Anda di halaman 1dari 15

Journal Reading

“Randomized Trial of Amoxicillin for Pneumonia in Pakistan”


Fyezah Jehan, M.B., et al. N ENGL J MED 383;1 nejm.org July 2, 2020

Pembimbing : dr. Arief S. Ghazali, Sp.A


Disusun oleh :
Alvionita Citra Mayrani 2016730113

Kepaniteraan Klinik Stase Pediatri


Rumah Sakit Umum Daerah Sayang Cianjur
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UMJ
Pendahuluan
 Pada 2015, infeksi saluran pernapasan bawah akut menyebabkan 7,4 kematian per 1000 kelahiran
hidup di seluruh dunia. Infeksi ini secara tidak proporsional mempengaruhi anak-anak di daerah
miskin.
 Karakteristik epidemiologis pneumonia berubah dengan cepat sebagai hasil vaksinasi terhadap
patogen utama seperti Haemophilus influenzae tipe B dan Streptococcus pneumoniae; virus patogen
sekarang menyebabkan sebagian besar infeksi saluran pernapasan bawah akut.
 Namun demikian, antibiotik terus digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pernapasan bawah
akut, mungkin menghasilkan resistensi antimikroba dan, perubahan mikrobiota usus dan imunitas.
 Dalam pengaturan perawatan primer di masyarakat berpenghasilan rendah, diagnosis pneumonia
umumnya secara klinis dan dipandu oleh pendekatan Manajemen Terpadu Penyakit Anak (IMCI)
dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
 Pedoman WHO mengklasifikasikan infeksi saluran pernapasan bawah akut berdasarkan
tidak adanya pneumonia, adanya pneumonia ringan (dengan takipnea atau retraksi dinding
dada), atau pneumonia berat dengan tanda-tanda bahaya.
 Untuk anak-anak yang tinggal di daerah dengan prevalensi rendah infeksi HIV dan yang
memiliki pneumonia ringan dan takipnea, WHO merekomendasikan program 3 hari
amoksisilin.
 Dengan alasan bahwa pneumonia memiliki penyebab bakteri pada sebagian besar anak-
anak, pedoman saat ini yang didasarkan pada keberadaan takipnea menekankan sensitivitas
terhadap spesifisitas.
 Namun, seperti yang disarankan pada data percobaan, penggunaan vaksin terhadap
pneumonia dengan penyebab bakteri umum (Haemophilus influenzae tipe B dan
pneumococcus) mungkin telah mengurangi spesifisitas pedoman untuk identifikasi klinis
pneumonia bakteri.
Latar belakang

 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan amoksisilin oral untuk pasien


yang menderita pneumonia dengan takipnea, namun data percobaan menunjukkan bahwa
tidak menggunakan amoksisilin untuk mengobati kondisi ini mungkin tidak kalah dengan
menggunakan amoksisilin.
Metode

 Penelitian ini melakukan RETAPP ( Percobaan Acak Amoksisilin Versus Plasebo untuk
Pneumonia [Breathing Cepat], uji coba noninferioritasdouble-blind, terkontrol membandingkan
plasebo dengan amoksilin untuk penatalaksanaan pneumonia dengan takipnea yang melibatkan
anak-anak di pusat perawatan kesehatan primer
 Anak-anak yang berusia 2 - 59 bulan dan tinggal di komunitas berpenghasilan rendah di Karachi,
Pakistan serta memenuhi kriteria WHO untuk pneumonia nonsevere dengan takipnea secara acak
ditugaskan untuk 3 hari suspensi amoksisilin (kontrol aktif) 50 mg per mililiter atau volume
plasebo yang sesuai.
 Outcome utama yaitu kegagalan pengobatan selama 3 hari pemberian amoksisilin atau plasebo.
Margin non-inferioritas yang ditentukan sebelumnya adalah 1,75 poin persentase.
Hasil
Hasil

 Dari 9 November 2014 - 30 November 2017, total 4002 anak-anak menjalani pengacakan
(1999 dalam kelompok plasebo dan 2003 pada kelompok amoksisilin).
 Dalam analisis per-protokol, kejadian kegagalan pengobatan yaitu 4,9% terjadi pada
penerima plasebo (95 dari 1927 anak-anak) dan 2,6% pada penerima amoksisilin (51 dari
1929 anak-anak).
 Hasilnya serupa dalam analisis intention-to-treat. Adanya demam dan mengi memprediksi
kegagalan pengobatan.
 Jumlah yang dibutuhkan untuk mengobati ataupun mencegah satu kegagalan pengobatan
yaitu 44. Satu pasien (<0,1%) di setiap kelompok meninggal. Relaps terjadi pada 40 anak
(2,2%) pada kelompok plasebo dan pada 58 anak (3,1%) pada kelompok amoksisilin.
Diskusi

 Insiden kegagalan pengobatan lebih rendah di antara pasien yang menerima amoksisilin, dan interval
kepercayaan 95% untuk perbedaan tidak termasuk 0. Ada lebih banyak kekambuhan dalam kelompok
amoksisilin antara hari 4 dan 14, meskipun antara kelompok perbedaan untuk hasil tersebut tidak
signifikan.
 Dalam percobaan kami, hampir satu dari lima anak memiliki wasting sedang hingga berat, dan hanya
62% dari anak-anak telah menerima dosis ketiga vaksin pentavalent dan pneumokokus. Hasilnya tidak
berbeda ketika analisis dikelompokkan berdasarkan usia.
 Data yang kurang tentang pemotongan antibiotik untuk pneumonia dengan takipnea pada anak-anak dari
masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, dan kesimpulan dari laporan tidak konsisten.
 Dalam uji coba yang dilakukan oleh Hazir et al. dalam pengaturan rawat jalan di Pakistan, kejadian
kegagalan pengobatan pada hari ke 3 (7,2% pada kelompok plasebo dan 8,3% pada kelompok
amoksisilin, menunjukkan kesetaraan) lebih tinggi tetapi mirip dengan yang ada dalam percobaan ini,
tetapi populasi mereka termasuk jauh lebih banyak anak dengan mengi dari kita (50% vs 7%)
 Dalam uji coba oleh Awasthi et al., persistensi mengi digunakan sebagai kriteria untuk
kegagalan pengobatan; ini membatasi generalisasi temuan. Uji coba ini melibatkan jauh
lebih sedikit anak dengan mengi daripada yang dilakukan oleh Awasthi dan rekan. Juga,
tidak ada anak-anak dengan takipnea dalam percobaan kami yang memiliki respons
terhadap terapi bronkodilator; kurangnya tanggapan ini menunjukkan bahwa anak-anak
dalam percobaan kami kemungkinan memiliki pneumonia dengan penyebab infeksi.
 Dalam uji coba di Malawi yang dilakukan oleh Ginsburg et al., Perbandingan amoksisilin
dengan plasebo serupa dengan yang ada dalam uji coba ini.
Kelebihan Penelitian

 Kekuatan uji coba ini meliputi tingkat kepatuhan yang tinggi, perawatan yang diamati
secara langsung, tingkat atrisi yang rendah, pelaporan dan investigasi yang cermat
terhadap efek samping, dan analisis per protokol yang diperlukan untuk validitas internal
uji coba noninferiority.
Kesimpulan

 Di antara anak-anak yang lebih muda dari 5 tahun dengan non-severe pneumonia disertai
takipnea sebagaimana didefinisikan oleh WHO, frekuensi kegagalan pengobatan lebih
tinggi pada kelompok plasebo dibandingkan pada kelompok amoksisilin, perbedaan yang
tidak memenuhi margin noninferiority untuk plasebo.

Anda mungkin juga menyukai