PERITONITIS
Disusun Oleh :
dr. Selly Christine Waruwu
Pembimbing :
dr. Cahyo Nurallam,Sp.B
Topik Peritonitis
Tanggal Kasus : Presenter : dr. Selly Christine Waruwu
Tanggal Presentasi : 15 April 2020 Pembimbing : dr. Cahyo Nurallam,Sp.B
Tempat Presentasi : Rumah Sakit dr.Darsono Pacitan
Obyektif Presentasi :
R Keilmuan £ Keterampilan £ Penyegaran R Tinjauan Pustaka
RDiagnosis R Manajemen RMasalah £ Istimewa
£ Neonatus £ Bayi RAnak £ Remaja £Dewasa £ Lansia
£ Bumil
- Toraks
(Cor)
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Kesan kardiomegali (-)
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
(Pulmo)
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan-kiri simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri sama, simetris
Perkusi : Redup pada kedua lapang paru bawah
Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang paru bawah,
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
- Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, distensi (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), hepatomegaly (-),
splenomegaly (-), defense muscular (+) seluruh lapang
perut.
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 4x/menit
- Ekstremitas
Superior Inferior
Akral Hangat +/+ +/+
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Rash - -
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 22/04/2019
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 16 g/dL 12 – 16
Leukosit 3.7 103/uL 4 – 10
Hematokrit 43.5 % 37 – 50
Trombosit 78 103/uL 150 – 450
Eritrosit 5.03 106/uL 3,8 – 5,8
Hasil Pembelajaran:
RDW-CV 13.1 % 11 - 16
1. Definisi Peritonitis
RDW-SD 44.9 fL 35 - 56
2. Klinis dan Penegakan Diagnosis Peritonitis
MCV pada pasien Peritonitis 86.4
3. Tatalaksana fL 80 – 100
MCH 31.8 Pcg 27-34
4. Edukasi dan Komplikasi dari Peritonitis
MCHC 36.8 g/dL 32-36
Rangkuman
Lymph#Pembelajaran Portofolio:0.6 103/uL 0.8 – 4.0
1. Subjective
Mid# 0.3 103/uL 0.1 – 1.5
Dari anamnesis didapatkan pasien mengaku mengalami3 demam sejak 3 hari yang lalu,
Gran# 2.8 10 /uL 2.0 – 7.0
Lymph% 17.0 % 20 – 40
Mid% 7.9 % 3.0 – 15.0
Gran% 75.1 % 50 - 70
terus menerus disertai dengan keluhan lemas, tidak nafsu makan, mual, nyeri di belakang
mata, nyeri sendi dan sakit kepala. Gejala demam tersebut khas pada pasien demam
berdarah.
2. Objective
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital
pasien didapatkan suhu 38.5 oC yang menandakan pasien sedang mengalami demam.
Dalam perjalanan penyakit DHF, pasien sedang berada pada fase demam. Dari
pemeriksaan fisik head to toe dalam batas normal. Dari hasil Lab darah lengkap
menunjukkan nilai trombosit 78 dan WBC 3,7.
3. Assessment
Laki-laki, 31 tahun dengan DHF grade 1.
4. Diagnosa
Diagnosis Kerja:
Dengue Haemorrhagic Fever Grade 1
5. Plan
IGD
Non-medika Mentosa:
- Rawat Inap
- Observasi KU dan TTV pasien
Medikamentosa:
- Loading Cairan RL 500 cc
Ruangan
Non-medika Mentosa:
- Observasi TTV
- Diet Bubur
- Cek DL @ 24 jam
Medikamentosa:
- IVFD RL 20 tpm
- Vit B Complex 1x1tab
- PCT 3x500mg
- Domperidone 3x10mg
- Ondansetron 3x4mg
Rencana Edukasi:
- Edukasi mengenai diagnosa saat ini kepada pasien.
- Edukasi mengenai pengobatan pada pasien.
Rencana Konsultasi:
- Konsultasi dokter spesialis Penyakit Dalam untuk mendapatkan penatalaksanaan lebih
lanjut.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. Peritonitis sekunder Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama,
diantaranya adalah:
invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus genitourinarius
ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks, perforasi gaster, perforasi
kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.
Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi pankreatitis,
atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters Terapi dilakukan dengan pembedahan
untuk menghilangkan penyebab infeksi (usus, appendiks, abses), antibiotik, analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri, dan cairan intravena untuk mengganti kehilangan cairan.
Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif
secara non operatif dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan
efektif sebagai terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai kelainan dari organ
visera akibat infeksi intra-abdomen
cara operatif dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera akibat
infeksi intra abdomen Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain
adalah syok septik, abses, perlengketan intraperitoneal. 3. Peritonitis tersier biasanya terjadi
pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien
imunokompromise. Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu
coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan candida,
mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada
dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan
dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan
berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya adalah peritonitis berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier
ini sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.
2.3 Epidemiologi
Peritonitis primer pada anak-anak jarang terjadi, kurang dari 1% dari seluruh kasus dan lebih
sering terjadi pada anak perempuan usia di bawah 10 tahun. Pada pasien anak perempuan, kondisi
lingkungan yang alkali dari traktus genitalis dapat mendukung terjadinya infeksi ascendens.
Kejadian peritonitis primer pada anak-anak dengan sindroma nefotik adalah rendah dan tidak
sampai melebihi 5% kasus. Sekitar seperempat pasien sirosis hepatis dengan asites menderita
Spontanueous Bacterial Peritonitis (SBP). Walaupun etiologi dan insiden gagal hepar pada anak-
anak dan dewasa berbeda, insiden terjadinya SBP pada pasien dengan asites pada kelompok anak-
anak dan dewasa secara kasar sama, dengan 2 karakteristik puncak usia pada anak-anak, yaitu
periode neonatal dan 5 tahun. (Daley, et al., 2013).
Peritonitis sekunder yang disebabkan oleh perforasi organ berongga masih menyebabkan
mortalitas yang tinggi dan memerlukan tindakan pembedahan. Dalam sebuah studi, penyebab
paling sering peritonitis sekunder, diantaranya perforasi ulkus peptikum (64%), diikuti oleh
perforasi usus kecil (24%), dan perforasi appendicitis (12%). (Ramachandra, et al., 2007). Insiden
tertinggi peritonitis sekunder didapatkan pada diamati pada kelompok usia 21 sampai 30 tahun
(32%), diikuti oleh 31 sampai 40 tahun (26%). Insiden puncak di kalangan kelompok usia ini di
negara berkembang sering disebabkan oleh ulkus peptikum. Pria yang paling sering terkena,
dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 9:1, yang sedikit lebih tinggi daripada apa yang telah
dilaporkan dalam literatur sebelumnya, 3:01 atau 4:01 atau 5:01 laki-laki terhadap perempuan.
(Ramachandra, et al., 2007). Kebanyakan pasien dengan peritonitis tersier mengalami gangguan
pertahanan tubuh yang signifikan, yang menyebabkan mikroorganisme dengan patogenik yang
rendah untuk proliferasi dan menyebabkan penyakit ini. Tipe peritonitis ini yang paling banyak
menyebabkan mortaliitas dalam kasus infeksi intra-abdominal. (Marshall., 2004)
2.4 Patofisiologi Peritonitis
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen, ruptur
saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan
fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus,
atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat
serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan
usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi
peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan
peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat
bakteri masuk ke dalam pembuluh darah
2.9 Tatalaksana
Terapi Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan
pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra abdomen
adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi
Intervensi Non Operatif Dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan
ekstraperitoneal. Keefektifan teknik ini dapat menunda pembedahan sampai proses akut
dan sepsis telah teratasi, sehingga pembedahan dapat dilakukan secara elektif. Hal-hal yang
menjadi alasan ketidakberhasilan intervensi non-operatif ini antara lain fistula enteris,
keterlibatan pankreas, abses multipel. Terapi intervensi non-operatif ini umumnya berhasil
pada pasien dengan abses peritoneal yang disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis,
divertikulitis). Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses
melalui drainase percutaneus dan tidak ada gangguan patologis dari organ intraabdomen
lain yang memerlukan pembedahan, maka drainase perkutaneus ini dapat digunakan
dengan aman dan efektif sebagai terapi utama. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain
perdarahan, luka dan erosi, fistula.
Terapi Operatif Cara ini adalah yang paling efektif. Pembedahan dilakukan dengan dua
cara, pertama, bedah terbuka, dan kedua, laparoskopi.
PrognosaTergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan terapi.
Prognosa baik pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa buruk pada peritonitis general.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA