Anda di halaman 1dari 52

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DEMAM DENGUE

Disusun oleh:
Hanifah Zain
1710029022

Pembimbing:
dr. Sukartini, Sp.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
MARET 2018

i
Tutorial Klinik

DEMAM DENGUE

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak


HANIFAH ZAIN
1710029022

Menyetujui,

dr. Sukartini, Sp.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
MARET 2018

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial Klinik mengenai “Demam Dengue”.
Refleksi kasus ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan refleksi kasus ini tidak
lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Samarinda.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. dr. Hendra, Sp. A, sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Sukartini, Sp.A, selaku dosen pembimbing tutorial klinik.
5. dr. Sukartini, Sp.A, selaku dosen pembimbing klinik selama penulis di stase
Ilmu Kesehatan anak.
6. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
7. Rekan sejawat dokter muda stase Ilmu Kesehatan Anak angkatan 2018/2019
yang telah bersedia memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada
penulis.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam refleksi kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir
kata, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Samarinda, Maret 2018

DAFTAR ISI Penulis

iii
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................... ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB 2 KASUS........................................................................................................2
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................11
3.1 Demam Berdarah Dengue 11
3.1.1 Definisi 11
3.1.2 Epidemiologi 11
3.1.3 Etiologi 14
3.1.4 Patofisiologi 15
3.1.5 Patogenesis 18
3.1.6 Manifestasi Klinis 23
3.1.7 Diagnosis 25
3.1.8 Pemeriksaan Penunjang27
3.1.10 Penatalaksanaan 30
3.1.11 Prognosis 45
BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................46
4.1 Anamnesis 46
4.2 Pemeriksaan Fisik 47
4.3 Pemeriksaan Penunjang 47
4.4 Diagnosis 48
4.5 Penatalaksanaan 49
BAB 4 KESIMPULAN..........................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................52

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor
nyamuk (”mosquito borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia
terutama di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis
dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan
demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom
syok dengue (dengue shock syndrome/DSS). 1
Infeksi dengue dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat serotipe
virus yang dikenal (DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4). Infeksi salah satu
serotipe akan memicu imunitas protektif terhadap serotipe tersebut tetapi tidak
terhadap serotipe yang lain, sehingga infeksi kedua akan memberikan dampak
yang lebih buruk. Hal ini dikenal sebagai fenomena yang disebut antibody
dependent enhancement (ADE), dimana antibodi akibat serotipe pertama
memperberat infeksi serotipe kedua. 1
Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut
endemis di Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis
atau kegagalan pengobatan. Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini
sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat
memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan
pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris. 2

1.2 Tujuan
1) Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2) Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan
yang terdapat langsung pada kasus.
3) Mendiagnosa dengan cepat dan menyusun rencana tatalaksana yang tepat
kepada pasien.

1
BAB 2

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Identitas pasien
Nama : An. P.D.M
Usia : 3 Tahun 6 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 18 Kg
Tinggi Badan : 103 centimeter
Anak ke : Pertama dari 1 bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Jl. Padat Karya, Loa bakung, Samarinda

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. BS
Usia : 29 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Padat Karya, Loa bakung, Samarinda
Pendidikan terakhir : SMP
Pernikahan ke : pertama

Nama Ibu : Ny. S


Usia : 24 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Padat Karya, Loa bakung, Samarinda
Pendidikan terakhir : SMK
Pernikahan ke : pertama

MRS tanggal 23 Maret 2018 Pukul 22.00 WITA.

3.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 26 Maret 2018, di ruang Melati.
Alloanamnesa oleh pasien dan ibu kandung pasien.

3.2.1 Keluhan Utama


Demam sejak 5 hari yang lalu SMRS

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie pukul 4 sore dengan keluhan
demam sejak ± 5 hari yang lalu. Demam timbul mendadak sejak sore hari dan

2
demam semakin tinggi setiap malam hari. Keluhan demam disertai dengan batuk
dan pilek yang muncul bersamaan. Batuk dirasakan sepanjang hari. 1 hari SMRS ,
keluhan BAB cair 1x. Keluhan mimisan dan gusi berdarah disangkal . Keluhan
nyeri pinggang dan rasa sakit saat buang air kecil juga disangkal serta keluhan
mual dan muntah disangkal. Perdarahan spontan pada pasien disangkal. OT
mengatakan 4 hari SMRS sudah pernah diberi obat paracetamol namun tidak
membaik karena tiap minum obat dimuntahkan oleh pasien, karena keluhan
pasien tidak membaik, pasien dibawa ke RS AWS.

Riwayat anggota keluarga di rumah dan tetangga yang mengalami sakit


yang sama disangkal. Nafsu makan dan minum baik. BAB dan BAK dalam batas
normal.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya pernah dirawat dengan keluhan muntah-muntah pada
usia 2 tahun. Pasien belum pernah dirawat dengan keluhan yang serupa.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat serupa.

