Anda di halaman 1dari 28

SMF/Laboratorium Ilmu Bedah Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

KOLELITIASIS

Disusun Oleh:

Fitri Firdausi
1710029002

Pembimbing:
dr. P.M.T. Mangalindung O., Sp.B

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada


SMF/Laboratorium Ilmu Bedah
Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Mulawarman
2018
LEMBAR PENGESAHAN

KOLELITIASIS

Laporan Kasus

Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik


pada SMF/Laboratorium Ilmu Bedah

Disusun oleh:
Fitri Firdausi
NIM: 1710029002

Dipresentasikan pada Oktober 2018

Pembimbing

dr. P.M.T. Mangalindung O., Sp.B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT,


karena berkat rahmat dan hidayahnya-Nya penyusun dapat menyelesaikan
Makalah Laporan Kasus tentang “Kolelitiasis”. Makalah ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Bedah Rumah Sakit Umum daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Wahyu Adhianto, Sp.B Kepala SMF Bedah RSUD AWS Samarinda.
2. dr. Boyke Soebhali, Sp.U selaku Kepala Laboratorium Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. P.M.T. Mangalindung O., Sp.B, selaku dosen pembimbing Laporan Kasus
yang telah memberikan bimbingan kepada penyusun dalam penyelesaian
makalah ini.
4. Teman-teman sejawat dokter muda yang sedang menjalani kepaniteraan klinik
di Laboratorium Ilmu Bedah.
5. Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan makalah laporan kasus ini.
Penyusun menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam makalah ini,
sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
penyempurnaan makalah ini.

Samarinda, 10 Oktober 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
COVER....................................................................................................... II
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... Ii
KATA PENGANTAR................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1
1.2 Tujuan............................................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS...................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.............................................................. 9
3.1 Definisi........................................................................................... 9
3.2 Anatomi kandung empedu............................................................. 9
3.3 Fisiologi.......................................................................................... 12
3.4 Epdemiologii.................................................................................. 13
3.5 Patogenesis..................................................................................... 13
3.6 Patofisiologi.................................................................................... 14
3.7 Manifestasi Klinis........................................................................... 14
3.8 Pemeriksaan Penunjang................................................................. 17
3.9 Penatalaksanaan.............................................................................. 19
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................... 20
4.1 Anamnesis...................................................................................... 20
4.2 Pemeriksaan Fisik........................................................................... 20
4.3 Pemeriksaan Penunjang.................................................................. 21
4.4 Penatalaksanaan.............................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 24
LAMPIRAN............................................................................................... 25

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kolelitiasis adalah keadaan dimana terdapatnya batu di dalam
kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya
Kolelitiasis merupakan masalah kesehatan yang penting di negara Barat,
sedangkan di Indonesia kolelitiasis baru mendapatkan perhatian.
Diperkirakan lebih dari 95% penyakit yang mengenai kandung empedu
dan salurannya adalah penyakit kolelitiasis1,2.
Prevalensi kolelitiasis berbeda-beda di setiap negara dan berbeda
antar setiap etnik di suatu negara. Prevalensi kolelitiasis tertinggi yaitu
pada orang-orang Amerika Utara, Cili, dan ras Kaukasia di Amerika
Serikat. Sedangkan di Singapura dan Thailand prevalensi penyakit
kolelitiasis termasuk yang terendah. Perbaikan keadaan sosial ekonomi,
perubahan menu diet yang mengarah ke menu gaya negara Barat, serta
perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi, mengakibatkan
prevalensi penyakit empedu di negara berkembang termasuk Indonesia
cenderung meningkat8. Sekitar 2% dari dana kesehatan Amerika Serikat
dihabiskan untuk penyakit kolelitiasis dan komplikasinya. Di Negara Asia
prevalensi kolelitiasis berkisar antara 3% sampai 10%. Berdasarkan data
terakhir prevalensi kolelitiasis di Negara Jepang sekitar 3,2 %, China
10,7%, India Utara 7,1%, dan Taiwan 5,0%9,10.
Angka kejadian kolelitiasis dan penyakit saluran empedu di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara lain di Asia
Tenggara. Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2010-2011
didapatkan 101 kasus kolelitiasis yang dirawat10.
Tatalaksana kolelitiasis dapat berupa terapi non bedah dan bedah.
Terapi non bedah dapat berupa lisis batu yaitu dengan sediaan garam
empedu kolelitolitik, dan pengeluaran secara endoskopik. Sedangkan
terapi bedah dapat berupa kolesistektomi4,14.

1
1.2 Tujuan
 Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
yang diperlukan dan penegakkan diagnosis kolelitiasis.
 Mengetahui alur penegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya kolelitiasis.
 Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dalam kasus
ini.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis di Ruang Aster RSUD AWS


Samarinda pada tanggal 20 September 2018, diperoleh data sebagai berikut:

2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : Ny. IBY
Umur : 38 Tahun
Alamat : Loa Tebu
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
MRS : 5 September 2018 DI Ruang Aster

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Bedah umum dengan keluhan nyeri perut kanan atas
sejak 4 tahun yang lalu sebelum masuk rumah sakit dan memberat sejak 2
bulan yang lalu. Nyeri hilang timbul terutama ketika seleasai memakan
makanan berminyak seperti gorengan, dan sayur dengan kuah santan.
Riwayat kuning 2 minggu SMRS baru disadari oleh pasien ketika masuk
rumah sakit. Keluhan lain yang dirasakan yaitu BAB putih seperti dempul,
BAK pekat berwarna seperti teh tetapi frekuensi normal tidak ada nyeri
kencing, perasaan tidak tuntas juga disangkal. Demam disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi (-), diabetes melitus (-), alergi (-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi (-), diabetes melitus (-), alergi (-) riwayat penyakit
kuning pada keluarga disangkal.
Riwayat kebiasaan:

3
Pasien kadang sering meminum alkohol. Tidak ada riwayat penggunaan
obat atau jamu secara terus-menerus

2.3 Pemeriksaan fisik:


Pemeriksaan Fisik di Poli (5 September 2018)
 Kepala/leher: konjunctiva anemis, sklera ikterik
 Thoraks: dalam batas normal
 Abdomen: BU (+) kesan normal, murphy sign (+)
 Ekstremitas: dalam batas normal

Pemeriksaan Fisik di Ruangan (20 September 2018)


1. Berat badan 40 kg, tinggi badan 150 cm, BMI : 17,7 kg/m2
2. Keadaan Umum : Baik
3. Kesadaran : Komposmentis, GCS : E4V5M6
4. Tanda vital:
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 90 x/menit, kuat angkat, reguler
Frekuensi napas : 19x/menit, reguler
Suhu : 36,7°C
5. Status generalis:
Kepala : normochepali
Mata : konjungtiva anemis (-/-),ikterik (+/+)
Telinga/hidung/tenggorokan : tidak ditemukan kelainan
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax :
 Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur(-), gallop(-)
 Paru : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : terpasang perban bekas op, flat, shifting
dullness (-), fluid wave (-), nyeri bekas
operasi(+), hepar: pembesaran (-), limpa:
pembesaran (-) massa (-)
Ekstremitas : Atas : akral hangat

4
Bawah: akral hangat edema tungkai (-/-),
varices (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang:


1. Pemeriksaan Laboratorium (13 September 2018)
Leukosit : 13.350 sel/mm3
Hb : 11.0 g/dl
Hematokrit: 31.3%
Trombosit : 299.000 sel/mm3
Albumin : 2.0 g/dl
Bil. Total : 16.4 mg/dl
Bil. Direct : 11.4 mg/dl
Bil Indirect: 5.0 mg/dl
Globulin : 2.8 g/dl
Cholesterol: 241 mg/dl
Asam urat : 3.0 mg/dl
Ureum : 39 U/L
Creatinin : 29 U/L

2. USG Abdomen (31 Agustus 2018)

5
6
3. Pemeriksaan MRCP (7 September 2018)

Hasil MRCP: tampak intensitas batu ukuran + 12.2 mm x 16.1 mm x 15.6 mm


pada duktus choledocus 1/3 proksimal dengan duktus cystikus, duktus hepatikus
komunis, duktus hepatikus kanan dan kiri; kaliber lumen duktus pankreatikus
tampak normal.

2.5 Diagnosis
Ikterus Obstruktif ec. Choledocolitiasis

2.6 Penatalaksanaan
 IVFD Futrolit 16tpm
 Inj ceftriaxone 2 x 1 gr IV
 Inj santagesic 3 x 1 amp IV
 Diet bebas rendah lemak
 Pro laparoscopy cholesistectomy + explorasi CBD

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Defenisi

Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk


suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada
kedua-duanya3.

3.2 Anatomi kandung empedu

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak


tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung nya buntu dari kandung
empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah
bagian yang sempit dari kandung empedu4.
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk
dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus
hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus
membentuk duktus koledokus5.
Gambar 2.1. Gambaran anatomi kandung empedu

8
3.3 Fisiologi

Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya


antara 600-1200 ml/hari6. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml
empedu5. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam
kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer
dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan
natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang
terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%4.

Menurut Guyton &Hall,2009 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :

 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,


karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan
dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi
produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa
intestinal.

 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk


buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.

Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal


ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah
makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding
kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang
bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis
kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat
oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan
enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam
duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat
lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung

9
buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya
kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam6.

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar


(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal
dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik
yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan3.

3.4 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian
di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara. Peningkatan
insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”5
Fs” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan, fat (gemuk),
fair, dan forty (empat puluh tahun)7.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin
banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis8,9.
Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Genetik

Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu


empedu bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering
dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu
empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam.
Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia11.

2. Umur

Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat
sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan
semakin bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu
empedu, sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga
orang3,12.

10
3. Jenis Kelamin

Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di Indonesia
jumlah penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki10.

4. Beberapa faktor lain

Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu empedu antara lain:
obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, dan nutrisi jangka vena yang
lama10,13.

3.5 Patogenesis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus5.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol
adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-
garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam
empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat

11
diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu6.

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui


duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut
dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus3.

3.6 Patofisiologi batu empedu


a. Batu Kolesterol
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi
lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan
batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa
organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah
hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam
empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga (gambar 2.9), yang
koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan
kolesterol10.
Menurut Meyers & Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol
terjadi dalam empat tahap:
 Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
 Pembentukan nidus.
 Kristalisasi/presipitasi.
 Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa
lain yang membentuk matriks batu.
b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika
Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu
kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel,

12
sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung
dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu
dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain.
Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60
% dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai
hitam10
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan
mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan
pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris
merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan
beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu
pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa
berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang
di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli
membentuk B-glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di
dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak
dapat larut14.
c. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini
sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat
majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai
dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol10.

3.7 Manifestasi klinis


3.6.1. Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)
1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri
bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual (Suindra, 2007).
Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung
empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25
% dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan

13
merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode wakti 5 tahun.
Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien
dengan batu empedu asimtomatik4.
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan
atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit,
dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris3,4.
3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling
umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita
usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan
dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari
kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa
serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan
pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini
dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung
berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada
kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas
sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya
dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi
terbuka atau laparoskopik4.

3.6.2. Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)


Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan
perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi,
akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.

14
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non
piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri
didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis
piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala
trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran
sampai koma3.
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena
komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus
koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan
adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah
kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui
ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan
duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya
batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif10.

3.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak


menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma
mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap setiap kali terjadi serangan akut.
Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan
banyak tes biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang
dinamai tes fungsi hati. Bilirubin serum yang difraksionasi sebagai
komponen tak langsung dan langsung dari reaksi Van den bergh, dengan
sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering peningkatan bilirubin
serum menunjukkan kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa

15
meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan yang
mencakup episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis sistemik.
Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap
kolestatis intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau
kolestatis ekstrahepatik sekunder terhadap obstruksi saluran empedu akibat
batu empedu, keganasan, atau pankreas jinak.
Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum
memuncak 25 sampai 30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi
bilirubin sama dengan produksi harian. Nilai >30 mg per 100 ml berarti
terjadi bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati.
Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap
(bilirubin serum 20 mg per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya
menyebabkan obstruksi sebagian, dengan bilirubin serum jarang melebihi
10 sampai 15 mg per 100 ml.
Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-
oksalat transaminase) dan Aspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum
glutamat-piruvat transaminase) merupakan enzim yang disintesisi dalam
konstelasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum
sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3
kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul
bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran
empedu.
Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel
saluran empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum
meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang
sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi
fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat pada
kerusakan tulang. Juga meningkat selama kehamilan karena sintesis
plasenta.

2. Pemeriksaan Radiologis

16
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang
khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan
akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan
atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.

3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang


tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat
dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem
yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada
batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi
biasa.
Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai
teknik penyaring, tidak hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra
hepatik yang bisa diketahui secara meyakinkan, tetapi kelainan lain dalam
parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa terbukti.
Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan sebagai tes
penyaring awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah
diketahui duktus intrahepatik berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis
kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan dilatasi duktus, maka ini
menggambarkan kolestatis intrahepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam
membedakan antara kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung pada
derajat dan lama obstruksi saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90%
.Distensi usus oleh gas mengganggu pemeriksaan ini.

4. Kolesistografi

17
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik
karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi
oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun
serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-
keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

3.9 Penatalaksanaan
Konservatif
a). Medikamentosa
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan
mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak
berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun
nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif.
Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk melarutkan batu empedu
kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan
monitoring hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil
dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun1
b). Litotripsi (Extarcorporal Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer
beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya
terbatas untuk pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk
menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam
ursodeoksilat10.

Penanganan operatif
a). Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi
yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi.

18
Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani
kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara
keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian
0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian
mencapai 0,5 %4.
b). Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering
adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan
tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum
dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi
berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma
duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun
umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik
laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali
menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan
semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas
olahraga14

19
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Kasus Teori
Nyeri perut kanan atas sejak 4 tahun Keluhan utamanya berupa nyeri di
yang lalu sebelum masuk rumah sakit daerah epigastrium, kuadran kanan atas.
dan memberat sejak 2 bulan yang lalu. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier
Nyeri hilang timbul terutama ketika yang berlangsung lebih dari 15 menit,
seleasai memakan makanan berminyak dan kadang baru menghilang beberapa
seperti gorengan, dan sayur dengan jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri
kuah santan. Riwayat kuning 2 minggu pascaprandial kuadran kanan atas,
SMRS baru disadari oleh pasien ketika biasanya dipresipitasi oleh makanan
masuk rumah sakit. Keluhan lain yang berlemak, terjadi 30-60 menit setelah
dirasakan yaitu BAB putih seperti makan, berakhir setelah beberapa jam
dempul, BAK pekat berwarna seperti dan kemudian pulih, disebabkan oleh
teh. batu empedu, dirujuk sebagai kolik
biliaris. Mual dan muntah sering kali
berkaitan dengan serangan kolik biliaris

4.2 Pemeriksaan Fisik


Kasus Teori
 Kepala/leher: konjunctiva Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda
anemis (-/-), sklera ikterik (+/+) toksemia, nyeri tekan pada kanan atas
 Thoraks: dalam batas normal abdomen dan tanda klasik ”Murphy
 Abdomen: BU (+) kesan sign” (pasien berhenti bernafas sewaktu
normal, murphy sign (+) perut kanan atas ditekan). Masa yang

 Ekstremitas: dalam batas normal dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam


20% kasus. . Tersangkutnya batu
empedu dalam ampula akan
menyebabkan ikterus obstruktif

20
4.3 Pemeriksaan Penunjang
Kasus Teori
Laboratorium: Laboratorium: Bila obstruksi saluran
Leukosit : 13.350 sel/mm3 empedu lengkap, maka bilirubin serum
Hb : 11.0 g/dl memuncak 25 sampai 30 mg per 100
Hematokrit: 31.3% ml, yang pada waktu itu eksresi
Trombosit : 299.000 sel/mm3 bilirubin sama dengan produksi harian.
Albumin : 2.0 g/dl Foto polos: Foto polos abdomen
Bil. Total : 16.4 mg/dl biasanya tidak memberikan gambaran
Bil. Direct : 11.4 mg/dl yang khas karena hanya sekitar 10-15%
Bil Indirect: 5.0 mg/dl batu kandung empedu yang bersifat
Globulin : 2.8 g/dl radioopak.
Cholesterol: 241 mg/dl USG: dinding kandung empedu yang
Asam urat : 3.0 mg/dl menebal karena fibrosis atau udem
Ureum : 39 U/L yang diakibatkan oleh peradangan
Creatinin : 29 U/L maupun sebab lain. Batu yang terdapat
USG Abdomen: pada duktus koledukus distal kadang
Terdapat gambaran batu pada gall sulit dideteksi karena terhalang oleh
bladder dengan acoustic shadow. udara di dalam usus.
MRCP: tampak intensitas batu ukuran Kolesistografi: Untuk penderita
+ 12.2 mm x 16.1 mm x 15.6 mm pada tertentu, kolesistografi dengan kontras
duktus choledocus 1/3 proksimal cukup baik karena relatif murah,
dengan duktus cystikus, duktus sederhana, dan cukup akurat untuk
hepatikus komunis, duktus hepatikus melihat batu radiolusen sehingga dapat
kanan dan kiri; kaliber lumen duktus dihitung jumlah dan ukuran batu.
pankreatikus tampak normal.

21
4.4 Penatalaksanaan
Kasus Teori
 IVFD Futrolit 16tpm 1. Medikamentosa
 Inj ceftriaxone 2 x 1 gr IV 2. Litotripsi (Extarcorvoral Shock
 Inj santagesic 3 x 1 amp IV Wave Lithotripsy =ESWL)
 Diet bebas rendah lemak 3. Open kolesistektomi
 Laparotomi kolesistektomi 4. Kolesistektomi laparoskopik

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.380-
4.
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of
Surgery. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.
3. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
4. Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition. United
States America: McGraw Hill, 2005.826-42.
5. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 2005. 430-44.
6. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 2007. 1028-1029.
7. Clinic Staff. Gallstones. Available from: http:/www.6clinic.com/health/
digetivesystyem/DG9999.htm. Last update 25 Juli 2016 [diakses pada tanggal
10 Oktober 2018]
8. Cholelithiasis. Available from: http:/www.7.com/healthmanagement/
ManagingYourHealth/HealthReference/Disease/InDepth.htm. Last update
April 2007 [diakses tanggal 10 Oktober 2018].
9. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of
Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC, 2007. 121-123
10. Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery. China:
Elseiver, 2007. 23.
11. Latchie M. Cholelitiasis dalam : Oxford Handbook of Clinical Surgery.
Oxford University. 1996. 162
12. Bhangu AA et al. Cholelitiasis and Cholesistitis dalam: Flesh and Bones of
Surgery. China: Elseiver, 2007. 123.
13. Kasper DL et al. Cholelitiasis, Cholesistitis, and Cholangitis dalam: Harrisons
Manual of Medicine, McGraw Hill, 2005, 751.
14. Nealon TF. Kolesistektomi Laparoskopi dalam : Ketrampilan Pokok Ilmu
Bedah. Jakarta : EGC, 2006. 394

23
LAMPIRAN

Batu CBD

Cholangiography post operasi

24

Anda mungkin juga menyukai