Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus

TUBERKULOSIS PARU
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Paru
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :

Fajri Alratisda, S.Ked


140611039

Preseptor :
dr. Puspa Rosfadilla, M. Ked (Paru), Sp. P

BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas limpahan

berkah dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul

“Tuberkulosis Paru” ini dengan tepat waktu. Laporan kasus ini disusun sebagai

salah satu tugas kepaniteraan klinik di Ilmu Penyakit Paru di RS. Cut Meutia

Aceh Utara, dengan harapan dapat menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi

pengetahuan.

Penulisan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu

kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Puspa

Rosfadilla, M.Ked (Paru), Sp.P.

Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi para pembaca sekalian. Kami

menyadari bahwa ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik maupun

saran yang membangun selalu diharapkan.

Aceh Utara, April 2019


Penyusun

Fajri Alratisda, S.Ked

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................... ii

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB 2. STATUS PASIEN................................................................................ 3


2.1 Identitas Pasien............................................................................... 3
2.2 Anamnesis...................................................................................... 3
2.3 Vital Sign....................................................................................... 5
2.4 Pemeriksaan Fisik.......................................................................... 5
2.5 Diagnosis........................................................................................ 11
2.6 Terapi............................................................................................. 11
2.7 Prognosis........................................................................................ 12
2.8 Follow Up Harian........................................................................... 12

BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 15


3.1 Definisi........................................................................................... 15
3.2 Epidemiologi.................................................................................. 15
3.3 Etiologi dan cara penularan ........................................................... 16
3.4 Faktor Risiko tingginya kejadian TB............................................. 17
3.5 Patofisiologi................................................................................... 19
3.6 Klasifikasi Tuberkulosis................................................................. 22
3.7 Diagnosis Tuberkulosis Paru.......................................................... 24
3.8 Pengobatan Pasien TB.................................................................... 28
3.9 Evaluasi Pengobatan...................................................................... 32
3.10 Hasil Pengobatan Pasien TB.......................................................... 34
3.11 Komplikasi .................................................................................... 34

BAB 4. PEMBAHASAN................................................................................... 37

BAB 5. KESIMPULAN.................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 42

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar di

dunia.1 Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberkulosis complex dan merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang penting di Indonesia. Penyakit infeksi terbanyak yang

mengakibatkan kematian di seluruh dunia adalah tuberkulosis, yaitu sekitar 1,7

juta kematian setiap tahunnya.2

World Health Organization (WHO) tahun 2012 memperkirakan sekitar 8,7

juta orang terjangkit TB paru dan 1,4 juta orang meninggal dunia. Dilaporkan

sebanyak 55% sampel berjenis kelamin laki-laki dengan sampel tertinggi

sebanyak 91% berada pada rentang usia 21-60 tahun.3 Indonesia berada pada

peringkat keempat dunia terbanyak penderita TB setelah India, China, dan Afrika

Selatan. Angka prevalensi rata-rata nasional tuberkulosis paru adalah 0,107%,

sehingga bila dihitung secara kasar, pada setiap 100.000 penduduk Indonesia

terdapat 107 penderita tuberkulosis paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif.

Hal ini menunjukkan masih tingginya angka kesakitan tuberkulosis paru di

Indonesia.4,5

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,

diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)

dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan

63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka

Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan

1
2

sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,

diantaranya 314.965 adalah kasus baru.6

Data Profil Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2012

menyatakan bahwa kasus baru (insidensi) TB paru BTA positif berjumlah 96 per

100.000 penduduk. Jumlah kematian akibat TB paru BTA positif berjumlah 1,6

per 100.000 penduduk. Sebanyak 478 penduduk merupakan jumlah kasus baru TB

paru di Aceh Utara. Jumlah kasus dan angka penemuan kasus TB paru BTA

positif di Aceh Utara cukup tinggi, yaitu berjumlah 388 penduduk. Tuberkulosis

paru berada di posisi 9 dari daftar penyakit untuk rawat jalan dan posisi 5 untuk

rawat inap di Rumah Sakit Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2012.7
BAB 2

STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. Y

Umur : 32 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Langkahan

Suku : Aceh

No RM : 10.06.99

TMRS : 22 Maret 2019

Tgl Pemeriksaan : 27 Maret 2019

1.2 Anamnesis

Dilakukan pada tanggal 27 Maret 2019, secara autoanamnesis kepada pasien

dan alloanamnesis dengan adik pasien.

Keluhan Utama

Batuk berdarah

Keluhan Tambahan

Demam, batuk berdahak, nyeri dada, keringat malam, berat badan turun,

lemas, kurang nafsu makan.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia Aceh Utara dengan keluhan batuk

berdarah sejak 1 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, volume darah

3
4

dikatakan pasien sekitar 1/3 botol aqua gelas (80 cc), darah berwarna merah

kehitaman. batuk dirasakan sepanjang hari, makin memberat malam dan saat

beraktivitas, dan tidak hilang dengan istirahat.

Pasien juga mengeluhkan demam naik turun selama sebulan dirumah,

seringkali pasien merasa meriang dimalam hari. Selain itu pasien juga

mengeluhkan batuk berdahak selama 4 bulan terakhir dan memberat selama 3 hari

terakhir, pasien mengatakan dahak berwarna kuning, saat batuk terasa nyeri dada.