3.2.5 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 3700 gram
Panjang badan lahir : 51 cm
Berat badan sekarang : 18 kg
Tinggi badan sekarang: 103 cm
Gigi keluar : 6 bulan
Tersenyum : OT lupa
Miring : OT lupa
Tengkurap : OT lupa
Duduk : OT lupa
Merangkak : OT lupa
Berdiri : OT lupa
Berjalan : OT lupa

3
Berbicara : OT lupa
Masuk TK : Belum sekolah

3.2.6 Makan dan Minum Anak


ASI : ASI ekslusif 1 bulan
Susu sapi : Dari usia 1 bulan
Makanan lunak : Mulai usia 3 bulan
Makan padat dan lauknya : OT lupa

3.2.7 Pemeriksaan Prenatal


Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

3.2.8 Riwayat Kelahiran


Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan

4
2.2.10 Keluarga Berencana
Keluarga Berencana : Suntik hormon

3.2.11 Jadwal Imunisasi


Imunisasi BCG, Polio, Campak, DPT, Hepatitis B lengkap
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster Booster
I II
BCG 1 bulan ////// ////// ////// ////// //////
Polio 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
Campak 9 bulan ////// ////// ////// ////// //////
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan ////// - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 6 bulan - - -

3.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 26 Maret 2018
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 18 Kg
Panjang Badan : 103 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 90/60 mmHg
Nadi 132 x/menit
Pernafasan 22 x/menit
Temperatur axila 38,1o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tidak mudah di cabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-), mimisan
(-), bekuan darah (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan pada
gusi (-), faring hiperemis (-), stomatitis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-) nyeri tekan (-)

Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S

5
Perkusi : Sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler, Stridor (-), Ronki
(-/-), wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tampak pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler kesan normal,murmur
(-),gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : flat, sikatriks (-) striae (-) hernia umbilikalis (-) scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kulit normal
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-), rumple
leed (-), petekie (-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-),
petekie (-)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium 23 Maret 2018
Pemeriksaan hematologi dan kimia klinik pukul 20:05:25
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Leukosit 2.710 /µL 4.500 – 14.500 /µL
Hemoglobin 12,3 g/dl 12,0 – 16,0 g /dL
Hematokrit 37,6% 35,0 - 45,0 %
MCV 74,5 fL 81,0 – 99,0 fL
MCH 24,4 pg 27,0 – 31,0 pg
MCHC 32,8 g/dL 33,0 – 37,0 g/dL
Trombosit 142.000 /µL 150.000 – 450.000 /µL
Neutrofil% 20 % 40 – 74 %
Limfosit% 70 % 19 – 48 %
Monosit% 10 % 3–9%
Eosinofil% 0% 0–7%
Basofil% 1% 0–1%

6
Kimia Klinik
GDS 98 mg/dL 70-140 mg/dL
Natrium 134 mmol/L 135-155 mmol/L
Kalium 4,6 mmol/L 3,6 – 5,5 mmol/L
Chloride 101 mmol/L 98 – 108 mmol/L
HbsAg Non Reaktif < 0,90 COI
Anti HIV Non Reaktif Non Reaktif

7
Pemeriksaan Laboratorium Serial

23/3/2018 24/3/2018 26/3/2018


20.00
08.00 08.00
Hb 12,3 11,7 12,7
Ht 37,6 36 40
L 2710 3200 6300
T 142.000 128.000 165.000

3.5 Diagnosis Kerja (IGD)

Observasi Febris Hari ke – 5 et causa infeksi virus

3.6 Penatalaksanaan IGD


Konsul ke dr. Sp.A
 Cek DL

 IVFD RL 1400cc/24 jam

 Paracetamol 3 x 200 mg

 Metoclopramide 2 mg (k/p)

 N-Acetil Sistein 250 mg dan CTM 1 mg = 3 dd pulv I

 Observasi TTV dan perdarahan

8
Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
12-Feb-2018 S: Demam hari ke 7, pasien A : DHF grade II
(perawatan H mengaku mual, gusi berdarah P:
ke1) (+) - IVFD RL 2000 cc/24 jam
TD : 100/70 mmHg - Paracetamol 3 x 500 mg
N:76 x/menit, reguler,kuat - OMZ 2x20mg
angkat - Cek DL tiap 24 jam
RR:21 x/Menit, - TTV/6 jam
T:36,5 0C,
K/L An (-/-) ik (-/-)
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-),
stridor (-) S1 S2 tunggal
reguler.
Abd BU (+) N,
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (-), rumple leed
(+)

Lab :
Leukosit : 2.400/mm3
Hb : 15,5 g/dL
Ht : 44,3 %
Plt : 21.000/mm3
13 Februari 2018 S: Demam hari ke-8, nyeri A : DHF grade II
(perawatan H-2) perut (+) gusi berdarah (-) P:
O: - IVFD RL 2000 cc/24 jam
CM - Paracetamol 3 x 500 mg
TD : 100/70 mmHg - Cek DL tiap 12 jam
N:76 x/menit, reguler,kuat
angkat
RR:21 x/Menit,
T:36,5 0C,
K/L An (-/-) ik (-/-)
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-),
stridor (-) S1 S2 tunggal
reguler.
Abd BU (+) N,
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (+), rumple leed
(+)
Lab :
Leukosit : 2.900/mm3
Hb : 13,7 g/dL

9
Ht : 46%
Plt : 78.000/mm3

14 Februari 2018 S: Demam (-) nyeri perut A : DHF grade II


(perawatan H-3) berkurang, gusi berdarah (-) P:
O: - IVFD RL 10 tpm
CM - Paracetamol 3 x 500 mg
TD : 110/70 mmHg - Cek DL tiap 12 jam
N:76 x/menit, reguler,kuat - OMZ stop
angkat
RR:21 x/Menit,
T:36,5 0C
K/L An (-/-) ik (-/-)
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-),
stridor (-) S1 S2 tunggal
reguler.
Abd BU (+) N,
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (+), rumple leed
(+) ruam konvalesen (+)

Lab :
Leukosit : 4.400/mm3
Hb : 15,8 g/dL
Ht : 48 %
Plt : 212.000/mm3

10
15 Februari 2018 S: Demam (-) , nyeri perut A : DHF grade II
(perawatan H ke berkuranggusi berdarah (-) P:
4) O: - Acc KRS
CM - Paracetamol 3 x 500 mg
TD : 110/70 mmHg
N:76 x/menit, reguler,kuat
angkat
RR:21 x/Menit,
T:36,5 0C,
K/L An (-/-) ik (-/-)
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-),
stridor (-) S1 S2 tunggal
reguler.
Abd BU (+) N,
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (+) berkurang,
ruam konvalesen (+)
berkurang

Lab :
Leukosit : 4400/mm3
Hb : 16,1 g/dL
Ht : 47 %
Plt : 212.000/mm3

11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Demam Dengue


3.1.1 Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan oleh
”arthropod borne viruses” dengan ciri demam bifasik, mialgia atau atralgia, rash,
leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan
penyakit demam akibat virus dengue yang berat dan sering kali fatal. 3
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas
vaskuler dan bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan demam dengue (DD)
dapat mengalami perdarahan berat walaupun tidak memenuhi kriteria WHO untuk
DBD. 1

3.1.2 Epidemiologi
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,
kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus
dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak
perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara,
pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari
golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya,
jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh
musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus
meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada
bulan Januari (Soedarmo, 2012)

12
Gambar 2.1 Negara dengan resiko transmisi dengue (WHO, 2011)
Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam
berdarah dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air,
manejemen sampah padat, infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism,
peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia
berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam berdarah dengue.
Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam dengue
dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor,
tingginya angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat
serotype, dan tersebar di seluruh area (WHO, 2011).

3.1.3 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 50 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106 (WHO,2011; Soedarmo, 2012)

13
Gambar 3.4 Virus Dengue
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan
terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia
(Soedarmo, 2012).
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya.
Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies
lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor
sekunder dan epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes
aegypty.8

14
Gambar 2. Profil nyamuk Aedes dibandingkan nyamuk anopheles dan culex

3.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah
adanya perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi
sebagai peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma
ini membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue. 9,10
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. 3 Beberapa teori
dan hipotesis yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
1. Teori virulensi virus 6. Teori endotoksin
2. Teori imunopatologi 7. Teori limfosit
3. Teori antigen antibodi 8. Teori trombosit endotel
4. Teori infection enchancing antibody 9. Teori apoptosis. 9
5. Teori mediator
Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris
muncul teori infeksi sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan
aktivasi komplemen, dari sini berkembang menjadi teori infection enhancing
antibody kemudian muncul peran endotoksemia dan limfosit T. 9

15
Gambar 2. Teori secondary heterologous infection yang pertama kali
dipublikasikan oleh Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan
patofisiologi DD/DBD

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori


enhancing antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting
untuk dipahami. 10
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe
berbeda dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil
laboratorium hanya berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan
uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer.
Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini,
diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting
dalam patofisiologi DBD. 10

Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory


Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Beliau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik
selama perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel
mononuklear yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan

16
studi in vitro, teorui ini saat ini dikenal sebagai ”antibody dependent
enhancement” (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis DBD/DSS.
Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder
dengan serotipe virus dengue heteroolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami
DBD dan DSS. 1
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus
DEN akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
-
Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui
reseptor Fc dan masuk dalam monosit
-
Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan
sumsum tulang (terjadi viremia).
-
Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan
berbagai sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi
(sistem komplemen), sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi
permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor koagulasi. 10

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:


-
Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)
-
Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection
enhancing antibody). 10

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan


menyebabkan kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus.
Teori ini pula yang mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan
akan cenderung lebih berat. Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks
antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam monosit akan terjadi
opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup
dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit
terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.10

17
Gambar 3. Teori secondary heterologous infection

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup


respon imun meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999)
menjelaskan bahwa kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder
dengue terjadi akibat efek sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman
teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh.1
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus
membentuk kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor
Fc monosit (makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini
melalui antigen MHC memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi
pelepasan sitokin (IFN-γ) yang mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga
terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini
memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi
platelet, produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi
kaskade inflamasi.

18
Gambar 4. Respon imun pad ainfeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksid
an patogenesis DBD/DSS
(dikutip dari kepustakaan no. 10 )

Tabel 1. Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD


(dikutip dari kepustakaan no. 10 )

3.1.5 Patogenesis
Mekanisme terjadinya DBD belum diketahui secara pasti dan masih
diperdebatkan. Pada tahun 1973 Halstead mengajukan hipotesis secondary

19
heterologous infection yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila
seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua
dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun
(IDAI, 2015). Reinfeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi (Suhendro et al., 2014).
Bagan patogenesis perdarahan berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection yang dirumuskaan oleh Suvatte, tahun 1977:

Patogenesis perdarahan DBD (Suhendro et al., 2014).

Terdapatnya kompleks antigen antibodi tersebut dapat menyebabkan hal-hal


berikut:

1. Mekanisme imunopatogenesis infeksi virus dengue melibatkan respon humoral


berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang di mediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi.
Juga melibatkan limfosit T baik T helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8),
monosit dan makrofag, sitokin serta aktivasi komplemen. Terjadinya infeksi
makrofag, monosit atau sel dendritik oleh virus dengue melalui proses
endositosis mengaktivasi sel T helper (CD4) dan sel T sitotoksik (CD8) yang

20
menghasilkan limfokin dan interferon gamma. Aktivasi ini makrofag dan
monosit akan merangsang infeksi virus dengue untuk mengaktivasi makrofag
dan monosit yang lainnya, yang selanjutnya akan memproduksi mediator

inflamasi seperti TNF , IL-1, PAF (Platelet Activating Factor), IL-6,

histamin sedangkan limfosit T menghasilkan mediator inflamasi berupa IL-2,

TNF , IL-1, IL-6 dan IFN. Mediator inflamasi ini mengakibatkan terjadinya

disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Selain itu kompleks virus
dan antibodi ini akan mengaktifkan sistem komplemen dengan mensekresikan
C3a dan C5a yang disebut anafilatoksin, yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma
dari intravaskuler menuju ekstravaskuler mengakibatkan terjadinya kebocoran
plasma. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya hemokonsentrasi yang
ditandai dengan peningkatan nilai hematokrit, hipoproteinemia, penurunan
kadar natrium darah, terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura,
asites) gangguan sirkulasi dan akhirnya menyebabkan syok. Syok yang tidak
ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang
dapat berakibat fatal (Rena, Utama, & M, 2009; Valentino, 2012; Frans, 2011;
WHO SEARO, 2011).
2. Aktivasi sistem koagulasi dimulai dari aktivasi faktor hageman (faktor XII)
menjadi bentuk aktif (faktor XIIa). Factor XIIa akan mengaktifkan faktor
koagulasi lainnya, sehingga mengaktifkan sistem fibrinolisis yang bila
berkepanjangan berakibat menghambat hemostasis. Selain itu juga
mengaktifkan sistem kinin yang menyebabkan pelebaran dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok (Rena, Utama,
& M, 2009; Suhendro et al., 2014; Valentino, 2012).
3. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit yang mengeluarkan
ADP (Adenosine Diposphat) diduga sebagai penyebab agregasi trombosit yang
kemudian akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial khususnya limpa
dan hati. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor
III yang mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif. Ditandai dengan
meningkatnya FDP (Fibrinogen Degradation Product) sehingga dapat terjadi

21
penurunan faktor pembekuan yang dapat menyebabkan dan memperparah
perdarahan karena terjadinya trombositopenia hebat yang berakibat perdarahan
massif. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi (Rena,
Utama, & M, 2009; Frans, 2011; Valentino, 2012).

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan


biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena
kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan
untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini
sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis
atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat
terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan
infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5
tahun. (Soedarmo, 2012)
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES
meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto,
2006).
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam
sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya
masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural
virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006)
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang
berfungsi menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody
dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang
dibedakan berdasarkan adanya virion determinant spesificity, yaitu (Soedarmo,
2012):

22
1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi
tetapi memacu replikasi virus
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus.
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan
menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi
virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menimbulkan
manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis
(the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut
(Soedarmo, 2012):
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus
dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini
disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang
telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke
usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme
eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa syok adalah
jumlah sel yang terkena infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem
humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi.
Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD.
Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat
mengeluarkan interferon α dan γ. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue,
Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon α. Interferon α
selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan

23
monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus
dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan (Soedarmo, 2012).
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan “cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini
menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini
dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus
DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak
ada “cross protectif” terhadap serotip virus yang lain (Soegijanto, 2006).

3.1.6 Manifestasi Klinis


Fase klinis perjalanan penyakit infeksi virus dengue terdiri dari fase
demam, fase kritis / syok dan fase konvalesens.

Fase klinis perjalanan penyakit infeksi virus dengue (Djer,2014)


1. Demam Dengue
a. Masa tunas 3-5 hari (umumnya 5 – 8 hari)
b. Awal penyakit mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala,
nyeri anggota tubuh, anoreksia, menggigil, dan malaise.

24
c. Trias sindrom yaitu demam tinggi, nyeri anggota tubuh, dan ruam. Ruam
muncul 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3
– 5 berlangsung 3 – 4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang
pada tekanan.
d. Gejala lain yaitu fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk,
epistaksism dan disuria. Kelenjar limfa membesar (Castelani’s sign)
(Soedarmo,2012).

