Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Definisi ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) pertama kali

dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai hipoksemia berat yang

onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto toraks dan

penurunan compliance atau daya regang paru. Disebutkan dua macam

Respiratory Distress Syndrome ; Respiratory Distress Syndrome pada

dewasa disebut Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) RDS pada

bayi baru lahir disebut Hyaline membrane disease atau Penyakit Membran

Hialin. Acute Lung Injury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi

sebagai kegagalan pernafasan berbentuk hipoksemi akut, bukan karena

peningkatan tekanan kapiler paru.1

Penyakit membran hialin (PMH) atau dikenal juga dengan hyaline membrane disease

(HMD) adalah penyakit pernafasan akut yang diakibatkan oleh defisiensi surfaktan pada

neonatus preterm, yaitu neonatus yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu.

Defisiensi surfaktan pada pulmo akan menyebabkan tingginya tegangan permukaan alveolar

sehingga pada saat akhir ekspirasi akan terjadi kolaps alveolar. Kolaps alveolar akan

mengakibatkan buruknya oksigenasi, hiperkarbia dan asidosis. Angka kejadian PMH pada

bayi yang lahir dengan masa gestasi 28 minggu sebesar 60%-80%, pada usia

kelahiran 30 minggu adalah 25%, sedang pada usia kelahiran 32-36 minggu

sebesar 15-30%, dan pada bayi aterm jarang dijumpai. 2

Di negara maju PMH terjadi pada 0,3-1% kelahiran hidup dan

merupakan15-20% penyebab kematian neonatus. Di Amerika Serikat

1
diperkirakan 1% dari seluruh kelahiran hidup, yang artinya 4000 bayi mati

akibat SGNN (sindrom gawat nafas neonatus) setiap tahunnya. Di

Indonesia, dari 950.000 BBLR yang lahir setiap tahun diperkirakan

150.000 bayi diantaranya menderita SGNN (sindrom gawat nafas

neonatus), dan sebagian besar berupa PMH.2

Tingkat kematian bayi di Indonesia masih tegolong tinggi jika

dibandingkan dengan negara-negara anggota SEAN. Angka kematian bayi

(AKB) menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada

tahun 2002-2003 adalah 35 per 1000 kelahiran hidup. Persalinan

prematur merupakan penyebab utama kematian neonatal dini dan

memberikan kontribusi lebih dari 70% penyebab kematian perinatal pada

bayi tanpa keainan bawaan. Pada bayi kurang bulan (prematur) sering

timbul penyulit yag berhubungan dengan kekurang matangan organ.3

Diagnosis penyakit membran hialin dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda

klinis, pemeriksaan radiologis, dan analisis gas darah, sedangkan pemeriksaan uji kocok

cairan lambung (gastric aspirate shake test) digunakan untuk menilai maturitas pulmo dan

memprediksi terjadinya penyakit membran hialin pada neonatus. Pemeriksaan radiologis

dengan foto polos toraks memiliki sensitivitas sebesar 89,1%, spesifisitas sebesar 86,9% dan

akurasi diagnostik sebesar 88,7% dalam mendiagnosis penyakit membran hialin, dimana

gambaran radiologis penyakit membran hialin pada foto polos toraks tergantung dari beratnya

penyakit, dengan inflasi pulmo yang buruk sebagai tanda kardinalnya.4

1.2 Tujuan Penulisan

2
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,

epidemilogi, etiologi, patofisilogi, gambaran klinis, terapi serta prognosis

dari Hyaline Membrane Disease atau Penyakit Membran Hialin

1.3 Batasan Masalah

Referat ini memahas secara ringkas tentang definisi, epidemilogi,

etiologi, patofisilogi, gambaran klinis, terapi, pemeriksaan penunjang

serta prognosis dari Hyaline Membrane Disease atau Penyakit Membran

Hialin

1.4 Metode Penulisan

Referta ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk

kepada beberapa sumber literatur

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

HMD (hyalline membran disease) disebut juga respiratory distress

syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat

napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat

setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping

hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan

sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam

pertama kehidupan.4

2.2 Epidemiologi
Kedaan ini merupakan penyebab tersering kematian pada bayi baru

lahir. Diperikarakan 30% dari kematian neoatus diakibatkan oleh penyakit

membran hyalin (PMH) atau komplikasinya. Di Amerika Serikat, 20% dari

kematian neonatus setiap tahunnya diakibatkan oleh penyakit membran

hialin. PMH terutama terjadi pada bayi premature, insidennya berbanding

terbalik dengan umur kehamilan dan bera badannya. PMH ini 60-80%

terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-

4
30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih

dari 37 minggu, dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi

dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum usia

kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin, persalinan seksio sesarea,

