Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU NEUROLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

STATUS EPILEPTIKUS

OLEH :
Amellia Ahmad, S.Ked
K1A1 14 109

PEMBIMBING
dr. Happy Handaruwati, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Amellia Ahmad, S.Ked

NIM : K1A1 14 109

Judul : Status Epileptikus

Bagian : Ilmu Neurologi

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik bagian Ilmu

Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Juni 2020

Pembimbing

dr. Happy Handaruwati, Sp.S

ii

BAB I

PENDAHULUAN

Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan yang mewakili


keadaan darurat medis dan neurologis. Menurut International League Against
Epilepsy, status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih.1
Studi berbasis populasi di Richmond, VA, Delorenzo et al., memperkirakan
bahwa 50,000-200,000 kasus status epileptikus terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat.2 Angka kematian untuk status epileptikus cukup tinggi, sekitar 22%-25%
walaupun dengan terapi obat agresif. Aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari
60 menit dan usia lanjut adalah faktor yang berperan memperburuk diagnosis.3
Berdasarkan gejala kejang yang menyertainya, status epileptikus
diklasifikasikan menjadi tiga yakni status epileptikus konvulsif, status epileptikus
non-konvulsif, dan status epileptikus refrakter. Kejang tonik klonik pada status
epileptikus konvulsif menandakan keberlanjutan aktivitas kejang. Hal ini tidak
terjadi pada status epileptikus non konvulsif.3
Pada status epileptikus, baik konvulsif maupun non-konvulsif, tujuan
pengobatan adalah untuk menghentikan secepatnya aktivitas kejang. Diperlukan
penatalaksanaan yang agresif. Obat yang sering digunakan adalah golongan
benzodiazepine, fosfeitoin dan fenobarbital. The American Acedemy of
Neurology merekomendasi bahwa semua pasien status epileptikus juga mendapat
tiamin (vitamin B1) dan dektrosa 50%.3

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Status epileptikus menurut Epilepsy Foundation of America’s
Working Group on Stastus Epileptic adalah sebagai bangkitan yang
berlangsung lebih dari 30 menit atau dua atau lebih bangkitan, dimana
diantara dua bangkitan tidak terdapat pemulihan kesadaran. Penanganan
kejang harus dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu kejang.5
Dikenal dua tipe Status Epileptikus yaitu SE Konvusif (terdapat
bangkitan motorik) dan SE non-konvusif (tidak terdapat bangkitan motorik)11
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari
5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran
diantara bangkitan. Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi
saat aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan
memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku atau
“awareness”. SE dibedakan dari bangkitan serial ( frequent seizures), yaitu
bangkitan tonik klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.11

B. ETIOLOGI
Etiologi status epileptikus tergantung usia dan menentukan
prognosis. Setelah usia 60 tahun penyakit serebrovaskular beresiko
menimbulkan kejang. Penelitian yang dipimpin oleh Richmon di Virginia
USA, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun yang menderita status
epileptikus, 35% di antaranya disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA).
Etiologi lainnya hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi
trauma, dan idiopatik.4
Penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi bahwa
dementia ditambahkan dalam daftar penyebab status epileptikus. Penelitian di
California juga mengidentifikasi stroke sering menyebabkan generalized
status epilepticus (GSE).4

2

Etiologi Status Epileptikus dapat berupa idiopatik (penyebab tidak
diketahui) atau simptomatik (penyebabnya diketahui). Pada simptomatik, bila
akut biasanya disebabkan oleh stroke, intoksikasi, malaria, ensefalitis dan
infeksi. Bila Remote adalah jika terdapat riwayat kelainan sebelumnya
biasanya disebabkan oleh pasca trauma, pasca ensefalitis, dan pasca stroke.
Sedangkan bila kelainan neurologi progresif biasanya disebabkan oleh tumor
otak, penyakit neurodegenerative dan lain-lain.11

C. EPIDEMIOLOGI
Jumlah kasus status epileptikus di Amerika Serikat berdasarkan studi
epidemiologi yaitu sekitar 102.000-152.000 episode per-tahun dan sebanyak
55.000 kematian per-tahun telah dikaitkan dengan status epileptikus.1 Status
epileptikus merupakan keadaan kejang terus menerus, dengan kejadian
tahunan berkisar 10-86 per 100.000 orang.6
Signifikan proporsi antara anak-anak (16-38%) dan dewasa (42-50%)
dengan status epileptikus yang mempunyai riwayat epilepsy. Angka kematian
singkat (meninggal dalam kurun waktu 30 hari) yang disebabkan oleh status
epileptikus berkisar antara 7,6-22% pada semua tingkat usia, dan kejadian
terbanyak ternjadi pada orang tua/lansia.13