2. Demam Berdarah Dengue


a. Empat manifestasi klinis yaitu demam tinggi, perdarahan terutama di kulit,
hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah.
b. Membedakan DD dengan DBD adalah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan
diatesis hemoragik.
c. Patokan diagnosis DBD berdasarkan gejala klinis dan laboratorium :
klinis
- Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari
- Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena.
- Pembesaran hati
- Syok yang ditandai nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun
(≤20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≥ 80 mmHg)
disertai kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung ,
jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan timbul sianosis di sekitar
mulut.
Laboratorium
a. Trombositopenia (trombosit < 100.000/ml)
b. Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler dengan
manifestasi sebagai berikut :
- Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standa
- Penurunan hematokrit ≥ 20% setelah pemberian cairan
- Tanda-tanda kebocoran plasma, seperti : efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia
(Soedarmo,2012)
3. Sindrom dengue syok

25
- Biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit
ke 3 – 7.
- Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok.
- Hasil laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
- Hasil laboratorium lainnya hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase
serum dan urea nitrogen darah meningkat. Beberapa kasus ditemukan asidosis
metabolik (Soedarmo,2012).

Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue (Trihadi, 2012)

Tabel 2. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue


(Dikutip dari kepustakaan no. 7 dan 8)
Demam Dengue Gejala Klinis Demam Berdarah
Dengue
++ Nyeri Kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri Otot +
++ Ruam Kulit +
++ Diare
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Limfadenopati +

26
+ Kejang +
0 Kesadaran menurun +
0 Obstipasi ++
+ Uji tornikuet positif +
++++ Petekie ++
0 Perdarahan saluran cerna +++
++ Hepatomegali +
+ Nyeri perut +++
++ Trombositopenia +++
0 Syok ++++
+++
.

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium


DD Demam disertai 2 atau Leukopenia,
lebih tanda: sakit kepala, trombositopenia, tidak ditemukan
nyeri retro-orbital, bukti kebocoran plasma
mialgia, artralgia
DBD I Gejala di atas ditambah Trombositopenia (<100.000/ml),
uji bendung positif bukti ada kebocoran plasma
DBD II Gejala di atas ditambah Trombositopenia (<100.000/ml),
perdarahan spontan bukti ada kebocoran plasma
DBD III Gejala di atas + Trombositopenia (<100.000/ml),
kegagalan sirkulasi bukti ada kebocoran plasma
(kulit dingin dan lembab
serta gelisah)
DBD IV Syok berat disertai Trombositopenia (<100.000/ml),
dengan tekanan darah bukti ada kebocoran plasma
dan nadi tidak terukur
Tabel 2. Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue (DD/DBD)
3.1.7 Diagnosis
Kriteria diagnosis DD (Case definition) berdasarkan WHO 1997 ialah11 :

27
Kriteria klinis :
a. Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7
hari
b. Terdapat dua atau lebih manifestasi klinis berikut : sakit kepala, nyeri
retro-orbita, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan,
leukopenia
Kriteria laboratorium :
- Isolasi virus dengue dari sampel serum, plasma, leukosit atau autopsi

- Penampakan perubahan titer IgG dan IgM lebih besar empat kali lipat
atau lebih terhadap satu atau beberapa antigen virus dengue dalam
serum sampel berpasangan

- Penampakan antigen virus dengue dalam jaringan autopsi melalui


imunohistokimia atau immunofloresens atau dalam sampel serum
dengan ELISA

- Deteksi rangkaian genom virus dalam sampel jaringan autopsi, serum,


atau sampel cairan serebrospinal melalui reaksi rantai polimerase
(polymerase chain reaction, PCR)

Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut


-
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
-
Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi
trombositopeni
-
Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin
meningkat. 5

Pemeriksaan rapid sero diagnostic test


Ig M akan diikuti peningkatan Ig G yang mencapai puncak pada hari ke 15
kemudian Uji serodiagnostik cepat komersial dapat membantu diagnostik dan
dapat pula menimbulkan keraguan. Uji serodiagnostik cepat sering menghasilkan

28
negatif palsu pada hari demam ke 2-3. Kit serodiagnostik yang berisi Ig M, Ig M
dan Ig G atau Ig G saja. Infeksi primer, hari sakit 3-4 akan dijumpai peningkatan
Ig M lalu meningkat dan mencapai puncaknya dan menurun kembali dan
menghilang pada hari sakit ke 30-60. Peningkatan menurun dalam kadar rendah
seumur hidup. Tetapi pada infeksi sekunder akan memacu timbulnya Ig G
sehingga kadarnya naik dengan cepat sedangkan Ig M menyusul kemudian.
Apabila tidak terdeteksi pada hari demam ke 2-3 pada klinis mencurigakan maka
pemeriksaan harus diulang 4-6 hari lagi.

Gambar 10. Respon imun terhadap infeksi dengue


Respon imun terhadap infeksi dengue :
Antibodi Ig M :
c. Mungkin tidak terbentuk hingga 20 hari setelah onset infeksi
d. Mungkin terbentuk pada kadar yang rendah atau tidak terdeteksi pasca
infeksi primer singkat
Antibodi Ig G :
e. Terbentuk dengan cepat pasca 1-2 hari onset gejala
f. Meningkat pada infeksi primer
g. Menetap hingga 30-40 hari dan kemudian menurun
Sekitar 20-30% pasien dengan infeksi sekunder dengue tidak menghasilkan Ig M
anti dengue pada kadar yang dapat dideteksi hingga hari ke 10 dan harus
didiagnosis peningkatan Ig G anti dengue. 4

29
Gambar 11. Perjalanan penyakit infeksi virus dengue

Klasifikasi kasus dengue dan tingkat keparahannnya, (WHO,2009)


3.1.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar
hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa :
- Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui
limfositosis relatif ( > 45% dari leukosit) disertai adanya limfosit

30
plasma biru (LPB) > 15% jumlah total leukosit yang pada fase
syok akan meningkat.
- Trombosit umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8
akibat depresi sumsum tulang
- Hematokrit yaitu kebocoran plasma dibuktikan dengan
ditemukannya penigkatan hematokrit ≥ 20 % dari hematokrit awal.
Sering ditemukan mulai hari ke 3
- Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue :
IgM terdeteksi mulai hari ke 3 – 5, meningkat sampai minggu ke 3
dan menghilang setelah 60 – 90 hari
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14,
pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke 2 (Depkes
RI,2005)
b. Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat
beberapa kelainan yang dapat dideteksi yaitu, efusi pleura, efusi
perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum (Kemenkes
RI,2005) .
c. Pemeriksaan Rumple leed test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah
dengan cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga
darah menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh
suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari
dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan
sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada
permukaan kulit (petechiae).
Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer
pada lengan atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah
nilai sistolik dan diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit,
setelah itu lepaskan ikatan dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis
darah lenyap lagi. Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada

31
lengan yang dibendung tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang
tidak dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam lingkaran
berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan
positif jika terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam
lingkaran tadi.

d. Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
mengetahi infeksi virus dengue yaitu (WHO, 2011):
- Isolasi Virus
Karakteristik serotypic/genotypic
- Deteksi Asam Nukleat Virus
Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain
Reaction)
- Deteksi Antigen Virus
Deteksi antigen NS1.
- Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-
inhibition (HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test
(NT), Ig M capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-
ELISA), danpemeriksaan Ig G ELISA indirect
Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu
muncul pada 2 – 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 – 7
hari saat sakit. Selama periode ini, asam nukleat virus dan antigen virus
dapat terdeteksi.
Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi
Ig M dapat terdeteksi pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat
selama 2 minggu, dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 – 3 bulan.
Antibodi Ig G terdeteksi rendah pada akhir minggu pertama, meningkat
kemudian, dan menetap hingga bertahun – tahun. Pada infeksi sekunder
virus dengue, titer antibodi meningkat cepat. Antibodi Ig G terdeteksi pada
level tinggi, pada saat fase inisial, dan menetap hingga beberapa bulan.

32
Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi dengue sekunder. Oleh
karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk membedakan antara
infeksi primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut infeksi primer
jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan disebut infeksi sekunder
jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2 (WHO, 2011).

3.1.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas ( WHO, 2011) :
a. Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya
b. Penyakit virus lainnya
Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus lainnya, seperti :
Epstein barr virus, Enterovirus, Influenza, Hepatitis A, Hantavirus
c. Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial
disease, Scarlet Fever
d. Penyakit parasit : Malaria
Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis
banding meliputi infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan
protozoa, sama halnya dengan diagnosis banding dari demam dengue.
Adanya trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi
membedakan demam berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya.
Hasil yang normal dari ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat
membedakan dengue dengan infeksi bakteri dan syok septik (WHO,
2011).

3.1.10 Penatalaksanaan
1) Tata laksana Rawat Jalan Demam Dengue
Pasien DD yang tidak memiliki komorbiditas dan indikasi sosial,
diperlakukan sebagai pasien rawat jalan. Pasien diberi pengobatan simtomatik
berupa antipiretik seperti parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/dosis yang
dapat diulang setiap 4-6 jam bila demam. Hindarkan pemberian antipiretik berupa
asetil salisilat, antiinflamasi nonsteroid (non-steroid anti-inflammatory drugs,

33
NSAIDS) seperti ibuprofen. Upaya menurunkan demam dengan metode fisik
seperti kompres diperbolehkan, yang dianjurkan adalah dengan cara “kompres
hangat” (diseka dengan air hangat suam kuku/tepid spongei). Anak dianjurkan
cukup minum, boleh air putih atua teh, namun lebih baik jika diberikan cairan
yang mengandung elektrolit seperti jus buah, oralit atau air tajin. Tanda
kecukupan cairan adalah diurersis setiap 4-6 jam.
Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari hal ini
mengingat tanda dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD, tanda
dan gejala yagn karakteristik baru timbul setelah beberapa hari kemudian. Oleh
karena itu pada pasien degnan diagnosis klinis DD yang ditegakkan pada saat
masuk, baik yang kemudian diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun
rawat inap, masih memerlukan evaluasi lebih lanjut apakah hanya DD atau
merupakan DBD fase awal. Pasien DD, walaupun kecil mempunyai kemungkinan
untuk mengalami penyulit seperti dehidrasi akibat asuapan yang kurang misal
karena timbul muntah, perdarahan berat atau bahkan expanded dengue syndrome.
Dengan kontrol setiap hari dapat diketahui pasien hanya menderita DD, DD
dengan penyulit atau DBD. Tata laksana pasien di rumah harus disampaikan
kepada orang tua dengan jelas, sebaiknya dalam bentuk tertulis. Untuk
mengantisipasi kemungkinan pasien menderita DD dengan penyulit atau DBD
yang mungkin timbul selama rawat jalan, orang tua diminta untuk memantau
konsisi anak, bila ditemukan tanda baha (warning signs) haru segera kemablai ke
rumah sakit tanpa harus menunggu keesokan harinya.
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan tirah baring, selama masih demam, obat anti piretik atau
kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi
<39˚C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidka dianjurkan
(kontraindikasi) oleh karena dapat mnyebabkan gastritis, perdarahan atau asidosis.
Pada pasien dewasa, analgetik atau sedatif ringan kadang-kadang diperlukan
untuk mengurangi nyeri kepala, nyeri otot, atau nyeri sendi. Dianjurkan
pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, selain air putih
dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Tidak boleh dilupakan monitor
suhu, jumlah trombosit, serta kadar hematokrit sampai normal kembali. Pada
pasien DD saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.