persalinan cepat, asfiksia, dan stres dingin.5


2.3 Etiologi
Saat ini teori terjadinya PMH yang paling banyak diterima adalah karena kurangnya

surfaktan paru. Surfaktan diproduksi oleh sel-sel epitel saluran napas yang disebut neumosyt

tipe II. Sel-sel epitel ini mulai timbul pada kehamilan 2224 minggu dan mulai mengeluarkan

surface active lipids pada kehamilan 24-26 minggu, mencapai maksimum pada kehamilan 35

minggu, mulai berfungsi pada kehamilan 3236 minggu. Sel ini sangat peka, jumlahnya akan

berkurang pada keadaan asfiksia selama masa perinatal, hipotermi dan penurunan pH darah.

Kematangan sel terpengaruh oleh keadaan fetal, hiperinsulinemia, stress intra uterin yang

kronik seperti hipertensi pada kehamilan, Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan

kehamilan kembar.
Surfaktan terdiri dari fosfolipid (90%), protein (10%) dengan komponen utama lesitin.

Lipo protein ini dilepas kesaluran napas (cairan paru) untuk mengendalikan ekspansi alveolus

pada tekanan fisiologik. Pada usia kehamilan 20 minggu sebenarnya surfaktan mulai

ditemukan di homogenat paru dalam konsentrasi tinggi tapi belum mencapai permukaan paru.

Surfaktan ditemukan dalam air ketuban pada usia kehamilan antara minggu ke 28 sampai 38.

Konsentrasi surfaktan akan bertambah sejalan dengan bertambahnya umur kehamilan.6


2.4 Patofisiologi

2.4.1 Pembentukan Paru dan Surfaktan

Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea

dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan

kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat

terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding

5
pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan

pembentukan alveoli sejak 32 34 minggu. Surfaktan muncul pada paru-paru janin

mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul pada

cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu

kehamilan. Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli,

memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu

dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi.

Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80 %,

phosphatidylglycerol 7 %, phosphatidylethanolamine 3 %, apoprotein (surfactant

protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah

pula produksi fosfolipid dan penyimpanan nya pada sel alveolar tipe II. Protein

merupakan 10 % dari surfaktan, fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film

fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses

perombakan surfaktan.7

Gambar 2.1.

2.4.2 Metabolisme surfaktan

6
Surfaktan disintesa dari prekursor di retikulum endoplasma dan dikirim ke aparatus

Golgi melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam badan

lamelar, yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan.

Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid

surfaktan disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular. Mielin tubular

menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan dan

udara di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan dipecah,

dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-vesikel

kecil, melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom dan di transportasikan untuk

disimpan sebagai badan lamelar untuk didaur ulang.

Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar. Satu kali transit dari

fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid dalam

lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi.

Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di

retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein surfaktan di

deteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke alveolus.7

2.4.3 Patofisiologi

Surfaktan berfungsi untuk membantu menurunkan tegangan permukaan,

mempertahankan patensi alveoli, dan mencegah kolaps alveoli, khususnya pada akhir

ekspirasi. Perkembangan akhir jalan nafas neonatus terjadi pada masa kehamilan 27

minggu, namun otot-otot intercostae masih lemah dan pasokan udara ke dalam alveoli

serta kapiler masih belum matur. Defisiensi surfaktan menyebabkan tegangan permukaan

yang lebih tinggi. Alveoli paru tidak mampu mempertahankan patensinya dan mulai

kolaps. Saat alveoli kolaps, akan terjadi penurunan ventilasi dan hipoksia. Cedera paru dan

reaksi inflamasi yang diakibatkan menimbulkan edema dan pembengkakan pada ruang

7
interstitial sehingga pertukaran gas antara kapiler dan alveoli yang masih berfungsi akan

terganggu.

