Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM KOMPLEKS


Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik
Madya

Disusun oleh:
Sonia Lugita Sari 21904101070

Dosen Pembimbing:
dr. Indah Sulistyani, Sp. A

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT ANAK


RSUD SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Sholawat serta salam yang kami junjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran
sehingga dalam penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan
buruk. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada KSM
Ilmu Kesehatan Anak, yaitu dr. Indah Sulistyani, Sp.A yang memberikan
bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak sehingga penyusunan laporan kasus ini dapat
terselesaikan.
Laporan kasus ini membahas terkait definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis, dan manajemen penatalaksanaan terkait kasus kejang demam.
Kami menyadari dalam laporan ini belum sempurna secara keseluruhan oleh
karena itu kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang
membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan
penyelesaian laporan selanjutnya.
Demikian pengantar kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.
Amin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bangkalan, 15 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................ii

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR........................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.....................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................2

1.3 Tujuan..................................................................................................2

1.4 Manfaat................................................................................................2

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesa (Heteroanamnesa)..............................................................3

2.2 Pemeriksaan Fisik................................................................................5

2.3 Diagnosis Banding...............................................................................12

2.4 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................13

2.5 Diagnosis Kerja...................................................................................14

2.6 Planning dan Monitoring.....................................................................14

2.7 Terapi.................................................................................................. 16

2.8 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi...................................................17

2.9 Prognosis.............................................................................................17

2.10 Komplikasi........................................................................................18

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kejang Demam....................................................................................19

ii
3.1.1 Definisi Kejang Demam...................................................................19

3.1.2 Epidemiologi Kejang Demam...........................................................19

3.1.3 Etiologi Kejang Demam...................................................................19

3.1.4 Klasifikasi Kejang Demam...............................................................20

3.1.5 Patofisiologi Kejang Demam............................................................20

3.1.6 Manifestasi Klinis.............................................................................23

3.1.7 Diagnosis Kejang Demam................................................................24

3.1.8 Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam..........................................25

3.1.9 Diagnosis Banding Kejang Demam..................................................27

3.1.10 Prognosis Kejang Demam...............................................................27

3.1.11 Penatalaksanaan Kejang Demam....................................................29

3.1.12 Edukasi Pada Orang Tua.................................................................32

3.1.13 Komplikasi.....................................................................................33

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan.........................................................................................34

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan..........................................................................................39

5.2 Saran....................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................40

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jadwal Imunisasi.......................................................................4

Tabel 2.2 Status Interna Pasien....................................................................10

Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap...............................................13

Tabel 2.4 Tabel Follow Up Pasien...............................................................14

Tabel 3.1 Klasifikasi Kejang Demam...........................................................20

Tabel 3.2 Diagnosa Banding Kejang Demam...............................................27

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Algoritme Kejang..................................................................29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan di otak1. Kejang demam
adalah kejang yang didahului demam dengan kenaikan suhu tubuh diatas 38 oC
yang diukur dengan pengukuran apapun1. Kejang demam merupakan salah satu
kelainan saraf paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Pendapat para ahli,
kejang demam banyak terjadi rentang usia 3 – 5 tahun 1. Sekitar 2-5% anak-anak
mengalami kejang pada usia 5 tahun. Lebih dari 90% penderita kejang demam
terjadi pada usia sebelum 5 tahun. Insiden kejang demam tertinggi pada usia 18
bulan1. Diantara semua usia, bayi yang rentan terkena kejang demam berulang
50% adalah ketika kejang pertama terjadi pada usia kurang dari 2 tahun 2.
Sedangkan jika kejang pertama kali pada usia lebih dari 2 tahun maka
kemungkinan terjadi kejang berulang adalah 28%2. Di Indonesia khususnya
daerah Tegal, Jawa Tengah 6 balita meninggal karena serangan kejang demam
dari 62 kasus penderita kejang demam3.
Kejang demam terjadi secara mendadak. Dapat disebabkan karena bakteri
atau virus3. Selain itu faktor genetik juga berperan3. Setiap anak memiliki suhu
ambang kejang yang berbeda. Beberapa anak kejang pada suhu 38 oC, ada pula
yang kejang pada suhu 40oC3. Kejang demam diklasifikasikan sebagai kejang
demam simplek dan kejang demam komplek. Kejang demam simplek terjadi
bersifat general, berlangsung < 15 menit, terjadi 1 kali serangan dalam 24 jam,
dan setelah kejang pasien sadar. Pada kejang demam komplek terjadi secara fokal
atau fokal menjadi general, berlangsung > 15 menit, terjadi lebih dari 1 kali
serangan dalam 24 jam, dan setelah kejang pasien tidak sadarkan diri11,2. Anak
dapat saja normal atau mempunyai kelainan neuorologis3. Prognosis kejang
demam baik, namun bangkitan kejang demam masih membawa kekhawatiran bagi
orang tua3. Di India, hasil penelitian Parmar dkk menyampaikan 77,9% orang tua
pasien kejang demam tidak memiliki pengetahuan tentang kejang demam dan
90% menganggap anaknya akan meninggal3.

v
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi, epidemiologi, etiopatologi kejang demam kompleks?
2. Bagaimana cara penegakan diagnosa kejang demam kompleks?
3. Bagaimana penatalaksanaan kejang demam kompleks?
1.3. Tujuan

1. Untuk memahami definisi, etiopatologi kasus kejang demam kompleks


2. Untuk memahami cara penegakan diagnosa kejang demam kompleks
3. Untuk mengetahui penatalaksaan kasus kejang demam kompleks
1.4. Manfaat
Menambah wawasan keilmuan tentang ringkasan dari kasus dan
beberapa tinjauan pustaka tentang kejang demam kompleks, sehingga
mempermudah pemahaman penulis dan pembaca tentang kejang demam
kompleks, dan mengetahui tentang perkembangan pasien.

vi
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Anamnesa (Heteroanamnesa)

(Heteroanamnesa dilakukan kepada Bapak dan Ibu Pasien)

a. Identitas
Nama Pasien : An. APD
TTL/Usia : 15 September 2019 (1 tahun 7 bulan)
Jenis kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Tn. C
Usia : 30 th
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Batah barat-Kwanyar
Nama Ibu : Ny. S
Usia : 28 th
Pekerjaan : Guru TK
Pendidikan terahir : S1
Alamat : Batah barat-Kwanyar
No RM : 239***
Tanggal Pemeriksaan : 7 April 2021
MRS : 6 April 2021 (24.00)
b. Keluhan Utama : Kejang
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Kejang 2 kali, durasi kejang >5 menit, dan setelah kejang kedua
kedua pasien belum sadar(18.00-11.00 p.m), namun saat di IGD
pasien sudah sadar. Kejang seluruh badan, badan kaku, mata
melihat ke atas. Setelah kejang pertama sadar (+) dan setelah kejang
kedua tertidur. Panas selama 1 hari pada hari itu. Makan dan minum
menurun. Nyeri perut (-) Mual (-) Muntah (-) Batuk (-) Pilek (-) BAB
dan BAK (normal).

