Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

“Status Epileptikus”

Pembimbing :

dr. Linda Carolina, Sp.S

Disusun oleh :

Alvionita Citra Mayrani (2016730113)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH R. SYAMSUDIN, SH SUKABUMI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PERIODE 24 MEI – 20 JUNI 2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, karena Rahmat, Anugerah
dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Referat yang berjudul “Status
Epileptikus”. Laporan referat ini disusun sebagai salah satu syarat tugas pada stase Ilmu
Kesehatan Saraf di RSUD R. Syamsudin, SH Sukabumi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam Referat ini, baik dari materi
maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak yang membaca referat ini.
Wassalamua’alaikum Wr. Wb

Sukabumi, Juni 2021


Penulis

Alvionita Citra Mayrani


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
REFERAT........................................................................................................................................4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan yang mewakili keadaan
darurat medis dan neurologis. Menurut International League Against Epilepsy, status
epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau
lebih.1
Studi berbasis populasi di Richmond, VA, Delorenzo et al., memperkirakan bahwa
50,000-200,000 kasus status epileptikus terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. 2 Angka
kematian untuk status epileptikus cukup tinggi, sekitar 22%-25% walaupun dengan terapi
obat agresif. Aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit dan usia lanjut adalah
faktor yang berperan memperburuk diagnosis.3
Berdasarkan gejala kejang yang menyertainya, status epileptikus diklasifikasikan
menjadi tiga yakni status epileptikus konvulsif, status epileptikus non-konvulsif, dan status
epileptikus refrakter.4 Kejang tonik klonik pada status epileptikus konvulsif menandakan
keberlanjutan aktivitas kejang. Hal ini tidak terjadi pada status epileptikus non konvulsif. 3
Etiologi terjadinya status epileptikus adalah usia, penyakit cerebrovskular, hipoksia,
gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.4
Pada status epileptikus, baik konvulsif maupun non-konvulsif, tujuan pengobatan
adalah untuk menghentikan secepatnya aktivitas kejang. Diperlukan penatalaksanaan yang
agresif. Obat yang sering digunakan adalah golongan benzodiazepine, fosfeitoin dan
fenobarbital. The American Acedemy of Neurology merekomendasi bahwa semua pasien
status epileptikus juga mendapat tiamin (vitamin B1) dan dektrosa 50%.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Status epileptikus menurut Epilepsy Foundation of America’s Working Group on


Stastus Epileptic adalah sebagai bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit atau dua
atau lebih bangkitan, dimana diantara dua bangkitan tidak terdapat pemulihan kesadaran.
Penanganan kejang harus dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu kejang.5

2.2. EPIDEMIOLOGI

Jumlah kasus status epileptikus di Amerika Serikat berdasarkan studi epidemiologi


yaitu sekitar 102.000-152.000 episode per-tahun dan sebanyak 55.000 kematian per-tahun
telah dikaitkan dengan status epileptikus.1 Status epileptikus merupakan keadaan kejang terus
menerus, dengan kejadian tahunan berkisar 10-86 per 100.000 orang.6

2.3. ETIOLOGI

Etiologi status epileptikus tergantung usia dan menentukan prognosis. Setelah usia 60
tahun penyakit serebrovaskular beresiko menimbulkan kejang. Penelitian yang dipimpin oleh
Richmon di Virginia USA, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun yang menderita status
epileptikus, 35% di antaranya disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA). Etiologi
lainnya hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.4
Penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi bahwa dementia
ditambahkan dalam daftar penyebab status epileptikus. Penelitian di California juga
mengidentifikasistroke sering menyebabkan generalized status epilepticus (GSE).4

2.4. KLASIFIKASI7

Berdasarkan lokasi, awal bangkitan status epileptikus terjadi dari area tertentu di
korteks ( Partial Onset ) atau kedua hemisfer otak ( Generalized onset ) sedangkan jika
berdasarkan pengamatan klinis, status epileptikus terbagi atas konvulsif (bangkitan umum
tonik-klonik) dan non-konvulsif (bangkitan bukan umum tonik-klonik).
Banyak pendekatan klinis yang diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus
yaitu status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status
epileptikus parsial (sederhana dan kompleks).

2.5. PATOFISIOLOGI

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di
mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik,
sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.3
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut: 3
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang


sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron.
Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel
saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis
(CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama
aktifitas kejang.3
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada
metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya
sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut
lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.3
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus
melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi
eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus
menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan
penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus lebih
efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.8
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik seperti
hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat mempertahankan
homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen.
Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam
kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat
sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30
menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi,
leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.8
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja nampak
cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak (Cerebral
Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di antaranya
terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia - yang mungkin
berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang menyebabkan
kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja - yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal
bebas yang menghasilkan super-radical. Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino
eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan
yang dimediasi oleh glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di hipokampus.
Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron setidaknya 1000
kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang, receptor-gated calcium channel terbuka
mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini
akan semakin meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus
terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.9

2.6. MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis status epileptikus berbeda tergantung pada masing-masing jenisnya.
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan
kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.7

A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status


Epilepticus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau
kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik
umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran di antara serangan dan peningkatan frekuensi.7
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis
selama fase ini, diikuti oleh hiperpnea dengan retensi karbondioksida. Adanya takikardi dan
peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan
peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis
respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus
yang tidak tertangani.7

B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epilepticus)


Ada kalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului
fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.8

C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epilepticus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
dari Lenox-Gestaut Syndrome.7

D. Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselopati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosis yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.7

E. Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan
mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum
primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Status epileptikus memberikan
respon yang baik terhadap Benzodiazepin intravena.7

F. Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan
stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized
spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.7

G. Status Epileptikus Parsial Sederhana


a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-
jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin
menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermiten atau gangguan
berbahasa (status afasik).7
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.7

H. Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan di antara episode. Pada SE parsial kompleks juga dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG
terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan
epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG,
tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus
non-konvulsif pada beberapa kasus.7

2.7. DIAGNOSIS

2.7.1 Anamnesis
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa, dan kesalahan-
kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan diagnosis pada pasien dengan
epilepsi bergantung terutama pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien
maupun dari saksi. Hal ini mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang
harus menelusuri secara teliti tentang bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama
(apabila pasien sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas
tentang apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang tidak
dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan gejala klinis yang ada melalui penilaian
serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan untuk menunjang perkiraan
diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis. Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih
sulit dilakukan pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.10
Gejala klinis yang dapat dilihat secara nyata adalah kejang dengan tonik, klonik, atau
tonik-klonik pada gerakan tungkai. Pasien mungkin hanya menunjukkan gerakan kejang
dengan amplitudo yang kecil pada wajahnya, tangan, kaki dan sentakan nistagmoid pada
kedua matanya. Jika kejang ini berhenti, pasien akan tetap dalam kondisi tidak sadar dan
tidak memberikan respon atau kemungkinan pasien bingung kemudian kejang kembali
terjadi.8
Pada pemeriksaan neurologis, pasien tidak akan memberikan respon terhadap
komando verbal. Dia akan meningkatkan atau menurunkan tonus otot, dengan gerakan yang
tidak perlu pada tungkai, dan akan memperlihatkan refleks Babinski positif. Umumnya, tanda
neurologis yang ditemukan bersifat simetris.8
Kadang-kadang terdapat pasien dengan kebingungan yang menetap, gangguan
kesadaran, dan mampu menggerakkan kaki dan berjalan yang dimiliki oleh pasien status
epileptikus yang disebut juga status epileptikus non-konvulsif (complex partial epilepticus).
Pada pasien seperti ini, gambaran hasil EEG yang abnormal dan terjadi secara persisten dan
spesifik, menegakkan diagnosis.8
Uraian di bawah ini dapat menjelaskan tentang diagnosis diferensial pada epilepsi
bentuk lain.10
1. Bangkitan tonik-klonik harus dibedakan dari penyebab serangan gangguan kesadaran
lainnya. Gangguan kardiovaskuler adalah penentu utama yakni berupa pusing biasa
dan pingsan vasovagal pada pasien yang muda, aritmia, dan hipotensi postural pada
pasien yang tua. Kebingungan seringkali terjadi disebabkan oleh kejang mioklonik
singkat yang kadang-kadang disertai pingsan yang disebabkan oleh banyak faktor.
Yang cukup memburamkan diagnosis adalah serangan non-epileptik yang bersifat
psikogenik. Diabetes yang dalam masa terapi harus segera dicurigai merupakan
hipoglikemia. Pada umumnya, menggigit lidah, nafas sesak dan tidak teratur, kejang
hebat, inkontinensia, post-ictal confusion, dan nyeri tungkai merupakan ciri dari
epilepsi tonik-klonik
2. Bangkitan absen atau Absence Seizure memberikan gambaran jelas berupa hilangnya
kesadaran dalam beberapa waktu secara tiba-tiba. Selama hilangnya kesadaran,
penderita seakan-akan sadar namun seperti orang yang menghayal dan tiba-tiba
kembali melanjutkan aktifitas seakan tidak pernah terjadi bangkitan. Namun dagnosis
untuk bangkitan jenis ini diburamkan oleh menghayal dan ketidakfokusan terhadap
lingkungan.
3. Kejang motorik fokal tidak memiliki diagnosis diferensial
4. Kejang sensorik fokal dapat diburamkan oleh transient ischaemic attack tetapi
seringkali terjadi dalam waktu yang lebih singkat dan lebih sering, dan menyebabkan
lebih banyak menyebabkan kesemutan daripada kebas.
5. Kejang lobus frontal dapat diburamkan oleh dystonia. Penyakit ini sendiri
menunjukkan perubahan perilaku yang aneh akibat fungsi lobus frontal yang
terganggu.
6. Kejang lobus temporal harus dibedakan dengan ansietas dan serangan panik.
Serangan yang diprovokasi oleh berbagai penyebab, atau yang lebih dari beberapa
menit, sepertinya tidak disebabkan oleh epilepsi lobus temporal. Serangan yang
melibatkan tingkah laku aneh yang membutuhkan kewaspadaan, pikiran yang jernih
dan/atau tingkah laku yang terkoordinasi dengan baik seperti berkelahi dan merampok
toko tidak menggambarkan epilepsi sama sekali.
Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan, terdapat banyak informasi
lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui anamnesis dan pemeriksaan. Jika serangan tersebut
diduga akan berlanjut sebagai epilepsi, penelusuran harus disusun sesuai dengan penyebab
epilepsi. Epilepsi umum primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan absen dan mioklonik,
dengan atau tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan dengan keluarga, sehingga bertanya
mungkin akan mengungkap anggota keluarga lainnya yang juga menderita serangan epilepsi.
Epilepsi fokal bentuk apapun memperlihatkan adanya patologi intrakranial. Patologi paling
umum yang dimaksud adalah pembentukan jaringan ikat pada satu daerah yang merupakan
kelanjutan dari beberapa proses perjalanan penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-
kadang serangan epilepsi mungkin terjadi ketika terdapat proses patologi yang masih
berlangsung di fase aktif.10
- Setelah trauma otak saat melahirkan;
- Setelah trauma pada otak dan kepala;
- Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
- Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau perdarahan sub
arachnoid;
- Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.
Kadang-kadang epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak seperti:
- Selama putus konsumsi obat dan alkohol;
- Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;
- Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.
Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang dicetuskan oleh tumor
otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang tidak sering menyebabkan epilepsi, namun
tidak boleh disingkirkan tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya
dimulai pada umur dewasa, khususnya dengan tanda-tanda defisit neurologis fokal dan
terasosiasi, kemungkinan besar disebabkan oleh tumor.10
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu dintanyakan kepada
pasien maupun saksi:10
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik sangat penting karena mungkin dapat mengungkapkan tanda
neurologis yang abnormal yang mengindikasikan temuan sebagai berikut:10
- Patologi intrakranial di masa lalu
- Patologi intrakranial yang dialami sekarang
- Perkembangan patologi intrakranial yang dimaksud di atas

2.7.3 EEG dan Pemeriksaan Lainnya


Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe epilepsi
seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG rutin. Namun kejang
tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran aktifitas listrik yang abnormal,
informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan
EEG rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan
terdeteksi dengan hasil yang abnormal.10
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa epilepsi secara
langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu pembedaan
antara kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat10 :
- 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang ringan dan non
spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau kedua lobus temporal-menurut
sumber lain terdapat 2% populasi yang tidak pernah mengeluh kejang memberikan
gambaran anormal pada EEG;
- 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal pada masa
interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan pada periode tidur.

Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu maupun
negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya. Perekaman EEG yang
dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering, karena
memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun
masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam
sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada
pemeriksaan EEG.10
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah bagian yang
penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak
menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi
dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan
informasi yang dibutuhkan.10
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di atas,
memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama untuk menegakkan
diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.10

2.8. PENATALAKSANAAN11

 Prinsip:
1. Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawadaruratan umum (ABC)
2. Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi simultan
3. Mecegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit
4. Mengatasi factor pencetus
 Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya perawatan
dilakukan di ICU

A. Status Epileptikus Konvulsif


Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit) - Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
- Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen,
resusitasi bila perlu
Stadium II (10-60 menit) - Pemeriksaan status neurologic
- Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
- Monitor status metabolic, AGD dan status
hematologi
- Pemeriksaan EKG
- Memasangi infus pada pembuluh darah besar
dengan NaCl 0,9%. Bila akan digunakan 2
macam OAE pakai jalur infus
- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
laboratorium (AGD, Glukosa, fungsi ginjal dan
hati, kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap
hematologi, waktu pembekuan dan kadar
OAE), pemeriksaan lain sesuai klinis
- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 0.2
mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit
IV dapat diulang bila kejang masih berlangsung
setelah 5 menit
- Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan
hipoglikemia
- Pemberian tiamin 250 mg intervena pada pasien
alkoholisme
- Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III (0-60/90 - Menentukan etiologi
menit) - Bila kejang berlangsung terus setelah
pemberian lorazepam / diazepam, beri
phenytoin iv 15 – 20 mg/kg dengan kecepatan <
50 mg/menit. (monitor tekanan darah dan EKG
pada saat pemberian)
- Atau dapat pula diberikan fenobarbital 10
mg/kg dengan kecepatan < 100 mg/menit
(monitor respirasi pada saat pemberian)
- Memulai terapi dengan vasopressor (dopamine)
bila diperlukan
- Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30/90 menit) - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60
menit, pasien dipindah ke ICU, diberi Propofol
(2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau
Thiopenton (100-250 mg bolus iv pemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50
mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24
jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan
EEG terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan
intracranial, memulai pemberian OAE dosis
rumatan

B. Status Epileptikus Non Konvulsif11


Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE Lena Benzodiazepin IV/Oral Valproate IV
SE Parsial Complex Klobazam Oral Lorazepam / Fenintoin /
Fenobarbital IV
SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin,
Lamotrigin, Topiramat,
Metilfenidat, Steroid Oral
SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid
SE Non-konvulsif pada Fenitoin IV atau Anastesi dengan
pasien koma Fenobarbital tiopenton, Penobarbital,
Propofol atau Midazolam

C. Status Epileptikus Refrakter11


- Terapi bedah epilepsy
- Stimulasi N.Vagus
- Modifikasi tingkah laku
- Relaksasi
- Mengurangi dosis OAE
- Kombinasi OAE

Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsy refrakter


Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

2.9. PROGNOSIS

Prognosis status epileptikus bergantung pada respon terhadap pengobatan. Dalam studi
yang dilakukan oleh Koperasi SE Veteran Affairs menunjukkan bahwa sebesar 56% dari
pasien yang terdiagnosis jelas mengalami GCSE (General Convulsive Status Epilepticus)
yang memberikan respon terhadap pengobatan tahap awal. Sedangkan untuk jenis status
epileptikus halus (Subtle SE) hanya 15% pasien yang menanggapi pengobatan awal. Sehingga
jelas terlihat bahwa prognosis juga tergantung terhadap baik buruknya respon pasien terhadap
pengobatan yang diberikan. Semakin rendah respon terhadap pengobatan, semakin buruk
prognosis.7

2.10. KOMPLIKASI
Komplikasi status epileptikus bervariasi. Komplikasi sistemik meliputi hipertermia,
asidosis, hipotensi, kegagalan pernapasan , rabdomiolisis, serta aspirasi. 7
BAB III
KESIMPULAN

Status epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus ditangani segera
dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada sistem homeostasis tubuh,
kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan kematian. Penanganannya tidak hanya
menghentikan kejang yang sedang berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit
dasar dari status tersebut. seperti umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan,
durasi dari status epileptikus, dan lamanya onset sampai penanganan merupakan faktor
prognostik penting.
Dengan lebih dipahaminya dasar dari patofisologi penyakit ini maka diharapkan
prognosis pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Deshpande LS, Lou JK, Mian A, Blair RE, Sombati S, Attkisson E, et al. Time course
and mechanism of hippocampal neuronal death in an in vitro model of status
epilepticus: Role of NMDA receptor. Eur J Pharmacol 2008;583(1):73-83.
2. Medscape Emedicine. Apr 11, 2014. Status Epileptic http://emedicine.medscape.com
diakses pada 5 Juni 2021 17.03 WIB.
3. Lombardo MC. Gangguan kejang. In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi. 6
ed. Jakarta: EGC; 2005. p. 1158-1161.
4. Assis TMRd, Costa G, Bacellar A, Orsini M, Nascimento OJM. Status epilepticus in
the elderly: epidemiology, clinical aspects and treatment. Neurology 2012;4(17):78-
84.
5. Standar Pelayanan Medik (SPM) Perdossi. Jakarta: Perdossi 2008
6. Hughes R. Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.
7. Medscape Reference. May 26, 2011. Status Epileptikus.

http://emedicine.medscape.com diakses pada 5 Juni 2021 20.29 WIB.

8. Davis LE, King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurological disease - an


introductory text. New york: Demos medical publishing; 2005.
9. Hughes R. Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.
10. Wilkinson I, Lennox G. Essential neurology. 4 ed. Victoria, Australia: Blackwell
Publishing; 2005.
11. Epilepsi KS. Pedoman tata laksana epilepsi. 3 ed. Jakarta: Perdossi; 2008.

Anda mungkin juga menyukai