34
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadi selama dua hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam.
Perbedaan akan tampak jelas pada saatsuhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan,
perdarahan gusi, apalagi bila harus segera dibawa ke rumah sakit (penerangan
orang tua tertera pada lampiran). Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi
setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Pada saat kita menjumpai
pasien tersangka infeksi dengue, maka bagan 1 dapat dipergunakan.9
Terapi simtomatis diberkan terutama untuk kenyamanan pasien, seperti
pemberian antipiretik dan istirahat.
a. Penggantian cairan
 Jenis cairan
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD.
Tidak dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45 %,
kecuali bagi pasien usia <6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu
jam pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam
ruang intravaskular sedangkan cairan isotonis ¼ volume yang bertahan,
sisanya terdistribusi ke ruang intraselular dan ekstraselular. Pada keadaan
permeabilitas yang menigkat volume cairan yang bertahan akan semakin
berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberina
cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkontik (osmolaritas >300
mOsm/L) seperti dextran 40 atau HES walaupun lebih lama bertahan
dalam ruagn intravaskular namun memiliki efek samping seperti alergi,
mengganggu fungsi koagulasi, dan berpotensi mengganngu fungsi ginjal.
Jenis cairan ini hanya diberikan pada 1) perembesan plasma masif yang
ditunjukkan dengan nilai hematokrit yang makin meningkat atau tetap
tingi sekalipun telah diberi cairan kristaloid yang adekuat, atau 2) pada
keadaan syok yang tidak berhasil dengan pemberian bolus cairan
kristaloid yang kedua. pada bayi <6 bulan diberikan cairan NaCl 0,45%

35
atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda degnan anak yang
lebih besar (Hadinegoro, Moedjito, & Chairulfatah, 2014).
 Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan,
kondisi klinis dan temuan laboratorium. Pasien dengan obesitas,
pemberian jumlah cairan harus hati-hati karena mudah terjadi kelebihan
cairan, penghitungan cairan sebaiknya berdasarkan berat badan ideal.
Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh
karena itu jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan
rumatan (maintenance) ditambah dengan perkiraan defisit cairan 5%.
Contoh untuk anak dengan berat badan ideal 20 kg, maka kebutuhan
cairan adalah 2500 mL/24 jam degan kecepatan 5 mL/kgBB/jam. Apabial
hematokrit meningkat jumlah cairan harus dinaikkan dan bial menurun
jumlah cairan dikurangi.
Banyak ditemukan di klinis adalah pasien yang belum menunjukkan
peningkatan hemotokrit yang berarti (pada keadaan ini diagnosis yang
ditegakkan masih DD). Namun dikhawatirkan merupakan fase awal sakit
DBD, maka volume cairan yagn diberikan cukup rumatan atau sesuai
kebutuhan. Volume cairan ditingkatkan apabial nilai hemotkrit naik dna
kemudian diturunkan bertahap seiring dengan penurunan nilai
hematokrit.
Pemberian cairan dihentikan bila keadaan umum stabil dan telah
melewati fase kritis, pada umumnya pemberian cairan dihentikan setelah
24-48 jam keadaan umum anak stabil.
b. Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38o C dengan
interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan
kompres hangat.
c. Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup, terutama
minum cairan yang mengandung elektrolit.
Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah
Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan
hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan

36
Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang
tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah,
dan lain – lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol.
Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan
demam. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39
0
C dengan dosis 10 – 15 mg/KgBB/kali.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam
tinggi, anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam
4 – 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan
cairan rumatan 80 – 100 ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang
masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang
demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama
masih demam.
Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 – 5 yang
memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam
hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital,
kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali)
perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume
replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.
Cairan intravena diperlukan apabila :
1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin
diberikan minum per oral
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala

Tabel 1.2 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 – 8 %)


Berat Waktu Masuk (Kg) Jumlah Cairan tiap hari
< 7 Kg 220 ml/KgBB/hari
7 – 11 Kg 165 ml/KgBB/hari
12 – 18 Kg 132 ml/KgBB/hari
> 18 Kg 88 ml/KgBB/hari

37
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai
berikut:

Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD

38
Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue

39
Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.

40
Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS
Kriteria memulangkan pasien antara lain (Soedarmo, 2012) :

41
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis)

Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vector virus


dengue. Pengendalian vektor bertujuan (Purnomo, 2010) :
1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti
lagi sebagai penular penyakit.
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.

Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan


lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pemantauan aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu
pandangan untuk mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektor-
patogen. Pengendalian vektor dapat berupa (Purnomo, 2010):
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan
monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap
keluarga,
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB
dalam jangka waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog

42
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam
setelah menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan
tingkat II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan
terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi
sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan
tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidika
epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan resiko
penularan (Soedarmo, 2012).
Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko
penularan DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah – langkah upaya
penanggulangan berupa : foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi
adalah membunuh larva dengan butir – butir abate sand granule (SG) 1 % pada
tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter
100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk
melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk (Soedarmo, 2012).

3.1.10 Prognosis
Infeksi primer demam dengue biasanya sembuh sendiri. Prognosis
dipengaruhi oleh antibody yang didapat pasif atau oleh infeksi sebelumnya
dengan virus yang terkait. Kematian telah terjadi pada 40%-50% penderita dengan
syok tetapi dengan perawatan intensif yang cukup kematian akan kurang dari 2%.
Ketahanan hidup secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif.

43
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Teori Kasus
- Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa
- Demam dirasakan 5 hari SMRS
- Batuk dan pilek sejak 5 hari SMRS
sebab yang jelas. Tipe demam bifasik - Epistaksis (-)
- Perdarahan gusi (-)
- Awal penyakit mendadak, disertai
- BAB darah/hitam (-)
gejala prodromal seperti nyeri kepala, - Nyeri sendi bahu dan lutut (-)
- Nyeri perut (-)
nyeri anggota tubuh, anoreksia,
- Mual dan muntah (-)
menggigil, dan malaise. - Riwayat orang terdekat terkena penyakit
- Tidak ada perdarahan spontan
DBD (-)

4.2 Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
 Suhu biasanya tinggi (>390C), kadang suhu  Suhu tubuh 38,1oC per axila
mugkin setinggi 40-410C.  Nadi 132 x/menit
 Tidak ditemukan perdarahan kulit seperti uji  Tidak ditemukan perdarahan
tourniquet (rumple leede) positif, petekie, spontan berupa petekie
purpura, ekimosis, dan perdarahan  Akral hangat
konjungtiva.  CRT <2 detik
 Tidak ditemukan perdarahan lain epistaksis,  Uji rumple leed (-)
perdarahan gusi, melena, dan hematemesis.

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
Laboratorium Pemeriksaan Penunjang
Leukopenia, trombositopenia, tidak Pemeriksaan Darah (23/03/2018)
ditemukan bukti kebocoran plasma Leukosit : 2.710/mm3
Hb : 12,3 g/dL

44
Ht : 37,6 %
Plt : 142.000/mm3
(leukositopenia, trombositopenia)

Pemeriksaan Darah 24/03/2018


Leukosit : 3.200/mm3
Hb : 11,7 g/dL
Ht : 36%
Plt : 128.000/mm3
(leukositopenia, trombositopenia)

Pemeriksaan darah 26/03/2018


Leukosit : 6.300/mm3
Hb : 12,7 g/dL
Ht : 40 %
Plt : 165.000/mm3

1.4 Diagnosis
Teori Kasus
1. Demam  Demam 5 hari
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari  Manifestasi perdarahan uji

tanpa sebab yang jelas. Tipe demam bifasik torniquie/rumple leed (-) dan petekie

(saddleback). (-)
 Leukopenia
2. Manifestasi perdarahan (-), salah satu  Trombositopenia
tergantung:
a) Uji torniquet (-)
b) Petechie, ekhimosis atau purpura (-)
c) Perdarahan mukosa traktus
gastrointestinal, epistaksis, perdarahan
gusi (-)
d) Hematemesis dan melena (-)
3. Hepatomegali (-)
4. Nyeri kepala, mialgia, arthralgia, dan

45
nyeri retroorbital
5. Kriteria Laboratorium
- Leukopenia,
- Trombositopenia, tidak ditemukan
bukti kebocoran plasma
Penegakan diagnosis Demam Dengue
berdasarkan atas demam ditambah dengan
≥ 2 kriteria klinis ditambah leukositopenia
dan trombositopenia

4.5 Penatalaksanaan
Teori Kasus
 Untuk cairan diberikan cairan Terapi cairan IGD :
maintenace seseuai dengan berat badan  IVFD RL 1400cc/24 jam
 Utuk demam bisa diberikan dengan  Paracetamol 3 x 200 mg
obat penurun panas seperti paracetamol
 Metoclopramide 2 mg (k/p)
disesuaikan dengan berat badan.
 N-Acetil Sistein 250 mg dan CTM 1
mg = 3 dd pulv I

 Observasi TTV dan perdarahan

46
BAB 4
KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien anak perempuan usia 3,5 tahun
yang didiagnosis dengan Demam Dengue berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan yang telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus
tersebut.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. DEPKES RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana


Pelayanan Kesehatan. Indonesia.
2. Djer, M; Sekartini,R; 2014. Current Evidence in Pediatric Practices. FK UI
Departemen IKA.
3. Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia.
4. WHO. 2009 DENGUE Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control.
5. WHO. 2011. Handbook for Clincal Management of Dengue. Halaman 2-6.
6. Soedarmo, S; Garna, H; Hadinegoro, S; Satari, H. 2012. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis edisi kedua. FK UI. IDAI. Indonesia
7. Soegijanto, S. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Unair Press. Indonesia.

48

Anda mungkin juga menyukai