vii
d. Riwayat Penyakit Dahulu
12 bulan yang lalu (usia pasien 7 bulan) pasien MRS di puskesmas
karena kejang pertama kali didahului demam dan sadar setelah
kejang, dan 20 hari yang lalu (23 maret 2021) kejang kembali
didahului demam terjadi 2x. Durasi kejang pertama 1 jam dan kejang
kedua 30 menit dan sadar setelah kejang (ibu mengatakan setiap kali
anak demam akan diikuti kejang)
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Kejang (+) Paman dari ayah dan ibu, HT (-), DM (-), Asma (-), TB (-),
Stroke (-)
f. Riwayat Pengobatan
Rumah : Tempra
Puskesmas 06/04/2021 : diazepam supp
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
- ANC : rutin di bidan
- Kehamilan : Rontgen (-), dipijat (+), keputihan (-), perdarahan (-),
muntah (-), HT (-)
- Kelahiran : sectio cesaria, lahir di dokter, lahir langsung menangis
UK : 36-37 minggu
BBL : 3,6 kg PB : 51 cm LK : - LL : -
Anak : ke 2 dari 2 bersaudara
h. Riwayat Tumbuh Kembang :
Orang tua lupa saat usia berapa anak bisa angkat kepala, tengkurap dan
berbalik (4 bulan), duduk (8 bulan) dan bicara (1 tahun), dan ibu
menyatakan bisa berjalan lancar saat usia 15 bulan.
i. Riwayat Imunisasi : tidak lengkap
Tabel 2.1 Jadwal Imunisasi

Umur 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12+
Vaksin
HB-0
BCG
Polio 1
DPT-HB-
HiB 1

viii
Polio 2
DPT-HB-
HiB 2
Polio 3
DPT-HB-
HiB 3
Polio 4
IPV
Campak

j. Riwayat Nutrisi :
Pasien diberi ASI dari lahir sampai saat ini.
Usia 6-7 bulan mulai diberikan MPASI.
Makanan sekarang : Asupan makanan cukup baik + ASI
k. Riwayat Alergi : Makanan (-) Debu (-) Obat (-)
l. Riwayat Sosek : Orang tua pasien memperhatikan kesehatan anak.

2.2. Pemeriksaan Fisik


Pasien Pertama masuk ke RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
1. Keadaan Umum :

Kesan Umum :

Sadar

Cukup rewel

Panas (+)

Kejang (-)

Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15 : E4V5M6)

2. Vital Sign :

TD : tidak diperiksa

Suhu : 37,6

Nadi : 130 kali/menit

RR : 22 kali/menit

Saturasi O2 : 96%

Akral : hangat

ix
3. Antropometri dan Status Nutrisi

Berat Badan : 10 kg

Panjang Badan : 75 cm

Lingkar Lengan Atas: 16 cm

Lingkar Kepala : 46 cm

Status Gizi : BB/U = 0 – (-2)

PB/U = -3

BB/TB = 1- (0)

BMI = 2- (1)

LLA/U =1

LK/U = -1-(-2)

Status Gizi Waterlow (1972)

BB Aktual
BB/TB%= x 100 %
BB Ideal untuk TB Aktual
10 kg
BB/TB%= x 100 % = 105% (Status
9,5 kg
Gizi Baik)

x
xi
xii
xiii
4. Status Interna:
Tabel 2.2 Status Interna Pasien
Kepala  Bentuk simetris
 Normosepali
 Ubun-ubun menutup
 Rambut warna hitam
 Rambut tidak mudah dicabut
Mata  Mata cowong (-/-)
 Sklera ikterus (-/-)
 Konjungtiva anemis (-/-)
 Pupil isokor (2mm/2mm)
 Reaksi cahaya (+/+)
Telinga  Ukuran (normal/normal)
 Sekret (-/-)
 Darah (-/-)
 Nyeri (-/-)
Hidung  Deviasi septum (-)
 Pernapasan cuping hidung (-)
 Epistaksis (-/-)
 Sekret (-/-)

xiv
Rongga mulut  Mukosa lidah lembab (+)
 Mukosa kering (-)
 Lidah kotor (-)
 Faring: hiperemi (-)
 Tonsil: normal
Leher  Keterbatasan gerak (-)
 Deviasi trakea (-)
 Pembesaran KGB (-)
 JVP (normal)
 Kaku kuduk (-)
Paru paru  Inspeksi :
Simetris D/S
Retraksi dada (-/-)
 Palpasi :
Sela iga kanan = kiri
Stem fremitus normal sama D/S
Nyeri tekan -/-
 Perkusi :
Sonor D/S
 Auskultasi :
Vesikuler Wheezing Rhonki
V v - - - -
V v - - - -
V v - - - -

Jantung  Inspeksi :
Iktus kordis tidak terlihat
Alat bantu pace maker : tidak ada
 Palpasi :
Kuat angkat (normal)
Thrill (-)
 Perkusi :
Redup
Batas kanan atas : linea parasternalis dekstra
ICS II
Batas kanan bawah : linea parasternalis
dekstra ICS IV-V
Batas kiri atas : linea parasternalis sinistra ICS
II
Batas kiri bawah : ICS V MCL sinistra
 Auskultasi :
S1 S2 tunggal
Murmur (-)
Abdomen  Inspeksi :
Datar (flat)
Ikut gerak napas
 Auskultasi:

xv
Bising usung (+) dalam batas normal

Perkusi:
Timpani (+)
Hepar pekak (+)
 Palpasi :
Soufel (+)
Distended (-)
Nyeri tekan (-)
Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba
Genetalia Tidak diperiksa
Musculoskeletal  Bengkak (-)
 Akral hangat +/+
 CRT <2 detik

5. Pemeriksaan Neurologi
a. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal
1) Kaku kuduk (-)
2) Brudzinski I (-)
3) Brudzinski II (-/-)
4) Laseque (-/-)
5) Kernig (-/-)
b. Pemeriksaan refleks fisiologis
1) Reflek Bisep (+/+)
2) Reflek Trisep (+/+)
3) Reflek patella (+/+)
4) Reflek Achilles (+/+)
c. Pemeriksaan refleks patologis
1) Reflek Hoffman (-/-)
2) Reflek Tromner (-/-)
3) Refleks Babinski (-/-)
4) Refleks Chaddock (-/-)
5) Refleks Oppenheim (-/-)
6) Refleks Gordon (-/-)
7) Refleks Gonda (-/-)

2.3. Diagnosa Banding

xvi
1. Kejang
 Kejang Demam Komleks
 Kejang Demam Simpleks
 Epilepsi
 Status Epileptikus
 Meningitis
 Ensefalitis
 Meningoensefalitis
2. Status gizi
 Gizi Baik
 Gizi Kurang
 Gizi Buruk

2.4. Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Darah Lengkap
Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap
Parameter Normal Tanggal Satuan
06/04/2021
HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 10,7-14,7 11,2 gr/dl
Eritrosit 3,7-5,7 4,44 juta/ul
Leukosit 6-17 23,3 ribu/ul
Trombosit 217-497 325 ribu/ul
MPV 7,2-11,1 4,94 fL
Hematrokit 33-39 32,7 %
Indeks Eritrosit
MCV 73-101 73,7 Fl

xvii
MCH 24-30 25,3 Pg
MCHC 26-34 34,3 gr/dl
RDW CV 11,5-14,5 12,0 %
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0-1 0,54 %
Neutrofil 40-70 90,70 %
Limfosit 22-40 5,38 %
Eosinofil 2-4 0,12 %
Monosit 4-8 3,23 %
KIMIA KLINIK
Elektroit
Natrium (Na) 132-145 131 Mmol/L
Kalium (K) 3,1-5,1 4,46 Mmol/L
Klorida (Cl) 96-111 112 Mmol/L

2.5. Diagnosa Kerja


Kejang Demam Kompleks

2.6. Planning dan Monitoring


Tabel 2.4 Tabel Follow Up Pasien
Tanggal S O A P
Hari ke 1 - Kejang 2 kali - K/U : cukup Kejang PTx :
07/04/202 - Durasi kejang rewel/sadar/panas Demam - IVFD D5 ¼ NS 1000
1 >5 menit, dan (+)/kejang (-) Komplek cc/hari
setelah kejang - Kesadaran : 1000cc x 20 = 14 tpm
kedua kedua Composmentis 24 jam x 60
pasien belum GCS 456 - Inj ceftriaxone 2 x
sadar(18.00- - TTV 500 mg (50-
TD : - 75mg/kgbb/hari)
11.00 p.m),
Nadi : 130x/menit - Inj dexamethason 2 x
namun saat di RR : 20x/menit ½ (0,5mg/kgbb/hari)
IGD pasien Suhu : 37,6 C (H1) sediaan (2,5

xviii
sudah sadar HKM mg)
- Kejang - Antropometri : - Inj. Paracetamol
seluruh BB: 10 kg 3x200mg (10-
badan, badan TB : 75 cm 15mg/Kgbb/kali,
kaku, mata LLA : 16 cm maks.
melihat ke LK : 46 cm 60mg/kgbb/hari)
atas - Pemeriksaan Fisik - Diazepam 3mg p.r.n.
- Diantara (Dalam Batas (0,3-
kejang pasien Normal) 0,5mg/KgBB/kali
sadar, setelah - Hasil pemeriksaan
kejang kedua darah lengkap PDx :
pasien tertidur 06/04/21 Urin Lengkap
- Panas selama 1 Leukosit 23,3
hari pada hari ribu/ul Monitoring :
tersebut. Neutrophil 90,70% 1. Keluhan pasien
- Mual (-) (kejang dan
- Muntah (-) demam)
2. Tanda – tanda vital
- Batuk (-)
3. Asupan makan dan
- Pilek (-)
minum
- Makan minum 4. BAB dan BAK
(menurun)
- BAB (normal)
- BAK (normal)

Hari ke 2 - Kejang (-) - K/U : sudah mulai Kejang PTx :


08/04/202 - Panas (-) aktif/sadar/panas Demam - IVFD D5 ¼ NS 1000
1 - Batuk (-) (-)/kejang (-) Kompleks cc/hari
- Pilek (-) - Kesadaran : 1000cc x 20 = 14 tpm
- Mual (-) Composmentis 24 jam x 60
- Muntah (-) GCS 456 - Inj ceftriaxone 2 x
- Makan minum - TTV 500 mg (50-
TD : - 75mg/kgbb/hari)
(+)
- BAB (normal) Nadi : 110x/menit - Inj dexamethason 2 x
RR : 24x/menit ½ (0,5mg/kgbb/hari)
- BAK (normal) (H1) sediaan (2,5
Suhu : 37,0℃
HKM mg)
- Pemeriksaan Fisik - Inj. Paracetamol
(Dalam Batas 3x200mg (10-
Normal) 15mg/Kgbb/kali,
maks.
60mg/kgbb/hari)
- Diazepam 3mg p.r.n.
(0,3-
0,5mg/KgBB/kali

PDx :
Urin Lengkap

Monitoring :
1. Keluhan pasien
(kejang dan

xix
demam)
2. Tanda – tanda
vital
3. Asupan makan
dan minum,
4. BAB dan BAK
Hari ke 3 - Kejang (-) - K/U : Kejang PTx :
09/04/202 - Panas (-) aktif/sadar/panas Demam - IVFD D5 ¼ NS 1000
1 - Batuk (-) (-)/kejang (-) Komplek cc/hari
- Pilek (-) - Kesadaran : 1000cc x 20 = 14 tpm
- Mual (-) Composmentis 24 jam x 60
- Muntah (-) GCS 456 - Inj ceftriaxone 2 x
- TTV 500 mg (50-
- Makan minum
TD : - 75mg/kgbb/hari)
(+)
- BAB (normal) Nadi : 106x/menit - Inj dexamethason 2 x
RR : 22x/menit ½ (0,5mg/kgbb/hari)
- BAK (normal)
Suhu : 36,5℃ (H1) sediaan (2,5
HKM mg)
- Pemeriksaan Fisik - Inj. Paracetamol
(Dalam Batas 3x200mg (10-
Normal) 15mg/Kgbb/kali,
maks.
60mg/kgbb/hari)
- Diazepam 3mg p.r.n.
(0,3-
0,5mg/KgBB/kali

Pro KRS

PDx :
Urin Lengkap

Pemberian obat pulang :


- Dosis diazepam
rektal adalah 0,5
- 0,75 mg/kg
atau diazepam
rektal 5 mg
untuk anak
dengan berat
badan kurang
dari 12 kg dan
10 mg untuk
berat badan
lebih dari 12 kg

