PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia
sehari-hari, karena sejatinya, Bahasa merupakan instrumen dasar bagi komunikasi pada
manusia. Selain itu, Bahasa juga merupakan dasar dan tulang-punggung bagi kemampuan
kognitif. Dalam berbahasa, terdapat beberapa cakupan kemampuan, yang meliputi:
berbicara spontan, komprehensi, menamai, repetisi (pengulangan), membaca, dan
menulis. Apabila terdapat defisit pada sistem berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti
memori verbal, interpretasi pepatah, dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak
dapat dilakukan1.
Afasia adalah gangguan berbicara, memahami, membaca, dan menulis akibat
kerusakan pada area otak yang terlibat dalam proses bahasa, biasanya terletak di hemisfer
kiri. Etiologi ini lebih umum pada orang tua daripada pada orang muda, dan meninggalkan
batas lesi sekuel dan seringkali permanen di otak. Penyakit lain juga dapat menyebabkan
afasia, seperti tumor, trauma, penyakit degeneratif atau metabolism.2,3
Cidera otak yang terjadi pada afasia sering dapat menyebabkan gangguan bahasa,
yang dapat mempengaruhi akses ke kosakata, organisasi sintaksis, dan proses menerima
bahasa. Bergantung pada jenis afasia, individu tersebut dapat mengalami kesulitan dalam
kelancaran, pemahaman, pengulangan, penamaan, membaca, menulis, paraphasia,
agrammatisme atau apraksia, dan afasia dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori,
sesuai dengan manifestasi kefasihan: fluent dan non fluent. Karena cedera ini biasanya
mempengaruhi belahan otak kiri, area motorik mungkin terpengaruh. Beberapa area ini
bertanggung jawab atas kemampuan gerakan orofasial, menghasilkan afasia yang non
fluent, yang melibatkan afasia global, Brokha, dan Motor Transkortikal. Cedera ini juga
dapat memengaruhi area asosiatif dan pemahaman, menyebabkan afasia fluent, yang
meliputi afasia Wernicke, Konduksi dan Sensor Transkortikal.3
Afasia dapat terjadi cukup ringan atau dapat menjadi sangat berat sehingga
komunikasi menjadi suatu hal yang sangat sulit dan hampir mustahil. Hal ini dapat
mempengaruhi satu atau lebih aspek Bahasa. Afasia memiliki beberapa tipe dan memiliki
ciri khas masing-masing, tergantung dari area kerusakan dan gejala yang ditimbulkan.4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Afasia adalah gangguan berbicara, memahami, membaca, dan menulis akibat
kerusakan pada area otak yang terlibat dalam proses bahasa, biasanya terletak di
hemisfer kiri. Afasia merupakan suatu kondisi dimana terjadi gangguan berbahasa
yang disebabkan karena kerusakan otak, yang meliputi kombinasi atau kekurangan
dalam memproduksi, mengulang, atau mengucapkan bahasa secara spontan serta
ketidakmampuan untuk membaca dan menulis, maupun ketidakmampuan untuk
memahami perkataan, tulisan, atau menafsirkan gerakan.2,5
Terdapat 3 level dalam fungsi motorik berbahasa. Level pertama merupakan
level emosi, dimana pasien masih dapat merespons dengan stimulus nyeri dengan ‘ow’
walaupun fungsi bahasa lainnya terganggu. Kemudian pada level kedua adalah level
otomatis, yang bertanggung jawab atas pembicaraan yang berlangsung dengan
otomatis; pasien masih mungkin untuk menjawab beberapa pertanyaan dengan ‘ya’
dan ‘tidak’, atau masih dapat berhitung, walaupun fungsi lainnya sangat terganggu.
