Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

PRESENTASI KASUS

“Katarak Senilis Imatur”

Pembimbing:
dr. Teguh Anamani, SpM

Disusun Oleh:
Fikry Barran
G4A017068

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

“Katarak Senilis Imatur”

Oleh:
Fikry Barran
G4A017068

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Penyakit Mata
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Oktober 2018


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Teguh Anamani, SpM

2
DAFTAR ISI

I. Pendahuluan
II. Tinjauan Pustaka
III. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
Lensa mata adalah bagian mata yang terdapat di belakang pupil mata, yang
berfungsi sebagai media penglihatan dan memfokuskan agar cahaya jatuh tepat ke
retina. Jika terjadi kekeruhan pada lensa maka proses penglihatan akan terganggu
yang disebut katarak. Katarak berasal dari bahasa Yunani katarrhakies yang berarti
air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti
tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan
kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa
dan denaturasi protein lensa(Ilyas,2010).
Diperkirakan ada 285 juta orang yang mengalami gangguan penglihatan di
dunia,dimana 39 juta mengalami kebutaan dan 246 juta memiliki low vision
(WHO,2012). Penyebab utama gangguan penglihatan di seluruh dunia adalah
katarak (51%), glaukoma (8%), AMD (5%), kebutaan pada anak dan kornea
opacitiy (4%), kesalahan-refraktive-dikoreksi dan trakoma (3%), dan diabetik
retinopathy (1%), idiopatik (21%) (WHO, 2012). Prevalensi katarak di daerah
pedesaan Indonesia adalah yang tertinggi di wilayah Asia Tenggara, pada usia 21-
29 tahun (1,1%) dan meningkat menjadi 82,8% pada usia di atas 60 tahun (Husain
et al, 2005).
Di Indonesia, jumlah penderita kebutaan akibat katarak selalu bertambah
210.000 orang per tahun, 16% diantaranya merupakan penduduk usia produkif.
Katarak senilis terjadi pada usia >50 tahun, dimana pada usia tersebut terjadi
banyak kelainan degeneratif seperti diabetes mellitus (DM) yang dapat
menyebabkan komplikasi pada mata berupa katarak dan retinopati diabetik.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keadaan hiperglikemia terdapat
penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa (Ilyas,2010).
Kebutaan yang terjadi akibat katarak akan terus meningkat karena penderita
tidak menyadarinya, daya penglihatan baru terpengaruh setelah katarak
berkembang sekitar 3-5 tahun dan menyadari penyakitnya setelah memasuki
stadium kritis. Salah satu penyebab tingginya kasus kebutaan yang diakibatkan oleh
katarak karena kurangnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan mata (Irawan,
2008). Hingga kini belum ditemukan pengobatan yang dapat memperlambat atau
membalikkan perubahan-perubahan kimiawi yang mendasari pembentukan katarak
(Harper et al, 2010). Katarak tidak dapat dicegah kecuali pada kebutaannya yaitu
dengan tindakan operasi. Operasi katarak merupakan operasi mata yang sering
dilakukan di seluruh dunia, karena merupakan modalitas utama terapi katarak
(Lindfield, 2012).

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Lensa
a. Anatomi lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak bewarna, dan
hampir transparan.Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa
tergantung pada zonula dibelakang iris.Zonula menghubungkannya dengan
korpus siliaris.Disebelah anterior lensa terdapat aqueous humor dan disebelah
posteriornya terdapat badan vitreus (gambar 1). Kapsul lensa adalah suatu
membran semipermeabel yang akan memperbolehkan air dan lektrolit masuk
(Bobrow, 2005).

Gambar 1.1 Anatomi Lensa

b. Histologi Lensa
Disebelah depan lensa terdapat selapis sel epitel subkapsular.Seiring
dengan bertambahnya usia, serat-serat sel lamelar subepitel terus diproduksi
sehingga lensa perlahan-lahan menjadi lebih besar dan kurang elastis.
Nukleus dan korteks lensa terbentuk dari lamellar konsentrasi
panjang.(Galloway, 2006).Secara histologis, lensa memiliki tiga komponen
utama yaitu (Junctura, 2003):
i. Kapsul Lensa
Kapsullensa yang merupakan suatu membran basal yang sangat tebal
dan terutama terdiri atas kolagen tipe IV dan glikoprotein. Kapsul lensa
bersifat semipermeabel, artinya sebagian zat dapat melewati lensa dan
sebagian lagi tidak.
ii. Epitel Subcapsular
Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat
pada permukaan anterior lensa. Epitel subkapsular yang berbentuk kuboid
akan berubah menjadi kolumnar di bagian ekuator dan akan terus

5
memanjang dan membentuk serat lensa. Lensa bertambah besar dan
tumbuh seumur hidup dengan terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel
yang terdapat di ekuator lensa. Sel-sel epitel ini memiliki banyak
interdigitasi dengan serat-serat lensa.
iii. Serat Lensa.
Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis
dan gepeng. Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan
berasal dari sel-sel subkapsular. Serat lensa akhirnya kehilangan inti serta
organelnya dan menjadi sangat panjang. Sel-sel ini berisikan sekelompok
protein yang disebut kristalin.

Gambar 2.2 Histologi Lensa.

c. Kandungan Lensa
Lensa tersusun atas 65 % air dan 35 % protein (kandungan proteinnya
tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh). Selain itu, terdapat sedikit sekali
mineral seperti yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium
lebih tinggi di lensa daripada jaringan lain. Asam askorbat dan glutation
terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri,
pembuluh darah, atau saraf di lensa.Masing-masing serat lameral lensa
mengandung sebuah inti gepeng.Pada pemeriksaan mikroskop, inti ini terlihat
jelas dibagian perifer lensa di dekat ekuator dan berbatasan dengan lapisan
epitel subkapsular.Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium
yang dikenal sebagai zonula (zonula zinnia), yang tersusun atas banyak
fibril.Fibril –fibril ini berasal dari permukaan korpus siliari dan menyisip ke
dalam ekuator lensa (gambar 3) (Tshclote, 2006).

6
Gambar 2.3 Struktur Lensa

d. Fisiologi Lensa
Lensa merupakan salah satu media refraksi penting dari mata dan
bertugas dalam memfokuskan sinar cahaya pada retina. Lensa memiliki daya
refraksi 10-20 dioptri, tergantung pada akomodasi individu.Lensa
mendapatkan nutrisi melalui difusi dari humor aqueous.Dalam hal ini
menyerupai biakan jaringan, dengan humor aqueous sebagai substrat dan bola
mata sebagai wadah yang menyediakan suhu konstan. Metabolisme dan
proses rinci biokimia yang terlibat dalam proses penuaan yang kompleks
belum sepenuhnya di pahami. Karena itu, tidak mungkin mempengaruhi
perkembangan katarak dengan obat. Karena sel metabolisme dan
pertumbuhan sel-sel lensa mengatur dirinya sendiri. Kegiatan metabolik ini
penting untuk mempertahankan keutuhan, transparansi, dan fungsi dari lensa
optic (Diah et Fitriani, 2006).
e. Metabolisme Lensa
Epitel lensa membantu mempertahankan keseimbangan ion dan
transportasi nutrisi, mineral, dan air ke lensa.Jenis dari transportasi disebut
sebagai “pump-leaksystem”yang memungkinkan pemindahan aktif dari
natrium, kalium, kalsium, dan asam amino dari humor aqueous ke lensa serta
difusi pasif melalui kapsul lensa posterior.Memelihara keseimbangan
(homeostasis) sangat penting untuk transparansi lensa dan berkaitan erat
dengan keseimbangan air.Kadar air lensa biasanya stabil dan tetap dalam
keseimbangan dengan humor aqueous. Seiring bertambahnya usia kadar air
lensa semakin berkurang, sedangkan protein terlarut dari lensa (albuminoid)
meningkat. Lensa menjadi lebih keras, kurang elastis, dan kurang
transparan.Transparansnya lensa secara nyata berkurang yang dijumpai pada
95% dari semua orang yang berusia diatas 65 tahun. Bagian tengah atau inti

7
lensamenjaadi sclerosis dansedikit kekuningan seringin bertambahnya usia
(Diah et Fitriani, 2006).

2. Katarak Senilis Imatur

a. Definisi

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi
akibat keduanya (Ilyas, 2010). Lima puluh satu persen (51%) kebutaan
diakibatkan oleh katarak(WHO,2012). Katarak senilis merupakan jenis
katarak yang paling sering ditemukan. Katarak senilis adalah setiap
kekeruhan pada lensa yang terjadi pada usia lanjut, yaitu di atas usia 50
tahun.

b. Faktor Resiko

Katarak adalah penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh beberapa


faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal yang berpengaruh
antara lain adalah umur dan jenis kelamin sedangkan faktor eksternal yang
berpengaruh adalah pekerjaan dan pendidikan yang berdampak langsung pada
status sosial ekonomi dan status kesehatan seseorang, serta faktor lingkungan,
yang dalam hubungannya dalam paparan sinat Ultraviolet yang berasal dari
sinar matahari (Sirlan F, 2000).

i. Usia

Proses normal ketuaan mengakibatkan lensa menjadi keras dan


keruh. Dengan meningkatnya umur, maka ukuran lensa akan bertambah
dengan timbulnya serat-serat lensa yang baru. Seiring bertambahnya usia,
lensa berkurang kebeningannya, keadaan ini akan berkembang dengan
bertambahnya berat katarak. Prevalensi katarak meningkat tiga sampai
empat kali pada pasien berusia >65 tahun (Pollreisz dan Schmidt, 2010).

ii. Jenis Kelamin

Usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan oleh laki-laki,


ini diindikasikan sebagai faktor resiko katarak dimana perempuan
penderita katarak lebih banyak dibandingkan laki-laki (WHO, 2012)

iii. Riwayat Penyakit

Diabetes Melitus (DM) dapat mempengaruhi kejernihan lensa,


indeks refraksi, dan kemampuan akomodasi. Meningkatnya kadar gula

8
darah, juga akan meningkatkan kadar gula di aqueous humor. Glukosa dari
aqueous akan masuk ke lensa melalui difusi dimana sebagian dari glukosa
ini diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase melalui jalur
poliol, yang tidak dimetabolisme dan tetap tinggal di lensa. Telah terbukti
bahwa akumulasi intraselular sorbitol menyebabkan perubahan osmotic
sehingga air masuk ke lensa, yang akan mengakibatkan pembengkakkan
serabut lensa. Penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa akumulasi
poliol intraseluler menyebabkan kolaps dan likuifaksi(pencairan) serabut
lensa, yang akhirnya terjadi pembentukan kekeruhan pada lensa (Pollreisz
dan Schmidt, 2010).

c. Patogenesis

Katarak senilis adalah penyebab utama gangguan penglihatan pada


orang tua. Patogenesis katarak senilis bersifat multifaktorial dan belum
sepenuhnya dimengerti. Walaupun sel lensa terus bertumbuh sepanjang
hidup, tidak ada sel-sel yang dibuang. Seiring dengan bertambahnya usia,
lensa bertambah berat dan tebal sehingga kemampuan akomodasinya
menurun. Saat lapisan baru dari serabut korteks terbentuk secara konsentris,
sel-sel tua menumpuk ke ararh tengah sehingga nukleus lensa mengalami
penekanan dan pengerasan (sklerosis nuklear).

Crystallin (protein lensa) mengalami modifikasi dan agregasi kimia menjadi


high-molecular-weight-protein. Agregasi protein ini menyebabkan fluktuasi
mendadak pada index refraksi lensa, penyebaran sinar cahaya, dan
penurunan transparansi. Perubahan kimia protein lensa nuklear ini juga
menghasilkan pigmentasi yang progresif sehingga seiring berjalannya usia
lensa menjadi bercorak kuning kecoklatan sehingga lensa yang seharusnya
jernih tidak bisa menghantarkan dan memfokuskan cahaya ke retina. Selain
itu, terjadi penurunan konsentrasi Glutathione dan Kalium diikuti
meningkatnya konsentrasi Natrium dan Kalsium.

d. Tipe Katarak Senilis

i. Katarak Nuklear

Dalam tingkatan tertentu sklerosis dan penguningan nuklear


dianggap normal setelah usia pertengahan. Pada umumnya, kondisi ini
hanya sedikit mengganggu fungsi penglihatan. Jumlah sklerosis dan
penguningan yang berlebihan disebut katarak nuklear, yang menyebabkan
opasitas sentral. Tingkat sklerosis, penguningan dan opasifikasi dinilai

9
dengan menggunakan biomikroskop slit-lamp dan pemeriksaan reflex
merah dengan pupil dilatasi. Katarak nuklear cenderung berkembang
dengan lambat. Sebagian besar katarak nuklear adalah bilateral, tetapi bisa
asimetrik. Cirri khas dari katarak nuklear adalah membaiknya penglihatan
dekat tanpa kacamata, keadaan inilah yang disebut sebagai “penglihatan
kedua”. Ini merupakan akibat meningkatnya kekuatan focus lensa bagian
sentral, menyebabkan refraksi bergeser ke myopia (penglihatan dekat).
Kadang-kadang, perubahan mendadak indeks refraksi antara nukleus
sklerotik dan korteks lensa dapat menyebabkan monocular diplopia .
Penguningan lensa yang progresif menyebabkan diskriminasi warna yang
buruk. Pada kasus yang sudah lanjut, nukleusnlensa menjadi opak dan
coklat dan disebut katarak nuklear brunescent. Secara histopatologi,
karakteristik katarak nuklearis adalah homogenitas nukleus lensa dengan
hilangnya lapisan tipis seluler.

ii. Katarak Kortikal

Katarak kortikal adalah kekeruhan pada korteks lensa. Ini adalah


jenis katarak yang paling sering terjadi. Lapisan korteks lensa tidak
sepadat pada bagian nukleus sehingga lebih mudah terjadi overhidrasi
akibat ketidakseimbangan elektrolit yang mengganggu serabut korteks
lensa sehingga terbentuk osifikasi kortikal, yang ditunjukkan pada diabetes
dan galaktosemia (Fong, 2008). Perubahan hidrasi serat lensa
menyebabkan terbentuknya celah-celah dalam pola radial disekeliling
daerah ekuator. Katarak ini cenderung bilateral, tetapi sering asimetrik.
Derajat gangguan fungsi penglihatan bervariasi, tergantung seberapa dekat
kekeruhan lensa dengan sumbu penglihatan (Harper et al,2010). Gejala
yang sering ditemukan adalah penderita merasa silau pada saat mencoba
memfokuskan pandangan pada suatu sumber cahaya di malam hari
(Rosenfeld et al, 2007). Pemeriksaan menggunakan biomikroskop slitlamp
akan mendapatkan gambaran vakuola, degenerasi hiropik serabut lensa,
serta pemisahan lamella kortek anterior atau posterior oleh air. Kekeruhan
putih seperti baji terlihat di perifer lensa dengan ujungnya mengarah ke
sentral, kekeruhan ini tampak gelap apabila dilihat menggunakan
retroiluminasi. Secara histopatologi, karakteristik dari katarak kortikal
adalah adanya pembengkakan hidrofik serabut lensa. Globula Morgagni
(globules-globulus material eosinofilik) dapat diamati di dalam celah
antara serabut lensa (Rosenfeld et al, 2007).

10
iii. Katarak Subkapsularis Posterior

Katarak subkapsularis posterior terdapat pada korteks di dekat


kapsul posterior bagian sentral (Harper et al,2010). Katarak ini biasanya
didapatkan pada penderita dengan usia yang lebih muda dibanding kedua
jenis katarak yang lain. Gejalanya antara lain adalah fotofobia dan
penglihatan yang buruk saat mata berakomodasi atau diberikan miotikum.
Ini dikarenakan ketika pupil konstriksi saat berakomodasi, cahaya yang
masuk ke mata menjadi terfokus ke sentral, dimana terdapat katarak
subkapsularis posterior, menyebabkan cahay menyebar dan mengganggu
kemampuan mata untuk memfokuskan pada makula (Rosenfeld et al,
2007).

Deteksi katarak subkapsularis posterior paling baik menggunakan


biomikroskop slitlamp pada mata yang telah ditetesi midriatikum. Pasda
awal pembentukan katarakakan ditemukan gambaran kecerahan mengkilap
seperti pelangi yang halus pada lapisan korteks posterior. Sedangkan pada
tahap akhir terbentuk kekeruhan granular dan kekeruhan seperti plak di
kortek subkapsular posterior (Rosenfeld et al, 2007). Kekeruhan lensa di
sini dapat timbul akibat trauma, penggunaan kortikosteroid (topical atau
sistemik), peradangan atau pajanan radiasi pengion (Harper et al, 2010).

Gambar 2.4 Jenis Katarak Senilis (A. Katarak Nuklear, B. Katarak


Kortikal, dan C (Katarak Subkapsularis Posterior).

e. Stadium Katarak Senilis

i. Katarak Insipien

Pada stadium ini akan terlihat hal-hal berikut:

11
1. Katarak kortikal: kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji
menuju korteks anterior dan posterior. Vakuol mulai terlihat di dalam
korteks.

2. Katarak subkapsular posterior: kekeruhan mulai terlihat anterior


subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan korteks
berisi jaringan degenerative (benda Morgagni). Kekeruhan ini dapat
menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama
pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk
waktu yang lama (Ilyas, 2010).

ii. Katarak Imatur

Katarak imatur, sebagian lensa keruh atau katarak. Katarak yang


belum mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan dapat
bertambah volume lensa akibat meningktnya tekanan osmotic bahan lensa
yang degenerative. Pada keadaan lensa mencembung akan dapat
menimbulkan hambatan pupil, sehingga terjadi glaukoma sekunder.

iii. Katarak Matur

Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh massa lensa.


Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila
katarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan
keluar, sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi
kekeruhan seluruh lensa yang bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi
lensa. Bilik mata depan akan berukuran kedalaman normal kembali, tidak
terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris
negatif (Ilyas, 2010).

iv. Katarak Hipermatur

Katarak hipermatur, katarak yang mengalami proses degenerasi


lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang
berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi kecil,
berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam
dan lipatan kapsul lensa. Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan
kapsul yang tebal maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat
keluar, maka korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu

12
disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih
berat. Keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni.

f. Gejala Klinis
Gambaran klinis yang dapat ditemui antara lain adalah:
i. Penurunan ketajaman visus
Katarak secara klinis relevan jika menyebabkan penurunan
signifikan pada ketajaman visual, baik itu dekat maupun jauh. Biasanya
akan ditemui penurunan tajam penglihatan dekat signifikan dibanding
penglihatan jauh, mungkin disebabkan oleh miosis akomodatif. Jenis
katarak yang berbeda memiliki tajam penglihatan yang berbeda pula.Pada
katarak subkapsuler posterior dapat sangat mengurangi ketajaman
penglihatan dekat menurun daripada penglihatan jauh.Sebaliknya katarak
nuklear dikaitkan dengan tajam penglihatan dekat yang tetap baik dan
tajam penglihatan jauh yang buruk. Penderita dengan katarak kortikal
cenderung memperoleh tajam penglihatan yang baik.1
ii. Silau
Seringkali penderita mengeluhkan silau ketika dihadapkan dengan
sinar langsung. Biasanya keluhan ini ditemukan pada katarak subkapsuler
posterior dan juga katarak kortikal. Jarang pada katarak nuklearis.1
iii. Sensitivitas kontras
Sensitivitas kontras dapat memberikan petunjuk mengenai
kehilangan signifikan dari fungsi penglihatan lebih baik dibanding
menggunakan pemeriksaan Snellen. Pada pasien katarak akan sulit
membedakan ketajaman gambar, kecerahan, dan jarak ruang sehingga
menunjukkan adanya gangguan penglihatan.1
iv. Pergeseran myopia
Pasien katarak yang sebelumnya menggunakan kacamata jarak dekat
akan mengatakan bahwa ia sudah tidak mengalami gangguan refraksi lagi
dan tidak membutuhkan kacamatanya. Sebaliknya pada pasien yang tidak
menggunakan kacamata, ia akan mengeluhkan bahwa penglihatan jauhnya
kabur sehingga ia akan meminta dibuatkan kacamata. Fenomena ini
disebut pergeseran miopia atau penglihatan sekunder, namun keadaan
inibersifatsementaradanterkait denganstadium katarak yang sedang
dialaminya.1
v. Diplopia monokuler