Monitoring :
1. K
eluhan pasien
(kejang dan
demam)

xx
2. T
anda – tanda vital
3. A
supan makan dan
minum
4. B
AB dan BAK

KIE Orang Tua

2.7 Planning
2.7.1 Planning Terapi IGD
- Tirah Baring
- O2 nasal canule 2-4 lpm
- IVFD D5 ½ NS 1000 cc/hari
1000cc x 20 = 14 tpm
24x 60
- Diazepam 3mg p.r.n (0,3-0,5 mg/kgBB)
- Inj. Paracetamol 3x100mg dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali dapat diulang 4-6
jam, max 60mg/kgBB/hari
- Monitoring TTV dan keadaan pasien
- Lab DL

2.7.2 Planning Terapi Rawat Inap


- Tirah Baring
- IVFD D5 ½ NS 1000 cc/hari
1000cc x 20 = 14 tpm
24x 60
- Inj ceftriaxone 2 x 500 mg
- Inj dexamethason 2 x ½ (0,5mg/kgbb/hari) (H1)
- Inj. Paracetamol 3x200mg dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali dapat diulang 4-6
jam, maksimum 60mg/kgbb/hari.
- Diazepam 3mg p.r.n
- Monitoring TTV dan keadaan pasien

xxi
2.7.3 Planning Terapi Rawat Jalan:
- Dosis diazepam rektal adalah 0,5 - 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 12 kg
2.7.4 Planning Diagnostik

- Urin Lengkap
2.8 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
1. Meyakinkan orang tua bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik
2. Memberikan informasi bahwa kemungkinan kejang dapat terjadi lagi
3. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif tetapi tetap harus memperhatikan efek samping obat
4. Memberitahukan cara penanganan kejang, jika anak mengalami kejang di
rumah :
- Tetap tenang dan tidak panik
- Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
- Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring
- Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung untuk
menghindari aspirasi
- Jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut saat kejang
- Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
- Pemberian obat diazepam rektal 1x jika kejang masih berlangsung
selama 5 menit. Jangan berikan diazepam jika kejang sudah
berhenti diberikan dalam 48 jam anak demam.

Bawa ke dokter atau rumah sakit jika kejang berlangsung 5 menit atau lebih, atau
jika suhu lebih dari 40oC, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal, kejang
fokal, setelah kejang anak tidak sadar atau terdapat kelumpuhan.

2.9 Prognosis

Quo ad vitam : ad bonam


Quo ad functionam : ad bonam

xxii
Quo ad sanationam : ad bonam
2.10 Komplikasi

Kejang demam berulang

Epilepsi

Status epileptikus

xxiii
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Kejang Demam


3.1.1. Definisi Kejang Demam1

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
yang terjadi pada anak umur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam
kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi Susunan Saraf Pusat, epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Bayi berusia kurang dari 1 bulan termsuk dalam kejang neonates.

3.1.2 Epidemiologi Kejang Demam

Kejang demam terjadi pada 2% - 5% dari populasi anak 6 bulan - 5


tahun1. 80% merupakan kejang demam sederhana, sedangkan 20% kasus
adalah kejang demam kompleks2. 8% berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
dan 16% berulang dalam waktu 24 jam 2. Kejang pertama terbanyak di antara
umur 17-23 bulan4. Anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam.
Bila kejang demam sederhana yang pertama terjadi pada
umur kurang dari 12 bulan, maka risiko kejang demam kedua 30% -50% dan
bila kejang demam sederhana pertama terjadi setelah umur 12 bulan, risiko
kejang demam kedua turun menjadi 28%3. Anak kejang demam kompleks hanya
memiliki risiko 7% untuk mengalami kejang demam kompleks kembali3.
Setelah kejang demam pertama, 2–4% anak akan berkembang menjadi epilepsi
dan ini 4 kali risikonya dibandingkan populasi umum.4

3.1.3 Etiologi Kejang Demam3

Penyebab kejang demam hingga kini belum diketahui dengan pasti, demam
sering disebabkan oleh infeksi baik karena virus atau bakteri3. Contohnya
seperti infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis
dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu tubuh yang

xxiv
tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan
kejang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prof Dr.dr. Lumantobing
pada 297 anak penderita kejang demam, infeksi yang paling sering menyebabkan
demam yang akhirnya memicu serangan kejang demam adalah tonsillitis atau
faringitis (34%), otitis media akut (31%), dan gastroenteritis (27%)5.

Faktor hereditas memiliki peranan 8-22%. Dimana orang tua yang


memiliki riwayat kejang pada masa kecilnya dapat mempengaruhi kejang
yang didapatkan pada anak3.

3.1.4 Klasifikasi Kejang Demam2

Kejang demam dibagi dalam dua kelompok, kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks:

Tabel 3.1 Klasifikasi Kejang Demam1


Kejang Demam Kejang Demam
Klinis
Sederhana Kompleks
Durasi < 15 menit  15 menit
Fokal/Umum yang
Tipe Kejang Umum
didahului fokal
> 1 Kali dalam 24
Berulang dalam satu episode 1 Kali dalam 24 jam
jam
Defisit Neurologis - 
Riwayat keluarga kejang
 
demam
Riwayat keluarga kejang
 
tanpa demam
Abnormalitas neurologis
 
sebelumnya

Kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan


berhenti sendiri. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak
tidak sadar. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum
yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih
dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar1.

3.1.5 Patofisiologi Kejang Demam

Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh natrium (Na+). Akibatnya

xxv
konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah. Keadaan
sebaliknya terjadi di luar sel neuron. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion
di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi yang berasal dari glukosa yang melalui proses
oksidasi oleh oksigen.

Demam merupakan factor utama timbulnya bangkita kejang demam.


Perubahan kenaikan tempeatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang
dan eksitabilitas neural karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion
dan metabolism seluler serta produksi ATP 6. Akibatnya kenaikan suhu 1oC akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan meningkatnya
kebutuhan glukosa dan oksigen sebanyak 20%6. Pada demam tinggi akan
mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada siklus Creb yang
normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada
keadaan hipoksia jaringan metabolism akan berjalan anaerob dimana satu
molekul glukosa akan menghasilkan hanya 2 ATP, sehingga pada keadaan
hipoksia dapat terjadi kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa
Na+ dan reuptake asam glutamate oleh sel glia. Masuknya Na + ke dalam sel
meningkat dan timbunan asam glutamate ekstrasel. Timbunan asam glutamate
akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membrane sel terhadap sel Na+
sehingga kadar ion Na+ akan semakin meningkat masuk kedalam sel. Ion Na+ ke
dalam sel dipermudah dengan keadaan demam, sebab demam akan memobilisasi
dan benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na + intrasel
dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel
neuron sehingga membrane sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu
demam dapat merusak GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat
mempengaruhi perubahan konsentrasi ion Na+ influx dan menimbulkan keadaan
depolarisasi. Selain itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi
akibat kerusakan neuon GABA-ergik. Setiap kenaikan suhu 0,3oC secara cepat
dapat menimbulkan discharge di daerah oksipital. Kenaikan nilai mendadak
tersebut menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate dan menurunkan kadar

xxvi
glutamin. Tapi pada kenaikan suhu yang pelan tidak menyebabkan kenaikan
kadar asam glutamate. Perubahan glutamin menjadi glutamate dipengaruhi oleh
masa tubuh. Asam glutamate merupakan eksitatori sedangkan GABA adalah
inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu mendadak6.

Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi
pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi kejang baru
dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Kejang demam yang berlangsung
singkat pada umumnya tidak berbahaya. Tetapi pada kejang yang berlangsung
lama biasanya disertai terjadinya apnoe sehingga kebutuhan oksigen untuk otak
meningkat dan menyebabkan terjadinya kerusakan sel neuron otak yang
berdampak pada terjadinya kelainan neurologis.

Patofisiologi kejang demam belum diketahui, diperkirakan bahwa pada


keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian
reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat
habis, sehingga terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP ternganggu, sehingga Na intrasel dan K ektrasel yang akan menyebabkan
potensial membran cendrung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron kegagalan
metabolisme di otak.

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/imatur

b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan


gangguan permeabilitas membran sel

xxvii
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan
CO2 yang akan merusak neuron.

d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan


kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan
pengaliran ion-ion keluar masuk sel.

Pada pasien dengan riwayat keluarga positif terdapat riwayat kejag, hal
tersebut dapat diturunkan dengan ada mutasi subunit reseptor GABA A, subunit
kanal Na+, dan peningkatan mediator inflamasi demam interleukin beta (IL-
Beta). Keadaan tersebut menyebabkan pasien rentan mengalami peningkatan
suhu. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umunya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)
biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat
(disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di
atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi
hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.

3.1.6 Manifestasi Klinis2,3

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan


dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi
di luar susunan saraf pusat, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis, dan lain
sebagainya. Klasifikasi dan manifestasi klinis kejang demam :

A. Kejang demam sederhana / Simplek


o Lamanya kejang < 15 menit
o Kejang bersifat umum (tonik/klonik)
o Usia kejang muncul pertama kali kurang dari 6 tahun
o Frekuensi serangan 1-4 hari/tahun
o Setelah serangan anak cenderung sadar
B. Kejang Demam Kompleks
o Kejang lama > 15 menit

xxviii
o Bersifat fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang
parsial
o Berulang > 1 kali dalam 24 jam
o Setelah serangan anak cenderung tidak sadar

Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain: anak
mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang
terjadi secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang
berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang
mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-
tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot
wajah, badan, tangan, dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat
kekuatan kontraksi otot. Anak dapat pula terjatuh apabila dalam keadaan berdiri.

Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya


berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot
yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipi
tergigit, gigi atau rahang terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih
atau tinja diluar kesadaran), gangguan pernapasan, apneu (henti napas), dan kulit
kebiruan (sianosis). Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala
seperti:

1. Anak kehilangan kesadaran


2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
3. Sulit bernapas
4. Busa di bagian mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, melirik ke atas sehingga hanya bagian sklera
mata yang terlihat
3.1.7 Diagnosis Kejang Demam4
Langkah diagnostik untuk kejang demam adalah:
Anamnesis
a. Onset kejang, jumlah kejang, sifat kejang, bentuk kejang, kesadaran
selama dan setelah kejang, durasi kejang, suhu sebelum/saat kejang,

xxix
frekuensi, interval antara 2 serangan kejang, penyebab demam di luar
susunan saraf pusat.
b. Riwayat demam sebelumnya (sejak kapan, timbul mendadak atau
perlahan, menetap atau naik turun).
c. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak
disertai demam atau epilepsi).
d. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi).
e. Riwayat trauma kepala.
f. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
g. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA,
dan lain-lain).
h. Singkirkan penyebab kejang lainnya.

Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah:

a. Tanda vital terutama suhu tubuh

b. Manifestasi kejang yang terjadi

c. Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau molase kepala


berlebihan

d. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya


demam

e. Tanda peningkatan tekanan intrakranial

f. Tanda infeksi di luar SSP.

Pemeriksaan neurologis antara lain:

a. Tingkat kesadaran

b. Tanda rangsang meningeal

c. Tanda refleks fisiologis dan patologis

Umumnya pada kejang demam tidak dijumpai adanya kelainan neurologis,


termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.

3.1.8 Pemeriksaan Penunjang1,2,4

xxx
Setelah penanganan akut kejang demam, sumber demam perlu diteliti.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dapat digunakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau penyebab seperti darah lengkap, elektrolit,
dan gula darah2. Dalam sebuah penelitian, sumber demam pada kejang demam
antara lain infeksi virus (tersering), otitis media, tonsilitis, ISK, gastroenteritis,
infeksi paru-paru (saluran napas bagian bawah), meningitis, dan pasca imunisasi.

Beberapa pemeriksaan lanjutan hanya diperlukan jika didapatkan


karakteristik khusus pada anak.

1. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang
ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Saat ini pemeriksaan lumbal tidak lagi dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam dengan keadaan umum
baik. Indikasi pungsi lumbal :
- Terdapat tanda dan gejaa rangsang meningeal
- Terdapat kecurigaan infeksi SSP dari anamnesis dan pemeriksaan klinis
- Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya sudah mendapatkan antibiotic sehingga mengaburkan tanda
dan gejala meningitis.
2. EEG (elektroensefalografi)

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk melihat abnormalitas


gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang
demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat
kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat
memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah
kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko
berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi. Pemeriksaan EEG dilakukan
pada kejang demam komplikata anak usia > 6 tahun atau kejang demam yang
bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang
membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

xxxi
3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit,


kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada
kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk
mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah
CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang
demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya. Pemeriksaan tersebut
dilakukan jika terdapat indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang
menetap misalnya hemiparesis atau nervus kranialis.
3.1.9 Diagnosa Banding2

Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan


kejang, harus dipikirkan apakah penyebab kejang berada di dalam atau di
luar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi,
misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain. Oleh sebab itu, perlu
diwaspadai untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organik di otak.

Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi


dan anak yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak
khas dan gangguan neurologis kurang nyata. Oleh karena itu, agar tidak terjadi
kesalahan yang berakibat fatal harus dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal
yang umumnya diambil melalui pungsi lumbal. Baru setelah itu dipikirkan
apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam kompleks atau epilepsi
yang diprovokasi oleh demam.

Tabel 3.2 Diagnosa Banding Kejang Demam


Kejang Meningitis
No Kriteria Banding Epilepsi
Demam Ensefalitis
1 Demam Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu
demam dengan demam gejalanya demam
2 Kelainan otak - + +
3 Kejang berulang + + +
4 Penurunan + - +
kesadaran

xxxii
3.1.10 Prognosis1,2

Prognosis kejang demam umumnya sangat baik. Kejadian kecacatan


sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan
mental dan neurologi umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang
berulang, baik umum maupun fokal. Gangguan recognition memory pada anak
yang mengalami kejang lama dapat terjadi. Hal tersebut menegaskan pentingnya
terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama. Kematian karena
kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Kemungkinan kejang demam akan berulang kembali pada sebagian


kasus yaitu jika dengan faktor risiko diantaranya :

a. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga


b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Suhu tubuh yang kurang dari 39oC saat kejang
d. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang
e. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks

Bila seluruh faktor tersebut diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang


demam adalah 80%, sedangkan jika tidak ada faktor tersebut kemungkinan
kejangnya hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar
pada tahun pertama.

Faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah :

1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang


demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsy pada orang tua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu
tahun

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi


sampai 4-6%, kombinasi dari factor risiko tersebut akan meningkatkan

xxxiii
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsy tidak
dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.

Hemiparesis biasanya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama


(berlangsung lebih dari 30 menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya
sesuai kejang fokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi
setelah 2 minggu timbul spasitas. Dari suatu penelitian terdapat 431 pasien
dengan kejang demam sederhana, tidak terdapat kelainan pada IQ. Tetapi pada
pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan
atau kelaianan neurologis akan didapat IQ yang lebih rendah dibanding dengan
saudaranya. Jika kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam,
retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar.

Kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64%-0,75%.


Sebagian besar penderita kejang sembuh sempurna, sebagian kecil
berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Empat pasien penderita kejang
demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan
tingkat intelegensi.

3.1.11 Penatalaksanaan2,3

Pada awal pasien datang bersamaan dengan pemberian obat antikonvulsif


tetap di atasi untuk airway-breathing-circulation. Biasanya kejang demam
berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti.
Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,2 - 0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3 - 5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara
umum, penatalaksaaan kejang demam mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 - 0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan
10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Kejang yang belum berhenti dengan
diazepam rektal dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan

xxxiv
interval waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang,
dianjurkan ke rumah sakit dan disini dapat diberikan diazepam intravena. Jika
kejang masih berlanjut dapat digunakan algoritme tatalaksana status epileptikus.
Jika kejang berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 20 mg/kg/kali dengan kecepatan  1 mg /kg/menit atau kurang
dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 - 8 mg/kg/hari,
yaitu 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka
pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam dan faktor risikonya, apakah
kejang demam sederhana atau kompleks. Tata laksana pada anak dengan kejang
dapat dilihat pada algoritma tata laksana kejang berikut ini (Gambar 3.1):

xxxv
Pemberian Obat pada Saat Demam

Antipiretik

Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan bukti


bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level
I, rekomendasi A). Dokter neurologi anak di Indonesia sepakat memberikan
antipiretik. Parasetamol dosis 10-15 mg/kgbb/kali diberikan 4-6 jam. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali 3-4 kali sehari.

Antikonvulsan

Pemberian antikonvulsan intermitern

Pemberian obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang


diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis inetermiten diberikan pada
kejang demam dengan salah satu faktor risiko dibawah ini :

a. Kelainan neurologis berat misalnya palsi serebral


b. Berulang 4 kali atau lebih dalam 1 tahun
c. Usia <6 bulan
d. Bila kejang terjadi pada suhu tubuh < 39oC
e. Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu meningkat dengan
cepat

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kgbb/kali per oral
atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk
berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari dengan dosis maksimum diazepam
7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
Perlu diinformasikan bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan
ataksia, iritabilitas serta sedasi.

Pemberian antikonvulsan rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan pada beberapa kasus selektif dalam


jangka waktu pendek (level evidence 3, derajat rekomendasi D). Indikasi
pengobatan rumat :

a. Kejang fokal
b. Kejang lama > 15 menit

xxxvi
c. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, dan hemiparesis

Adanya kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan


perkembangan, bukan merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal
atau kejang fokal jadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai focus organic
yang bersifat total. Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan
edukasi untuk pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orang tua khawatir dapat diberikan antikonvulsan rumat.

Obat yang digunakan dapat berupa asam valproate atau fenobarbital dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemberian fenobarbital dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini yaitu asam valproat untuk sebagian besar kasus dan anak usia <2
tahun. Asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproate yang digunakan 15-40 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis dan
fenobarbital 3-4 mg/kgbb/hari dalam 1-2 dosis.

Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun, penghentian obat kemudian


dihentikan saat anak sedang tidak demam dan tidak membutuhkan tappering off.

Indikasi Rawat Inap:

Pasien kejang demam dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut:

a. Kejang demam kompleks

b. Hiperpireksia

c. Usia di bawah 6 bulan

d. Kejang demam pertama

e. Dijumpai kelainan neurologis

3.1.12 Edukasi pada orang tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang

xxxvii
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat  efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:


1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya jangan memasukkan
sesuatu kedalam mulut.
5. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
6. Tetap bersama pasien selama kejang
7. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih, jika suhu >40oC, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal,
kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar atau terdapat kelumpuhan.

3.1.13 Komplikasi

Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya


terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi.
Mula – mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul
spastisitas. Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi. Ada beberapa komplikasi yang
mungkin terjadi pada pasien dengan kejang demam:

- Pneumonia aspirasi
- Asfiksia
- Retardasi mental

xxxviii
BAB IV

PEMBAHASAN

Hasil heteroanamnesis dari pasien yang berusia 1 tahun 7 bulan didapatkan


keluhan utama berupa kejang. Kejang terjadi sebanyak 2 kali dengan durasi setiap
kejang. kejang pertama kurang lebih 5 menit dan kejang kedua >5 menit. Kejang
seluruh badan, badan kaku, mata melihat ke atas. Setelah kejang pertama
sadar (+) dan setelah kejang kedua tertidur (18.00-11.00 p.m). Panas selama 1
hari pada hari itu. Makan dan minum menurun. Nyeri perut (-) Mual (-) Muntah
(-) Batuk (-) Pilek (-) BAB dan BAK (normal). Didapatkan beberapa jam
sebelumnya pasien panas. Batuk, pilek, mual, dan muntah disangkal, serta
penurunan nafsu makan. BAB dan BAK didapatkan dalam batas normal. Riwayat
penyakit dahulu pada usia 7 bulan pasien pasien MRS di puskesmas karena
kejang pertama kali didahului demam dan sadar setelah kejang, dan 20 hari
yang lalu (23 maret 2021) kejang kembali didahului demam terjadi 2x. Durasi
kejang masing-masing > 15 menit dan sadar setelah kejang (ibu mengatakan
setiap kali anak demam akan diikuti kejang). Tidak didapatkan kelainan gizi atau
nutrisi
Pemeriksaan fisik pasien tampak sadar dengan status gizi baik. Kesadaran
pasien saat tiba di rumah sakit compos mentis dan tanda vital didapatkan suhu
yang meningkat di IGD (37,8oC). Pada pemeriksaan head to toe didapatkan dalam
batas normal. Pemeriksaan rangsang meningeal tidak didapatkan kelainan. Tidak
ditemukan kelainan neurologis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien ini berupa tes darah lengkap. Pemeriksaan tes darah lengkap didapatkan
peningkatan leukosit, dan peningkatan kadar neutrophil.

xxxix
Berdasarkan hasil anamesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien mengalami kejang demam kompleks sesuai kriteria Livingstone1. Kejang
demam diartikan sebagai suatu bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
38oC yang diukur menggunakan pengukuran apapun yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium. Umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan-5 tahun 1. Kejang
demam terbagi menjadi kejang demam simpleks dan kompleks. Perbedaan kedua
jenis kejang demam ini dilihat dari frekuensi kejang dan durasi kejang yang
terjadi. Pada pasien ini didapatkan data dari anamnesis bahwa pasien telah
mengalami kejang di rumah sebanyak 2 kali dengan durasi di setiap kejang lebih
dari 5 menit sehingga ditegakkan diagnosa sebagai kejang demam kompleks7.
Berdasarkan riwayat penyakit pada keluarga didapatkan kedua orangtua
pasien memiliki riwayat kejang demam saat kecil. Riwayat keluarga dengan
kejang merupakan salah satu faktor risiko yang dilaporkan untuk terjadinya
bangkitan kejang demam.4 Keluarga dengan riwayat pernah menderita kejang
sebagai faktor risiko terjadinya kejang demam pertama adalah kedua orangtua
ataupun saudara kandung relatif dapat diperkirakan, apakah autosomal resesif atau
autosomal dominan. Pewarisan sifat secara autosomal dominan diperkirakan
sebesar 60-80%. Jika kedua orangtua tidak memiliki riwayat kejang demam maka
risiko terjadi kejang demam sekitar 9%. Apabila salah satu orangtua memiliki
riwayat kejang demam maka sekitar 20-22% kemungkinan besar risiko terjadi
kejang demam. Apabila kedua orangtua memiliki riwayat pernah mengalami
kejang demam maka risiko terjadinya kejang demam meningkat menjadi 59-64%.5
Pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah pemeriksaan darah lengkap,
dan elektrolit. Pemeriksaan penunjang dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam. Leukosit 23,3 ribu/ul menaandakan adanya infeksi,
jumlah neutrophil yang meningkat 90,70% menunjukkan adanya infeksi berupa
bakteri (shift to the left)7.
Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya
meningitis bakterialis adalah 0,6-6,7%6. Pungsi lumbal juga tidak menjadi
pemeriksaan rutin pada usia < 12 bulan dengan kejang demam sederhana dan
keadaan umum baik1. Pada kasus ini, pasien berumur 1 tahun 7 bulan secara klinis

xl
tidak didapatkan gejala yang mengarah pada infeksi intracranial sehingga
pemeriksaan pungsi tidak perlu dilakukan. Tidak ada indikasi melakukan EEG
pada pasien ini. Selain itu EEG juga tidak dapat memprediksi munculnya kejang
ulangan8. Pada pemeriksaan awal untuk pasien ini tidak di periksa kadar gula
darah. Hal tersebut kurang sesuai karena kenaikan suhu 1 oC mengakibatkan
peningkatan metabolisme basal 10%-15%. Sehingga akan meningkatkan
kebutuhan glukosa dan oksigen6. Rencana diagnostic diusulkan untuk
pemeriksaan urin lengkap, untuk mengetahui adanya infeksi pada saluran kemih
yang memicu timbulnya demam.
Pertolongan pertama pada pasien ini ialah pemberian oksigen sebanyak 2
liter per menit saat mengalami kejang merupakan tindakan yang tepat. Hal ini
dikarenakan pada saat seorang anak sedang dalam keadaan kejang maka suplai
oksigen ke otak semakin berkurang. Pengobatan fase akut pada waktu kejang
demam dengan memiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan dan
diusahakan jalan napas harus bebas agar pasokan oksigen terjamin. 5,6,7 Nasal kanul
dan nasal kateter merupakan alat terapi oksigen (O 2) dengan sistem arus rendah
yang digunakan secara luas. Kecepatan aliran oksigen antara 1-6 L per menit 8.
Pemberian nasal kanul dengan kecepatan aliran 2 L per menit pada pasien
memberikan presentasi oksigen sebesar 25-28%8.
Selain itu, penanganan lain yang dapat dilakukan pada waktu kejang demam
dengan memiringkan kepala anak untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan
dan diusahakan jalan napas harus bebas agar pasokan oksigen terjamin 9,10. Serta
dihindari untuk memasukkan makanan atau apapun kedalam mulut untuk
mencegah aspirasi1.
Pemberian cairan intravena juga diperlukan untuk rehidrasi. Pada pasien ini
diberikan cairan rumatan D5 ¼ NS sebanyak 1000cc/hari 14 tpm menggunakan
rumus Holiday Segar. Perhitungan yang didapatkan 10 kg x 100ml/kgBB = 1000
ml. Terapi rumatan bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan
nutrisi. Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dan karbohidrat atau
infus yang mengandung karbohidrat saja. Seperti Kaen, Dextran-saline, Ringer
Dextrose 5, dan Dextrose 5%. Pada kasus ini diberikan D5 ½ NS karena pada

xli
kasus kejang demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan glukosa. Kebutuhan cairan akan meningkat 10% setiap 1oC6.
Penatalaksaan yang direncanakan jika terjadi serangan kejang adalah
pemberian diazepam. Diazepam bekerja dengan menghambat susunan saraf pusat
dengan efek utamanya yaitu sedasi, hipnotik, relaksasi otot, dan anti konvulsi,
dengan onset kerja 10 menit. Diazepam juga bersifat mendepresi sistem respirasi
dan sistem kardiovaskular, sehingga setelah pemberian diazepam tekanan sistolik
atau MAP akan menurun. Awal pemberian adalah dengan diazepam suppositoria
5 mg untuk BB<12kg. Tatalaksana tersebut sudah tepat. Obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau
per rektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai dalam waktu 1-3
menit apabila diberikan secara intravena, dan tercapai dalam waktu 5 menit bila
diberikan secara per rektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 35 menit
dengan dosis maksimal 20 mg. Untuk memudahkan orangtua di rumah dapat
diberikan diazepam rektal dengan dosis 5 mg pada anak dengan berat badan <12
kg, 10 mg untuk berat badan anak >12 kg.6,7
Jika pada kejang pertama setelah pemberian diazepam kejang berhenti
dapat diberikan antikonvulsan loading fenitoin 20 mg/kgbb/hari (220 mg)
dilanjutkan maintenance fenitoin 8 mg/kgbb/hari (2 x 45 mg) di tapering off setiap
2 hari. Dilanjutkan dengan dosis 6 mg/kgbb/hari selama 2 hari lalu 4
mg/kgbb/hari selama 2 hari. Hal tersebut berfungsi untuk mencegah kejang
demam berulang. Fenitoin bekerja dengan menghambat motor kortek yang
berperan dalam menimbulkan kejang. Fenitoin berperan dalam meningkatkan
efluks natrium dari neuron sehingga cenderung menstabilkan electron dan
mencegah hipereksitabilitas. Fenitoin menurunkan aktivitas maksimal dari pusat
batang otak yang menyababkan kejang fase tonik-klonik3. Obat yang diberikan
saat dirumah adalah diazepam rektal adalah 0,5 - 0,75 mg/kg atau diazepam rektal
5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 12 kg diberikan selama 48 jam pertama demam (sebagai terapi
antikonvulsi intermitten). Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang
ialah fenobarbital, sodium valproat/asam valproat, dan fenitoin. Fenobarbital

xlii
dengan dosis 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis. Efek samping dari pemakaian
fenobarbital jangka panjang yaitu perubahan sifat anak menjadi hiperaktif,
perubahan siklus tidur dan kadang-kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur.
Sodium valproat/asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-
3 dosis. Namun, obat ini harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan
fenobarbital dan gejala toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.
Fenitoin diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan
sifat berupa hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital.
Pada pasien ini diberikan dexametason 0,5 mg/kgbb/hari yaitu 2 x 1/2
mg/hari. Pemberian kortikosterid bermanfaat dalam melemahkan efek inflamasi
intracranial dengan tujuan menurunkan atau mencegah edema serebri, kejadian
sekuel neurologis dan mortalitas pasien12. Pemberian kortikosteroid ini memiliki
efek samping yang rendah sehingga dapat dipertimbangkan sebagai adjuvan.
Pemberian Parasetamol sebagai antipiretik dengan dosis (10-15mg/kgBB/kali tiap
4-6 jam) bekerja dalam waktu satu jam dan paruh waktu eliminasinya pada anak –
anak berkisar antara 2–5 jam, sehingga parasetamol baik apabila diberikan
kembali tiap interval 4 jam pada anak demam. Pemberian dalam interval tiap 4
jam tersebut agar dapat mencegah pemberian parasetamol yang berlebih
dikarenakan dosis parasetamol yang berlebih akan menimbulkan efek berbahaya
yang bisa menyebabkan kerusakan pada hati yang terkadang tidak terlihat efeknya
dalam 4 sampai dengan 6 hari. Parasetamol akan diekskresi melalui urin

xliii
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium yang
terjadi pada anak umur 6 bulan – 5 tahun. Kejang demam diklasifikasikan menjadi
2 yaitu kejang demam simplek dan kompleks. Pada kasus ini merupakan kejang
demam kompleks. Kasus kejang demam masih sering terjadi pada anak sehingga
dibutuhkan penanganan yang tepat untuk menghindari komplikasi lebih lanjut
akibat kurang efektifnya penanganan kasus kejang demam kompleks. Penegahan
diagnosis dari kejang demam kompleks meliputi frekuensi kejang, durasi kejang,
serta karakteristik dari kejang. Penanganan kasus kejang demam kompleks berupa
pemberian oksigen, pemberian obat antikejang, serta terapi cairan untuk menjaga
hidrasi serta memberi edukasi kepada keluarga pasien agar mengetahui pencegaha
kejang berulang. Hal tersebut perlu dipahami untuk mencegah komplikasi kejang
demam lebih lanjut.
5.2 Saran
1. Dibutuhkan penanganan yang tepat untuk kasus kejang
demam kompleks.
2. Diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai komplikasi
serta prognosis dari berbagai kasus akibat kejang demam kompleks.
3. Selain memberi terapi, seorang klinisi sebaiknya mampu
mengedukasi keluarga mengenai cara mencegah terjadinya kejang
berulang di rumah, memberikan obat penurun panas secepat mungkin
ketika anak mulai demam, dan memantau tumbuh kembang anak sesuai
usia.

xliv
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).Rekomendasi Penatalaksanaan


Kejang Demam.Jakarta.IDAI;2016.p.1-25.
2. KSM Ilmu Kesehatan Anak.Pedoman Diagnosis dan Terapi Anak: Kejang
Demam.Surabaya.Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo;2008.p.56-58.
3. Erwika, A. Therapy Management of Simple Febrile Seizure With
Hyperpirexia in Three Years Old Child.Jakarta.J Medula Unila;2014.p.1-9.
4. Marcdante, K.J., Kliegman, R.M., Jenson, H.B., dan Behrman, R.E.
Terjemahan IDAI : Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Update
Keenam. Jakarta. Elsevier;2011.
5. Staf Pengajar IKA FKUI. Kejang Demam. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian IKA FKUI; 2005.
6. Fuadi, Bahera, T., Wijayahadi, N. Faktor Risiko Bangkitan Kejang
Demam Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas
Diponegoro RSUP Dr. Kariadi Semarang.Sari Pediatri;2010.12(3):p.1-8.
7. Nurindah, D., Muid, M, Retoprawiro, S.Hubungan antara Kadar Tumor
Necrosis Factor-Alpha (TNF-alfa) Plasma dengan Kejang Demam
Sederhana Pada Anak.Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Dr.Saiful Anwar Malang;2014.p.1-17
8. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK
IDAI).Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam.Jakarta.IDAI;2006.
9. Menkes JH, Sankar R. Paroxysmal disorders. Dalam: Menkes JH, Sarnat
BH, editor. Child neurology. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins;2000. hlm. 987-91.
10. Lumbantobing SM. Kejang demam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.hlm. 1-3.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).Rekomendasi Penatalaksanaan
Status Epileptikus.Jakarta.IDAI;2016.

xlv
12. Ramos, A.B., Cruz, R.A., Villemarette-Pittman, N.R.Dexamethasone as
Abortive Treatment for Refractory Seizure or Status Epilepticus in The
Inpatient Setting.Journal Investigation Medical High Impact Case
Report;2019.

xlvi

Anda mungkin juga menyukai