Keadaan inflamasi menstimulasi produksi membrane hialin yang tersusun dari

timbunan fibrin berwarna putih di dalam alveoli. Timbunan atau endapan tersebut,

selanjutnya akan menurunkan pertukaran gas dalam paru-paru dan mengurangi kelenturan

paru sehingga kerja pernafasan semakin bertambah berat. Penurunan ventilasi alveolar

mengakibatkan penurunan ratio ventilasi-perfusi dan menimbulkan vasokonstriksi arteriol

paru. Vasokonstriksi pulmoner ini menyebabkan peningkatan volume dan tekanan dalam

jantung kanan sehingga aliran darah akan dipintas dari atrium kanan melalui foramen

ovale yang terbuka (paten) ke dalam atrium kiri. Peningkatan resistensi pulmoner juga

mengakibatkan darah kotor mengalir melalui duktus arteriosus dengan memintas (by

pass) daerah paru-paru sepenuhnya dan menyebabkan pintasan (shunt) dari kiri ke kanan.

Pintasan tersebut akan memperberat keadaan hipoksia.

Paru-paru bayi yang belum matur, sedangkan laju metabolik bayi juga mengalami

kenaikan mengakibatkan bayi harus menggunakan lebih banyak energi untuk melakukan

ventilasi alveoli yang kolaps. Kondisi tersebut akan meningkatkan kebutuhan oksigen dan

menimbulkan sianosis pada bayi. Bayi berusaha mengimbanginya dengan melakukan

pernafasan dangkal dan cepat, sehingga awalnya akan terjadi alkalosis respiratorik karena

karbon dioksida dibuang keluar. Peningkatan upaya untuk mengembangkan paru

menyebabkan pelambatan respirasi dan asidosis respiratorik yang kemudian

mengakibatkan gagal nafas.8

2.5Patologi

8
Paru nampak merah keunguan dengan konsistensi menyerupai liver. Secara mikroskopis,

terdapat atelektasis luas. Beberapa ductus alveolaris, alveoli dan bronchiolus respiratorius

dilapisi mebran kemerahan homogen atau granuler. Debris amnion, perdarahan intra-alveolar,

dan emfisema interstitial dapat ditemukan bila penderita telah mendapat ventilasi dengan

positive end expiratory pressure (PEEP). Karakteristik HMD jarang ditemukan pada

penderita yang meninggal kurang dari 6-8 hari sesudah lahir. Membran hyalin tidak

didapatkan pada bayi dengan RDS yang meninggal.

Ditandai dengan alveoli yang kolaps berselang-seling dengan alveoli yang mengalami

hiperaerasi, kongesti vaskuler, dan membran hyalin (fibrin, debris sel, eritrosit, netrofil dan

makrofag). Membran hyalin terlihat sebagai materi yang eosinifil dan amorf, membatasi atau

mengisi rongga alveolar dan menghambat pertukaran gas.

2.6Manifestasi Klinis

Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu

(>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama

kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir.

Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score

(derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress

nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam.

Tabel 2.1 Silverman score

Grade Gerakan dada Dada bawah Retraksi PCH Grunting

atas (retraksi ICS) epigastrium

9
0 Sinkron - - - -

1 Tertinggal ringan ringan minimal Terdengar pada

pada inspirasi stetoskop

2 See-saw jelas jelas jelas Terdengar

tanpa stetoskop

2.7 Pemeriksaan penunjang

2.7.1 Gambaran Rontgen

Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang

karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari

parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena

superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang

tipikal muncul dalam 6-12 hari. (9)

Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat (12):

Stage I : gambaran reticulogranular

Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar bayangan jantung

10
Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.

Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma dan thymus. Gambaran

white lung.

11
Thoraks berbentuk seperti lonceng karena aerasi tidak adekuat ke seluruh bagian paru.

Volume paru berkurang, parenkim paru menunjukkan pola retikulogranular difus, serta

adanya gambaran air bronchogram sampai ke perifer.

Gambaran retikulogranular lebih jelas dan terdistribusi secara uniform. Paru mengalami

hipoaerasi disertai peningkatan air bronchogram.

12
Gambaran opak retikulogranuler pada kedua paru. Air bronchogram nyata, gambaran jantung

sukar dinilai. Terdapat area kistik di paru kanan, menunjukan alveoli yang berdilatasi atau

awal dari pulmonary interstitial emphysema (PIE).

2.7.2 Laboratorium

Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak

menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah

awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia

progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.

2.7.3 Echocardiografi

Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat

pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan

kemungkinan adanya kelainan struktural jantung.

