuk memperkirakan IMT, dapat menggunakan pengukuran lingkar lengan atas


(LLA).
a. Lengan bawah sisi kiri pasien ditekuk 90º terhadap siku, dengan lengan atas
paralel di sisi tubuh. Ukur jarak antara tonjolan tulang bahu (akromion)
dengan siku (olekranon). Tandai titik tengahnya.
b. Perintahkan pasien untuk merelaksasikan lengan atasnya, ukur lingkar lengan
atas di titik tengah, pastikan pita pengukur tidak menempel terlalu ketat.
c. LLA < 23,5 cm = perkiraan IMT < 20 kg/m2
d. LLA > 32 cm = perkiraan IMT > 30 kg/m2
2. Langkah 2 : nilai persentase kehilangan berat badan yang tidak direncanakan dan
berikanlah skor.
a. Skor 0 : penurunan BB <5%
b. Skor 1 : penurunan BB 5 – 10%
c. Skor 2 : penurunan BB >10%
3. Langkah 3 : nilai adanya efek/pengaruh akut dari penyakit yang diderita pasien, dan
berikan skor (rentang antara 0-2). Sebagai contoh, jika pasien sedang mengalami
penyakit akut dan sangat sedikit / tidak terdapat asupan makanan > 5 hari, diberikan
skor 2.
4. Langkah 4 : tambahkan skor yang diperoleh dari langkah 1, 2, dan 3 untuk menilai
adanya risiko malnutrisi.
a. Skor 0 : risiko rendah
b. Skor 1 : risiko sedang
c. Skor ≥ 2 : risiko tinggi
5. Langkah 5 : gunakan panduan tata laksana pelayanan gizi untuk merencanakan strategi
perawatan
a. Risiko rendah:
Perawatan rutin: ulangi skrining pada pasien di rumah sakit (tiap minggu), pada
pasien rawat jalan (tiap bulan), masyarakat umum dengan usia > 75 tahun (tiap
tahun).
b. Risiko sedang, Observasi:
1) Catat asupan makanan selama 3 hari
2) Jika asupan adekuat, ulangi skrining: pasien di rumah sakit (tiap minggu), pada
pasien rawat jalan (tiap bulan), masyarakat umum (tiap 2-3 bulan).
3) Jika tidak adekuat, rencanakan strategi untuk perbaikan dan peningkatan
asupan nutrisi, pantau dan kaji ulang program pemberian nutrisi secara teratur.
c. Risiko tinggi : konsul ke ahli gizi atau tata laksana perawatan dilakukan secara tim
oleh Tim Terapi Gizi (TTG).
Tabel Nutritional Risk Screening (NRS 2002)
6. Waktu Pemberian Nutrisi Di Ruang ICU
Ada empat waktu pemberian nutrisi yang akan dibahas yaitu Early Enteral Nutrition,
Late Enteral Nutrition, Early Parenteral Nutrition dan Late Parenteral Nutrition.
A. Early Enteral Nutrition (EEN) adalah pemberian nutrisi enteral yang dimulai
sejak pasien masuk ICU hingga 24 jam pertama. Pemberian EEN tinggi
protein dapat mengurangi komplikasi sepsis dan memperpendek penggunaan
antibiotic
B. Late Enteral Nutrition (LEN) merupakan pemberian EN pada pasien yang
dimulai setelah 3 hari pasien dirawat di ICU.
C. Early Parenteral Nutrition (EPN) yaitu nutrisi yang diberikan secara
parenteral sejak pasien masuk ICU hingga 24 jam pertama
D. Late Parenteral Nutrition (LPN) diartikan sebagai proses pemberian nutrisi
parenteral yang dimulai setelah pasien dirawat 8 hari di ICU (Simpson, 2005;
Casaer, et al.,2011).