Kemudian pada level tertinggi adalah proporsional, volisional, simbolik, atau bahasa
intelektual, yaitu level yang paling mudah terganggu dan paling sulit diperbaiki.5
Terdapat 3 level kortikal yang terlibat dalam memahami bahasa. Level pertama
adalah penerimaan. Dalam level ini symbol bahasa dirasakan, dilihat, atau didengar
tanpa perbedaan impuls. Level kedua adalah fungsi gnostic, recognition of impulses,
formulasi engram untuk stimulus mengingat dan revisualisasi. Level ketiga
merupakan yang terpenting, yaitu pengenalan symbol dalam bentuk kata-kata atau
elaborasi dan asosiasi dari symbol tersebut sebagai bentuk dari bahasa.5
Sementara itu, terdapat area yang dikenal sebagai Brodmann 6 atau Exner yang
terletak di atas area Broca dan anterior area kontrol motor primer, pada lobus frontal.
Area ini dianggap sebagai area untuk menulis, berhampiran dengan lokasi gerakan 6
tangan. Kerusakan area Exner akan mengakibatkan agraphia.
3
Gambar 2.2 Mekanisme pengucapan kata
4
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh
stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak akut, maupun gangguan neurologis
yang bersifat progresif dan sebagainya.6,7
Banyak hipotesis telah dikemukakan untuk menjelaskan terjadinya afasia pada
lesi thalamik. Keterlibatan loop kortiko-striato-pallidum-thalamus-kortikal dan
diaschisis karena pengurangan impuls dari thalamus ke jaringan kortikal15 adalah
teori yang paling sering didalilkan.8
Studi menggunakan SPECT (single photon computed tomography) dan dengan
PET telah mengungkapkan hipoperfusi kortikal dalam aphasia thalamic,
menunjukkan bahwa diaschisis dapat menjadi faktor penyebab utama afasia. 8
Hipometabolisme kortikal yang luas karena diaschisis mungkin bertanggung
jawab atas keparahan aphasia, sedangkan pengurangan metabolisme yang kurang
parah pada girus temporal superior dan transversal, dan juga, meskipun kurang jelas,
di daerah Broca, mungkin menjelaskan adanya repetitive. 8
2.4 Klasifikasi
5
Afasia dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu fluent aphasia dan nonfluent aphasia,
yang masing masing dibagi menjadi beberapa jenis lagi1,5,9, yaitu:
6
para kata yang memiliki banyak suku kata dan kalimat. Pasien sadar akan
ketidakmampuan pasien dan berusaha untuk mengoreksi kesalahan dalam
pengucapan. Pada afasia jenis ini, pemahaman akan bahasa umumnya akan
terganggu namun tidak seberat seperti pada afasia Wernicke. Kebanyakan
penyebab dari afasia jenis ini adalah adanya oklusi embolik dari cabang terminal
arteri serebri media karena terdapat putusnya hubungan antara bagian anterior
dan posterior dari area perisylvian.
Afasia Anomik
Jenis afasia ini ditandai dengan adanya gangguan penamaan dan mencari
perkataan namun masih dapat bicara spontan dan fasih, mengulang, memahami
dan menuliskan kata-kata, tetapi memiliki kesulitan untuk menemukan kata-kata
dan membentuk kalimat. Jenis afasia ini adalah yang tersering namun juga tidak
spesifik. Afasia anomik adalah afasia yang menggambarkan adanya lesi pada
bagian inferior dari lobus temporal.
7
pasien tidak dapat mengulang apa yang didengar ataupun membaca dengan
keras. Pasien juga dapat mengidentifikasi benda namun tidak dapat menamai
benda tersebut.
Afasia Global
Pada umumnya lesi yang luas dan telah merusak seluruh area perisylvian
atau lesi individual yang merusak regio posteroinferior frontal atau regio
posterosuperior temporal akan menyebabkan afasia jenis ini. Afasia ini
melibatkan semua aspek Bahasa dan mengganggu komunikasi. Penderita tidak
dapat berbicara spontan dan hanya dapat menghasilkan tidak lebih dari fragmen-
fragmen perkataan. Penderita tidak dapat memahami ucapan atau hanya dapat
mengenali beberapa kata, termasuk nama mereka sendiri. Karakteristik utama
dari afasia tipe ini adalah Bahasa otomatisme atau pengulangan omong kosong.