13
2.7.4 Tes kocok (Shake test)

Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui

nasogastrik tube pada neonatus banyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %,

dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama 15

menit. Pembacaan :

Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi HMD

+1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi HMD

+2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung

+3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua

deret

+4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus matur

2.7.5 Amniosentesis

Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya

HMD, antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan melakukan

amniosentesis (pemeriksaan antenatal). Rasio lesitin-spingomielin

2.8 Diagnosis Banding

2.8.1 Pneumonia neonatal

Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan

HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan

14
HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus

buffy coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.

2.8.2 Transient Tachypnea of The Newborn

Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan ringan.

Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS hipoaerasi). Densitas

retikulogranular bilateral akan hilang bila diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran

opak menetap minimal 3 4 hari.

2.8.3 Sindroma aspirasi mekonium

15
Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta area emfisema fokal.

Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi.

Tabel 2.2 Diagnosis banding HMD

Predisposisi Usia kehamilan Derajat Mulainya Hipoksemia Hipecapnea Respon Respon terhadap Suara
distress gejala terhadap O2 IPPV nafas

HMD Prematur preterm +++/++++ Beberapa ++/++++ +/+++ ++ Membaik Turun,


jam
crackles

TTN SC Full term ++ Beberapa + -/+ +++ Bukan indikasi crackles


jam
ibu overhidrasi Near term

16
pneumonia Ibu mengalami Preterm ++/++++ Hari ++/++++ +/++ ++ Variabel, mungkin Turun
infeksi pertama / membaik crackles
Full term lebih

MAS Fetal distress Full term ++/+++ Sejak +/++++ +/+++ ++ Variabel, mungkin Crackles
lahir membaik
Post term Suara
bronkial

PPHN Asfiksia :MAS Full term ++/+++ Hari ++++ -/+ +/++++ Membaik disertai variabel
pertama hiperventilasi
Sepsis Memburuk dengan
tekanan berlebihan
Paru
hipoplastik

Kebocoran Ventilasi Preterm +/++++ Variabel +/++++ +/++++ ++ variabel Turun


udara paru tekanan positif
Full term asimetris

CHD ? Full term +/+++ Variabel : + +/++ ++ Variabel, mungkin Normal


2-3 hari membaik
PBF naik Preterm crackles

PBF turun ? Full term -/+ Hari ++/++++ - -/+ Tidak ada, normal
pertama memburuk dengan
Preterm tekanan berlebihan

2.9 Terapi

Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-paru,

asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya HMD akan

berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis,

hipoksia, hipotensi dan hipotermia.

17
Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting, jadi tujuan terapi adalah untuk

meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah iatrogenik yang memperberat. Penanganan

sebaiknya dilakukan di NICU.

2.9.1 Resusitasi di tempat melahirkan

Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah

perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya

hipotermia dengan menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana kebutuhan

oksigen berada pada batas minimum.

Pemberian obat selama resusitasi

Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 mls/kg larutan 1 : 10.000) bila bradikardi persisten

setelah ventilasi dan kompresi yang adekuat. Dosis pertama dapat diberikan

intratrachea atau intravena, 1 dosis lagi diberikan intravena bila bayi tetap bradikardi,

dosis ketiga dapat diberikan sebesar 100 microgram/kg bila situasi sangat buruk.
Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20

mmol (larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari

konsentrasi 0,5 mEq/ml. Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati.


Volume expander 10 ml/kg
Bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB.

2.9.2 Surfaktan Eksogen

Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa

jam kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis

lebih efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan

eksogen sebagai terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit

18
disertai angka bertahan hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu

kehamilan harus diberi surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai

24 jam pertama kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis

atau lebih memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan

pulse oxymetri.

Tabel 2.3 Macam-macam surfaktan

Tipe Asal Komposisi Dosis Keterangan

Survanta
DPPC, 4 mL (100
Bovine lung
tripalmitin mg)/kg, Refrigerate
mince
SP (B<0.5%,> 1-4 doses q6h
Surfactant TA

Federal
Bovine lung 99% PL, 1%
Alveofact 45 mg/mL Republic of
lavage SP-B and SP-C
Germany

bLES (bovine 75% PC and


Bovine lung
lipid extract 1% SP-B and Canadian
lavage
surfaktan) SP-C

DPPC,
3 mL (105
tripalmitin,
Calf lung mg)/kg, 6 mL vials,
Infasurf SP (B290
lavage 1-4 doses, q6- refrigerate
g/mL, C360
12h
g/mL)

Calf lung
surfactant Sama seperti Infasurf
extract (CLSE)

Curosurf Minced pig DPPC, 2.5 mL (200 1.5 and 3 mL


lung SP-B and SP-C mg)/kg
(?amount) 1.25 mL (100

19
mg)/kg

85% DPPC, 5 mL (67.5


Lyophilized;
9% mg)/kg,
Exosurf Synthetic dissolve in 8
hexadecanol, 1-4 doses,
mL
6% tyloxapol q12h

DPPC,
Surfaxan (KL4) Synthetic synthetic
peptide

70% DPPC,
Possibly
ALEC Synthetic 30%
discontinued
unsaturated PG

Tabel 2.4 Beractant

Beractant (Survanta, Alveofact) per


Nama Obat
ETT

ET: 4 mL/kg (100 mg/kg) dibagi dalam 4


Dosis Anak kali pemberian, diberikan minimal 6 jam
untuk 1-4 dosis

Kontraindikasi hypersensitivity

Interaksi -

Kehamilan ?

Peringatan Harus dihangatkan sesuai suhu ruang,


pemberian harus berhati-hati karena
resiko obstruksi jalan nafas akut.

20
Perbaikan oksigenasi dapat terjadi setelah
pemberian, maka penurunan oksigen dan
tekanan ventilator disesuaikan dengan
analisa gas darah, monitor oksigenasi
sistemik untuk mencegah hiperoksia atau
hipoksia. Surfaktan dapat mengalami
reflux ke dalam ETT (karena itu
sebaiknya berikan secara cepat diikuti
positive pressure ventilation); monitor
denyut jantung dan tekanan darah, karena
ETT dapat mengalami oklusi, suction
ETT sebelum pemberian surfaktan.
Perdarahan paru dapat timbul pada bayi
sangat premature. Apnea dan sepsis
nosokomial dapat terjadi.

Tabel 2.5 Calfactant

Nama Obat Calfactant (Infasurf) per ETT

ET: 3 mL/kg (105 mg/kg) q6-12h untuk


Dosis Anak
1-4 dosis

Kontraindikasi hypersensitivity

Interaksi -

21
Kehamilan ?

Pemberian harus berhati-hati karena


resiko obstruksi jalan nafas akut.

Perbaikan oksigenasi dapat terjadi setelah


pemberian, maka penurunan oksigen dan
tekanan ventilator disesuaikan dengan
analisa gas darah, monitor oksigenasi
sistemik dengan pulse oxymetry untuk
Peringatan
mencegah hiperoksia atau hipoksia.
Surfaktan dapat mengalami reflux ke
dalam ETT (karena itu sebaiknya berikan
secara cepat diikuti positive pressure
ventilation); sianosis, bradikardi atau
perubahan tekanan darah dapat terjadi
selama pemberian. Karena ETT dapat
mengalami oklusi, suction ETT sebelum
pemberian surfaktan.

Tabel 2.6 Poractant

Nama Obat Poractant (Curosurf) per ETT

22
ET: 2.5 mL/kg (200 mg/kg); lalu 1.25
Dosis Anak mL/kg (100 mg/kg) dengan interval 12-h
prn dalam 2 dosis

Kontraindikasi hypersensitivity

Interaksi -

Kehamilan ?.

Koreksi asidosis, hipotensi, anemia,


hipoglikemi dan hipotermia sebelum
pemberian. Perbaikan oksigenasi muncul
Peringatan
dalam beberapa menit, monitor
oksigenasi sistemik untuk mencegah
hiperoksia.

Tabel 2.7 Colfosceril

Nama Obat Colfosceril (Exosurf Neonatal) per ETT

ET: 5 mL/kg (67.5 mg/kg) q12h untuk 1-


Dosis Anak
4 dosis

Kontraindikasi hypersensitivity

Interaksi -

Kehamilan ?