7. Peran Perawat Dalam Pemberian Nutrisi Di Ruang Intensive


Dukungan nutrisi merupakan tugas penting dalam perawatan pasien kritis. Makna
nutrisi tidak hanya sebatas makanan masuk ke tubuh pasien. Tetapi, bagaimana
makanan dapat memaksimalkan proses penyembuhan pasien. Oleh karena itu, nutrisi
pasien kritis dikelola oleh multidisiplin ilmu, diantaranya dokter bertanggungjawab
pada seluruh proses pelaksanaan, apoteker bertanggungjawab memberikan terapi obat
yang tidak mempengaruhi proses penyerapan makanan, ahli gizi bertanggungjawab
menyediakan formula makanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien dan
perawat bertanggungjawab menyediakan akses masuknya makanan, memaksimalkan
penyerapan makanan sampai makanan dihantarkan ke sel tubuh.Tujuan perawat
dalam mengelola nutrisi pasien kritis adalah target nutrisi tercapai yang meliputi
kualitas dan kuantitas. Perawat berusaha memodifikasi lingkungan untuk mendukung
asupan makan.
Perawat memandang tiga dasar penting dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
yaitu (Marjory, 2018):
1. Kemampuan memasukan meliputi fungsi digesti mekanis seperti mengunyah
dan menelan
2. Kemampuan mencerna meliputi fungsi enzim-enzim pencernaan didalam
tubuh untuk membantu pemecahan molekul nutrien menjadi lebih kecil agar
bisa diserap oleh usus
3. Kemampuan mengabsopsi yaitu dimulai dari penyerapan sampai
menghantarkan zat nutrien ke sel. Fungsi absorpsi meliputi ketersediaan
insulin sebagai reseptor glukosa, kemampuan jantung memompa darah dan
konsentrasi oksigen yang cukup untuk proses metabolisme zat nutrien sampai
membentuk energi (Whitney Ellie, 2008).
Perawat menjadi manager dalam manajemen nutrisi pasien setiap hari. Perawat
melakukan pemeriksaan fisik untuk identifikasi resiko malnutrisi, mengawasi waktu
makan pasien, menyediakan akses masuknya makanan dan mengevaluasi makanan
yang diserap. Perawat menganggap penting untuk menciptakan lingkungan yang
mendukung supaya pasien dapat beradaptasi ketika kontak dengan makanan baru.
Perawat fokus pada kenyamanan pasien selama pemberian makan, perawat
meminimalisir lingkungan yang mengganggu saat makan dan mendorong partisipasi
keluarga dalam pemberian makan. Selain itu perawat juga berperan sebagai asesor.
Peran asesor merupakan tugas mengkaji atau assesment, perawat melakukannya
berulang-ulang serta terus menerus dan tercatat didalam catatan perawat untuk
mengidentifikasi adanya perubahan status nutrisi atau resiko mengalami malnutrisi.
Bila menemukan resiko mengalami malnutrisi perawat akan bertanya serta
bernegosiasi dengan profesi lain untuk menentukan jenis makanan yang akan dipesan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi perawat memiliki pengalaman dan pengetahuan
untuk meningkatkan kualitas perawatan nutrisi pasien.

B. Konsep Dasar, Pengkajian dan Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Pada Pasien Kritis
1. Konsep Dasar
Ruang ICU merupakan sebuah ruangan yang digunakan untuk pasien yang akan
memerlukan pengawasan dan tindakan secara intensif. Pasien yang berada di ruang
ICU terdiri dari wanita dan pria dengan tingkat kesadaran penuh sampai pasien yang
mengalami gangguan kesadaran. Menurut hasil wawancara Penelitian dilakukan di
ruang ICU RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan para pasien didapatkan
bahwa pasien sering mengalami gangguan tidur akibat keadaan lingkungan baik dari
segi pencahayaan, suara alat medis dan pemberian tindakan intervensi dari perawat
serta penyakit yang diderita dari pasien tersebut. Sebagian pasien mengalami stress
selama keoerawatan yang disebabkan beberapa hal diantaranya, ketakutan selama
perawatan, ketidakpastian tentang prognosis penyakit yang dialami, jam kunjungan
yang terbatas sehingga merasa terisolasi dari keluarga, adaptasi dengan lingkungan
yang baru,prosedur perawatan, serta ketidakstabilan psikologis yang selanjutnya akan
berdampak pada kualitas tidur yang dirasakan oleh pasien selama perawatan diruang
intensive care unit (Cho,Lee and Hur, 2017) dalam penelitian (Habibah, 2020)

2. Pengertian
Istirahat merupakan keadaan rileks tanpa adanya tekanan emosional bukan hanya
dalam keadaan tidak beraktivitas tetapi juga kondisi yang membutuhkan ketenangan.
Kata istirahat berati berhenti sebentar untuk melepaskan lelah berasantai untuk
menyegarkan diri atau suatu keadaan melepaskan diri dari segala hal yang
membosankan menyulitkan bahkan menjengkelkan.
Tidur merupakan kondisi tidak sadar dimana individu dapat dibangunkan oleh
stimulus atau sensori yang sesuai atau dapat dikatakan sebagai keadaan tidak
sadarkan diri yang relative bukan hanya keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan
tetapi lebih merupaka suatu urutan siklus yang berulang dengan ciri adanya aktivitas
yang minim memiliki kesadaran yang bervariasi. (Guyton, dalam buku Haswita,
2017)

Usia Tingkat Jumlah Kebutuhan Tahapan Tidur


Perkembangan Tidur
0-3 bulan Neonatus 14-18 jam/hari REM 50%
(minggu
pertama
kelahiran)
1-18 bulan Bayi 12-14 jam/hari REM 20-30%
18 bulan – 3 tahun Anak 11-12 jam/hari REM 25%
3 tahun – 6 tahun Prasekolah 11jam/hari REM 20%
6 tahun – 12 tahun Sekolah 10 jam/hari REM 18.5%
12 tahun – 18 tahun Remaja 8,5 jam/hari REM 20%
18 tahun – 40 tahun Dewasa Muda 7-8 jam/hari REM 20-25%
40 tahun – 60 tahun Dewasa 7 jam/hari REM 20%
Pertengahan
60 tahun ke atas Usia Tua 6 jam/hari REM 20-25%
NREM IV
Menurun
kadang Absen

3. Jenis – jenis Tidur


Setiap malam seseorang mengalami dua jenis tidur yang berbeda dan saling
bergantian yaitu: tidur (Rapid-Eye Movement) dan N-REM (Non Rapid Eye
Movement) (Rafknowledge, 2004: 2-3).

1) Tidur REM

Tidur REM (Rapid Eye Movement) terjadi disaat kita bermimpi hal tersebut
ditandai dengan tingginya aktivitas mental, dan fisik. Ciri-cirinya antara lain;
detak jantung, tekanan darah, dan cara bernapas sama dengan yang dialami saat
kita terbangun. Masa tidur REM kira-kira dua puluh menit dan terjadi selama
empat sampai lima kali dalam sehari.

2) Tidur N-REM

Tahap NREM (Non-Rapid Eye Movement) dikenal juga dengan tidur ayam. Istilah
ini sudah tidak asing. Tidur ayam adalah istilah yang menjelaskan kondisi tidur,
tetapi pikiran, mental, dan tubuh kamu berada di tengah-tengah antara tidur
terlelap dan setengah sadar.

4. Ritme Sirkardiann
Setiap makhluk hidup memiliki bioritme (jam biologis) yang berbeda. Pada
manusia, bioritme ini dikontrol oleh tubuh dan disesuaikan dengan faktor lingkungan
(mis: cahaya, kegelapan, gravitasi, dan stimulus elektromagnetik). Bentuk bioritme
yang paling umum adalah ritme sirkadian yang melengkapi siklus selama 24 jam.
Dalam hal ini, fluktuasi denyut jangtung, tekanan darah, temperature tubuh,
sekresi hormone, metabolism, dan penampilan serta perasaan individu bergantung
pada ritme sirkadiannya. Tidur adalah salah satu irama biologis tubuh yang sangat
kompleks. Sinkornisasi sirkadian terjadi jika individu memiliki pola tidur-bangun
yang mengikuti jam biologisnya: individu akan bangun pada saat ritme fisiologisnya
dan psikologis paling tinggi atau paling aktif dan akan tidur pada saat ritme tersebut
paling rendah (Lilis, Taylor, Lemone, dalam buku Wahit, Nurul, 2007).

5. Tahap Tidur
Tidur yang normal melibatkan 2 fase yaitu: Pergerakan mata yang tidak cepat
NREM (Non Rapid Eye Movement) dan pergerakan mata yang cepat REM (Rapid
Eye Movement). Selama NREM seseorang yang tidur mengalami kemajuan melalui 4
tahap yang memerlukan waktu kira-kira 90 menit selama siklus tidur. Sedangkan,
tidur tahapan REM merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 menit sebelum
tidur berakhir. Kondisi dari memori dan pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini,
faktor yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu tahapan siklus tidur yang
berbeda.

1) Tahapan tidur NREM

Tidur NREM ditandai dengan berkurangnya mimpi, tekanan darah turun,


kecepatan pernafasan turun, metabolisme turun dan gerakan mata lambat.
Masa NREM ini dibagi menjadi 4 tahap yang memerlukan waktu 90 menit
siklus tidur dan masing-masing tahap ditandai dengan pola gelombang otak.

a) Tahap 1 NREM

1. Tahap meliputi tingkat paling dangkal dan tidur.

2. Tahap berlangsung selama 5 menit, yang membuat orang beralih dari


tahap sadar menjadi tidur.

3. Pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan penurunan secara


bertahap tanda-tanda vital dan metabolisme.

4. Seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti


suara.

5. Ketika terbangun, seseorang merasa telah melamun.

b) Tahap 2 NREM

1. Tahap 2 merupakan tidur ringan.

2. Kemajuan relaksasi otot, tanda vital dan metabolism menurun dengan


jelas.

3. Untuk terbangun masih relative mudah.

4. Gelombang otak ditandai dengan “sleep spindles” dan gelombang


komplek.

5. Tahap berakhir 10 hingga 20 menit.

c) Tahap 3 NREM

1. Tahap 3 meliputi tahap awal tidur yang dalam, yang berlangsung


selama 15 sampai 30 menit.

2. Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarak bergerak.


3. Otot-otot dalam keadaan santai penuh dan tanda-tanda vital menurun
tetapi tetap teratur.

4. Gelombang otak menjadi lebih teratur dan terdapat penambahan


gelombang delta yang lambat.

d) Tahap 4 NREM

1. Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam/nyenyak.

2. Sangat sulit untuk membangunkan orang yang tidur.

3. Jika terjadi kurang tidur, maka orang yang tidur akan menghabiskan
porsi malam yang seimbang pada tahap ini.

4. Tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibandingkan selama jam


terjaga.

5. Ditandai dengan predominasi gelombang delta yang melambat.

6. Perubahan Fisiologis Selama Tidur NREM:

 Tekanan darah arteri menurun

 Denyut nadi menurun

 Pembuluh darah tepi mengalami dilatasi

 Curah jantung menurun

 Otak rangka rileks

 Laju metabolisme basal menurun 10% sampai 30%

 Kadar hormone pertumbuhan mencapat puncak

 Tekanan intracranial menurun. (Kozier, dkk, 2010)

2) Tahap Tidur REM


Tidur tipe ini disebut “paradoksikal” karena hal ini bersifat “paradoks”,
yaitu seseorang dapat tetap tidur walaupun aktivitas otaknya nyata.
Ringkasnya, tidur REM merupakan pola/tipe tidur dimana otak benar-benar
dalam keadaan aktif. Namun, aktivitas otak tidak disalurkan kearah yang
sesuai agar orang itu tanggap penuh terhadap keadaan sekelilingnya kemudian
terbangun. Tidur ini dapat berlangsung pada tidur malam yang terjadi selama
5-20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi selama 80-100
menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat lelah, maka awal tidur sangat
cepat bahkan jenis tidur ini tidak ada. Ciri-cirinya sebagai berikut:

a) Biasanya disertai dengan mimpi aktif.

b) Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak gelombang


lambat.

c) Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan


inhibisi kuat proyeksi spinal atas sistem pengaktivasi retikularis.

d) Frekuensi jantung dan pernafasan menjadi tidak tertidur.

e) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur.

f) Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan irregular, tekanan
darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat dan
metabolisme meningkat.

g) Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan


dalam belajar, memori dan adaptasi (Haswita, dkk, 2017).
6. Siklus Tidur
Kondisi pre-sleep merupakan keadaan dimana seseorang masih dalam keadaan
sadar penuh, namun mulai ada keinginan untuk tidur. Pada perilaku pre-sleep ini,
misalnya seseorang pergi ke kamar tidur lalu berbaring dikasur atau berdiam diri
merebahkan dan melemaskan otot, namun belum tidur. Selanjutnya mulai merasa
kantuk, maka orang tersebut memasuki tahap I. Bila masih bisa dibangunkan maka
selanjutnya ia memasuki tahap II. Jika orang tersebut tidak bangun baik disengaja
maupun tidak ia memasuki tahap II. Begitu seterusnya sampai tahap IV, ia Kembali
memasuki tahap III dan selanjutnya tahap II. Ini adalah fase NREM. Selanjutnya ia
akan memasuki tahap V ini disebut tidur REM. Bila ini telah dilalui semua, maka
orang tersebut telah melalui siklus tidur pertama baik tidur NREM maupun REM.

7. Pola Tidur
Tidur dengan pola yang teratur ternyata lebih penting jika dibandingkan dengan
jumlah jam tidur itu sendiri. Secara umum, durasi atau waktu lama tidur mengikuti
pola sesuai dengan tahap tumbuh kembang manusia.

Usia Tingkat Perkembangan Jumlah Kebutuhan Tidur/hari

0-1 bulan Neonates 14-18 jam

1-18 bulan Bayi 12-14 jam

18 bulan - 3 tahun Anak 11-12 jam

3-6 tahun Pra-sekolah 11 jam

6-12 tahun Masa sekolah 10 jam

12-18 tahun Remaja 8,5 jam

18-40 tahun Dewasa muda 7-8 jam

40-60 tahun Paruh baya 7 jam

>60 tahun Dewasa tua 6 jam


(Kemenkes, 2015)

8. Kualitas Tidur Pasien di ICU


Kualitas tidur pasien di ruang intensif Berdasarkan literature review ada 4 faktor
yang mempengaruhi kualitas tidur pada pasien di ruang rawat intensif yaitu faktor
pasien itu sendiri, faktor lingkungan, faktor intervensi keperawatan pada shift malam
dan faktor medikasi. (Pusparini et al., 2014)
1. Faktor Pasien
Kondisi fisik dan psikologis pasien dapat mempengaruhi tidur. Lee., et al.
(2008) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa rasa tidak nyaman
merupakan salah satu faktor penyebab gangguan tidur dimana seseorang
merasa gelisah dan sulit untuk dapat tidur nyenyak. Rasa tidak nyaman dapat
berupa nyeri, demam, perasaan sesak, dan kelelahan fisik yang berat.
2. Faktor Lingkungan
Bihari., et al. (2012) membagi dua faktor yang mempengaruhi tidur pada
pasien di ruang rawat intensif yaitu faktor lingkungan dan faktor non
lingkungan. Faktor lingkungan dalam penelitiannya terdiri dari suara' cahaya,
intervensi keperawatan, pemeriksaan diagnostik, pengukuran tanda-tanda
vital, flebotomi, pemberian obat-obatan, alarm bedside monitor, pulse
oximetry, suara berbicara, alarm infuse pump, nebulizer, Suara telepon
petugas, televisi, telepon ruangan dan alarm ventilator. Sedangkan yang
termasuk dalam faktor non lingkungan adalah karakteristik pasien , nyeri, dan
obat yang digunakan oleh pasien selama dirawat, terutama obafobatan yang
mempengaruhi kualitas tidur.
Dimensi lain dari lingkungan yang dapat mempengaruhi kualitas tidur adalah
cahaya dan temperatur (Bihari et al., 2012). Cahaya merupakan faktor
eksternal yang penting dalam mempengaruhi tidur. Cahaya mempengaruhijam
internaf melalui sel sensitif cahaya yang ada pada retina mata. Sel-sel ini
menginformasikan pada otak mengenai siang dan malam, hingga kemudian
pola tidur kita terbentuk.Sinar lampu yang terlalu terang dapat menyebabkan
gangguan tidur dan menghambat sekresi melatonin. Tidak ada batasan
temperatur yang baku untuk meningkatkan kualitas tidur karena tingkat
kenyamanan temperatur berbeda-beda pada tiap individu.Temperatur rendah
dipercaya dapat mengganggu tidur, sebaliknya suhu yang lebih tinggi dapat
meningkatkan kualitas tidur.
3. Faktor intervensi keperawatan pada shift malam
lntervensi keperawatan pada shift malam diduga telah banyak mempengaruhi
kualitas tidur pasien. lnterupsi pada tidur tahap tertentu akan membuat pasien
yang terjaga memulai kembali tidurnya dari tahap I bahkan pada beberapa
pasien tidak mudah untuk dapat segera tidur kembali setelah terjaga. Menurut
Bihari et al. (2012) intervensi keperawatan merupakan aktivitas perawat yang
paling banyak mengganggu kualitas tidur.Pada pasien dengan endotracheal
tube (ETD prosedur keperawatan yang paling mengganggu adalahtracheal
suctiomng (Hofhui, 2008)
4. Faktor medikasi
Medikasi pada pasien dengan masalah kardiovaskular seperti golongan beta
bloker yang sering digunakan dalam penatalaksanaan tekanan darah tinggi dan
gagal jantung kongestif berefek mengurangi fase REM , tidur gelombang
lambat serta meningkatkan tidur di siang hari. Alpha bloker yang juga sering
digunakan dalam terapi tekanan darah tinggi berkontribusi terhadap
penurunan fase REM dan meningkatkan tidur di siang hari.Golongan
antidepresan dapat mengurangitidur pada fase REM dan dapat menyebabkan
gangguan tidur dalam jangka lama.Antidepresan golongan ssRls bahkan dapat
meningkatkan insomnia.Golongan hipnotik dapat mempengaruhi tahap lll dan
lV tidur NREM dan menekan tidur REM. Golongan narkotik juga dapat
menekan tidur REM dan menyebabkan sering terbangun dan menyebabkan
rasa kantuk. obat penenang mempengaruhi tidur REM. Amfetamin dan
antidepresan menurunkan tidur REM secara tidak normal.Pasien - pasien di
Ruang CICU hampir selalu mendapatkan terapimorfin dan atau diazepam.

9. Gangguan Tidur
a. Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan memebuhi kebutuhan tidur, baik secara
kualitas maupun kuantitas. Gangguan tidur ini umumnya ditemui pada individu
dewasa. Penyebabnya bisa karena gangguan fisik atau karena faktor mental
seperti perasaan gundah atau gelisah. Ada tiga jenis insomnia:
a) Insomnia inisial, kesulitan untuk memulai tidur
b) Insomnia intermiten, kesulitan untuk tetap tertidur karena seringnya terjaga.
c) Insomnia terminal, bangun terlalu dini dan sulit untuk tidur kembali.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi insomnia antara lain
dengan mengembangkan pola tidur dan istirahat yang efektif melalui olahraga
rutin, menghindari rangsangan tidur di sore hari, melakukan relaksasi sebelum
tidur (mis: membaca, mendengarkan music), dan tidur jika benar-benar
mengantuk.
b. Parasomnia
Parasomnia adalah perilaku yang dapat mengganggu tidur atau muncul saat
seseorang tidur. Gangguan ini umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa
turunan parasomnia anatara lain sering terjaga (mis: tidur berjalan, night terror),
gangguan transisi bangun dan tidur (mis: mengigau), parasomnia yang terkait
dengan tidur REM (mis: mimpi buruk), dan lainnya (mis: bruksisme).
c. Hypersomnia
Hypersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang berlebihan utama
pada siang hari. Gangguan ini dapat disebabkan oleh kondisi medis tertentu,
seperti kerusakan system saraf, gangguan pada hati atau ginjal, atau karena
gangguan metabolisme (mis: hipertiroidisme). Pada kondisi tertentu, hypersomnia
dapat digunakan sebagai mekanisme koping untuk menghindari tanggung jawab
pada siang hari.
d. Narkolepsi
Narkolepsi adalah gelombnag kantuk yang tak tertahankan yang muncul secara
tiba-tiba pada siang hari. Gangguan ini disebut juga sebagai “serangan tidur” atau
sleep attack. Penyebab pastinya belum diketahui. Diduga karena kerusakan
genetic system saraf pusat yang menyebabkan tidak terkendalinya periode tidur
REM. Alternative pencegahannya adalah dengan obat-obatan, seperti amfetamin
atau metilpenidase hidroklorida, atau dengan antidepresan seperti imipramine
hidroklorida.
e. Apnea
Saat Tidur Apnea saat tidur atau sleep apnea adalah kondisi terhentinya napas
secara periodic pada saat tidur. Kondisi ini diduga terjadi pada orang yang
mengorok dengan keras, sering terjaga di malam hari, insomnia, mengantuk
berlebihan pada siang hari, sakit kepala di pagi hari, iritabilitas, atau mengalami
perubahan psikologis seperti hipertensi atau aritmia jantung. (Haswita, dkk,
2017).

10. Kontrol Tidur


Kontrol tidur adalah pengawasan, pemeriksaan, pengendalian suatu keadaan tidak
sadarkan diri dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan
menurun/hilang dan dapat dibangunkan kembali dengan indera atau rangsangan yang
cukup. Kebanyakan dewasa muda tidur malam hari rata-rata 6-8 jam, tetapi hal ini
berfariasi. Akan tetapi, adalah hal umum yang mengganggu kebutuhan tidur seperti
stress pekerjaan, aktivitas yang mengarah pada insomnia, penyakit fisik tertentu.
(Universitas Sumatera Utara, 2016).
Teknik kognitif-behavioral menekankan pada jangka pendek dan berfokus pada
penurunan langsung fisiologis yang timbul, memodifikasi kebiasaan tidur yang
maladaptive dan menggunakan pemikiran yang disfungsional. Terapi kognitif-
behavioral biasanya menggunakan kombinasi dari berbagai teknik, termasuk kontrol
stimulus, pemantapan siklus tidur-bangun yang teratur, latihan relaksasi. Dibawah
control normal, kita belajar untuk mengasosiasikan stimulus yang menghubungkan
berbaring ditempat tidur dengan tidur sehingga pemaparan terhadap stimulus ini dapat
meningkatkan perasaan ngantuk. Teknik kontrol stimulasi bertujuan untuk
memperkuat hubungan antara tempat tidur dan tidur dengan sebisa mungkin
membatasi aktivitas.
Berikut adalah cara kontrol pola tidur menjadi normal:
a. Buatlah rutinitas tidur
Mungkin akan kesulitan untuk mengatur siklus tidur saat malam hari
dengan tertidur pada jam yang sama. Namun, bisa berusaha menjaga
siklus terjaga dengan bangun tidur pada jam yang sama di pagi hari.
b. Ciptakan lingkungan ruang tidur yang nyaman
c. Minum obat dan terapi
Orang-orang penderita sakit kronis sudah harus minum banyak obat untuk
untuk mengontrol rasa sakit mereka. Sehingga mereka tidak ingin
mengkonsumsi obat lebih untuk mendapatkan tidur yang baik.
d. Berhenti memikirkan hal yang negative terhadap penyakit menghabiskan
waktu memikirkan rasa sakit dapat membawa pikiran-pikiran negative lain
yang mempengaruhi tidur. (Diakses di: https://hellosehat.com Pada
tanggal 17 Agustus 2021).

11. Pengkajian Kebutuhan Istirahat dan Tidur


Aspek yang perlu dikaji ada pasien untuk mengindetifikasi mengenai gangguan
pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur meliputi pengkajian mengenai:
1. Pola tidur, seperti jam berapa klien tidur,jam berapa biasa klien bangun tidur, dan
keteraturan pola tidur klien
2. Kebiasaan yang dilakukan klien menjelang tidur
3. Gangguan tidur yang sering dialami klien dan cara mengatasiny
4. Kebiasaan tidur siang
5. Lingkungan tidur klien. Bagaimana kondisi lingkungan tidur klien? apakah
kondidinya bising,gelap atau suhunya dingin?
6. Peristiwa yang baru alami klien dalam hidup. Perawat mempelajari apakah
peristiwa yang dialami klien, yang menyebabkan klien mengalami gangguan
tidur?
7. Status emosi dan mental. Status mental dan emosional mempengaruhi terhadap
kemampuan klien untuk istirahat dan tidur. Perawat perlu mengkaji mengenai
status emosial dan mental klien, misalnya apakah klien mengalami stress
emosional atau ansietas juga dikaji sumber stress yang dialami klien
8. Perilaku deprivasi tidur yaitu manifestasi fisik dan perilaku yang timbul sebagai
akibat istirahat dan tidur ,seperti:
- Penampilan wajah , misalnya adalah adakah area gelap disekitar
mata,bengkak di kelopak mata , kongjungtiva kemerahan atau mata yang
terlihat cekung.
- Perilaku yang terkait dengan gangguan istirahat dan tidur , misalanya apakah
klien mudah tersinggung , selalu menguap, kurang konsentrasi atau terlihat
bigung.
- Kelelahan, misalnya apakah klien terlihat lelah,letih dan lesu

Penilaian struktur tidur pada pasien tidak sadar yang di rawat di ICU
1. Polisimnografi
Polisomnografi (disebut juga oksimetri nokturnal) adalah pemeriksaan
yang digunakan untuk mendiagnosis gangguan tidur. Polisomnografi akan
merekam gelombang otak, kadar oksigen dalam darah, denyut jantung dan
frekuensi pernapasan, begitu juga dengan pergerakan kaki dan mata selama
pemeriksaan ini dilakukan.
Pemeriksaan ini membutuhkan rawat inap karena pemeriksaan ini untuk
menilai aktivitas selama tidur di malam hari. Untuk mereka yang siklus
tidurnya berbeda, pemeriksaan dilakukan pada siang hari (menyesuaikan
dengan jadwal tidur). Polisomnografi akan menilai tahapan tidur dan
siklusnya untuk mengidentifikasi jika dan kapan pola tidur seseorang
terganggu dan penyebab terjadinya.
2. Indeks Bispectral (BIS)
Indeks bispektral (BIS) adalah salah satu dari beberapa teknologi yang
digunakan untuk memantau kedalaman anestesi. Monitor BIS digunakan
untuk melengkapi system klasifikasi Guedel untuk menentukan kedalaman
anestasi.
Mentitrasi agen anestesi ke indeks bispektrl tertentu selama anestesi
umum pada orang dewasa (dan anak-anak di atas usia 1 tahun)
memungkinkan ahli anstesi untuk menyesuaikan jumlah agen anestesu dengan
kebutuhan pasien, mungkin mengakibatkan munculnya leih cepat dari
anestesi. Penggunaan monitor BIS dapat mengurangi insiden kesadaran
intraoperative selama anestesi.
3. Actigraphy
Actigraphy adalah non - invasif metode pemantauan siklus istirahat /
aktivitas manusia. Unit actigraph kecil, juga disebut sensor actimetry, dipakai
selama seminggu atau lebih untuk mengukur aktivitas motorik kasar. Unit ini
biasanya dalam paket seperti jam tangan yang dikenakan di pergelangan
tangan. Pergerakan yang dialami unit actigraph terus direkam dan beberapa
unit juga mengukur paparan cahaya. Data tersebut nantinya dapat dibaca ke
komputer dan dianalisis secara offline; di beberapa merek sensor, data
ditransmisikan dan dianalisis secara real time.

12. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin ditemukan pada pasien gangguan
pemenuhan istirahat dan tidur, antara lain:
1. Gangguan pola tidur
Gangguan pola tidur ini dapat disebabkan karena ansietas yang dialami klien,
lingkungan yang tidak kondusif untuk tidur (misalnya lingkungan yang
bising) ketidakmampuan mengtasi stress yang dialami dannyeri akibat
penyakiy yang diderita klien.
2. Perubahan proses berfikir
Perubahan proses berfikir ini disebabkan karena deprivasi tidur
3. Resiko cedera
Resiko cedera terutama klien yang menderita somnabulisme. Pada
somnabulisme ini, klien melakukan aktivitas tanpa disadari sehingga beresiko
kecelakaan , bisa berupa jatuh dari tempat tidur,atau membentur tembok, dll.

13. Intervensi Keperawatan


a) Intervensi berdasarkan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria Intervensi
hasil

Gangguan pola tidur Setelah dilakukan Dukungan tidur:


berhubungan dengan tindakan keperawatan
1) Identifikasi pola aktivitas
hambatan lingkungan. selama ... x 24 jam
tidur
diharapkan pola tidur
Definisi: Gangguan
kembali normal dengan 2) Identifikasi faktor
kualitas dan kuantitas
kriteria hasil sebagai pengganggu tidur
waktu tidur akibat faktor
berikut: (fisik/psikologis)
eksternal.
- Pola tidur kembali 3) Identifikasi obat tidur yang
Faktor yang
normal dikonsumsi
berhubungan :
- Aktivitas kembali 4) Modifikasi lingkungan
 Hambatan
normal (mis. Pencahayaan,
lingkungan (mis:
kebisingan, suhu, dan
kelembapan,
tempat tidur)
lingkungan sekitar,
suhu lingkungan, 5) Tetapkan jadwal tidur rutin
pencahayaan,
6) Fasilitasi menghilangkan
kebisingan, bau
setres
tidak sedap, jadwal
pemantauan/pemeri 7) Ajarkan teknik relaksasi
ksaan/tindakan)

 Kurang kontrol
Edukasi aktivitas/istirahat:
tidur
1) Sediakan materi dan media
 Kurang privasi pengaturan aktivitas dan

 Restraint fisik istirahat

2) Jelaskan pentingnya
 Ketiadaan teman
melakukan aktivitas
tidur
 Tidak familiar fisik/berolahraga
dengan peralatan
3) Ajarkan cara
tidur
mengidentifikasi kebutuhan
istirahat (mis. Kelelahan,
sesak nafas saat aktivitas)

4) Ajarkan cara
mengidentifikasi target dan
jenis aktivitas sesuai
kemampuan

b) Intervensi EBN Practice


1. Terapi komplementer
a) Pemberian ear plug dan eye mask

Berdasarkan penelitian Mutarobin dkk. (2019), penggunaan ear plug dan


eye mask pada pasien ICU terbukti dapat meningkatkan kualitas tidur.
Kombinasi ear plug dan eye mask merupakan intervensi yang relatif murah
dan berharga untuk peningkatan kualitas tidur pada pasien yang di rawat di
Ruang ICU. Serta dapat juga digunakan sebagai intervensi alternatif
(pengganti obat tidur) bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
mengawali proses tidur.
Gangguan tidur disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya lingkungan,
kebisingan, pencahayaan, kegiatan perawat, penyakit yang diderita, tindakan
keperawatan, terapi obat, dan ventilasi mekanik. Earplug dan Eye Mask
adalah suatu cara yang relevan dan logis menutup telinga dan masker
penutup mata yang dapat digunakan untuk mencegah terbangunnya saat
tidur yang disebabkan oleh rangsangan eksternal. Earplug dan Eye Mask
merupakan intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi
gangguan tidur pasien untuk mempertahankan ritme sirkadian secara
normal.
Hambatan yang ditemukan oleh peneliti pada saat menerapkan EBN
adalah setiap responden mempunyai kebiasaan tidur yang berbeda saat
mengawali tidur, jam saat mulai tidur dan bangun tidur. Hal ini menujukkan
bahwa faktor kebiasaan dan budaya tidur akan mempengarhi pola tidur
pasien. Disamping itu juga ada beberapa responden yang sesekali mebuka
Earplug dan Eye Mask kemudian dipakai kembali dan baru tertidur.
b) Pemberian foot massage

