Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
TYPHOID FEVER
Disusun Oleh:
Anna Fitriyana
1710029070
Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini., Sp.A
TUTORIAL KLINIK
TYPHOID FEVER
Oleh:
Anna Fitriyana NIM. 1710029070
Pembimbing:
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial yang berjudul Typhoid Fever.
Tutorial ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Penulisan tutorial ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. William S. Tjeng, Sp.Aselaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Hj. Sukartini, Sp.A sebagai pembimbing dalam penyusunan tugas tutorial
klinik ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan untuk
memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial ini, semoga tutorial ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Samarinda, Juli 2018
Penulis
DAFTAR ISI
2.1 Identitas
Identitas pasien
Nama : An. MAS
Usia : 7 Tahun 6 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 25 Kg
Tinggi Badan : 133 cm
Anak ke : Pertama dari dua bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bayur Pondok Labu No. 21, Samarinda
Identitas Orang Tua
Nama Ayah : Tn. S
Usia : 40 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Bayur Pondok Labu No. 21, Samarinda
Pendidikan terakhir : STM
Pernikahan ke : pertama
2.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 11 Juli 2018, di ruang Melati.
Autoanamnesa oleh pasien dan heteroanamnesa oleh ibu kandung pasien.
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Alergi
Riwayat alergi (-)
Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada
Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam
Keluarga Berencana
Keluarga Berencana : tidak ada
Jadwal Imunisasi
OT mengatakan anak divaksin rutin sesuai jadwal imunisasi
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster Booster
I II
BCG 1 bulan - - - - -
Polio 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
Campak 9 bulan - - - - -
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
4 Penatalaksanaan IGD
1. IVFD D5 ½ NS 20 tpm
2. Ceftriaxone inj 2 x 625mg/IV bolus
3. Paracetamol syr 3 x Cth II
Planning : Cek DL
Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
11 Juli 2018 S: demam↑↓, nyeri perut ulu hati A : Obs. Febris, DD
(perawatan H-1) (+), BAB cair (+), mengigau (+), 1. Demam Typhoid
mual (-), nafsu makan↓, batuk 2. DHF
(+)
O: KU sedang, kesadaran cm, Planning pemeriksaan:
akral hangat, anemis (-/-), lidah - DL, UL
kotor (+), sariawan - Salmonella Typhi IgM
TD: 110/90, N: 68x/menit, RR: - Dengue Test IgM, IgG
20x/menit, T: 37.7 oC - Widal
- Tubex
Lab (11/07/18) jam 08.14
Hb: 10.9 g/dl P : - IVFD RL
Ht: 30.8% 1600cc/24jam
Leukosit: 6.570/ mm3 - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
Trombosit: 70.000/ mm3 - Paracetamol inf 3 x
MCV: 79.9 fl 250mg/IV
MCH: 26.6 pg - Antasida 3 x ½tab PO
MCHC: 33.3 g/dl - CTM 2,5mg dan
Ambroxol 12,5mg (pulv
3x1)
12 Juli 2018 S: demam↑↓, nyeri perut ulu hati A : Demam Typhoid
(perawatan H-2) (+), mengigau (+), mual (-), - ISPA
nafsu makan↓, batuk (+) P : - IVFD RL
O: KU sedang, kesadaran cm, 1600cc/24jam
akral hangat, anemis (-/-), lidah - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
kotor (+), sariawan - Paracetamol inf 3 x
TD: 110/90, N: 70x/menit, RR: 250mg/IV
21x/menit, T: 37.8 oC - Ranitidin 2 x 50mg
- CTM 2,5mg dan
Lab (12/07/18) Ambroxol 12,5mg (pulv
Hb: 10.4 g/dl 3x1)
Ht: 29%
Leukosit: 6.200/ mm3
Trombosit: 117.000/ mm3
- Pemriksaan Urine Lengkap
DBN
Lab (12/07/18)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
IMUNO- SEROLOGI
Salmonella typhi – O (+) 1/320 Negatif
Salmonella typhi – H (+) 1/320 Negatif
Salmonella paratyphi A – O (+) 1/160 Negatif
Salmonella paratyphi A – H (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi B – O (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi B – H (+) 1/160 Negatif
Salmonella paratyphi C – O (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi C – H (+) 1/80 Negatif
Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
13 Juli 2018 S: demam↑↓, mengigau (+), A : Demam Typhoid
(perawatan H-3) mual (-), nafsu makan↓, batuk - ISPA
(+)
O: KU sedang, kesadaran cm, P : - IVFD NS
akral hangat, anemis (-/-), lidah 1600cc/24jam
kotor (+), sariawan - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
TD: 110/90, N: 71x/menit, RR: - Paracetamol inf 3 x
23x/menit, T: 37.8 oC 250mg/IV
- Ranitidin 2 x 50mg
Lab (13/07/18) - CTM 2,5mg dan
Hb: 9.6 g/dl Ambroxol 12,5mg (pulv
Ht: 26% 3x1)
Leukosit: 4.900/ mm3
Trombosit: 118.000/ mm3
14 Juli 2018 S: demam↑↓, mual (-), nafsu A : Demam Typhoid
(perawatan H-4) makan minum (+), batuk (+) - ISPA
O: KU sedang, kesadaran cm,
akral hangat, anemis (-/-), P : - IVFD RL
sariawan 1600cc/24jam
TD: 120/80, N: 70x/menit, RR: - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
21x/menit, T: 36.6 oC - Paracetamol inf 3 x
250mg/IV
- Ranitidin 2 x 50mg
Lab (14/07/18) - CTM 2,5mg dan
Hb: 10.6 g/dl Ambroxol 12,5mg (pulv
Ht: 28.3% 3x1)
Leukosit: 5.370/ mm3
Trombosit: 113.000/ mm3
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di
negara-negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di
negara berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus
demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai
600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara
Asia (WHO, 2010).
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian
demam tifoid di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981
sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar
35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus (DEPKES, 2015). WHO
mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid.
Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional
adalah 1,6% (Septiawan IK, Herawati S,. et al 2013).
2.4 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada
Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal
sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH <
2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah
kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105
dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang
menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan
seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik
maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel
khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman
ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini
kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan
gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan
organ lainnya. Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas,
hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis (Richard E, Robert M., et al, 2000).
2.2 Patogenesis typhoid fever
TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa
tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan
dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium
yang lengkap. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas (Richard E, Robert M., et al, 2000).