13
Pada pasien akan dikeluhkan adanya perbedaan gambar objek yang
ia lihat, ini dikarenakan perubahan pada nukleus lensa yang memiliki
indeks refraksi berbeda akibat perubahan pada stadium katarak. Selain itu,
dengan menggunakan retinoskopiatau oftalmoskopi langsung, akan
ditemui perbedaan area refleks merah yang jelasterlihat dan tidak terlalu
jelas.1

g. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan pfisik, serta
pemeriksaan penunjang 1:
i. Anamnesis dari katarak
Riwayati kondisi mata sebelumnya operasi mata sebelumnya, glaucoma,
retinal detachment, penyakit mata diabetes. Riwayat penykit sebelumnya
diabetes, sickle cell, sindrom Marfan, hemosistinuria, hiperlisinemia,
defisiensi sulfat oksidase. Keluhan penglihatan penurunan penglihatan
(katarak, subluksasi lensa, disloksi lensa, ruptur globe, trauma optic
neuropati, perdarahan vitreous, retinal detachment); monocular diplopia
(subluksasi lensa dengan phakik parsial dan aphakik vision); binocular
diplopia (traumatic nerve palsy, fraktur orbita); nyeri (skunder glaucoma
menjadi hiphema, pupillary block, atau lens particles, perdarahan
retrobulbar, iritis).
ii. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi visus, lapangan pandang,kerusakan
ekstraokuler, tekanan intraokuler, bilik anterior, lensa, cairan vitreus,
funduskopi dan fundus reflex.
iii. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain B-scan jika pole
posterior tidak dapat terlihat, A-scan sebelum ekstraksi katarak, CT scan
orbita adanya fraktur, bendaasing, atau kelainan lain.1

h. Penatalaksanaan Katarak Senilis

Operasi katarak merupakan operasi mata yang sering dilakukan


diseluruh dunia, karena merupakan modalitas utama terapi katarak. Tujuan
dilakukan operasi katarak adalah perbaikan tajam penglihatan sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien (Purnaningrum, 2014).

14
Indikasi utama operasi katarak paling umum adalah keinginan pasien
sendiri untuk memperbaiki fungsi penglihatannya. Indikasi dilakukan
tatalaksana bedah untuk katarak tidak berdarakan visual acuity tertentu
melaiankan berdasarkan tingkat gangguan visual terhadap aktivitas sehari-
hari (Rosenfeld, 2007).

Misalnya jika katarak masih imatur dengan visus 6/24 namun pasien
adalah seorang polisi dan sangat terganggu maka bisa dilakukan operasi. Jika
katarak sudah matur namun pasien tidak merasa tidak terganggu berarti tidak
perlu dilakukan bedah. Namun jika katarak mencapai hipermatur dapat
meningkatkan resiko terjadinya glaukoma dan uveitis. Indikasi medis untuk
bedah katarak adalah galukoma fakolitik, glaucoma fakomorfik, uveitis
fakoantigenik, dan dislokasi lensa ke bilik anterior (Rosenfeld, 2007).

