Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia
sehari-hari, karena sejatinya, Bahasa merupakan instrumen dasar bagi komunikasi pada
manusia. Selain itu, Bahasa juga merupakan dasar dan tulang-punggung bagi kemampuan
kognitif. Dalam berbahasa, terdapat beberapa cakupan kemampuan, yang meliputi:
berbicara spontan, komprehensi, menamai, repetisi (pengulangan), membaca, dan
menulis. Apabila terdapat defisit pada sistem berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti
memori verbal, interpretasi pepatah, dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak
dapat dilakukan1.
Afasia adalah gangguan berbicara, memahami, membaca, dan menulis akibat
kerusakan pada area otak yang terlibat dalam proses bahasa, biasanya terletak di hemisfer
kiri. Etiologi ini lebih umum pada orang tua daripada pada orang muda, dan meninggalkan
batas lesi sekuel dan seringkali permanen di otak. Penyakit lain juga dapat menyebabkan
afasia, seperti tumor, trauma, penyakit degeneratif atau metabolism.2,3
Cidera otak yang terjadi pada afasia sering dapat menyebabkan gangguan bahasa,
yang dapat mempengaruhi akses ke kosakata, organisasi sintaksis, dan proses menerima
bahasa. Bergantung pada jenis afasia, individu tersebut dapat mengalami kesulitan dalam
kelancaran, pemahaman, pengulangan, penamaan, membaca, menulis, paraphasia,
agrammatisme atau apraksia, dan afasia dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori,
sesuai dengan manifestasi kefasihan: fluent dan non fluent. Karena cedera ini biasanya
mempengaruhi belahan otak kiri, area motorik mungkin terpengaruh. Beberapa area ini
bertanggung jawab atas kemampuan gerakan orofasial, menghasilkan afasia yang non
fluent, yang melibatkan afasia global, Brokha, dan Motor Transkortikal. Cedera ini juga
dapat memengaruhi area asosiatif dan pemahaman, menyebabkan afasia fluent, yang
meliputi afasia Wernicke, Konduksi dan Sensor Transkortikal.3
Afasia dapat terjadi cukup ringan atau dapat menjadi sangat berat sehingga
komunikasi menjadi suatu hal yang sangat sulit dan hampir mustahil. Hal ini dapat
mempengaruhi satu atau lebih aspek Bahasa. Afasia memiliki beberapa tipe dan memiliki
ciri khas masing-masing, tergantung dari area kerusakan dan gejala yang ditimbulkan.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Afasia adalah gangguan berbicara, memahami, membaca, dan menulis akibat
kerusakan pada area otak yang terlibat dalam proses bahasa, biasanya terletak di
hemisfer kiri. Afasia merupakan suatu kondisi dimana terjadi gangguan berbahasa
yang disebabkan karena kerusakan otak, yang meliputi kombinasi atau kekurangan
dalam memproduksi, mengulang, atau mengucapkan bahasa secara spontan serta
ketidakmampuan untuk membaca dan menulis, maupun ketidakmampuan untuk
memahami perkataan, tulisan, atau menafsirkan gerakan.2,5
Terdapat 3 level dalam fungsi motorik berbahasa. Level pertama merupakan
level emosi, dimana pasien masih dapat merespons dengan stimulus nyeri dengan ‘ow’
walaupun fungsi bahasa lainnya terganggu. Kemudian pada level kedua adalah level
otomatis, yang bertanggung jawab atas pembicaraan yang berlangsung dengan
otomatis; pasien masih mungkin untuk menjawab beberapa pertanyaan dengan ‘ya’
dan ‘tidak’, atau masih dapat berhitung, walaupun fungsi lainnya sangat terganggu.
Kemudian pada level tertinggi adalah proporsional, volisional, simbolik, atau bahasa
intelektual, yaitu level yang paling mudah terganggu dan paling sulit diperbaiki.5
Terdapat 3 level kortikal yang terlibat dalam memahami bahasa. Level pertama
adalah penerimaan. Dalam level ini symbol bahasa dirasakan, dilihat, atau didengar
tanpa perbedaan impuls. Level kedua adalah fungsi gnostic, recognition of impulses,
formulasi engram untuk stimulus mengingat dan revisualisasi. Level ketiga
merupakan yang terpenting, yaitu pengenalan symbol dalam bentuk kata-kata atau
elaborasi dan asosiasi dari symbol tersebut sebagai bentuk dari bahasa.5

2.2 Anatomi dan Fisiologi5


Fungsi sensorik dan motorik dari area bahasa ini dihubungkan oleh rangkaian
koneksi saraf yang rumit yang sebagian besar terdapat di bagian temporal dari otak.
Seluruh zona yang bertanggung jawab terhadap bahasa disebut sebagai zona
perisilvian, karena berbatasan dengan fisura silvian. Terdapat dua area yang
bertanggung jawab dalam pemrosesan bahasa yaitu area reseptif dan eksekutif. Area
reseptif disebut juga sebagai area Wernicke yang terletak di posterosuperior gyrus
temporal. Secara neuroanatomi, daerah ini digambarkan sebagai daerah Brodmann
2
22. Area ini merupakan pusat dari pemrosesan bahasa baik secara visual maupun
auditori yang diterima oleh otak.
Selain area reseptif, terdapat area eksekutif yang disebut juga sebagai area
Broca, yang merupakan area motorik untuk berbicara. Area Broca terletak di sisi
posterior dari inferior gyrus frontal. Secara neuroanatomi, daerah ini digambarkan
sebagai daerah Brodman 44 dan 45.
Area konduksi terdiri dari fasikulus arkuata yang merupakan satu bundel saraf
yang melengkung dan menguhubungkan antara area Broca dan area Wernicke.
Kerusakan fasikulus arkuata menyebabkan: timbul defisit untuk mengulang kata kata.
Gyrus angularis yang merupakan bagian dari lobus parietal inferior, yang terletak
diantara area Wernicke dan korteks visual, berfungsi untuk membaca dan fungsi
bahasa nonverbal lainnya. Gyrus supramarginal juga berada di bawah korteks visual
dan bagian posterior dari area perisylvian. Gyrus supramarginal terlibat dalam fungsi
bahasa visual. Area membaca yang terletak di bagian media lobus okstipital kiri dan
di splenium corpus callosum (Brodmann 17) akan menerima impuls dari mata dan
dihantarkan ke area daerah asosiasi untuk dianalisa, kemudian dihantarkan ke
fasciculus arcuata. Apabila terdapat lesi pada area ini, maka akan terjadi yang dapat
kita sebut sebagai buta kata.

Gambar 2.1 Pembagian area-area pada otak

Sementara itu, terdapat area yang dikenal sebagai Brodmann 6 atau Exner yang
terletak di atas area Broca dan anterior area kontrol motor primer, pada lobus frontal.
Area ini dianggap sebagai area untuk menulis, berhampiran dengan lokasi gerakan 6
tangan. Kerusakan area Exner akan mengakibatkan agraphia.

3
Gambar 2.2 Mekanisme pengucapan kata

2.3 Etiologi dan Patofisiologi


Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broca, Area Wernicke, dan jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri
otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan
berbahasa diatur. 6,7.

4
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh
stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak akut, maupun gangguan neurologis
yang bersifat progresif dan sebagainya.6,7
Banyak hipotesis telah dikemukakan untuk menjelaskan terjadinya afasia pada
lesi thalamik. Keterlibatan loop kortiko-striato-pallidum-thalamus-kortikal dan
diaschisis karena pengurangan impuls dari thalamus ke jaringan kortikal15 adalah
teori yang paling sering didalilkan.8
Studi menggunakan SPECT (single photon computed tomography) dan dengan
PET telah mengungkapkan hipoperfusi kortikal dalam aphasia thalamic,
menunjukkan bahwa diaschisis dapat menjadi faktor penyebab utama afasia. 8
Hipometabolisme kortikal yang luas karena diaschisis mungkin bertanggung
jawab atas keparahan aphasia, sedangkan pengurangan metabolisme yang kurang
parah pada girus temporal superior dan transversal, dan juga, meskipun kurang jelas,
di daerah Broca, mungkin menjelaskan adanya repetitive. 8

2.4 Klasifikasi

Gambar 2.2 Tipe dari Afasia4

5
Afasia dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu fluent aphasia dan nonfluent aphasia,
yang masing masing dibagi menjadi beberapa jenis lagi1,5,9, yaitu:

2.4.1 Fluent aphasia


 Afasia Wernicke
Afasia ini dikenal juga sebagai afasia reseptif atau afasia Wernicke,
dimana kemampuan untuk memahami bahasa verbal dan visual terganggu atau
hilang sama sekali akibat kegagalan pemahaman bahasa yang didengar atau
dilihat oleh penderita. Pada afasia Wernicke, terdapat lesi pada bagian
posterosuperior temporal yang melibatkan korteks asosiasi auditori dan gyrus
angular serta supramarginal. Pasien tidak dapat memahami bahasa yang didengar
atau dibaca. Pasien cenderung fasih dengan output yang normal atau meningkat
(logorrhea). Produksi bicara dapat dikatakan mudah dan banyak, tetapi tidak ada
maknanya. Pasien masih dapat memahami, mendengar dan mengenali suara,
namun tidak dengan suara mereka sendiri; begitu pula memahami apa yang
mereka katakan. Pasien tidak menyadari ketidakmampuan mereka dalam
berbicara, maupun tidak berusaha mengoreksi pembicarannya. Pembicaran
dengan output tinggi, parafasia dan neologisme yang dikombinasikan dengan
agrammatism dapat berakhir dengan suatu keadaan yang disebut word salad.
Pasien masih memiliki kemampuan untuk mengucapkan dan menulis kata-kata
masih ada secara aktif, walaupun apa yang diucapkan dan ditulis oleh penderita
tidak mempunyai arti sama sekali.

 Afasia Konduksi
Afasia konduksi disebabkan adanya lesi yang menginterupsi konduksi
antara are Wernicke dan area Broca, yang biasanya terletak di dalam substansia
alba pada regio gyrus supramarginal yang melibatkan fasikulus arkuata.
Pemahaman Bahasa pada afasia konduksi sedikit terganggu yang ditandai
dengan adanya pengulangan yang terganggu dan jeda untuk mencari kata-kata
walaupun penderita masih fasih berbahasa. Pengulangan kata-kata sangat buruk

6
para kata yang memiliki banyak suku kata dan kalimat. Pasien sadar akan
ketidakmampuan pasien dan berusaha untuk mengoreksi kesalahan dalam
pengucapan. Pada afasia jenis ini, pemahaman akan bahasa umumnya akan
terganggu namun tidak seberat seperti pada afasia Wernicke. Kebanyakan
penyebab dari afasia jenis ini adalah adanya oklusi embolik dari cabang terminal
arteri serebri media karena terdapat putusnya hubungan antara bagian anterior
dan posterior dari area perisylvian.

 Afasia Anomik
Jenis afasia ini ditandai dengan adanya gangguan penamaan dan mencari
perkataan namun masih dapat bicara spontan dan fasih, mengulang, memahami
dan menuliskan kata-kata, tetapi memiliki kesulitan untuk menemukan kata-kata
dan membentuk kalimat. Jenis afasia ini adalah yang tersering namun juga tidak
spesifik. Afasia anomik adalah afasia yang menggambarkan adanya lesi pada
bagian inferior dari lobus temporal.

2.4.2 Non fluent aphasia


 Afasia Broca
Afasia Broca merupakan tipe afasia yang non-fluent akibat adanya lesi
pada baagian anterior perisylvian di regio posterior inferior frontal atau area
Broca. Area Broca merupakan area motorik yang memproses informasi dari area
Wernicke untuk diintepretasikan sebagai gerakan motorik yang diperantarai oleh
daerah motorik primer dan lobus frontalis untuk memproses bahasa dan
diekspresikan secara lisan maupun visual. Pada afasia broca berat, pembicaraan
pasien terdiri dari kata benda yang dihasilkan dengan susah payah. Pasien
menyadari dan merasa frustasi aka ketidakmampuan pasien untuk berbicara.
Terdapat tendensi untuk meniadakan kata sifat, kata keterangan dan kata
sambung yang kebanyakan digunakan untuk membentuk suatu struktur kalimat,
karena itu terdapat istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembicaran
jenis ini yaitu telegraphic speech. Karena terdapat ketidakfasihan yang berat,

7
pasien tidak dapat mengulang apa yang didengar ataupun membaca dengan
keras. Pasien juga dapat mengidentifikasi benda namun tidak dapat menamai
benda tersebut.

 Afasia Global
Pada umumnya lesi yang luas dan telah merusak seluruh area perisylvian
atau lesi individual yang merusak regio posteroinferior frontal atau regio
posterosuperior temporal akan menyebabkan afasia jenis ini. Afasia ini
melibatkan semua aspek Bahasa dan mengganggu komunikasi. Penderita tidak
dapat berbicara spontan dan hanya dapat menghasilkan tidak lebih dari fragmen-
fragmen perkataan. Penderita tidak dapat memahami ucapan atau hanya dapat
mengenali beberapa kata, termasuk nama mereka sendiri. Karakteristik utama
dari afasia tipe ini adalah Bahasa otomatisme atau pengulangan omong kosong.
Pada umumnya, afasia global disebabkan akibat oklusi arteri serebri media atau
arteri karotis interna. Pada beberapa pasien yang mengalami kemajuan,
umumnya terdapat deficit yang serupa dengan afasia Broca.

2.4.3 Afasia Transkortikal


Afasia transkortikal secara umum ditandai oleh repetisi bahasa yang baik
(terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Afasia transkortikal
disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan sabit, di dalam
zona perbatasan antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus
frontal antara daerah arteri serebri anterior dan media). Dipercaya bahwa afasia
ini disebabkan oleh terpisahnya area bicara sensorik dari korteks, sisanya karena
gangguan sirkulasi dalam korteks dan substansia alba sepanjang zona batas
arterial antara arteri serebri anterior, media dan posterior. Lesi ini tidak mengenai
atau tidak melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan
44 dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian
yang utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang baik. Keyakinan
ini berasal dari kejadian keadaan tersebut dalam kasus henti jantung sementara
tanpa mempertimbangkan penyebabnya. Dibagi menjadi:

8
a. Afasia transkortikal sensorik (afasia fluent)
Bentuk afasia ini berkaitan dengan hilangnya pemahaman
pendengaran dan penglihatan dan kata-kata dan ketidakmampuan untuk
menulis dan membaca dengan pengertian. Kata-kata yang diucapkan dapat
diulang, tapi artinya tidak dapat dimengerti. Gambaran klinisnya, yaitu
ekspresi lancar (fluent), pemahaman verbal terganggu, pengulangan baik,
menamai terganggu, pemahaman membaca terganggu, menulis terganggu,
defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai, didapatkan defisit lapangan
pandang di sebelah kanan. Biasanya akibat lesi di area informasi dari
nonbahasa area ke cerebrum tidak bisa di transfer ke area wernicke’s untuk
diubah menjadi suatu bentuk bahasa. Afasia ini dapat mengulang (repetisi)
baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya.
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:
1) Keluaran (output) lancar (fluent)
2) Pemahaman buruk
3) Repetisi baik
4) Ekholalia
5) Komprehensi auditif dan membaca terganggu
6) Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
7) Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan

b. Afasia transkortikal motorik (masuk afasia non-fluent)


Pasien dengan afasia ini mampu mengulang (repetisi), memahami dan
membaca, namun dalam bicara spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia
broca. Gambaran kliniknya yaitu ekspresi tidak lancar (non-fluent),
pemahaman verbal relative terpelihara, pengulangan baik, menamai
terganggu, ungkapan-ungkapan singkat, parafasia semantik, ekolali,
pemahaman (komprehensi) baik. Biasanya akibat lesi di anterior atau superior
dari area broca. Gambaran klinik afasia motorik transkortikal:
1) Keluaran tidak lancar (non fluent)
2) Pemahaman (komprehensi) baik

9
3) Repetisi baik
4) Inisiasi terlambat
5) Ungkapan-ungkapan singkat
6) Parafasia semantik
7) Ekholalia
Untuk jenis afasia ini digunakan juga istilah awam “pure word-
dumbness” atau bisu kata-kata yang tulen. Jika seorang afasia motorik masih
bisa membeo, namun tidak mampu lagi untuk mengeluarkan kata-kata
sebagai cara ekspresi aktifnya, maka afasia motorik semacam itu disebabkan
oleh suatu lesi kortikal yang agak besar di antara daerah broca dan wernicke.
Afasia motorik berat dengan masih adanya kemampuan untuk membeo ini
dinamakan afasia motorik transkortikal. Afasia transkortikal motorik terlihat
pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai huruf c terbalik.

c. Afasia transkortikal campuran


Gambaran klinisnya, yaitu tidak lancar (non-fluent), komprehensi
buruk, repetisi baik dan ekolali yang mencolok. Penyebab paling sering dari
afasia transkortikal ialah anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang
menurun, seperti yang dijumpai pada henti jantung, oklusi atau stenosis berat
arteri karotis, anoksia oleh keracunan karbon monoksida dan demensia.
Gambaran klinik afasia transkortikal campuran:
1) Tidak lancar (nonfluent)
2) Komprehensi buruk
3) Repetisi baik
4) Ekholalia mencolok

2.4.4 Afasia Subkortikal


Afasia jenis ini mengacu pada gangguan bahasa yang disebabkan
bukan oleh kerusakan pada area perisylvian, tetapi dari lesi—umumnya
vascular— pada basal ganglia, thalamus, putamen, substantia alba atau
kapsula interna. Terdapat 2 tipe pada afasia subkortikal, yaitu sindrom

10
anterior dan sindrom posterior. Sindrom anterior (afasia striatocapsular atau
caudal) umumnya dikarakteristikan sebagai kegagalan penamaan,
pembicaraan yang disartrik, lambat dan masih adanya pemahaman. Pada
sindrom posterior (afasia talamik), terdapat pembicaraan yang fasih tanpa
disartria, namun terdapat pemahaman dan penamaan yang buruk. Umumnya
pada kedua tipe ini, fungsi repetisi tidak terganggu, dan kebanyakan pasien
juga memiliki hemiplegia. Tipe ini tidak mudah dimasukkan ke klasifikasi
diatas, walaupun pada lesi yang berada lebih anterior cenderung
menghasilkan afasia yang mirip dengan afasia broca, dan lesi yang berada di
posisi yang lebih posterior cenderung menghasilkan gejala yang mirip
dengan afasia Wernicke. Seringkali pasien dengan afasia subkortikal
memiliki hipofonia.

Jenis Ekspresi Komprehensi Repetisi Penamaan Komprehen Menulis Lokasi lesi


verbal si membaca
Broca Tak lancar Relatif Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Area Broca
terpelihara
Wernicke Lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Area Wernicke
Global Tak lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Hemisfer Kiri
Konduksi Lancar Terganggu Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Fasikulus
Arkuata
Nominal Lancar Terpelihara Terpelihara Terganggu Bervariasi Bervariasi Hemisfer
dominan
Transkortikal Tak lancar Terpelihara Terpelihara Terganggu Bervariasi Terganggu Dekat area
Motor Broca
Transkortikal Lancar Terpelihara Terpelihara Terganggu Terganggu Terganggu Dekat area
Sensorik Wernicke
Subkortikal Tergantung Tergantung Tergantung Tergantung Tergantung Tergantung Basal ganglia
lokasi lesi lokasi lesi lokasi lesi lokasi lesi lokasi lesi lokasi lesi kiri

Tabel 2.1 Pembagian Afasia

2.5 Pemeriksaan untuk Afasia1


2.5.1 Pemeriksaan Kelancaran Berbicara
Kelancaran berbicara seseorang dinilai lancar apabila orang tersebut mampu
berbicara spontan, tanpa tertegun untuk mencari kata-kata yang ingin diucapkan. Bila
kemampuan ini diperiksa secara khusus, maka pemeriksa dapat mendeteksi adanya

11
lesi otak yang ringan atau pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi
melalui tes kelancaran, yaitu dengan memproduksi kata-kata tertentu–seperti kategori
hewan atau kata yang dimulai oleh huruf tertentu;tidak termasuk nama orang atau
nama kota— sebanyak-banyaknya dalam jangka waktu yang terbatas;umumnya
dalam kurun waktu 60 detik. Usia merupakan faktor yang cukup berpengaruh secara
bermakna dalam melakukan pemeriksaan ini. Umumnya orang yang berusia di bawah
69 tahun akan mampu menyebutkan ±20 kata dengan simpangan baku 4.5.
Kemampuan ini akan menurun menjadi ±17 kata pada usia 70 tahun dan menjadi
±15.5 kata pada usia diatas 80 tahun. Apabila pemeriksaan pada orang normal berusia
kurang dari 70 tahun didapatkan hasil kurang dari 13, maka perlu dicurigai adanya
gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Namun perlu diperhatikan bahwa
dalam mengintepretasikan pemeriksaan ini, pasien dengan tingkat pendidikan yang
tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama, dapat menghasilkan hasil yang
false positive.

2.5.2 Pemeriksaan Komprehensi Bahasa Lisan


Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami seringkali sulit dinilai.
Untuk itu, dapat dilakukan pemeriksaan pemahaman atau komprehensi secara klinis,
dengan cara konversasi atau bercakap-cakap, perintah, pilihan (ya atau tidak), dan
menunjuk.
Dengan mengajak pasien bercakap-cakap, pemeriksa dapat menilai
kemampuan pasien memahami pertanyaan dan instruksi atau perintah yang diberikan
oleh pemeriksa. Instruksi yang diberikan pada pasien dapat berupa instruksi
sederhana (satu langkah) hingga instruksi bertingkat untuk menilai kemampuan
memahami pasien. Pemeriksa dapat juga mengeluarkan beberapa benda; misalnya
kunci, pulpen, jam tangan dan sebagainya, dan meminta pasien untuk menunjuk salah
satu benda yang disebutkan oleh pemeriksa.
Pasien tanpa afasia dengan tingkat inteligensi rata-rata mampu menunjukkan
4 atau lebih objek pada instruksi bertingkat, sementara pasien dengan afasia mungkin
hanya mampu menunjuk 1 hingga 2 benda saja.

12
Pasien juga dapat diminta untuk menjawab pertanyaan dengan ‘ya’ atau
‘tidak’. Namun mengingat kemungkinan pasien untuk melakukan kesalahan adalah
50%, jumlah pertanyaan yang diajukan haruslah banyak, dengan jumlah paling
sedikit adalah 6 pertanyaan, misalnya;
o Apakah anda yang bernama Ani?

o Apakah ada pendingin ruangan pada ruangan ini?

o Apakah di luar sedang hujan?

o Apakah saat ini malam hari?
Pemeriksa dapat juga menguji kemampuan pasien dengan meminta pasien
untuk menunjuk benda yang diminta oleh pemeriksa, dapat berupa perintah
sederhana seperti, “Tunjukkan lampu.” Hingga perintah yang lebih sulit seperti,
“Tunjukkan gelas yang berada di samping televisi.”.
Kemampuan mengulang perlu diuji pada pasien dengan afasia karena
terdapat gangguan repetisi pada pada pasien dinilai dengan meminta pasien untuk
mengulang kata yang sederhana hingga banyak kata (satu kalimat). Misalnya:
 Map

 Bola

 Kereta

 Rumah Sakit

 Sungai Ciliwung

 Lapangan latihan

 Kereta api malam

 Besok aku pergi dinas

 Rumah ini selalu rapi

 Sukur anak itu naik kelas

Seandainya si Amat tidak kena influenza Pemeriksa harus memperhatikan
apakah pada tes ini didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan atau
penambahan. Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang
mengandung 19 suku-kata. Banyak pasien dengan afasia akana mengalami
kesulitan untuk mengulang, namun ada juga pasien yang menunjukkan kemampuan

13
mengulang yang baik, bahkanseringkali lebih baik dari kemampuan berbicara
spontan pasien itu sendiri. Apabila terdapat gangguan pada pengulangan, maka
patut dicurigai bahwa adanya kelainan patologis pada area peri-sylvian.

2.5.3 Pemeriksaan Menamai dan Menemukan Kata


Pada penderita afasia, fungsi untuk menamai objek dapat saja menjadi
terganggu. Tes ini dilakukan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap
kemampuan ini. Kesulitan untuk menemukan kata memiliki kaitan yang erat
dengan kemampuan menyebutkan nama, yang dalam hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,
bagian dari objek, warna dan bila perlu gambar geometric, simbol matematika atau
nama dari suatu tindakan. Banyak penderita yang masih mampu menamai objek
yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan
tertegun saat ingin menggambarkan kegunaannya (sirkumlokusi) atau parafasia
pada objek yang jarang dijumpainya. Ada pula pasien yang dapat mampu
menggambarkan kegunaannya, namun memiliki kesulitan untuk menamai benda
tersebut; misalnya, apabila kita menunjukkan kunci, maka ia akan mengatakan,
“…untuk masuk rumah…kita putar…”.
Untuk melakukan pemeriksaan, siapkan ± 20 objek dan terangkan kepada
pasien bahwa pemeriksa akan meminta pasien untuk menyebutkan nama beberapa
objek, juga warna dan bagian dari objek tersebut. Perhatikan apakah pasien dapat
menyebutkan nama objek dengan cepat, lambat, tertegun, atau menggunakan
sirkumlokusi, parafasia, atau neologisme.

2.5.4 Pemeriksaan Sistem Bahasa


Penilaian system bahasa tidak hanya dari berbicara spontan, komprehensi,
repetisi dan menamai, tetpai juga dari membaca dan menulis. Seringkali pasien
dengan afasia juga mengalami agrafia dan aleksia, dengan demikian pemeriksaan
baca tulis dapat dipersingkat. Namun pada pasien yang tidak memiliki afasia,

14
pemeriksaan harus dilakukan sepenuhnya karena aleksia dan agrafia dapat terjadi
secara terpisah.

2.5.5 Pemeriksaan Penggunaan Tangan Dominan


Sebelum menilai bahasa, pemeriksa perlu menentukan terlebih dahulu sisi
otak manakah yang dominan. Mula-mula, tanyakan terlebih dahulu apakah pasien
pengguna tangan kanan (kandal) atau kiri (kidal). Banyak orang kidal yang telah
diajarkan sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan, sehingga dengan
mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan apakah orang
tersebut kandal atau kidal. Tanyakan pula apakah pasien memiliki kecenderungan
untuk menggunakan tangan lainnya, atau membandingkan kekuatan tangannya,
lebih dominan sisi kanan, kiri atau hamper sama (ambi-dextrous).

2.5.6 Pemeriksaan berbicara spontan


Pemeriksaan ini dilakukan dengan mendengarkan pasien berbicara spontan
atau bercerita dan menilai kemampuan berbahasa pasien. Pemeriksa dapat
mengajak pasien untuk berbicara spontan dengan pertanyaan sederhana seperti:
“Coba ceritakan bagaimana anda sampai dirawat di Rumah Sakit”. Kemudian
perhatikan dan nilai apakah:
1. Pembicaraan pasien terdengar pelo, cadel, tertegun, atau disprosodik (irama,
ritme, dan intonasi yang terganggu). Seringkali, pada pasien dengan afasia,
pasien akan mengalami disprosodik.
2. Terdapat kesalahan dalam membentuk kalimat, kesalahan penggunaan kata
(parafasia—mensubstitusi kata-kata—atau neologisme) dan preservasi
(kesulitan untuk mengungkapkan kata-kata secara runut dan bervariasi
sehingga terjadi pengulangan kata-kata yang tidak sesuai.)

15
2.5.7 Pemeriksaan menulis dan membaca
Kemampuan pasien untuk membaca dan menulis juga harus dinilai.
Umumnya, fungsi membaca dan menulis pada pasien dengan afasia akan lebih
buruk dibandingkan dengan pemahaman, dan berbicara. Pasien akan diminta untuk
menulis secara spontan atau dengan didikte. Kebanyakan pasien dapat menulis hal-
hal sederhana seperti nama, alamat, hari dan tanggal, namun tidak dapat menulis
sesuatu yang kompleks. Pasien juga dapat diperiksa kemampuan menyalinnya,
untuk menegakkan gangguan koneksi antara area reseptif dan Exner. Akan tetapi,
menyalin tidak membutuhkan banyak proses, karena seseorang dapat menyalin
tulisan yang bukan dalam bahasanya meskipun ia tidak dapat berbicara bahasa
tersebut. Sementara itu untuk memeriksa kemampuan pemahaman pasien akan
symbol bahasa tertulis dapat dilakukan dengan cara meminta pasien untuk
membaca. Disfungsi dari pusat bahasa atau adanya gangguan hubungan antara
system visual dapat menyebabkan aleksia atau ketidakmampuan untuk membaca.

2.6 Tatalaksana
Untuk perawatan afasia perlu mempertimbangkan faktor-faktor seperti
jenis, lokasi, etiologi dan perluasan lesi, serta faktor-faktor individu, seperti usia
dan tangan dominan. Beberapa literatur telah mengindikasikan bahwa
pemulihan paling signifikan terjadi pada bulan pertama setelah cedera,
kemudian enam bulan berikutnya; setelah waktu ini, tingkat pemulihan dapat
berkurang, tetapi progresnya tidak terbatas.3
Perawatan afasia dipandu oleh pendekatan terapeutik yang, secara umum,
memprioritaskan stimulasi, dan berkaitan dengan aktivitas fungsional
komunikasi, atau masih, memprioritaskan kemampuan spesifik yang memandu
identifikasi perubahan dan membantu dalam memahami defisit, dengan
mengusulkan perawatan khusus, pada tingkat kemampuan ini. Ada juga,
pendekatan sosial dan psikososial, yang dapat digunakan sebagai pelengkap
stimulasi. Masih ada, pendekatan multidimensi, di mana ada komitmen untuk
dimasukkannya afasik dalam lingkungan sosial, tanpa harus memperkenalkan
visi penyembuhan. Terlepas dari jenis pendekatannya, pengobatan untuk afasia

16
umumnya panjang dan harus rajin dan durasinya akan tergantung pada
prognosis awal.3
Ditemukan hanya satu publikasi yang melaporkan pengobatan afasia
dengan obat-obatan. Penelitian Jianu et al. bertujuan untuk memverifikasi
efektivitas obat Cerebrolysin untuk pengobatan Broca's Aphasia (2212 pasien).
Cerebrolysin adalah obat yang menghasilkan enzim dengan kemampuan untuk
memecah dan memurnikan protein otak, selain mengaktifkan molekul peptida
dan asam amino bebas. Pemberian obat dilakukan selama masa jendela 72 jam,
selain pemberian plasebo ke kelompok kontrol. Kemampuan tindakan dalam tes
bahasa telah meningkat dengan waktu pada kedua kelompok, dengan
peningkatan yang signifikan pada kelompok eksperimen, dan efek ini
dipertahankan pada tindak lanjut. Meskipun penelitian telah menunjukkan hasil
terapi yang baik, penulis penelitian tersebut menyarankan peningkatan sampel
(sampel akhir terdiri dari 425 individu), pengumpulan data dasar untuk
kemampuan pemahaman, penggunaan fMRI dan interval administrasi yang
berbeda.3
Pasien yang ditatalaksana dengan trombolisis mengalami peningkatan
bahasa yang lebih besar daripada pasien yang tidak diobati. Perbedaan antara 2
kelompok semakin jelas dari waktu ke waktu. Selain itu, ucapan spontan adalah
parameter yang ditandai dengan peningkatan terbesar.10
Afasia tidaklah dapat sembuh sepenuhnya. Namun, penderita dapat
melakukan terapi sehingga meringankan afasia. Untuk dapat meringankan
afasia, pasien harus memiliki motivasi untuk sembuh dan dukungan dari
keluarga serta lingkungan. Pada umumnya, afasia yang disebabkan oleh trauma
otak atau cedera kepala sembuh lebih cepat dan menyeluruh dibandingkan
dengan afasia yang disebabkan oleh stroke. Secara umum, terapi pada afasia
meliputi5,6,11:
 Terapi wicara
o Terapi wicara terdiri atas komponen:
 Fonasi

 Resonansi
 Kefasihan

17
 Intonasi

 Variasi nada

 Memproduksi suara (termasuk hasil suara aeromekanik dari
pernapasan)
o Terapi bahasa
 Fonologi (manipulasi suara sesuai dengan bahasa)

 Morfologi (memahami komponen dalam kata-kata dan bagaimana
artian tersebut dapat berubah)

 Sintaks (membentuk kata-kata sesuai dengan aturan tatabahasa dari
bahasa yang digunakan)
 Semantik (menafsirkan tanda atau symbol komunikasi seperti kata-kata
atau isyarat untuk membentuk arti)

 Pragmatik (aspek sosial dari komunikasi)

 Terapi individual

o Berfokus pada individu untuk mengembangkan kembali kemampuan baca,
tulis, melakukan instruksi dan mengembangkan ketidakmampuan sesuai
dengan gejala penderita.
 Terapi berkelompok

o Topik bertema
o Membaca dan menulis
o Kelompok percakapan
o Dukungan dan edukasi
 Terapi lainnya

o Terapi rekreasi
o Terapi okupasi
o Terapi fisik
o Terapi musik
o Terapi seni

18
2.6 Prognosis12
Keterlibatan area Broca, pusat motorik bicara, dan gyrus temporal superior,
pusat pemahaman, terkait dengan hasil jangka panjang yang buruk dari afasia pada
stroke hemisfer otak kiri. Sementara itu, keterlibatan girus prefrontal inferior, yang
memainkan peran penting dalam pemrosesan semantik, dan korteks premotor, yang
berhubungan dengan apraksia bicara, mungkin tidak menentukan prognosis afasia,
tetapi menghambat pemulihan afasia. Selain itu, area Broca tidak hanya terkait dengan
prognosis buruk, tetapi juga dengan laju pemulihan afasia. Secara klinis, pengobatan
dengan fokus pada pemulihan bahasa semantik atau meningkatkan apraksia bicara dapat
dicoba untuk pemulihan optimal pada pasien afasia dengan kerusakan pada girus
prefrontal inferior atau korteks premotor.

Lesi otak di daerah Broca, girus prefrontal inferior, dan korteks premotor
mungkin terkait dengan pemulihan aphasia yang lambat pada pasien dengan stroke
hemisfer kiri. Lebih lanjut, keterlibatan area Broca dan gyrus temporal superior dapat
dikaitkan dengan prognosis buruk dari aphasia pasca-stroke.

19
BAB III
KESIMPULAN

Afasia merupakan suatu kondisi dimana terjadi gangguan berbahasa yang


disebabkan karena kerusakan otak dan cukup sering dijumpai di kehidupan sehari-hari.
Hal ini dapat disebabkan oleh cedera otak atau degenerasi. Hal ini cukup penting untuk
diketahui karena, apabila seseorang memiliki afasia, hal ini dapat mengganggu fungsi
seseorang sebagai individu karena adanya keterbatasan dalam komunikasi dan dapat
menyebabkan seseorang menjadi tertekan.
Jenis-jenis afasia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: afasia global,
afasia broca, afasia Wernicke, afasia transkortikal, afasia anomik, afasia konduksi, dan
afasia subkortikal. Untuk dapat memastikan adanya afasia dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan, yaitu: pemeriksaan kelancaran bicara, komprehensi bahasa lisa, repertisi,
penamaan benda, system bahasa, penggunaan tangan dominan dan pembicaraan spontan.
Afasia tidak dapat sembuh sepenuhnya. Terapi yang ada saat ini dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa pasien yaitu dengan melakukan speech theraphy
atau terapi wicara. Untuk dapat meningkatkan kondisi pasien, pasien juga harus memiliki
keinginan untuk sembuh dan tentu saja, dukungan oleh keluarga dan lingkungan sekitar.
Lesi otak di daerah Broca, girus prefrontal inferior, dan korteks premotor mungkin
terkait dengan pemulihan aphasia yang lambat pada pasien dengan stroke hemisfer kiri.
Lebih lanjut, keterlibatan area Broca dan gyrus temporal superior dapat dikaitkan dengan
prognosis buruk dari aphasia pasca-stroke.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Lumantobing PD. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Badan Penerbit
FKUI;2013.
2. Mattioli F. The clinical management and rehabilitation of post stroke aphasia in Italy:
evidences from the literature and clinical experience. Fondazione Società Italiana di
Neurologia 2019. Springer. 2018
3. Fontanesi SRO, Schmidt A. Interventions in aphasia: an integrative review. Rev.
CEFAC. 2016 Jan-Fev; 18(1):252-262
4. Aphasia Definitions [Internet]. National Aphasia Association. [cited 2018 Mar 30].
Diakses dari: https://www.aphasia.org/aphasia-definitions/ pada 5 November 2019
5. Campbell WW. DeJong’s The Neurologic Examination. 7th ed. 2013.
6. Grochmal-Bach B, Pachalska M, Markiewicz K, Tomaszewski W, Olszewski H,
Pufal A. Rehabilitation of a patient with aphasia due to severe traumatic brain injury.
Med Sci Monit Int Med J Exp Clin Res. 2009 Apr;15(4):CS67–76
7. Harris JM, Jones M. Pathology in primary progressive aphasia syndromes. Curr
Neurol Neurosci Rep. 2014 Aug;14(8):466.
8. Nitrini R, Lucato LT, Sitta MC, et al. Preserved repetition in thalamic aphasia A
pathophysiological hypothesis. Dement Neuropsychol Brazil. 2019 June;13(2):244-
249.
9. Rose ML, Cherney LR, Worral LE. Intensive Comprehensive Aphasia Programs: An
International Survey of Practice. Top Stroke Rehabil 2013;20(5):379–387
10. Furlanis G, Ridolfi M, Polverino P, et al. Early Recovery of Aphasia through
Thrombolysis: The Significance of Spontaneous Speech. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases J Stroke Cerebrovasc Dis. Italy, 2018 Jul;27(7):1937-
1948.
11. Tippett DC, Hillis AE, Tsapkini K. Treatment of Primary Progressive Aphasia. Curr
Treat Options Neurol. 2015 Aug;17(8):362.
12. Sul B, Kim JS, Hong BY, et al. The prognosis and recovery of aphasia related to
stroke lesion. Ann Rehabil Med. Korea, 2016;40(5):786-793

21

Anda mungkin juga menyukai