“Status Epileptikus”
Pembimbing :
Disusun oleh :
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
REFERAT........................................................................................................................................4
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. DEFINISI
2.2. EPIDEMIOLOGI
2.3. ETIOLOGI
Etiologi status epileptikus tergantung usia dan menentukan prognosis. Setelah usia 60
tahun penyakit serebrovaskular beresiko menimbulkan kejang. Penelitian yang dipimpin oleh
Richmon di Virginia USA, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun yang menderita status
epileptikus, 35% di antaranya disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA). Etiologi
lainnya hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.4
Penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi bahwa dementia
ditambahkan dalam daftar penyebab status epileptikus. Penelitian di California juga
mengidentifikasistroke sering menyebabkan generalized status epilepticus (GSE).4
2.4. KLASIFIKASI7
Berdasarkan lokasi, awal bangkitan status epileptikus terjadi dari area tertentu di
korteks ( Partial Onset ) atau kedua hemisfer otak ( Generalized onset ) sedangkan jika
berdasarkan pengamatan klinis, status epileptikus terbagi atas konvulsif (bangkitan umum
tonik-klonik) dan non-konvulsif (bangkitan bukan umum tonik-klonik).
Banyak pendekatan klinis yang diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus
yaitu status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status
epileptikus parsial (sederhana dan kompleks).
2.5. PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di
mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik,
sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.3
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut: 3
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
2.7. DIAGNOSIS
2.7.1 Anamnesis
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa, dan kesalahan-
kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan diagnosis pada pasien dengan
epilepsi bergantung terutama pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien
maupun dari saksi. Hal ini mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang
harus menelusuri secara teliti tentang bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama
(apabila pasien sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas
tentang apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang tidak
dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan gejala klinis yang ada melalui penilaian
serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan untuk menunjang perkiraan
diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis. Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih
sulit dilakukan pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.10
Gejala klinis yang dapat dilihat secara nyata adalah kejang dengan tonik, klonik, atau
tonik-klonik pada gerakan tungkai. Pasien mungkin hanya menunjukkan gerakan kejang
dengan amplitudo yang kecil pada wajahnya, tangan, kaki dan sentakan nistagmoid pada
kedua matanya. Jika kejang ini berhenti, pasien akan tetap dalam kondisi tidak sadar dan
tidak memberikan respon atau kemungkinan pasien bingung kemudian kejang kembali
terjadi.8
Pada pemeriksaan neurologis, pasien tidak akan memberikan respon terhadap
komando verbal. Dia akan meningkatkan atau menurunkan tonus otot, dengan gerakan yang
tidak perlu pada tungkai, dan akan memperlihatkan refleks Babinski positif. Umumnya, tanda
neurologis yang ditemukan bersifat simetris.8
Kadang-kadang terdapat pasien dengan kebingungan yang menetap, gangguan
kesadaran, dan mampu menggerakkan kaki dan berjalan yang dimiliki oleh pasien status
epileptikus yang disebut juga status epileptikus non-konvulsif (complex partial epilepticus).
Pada pasien seperti ini, gambaran hasil EEG yang abnormal dan terjadi secara persisten dan
spesifik, menegakkan diagnosis.8
Uraian di bawah ini dapat menjelaskan tentang diagnosis diferensial pada epilepsi
bentuk lain.10
1. Bangkitan tonik-klonik harus dibedakan dari penyebab serangan gangguan kesadaran
lainnya. Gangguan kardiovaskuler adalah penentu utama yakni berupa pusing biasa
dan pingsan vasovagal pada pasien yang muda, aritmia, dan hipotensi postural pada
pasien yang tua. Kebingungan seringkali terjadi disebabkan oleh kejang mioklonik
singkat yang kadang-kadang disertai pingsan yang disebabkan oleh banyak faktor.
Yang cukup memburamkan diagnosis adalah serangan non-epileptik yang bersifat
psikogenik. Diabetes yang dalam masa terapi harus segera dicurigai merupakan
hipoglikemia. Pada umumnya, menggigit lidah, nafas sesak dan tidak teratur, kejang
hebat, inkontinensia, post-ictal confusion, dan nyeri tungkai merupakan ciri dari
epilepsi tonik-klonik
2. Bangkitan absen atau Absence Seizure memberikan gambaran jelas berupa hilangnya
kesadaran dalam beberapa waktu secara tiba-tiba. Selama hilangnya kesadaran,
penderita seakan-akan sadar namun seperti orang yang menghayal dan tiba-tiba
kembali melanjutkan aktifitas seakan tidak pernah terjadi bangkitan. Namun dagnosis
untuk bangkitan jenis ini diburamkan oleh menghayal dan ketidakfokusan terhadap
lingkungan.
3. Kejang motorik fokal tidak memiliki diagnosis diferensial
4. Kejang sensorik fokal dapat diburamkan oleh transient ischaemic attack tetapi
seringkali terjadi dalam waktu yang lebih singkat dan lebih sering, dan menyebabkan
lebih banyak menyebabkan kesemutan daripada kebas.
5. Kejang lobus frontal dapat diburamkan oleh dystonia. Penyakit ini sendiri
menunjukkan perubahan perilaku yang aneh akibat fungsi lobus frontal yang
terganggu.
6. Kejang lobus temporal harus dibedakan dengan ansietas dan serangan panik.
Serangan yang diprovokasi oleh berbagai penyebab, atau yang lebih dari beberapa
menit, sepertinya tidak disebabkan oleh epilepsi lobus temporal. Serangan yang
melibatkan tingkah laku aneh yang membutuhkan kewaspadaan, pikiran yang jernih
dan/atau tingkah laku yang terkoordinasi dengan baik seperti berkelahi dan merampok
toko tidak menggambarkan epilepsi sama sekali.
Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan, terdapat banyak informasi
lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui anamnesis dan pemeriksaan. Jika serangan tersebut
diduga akan berlanjut sebagai epilepsi, penelusuran harus disusun sesuai dengan penyebab
epilepsi. Epilepsi umum primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan absen dan mioklonik,
dengan atau tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan dengan keluarga, sehingga bertanya
mungkin akan mengungkap anggota keluarga lainnya yang juga menderita serangan epilepsi.
Epilepsi fokal bentuk apapun memperlihatkan adanya patologi intrakranial. Patologi paling
umum yang dimaksud adalah pembentukan jaringan ikat pada satu daerah yang merupakan
kelanjutan dari beberapa proses perjalanan penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-
kadang serangan epilepsi mungkin terjadi ketika terdapat proses patologi yang masih
berlangsung di fase aktif.10
- Setelah trauma otak saat melahirkan;
- Setelah trauma pada otak dan kepala;
- Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
- Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau perdarahan sub
arachnoid;
- Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.
Kadang-kadang epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak seperti:
- Selama putus konsumsi obat dan alkohol;
- Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;
- Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.
Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang dicetuskan oleh tumor
otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang tidak sering menyebabkan epilepsi, namun
tidak boleh disingkirkan tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya
dimulai pada umur dewasa, khususnya dengan tanda-tanda defisit neurologis fokal dan
terasosiasi, kemungkinan besar disebabkan oleh tumor.10
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu dintanyakan kepada
pasien maupun saksi:10
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu maupun
negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya. Perekaman EEG yang
dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering, karena
memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun
masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam
sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada
pemeriksaan EEG.10
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah bagian yang
penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak
menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi
dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan
informasi yang dibutuhkan.10
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di atas,
memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama untuk menegakkan
diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.10
2.8. PENATALAKSANAAN11
Prinsip:
1. Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawadaruratan umum (ABC)
2. Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi simultan
3. Mecegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit
4. Mengatasi factor pencetus
Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya perawatan
dilakukan di ICU
2.9. PROGNOSIS
Prognosis status epileptikus bergantung pada respon terhadap pengobatan. Dalam studi
yang dilakukan oleh Koperasi SE Veteran Affairs menunjukkan bahwa sebesar 56% dari
pasien yang terdiagnosis jelas mengalami GCSE (General Convulsive Status Epilepticus)
yang memberikan respon terhadap pengobatan tahap awal. Sedangkan untuk jenis status
epileptikus halus (Subtle SE) hanya 15% pasien yang menanggapi pengobatan awal. Sehingga
jelas terlihat bahwa prognosis juga tergantung terhadap baik buruknya respon pasien terhadap
pengobatan yang diberikan. Semakin rendah respon terhadap pengobatan, semakin buruk
prognosis.7
2.10. KOMPLIKASI
Komplikasi status epileptikus bervariasi. Komplikasi sistemik meliputi hipertermia,
asidosis, hipotensi, kegagalan pernapasan , rabdomiolisis, serta aspirasi. 7
BAB III
KESIMPULAN
Status epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus ditangani segera
dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada sistem homeostasis tubuh,
kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan kematian. Penanganannya tidak hanya
menghentikan kejang yang sedang berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit
dasar dari status tersebut. seperti umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan,
durasi dari status epileptikus, dan lamanya onset sampai penanganan merupakan faktor
prognostik penting.
Dengan lebih dipahaminya dasar dari patofisologi penyakit ini maka diharapkan
prognosis pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Deshpande LS, Lou JK, Mian A, Blair RE, Sombati S, Attkisson E, et al. Time course
and mechanism of hippocampal neuronal death in an in vitro model of status
epilepticus: Role of NMDA receptor. Eur J Pharmacol 2008;583(1):73-83.
2. Medscape Emedicine. Apr 11, 2014. Status Epileptic http://emedicine.medscape.com
diakses pada 5 Juni 2021 17.03 WIB.
3. Lombardo MC. Gangguan kejang. In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi. 6
ed. Jakarta: EGC; 2005. p. 1158-1161.
4. Assis TMRd, Costa G, Bacellar A, Orsini M, Nascimento OJM. Status epilepticus in
the elderly: epidemiology, clinical aspects and treatment. Neurology 2012;4(17):78-
84.
5. Standar Pelayanan Medik (SPM) Perdossi. Jakarta: Perdossi 2008
6. Hughes R. Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.
7. Medscape Reference. May 26, 2011. Status Epileptikus.