Bedah katarak telah mengalami perubahan dramatis selama 30 tahun


terakhir ini. Perbaikan terus berlanjut dengan peralatan otomatis dan berbagai
modifikasi lensa intraocular yang memungkinkan dilakukannya operasi
melalui insisi kecil. Metode operasi yang digunakan sekarang adalah
ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK), ekstraksi katarak ekstrakapsular
(EKEK), dan fakoemulsifikasi (Harper et al, 2010).

i. Teknik Operasi Kataran


Operasi dilakukan untuk 1 mata sekali operasi. Prosedur yang sama bisa
dilakukan jika setelah sekitar 1 minggu mata yang pertama kali di operasi
telah stabil.8
a. Intracapsular Cataract Extraction
Hingga pertengahan tahun 1980, metode ini masih menjadi pilihan.Intra
kapsular cataract extraction digunakan hanya jika terjadi subluksasi lensa atau
dislokasi lensa.Seluruh lensa dibekukan dalam kapsul dengan cryophake dan
di buang dari mata melalui sayatan besar kornea superior (gambar 10).

15
b. Extracapsular Cataract Extraction
Extracapsular cataract extraction dengan implantasi dari
intraocular lens (IOL) di posterior chamber adalah sebagai metode
operasi pilihan utama untuk sekarang ini.Dengan melakukan
Pembukaan anterior kapsul (capsularrhexis), kemudian hanya korteks
dan nukleus yang dibuang (extracapsular extraction); kapsul posterior
dan zonula dipertahankan tetaap utuh.Ini menyediakan dasar yang stabil
untuk implantasi lensa intraocular di chamber posterior (gambar 11).

Sekarang ini metode phacoemulsification adalah metode yang lebih


disukai untuk menghilangkan nukleus. Dimana nukleus sangat sulit sehingga
seluruh nukleus harus di express atau di aspirasi. Kemudian bagian lembut
dari korteks dikeluarkan oleh alat penghisap dengan aspirator ataupun
irrigator.Kemudian, kapsul posterior di perhalus dan IOL di implantaasikan di
kantong kapsul yang kosong.Phacoemulsificationdan implantasi IOL hanya
membutuhkan insisi yang panjangnya 3-6 mm. dimana teknik menembus
yang digunakan untuk membuat sayatan ini tidak memerlukan jahitan
dikarenakan luka akan menutup dengan sendirinya.8
Keuntungan lebih dari intracapsular cataract extraction adalah
dikarenakan extracapsular cataract extraction biasanya tidak mencapai
exposur yang luas dari retina seperti intracapsular cataract extraction,
terutama apabila katarak skunder hadir. Namun extraocular cataract

16
extraction mempertahankan integritas anterior dan posterior bilik mata, serta
badan vitreous tidak bisa prolaps setelah ekstraksi katarak intrakapsular8.
j. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: Komplikasi lain yang dapat
berhubungan, seperti phakolitik, phakomorpik, blok pupil, glaucoma sudut
tertutup, uveitis, retina dsetachment, ruptur koroid, hipema perdarahan
retobulbar, neurophati optik traumatik.1
k. Prognosis
Prognosis katarak baik bila dilakukan pembedahan tanpa disertai factor
yang memperberat Pemulihan tajam penglihatan pasca bedah katarak dapat
juga melebihi dari hasil yang diprediksi sebelumnya. Prediksi tajam
penglihatan pasca bedah sangat penting untuk memberikan informasi kepada
penderita dan keluarganya mengenai prognosis tajam penglihatan pasca
bedah, bila operasi yang mereka jalani tanpa komplikasi (Boyd, 2010; Gus,
2010).

3. Diagnosis Banding

17
BAB III
RINGKASAN

1. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat
kedua-duanya.
2. Katarak adalah penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik internal maupun eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain
adalah umur dan jenis kelamin sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh
adalah pekerjaan dan pendidikan
3. Diagnosis katarak ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologis.
4. Penatalaksanaan Katarak tidak dapat dicegah kecuali pada kebutaannya yaitu
dengan tindakan operasi.
5. Prognosis katarak secara umum adalah baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arimbi, A.T., 2012, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Katarak Degeneratif


di RSUD Budhi Asih Tahun 2011, Universitas Indonesia.

Dahlan, M. S., 2009. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian
kedokteran dan kesehatan. Seri Evidence Based Medicine 2. Edisi2. Jakarta:
Salemba Medika.

Dahlan, M. S., 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Seri Evidence
Based Medicine 1. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.

Devgan, Uday. 2010.‘Cataract surgery in Diabetic Patient’. Retina Today Vol 2010.
Available from: http://retinatoday.com/2010/08/cataract-surgery-in-diabetic-
patients.

Erman, I., Elviani, Y., and Soewito, B. Hubungan Umur dan Jenis Kelamin dengan
Kejadian Katarak di Instalasi Rawat Jalan (Poli Mata) RS. dr. Sobirin Kab.
Musi Waras Tahun 2014. Politeknik Kesehatan Palembang

Harper, R.A., Shock, J.P., 2010. Lensa. In: Whitcher, J.P. & Eva, P.R. (eds.),
Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran
Jakarta: EGC.

Husain, R., Tong, L., Fong, A., Cheng, J.F., How, A., Chua, W.H., Lee, L., et al.
2005. ‘Prevalence of cataract in rural Indonesia’, American Academy of
Ophthalmology Journal, vol. 112, no. 7, pp. 1255-1262.

Ilyas, S., 2009. Kelainan refraksi dan kacamata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Ilyas, S., 2010. Ilmu penyakit mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Javadi, M.A., and Ghanavati, S.Z., 2008. Cataracts in Diabetic patients: A review
article. Journal of Opthalmic and Vision Research. Vol. 3, no. 1, pp. 52-65.

Khandekar, R., Raisi A.A., 2009. ‘Assessment of Visual Gain Following Cataract
Surgeries in Oman: A Hospital Based Cohort Study’, Oman Medical Journal,
vol. 24, no. 1, pp. 11-16.

Lindfield, R, Vishwanath, K., Ngounou, F., & Khanna, R.C., 2012. The Challenges
in Improving Outcome of Cataract Surgery in Low and Middle Income
Countries. Indian J Ophthalmol. vol 60, no. 5, pp. 464–469.

Machan, Carolyn., 2012. Type 2 Diabetes Mellitus and The Prevalence of Age-
Related Cataract in a Clinic Population. University of Waterloo

Malhotra, R., 2008. Eye essentials cataract. Eds Doshi, S. & Harvey, W. China:
Elsevier.

PERKENI, 2011. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pollreisz, A., Schmidt, U.,
2010. Diabetic Cataract—Pathogenesis, Epidemiology and Treatment. Vol.
2010. Available from: http://www.hindawi.com/journals/joph/2010/608751.
[Accesed 5 Mei 2015].

19
Purnamasari, D, 2010. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Sudoyo,
A.W. et al. Buku ajar penyakit dalam. Edisi V, Jilid III. Jakarta: Internal
Publishing.

Purnaningrum, N.P., 2014. Perbedaan Tajam Penglihatan Pascaoperasi


Fakoemulsifikasi pada Pasien Katarak Senilis dengan Diabetes Melitus dan
Tanpa Diabetes Melitus, Universitas Diponegoro. Rangking RI Keempat
Jumlah Penderita Diabetes Terbanyak Dunia 2011, PDPERSI. Available
from:
http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?catid=23&mid=5&nid=618.
[Accesed 1 Mei 2015].

Rizkawati, 2012, Hubungan Antara Kejadian Katarak dengan Diabetes Melitus di


Poli Mata RSUD dr. Soedarso Pontianak, Universitas Tanjungpura.

Rosenfeld, S.I. et al, 2007. Basic and clinical course: lens and cataract. Section
2007-2008. Singapore: American Academy of Ophthalmology.

Sastroasmoro, S. dan Ismael, S., 2011. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.


Edisi 4. Jakarta: Sagung Seto. Sirlan F, blindness pattern in Indonesia, Sub
Directorate Community Eye Health, Ministry of Healthy, 2000,10-12.

Tabandeh, H. et al, 1994. Lens hardness in mature cataracts. Eye. vol 8, no. 10, pp.
453–455

WHO, 2012.Global data on visual impairments 2010. WHO Press.

20

Anda mungkin juga menyukai