D. KLASIFIKASI
Berdasarkan Klinis:11
1. SE Fokal
2. SE General
Berdasarkan Durasi:
1. SE Dini (5-30 menit)
2. SE Menetap/Established (>30 menit)
3. SE Refrakter (Bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga
jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat)

3

Status Epileptikus Nonkunvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok
utama:
1. SE-NK Umum
2. SE-NK Fokal

E. PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di
serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.3
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut: 3
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan;
2. Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun,
apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
4. Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi
akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara
drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat
menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi

4

dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi
selama aktifitas kejang.3
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang
secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut
lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.3
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status
epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang
tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin
timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang
meningkat secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak
efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif
apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.8
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur
limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih
dapat mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah,
glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan
homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak.
Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat
sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus.
Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni
hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang
tidak memadai.8
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri
saja nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya
aliran darah otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit,
memberikan banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase

5

(iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan
aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang menyebabkan
kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja - yang kemudian bereaksi
dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktifasi ini
menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat.
Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh
glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di hipokampus.
Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron
setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin
meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus
terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.9

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis status epileptikus berbeda tergantung pada masing-
masing jenisnya. Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal
stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik
umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang
paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74
persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.7
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic
Status Epilepticus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului
dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah
menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan
berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran di antara serangan dan peningkatan frekuensi.7
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase
tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang

6

terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh
hiperpnea dengan retensi karbondioksida. Adanya takikardi dan
peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas
kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.7

2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status


Epilepticus)
Ada kalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik
umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode
kedua.8

3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epilepticus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.7

4. Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselopati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak
biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosis yang buruk, tetapi
dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi
degeneratif.7

5. Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada
usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan

7

status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon
yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin bertahan
dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum
primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat
aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua
tempat. Status epileptikus memberikan respon yang baik terhadap
Benzodiazepin intravena.7

6. Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status
epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai
psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges,
tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.7

7. Status Epileptikus Parsial Sederhana


a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut,
ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan
kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada
satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Variasi dari status somatomotorik ditandai
dengan adanya afasia yang intermiten atau gangguan berbahasa (status
afasik).7
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.7

8

8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan di antara episode. Pada
SE parsial kompleks juga dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara
dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat
aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari
status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada
beberapa kasus.7

G. DIAGNOSIS
1. ANAMNESIS
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk
didiagnosa, dan kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali
terjadi. Ketepatan diagnosis pada pasien dengan epilepsi bergantung
terutama pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien
maupun dari saksi. Hal ini mengarahkan pada diagnosis gangguan
kesadaran. Seseorang harus menelusuri secara teliti tentang bagaimana
perasaan pasien sebelum gangguan, selama (apabila pasien sadar) dan
setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas tentang apa
yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang
tidak dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan gejala klinis
yang ada melalui penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya
digunakan untuk menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan pada
informasi klinis. Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan
pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi
mata.10
Gejala klinis yang dapat dilihat secara nyata adalah kejang dengan
tonik, klonik, atau tonik-klonik pada gerakan tungkai. Pasien mungkin
hanya menunjukkan gerakan kejang dengan amplitudo yang kecil pada

