LAPORAN KASUS
Disusun Oleh
2210017028
Pembimbing:
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami hanturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Kasus ini dengan
baik dan tepat waktu. Laporan Kasus ini kami buat dengan tujuan sebagai tugas
Kepaniteraan Klinik Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak yang diberikan oleh salah
satu pembimbing kami yaitu, dr. Annisa Muhyi, Sp. A, M. Biomed.
Tentu saja Laporan Kasus ini tidak akan dapat terselesaikan dengan tepat waktu
tanpa adanya bantuan-bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, kami sangat
mengucapkan terima kasih kepada:
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV PEMBAHASAN……………………………………………………..21
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................25
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
dengan rasio 1, 1:1 hingga 2:1. Kejang demam dapat mengakibatkan gangguan
tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik.
Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan
tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Kejang demam merupakan suatu
kondisi yang patut diperhatikan, dan tatalaksana yang tepat dapat mengatasi
kondisi kejang dan mengatasi kausanya (Maghfirah & Namira, 2022).
Prognosis kejang demam baik, namun menjadi kekhawatiran bagi orang tua.
Kejang demam sebagian besar akan sembuh sempurna, sekitar 2-7% berkembang
menjadi epilepsi. Angka mortalitas kejang demam sangat rendah dengan 0,64-
0,75% (IDAI, 2016).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan Laporan ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan secara umum mengenai Kejang Demam Plus. Adapun tujuan secara
khususnya adalah untuk mengetahui pemeriksaan apa saja yang dapat dilakukan
dan mendiagnosis serta membedakan diagnosis banding lainnya.
1.3 Manfaat
Menambah wawasan ilmu pengetahuan penulis dan masyarakat mengenai
Kejang Demam Plus
5
BAB 2
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : An. A P A
Usia : 6 Tahun 2 Bulan
Tanggal Lahir : 23 Desember 2012
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Alamat : Perum Sumber Indah Blok C4
MRS : 5 Maret 2023 Jam 18:25 WITA
Tanggal Pemeriksaan : 6 Maret 2023 Jam 07:15 WITA
Anamnesis
Keluhan Utama :
6
Pasien datang ke IGD AWS Sjahranie dengan keluhan demam disertai kejang.
Ibu pasien mengatakan pasien demam sudah sejak 1 hari (Pengukuran suhu saat di
IGD 38,40 C) yang lalu dan kejang sejak 10 menit sebelum masuk rumah sakit yang
lalu. Kejang hanya 1 kali saja dengan lama waktu kurang dari 3 menit dan sejak
masuk rumah sakit tidak kejang lagi. Ibu pasien mengatakan bahwa kejang pasien
diawali dengan seluruh tubuh yang kaku, diikuti mata keatas dan tidak merespon saat
dipanggil. Pasien belum diberikan obat kecuali saat di IGD AWS Sjahranie dan sudah
tidak kejang saat sudah masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat kejang dengan
demam dalam kasus yang sama pada umur 3 tahun. Ibu pasien mangatakan pasien 1
hari sebelumnya demam disertai dengan pusing dengan nyeri menelan, batuk dengan
pilek baru muncul saat sudah rawat inap. Pasien mengatakan tidak memiliki
gangguan dalam buang air kecil dan buang air besar hanya kurang nafsu makan
selama sakit.
Pasien merupakan anak ke tiga dan didalam keluarga tidak ada yang memiliki
riwayat kejang.
Diabetes Militus diderita oleh kakek
7
Metode kelahiran : SC
Masalah Selama Kelahiran: Kehamilan Posterm
PB Lahir : 52 cm
BB Sekarang : 18 Kg
PB Sekarang : 107 cm
Riwayat Imunisasi :
Status Vitalis :
8
Tekanan Darah : 118/82 mmhg
Nadi : 86 x/Menit
Frekuensi Nafas : 24 x/Menit
Suhu : 37,0 0C
SpO2 : 98%
Akral : Hangat
CRT : < 2 detik
Status Generalisata :
Jantung :
• Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
• Palpasi : Iktus kordis teraba
• Perkusi : Sulit dievaluasi
• Auskultasi : S1 S2 reguler tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
• Inspeksi : Bentuk normal, massa (-)
• Auskultasi : Bising usus (+) metallic sound (-)
• Palpasi : Hepatomegali (-) Splenomegali (-)
• Perkusi : Timpani diseluruh kuadran abdomen, asites (-)
Ekstrimitas :
9
• Atas : Hangat, Edema (-/-), CRT <2 detik, Sianosis (-)
• Bawah : Hangat, Edema (-/-), CRT <2 detik, Sianosis (-)
• Turgor kulit baik
Status Neurologis :
Pemeriksaan Penunjang :
10
MPV 8.9 fL 7.2 – 11.1 fL
P-LCR 20 % 15 -25 %
PCT 0.15 % 0.15 – 0.40 %
Neutrofil% 63 % 40 – 74 %
Limfosit% 26 % 19 – 48 %
Monosit% 11 % 3–9%
Eosinophil% 0,01 % 0–7%
Basophil% 0% 0–1%
Elektrolit
Natrium 131 mmol/L 135 – 155 mmol/L
Kalium 3.8 mmol/L 3.6 – 5.5 mmol/L
Chloride 105 mmol/L 98 – 108 mmol/L
Imuno-Serologi
Rapid Antigen
Negatif Negatif
SARS CoV-2
Diagnosis :
Tatalaksana :
Prognosis :
Dubia ad bonam jika mendapatkan support yang baik dari keluarga, akses pelayanan
kesehatan dan terapi yang dan baik serta diagnosis dini.
BAB 3
11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Definisi dari kejang demam plus (FS+) mirip dengan kejang demam klasik,
tetapi ini terjadi di luar rentang usia normal, yaitu setelah 6 tahun. Untuk
mempertimbangkan diagnosis FS+, pasien harus memenuhi salah satu atau kedua
kriteria berikut: pertama, kejang demam yang melampaui usia tipikal 6 tahun dan
kedua, terjadinya baik demam atau tidak demam kejang umum tonik-klonik, yang
keduanya terbatas pada usia kejang demam biasa atau terjadi di luar periode usia
tersebut. Biasanya, kejang tonic klonik umum berlanjut setelah usia 6 tahun dan
berhenti pada masa remaja, tetapi telah dilaporkan kasus kejang tonic klonik
umum afebris yang jarang terjadi pada orang dewasa (Radu, 2021).
2.2 Klasifikasi
Perlu diketahui kejang demam plus merupakan evolusi lanjut dari kejang
demam yang bisa mengarah lanjut kearah epilepsy. Perlu kita ketahui juga
definisi kelompok kejang demam lain dan perjanalan penyakit yang mungkin
pada kejang demam ini.
Secara umum terdapat dua jenis kejang demam, yaitu kejang demam
sederhana (KDS) kejang demam kompleks (KDK) (IDAI, 2016).
1. Kejang Demam Sederhana adalah Kejang demam yang berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta
tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan
80% di antara seluruh kejang demam. Sebagian besar kejang demam
sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
2. Kejang Demam Kompleks Kejang demam kompleks meliputi salah satu ciri
berikut:
a. Kejang lama (>15 menit)
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
12
Keterangan:
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak
sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16%
anak yang mengalami kejang demam.
2.3 Etiologi
FS + sendiri merupakan salah satu pola kejang demam yang sering ditemukan
pada pasien penderita GEFS+ ( Genetic Epilepsy with Febrile Seizure Plus). Pada
penelitian Zhang Y. dkk. (2017) mempelajari 31 keluarga dengan GEFS+ dan
mereka berhasil memperluas spektrum fenotip GEFS+. Oleh karena itu, mereka
menambahkan 3 kelompok fenotipik lain ke dalam spektrum: epilepsi fokal tanpa
FS atau FS+, epilepsi umum genetik, dan kejang tonik-klonik umum afebrile
(GTCS).
Dalam penelitian lain yang dilakukan pada di Jepang dengan GEFS+, kejang
demam plus digunakan sebagai inti dari semua fenotip klinis dan berbagai jenis
epilepsi lainnya yang dapat terjadi kemudian. Spektrum GEFS+ yang mereka
gunakan diklasifikasikan sebagai berikut: epilepsi umum termasuk kejang absen,
kejang mioklonik, kejang atonik dan epilepsi mioklonik-atonik, epilepsi parsial
dengan epilepsi lobus temporal dan epilepsi lobus frontal, epilepsi tidak
terklasifikasi dengan epilepsi mioklonik berat pada masa bayi (SMEI) dan
epilepsi masa kanak-kanak yang sulit diatasi dengan generalisasi kejang tonik-
klonik (ICEGTC).
13
Dipercaya pada GEFS+ ada mutasi yang terjadi pada gen tertentu. en yang
terkena dampak utama yang ditemukan dalam keluarga GEFS+ adalah SCN1A,
SCN1B, SCN2A, SCN9A, GABRG2 dan STX1B (syntaxin 1B). Gen ini
dipercaya bertanggung jawab dalam pembentukan saluran natrium bergerbang
voltase dengan isoform berbeda di dalam saraf. Sedangkan gen GABRG2 adalah
gen yang mengkode subunit reseptor GABA-A γ-2 (kromosom 5q34) dan mutasi
telah dilaporkan pada banyak keluarga GEFS+.
Peningkatan sensitivitas suhu antara epilepsi yang disebabkan oleh mutasi
SCN1A dan SCN2A dapat meningkatkan transmisi sinaptik. Pengaruh
peningkatan suhu dapat menurunkan aktivitas saluran natrium. GABRG2 dan
GABRD menyandikan subunit berbeda dari reseptor GABA-A, memediasi
penghambatan. Jadi, mutasi gen ini menyebabkan eksitasi neuron yang tidak
terkontrol, yang menghasilkan manifestasi epilepsi dan presentasi kejang demam.
2.4 Patofisiologi
Terjadinya peningkatan suhu di hipotalamus, otot, kulit, maupun
jaringan tubuh yang lain akan mengeluarkan mediator kimia berupa epinefrin dan
prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini merangsang meningkatan potensial
aksi pada neuron. Secara umum kejang terjadi apabila neuron-neuron dalam area
otak teraktivasi dengan cara sinkronisasi. Aktivasi fokal sekelompok neuron
kemudian menyebar ke neuron sekitarnya dan neuron-neuron jauh dalam aktivasi
abnormal. Terjadinya suatu kejang melibatkan berbagai macam aspek selular atau
biokimiawi seperti gangguan fungsi kanal ion, level neurotransmiter, fungsi
reseptor neurotransmiter, atau metabolisme energi yang mengganggu eksitabilitas
neuron sehingga menimbulkan kejang. Secara umum, depolarisasi diperantarai
oleh neurotransmiter eksitatori yaitu glutamat dan aspartat. Peningkatan
efektivitas sinaptik terjadi akibat meningkatnya ambilan reseptor N-methyl-D-
aspartate (NMDA) sehingga terjadi influks kalsium kedalam sel dan peningkatan
14
eksitabilitas sel. Ketika proses eksitatori meningkat terjadi reduksi simultan
sirkuit inhibisi sehingga manifestasi kejang berlangsung (Melati et.al., 2014).
2.5 Epidemiologi
Berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 2013, angka kejadian kejang
demam berkisar (2-3%). Data yang diperoleh dari RSUP Dr. M. Djamil Padang
tahun 2014-2017 terdapat sebanyak 394 kasus kejang demam di Instalasi Rawat
Inap Anak. Penyebab kejang demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) yang mencapai (80%) dari seluruh anak yang mengalami kejang
demam. Insiden kejang demam pada anak laki-laki lebih sering dibandingkan
pada anak perempuan dengan rasio 1, 1:1 hingga 2:1 (Maghfirah & Namira,
2022).
2.6. Manifestasi Klinis
Umumnya kejang demam hanya berlangsung singkat, berupa serangan kejang
klonik atau tonik klonik bilateral, seringkali kejang akan berhenti sendiri. Setelah
kejang berhenti anak tidak akan memberikan reaksi apapun untuk sejenak setelah
beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada deficit neurologis. Namun
dalam beberapa kasus kejang dapat diikuti dengan hemiparesis (Hemiparesis
Todd) jika kejang parsial timbul hemiparesis juga yang menetap jika kejang
berlangsung lama.
Yang perlu diperhatikan dalam kasus kejang demam plus adalah apakah
kejang yang diakibatkan oleh demam atau epilepsy yang timbul akibat demam.
Anamnesis yang mendalam perlu dilakukan karena seringnya FS+ akan
menimbulkan manifestasi epilepsy jika diabaikan.
15
2.7 Diagnosis
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2016 kejang demam
dapat di diagnosis dengan melakukan beberapa pemeriksaan penunjang, di
mana pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan Laboratorium, pungsi
lumbal, elektroensefalografi (EEG), dan pencitraan.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya
pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula darah (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2016).
Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru,
saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan
keadaan umum baik. Indikasi pungsi lumbal;
Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat
mengaburkan tanda dan gejala meningitis (Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2016).
Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila
bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk
16
menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih
lanjut (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016).
Pemeriksaan neuroimaging
CT scan atau MRI kepala tidak rutin dilakukan pada anak dengan kejang
demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi,
seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau
paresis nervus kranialis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016). Pada pasien
anak dengan kejang demam kompleks pemeriksaan neurologis dapat
dilakukan untuk membantu dalam menentukan diperlukan atau tidaknya pada
tes laboratorium, di mana anak yang tampak baik pada pemeriksan neurologis
pada kejang demam kompleks mengindikasikan adanya risiko rendah dari
hipoglikemia meskipun biasanya juga memiliki kadar natrium serum yang
sedikit lebih rendah. Pada pemeriksaan neurologis juga dapat membantu
menentukan apakah perlu dilakukan neuroimaging dengan kejang demam
kompleks pada risiko rendah dari kelainan intrakranial (American Academy of
Pediatric, 2019).
2.8 Diagnosis Banding
Diagonosis banding yang harus kita pikirkan pada anak dengan kejang demam
terutama kejang demam plus adalah:
1. Meningitis
2. Encephalitis
3. Spinal Epidural Abcess
4. Subdural Empyema
5. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam
6. Status Epileptikus
17
2.9 Tatalaksana
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada
waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam
keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-
lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh
orangtua di rumah (prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam
rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan
berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang
masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis. Pemberian obat pada saat demam;
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol
yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada
kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
18
Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
Usia <6 bulan
Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39ºC
Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat. Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per
oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan 12 kg), sebanyak 3
kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan
pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan
ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
19
antikonvulsan untuk pengobatan rumat; Pemberian obat fenobarbital atau
asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya
kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah
asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari
2 tahun, asam valproate dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4
mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun,
penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan
tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
2.10 Prognosis
Kejang demam atau febrile seizures plus (FS+) umumnya memiliki
prognosis yang baik, pengendalian kejang yang baik dengan obat antikejang.
Kejang dapat berhenti pada akhir masa kanak-kanak atau awal masa remaja
dan tanpa ada kecacatan intelektual. Namun, informasi rinci tentang
perjalanan kejang, penggunaan obat, komorbiditas dan periode bebas kejang
masih kurang untuk kelompok kejang ini. Banyak penelitian yang mengatakan
FS+ akan mengarah kepada GEFS+ yang jika dibiarkan akan Akhir yang
parah dari spektrum GEFS+ yaitu, Sindrom Dravet ditandai dengan serangan
epilepsi yang sulit diatasi dan ada banyak penelitian tentang hasil dan
komorbiditas yang menunjukkan bahwa ketidakmampuan berjalan dan
masalah perilaku yang parah memengaruhi sebagian besar pasien sindrom
Dravet. Komorbiditas ini berkorelasi kuat dengan skor kualitas hidup yang
lebih rendah
20
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Kejang Demam Plus adalah kejang Ibu pasien mengatakan pasien demam
demam klasik yang terjadi pada amak sudah sejak 1 hari (Pengukuran suhu
usia diatas 6 tahun. Dimana gejala saat di IGD 38,40 C) yang lalu dan
kejang disertai demam dengan suhu kejang sejak 10 menit sebelum masuk
diatas 380c rumah sakit yang lalu. Kejang hanya 1
kali saja dengan lama waktu kurang
dari 3 menit dan sejak masuk rumah
sakit tidak kejang lagi. Ibu pasien
mengatakan bahwa kejang pasien
diawali dengan seluruh tubuh yang
kaku, diikuti mata keatas dan tidak
merespon saat dipanggil.
21
Brudzinki sign positif Status Neurologis tidak
Hiperpireksia ditemukan kelainan
Focal Neurologic sign
(Hemiparesis)
Paraplegia atau Quadraplegia
Papiledema
4.4 Tatalaksana
Teori Kasus
Pre-hospital Monitor Vital Sign dan keluhan
Dosis diazepam rektal : 0,5-0,75 Infus DS ½ NS 1500 cc/24 Jam
mg/kg, atau 5 mg bila BB<12 + Drip Nacl 3% 150 cc/24 Jam
kg 10 mg bila BB >12 kg. Atau (1 kolf DS ½ NS + 50 cc Nacl
diazepam rektal dengan dosis 5 3%
mg untuk anak dibawah usia 3 Inj Dexamethason 3x3,75 mg
tahun atau dosis 7,5 mg untuk intravena
anak di atas usia 3 tahun. PO Diazepam 3x7,5 mg
Penatalaksanaan saat kejang
22
Diazepam IV : 0,3-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan
kecepatan 1- 2 mg/menit atau
dalam waktu 3- 5 menit, dengan
dosis maksimal 20
mg.
Penatalaksanaan saat demam
Parasetamol : 10 –15
mg/kg/kali diberikan 4 kali
sehari dan tidak lebih dari 5
kali. atau Ibuprofen : 5-10
mg/kg/kali ,3-4 kali sehari
23
BAB 5
PENUTUP
24
DAFTAR PUSTAKA
Fuadi, F., Bahtera, T., & Wijayahadi, N. (2010). Faktor Risiko Bangkitan Kejang
Demam pada Anak. Sari Pediatri Vol. 12 No. 3.
Melati, D., Suwarba, M., Sutriani, D., Kari, K. (2014). First Onprovoked Seizure
Pada Anak. Jurnal Ilmiah Kedokteran Medicina, 45:93-8.
Radu, Madalina dkk. (2021). Genetic Epilepsy with Febrile Seizure Plus an
Overview. Ro J Neurol. 2021;20(1) DOI: 10.37897/RJN.2021.1.3.
25