Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

PERITONITIS

Disusun Oleh :
dr. Selly Christine Waruwu

Pembimbing :
dr. Cahyo Nurallam,Sp.B

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT dr.DARSONO PACITAN
PERIODE: 21 NOVEMBER 2019 – 21 NOVEMBER 2020
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Nama : dr. Selly Christine Waruwu


Judul/Topik : Peritonitis

Nama Pembimbing : dr. Cahyo Nurallam,Sp.B


Nama Wahana : Rumah Sakit dr,Darsono Pacitan

Nama Pendamping : dr. Fajar Dian


Nama Wahana : Rumah Sakit dr,Darsono Pacitan
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Dokter Pembimbing Dokter Pendamping

dr. Cahyo Nurallam,Sp.B dr. Fajar Dian


BAB 1
LAPORAN KASUS

KASUS 1 (Ilmu Bedah)

Topik Peritonitis
Tanggal Kasus : Presenter : dr. Selly Christine Waruwu
Tanggal Presentasi : 15 April 2020 Pembimbing : dr. Cahyo Nurallam,Sp.B
Tempat Presentasi : Rumah Sakit dr.Darsono Pacitan
Obyektif Presentasi :
R Keilmuan £ Keterampilan £ Penyegaran R Tinjauan Pustaka
RDiagnosis R Manajemen RMasalah £ Istimewa
£ Neonatus £ Bayi RAnak £ Remaja £Dewasa £ Lansia
£ Bumil

£ Deskripsi: Laki-laki, Anak

£ Tujuan: Diagnosis dan Manajemen Peritonitis


Bahan Bahasan : £ Tinjauan Pustaka £ Riset R Kasus £ Audit
Cara Membahas : RDiskusi RPresentasi £ E-mail £ Pos
Data Pasien
Nama: Tn. SAJ Usia: 8 tahun Nomor RM: 29-95-88 Alamat: Ngile,Tulakan
Data Utama untuk Bahan Diskusi:
A. Anamnesis
 Keluhan Utama: Nyeri Perut
 Keluhan Tambahan: Mual,Demam,Sulit BAB dan flatus
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RS dr.Darsono Pacitan dengan keluhan utama nyeri seluruh lapang
perut selama 1 hari disertai dengan mual,demam serta sulit BAB dan flatus ,Pasien
sebelumnya 6 hari yang lalu keluhan nyeri pada perut kanan bawah.lalu berobat setelah 2
hari kepuskesmas Tulakan dan diberi obat, keluhan membaik namun nyeri masih hilang
timbul dan menjadi bertambah parah. Muntah (-),BAK normal.
 Riwayat Pengobatan:
OS sudah berobat ke Puskesmas Tulakan,

 Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien menyangkal riwayat keluhan serupa, riwayat rawat inap, riwayat alergi dan
penyakit lainnya.
 Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien mengaku di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
 Riwayat Kebiasaan:
Pasien suka jajan sembarangan dan pedas.
B. Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis:

- Keadaan umum : Tampak sakit sedang


- Kesadaran : Compos Mentis
- GCS : E4V5 M6 = 15
- Vital sign
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Nadi : 78 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 37.8 o C

- Kepala : Normosefali, deformitas (-)


Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis -/ -, sklera ikterik - / -, cekung -/-,
sekret -/-, injeksi konjungtiva -/-, air mata +/+
Telinga : Simetris, MAE hiperemis -/-, serumen +/+, sekret -/-
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa oral kering, tifoid tongue (-), sianosis (-),
faring hiperemis (-)
- Leher
Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Trakhea : di tengah

- Toraks
(Cor)
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Kesan kardiomegali (-)
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
(Pulmo)
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan-kiri simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri sama, simetris
Perkusi : Redup pada kedua lapang paru bawah
Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang paru bawah,
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

- Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, distensi (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), hepatomegaly (-),
splenomegaly (-), defense muscular (+) seluruh lapang
perut.
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 4x/menit

- Ekstremitas
Superior Inferior
Akral Hangat +/+ +/+
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Rash - -
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 22/04/2019

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hemoglobin 16 g/dL 12 – 16
Leukosit 3.7 103/uL 4 – 10
Hematokrit 43.5 % 37 – 50
Trombosit 78 103/uL 150 – 450
Eritrosit 5.03 106/uL 3,8 – 5,8
Hasil Pembelajaran:
RDW-CV 13.1 % 11 - 16
1. Definisi Peritonitis
RDW-SD 44.9 fL 35 - 56
2. Klinis dan Penegakan Diagnosis Peritonitis
MCV pada pasien Peritonitis 86.4
3. Tatalaksana fL 80 – 100
MCH 31.8 Pcg 27-34
4. Edukasi dan Komplikasi dari Peritonitis
MCHC 36.8 g/dL 32-36
Rangkuman
Lymph#Pembelajaran Portofolio:0.6 103/uL 0.8 – 4.0
1. Subjective
Mid# 0.3 103/uL 0.1 – 1.5
Dari anamnesis didapatkan pasien mengaku mengalami3 demam sejak 3 hari yang lalu,
Gran# 2.8 10 /uL 2.0 – 7.0
Lymph% 17.0 % 20 – 40
Mid% 7.9 % 3.0 – 15.0
Gran% 75.1 % 50 - 70
terus menerus disertai dengan keluhan lemas, tidak nafsu makan, mual, nyeri di belakang
mata, nyeri sendi dan sakit kepala. Gejala demam tersebut khas pada pasien demam
berdarah.
2. Objective
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital
pasien didapatkan suhu 38.5 oC yang menandakan pasien sedang mengalami demam.
Dalam perjalanan penyakit DHF, pasien sedang berada pada fase demam. Dari
pemeriksaan fisik head to toe dalam batas normal. Dari hasil Lab darah lengkap
menunjukkan nilai trombosit 78 dan WBC 3,7.

3. Assessment
Laki-laki, 31 tahun dengan DHF grade 1.
4. Diagnosa
Diagnosis Kerja:
 Dengue Haemorrhagic Fever Grade 1

5. Plan

IGD
Non-medika Mentosa:
- Rawat Inap
- Observasi KU dan TTV pasien
Medikamentosa:
- Loading Cairan RL 500 cc
Ruangan
Non-medika Mentosa:
- Observasi TTV
- Diet Bubur
- Cek DL @ 24 jam
Medikamentosa:
- IVFD RL 20 tpm
- Vit B Complex 1x1tab
- PCT 3x500mg
- Domperidone 3x10mg
- Ondansetron 3x4mg

Rencana Edukasi:
- Edukasi mengenai diagnosa saat ini kepada pasien.
- Edukasi mengenai pengobatan pada pasien.
Rencana Konsultasi:
- Konsultasi dokter spesialis Penyakit Dalam untuk mendapatkan penatalaksanaan lebih
lanjut.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Peritonitis


Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga
abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan
merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses
infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon,
maupun non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster,
keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu.

2.2 Etiologi dan Klasifikasi Peritonitis


Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi ke dalam lingkungan rongga peritoneum
yang steril melalui perforasi usus, misalnya ruptur dari apendiks dan divertikel kolon.
Bahan kimia yang dapat mengiritasi peritoneum, misalnya asam lambung dari perforasi
gaster atau empedu dari perforasi kantung empedu atau laserasi hepar.
Peritonitis diklasifikasikan menjadi:
A. Menurut agens
1. Peritonitis kimia, misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan
empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
2. Peritonitis septik, merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada
perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan
peradangan.
B. Menurut sumber kuman
1. Peritonitis primer Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran
secara hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP).
Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau
nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial pada
rongga peritoneum. Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh
bakteri gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus) , bakteri gram
positif ( streptococcus pneumonia, staphylococcus). Peritonitis primer dibedakan menjadi:
*Spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman
tuberkulosa.
* Non- spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik, misalnya
kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.

2. Peritonitis sekunder Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama,
diantaranya adalah:
 invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus genitourinarius
ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks, perforasi gaster, perforasi
kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.
 Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi pankreatitis,
atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
 Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters Terapi dilakukan dengan pembedahan
untuk menghilangkan penyebab infeksi (usus, appendiks, abses), antibiotik, analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri, dan cairan intravena untuk mengganti kehilangan cairan.
Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif
 secara non operatif dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan
efektif sebagai terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai kelainan dari organ
visera akibat infeksi intra-abdomen
 cara operatif dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera akibat
infeksi intra abdomen Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain
adalah syok septik, abses, perlengketan intraperitoneal. 3. Peritonitis tersier biasanya terjadi
pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien
imunokompromise. Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu
coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan candida,
mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada
dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan
dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan
berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya adalah peritonitis berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier
ini sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.

2.3 Epidemiologi
Peritonitis primer pada anak-anak jarang terjadi, kurang dari 1% dari seluruh kasus dan lebih
sering terjadi pada anak perempuan usia di bawah 10 tahun. Pada pasien anak perempuan, kondisi
lingkungan yang alkali dari traktus genitalis dapat mendukung terjadinya infeksi ascendens.
Kejadian peritonitis primer pada anak-anak dengan sindroma nefotik adalah rendah dan tidak
sampai melebihi 5% kasus. Sekitar seperempat pasien sirosis hepatis dengan asites menderita
Spontanueous Bacterial Peritonitis (SBP). Walaupun etiologi dan insiden gagal hepar pada anak-
anak dan dewasa berbeda, insiden terjadinya SBP pada pasien dengan asites pada kelompok anak-
anak dan dewasa secara kasar sama, dengan 2 karakteristik puncak usia pada anak-anak, yaitu
periode neonatal dan 5 tahun. (Daley, et al., 2013).
Peritonitis sekunder yang disebabkan oleh perforasi organ berongga masih menyebabkan
mortalitas yang tinggi dan memerlukan tindakan pembedahan. Dalam sebuah studi, penyebab
paling sering peritonitis sekunder, diantaranya perforasi ulkus peptikum (64%), diikuti oleh
perforasi usus kecil (24%), dan perforasi appendicitis (12%). (Ramachandra, et al., 2007). Insiden
tertinggi peritonitis sekunder didapatkan pada diamati pada kelompok usia 21 sampai 30 tahun
(32%), diikuti oleh 31 sampai 40 tahun (26%). Insiden puncak di kalangan kelompok usia ini di
negara berkembang sering disebabkan oleh ulkus peptikum. Pria yang paling sering terkena,
dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 9:1, yang sedikit lebih tinggi daripada apa yang telah
dilaporkan dalam literatur sebelumnya, 3:01 atau 4:01 atau 5:01 laki-laki terhadap perempuan.
(Ramachandra, et al., 2007). Kebanyakan pasien dengan peritonitis tersier mengalami gangguan
pertahanan tubuh yang signifikan, yang menyebabkan mikroorganisme dengan patogenik yang
rendah untuk proliferasi dan menyebabkan penyakit ini. Tipe peritonitis ini yang paling banyak
menyebabkan mortaliitas dalam kasus infeksi intra-abdominal. (Marshall., 2004)
2.4 Patofisiologi Peritonitis
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen, ruptur
saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan
fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus,
atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat
serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan
usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi
peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan
peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat
bakteri masuk ke dalam pembuluh darah

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan terus-
menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen.
Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita bergerak. Gejala lainnya meliputi:  Demam
Temperatur lebih dari 380C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia  Mual dan muntah
Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi peritoneum  Adanya
cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma mengakibatkan kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan hipovolemik intravaskular.
Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin dan syok.  Distensi
abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising usus  Rigiditas abdomen
atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter
sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai
respon terhadap iritasi peritoneum  Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)  Takikardi, akibat pelepasan
mediator inflamasi  Tidak dapat BAB/buang angin. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik pada
peritonitis dilakukan dengan cara yang sama seperti pemeriksaan fisik lainnya yaitu dengan: 1.
inspeksi  pasien tampak dalam mimik menderita  tulang pipi tampak menonjol dengan pipi
yang cekung, mata cekung  lidah sering tampak kotor tertutup kerak putih, kadang putih
kecoklatan  pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal tidak tampak karena
dengan pernafasan abdominal akan terasa nyeri akibat perangsangan peritoneum.  Distensi
perut 2. palpasi * nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler positif 3. auskultasi * suara bising
usus berkurang sampai hilang 4. perkusi * nyeri ketok positif * hipertimpani akibat dari perut yang
kembung * redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara sehingga udara akan
mengisi rongga peritoneal, pada perkusi hepar terjadi perubahan suara redup menjadi timpani
Pada rectal touche akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus sfingter ani menurun
dan ampula recti berisi udara. DIAGNOSA Anamnesa yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes
diagnostik tambahan sangat diperlukan untuk membuat suatu diagnosis yang tepat sehingga
pasien dapat di terapi dengan benar. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada pemeriksaan laboratorium
didapat:  lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/...L ) dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
Pada pasien dengan sepsis berat, pasien imunokompromais dapat terjasi lekopenia.  Asidosis
metabolik dengan alkalosis respiratorik. Pada foto polos abdomen didapatkan:  Bayangan
peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang  Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus
merata, berbeda dengan gambaran ileus obstruksi  Penebalan dinding usus akibat edema 
Tampak gambaran udara bebas  Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga pasien
perlu dikoreksi cairan, elektrolit, dan asam basanya agar tidak terjadi syok hipovolemik
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen, CT scan, dan MRI.
Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL) Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera
intra abdomen setelah trauma tumpul yang disertai dengan kondisi: Hilangnya kesadaran,
intoksikasi alkohol, perubahan sensori, misalnya pada cedera medula spinalis, cedera pada costae
atau processus transversus vertebra. Tehnik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan rongga
perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis sampai 1.000 ml melalui kanul, setelah
sebelumnya pada pengisapan tidak ditemukan darah atau cairan. Pada DPL dilakukan analisis
cairan kualitatif dan kuantitatif, hal-hal yang perlu dianalisis antara lain: kadar pH, glukosa,
protein, LDH, hitung sel, gram stain, serta kultur kuman aerob dan anaerob. Pada peritonitis
bakterialis, cairan peritonealnya menunjukkan kadar pH ≤ 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL
dengan kadar protein dan LDH yang meningkat. Tehnik ini dikontraindikasikan pada kehamilan,
obesitas, koagulopati dan hematom yang signifikan dengan dinding abdomen.

2.9 Tatalaksana
Terapi Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan
pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra abdomen
adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi

Terapi terbagi menjadi:


 Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk mengontrol infeksi,
perawatan intensif mempertahankan hemodinamik tubuh misalnya pemberian cairan
intravena untuk mencegah dehidrasi, pengawasan nutrisi dan ikkeadaan metabolik,
pengobatan terhadap komplikasi dari peritonitis (misalnya insufisiensi respiratorik atau
ginjal), serta terapi terhadap inflamasi yang terjadi.
 Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses percutaneus dan
percutaneus and endoscopic stent placement.
 Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi sumber infeksi,
misalnya apendisitis, ruptur organ intra-abomen Bila semua langkah-langkah terapi di atas
telah dilaksanakan, pemberian suplemen, antara lain glutamine, arginine, asam lemak
omega-3 dan omega-6, vitamin A, E dan C, Zinc dapat digunakan sebagai tambahan untuk
mempercepat proses penyembuhan.

Terapi antibiotic Pada SBP (Spontaneus Bacterial Peritonitis), pemberian antibiotik


terutama adalah dengan Sefalosporin gen-3, kemudian diberikan antibiotik sesuai dengan
hasil kultur. Penggunaan aminolikosida sebaiknya dihindarkan terutama pada pasien
dengan gangguan ginjal kronik karena efeknya yang nefrotoksik. Lama pemberian terapi
biasanya 5-10 hari. Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik sistemik ada pada
urutan ke-dua. Untuk infeksi yang berkepanjangan, antibiotik sistemik tidak efektif lagi,
namun lebih berguna pada infeksi akut. Pada infeksi inta-abdominal berat, pemberian
imipenem, piperacilin/tazobactam dan kombinasi metronidazol dengan aminoglikosida.

Intervensi Non Operatif Dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan
ekstraperitoneal. Keefektifan teknik ini dapat menunda pembedahan sampai proses akut
dan sepsis telah teratasi, sehingga pembedahan dapat dilakukan secara elektif. Hal-hal yang
menjadi alasan ketidakberhasilan intervensi non-operatif ini antara lain fistula enteris,
keterlibatan pankreas, abses multipel. Terapi intervensi non-operatif ini umumnya berhasil
pada pasien dengan abses peritoneal yang disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis,
divertikulitis). Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses
melalui drainase percutaneus dan tidak ada gangguan patologis dari organ intraabdomen
lain yang memerlukan pembedahan, maka drainase perkutaneus ini dapat digunakan
dengan aman dan efektif sebagai terapi utama. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain
perdarahan, luka dan erosi, fistula.

Terapi Operatif Cara ini adalah yang paling efektif. Pembedahan dilakukan dengan dua
cara, pertama, bedah terbuka, dan kedua, laparoskopi.
PrognosaTergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan terapi.
Prognosa baik pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa buruk pada peritonitis general.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai