Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan

merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.

Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit

merupakan pasien gagal jantung, 49% wanita dan 51% laki-laki. Insiden gagal

jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7 per seribu orang pertahun. Gagal

jantung sulit dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta tidak

spesifik serta hanya sedikit tanda–tanda klinis pada tahap awal penyakit.

Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini

serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis, kualitas hidup,

penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan

meningkatkan kelangsungan hidup.

Gagal jantung sering disebut juga congestive heart failure (CHF) yaitu

ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup

untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen. Mekanisme

yang mendasar tentang gagal jantung termasuk kerusakan sifat kontraktil dari

jantung, yang mengarah pada curah jantung kurang dari normal. Kondisi umum

yang mendasari termasuk aterosklerosis, hipertensi atrial, dan penyakit inflamasi

atau degeneratif otot jantung. Sejumlah faktor sistemik dapat menunjang


2

perkembangan dan keparahan dari gagal jantung. Peningkatan laju metabolik

(misalnya: demam, koma, tiroktoksikosis), hipoksia dan anemia membutuhkan

suatu peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

Gejala dan tanda gagal jantung meliputi sesak nafas terutama pada

malam hari, batuk malam hari, sesak saat beraktivitas, distensi vena leher, ronki

kardiomegali, edema paru akut, suara jantung ketiga, refluks hepatojugular,

edema ekstremitas, hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapa-sitas vital

sepertiga normal, dan takikardi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori

teori tentang CHF mulai dari definisi sampai prognosisnya. Penyusunan

penulisan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan

Program Internsip Dokter Indonesia.

1.3 Manfaat

Adapun manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:

1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang CHF.

2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai CHF.


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Congestive Heart Failure

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah

yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen.

Gambar 1. Gambaran CHF

Beberapa istilah dalam gagal jantung :

1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik:

Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari

pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan

echocardiography. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi


4

jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan

kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi

lainnya. Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan

pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal

jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi

diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.

2. Low Output dan High Output Heart Failure

Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,

kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada

penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,

kehamilan, fistula A –V, beri-beri, dan Penyakit Paget . Secara praktis, kedua

kelainan ini tidak dapat dibedakan.

3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan (CHF)

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena

pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal

jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti

pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik

sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer,

hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia

gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada

gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
5

4. Gagal Jantung Akut dan Kronik

Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat

endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun

secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema

perifer. Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau

kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer

sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure , hampir

selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure),

karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal

ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol,

peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan

tekanan vena . Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung

atau seluruh rongga jantung.

2.2 Etiologi

Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi

aorta dan defek septum ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi

stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada

infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu

perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat

berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru. Penyebab
6

tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup mitral atau

aorta, penyakit jantung iskemik (CAD), dan penyakit miokardium primer.

Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang

menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal

jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan

penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien

dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid.

2.3 Patofisiologi

Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka

kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan

timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang

menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis.

Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai

terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup

peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi

sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin

memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir

normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun,

kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat

beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin

kurang efektif.
7

1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :

Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah

peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas

adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf

adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan

kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan peningkatan

kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk

menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi

aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah misal kulit dan

ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi

akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya

menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar

katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama

selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang

beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel. Namun pada

akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun;

katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.

2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin

Aldosteron:

Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium

dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang

mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal


8

jantung masih belum jelas. Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan

curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut:

a. Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus

b. Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus

c. Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan

angiotensinI

d. Konversi angotensin I menjadi angiotensin II

e. Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.

f. Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.

g. Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan

tekanan darah

3. Hipertrofi ventrikel

Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah

tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan

kontraksi ventrikel.

Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang

menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan

gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi

cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan

terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga

meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel;


9

beban akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung

dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan

rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium.

Jika peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia

miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang

saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus

berlangsungnya gagal jantung.

Gambar 2. Patofisologi CHF

2.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap

derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas

gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal
10

jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih

awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif

bervariasi diantara individu sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan juga

tergantung pada derajat penyakit.

Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun

kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala

kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh

banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga

berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa

sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

a. Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang

paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat

kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya

tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum

kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial

dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang

progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal

jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama disebabkan oleh

redistribusi aliran darah dari bagian- bagian tubuh yang di bawah ke arah

sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan

menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal


11

Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan

manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan

dispnea atau ortopnea.

b. Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada

posisi berbaring

c. Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas

dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru

karena pengaruh gaya gravitasi.

d. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi

akibat distensi vena.

e. Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena

sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher

mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara

paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat

menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama

inspirasi.

f. Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan

kapsula hati

g. Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat

disebabkan kongesti hati dan usus.

h. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial.

Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama
12

pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang

mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan

reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal

pada waktu istirahat.

i. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.

Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik

secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi

paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan

daripada gagal jantung kanan yang nyata.

j. Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat

mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia

ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf

simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian mendadak

dalam situasi ini.

2.5. Diagnosis

Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan

penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,

EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan

biomarker.

Kriteria Diagnosis :

Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif

Kriteria Major :
13

1. Paroksismal nokturnal dispnea

2. Distensi vena leher

3. Ronki paru

4. Kardiomegali

5. Edema paru akut

6. Gallop S3

7. Peninggian tekana vena jugularis

8. Refluks hepatojugular

Kriteria Minor :

1. Edema eksremitas

2. Batuk malam hari

3. Dispnea d’effort

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

7. Takikardi(>120/menit)

Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau 1 kriteria major

dan 2 kriteria minor.

Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman

untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat

aktivitas fisik, antara lain:


14

a. NYHA class I , penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik

serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak

napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.

b. NYHA class II , penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka

tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat

menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,

sesak napas atau nyeri dada.

c. NYHA class III , penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam

kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan

fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi

jantung seperti yang tersebut di atas.

d. NYHA class IV , penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa

menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik

meskipun sangat ringan

2.6. Pemeriksaan Penunjang

Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan

penunjang sebaiknya dilakukan.

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :

Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),

kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan

gula darah, profil lipid.


15

2. Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan.

Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya

left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q

wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi

diastolik pada LV.

3. Radiologi :

Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan

bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang- kadang efusi

pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi

penyebab nonkardiak pada gejala pasien. 4. Penilaian fungsi LV : Pencitraan

kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan

menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram

2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap

ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan

abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi

adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV,

disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV yang

ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF

yang normal. Echocardiogram 2- D/Doppler juga bernilai untuk menilai

ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam

evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis

komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard


16

dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk

menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic

volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan

mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli.

Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur

kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau

preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai

akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun

demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik

biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%)

2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan

secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung

baik akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki

prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi

serta beratnya kondisi.

1. Non –farmakologi :

a. Anjuran Umum

- Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan

- Aktivasi sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.

Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.


17

- Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

- Vaksinasi terhadap infeksi influenza dan pneumokokus bila mampu.

- Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan

hormone dosis rendah masih dapat dianjurkan.

b. Tindakan Umum

- Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1

g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan

1,5 liter pada gagal jantung ringan).

- Hentikan rokok

- Hentikan alcohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang

lainnya.

- Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit

atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80%

denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).

- Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut

 Farmakologi

- Diuretik : kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling

sedikit diuretik regular dosis rendah dengan tujuan untuk mencapai tekanan

vena jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan

loop diuretic atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis dapat dinaikan,

berikan diuretik intravena atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretic
18

hemat kalium, spironolakton dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi

mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas

fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.

- Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan

pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.

Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu

sampai dosis yang efektif.

- Penyekat beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai

dengan dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan

kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah

stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat beta yang

digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-

sama dengan penghambat ACE dan diuretic.

- Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi

penggunaan penghambat ACE.

- Kombinasi hidralazin dengan ISDN memberi hasil yang baik pada pasien

yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan.

- Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung

disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial,

digunakan bersama-sama diuretic, penghambat ACE, penyekat beta.

- Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan

emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel
19

yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun

dengan riwayat emboli, thrombosis dan transient ischemis attack, thrombus

intrakardiak dan aneurisma ventrikel.

- Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau

aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindarkan

kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama

amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan

untuk mencegah kematian mendadak.

- Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk

mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.

2.8. Prognosis

Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat

berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun

bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada

pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai

dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan

kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit),

insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat.

Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa

kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark

miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah
20

akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami

gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi

paliatif yang sangat cermat


21

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. S
No RM : 00081879
Umur : 18 Thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Kerumutan
Tanggal MRS : 28/12/2021
3.2. Anamnesis

1. Keluhan Utama : Sesak napas


2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak sejak 3 hari yang lalu. Sesak dirasakan berangsr
angsur. Sesak meningkat saat aktivitas. Sesak tidak dipengaruhi cuaca.
Pasien juga mengeluhkan sakit perut sejak 3 hari yang lalu. Perut terasa
membuncit dan pasien juga tambah pucat. 1 minggu yang lalu kaki pasien
tampak tambah bengkak. 3 hari setelah bengkak mulai demam hilang
timbul.
3. Riwayat Penyakit Terdahulu dan Pengobatan
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien
tidak memiliki alergi terhadap obat maupun makanan.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
22

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal


b. Riwayat jantung : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
3.3. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Sakit sedang


2. Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)
3. Vital Sign
a. Tekanan darah : 102/64 mmHg
b. Nadi : 123 x/menit reguler
c. Respirasi : 30 x/menit
d. Suhu : 36 °C
4. Status Generalis
a. Kepala
1) Bentuk : normochepal, simetris
2) Wajah : ruam (-), lesi diskoid (-)
3) Rambut : warna hitam kemerahan, tidak mudah
dicabut dan tidak rontok, distribusi merata
b. Mata
1) Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
2) Konjungtiva : anemis (+/+)
3) Sclera : ikterik (-/-)
4) Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor
5) Eksofthalmus : (-/-)
6) Lapang pandang : tidak dilakukan pemeriksaan
7) Lensa : keruh (-/-)
23

8) Gerak mata : normal


9) Tekanan bola mata : tidak dilakukan pemeriksaan
10) Nistagmus : (-/-)
c. Telinga
1) otore (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) nafas cuping hidung (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) discharge (-/-)
e. Mulut
1) bibir sianosis (-)
2) bibir kering (+)
3) lidah kotor (-)
4) ulserasi (+)
f. Leher
1) Trakhea : deviasi trakhea (-)
2) KGB : tidak membesar, nyeri (-)
3) Kelenjar thyroid : tidak membesar
4) JVP : Tidak meningkat (5+2 cmH2O)
g. Dada
1) Paru
a) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)

b) Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri


ketinggalan gerak (-)
c) Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
24

d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+/+)


Wheezing(-/-), ronkhi basah halus(-/-), ronkhi basah
kasar (-/-)
2) Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra
b) Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,
kuat angkat
c) Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
d) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi : cembung
2) Auskultasi : bising usus (+) normal,
3) Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
25

4) Palpasi : supel, undulasi (+), hepar teraba 3 jari di bawah px,


deformitas 4 jari di bawah arcus costa, dan lien tidak teraba besar, nyeri tekan (+)
epigastrium dan hipokondrium dextra
i. Extremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas

superior inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema + + + +

Sianosis - - - -

Ikterik - - - -

Purpura + + + +

Akral dingin + + + +

Reflek fisiologis

Bicep/tricep + + + +

Patela + + + +

Reflek patologis - - - -

Sensoris D=S D=S D=S D=S


26

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap
Darah lengkap
Hemoglobin : 8 g/dl
Leukosit : 14.830/ mm3
Hematokrit : 26%
Eritrosit : 3,58 juta
Trombosit : 106.500/uL
MCV : 71,8 fL
MCH : 19,4 pg
MCHC : 26,9 %
RDW : 12,3 %
MPV : 9,6 %
27

Hitung Jenis
Basofil :0%
Eosinofil :1%
Batang :2%
Segmen : 69 %
Limfosit : 22 %
Monosit :6%
Kimia Klinik
SGOT : 125
SGPT : 981,0
Ureum : 51,46
Kreatinin : 1,9
GDS : 5,96
Natrium : 136
Kalium : 5,6
Klorida : 105
Pemeriksaan Foto Thorax AP
28

Cor : Membesar dengan CTR >50%

Pulmo : Tampak perihiler haziness di kedua lapang paru

Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam

Diaphragma kanan kiri normal

Trachea di tengah

Sistema tulang baik

Kesan : Cardiomegaly dengan edema pulmonum

Pemeriksaan USG Abdomen


29

Hasil :

Hepar : Membesar dengan ukuran 16 cm, intensitas echoparenkim meningkat

. VH/VP normal sudut tajam, tepi regular, IHBD/ EHBD normal , tidak tampak

nodule/ kista/ massa.