Hasil penelitian oleh Dameria pada tahun 2018 di ruang ICU RSUP Adam
Malik, membuktikan bahwa terapi foot massage memiliki pengaruh dalam
meningkatkan kualitas tidur pasien ICU. Peneliti menjelaskan pemberian
foot massage bertujuan untuk memberikan rasa rileks kepada responden dan
mengakibatkan rasa mengantuk sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur
pasien.
Pemilihan foot massage sebagai intervensi yang digunakan pada pasien
kritis dikarenakan kaki mudah diakses, pasien tidak perlu dilakukan reposisi
sehingga tidak akan mempengaruhi peralatan yang digunakan oleh pasien,
mampu merangsang sirkulasi peredaran darah yang dapat membuat suasana
hati pasien menjadi nyaman, relaks, dan memiliki pengaruh yang positif
sehingga akan mempengaruhi kualitas tidur pasien (Oshvandi, Abdil,
Karampourian, Monghimbaghi, Homayonfar, 2014).

c) Terapi music

Penelitian yang dilakukan oleh Nur Iman Waruwu dkk. pada tahun 2019
di ruang ICU RSU Royal Prima Medan, membuktikan bahwa terapi musik
suara alam memiliki pengaruh terhadap kualitas tidur pasien kritis. Pasien
kritis diruangan ICU mengalami gangguan fisik dan psikis dalam menghadapi
penyakit yang sedang dia alami. Pasien kritis di ICU cenderung dengan
ketakutan dan merasakan sakit serta gangguan tidur dan sangat membutuhkan
terapi untuk membuat relaksasi.
Berdasarkan hasil penelitian Arina Merlianti dkk (2013) mengatakan juga
bahwa terdapat pengaruh terapi musik dalam meningkatkan kualitas tidur.
Menurut hasil penelitan Eka Yulia Fitri dan Dhona Andhini mengatakan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kualitas tidur pre-test-post-test
dalam mendengarkan terapi musik suara alam. Efek dari terapi suara alam
yang bersifat sedatif yang menyebabkan penurunan ketegangan, kecemasan,
rasa nyeri, relaksasi, dan pola nafas sehingga pasien dapat tidur dengan baik
tanpa gangguan tidur.

d) Terapi spiritual (dzikir)

Hasil penelitian oleh Imardiani dkk. tahun 2019 di RS Islam Siti Khadijah
Palembang mengatakan bahwa adanya pengaruh pemberian terapi zikir
terhadap peningkatan kualitas tidur pasien ICU. Oleh karena itu, terapi zikir
Asmaul Husna dapat menjadi salah satu pilihan terapi yang dapat digunakan
pada pasien di rumah sakit. Hasil penelitian telah membuktikan bahwa dengan
distraksi dzikir menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dapat menurunkan masalah
gangguan tidur yang dialami individu, hasilnya menunjukkan bahwa orang
yang sering membaca atau mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an mengalami
penurunan gangguan tidur.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Kuswandari dan Afsah
(2016), secara fisiologis, dzikir akan menghasilkan beberapa efek medis dan
psikologis yaitu akan membuat seimbang kadar serotonin dan norepineprin di
dalam tubuh. Hal tersebut merupakan morfin alami yang bekerja di dalam otak
yang dapat membuat hati dan pikiran merasa tenang setelah berdzikir
(Hidayat, 2014). Secara fisiologis melafazkan atau mendengarkan Asmaul-
Husna ini otak akan bekerja memberikan rasa nyaman yaitu neuropeptida.
Setelah otak memproduksi zat tersebut maka, zat ini akan menyangkut dan
diserap di dalam tubuh yang kemudian akan memberi umpan balik berupa
kenikmatan dan kenyamanan (Al-Qidhiy, 2009).

14. Fisiologis Manajemen Tidur pada Keperawatan Pasien Kritis


Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua system pada batang otak, yaitu:
Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). RAS di
bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat mempertahankan
kewaspadaan dan kesadaran, memberi stimulus visual, pendengaran, nyeri, dan
sensori raba serta emosi dan proses berfikir. Pada saat sadar, RAS melepaskan
katekolamin, sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR.
Kondisi terbangun seseorang tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima
dipusat otak dan sistem limbik.
Setiap makhluk hidup memiliki bioritme (jam biologis) yang berbeda. Pada
manusia, bioritme ini dikontrol oleh tubuh dan disesuaikan dengan faktor lingkungan
(misalnya: cahaya, kegelapan, gravitasi dan stimulus elektromagnetik). Irama
sirkandian mengatur jam biologis tidur, tubuh meningkatkan melatonin sehingga
kadar melatonin dalam darah tetap tinggi sehingga menyebabkan seseorang tidur.
Sekresi melatonin meningkat ketika suasana gelap dan akan bertahan dalam kadar
rendah selama periode terang. Kondisi stress dapat menyebabkan kadar melatonin
turun yang mampu merangsang sistem saraf simpatik sehingga akan tetap terjaga.
Dalam hal ini, fluktuasi denyut jantung, tekanan darah, temperature, sekresi hormon,
metabolism dan penampilan serta perasaan individu bergantung pada ritme
sirkadiannya.
Tidur adalah salah satu irama biologis tubuh yang sangat kompleks. Sinkronisasi
sirkadian terjadi jika individu memiliki pola tidur-bangun yang mengikuti jam
biologisnya. Individu akan bangun pada saat ritme fisiologis paling tinggi atau paling
aktif dan akan tidur pada saat ritme tersebut paling rendah.

Anda mungkin juga menyukai