Pada umumnya, afasia global disebabkan akibat oklusi arteri serebri media atau
arteri karotis interna. Pada beberapa pasien yang mengalami kemajuan,
umumnya terdapat deficit yang serupa dengan afasia Broca.
8
a. Afasia transkortikal sensorik (afasia fluent)
Bentuk afasia ini berkaitan dengan hilangnya pemahaman
pendengaran dan penglihatan dan kata-kata dan ketidakmampuan untuk
menulis dan membaca dengan pengertian. Kata-kata yang diucapkan dapat
diulang, tapi artinya tidak dapat dimengerti. Gambaran klinisnya, yaitu
ekspresi lancar (fluent), pemahaman verbal terganggu, pengulangan baik,
menamai terganggu, pemahaman membaca terganggu, menulis terganggu,
defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai, didapatkan defisit lapangan
pandang di sebelah kanan. Biasanya akibat lesi di area informasi dari
nonbahasa area ke cerebrum tidak bisa di transfer ke area wernicke’s untuk
diubah menjadi suatu bentuk bahasa. Afasia ini dapat mengulang (repetisi)
baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya.
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:
1) Keluaran (output) lancar (fluent)
2) Pemahaman buruk
3) Repetisi baik
4) Ekholalia
5) Komprehensi auditif dan membaca terganggu
6) Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
7) Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan
9
3) Repetisi baik
4) Inisiasi terlambat
5) Ungkapan-ungkapan singkat
6) Parafasia semantik
7) Ekholalia
Untuk jenis afasia ini digunakan juga istilah awam “pure word-
dumbness” atau bisu kata-kata yang tulen. Jika seorang afasia motorik masih
bisa membeo, namun tidak mampu lagi untuk mengeluarkan kata-kata
sebagai cara ekspresi aktifnya, maka afasia motorik semacam itu disebabkan
oleh suatu lesi kortikal yang agak besar di antara daerah broca dan wernicke.
Afasia motorik berat dengan masih adanya kemampuan untuk membeo ini
dinamakan afasia motorik transkortikal. Afasia transkortikal motorik terlihat
pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai huruf c terbalik.
10
anterior dan sindrom posterior. Sindrom anterior (afasia striatocapsular atau
caudal) umumnya dikarakteristikan sebagai kegagalan penamaan,
pembicaraan yang disartrik, lambat dan masih adanya pemahaman. Pada
sindrom posterior (afasia talamik), terdapat pembicaraan yang fasih tanpa
disartria, namun terdapat pemahaman dan penamaan yang buruk. Umumnya
pada kedua tipe ini, fungsi repetisi tidak terganggu, dan kebanyakan pasien
juga memiliki hemiplegia. Tipe ini tidak mudah dimasukkan ke klasifikasi
diatas, walaupun pada lesi yang berada lebih anterior cenderung
menghasilkan afasia yang mirip dengan afasia broca, dan lesi yang berada di
posisi yang lebih posterior cenderung menghasilkan gejala yang mirip
dengan afasia Wernicke. Seringkali pasien dengan afasia subkortikal
memiliki hipofonia.
11
lesi otak yang ringan atau pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi
melalui tes kelancaran, yaitu dengan memproduksi kata-kata tertentu–seperti kategori
hewan atau kata yang dimulai oleh huruf tertentu;tidak termasuk nama orang atau
nama kota— sebanyak-banyaknya dalam jangka waktu yang terbatas;umumnya
dalam kurun waktu 60 detik. Usia merupakan faktor yang cukup berpengaruh secara
bermakna dalam melakukan pemeriksaan ini. Umumnya orang yang berusia di bawah
69 tahun akan mampu menyebutkan ±20 kata dengan simpangan baku 4.5.
Kemampuan ini akan menurun menjadi ±17 kata pada usia 70 tahun dan menjadi
±15.5 kata pada usia diatas 80 tahun. Apabila pemeriksaan pada orang normal berusia
kurang dari 70 tahun didapatkan hasil kurang dari 13, maka perlu dicurigai adanya
gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Namun perlu diperhatikan bahwa
dalam mengintepretasikan pemeriksaan ini, pasien dengan tingkat pendidikan yang
tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama, dapat menghasilkan hasil yang
false positive.
12
Pasien juga dapat diminta untuk menjawab pertanyaan dengan ‘ya’ atau
‘tidak’. Namun mengingat kemungkinan pasien untuk melakukan kesalahan adalah
50%, jumlah pertanyaan yang diajukan haruslah banyak, dengan jumlah paling
sedikit adalah 6 pertanyaan, misalnya;
o Apakah anda yang bernama Ani?
o Apakah ada pendingin ruangan pada ruangan ini?
o Apakah di luar sedang hujan?
o Apakah saat ini malam hari?
Pemeriksa dapat juga menguji kemampuan pasien dengan meminta pasien
untuk menunjuk benda yang diminta oleh pemeriksa, dapat berupa perintah
sederhana seperti, “Tunjukkan lampu.” Hingga perintah yang lebih sulit seperti,
“Tunjukkan gelas yang berada di samping televisi.”.
Kemampuan mengulang perlu diuji pada pasien dengan afasia karena
terdapat gangguan repetisi pada pada pasien dinilai dengan meminta pasien untuk
mengulang kata yang sederhana hingga banyak kata (satu kalimat). Misalnya:
Map
Bola
Kereta
Rumah Sakit
Sungai Ciliwung
Lapangan latihan
Kereta api malam
Besok aku pergi dinas
Rumah ini selalu rapi
Sukur anak itu naik kelas
Seandainya si Amat tidak kena influenza Pemeriksa harus memperhatikan
apakah pada tes ini didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan atau
penambahan. Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang
mengandung 19 suku-kata. Banyak pasien dengan afasia akana mengalami
kesulitan untuk mengulang, namun ada juga pasien yang menunjukkan kemampuan
13
mengulang yang baik, bahkanseringkali lebih baik dari kemampuan berbicara
spontan pasien itu sendiri. Apabila terdapat gangguan pada pengulangan, maka
patut dicurigai bahwa adanya kelainan patologis pada area peri-sylvian.
14
pemeriksaan harus dilakukan sepenuhnya karena aleksia dan agrafia dapat terjadi
secara terpisah.
15
2.5.7 Pemeriksaan menulis dan membaca
Kemampuan pasien untuk membaca dan menulis juga harus dinilai.
Umumnya, fungsi membaca dan menulis pada pasien dengan afasia akan lebih
buruk dibandingkan dengan pemahaman, dan berbicara. Pasien akan diminta untuk
menulis secara spontan atau dengan didikte. Kebanyakan pasien dapat menulis hal-
hal sederhana seperti nama, alamat, hari dan tanggal, namun tidak dapat menulis
sesuatu yang kompleks. Pasien juga dapat diperiksa kemampuan menyalinnya,
untuk menegakkan gangguan koneksi antara area reseptif dan Exner. Akan tetapi,
menyalin tidak membutuhkan banyak proses, karena seseorang dapat menyalin
tulisan yang bukan dalam bahasanya meskipun ia tidak dapat berbicara bahasa
tersebut. Sementara itu untuk memeriksa kemampuan pemahaman pasien akan
symbol bahasa tertulis dapat dilakukan dengan cara meminta pasien untuk
membaca. Disfungsi dari pusat bahasa atau adanya gangguan hubungan antara
system visual dapat menyebabkan aleksia atau ketidakmampuan untuk membaca.
2.6 Tatalaksana
Untuk perawatan afasia perlu mempertimbangkan faktor-faktor seperti
jenis, lokasi, etiologi dan perluasan lesi, serta faktor-faktor individu, seperti usia
dan tangan dominan. Beberapa literatur telah mengindikasikan bahwa
pemulihan paling signifikan terjadi pada bulan pertama setelah cedera,
kemudian enam bulan berikutnya; setelah waktu ini, tingkat pemulihan dapat
berkurang, tetapi progresnya tidak terbatas.3
Perawatan afasia dipandu oleh pendekatan terapeutik yang, secara umum,
memprioritaskan stimulasi, dan berkaitan dengan aktivitas fungsional
komunikasi, atau masih, memprioritaskan kemampuan spesifik yang memandu
identifikasi perubahan dan membantu dalam memahami defisit, dengan
mengusulkan perawatan khusus, pada tingkat kemampuan ini. Ada juga,
pendekatan sosial dan psikososial, yang dapat digunakan sebagai pelengkap
stimulasi. Masih ada, pendekatan multidimensi, di mana ada komitmen untuk
dimasukkannya afasik dalam lingkungan sosial, tanpa harus memperkenalkan
visi penyembuhan. Terlepas dari jenis pendekatannya, pengobatan untuk afasia
16
umumnya panjang dan harus rajin dan durasinya akan tergantung pada
prognosis awal.3
Ditemukan hanya satu publikasi yang melaporkan pengobatan afasia
dengan obat-obatan. Penelitian Jianu et al. bertujuan untuk memverifikasi
efektivitas obat Cerebrolysin untuk pengobatan Broca's Aphasia (2212 pasien).
Cerebrolysin adalah obat yang menghasilkan enzim dengan kemampuan untuk
memecah dan memurnikan protein otak, selain mengaktifkan molekul peptida
dan asam amino bebas. Pemberian obat dilakukan selama masa jendela 72 jam,
selain pemberian plasebo ke kelompok kontrol. Kemampuan tindakan dalam tes
bahasa telah meningkat dengan waktu pada kedua kelompok, dengan
peningkatan yang signifikan pada kelompok eksperimen, dan efek ini
dipertahankan pada tindak lanjut. Meskipun penelitian telah menunjukkan hasil
terapi yang baik, penulis penelitian tersebut menyarankan peningkatan sampel
(sampel akhir terdiri dari 425 individu), pengumpulan data dasar untuk
kemampuan pemahaman, penggunaan fMRI dan interval administrasi yang
berbeda.3
Pasien yang ditatalaksana dengan trombolisis mengalami peningkatan
bahasa yang lebih besar daripada pasien yang tidak diobati. Perbedaan antara 2
kelompok semakin jelas dari waktu ke waktu. Selain itu, ucapan spontan adalah
parameter yang ditandai dengan peningkatan terbesar.10
Afasia tidaklah dapat sembuh sepenuhnya. Namun, penderita dapat
melakukan terapi sehingga meringankan afasia. Untuk dapat meringankan
afasia, pasien harus memiliki motivasi untuk sembuh dan dukungan dari
keluarga serta lingkungan. Pada umumnya, afasia yang disebabkan oleh trauma
otak atau cedera kepala sembuh lebih cepat dan menyeluruh dibandingkan
dengan afasia yang disebabkan oleh stroke. Secara umum, terapi pada afasia
meliputi5,6,11:
Terapi wicara
o Terapi wicara terdiri atas komponen:
Fonasi
Resonansi
Kefasihan
17
Intonasi
Variasi nada
Memproduksi suara (termasuk hasil suara aeromekanik dari
pernapasan)
o Terapi bahasa
Fonologi (manipulasi suara sesuai dengan bahasa)
Morfologi (memahami komponen dalam kata-kata dan bagaimana
artian tersebut dapat berubah)
Sintaks (membentuk kata-kata sesuai dengan aturan tatabahasa dari
bahasa yang digunakan)
Semantik (menafsirkan tanda atau symbol komunikasi seperti kata-kata
atau isyarat untuk membentuk arti)
Pragmatik (aspek sosial dari komunikasi)
Terapi individual
o Berfokus pada individu untuk mengembangkan kembali kemampuan baca,
tulis, melakukan instruksi dan mengembangkan ketidakmampuan sesuai
dengan gejala penderita.
Terapi berkelompok
o Topik bertema
o Membaca dan menulis
o Kelompok percakapan
o Dukungan dan edukasi
Terapi lainnya
o Terapi rekreasi
o Terapi okupasi
o Terapi fisik
o Terapi musik
o Terapi seni
18
2.6 Prognosis12
Keterlibatan area Broca, pusat motorik bicara, dan gyrus temporal superior,
pusat pemahaman, terkait dengan hasil jangka panjang yang buruk dari afasia pada
stroke hemisfer otak kiri. Sementara itu, keterlibatan girus prefrontal inferior, yang
memainkan peran penting dalam pemrosesan semantik, dan korteks premotor, yang
berhubungan dengan apraksia bicara, mungkin tidak menentukan prognosis afasia,
tetapi menghambat pemulihan afasia. Selain itu, area Broca tidak hanya terkait dengan
prognosis buruk, tetapi juga dengan laju pemulihan afasia. Secara klinis, pengobatan
dengan fokus pada pemulihan bahasa semantik atau meningkatkan apraksia bicara dapat
dicoba untuk pemulihan optimal pada pasien afasia dengan kerusakan pada girus
prefrontal inferior atau korteks premotor.
Lesi otak di daerah Broca, girus prefrontal inferior, dan korteks premotor
mungkin terkait dengan pemulihan aphasia yang lambat pada pasien dengan stroke
hemisfer kiri. Lebih lanjut, keterlibatan area Broca dan gyrus temporal superior dapat
dikaitkan dengan prognosis buruk dari aphasia pasca-stroke.
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Lumantobing PD. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Badan Penerbit
FKUI;2013.
2. Mattioli F. The clinical management and rehabilitation of post stroke aphasia in Italy:
evidences from the literature and clinical experience. Fondazione Società Italiana di
Neurologia 2019. Springer. 2018
3. Fontanesi SRO, Schmidt A. Interventions in aphasia: an integrative review. Rev.
CEFAC. 2016 Jan-Fev; 18(1):252-262
4. Aphasia Definitions [Internet]. National Aphasia Association. [cited 2018 Mar 30].
Diakses dari: https://www.aphasia.org/aphasia-definitions/ pada 5 November 2019
5. Campbell WW. DeJong’s The Neurologic Examination. 7th ed. 2013.
6. Grochmal-Bach B, Pachalska M, Markiewicz K, Tomaszewski W, Olszewski H,
Pufal A. Rehabilitation of a patient with aphasia due to severe traumatic brain injury.
Med Sci Monit Int Med J Exp Clin Res. 2009 Apr;15(4):CS67–76
7. Harris JM, Jones M. Pathology in primary progressive aphasia syndromes. Curr
Neurol Neurosci Rep. 2014 Aug;14(8):466.
8. Nitrini R, Lucato LT, Sitta MC, et al. Preserved repetition in thalamic aphasia A
pathophysiological hypothesis. Dement Neuropsychol Brazil. 2019 June;13(2):244-
249.
9. Rose ML, Cherney LR, Worral LE. Intensive Comprehensive Aphasia Programs: An
International Survey of Practice. Top Stroke Rehabil 2013;20(5):379–387
10. Furlanis G, Ridolfi M, Polverino P, et al. Early Recovery of Aphasia through
Thrombolysis: The Significance of Spontaneous Speech. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases J Stroke Cerebrovasc Dis. Italy, 2018 Jul;27(7):1937-
1948.
11. Tippett DC, Hillis AE, Tsapkini K. Treatment of Primary Progressive Aphasia. Curr
Treat Options Neurol. 2015 Aug;17(8):362.
12. Sul B, Kim JS, Hong BY, et al. The prognosis and recovery of aphasia related to
stroke lesion. Ann Rehabil Med. Korea, 2016;40(5):786-793
21