Bersamaan dengan gejala itu, pasien juga mengalami keringat malam hari, badan

lemas, nafsu makan yang menurun, kadang mual dan nyeri perut serta penurunan

berat badan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama pada bulan 5 tahun
2018 dan telah pernah diperiksa sebelumnya. Pasien dan keluarga mengatakan
saat itu pasien dikatakan oleh dokter menderita penyakit TBC.
 Riwayat Asma (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu pasien mengalami hal yang sama sekitar 2 tahun yang lalu dan tuntas

berobat selama 6 bulan. Anggota keluarga lain tidak ada yang mengalami keluhan

seperti yang pasien rasakan.

Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, debu ataupun cuaca.
5

Riwayat Pemakaian Obat


Pasien pernah mengonsumsi obat-obatan yang dijual diwarung/apotik untuk
mengatasi keluhan demam dan nafsu makannya. Namun keluarga dan pasien tidak
ingat nama obat tersebut. Riwayat OAT sejak bulan 5 tahun 2018 sampai saat ini.
Riwayat Imunisasi
Keluarga dan pasien sendiri mengaku tidak pernah diimunisasi sejak lahir.
Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien tinggal didaerah pedesaan bersama orangtua dan menggunakan BPJS
untuk berobat.
1.3 Vital Sign

Keadaan umum : Sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis / E4M6V5

Tekanan Darah : 100/60 mmHg

Frekuansi Nadi : 80x/menit

Frekuensi Napas : 24x/menit

Suhu : 36,7°C

1.4 Pemeriksaan Fisik

Kepala : Normochepali, rambut sukar dicabut, berwarna

Mata : hitam

konjungtiva anemis (-/-), hiperemis (-/-), sklera

Telinga : ikterik (-/-), eksoftalmus (-/-)

Simetris, secret (-/-), otorrhea (-/-)

Hidung : simetris, deviasi septum (-/-), konka hiperemis

(-/-), sekret (-), perdarahan (-), napas cuping

hidung (-), penciuman normal

Tenggorokan : pembesaran tonsil (-/-)


6

Leher : pembesaran KGB (-), trakea ditengah tidak

deviasi.

Thoraks Inspeksi : Statis dan dinamis, pergerakan

dan bentuk dada simetri kanan

dan kiri

Palpasi : Fremitus taktil dada kanan

dan kiri sama

Perkusi : Sonor dada kanan dan kiri

Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (+/+)

dibagian basal kedua paru,

wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi : BJ 1>BJ 2 di mitral, reguler,

mumur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Distensi (-), perubahan warna

kulit (-), massa (-)

Palpasi : Soepel (-), Massa (-), Nyeri

tekan (-), balotement (-),

defans muscular (-), hepar dan

lien tidak teraba (-)


7

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+)

Extremitas :
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal, hiperemis (-)
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-
- Infus terpasang
Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal, hiperemis (-)
- Edema : -/-
- Gangren : -/-
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-

Genitourinaria : tidak dilakukan pemeriksaan

Neurologis : tidak dilakukan pemeriksaan

BB : 53 Kg

Pemeriksaan Penunjang :

Foto Thorax PA

Foto I : 6/5/2018
8

Foto II : 25/7/2018

Foto III : 27/3/2019


9

Lab darah (22 Maret 2019)

PEMERIKSAAN NILAI NORMAL TANGGAL

22/3/2019

HEMATOLOGI

Hb 12,0-15,0 gr/dl 12,8

Ht 37-47 % 30.5

Leukosit 4,5-10,5 x 103/ mm3 10.12

Eritrosit 3,8-5,8 juta/ mm3 3.55

INDEX ERITROSIT

MCV 79-99 fL 85.7

MCH 27-32 pg 36,0


10

MCHC 33-37 % 42,0

Trombosit 150-450 ribu/mm3 260

KIMIA KLINIK

Karbohidrat

Glukosa Darah 110-200 mg/dL 85

Sewaktu

RESUME

Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia Aceh Utara dengan keluhan batuk

berdarah sejak 1 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, volume darah

dikatakan pasien sekitar 1/3 botol aqua gelas (80 cc), darah berwarna merah

kehitaman. batuk dirasakan sepanjang hari, makin memberat malam dan saat

beraktivitas, dan tidak hilang dengan istirahat.

Pasien juga mengeluhkan demam naik turun selama sebulan dirumah,

seringkali pasien merasa meriang dimalam hari. Selain itu pasien juga

mengeluhkan batuk berdahak selama 4 bulan terakhir dan memberat selama 3 hari

terakhir, pasien mengatakan dahak berwarna kuning, saat batuk terasa nyeri dada.

Bersamaan dengan gejala itu, pasien juga mengalami keringat malam hari, badan

lemas, nafsu makan yang menurun serta penurunan berat badan.

Berdasarkan tanda vital didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi

nadi 80x/menit, frekuensi napas 24x/menit, suhu 36,7°C. Pemeriksaan fisik

didapatkan bentuk dada normal, fremitus normal, sonor dan suara napas vesikuler
11

dan didapatkan suara napas tambahan berupa rhonki dikedua basal paru. Dari foto

toraks di dapatkan kesan bayangan berawan bagian bawah kedua paru, terdapat

infiltrate di lapangan bawah kedua, konsolidasi homogen dengan air

bronchogram, terdapat kavitas pada pulmo sinistra yang dikelilingi oleh bayangan

opaque berawan, kedua sudut costophrenicus tertutup perselubungan, dan

didapatkan kesan fibrosis pada kedua pulmo. Pemeriksaan laboratorium

menunjukkan Hb 12,8 g/dL, leukosit 10.12 ribu/mm 3, Ht 30.5%, trombosit 260

ribu/mm3 KGDS 85 g/dL.

1.5 Diagnosis

 Diagnosis banding : TB paru, pneumonia, bronkiektasis

 Diagnosis kerja : TB paru

1.6 Terapi

IVFD Asering + Chrome 20 gtt/i

Inj. Fosmicin vial 1 gram/12 jam

Inj. Omeprazole vial 40 mg/12 jam

Inj. Kalnex 500 mg amp/ 8 jam

Inj. Novalgin/ 8 jam

Oral: OAT dilanjutkan

Codein 3 x 20mg

Lesipar 1x1

Cetirizine 1x1

Antasida syr 3 x C2
12

1.7 Prognosis

 Quo ad vitam : dubia ad bonam

 Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

1.8 Follow Up

Tanggal S O A P
23/3/2019 - Batuk KU: lemah TB Paru IVFD
darah (-) Kesadaran: Asering +
- Batuk E4M6V5 Chrome 20
dahak (+) TD: 100/70 gtt/i
- Nyeri mmHg Inj. Fosmicin
dada (+) HR: 77x/menit vial 1
- Kurang RR: 19x/menit gram/12 jam
nafsu T: 36,5°C Inj.
makan Omeprazole
(+) Thorax: vial 40
Ves (+/+) mg/12 jam
Rh (-/-) Inj. Kalnex
Wh (-/-) 500 mg amp/
8 jam
Inj.
Novalgin/ 8
jam

Oral:
Codein 3x
20mg
Lesipar 1x1
Cetirizine
1x1
Antasida syr
3 x C2
OAT 2FDC
3 tab
24/3/2019 - Batuk KU: lemah TB Paru IVFD
darah (-) Kesadaran: Asering +
- Batuk E4M6V5 Chrome 20
dahak (+) TD:110/80mmHg gtt/i
- Nyeri HR: 86x/menit Inj. Fosmicin
dada (+) RR: 20x/menit vial 1
↓ T: 36,9°C gram/12 jam
13

- Kurang Inj.
nafsu Thorax: Omeprazole
makan Ves (+/+) vial 40
(+) Rh (+/+) mg/12 jam
Wh (-/-) Inj. Kalnex
500 mg amp/
8 jam
Inj.
Novalgin/ 8
jam
Oral:
Codein 3 x
20mg
Lesipar 1x1
Cetirizine
1x1
Antasida syr
3 x C2
OAT 2FDC
3 tab
25/3/2019 - Batuk KU: lemah TB paru IVFD
berdarah Kesadaran: Asering +
(-) E4M6V5 Chrome 20
- Sesak (-) TD:110/80mmHg gtt/i
- Batuk (+) HR: 87x/menit Inj. Fosmicin
dahak (+) RR: 20x/menit vial 1
- Nyeri T: 36,7°C gram/12 jam
dada (+) Inj.
↓ Thorax: Omeprazole
- Kurang Ves (+/+) vial 40
nafsu Rh (+/+) mg/12 jam
makan Wh (-/-) Inj. Kalnex
(+) 500 mg amp/
8 jam
Inj.
Novalgin/ 8
jam

Oral:
Codein 3 x
20mg
Lesipar 1x1
Cetirizine
1x1
Antasida syr
3 x C2
14

OAT 2FDC
3 tab
26/3/2019 - Batuk KU: baik TB paru IVFD
berdara Kesadaran: Asering +
h (+) E4M6V5 Chrome 20
berwarn TD:90/60mmHg gtt/i
a gelap HR: 62x/menit Inj. Fosmicin
- Batuk (+) RR: 22x/menit vial 1
dahak (+) T: 36.8°C gram/12 jam
↓ Inj.
- Nyeri Thorax: Omeprazole
dada (+) Ves (+/+) vial 40
↓ Rh (-/-) mg/12 jam
- Kurang Wh (-/-)
nafsu Oral:
makan Codein 3 x
(+) 20mg
- Keringat Lesipar 1x1
malam Cetirizine
(+) 1x1
- Lemas Antasida syr
(+) ↓ 3 x C2
OAT 2FDC
3 tab
27/3/2019 - Batuk KU: baik TB paru + Cefixime 2 x
berdara Kesadaran: Pneumonia 1
h (-) E4M6V5 Codein 3x
- Batuk (+) TD:100/60mmHg 20mg
↓ HR: 108x/menit Lesipar 1x1
- Nyeri RR: 18x/menit Cetirizine
dada (-) T: 37,8°C 1x1
- nafsu Antasida syr
makan Thorax: 3 x C2
(+) Ves (+/+) OAT 2FDC
- Lemas Rh (-/-) 3 tab
(+) ↓ Wh (-/-)
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang

yang telah terinfeksi basil tuberkulosis. Beban penyakit yang disebabkan oleh

tuberkulosis dapat diukur dengan Case Notification Rate (CNR), prevalensi

(didefinisikan sebagai jumlah kasus tuberkulosis pada suatu titik waktu tertentu),

dan mortalitas/kematian (didefinisikan sebagai jumlah kematian akibat

tuberkulosis dalam jangka waktu tertentu).1,7

3.2 Epidemiologi

Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA+ sebanyak 176.677

kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2013

yang sebesar 196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di

provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan

Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut sebesar 40% dari

jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.6

Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada

perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada

masing-masing provinsi diseluruh Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi

pada laki-laki dibandingkan perempuan. Disparitas paling tinggi antara laki-laki

dan perempuan terjadi di Kep. Bangka Belitung , kasus pada laki-laki hampir dua

kali lipat dari kasus pada perempuan. Menurut kelompok umur, kasus baru paling

15
16

banyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 20,76% diikuti

kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,57% dan pada kelompok umur 35-44

tahun sebesar 19,24%.6

Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta

kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan

1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari

kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian

320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan

Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru,

diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000

kematian/tahun.6

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,

diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)

dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan

63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka

Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan

sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,

diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV

diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan

sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB

dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.6,8,9

3.3 Etiologi dan cara penularan


17

Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman

berbentuk batang. Yang sebagian besar dindingnya terdiri atas asam lemak (lipid),

kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman

lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam

(BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.10,18

Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan

dingin (dapat bertahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena

kuman berada dalam sifat dormant. Jadi karena bersifat dormant, TB dapat

kambuh. Mycobacterium tuberculosis hominis merupakan bakteri aerob obligat

yang pertumbuhannya lambat karena dihambat oleh pH <6,5 dan oleh asam lemak

rantai panjang. Maka dari itu, basil tuberkulosis sulit ditemukan di bagian tengah

lesi perkijauan besar karena terdapat anaerobiosis, pH rendah, dan kadar asam

lemak meningkat.10,17

Adapun cara penularan TB adalah melalui udara ketika pasien TB batuk,

bersin, berbicara atau bernyanyi. Penularan sebagian besar melalui inhalasi basil

yang terdapat pada pasien TB paru dengan batuk berdarah maupun TB dengan

BTA (+). Tempat masuk kuman M.tuberculosis adalah saluran pernapasan,

saluran pencernaan (GI), dan luka terbuka pada kulit. Infeksi TB paru terjadi

melalui udara, yaitu inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil

tuberkel dari orang yang terinfeksi.11

3.4 Faktor resiko tingginya angka kejadian TB

 Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara

berkembang19
18

 Masalah pada kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang buruk,

tingginya angka pengangguran, tingkat pendidikan yang rendah,

mengakibatkan masyarakat rentan terhadap TB.21

 Kegagalan program TB yang disebabkan oleh komitmen politik dan

pendanaan yang kurang memadai, pelayanan TB kurang terakses oleh

masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, pemantauan dan

pelaporan kurang sesuai standar, dsb.22

 Gizi buruk, merokok, diabetes, dampak pandemic HIV20

 Kasus yang tidak berhasil disembuhkan yang mengakibatkan Multi Drug

Resistance (MDR) sehingga terjadi epidemic TB.12,23

Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain: 6

1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena

masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan, dan

pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.

2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum

menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC

seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat yang tidak

baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan pencatatan

dan pelaporan yang baku.

3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam

penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.


19

4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di

Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko

tinggi seperti daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi

permukiman padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.

5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam

penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan

dan pelaporan.

6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko

terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,

merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.

7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan

meningkatkan pembiayaan program TB.

8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat

pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan

pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat

terjangkit TB.

3.5 Patofisiologi6,12,17

A. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut

sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana
20

saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan

kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).

Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus

(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini dapat menjadi :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain Ghon focus,

garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya

Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan

bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang

membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas

bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan

menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis

dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang

dikenal sebagai epituberkulosis.

b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru yang sakit maupun ke paru

sebelahnya atau tertelan.

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan

dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang

ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila imunitas tidak


21

adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti

tuberkulosis milier, maupun meningitis tuberkulosis. Penyebaran ini juga

dapat menimbulkan tuberkulosis pada organ tubuh lainnya, misalnya

tulang, ginjal, kelenjar adrenal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dari

penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan

terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,

tuberkuloma)

 Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. Tuberkulosis Post-primer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah

tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis

postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk

tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena

dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang

dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus

inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1. Diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan

dengan meninggalkan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi

pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang


22

tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju

dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju

keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan

menjadi tebal (kavitas sklerotik). Kavitas tersebut akan menjadi :

a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di

atas.

b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi

mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

c. bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti

menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut

sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

3.6 Klasifikasi Tuberkulosis6

A. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak  menunjukkan hasil BTA

positif

b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif


23

c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

biakan positif

B. Tuberkulosis paru BTA (-) adalah :

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis

dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

Berdasarkan Tipe Pasien :

A. Kasus Baru : Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

B. Kasus Kambuh (relaps) : Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap, kemudian kembali  lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi

aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa

kemungkinan :

a. Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)

b. TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten

menangani kasus tuberculosis

C. Kasus Defaulted atau drop out : Adalah pasien yang telah menjalani

pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau

lebih sebelum masa pengobatannya selesai.


24

D. Kasus Gagal : Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) atau akhir pengobatan.

E. Kasus Kronik : Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif

setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan

pengawasan yang baik.

F. Kasus Bekas TB :

 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran

radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial

menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat

akan lebih mendukung

 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat

pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan

gambaran radiologi.

3.7 Diagnosis Tuberkulosis Paru

1. Gejala Klinis :

a. Respiratorik

• batuk ≥ 3 minggu

• batuk darah

• sesak napas

• nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai

gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
25

pada saat medical checkup. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,

maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi

karena iritasi bronkus.13

b. Sistemik

• Demam

• Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan

menurun13

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain :

 Suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-

tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.7

 Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura.

- perkusi : pekak

- auskultasi : suara napas melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang

terdapat cairan

 Limfadenitis tuberkulosa : Pembesaran kelenjar getah bening leher, kadang-

kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold

abscess”.13

3. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk

pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
26

cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar

(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi

jarum halus/BJH)6,12,13,24

A. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan :

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turutatau

dengan cara:

• Sewaktu/spot (pengambilan dahak sewaktu saat kunjungan)

• Dahak Pagi (pengambilan dahak keesokan harinya)

• Sewaktu/spot (pengambilan dahak pada saat mengantarkan dahak pagi)

B. Cara pemeriksaan dahak dan specimen lain dapat dilakukan dengan cara

mikroskopik dan kultur. Interpretasi dari hasil pemeriksaan mikroskopik dari

3 kali pemeriksaan ialah bila :

 2 kali positif, 1 kali negatif :Mikroskopik positif

 1 kali positif, 2 kali negatif :ulang BTA 3 kali

 1 kali positif, 2 kali negatif :Mikroskopik positif

 3 kali negatif : Mikroskopik negative

Adapun pemeriksaan kultur dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti dan

dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis

and Lung Disease)14

  - Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

  - Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
27

yang ditemukan : Scanty

  - Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +(+1)

  - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++(+2)

  - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(+3)

4. Pemeriksaan Radiologik15,25

Pemeriksaan standar adalah dengan foto thoraks PA dengan atau tanpa foto

lateral. Adapun gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru

dan segmen superior lobus bawah

 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opaque berawan

atau nodular

 Bayangan bercak milier

 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Sedangkan gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah sebagai

berikut

 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau

fibrotik

 Kompleks ranke

Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,

biasanya secara klinis disebut luluh paru .Gambaran radiologik luluh paru

terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
28

menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik

tersebut.

Gambar 3.1. Alur Penanggulangan TB paru4

3.8 Pengobatan Pasien TB4,6

 Tujuan pengobatan :

o Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup

o Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk

selanjutnya

o Mencegah terjadinya kekambuhan TB

o Menurunkan penularan TB

o Mencegah terjadinya TB resisten obat


29

 Prinsip Pengobatan TB

o Obat anti tubetkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan

TB

o Pengobatan TB merupakan merupakan salah satu upaya paling efisien untuk

mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB

o Pengobatan adekuat jika memenuhi prinsip :

o Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung 4

macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi

o Diberikan dalam dosis yang tepat

o Diminum secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas

menelan obat) sampai selesai pengobatan

Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap

awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

 Tahapan Pengobatan TB :

- Fase Awal : Pengobatan diberikan tiap hari  menurunkan jumlah kuman

yang ada dalam tubuh (harus 2 bulan)

- Fase Lanjutan : Tahap penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada

dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan

mencegah kekambuhan.
30

Tabel 3.1. Daftar OAT lini pertama dan efek sampingnya4,16

Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa


Dosis
Harian 3 x / minggu
Kisaran Maksim Kisaran Maksimu
OAT
dosis um (mg) dosis m/hari
(mg/kg (mg/kg (mg)
BB) BB)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisi 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
n
Pirazinam 25 (20- - 35 (30- -
id 30) 40)
Etambuto 15 (15- - 30 (25- -
l 20) 35)
Streptomi 15 (12- - 15 (12- 1000
sin 18) 18)
Tabel 3.2 Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (WHO dan ISTC) adalah sebagai

berikut :

 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

 Kategori 2 : 2(HZRE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
31

OAT Kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3) diberikan untuk pasien baru, yaitu pasien

TB paru dengan tes BTA positif dan pasien TB paru dengan BTA negatif namun

foto toraks positif. Berikut adalah tabel aturan pakai FDC dan kombipak untuk

pasien kategori I :

Tabel 3.3 Tabel aturan pakai FDC untuk pasien TB kategori I

Tabel 3.4. Tabel aturan pakai kombipak untuk pasien TB kategori I

OAT kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) diberikan untuk pasien BTA

positif yang telah diobati sebelumnya, meliputi pasien kambuh, pasien gagal dan

pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) 2. Berikut adalah tabel

aturan pakai FDC untuk pasien kategori II


32

Tabel 3.5. Tabel aturan pakai FDC untuk pasien TB kategori II

Untuk memantau progress keberhasilan terapi, dilakukan pemeriksaan ulang

dahak secara mikroskopis dengan 2 contoh uji dahak yaitu sewaktu dan pagi. Jika

2 contoh uji dahak negatif, maka BTA (-), jika salah satu atau kedua contoh uji

dahak positif, maka BTA (+).

Tabel 3.6. Tabel aturan pakai kombipak untuk pasien TB kategori II

3.9 Evaluasi Pengobatan4,6


Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.5,6
Evaluasi klinik
i. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
ii. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit
iii. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9)


i. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
ii. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
33

iii. Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
i. Sebelum pengobatan
ii. Setelah 2 bulan pengobatan
iii. Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik


i. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap.
ii. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin,
dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan.
iii. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
iv. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol.
v. Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri.
vi. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat
efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat


Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan
adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini
maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
34

3.10 Hasil pengobatan pasien TB4,6,12

Tabel 3.7 Hasil pengobatan TB

3.11 Komplikasi
TB laring
Tb laring merupakan komplikasi ekstraparu yang dapat terjadi karena
penyebaran kuman tuberculosis ke laring.
Pleuritis Eksudatif
Bila terdapat proses TB di bagian paru dekat sekali dengan pleura, pleura
akan ikut meradang dan menghasilkan cairan eksudat. Keadaan ini disebut dengan
pleuritis eksudatif. Tidak jarang proses TB nya masih begitu kecil, sehingga pada
foto paru belum tampak kelainan. Saat cairan eksudat masih sedikit, cukup
diberikan terapi spesifik saja, tetapi apabila volume cairan semakin banyak, perlu
dilakukan pungsi dan cairan eksudat dikeluarkan sebanyak mungkin, untuk
menghindari terjadinya Schwarte (Penebalan pleura) di kemudian hari.
35

Pneumothoraks
Bisa saja terjadi proses nekrotis berlangsung dekat sekali dengan pleura,
sehingga pleura ikut mengalami nekrosis dan berlubang, sehingga terjadilah
pneumothoraks. Sebab lain pneumothoraks adalah pecahnya dinding kavitas yang
kebetulan berdekatan dengan pleura, sehingga pleura pun ikut robek.
Hemoptisis
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah yang berasal dari saluran nafas bagian
bawah (dibawah pita suara). Karena pada dasarnya proses TB adalah proses
nekrosis, kalau diantara jaringan yang mengalami nekrosis terdapat pembuluh
darah, besar kemungkinan penderita akan mengalami batuk darah, yang dapat
bervariasi mulai dari jarang sekali sampai sering/setiap hari. Variasi lainnya
adalah jumlah darah yang dibatukkan keluar mulai dari sangat sedikit (berupa
garis pada sputum) sampai banyak sekali (profus), tergantung pada pembuluh
darah yang terkena.
Batuk darah baru akan membahayakan jiwa penderita bila profus, karena
dapat menyebabkan kematian oleh syok dan anemia akut. Di samping itu, darah
yang akan dibatukkan keluar akan menyangkut di trakea/larings dan akan
menyebabkan asfiksia akut yang dapat berakibat fatal.1,3,12
Untuk batuk darah yang minimal sampai agak banyak, dapat diberikan
koagulan dan/atau obat-obatan trombolitik (asam traneksamat) saja. Bila
perdarahan agak hebat, perlu dipertimbangkan pemberian transfusi darah segar.
Kalau hal ini sering berulang, perlu juga dipertimbangkan lobektomi ataupun
embolisasi arteri, yang menjadi permasalahan.12
Dalam stadium akut sampai beberapa hari sesudahnya, sebaiknya diberikan
pula antitusif untuk mencegah batuk, sebaiknya diberikan pula antitusif untuk
mencegah batuk, setidak-tidaknya mengurangi frekuensi batuk untuk memberi
kesempatan beristirahat secukupnya bagi lesi, sampai thrombus yang terbentuk
cukup kuat. Hemoptisis dikatakan massif apabila batuk darah mencapai > 600 ml
darah dalam 24 sampai 48 jam.
36

Tatalaksana hemoptisis massif:


Prinsip: mempertahankan jalan nafas, proteksi paru yang sehat, menghentikan
perdarahan
a. Istirahat baring, kepala direndahkan tubuh dimiringkan ke sisi sakit.
b. Oksigen
c. Infus, bila perlu transfuse darah
d. Medikamentosa: Kodein/antitusif untuk supresi batuk
e. Koreksi koagulopati : Vit K IV
Indikasi dilakukannya operasi pada pasien batuk darah massif:
- Batuk darah > 600 cc/24 jam, dan pada observasi tidak berhenti
- Batuk darah > 100-250 cc/24 jam, Hb < 10g/dl. Dan pada observasi
tidak berhenti.
- Batuk darah 100-250 cc/24 jam, Hb >10 gr/dl, pada observasi 48 jam
tidak berhenti.
BAB 4

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis didapatkan keterangan bahwa pasien datang ke IGD

RSU Cut Meutia Aceh Utara dengan keluhan batuk berdarah sejak 1 hari yang

lalu sebelum masuk rumah sakit, volume darah dikatakan pasien sekitar 1/3 botol

aqua gelas (80 cc), darah berwarna merah kehitaman. batuk dirasakan sepanjang

hari, makin memberat malam dan saat beraktivitas, dan tidak hilang dengan

istirahat. Hal ini sesuai dengan teori bahwa sebagian besar pasien dating dengan

gejala respiratorik seperti batuk berdarah.

Pasien juga mengeluhkan demam naik turun selama sebulan dirumah,

seringkali pasien merasa meriang dimalam hari. Selain itu pasien juga

mengeluhkan batuk berdahak selama 4 bulan terakhir dan memberat selama 3 hari

terakhir, pasien mengatakan dahak berwarna kuning, saat batuk terasa nyeri dada.

Bersamaan dengan gejala itu, pasien juga mengalami keringat malam hari, badan

lemas, nafsu makan yang menurun terkadang mual dan nyeri perut serta

penurunan berat badan.

Keluhan tersebut sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa selain

gejala respiratorik, pasien dengan TB juga mengeluhkan gejala sistemik seperti

anoreksia, keringat malam hari, serta penurunan berat badan. Beberapa literatur

menyebutkan bahwa keluhan pada pasien TB juga dapat disertai dengan koinfeksi

yang terjadi sehingga gejala respiratorik seperti batuk berdahak, rhonki dan

wheezing juga dapat ditemukan.13,14

37
38

Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama pada bulan 5 tahun

2018 dan telah pernah diperiksa sebelumnya. Ibu pasien mengalami hal yang

sama sekitar 2 tahun yang lalu dan tuntas berobat selama 6 bulan. Anggota

keluarga lain tidak ada yang mengalami keluhan seperti yang pasien rasakan.

Keluarga dan pasien sendiri mengaku tidak pernah diimunisasi sejak lahir. Pasien

juga berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah. Hasil anamnesis tersebut

dapat mendukung penegakan diagnosis TB pada pasien ini, sesuai dengan teori

bahwa riwayat kontak, imunisasi, dan kondisi social ekonomi menjadi factor

resiko yang dapat dipertimbangkan.19

Berdasarkan tanda vital didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi

nadi 80x/menit, frekuensi napas 24x/menit, suhu 36,7°C. Pemeriksaan fisik

didapatkan bentuk dada normal, fremitus normal, sonor dan suara napas vesikuler

dan didapatkan suara napas tambahan berupa rhonki dikedua basal paru. Hal ini

sesuai dengan literatur yang disampaikan pada bab sebelumnya bahwa temuan

klinis pada pasien TB sangat bervariasi, sangat tergantung kepada luas lesi dan

tingkat keparahan yang terjadi.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 12,8 g/dL, leukosit 10.12

ribu/mm3, Ht 30.5%, trombosit 260 ribu/mm 3 KGDS 85 g/dL. Hasil ini tidak

spesifik untuk menggambarkan infeksi mycobacterium tuberculosa. Dari foto

toraks di dapatkan kesan bayangan berawan bagian bawah kedua paru, terdapat

infiltrate di lapangan bawah kedua, konsolidasi homogen dengan air

bronchogram, terdapat kavitas pada pulmo sinistra yang dikelilingi oleh bayangan

opaque berawan, kedua sudut costophrenicus tertutup perselubungan, dan


39

didapatkan kesan fibrosis pada kedua pulmo. Hasil ini mendukung penegakan

diagnosis Tuberkulosis sesuai literatur yang telah dipaparkan pada bab

sebelumnya.

Tatalaksana yang telah dilakukan pada pasien adalah dengan pemberian

nutrisi dan hidrasi yang cukup melalui pemberian cairan, tatalaksana sesuai

dengan keluhan seperti pemberian chrome dan asam traneksamat untuk

menghentikan perdarahan, pemberian obat antasida syr dan proton pump inhibitor

untuk sakit perut pada pasien dan codein untuk mengatasi batuk pada pasien,

antinyeri dan vitamin sebagai pengobatan suportif serta pemberian OAT 2 FDC 3

tablet sehari untuk mengatasi penyakit utama pasien.


BAB V
KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Kuman ini menyebar emalalui inhalasi droplet nuklei. Kemudian,

masuk ke saluran napas dan bersarang di jaringan paru hingga membentuk afek

primer. Afek primer dapat timbul dimana saja dalam paru. Dari afek primer ini

diikuti dengan terjadinya inflamasi pada kelenjar getah bening menuju hilus

(limfangitis lokal) disertai pembesaran KGB di hilus (limfadenitis regional).

Kompleks primer adalah afek primer disertai dengan limfangitis regional.

Klasifikasi Tuberkulosis berdasarkan hasil BTA dibagi dua, yaitu BTA (-)

dan BTA (+). Kriteria BTA (+) yaitu sekurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak

memberikan hasil (+), atau 1 kali pemeriksaan spesimen hasilnya (+) disertai

gambaran radiologi yang menjadikan tuberkulosis aktif, atau 1 spesiemn BTA (+)

dan kultur (+), atau lebih dari 1 spesiemn dahak positif setelah 3 kali pemeriksaan

dahak SPS sebelumnya negatif dan tidak ada perbaikan setelahnya pemberian

OAT. Kriteria BTA (-) jika hasil sputum BTA 3 kali negatif, dan gambaran

radiologi menunjukkan ke arah TB atau tidak ada perbaikan setelah pemberian

OAT. Klasifikasi TB berdasarkan tipe pasien terbagi menjadi kasus baru, kasus

kambuh, kasus default, kasus gagal, kasus kronik, kasus bekas TB.

Diagnosis tuberkulosisi berdasarkan anamnesis, yaitu : batuk ≥ 2 minggu,

hemoptisis, sesak napas, dan nyeri dada, serta demam, malaise, kringat malam,

anoreksia, dan berat badan menurun. Tuberkulosisi juga ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan fisik, yaitu: suara napas bronkial, amforik, melemah, atau ronki

40
41

basah. Pemeriksaan bakteriologi dapat dilihat dari hasil sputum SPS. Hasil

pemeriksaan radiologi ditemukan bayangan berawan/nodular di lobus atas paru

segmen apikal dan posterior, kavitas, bercak milier, dan kadang efusi pleura

unilateral.

Pengobatan tuberkulosis terdapat 2 fase, yaitu: fase Intensif (2-3 bulan) dan

lanjutan (4-7 bulan). Pmeberian OAT ada 2 kategori, yaitu Kategori I jika pasien

baru dengan BTA positif, kemudian pasien baru BTA negatif , radiologi positif

atau pasien TB ekstra paru, kategori I diberikan regimen 2RHZE/4RH,

2RHZE/6HE, atau 2 RHZE/4R3H3. Sedangkan kategori II jika pasien BTA + dan

mengalami pasien kambuh, pasien gagal, atau pasien default, regimen yang

diberikan 2RHZES/1RHZE.
42

DAFTAR PUSTAKA

1. Dye, C., 2006. Global epidemiology of tuberculosis. Lancet 367:938-940.


2. Djojodibroto, R.D., 2014. Respirologi (Respirology Medicine). Ed.2. EGC,
Jakarta.
3. WHO, 2012. Global Tuberculosis Report. Health Promotion WHO, Genewa.
4. PDPI, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika, Jakarta.
5. Surya, A., Basri, C., Kamso, S., 2011. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Kemenkes RI, Jakarta.
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 67 tentang Penanggulangan Tuberkulosis
tahun 2016
7. Dinas kesehatan Aceh, 2012. Profil Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Aceh.
8. WHO, 2015. Global Tuberculosis Report. Heal Promotion WHO, Genewa
9. WHO, 2017. Global Tuberculosis Report. Heal Promotion WHO, Genewa
10. Amin Z,BaharA. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Penyakit
Dalam. EGC. Jakarta:JilidII;995-1000.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. KEMENKES RI. 2014
12. Center for Desease Control and Prevention.
http://www.cdc.gov/tb/topic/basics/default.htm#activetb
13. Jardins, T.D., Burton, G.G., 2011. Clinical Manifestations and Assessment
of Respiratory Disease. Mosby Elsevier, United States of America.
14. Rani AA. Tuberkulosis paru. Jakarta: Panduan Pelayanan Medik PB Papdi,
2009. 
15. Rasad, S., 2015. Radiologi Diagnostik. Ed. 2. Badan Penerbit FKUI, Jakarta.
16. Bayupurnama P. Hepatotoksisitas imbas obat. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia. Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK-
UI; 2006. 
43

17. Robbins, S.L., Cotran, R.S., 2015. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. 9th ed. pp. 392-398. Elsevier Saundres, Philadelphia.
18. Chorba T. Peace, liberty, mycobacteria, and tuberculosis mortality. Emerg
Infect Dis. 2018;24:611–2.
19. Cherng ST, Shrestha S, Reynolds S, Hill AN, Marks SM, Kelly J, Dowdy
DW. Tuberculosis Incidence Among Populations at High Risk in California,
Florida, New York, and Texas, 2011-2015.External Am J Public Health.
2018 Nov;108(S4):S311-S314. doi: 10.2105/AJPH.2018.304503. PMID:
30383419.
20. Reaves EJ, Shah S, France AM, Morris SB, Bradley H. In Reply: Latent
tuberculous infection testing among HIV-infected persons in clinical
care.External Int J Tuberc Lung Dis. 2018 Apr 1;22(4):468-469. doi:
10.5588/ijtld.17.0910-2. No abstract available. PMID: 29563002.
21. Reichler MR, Khan A, Sterling TR, Zhao H, Moran J, McAuley J, Bessler P,
Mangura B; Tuberculosis Epidemiologic Studies Consortium Task Order 2
Team. Risk and Timing of Tuberculosis Among Close Contacts of Persons
with Infectious Tuberculosis.External J Infect Dis. 2018 May 15. doi:
10.1093/infdis/jiy265. [Epub ahead of print]. PMID: 29767733.
22. Stout JE, Wu Y, Ho CS, Pettit AC, Feng PJ, Katz DJ, Ghosh S, Venkatappa
T, Luo R; Tuberculosis Epidemiologic Studies Consortium. Evaluating latent
tuberculosis infection diagnostics using latent class analysis.ExternalThorax.
2018 Jul 7. pii: thoraxjnl-2018-211715. doi: 10.1136/thoraxjnl-2018-211715.
[Epub ahead of print]. PMID: 29982223.
23. Wortham JM. TB Anywhere is TB Everywhere.External Isr J Health Policy
Res. 2018 Jul 20;7(1):40. doi: 10.1186/s13584-018-0233-0. PMID:
30029612.
24. WHO. Xpert MTB/RIF assay for the diagnosis of pulmonary and
extrapulmonary TB in adults and children. Policy update. 2013.
25. World Health Organization. Chest radiography in tuberculosis detection:
summary of current WHO recommendations and guidance on programmatic
approaches. World Health Organization; 2016.

Anda mungkin juga menyukai