30

GB : ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, tidak tampak

nodule/ kista/ massa, tidak tampak batu.

Lien : ukuran normal, intensitas echoparenkim normal

Pankreas : intensitas echoparenkim normal, tidak tampak nodule,/kista/

massa, Ginjal Kanan Kiri : tidak tampak batu, intensitas echoparenkim

normal, batas sinus – korteks tegas, tidak tampak ektasis PCS, tidak tampak

nodule/ kista/ massa, tidak tampak batu.

Bladder : terisi cukup urine,dinding menebal, tidak tampak massa/

kalsifikasi, tampak echocairan di cavum abdomen.

KESIMPULAN : Hepatomegaly, Cystitis, Ascites

GB/ Pancreas/ Lien/ Kedua ginjal tidak tampak kelainan.

Pemeriksaan EKG
31

3.5. Penatalaksanaan
- IVFD Nacl 0,9%

- Inj. Cefriaxon 1 gr

- Inj. Omz 1 vial

- Inj. Furosemide 1 amp

- Inj. Metilprednisolon 1 amp

- Inj. Dobutamin 2 amp

3.6. Prognosis

Quo Ad Vitam : ad bonam

Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam


32

Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

3.7. Follow Up

Tanggal S O A P

28/12/2021 Sesak (+) TD : 109/72 Hiperkalemia - IVFD Dobutamin 1


Nyeri Perut (+) HR : 110 x/i Hipoglikemia amp +Nacl 0,9% 10
Pucat (+) RR : 30 x/i Susp. SLE Tpm
T : 36 C - IVFD Dextros 1 gr/12
SPO2 : 99% jam
- Inj. Cefriaxon 1 amp/
24 jam
- Ca glukonas 1 amp +
10 cc Nacl
- Inj. Novarapid
- Inj. Omz/ 24 jam
- Inj. Metilprednisolon
125/ 12 jam
- Ketocid 3x1
- Asam Folat 3x1
- CaCo3 3x1
- Hipad 3x1
29/12/2021 Bengkak (+) TD : 96/54 -Hipoglikemia - IVFD Dobutamin 1
HR : 102 x/i - CHF ec amp +Nacl 0,9% 10
RR : 28 x/i HHD Tpm
T : 36 C - Susp. SLE - IVFD Dextros 1 gr/12
SPO2 : 99% jam
GDS : 191 - Inj. Furosemid 1 amp/
24 jam
- Inj. Omz/ 24 jam
- Inj. Metilprednisolon
125/ 12 jam
- Ketocid 3x1
- Asam Folat 3x1
- CaCo3 3x1
- Hipad 3x1

30/12/2021 Sesak (+) TD : 118/70 - CHF ec - IVFD Dobutamin 1


Bengkak (+) HR : 100 x/i HHD amp +Nacl 0,9% 10
RR : 28 x/i - Susp. SLE Tpm
T : 36 C - IVFD Dextros 1 gr/12
SPO2 : 99% jam
GDS : 191 - Inj. Furosemid 1 amp/
33

24 jam
- Inj. Omz/ 24 jam
- Inj. Metilprednisolon
125/ 12 jam
- Ketocid 3x1
- Asam Folat 3x1
- CaCo3 3x1
- Hipad 3x1

31/12/2021 - Sesak TD : 118/79 - CHF ec - Inj. Lasix 1-0-0


Berkurang HR : 96 x/i HHD - Inj. Cefriaxon 1 amp/
- Sembab (+) RR : 28 x/i - Susp. SLE 24 jam
T : 36 C - Inj. Metilprednisolon
125/ 12 jam

01/01/2022 - Sesak TD : 120/70 - CHF ec - Inj. Lasix 1-0-0


Berkurang HR : 80 x/i HHD - Inj. Cefriaxon 1 amp/
- Kaki Bengkak RR : 20 x/i - Susp. SLE 24 jam
T : 36,7 C - Inj. Metilprednisolon
125/ 12 jam

02/01/2022 - Mual (+) TD : 120/70 - CHF ec - Inj. Lasix 1-0-0


- Nyeri Perut (+) HR : 90 x/i HHD - Inj. Cefriaxon 1 amp/
- Tidak Bisa RR : 20 x/i - Susp. SLE 24 jam
BAB 2 Hari T : 36,7 C - Inj. Metilprednisolon
125/ 12 jam

03/01/2022 - Mual (+) TD : 108/70 - CHF PBJ


- Nyeri Perut (+) HR : 110 x/i - SLE
- bengkak Sudah RR : 20 x/i
Berkurang T : 36,7 C

BAB IV
34

PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD selasih dengan keluhan Sesak napas. Pasien

mengeluhkan sesak sejak 3 hari yang lalu. Sesak dirasakan berangsur angsur. Sesak

meningkat saat aktivitas. Sesak tidak dipengaruhi cuaca. Pasien juga mengeluhkan

sakit perut sejak 3 hari yang lalu. Perut terasa membuncit dan pasien juga tambah

pucat. 1 minggu yang lalu kaki pasien tampak tambah bengkak. 3 hari setelah

bengkak mulai demam hilang timbul. Dari Riwayat Penyakit Terdahulu dan

Pengobatan pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien

tidak memiliki alergi terhadap obat maupun makanan.

Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi

aorta dan defek septum ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi

stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada

infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu

perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat

berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru. Penyebab

tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup mitral atau

aorta, penyakit jantung iskemik (CAD), dan penyakit miokardium primer.

Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang

menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal

jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan
35

penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien

dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid.

Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka

kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan

timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang

menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis.

Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai

terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup

peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi

sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin

memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir

normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun,

kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat

beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin

kurang efektif.

Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini yang paling utama adalah terapi

suportif. Pemberian IVFD Nacl 20 tpm. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi

merupakan tindakan yang paling penting. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga,

terutama cairan oral. Diberikan omeprazole untuk mengurangi produksi asam

lambung, Metilprednisolon untuk meredakan peradangan, injeksi Lasix untuk

mengatasi retensi atau kelebihan cairan di tubuh atau disebut juga edema.
36

BAB V

KESIMPULAN

Gagal jantung sering disebut juga congestive heart failure (CHF) yaitu

ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen. Mekanisme yang

mendasar tentang gagal jantung termasuk kerusakan sifat kontraktil dari jantung,

yang mengarah pada curah jantung kurang dari normal. Kondisi umum yang

mendasari termasuk aterosklerosis, hipertensi atrial, dan penyakit inflamasi atau

degeneratif otot jantung. Sejumlah faktor sistemik dapat menunjang perkembangan

dan keparahan dari gagal jantung. Peningkatan laju metabolik (misalnya: demam,

koma, tiroktoksikosis), hipoksia dan anemia membutuhkan suatu peningkatan curah

jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

Gejala dan tanda gagal jantung meliputi sesak nafas terutama pada malam

hari, batuk malam hari, sesak saat beraktivitas, distensi vena leher, ronki

kardiomegali, edema paru akut, suara jantung ketiga, refluks hepatojugular, edema

ekstremitas, hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapa-sitas vital sepertiga normal,

dan takikardi.Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit.

Pasien Ny. S 18 tahun perempuan, terdiagnosis dengan CHF ec HHD dan

Susp. SLE. Pemberian obat simptomatik pada penanganan awal dan pemantuan

hematocrit dan trombosit selama masa perawatan


37

DAFTAR PUSTAKA

1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus.


http://www.aafp.org
2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.
http://www.childrenclinic.wordpress.com.
3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.
http://www.pediatrik.com.
4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. htttp://www.emedicine.com.
6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
7. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Available at htttp://www.emedicine.com.
8. Isbagio H., Albar Z., Kasjmir Y.I, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. In
Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Marcellus S.K., Siti S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 4. Jakarta ; FKUI; 2007. H 1214-21.
9. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper
D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H
2724-35.

Anda mungkin juga menyukai