9

wajahnya, tangan, kaki dan sentakan nistagmoid pada kedua matanya. Jika
kejang ini berhenti, pasien akan tetap dalam kondisi tidak sadar dan tidak
memberikan respon atau kemungkinan pasien bingung kemudian kejang
kembali terjadi.8
Pada pemeriksaan neurologis, pasien tidak akan memberikan
respon terhadap komando verbal. Dia akan meningkatkan atau
menurunkan tonus otot, dengan gerakan yang tidak perlu pada tungkai, dan
akan memperlihatkan refleks Babinski positif. Umumnya, tanda neurologis
yang ditemukan bersifat simetris.8
Kadang-kadang terdapat pasien dengan kebingungan yang
menetap, gangguan kesadaran, dan mampu menggerakkan kaki dan
berjalan yang dimiliki oleh pasien status epileptikus yang disebut juga
status epileptikus non-konvulsif (complex partial epilepticus). Pada pasien
seperti ini, gambaran hasil EEG yang abnormal dan terjadi secara persisten
dan spesifik, menegakkan diagnosis.8
Uraian di bawah ini dapat menjelaskan tentang diagnosis
diferensial pada epilepsi bentuk lain.10
a. Bangkitan tonik-klonik harus dibedakan dari penyebab serangan
gangguan kesadaran lainnya. Gangguan kardiovaskuler adalah penentu
utama yakni berupa pusing biasa dan pingsan vasovagal pada pasien
yang muda, aritmia, dan hipotensi postural pada pasien yang tua.
Kebingungan seringkali terjadi disebabkan oleh kejang mioklonik
singkat yang kadang-kadang disertai pingsan yang disebabkan oleh
banyak faktor. Yang cukup memburamkan diagnosis adalah serangan
non-epileptik yang bersifat psikogenik. Diabetes yang dalam masa
terapi harus segera dicurigai merupakan hipoglikemia. Pada umumnya,
menggigit lidah, nafas sesak dan tidak teratur, kejang hebat,
inkontinensia, post-ictal confusion, dan nyeri tungkai merupakan ciri
dari epilepsi tonik-klonik
b. Bangkitan absen atau Absence Seizure memberikan gambaran jelas
berupa hilangnya kesadaran dalam beberapa waktu secara tiba-tiba.

10

Selama hilangnya kesadaran, penderita seakan-akan sadar namun
seperti orang yang menghayal dan tiba-tiba kembali melanjutkan
aktifitas seakan tidak pernah terjadi bangkitan. Namun dagnosis untuk
bangkitan jenis ini diburamkan oleh menghayal dan ketidakfokusan
terhadap lingkungan.
c. Kejang motorik fokal tidak memiliki diagnosis diferensial
d. Kejang sensorik fokal dapat diburamkan oleh transient ischaemic
attack tetapi seringkali terjadi dalam waktu yang lebih singkat dan
lebih sering, dan menyebabkan lebih banyak menyebabkan kesemutan
daripada kebas.
e. Kejang lobus frontal dapat diburamkan oleh dystonia. Penyakit ini
sendiri menunjukkan perubahan perilaku yang aneh akibat fungsi lobus
frontal yang terganggu.
f. Kejang lobus temporal harus dibedakan dengan ansietas dan serangan
panik. Serangan yang diprovokasi oleh berbagai penyebab, atau yang
lebih dari beberapa menit, sepertinya tidak disebabkan oleh epilepsi
lobus temporal. Serangan yang melibatkan tingkah laku aneh yang
membutuhkan kewaspadaan, pikiran yang jernih dan/atau tingkah laku
yang terkoordinasi dengan baik seperti berkelahi dan merampok toko
tidak menggambarkan epilepsi sama sekali.
Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan,
terdapat banyak informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui
anamnesis dan pemeriksaan. Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut
sebagai epilepsi, penelusuran harus disusun sesuai dengan penyebab
epilepsi. Epilepsi umum primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan
absen dan mioklonik, dengan atau tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan
dengan keluarga, sehingga bertanya mungkin akan mengungkap anggota
keluarga lainnya yang juga menderita serangan epilepsi. Epilepsi fokal
bentuk apapun memperlihatkan adanya patologi intrakranial. Patologi
paling umum yang dimaksud adalah pembentukan jaringan ikat pada satu
daerah yang merupakan kelanjutan dari beberapa proses perjalanan

11

penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-kadang serangan epilepsi
mungkin terjadi ketika terdapat proses patologi yang masih berlangsung di
fase aktif.10
a. Setelah trauma otak saat melahirkan;
b. Setelah trauma pada otak dan kepala;
c. Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
d. Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau
perdarahan sub arachnoid;
e. Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.
Kadang-kadang epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak
seperti:
a. Selama putus konsumsi obat dan alkohol;
b. Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;
c. Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.
Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang
dicetuskan oleh tumor otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang tidak
sering menyebabkan epilepsi, namun tidak boleh disingkirkan tanpa
adanya pemeriksaan lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya dimulai pada
umur dewasa, khususnya dengan tanda-tanda defisit neurologis fokal dan
terasosiasi, kemungkinan besar disebabkan oleh tumor.10
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:10
a. Family history
b. Past history
c. Systemic history
d. Alcoholic history
e. Drug hostory
f. Focal neurological symptoms and signs

12

2. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik sangat penting karena mungkin dapat
mengungkapkan tanda neurologis yang abnormal yang mengindikasikan
temuan sebagai berikut:10
a. Patologi intrakranial di masa lalu
b. Patologi intrakranial yang dialami sekarang
c. Perkembangan patologi intrakranial yang dimaksud di atas

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan
tipe epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama
pemriksaan EEG rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi
tentang kehadiran aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe
gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG
rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi
yang akan terdeteksi dengan hasil yang abnormal.10
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa
epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan
diagnosa dan membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal.
Tetapi yang harus diingat10 :
a. 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang
ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau
kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang
tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada
EEG;
b. 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang
normal pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG
dimasukkan pada periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif
palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien

13

dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang
sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi.
Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu,
dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks
serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan
EEG.10
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan,
adalah bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di
beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu
penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG.
Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang
memberikan informasi yang dibutuhkan.10
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan
pemeriksaan di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala
klinis secara seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap
memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.10

H. PENATALAKSANAAN
Prinsip tatalaksana kegawatdaruratan status epileptikus konvulsif adalah11,12,14
1. Penanganan jalan napas dan pernapasan
2. Mempertahankan sirkulasi
3. Pemasangan akses intravena (jika belum dilakukan)
4. Pemberian obat untuk menghentikan kejang.

1. Status Epileptikus Konvulsif


Stadium Penatalaksanaan
Stadium Premonitor - Pilihan OAE yang diberikan adalah
(sebelum kerumah sakit) Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat
diulangi 15 menit kemudian bila
kejang masih berlanjut, atau

14

midazolam 10 mg diberikan
intrabuccal( belum tersedia di
Indonesia. Segera panggil ambulans
pada kondisi berikut : Bangkitan
berlanjut 5 menit setelah obat
emergensi diberikan, Penderita
memiliki riwayat sering mengalami
bangkitan serial/bangkitan
konvulsius, dan terdapat kesulitan
monitor jalan napas, pernapasan,
sirkulasi atau tanda vital lain.
Stadium I (0-10 menit) - Pertahankan patensi jalan napas dan
SE Dini resusitasi
- Berikan oksigen
- Periksa fungsi kardiorespirasi
- Pasang infus
- Pilihan OAE pada SE dini adalah
Lorazepam (intravena) 0,1
mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg
bolus, diulang satu kali setelah 10-20
menit). Berikan OAE yang biasa
digunakan bila pasien sudah pernah
mendapat terapi OAE
Stadium II (10-30 menit) - Monitor pasien
- Pertimbangkan kemungkinan
kondisi non epileptic
- Terapi antiepilepsi emergensi
- Pemeriksaan emergensi (lihat
dibawah)
- Berikan glukosa (D50% 50 ml)

15

dan/atau Thiamine 250 mg i.v bila
ada kecurigaan penyalahgunaan
alcohol atau defisiensi nutrisi
- Terapi asidosis bila terdapat asidosis
berat
Stadium III (0-60 menit) - Pastikan etiologi
SE Menetap - Siapkan untuk rujuk ke ICU
- Identifikasi dan terapi komplikasi
medis yang terjadi
- Vasopressor bila diperlukan
- Pilihan OAE pada SE Menetap
adalah Bila bangkitan masih
berlanjut terapi sebagai berikut
dibawah ini. Phenytoin i.v dosis of
15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau
bolus Phenobarbital 10-15 mg/kg i.v
dengan kecepatan pemberian 100
mg/menit.
Stadium IV (30-90 menit) - Pindah ke ICU
- Perawatan intensif dan monitor EEG
- Monitor tekanan intracranial bila
dibutuhkan
- Berikan antiepilepsi rumatan jangka
panjang

2. Status Epileptikus Non Konvulsif11


Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE Lena Benzodiazepin IV/Oral Valproate IV
SE Parsial Complex Klobazam Oral Lorazepam / Fenintoin /

16

Fenobarbital IV
SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin,
Lamotrigin, Topiramat,
Metilfenidat, Steroid
Oral
SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid
SE Non-konvulsif pada Fenitoin IV atau Anastesi dengan
pasien koma Fenobarbital tiopenton, Penobarbital,
Propofol atau
Midazolam
Dosis OAE pada SE Non Konvulsif
SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena:
diazepam 0,2-0,3 mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak-
anak) atau lorazepam 0,07 mg/kg(0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi bila
diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif, mungkin bisa diberikan fenitoin atau
valproat intravena. Pada epilepsi lena pada anak, terapi rumatan dengan
valproat atau ethosuximide diberikan setelah status terkontrol. Kondisi ini
sering disebabkan oleh putus obat( khususnya obat psikotropik atau
benzodiazepine), dan dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam
intravena. Terapi rumatan jangka panjang biasanya tidak diperlukan.
SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine.
Terdapat kontroversi tentang perlunya pemberian intravena pada kasus ini,
pada kebanyakan kasus terapi oral member hasil yang cukup baik.

3. Status Epileptikus Refrakter11


a. Terapi bedah epilepsy
b. Stimulasi N.Vagus
c. Modifikasi tingkah laku
d. Relaksasi
e. Mengurangi dosis OAE
f. Kombinasi OAE

17

Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsy refrakter
Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

I. PROGNOSIS
Prognosis status epileptikus bergantung pada respon terhadap
pengobatan. Dalam studi yang dilakukan oleh Koperasi SE Veteran Affairs
menunjukkan bahwa sebesar 56% dari pasien yang terdiagnosis jelas
mengalami GCSE (General Convulsive Status Epilepticus) yang memberikan
respon terhadap pengobatan tahap awal. Sedangkan untuk jenis status
epileptikus halus (Subtle SE) hanya 15% pasien yang menanggapi pengobatan
awal. Sehingga jelas terlihat bahwa prognosis juga tergantung terhadap baik
buruknya respon pasien terhadap pengobatan yang diberikan. Semakin rendah
respon terhadap pengobatan, semakin buruk prognosis.7

J. KOMPLIKASI
Komplikasi status epileptikus bervariasi. Komplikasi sistemik
meliputi hipertermia, hypoxia, asidosis respiratory, kegagalan pernapasan,
stress cardiomiopaty, hipotensi, , rabdomiolisis, serta aspirasi. 7

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Deshpande, L.S., etc. 2008. Time Course and Mechanism of Hippocampal

Neural Death in an In Vitro Model of Status Epilepticus: Role of NMDA

Receptor. Eur J Pharmacol Manuscript. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. diakses

18 Juli 2020 (18.30)

2. Roth, J.L. 2018. Status Epilepticus. http://emedicine.medscape.com. diakses

18 Juli 2020 (20.00)

3. Lombardo, M.C. Gangguan Kejang didalam Price, S.A., Wilson, L.M. 2005.

Patofisiologi. Edisi 6. EGC. Jakarta

4. Assis, T.M.R., etc. 2012. Status Epilepticus in the Elderly : Epidemiology,

Clinical Aspects and Treatment. Journal of Neurology International.

5. PERDOSSI. 2016. Panduan Praktik Klinis Neurologi.

6. Hughes, R. 2003. Neurological Emergencies. 4th Edition. BMJ Publishing.

London.

7. Raoul, S. etc. 2018. Acute Systemic Complications of Convulsive Status

Epilepticus: A Systemic Review. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. diakses 18

Juni 2020 (21.00).

8. Davis, L.E. 2005. Fundamentals of Neurological Diseases: An Introductory

Text. Demos Medical Publishing. New York.

9. Mauricio, E.A., Freeman, W.D. 2011. Status Epilepticus in the Elderly:

Differential Diagnosis and Treatment. Journal of Neuropsychiatric Disease

and Treatment.

19

10. Wilkinson, I., Lennox, G. 2005. Essential Neurology. 4th Edition. Blackwell

Publishing. Australia.

11. PERDOSSI. 2014. Pendoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi Kelima.

12. Prasetyo, A., Prasetyo, B.H. 2018. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi

Gawat Darurat.

13. Wylie, T. etc. 2020. Status Epilepticus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. diakses

pada 18 Juli 2020 (21.00)

14. Pichler, M., Hocker, S. 2017. Management of Status Epilepticus in Handbook

of Clinical Neurology. Volume 140.

20

Anda mungkin juga menyukai