Peringatan Mempengaruhi oksigenasi dan


compliance paru dengan cepat. Hanya

23
untuk instilasi ke dalam trakhea.
Surfaktan dapat mengalami reflux ke
dalam ETT (karena itu sebaiknya berikan
secara cepat diikuti positive pressure
ventilation); Karena ETT dapat
mengalami oklusi, suction ETT sebelum
pemberian surfaktan. Perdarahan paru
dapat muncul pada bayi

2.9.3 Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah

2.9.4 Fluid and Nutrition

Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus glukosa

10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian tambahkan

elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang

berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus (PDA). Pemberian nutrisi

oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres nafas mereda. ASI

adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal, serta dapt menurunkan insidensi

NEC.

2.9.5 Ventilasi Mekanik

2.9.6 Keseimbangan asam basa

2.9.7 Tekanan darah dan Cairan

2.9.8 Antibiotik

2.9.9 Nitrit Oxide

24
Pada kasus HMD berat dapat diberikan nitrit oxide per inhalasi (iNO). Nitrit oxide dapat

memperbaiki oksigenasi dengan cepat namun tidak memperbaiki hasil akhir pada bayi

dengan HMD. (9)

iNO merupakan vasodilator pulmonal yang poten dan selektif (ekivalen dengan faktor

relaksasi dari endotel). Dosis inisial 6 -20 ppm dapat memperbaiki oksigenasi dan

menurunkan kebutuhan akan ECMO. Meski pemberian 40-80 ppm dikatakan aman, namun

pemberian jangka panjang dapat memberikan efek samping. Respon terhadap iNO dapat

berupa :

tak adanya perbaikan,


ada perbaikan awal namun tidak berlanjut sehingga dibutuhkan ECMO,
ada perbaikan awal yang berlanjut sehingga dapat dilepaskan bertahap pada hari ke-5

trapi, atau
respon awal baik disertai ketergantungan jangka panjang (akibat hipoplasia paru /

displasia kapiler alveoli).

Efek samping iNO adalah methemoglobinemia. Hingga saat ini belum diketahui berapa lama

iNO aman diberikan.

2.9.10 ECMO (Extracorporeal Membrane Oxygenation)

ECMO dilakukan bila pasien tidak memberikan respon terhadap O2 100%, ventilasi

mekanik dan obat-obatan. Perbedaan O2 antara arteri dan alveoli, PaCO2 PaO2 : 760 47

(setinggi permukaan laut) atau index oksigenasi (OI) dapat memprediksi mortalitas > 80 %. (9)

OI = (Tekanan jalan udara rata-rata x FiO2 x 100)/ PaO2 postduktal.

Indikasi ECMO

25
Beda alveoli dan arteri > 620 untuk 8-12 jam
OI > 40 yang tidak berespon terhadap iNO
Bayi yang mengalami gagal nafas hipoksemia karena HMD, aspirasi mekonium,

hernia diafragmatika, PPHN, dan sepsis.

2.10 Komplikasi dari HMD

2.10.1 Komplikasi akibat pemasangan ETT

Komplikasi yang paling serius dari intubasi trachea adalah asfiksia akibat obstruksi yang

ditimbulkan pipa, henti jantung selama intubasi atau suctioning, dan kadang dapat terjadi

stenosis subglottis. Komplikasi lain meliputi perdarahan dari trauma selama intubasi,

pseudodivertikel pada posterior faring, extubasi yang sulit sehingga memerlukan

tracheostomi, ulserasi nasal akibat tekanan pipa, penyempitan permanen rongga hidung

akibat kerusakan jaringan dan scar dari iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum, avulsi

pita suara, ulkus laring, papiloma pita suara, dan edema laring, stridor atau suara serak yang

persisten.

2.10.2 Komplikasi akibat kateterisasi

Resiko dari kateterisasi arteri umbilikalis meliputi emboli vaskular, trombosis, spasme, dan

perforasi, nekrosis viscera abdominal baik akibat iskemia atau zat kimia. Infeksi, perdarahan,

dan gangguan sirkulasi ke kaki yang dapat menimbulkan gangren.

2.10.3 Komplikasi akut

Patent Ductus Arteriosus

Konstriksi dan penutupan duktus biasanya terjadi dalam 48 jam setelah lahir pada bayi term

dan preterm tanpa distress nafas.

26
Hemorrhagic Pulmonary Edema
Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)

PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru. PIE yang

terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila pecar akan menimbulkan

pneumotoraks.

Kebocoran Udara
Infeksi

Infeksi dapat manifes sebagai kegagalan untuk membaik, perburukan mendadak, perubahan

jumlah leukosit, trombositopenia.

Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler

Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi lebih tinggi

pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi mekanik. Ultrasound kepala dilakukan dalam

minggu pertama.

Necrotizing Enterocolitis (NEC)

Perforasi spontan (tidak selalu merupakan bagian dari NEC) dapat muncul pada bayi dengan

sakit berat dan diasosiasikan dengan penggunaan steroid dan/atau indometasin.

Apnea
Anemia
Persistent Pulmonary Hipertension (PPHN) / Persistent Fetal Circulation

PPHN dapat terjadi pada bayi term dan posterm. Faktor predisposisinya antara lain asfiksia

saat lahir, pneumonia akibat aspirasi mekonium, sepsis onset dini, HMD, hipoglikemi,

polisitemia, ibu yang menggunakan AINS dengan konstriksi in utero dari Duktus Arteriosus,

27
dan adanya hipoplasia pulmo sebagai hasi dari hernia diafragmatika, kebocoran cairan

amnion, oligohidramnion atau efusi pleura. PPHN sering kali bersifat idiopatik.

2.10.4 Komplikasi Kronik

Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan respirator tekanan

positif

Retinopathy of prematurity (ROP)

Bayi dengan RDS dan PaO2 > 100 mmHg memiliki resiko terkena ROP, maka monitor PaO2

harus dilakukan secara ketat dan dipertahankan antara 50-70 mmHg.

Gangguan neurologis

Terjadi pada + 10-70 % bayi, dan dikaitkan dengan usia kehamilan, tipe patologi intracranial,

adanya hipoksia, serta adanya infeksi.

2.11 Prognosis

Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi dengan

segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan penyakit neonatus akut

lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman personel yang

menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya

kmplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi

kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40 %.

28
Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun dengan pasti, 75

% dari bayi dengan berat <> 2.500 gr bertahan. Meski 85 90 % bayi yang selamat setelah

medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal, penampakan luar lebih baik pada

yang berta badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya

29
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

HMD (hyalline membran disease) disebut juga respiratory distress

syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat

napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat

setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping

hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan

sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam

pertama kehidupan. penyebabnya yaitu karena kurangnya surfaktan paru.

Surfaktan diproduksi oleh sel-sel epitel saluran napas yang disebut neumosyt tipe II. Sel-sel

epitel ini mulai timbul pada kehamilan 2224 minggu dan mulai mengeluarkan surface active

lipids pada kehamilan 24-26 minggu, mencapai maksimum pada kehamilan 35 minggu, mulai

berfungsi pada kehamilan 3236 minggu. Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat

dinilai dengan APGAR score (derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman

score > 7 berarti ada distress nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2

selama > 24 jam.

30
DAFTAR ISI

1. Indarso F. Kegawatan nafas pada bayi baru lahir, respiratory distress


syndrome resusitasi awal dan lanjut: Dalam Forum Komunikasi
Ilmiah ( FKI ) Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK.Unair/RSUD Dr.
Soetomo , 17 Pebruari 2002,1-6.
2. Tobing Ramona, Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas
Neonatus. Dibuat pada bulan Juni 2004. Pada laman
http://repository.usu.ac.id Di unduh pada tanggal 23 mei 2017
3. Alifah Anggraini,dkk. 2013. Faktor Resiko Kematian Neonatus
dengan Penyakit Membran Hialin dalam Sari Pediatri Vol.15 No 2.
Jogjakarta; Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM
4. McClure PC. Hyaline Membrane Disease Imaging. Update May 25 th
2013. Pada laman http://emedicine/medscape.com/article/409409-
overview. Diunduh pada tanggal 23 Mei 2017
5. Behrman,dkk 2000. Penyakit Membran Hialin dalan Ilmu Kesehatan
Anak Nelson Edisi 15 Vol 1. Jakarta;EGC
6. Cowett RM, Unsworth EJ, Hakanson DO, Williams JR, William OH,
1975. Foam Stability Test On Gastric Aspirate and The Diagnostic Of
Respiratory Distress Syndrome, The New England Journal of
Medicine,293(9).
7. Prawitohartono, E.P dan Surjono, A, 1991. Uji kocok dan Uji Gelembung Mikro pada
Bayi Baru Lahir dengan Hyalin Membrane Disease, Medika, No. 2 (17)

8. Farrel, P.M. and Zachman, R.D., 1980. Nelson of Pediatric Ilmu Kesehatan Anak,
Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai