Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

“STATUS EPILEPTIKUS”

1. DEFINISI
Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana
terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau
seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau
lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. Status
epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan
pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan
mortalitas dan morbiditas yang menyertai (Haslam, 2010).

Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai


kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau
adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan
kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima secara
luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi
kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan
praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus
lebih dari 5 menit (Sirven, 2013).

Status Epileptikus bangkitan umum (GCSE) adalah bangkitan


umum yang berlangsung 30 menit atau lebih lama atau bangkitan
tonik klonik berulang yang terjadi lebih dari 30 menit tanpa
pulihnya kesadaran diantara tiap bangkitan. Definisi
operasional status epileptikus yang dipakai saat ini untuk
dewasa dan anak, yaitu bangkitan yang berlangsung terus
menerus lebih dari 5 menit atau terdapat 2 atau lebih
bangkitan tanpa pulih kesadaran di antaranya (Mastrangelo,
2012)
2. ETIOLOGI
Beberapa penyebab utama SE pada anak adalah infeksi
(meningitis dan ensefalitis), demam, trauma kepala,
ketidakpatuhan terhadap obat antiepilepsi, tumor pada susunan
saraf pusat, trauma serebrovaskular, ensefalopati hipoksik-
iskemia, gangguan elektrolit, dan sindrom neurokutaneous.
Sekitar 25% penyebab SE diklasifikasikan sebagai idiopatik.
Sebuah penelitian prospektif berbasis populasi di Amerika
serikat telah melakukan stratifikasi penyebab SE pada anak.
Urutan penyebab terbanyak sebagai berikut :

Tabel 1.Etiologi terbanyak status epileptikus pada anak.

Akut
Simptomatis akut (17%-52%)

Infeksi SSP akut (meningitis bakteri, meningitis viral,


ensefalitis)

Gangguan metabolik (hipoglikemia, hiperglikemia, hiponatremia,


hipokalsemia, sedera anoksia)

Ketidakpatuhan minum obat anti epilepsi

Overdosis obat anti epilepsi

Penyebab di luar ketidakpatuhan dan overdosis obat anti epilepsi

Prolonged febrile convulsion (23%-30%)

Influenza

Exantema Subitum
Remote symptomatic/simptomatis berulang (16%-39%)
Cerebral Migrational Disorders (lissencephaly, schizencephaly)

Cerebral Dysgenesis

Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopathy

Progressive Neurodegenerative Disorders


Idiopatik/Kriptogenik (5%-19%)

(Dikutip dari Singh RK dan Gaillard WD, 2009)


3. FAKTOR RESIKO
 Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi
yang mengejutkan, air panas
 Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat
tertentu misalnya golongan fenotiazin, klorpropamid,
hipoglikimia, kelelehan fisik
 Faktor mental: stress, gangguan emosi

4. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik).
Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya
tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik
saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps.
Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu
sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen.
Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps
dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang
lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari
belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas
listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada
talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke
belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas
membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar
membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang
berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal
yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di
tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah
mengalami pengaktifan
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi,
atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh
kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
(GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan
segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya
kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per
detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau
darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang
diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada
autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi
lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada
metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang.
Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
PATHWAY

Idiopatik, Sistem saraf Ketidakseimbang


herediter, trauma an aliran
kealhiran, infeksi listrik pada
perinatal, sel saraf
meningitis dll

Hilang tonus otot Hambatan mobilitas Epilepsy


fisik

Petitmal Akimetis Mylonik

Keadaan lemah dan Kontraksi tidak sadar


tidak sadar yang mendadak

Isolasi social Perubahan status Aktivitas kejang


Defisiensi pengetahuan kesehatan

Jatuh Hipoksia Ketidakmampuan


keluarga mengambil
tindakan yang tepat
Resiko cidera Kerusakan memori

Keditakmampuan
Pengobatan, keperawatan, Defisiensi koping keluarga
keterbatasan pengetahuan
Ansietas

Penyakit kronik Psikomotor Grandma

Perubahan proses
keluarga

Gangguan neurologis Gangguan respiratory

Gangguan perkembangan Spasme otot Hilang kesadaran


pernapasan

HDR Obstruksi
trakheobronkial

Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala berupa :
 Suhu anak tinggi
 Anak pucat / diam saja
 Mata terbelalak ke atas disertai kekakuan dan kelemahan.
 Umumnya kejang berlangsung singkat.
 Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau
hanya sentakan atau kekakuan fokal.
 Serangan tonik klonik ( dapat berhenti sendiri )
 Kejang dapat diikuti sementara berlangsung beberapa menit
 Seringkali kejang berhenti sendiri.
(Arif Mansjoer, 2010)

Menurut Commusion of Classification andf Terminologi of the


International League against Epilepsi (ILAE), klasifikasi
epilepsy sebagai berikut:
1. Sawan parsial (fokal,local)
a) Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap
kesadaran normal
 Dengan gejala motorik
o Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu
bagian tubuh saja
o Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian
tubuh dan menjalar meluas kebagian lain. Disebut juga
epilepsi Jacksen
o Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata,
tubuh
o Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku
dalam sikap tertentu
o Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara
yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi
tertentu
 Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial: sawan
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kalima panca
indra dan bangkitan yang disertai vertigo
o Somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti
ditusuk-tusuk jarum
o Visual: terlihat cahaya
o Auditoris: terdengar sesuatu
o Olfaktoris: terhidu sesuatu
o Gustatoris: terkecap sesuatu
o Disertai vertigo
 Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi,
dilatasi pupil)
 Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
o Disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku
kata, kata atau bagian kalimat
o Dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa
seperti sudah mengalami, mendengar, melihat,atau
sebaliknya tidak pernah mnegalami,mendangar, melihat,
mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa dimasa lalu, merasa seperti melihat lagi.
o Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri
berubah.
o Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
o Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak
lebih kecil atau lebih besar
o Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang
bicara, musik melihat sesuatu fenomena tertentu dan
lain-lain
b) Sawan parsial komplek
 Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
o Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala
seperti golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya
kesadaran.
o Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka,
perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya
gerakan mengunyah-ngunyah, menelan-nelan, wajah muka
berubah seringkali seperti ketakutan, menata-nata
sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjlan,
mengembara tak menentu, berbicara dan lain-lain.
 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan: kesadaran
menurun sejak permulaan serangan.
o Hanya dengan penurunan kesadaran.
o Dengan automatisme.
o Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik)
2. Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif)
a) Sawan Lena (Absance)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti,
muka tampak menbengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak
ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini
berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
 Hanya penurunan kesadaran.
 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan
biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut,
atau otot-otot lainnya bilateral.
 Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-
otot leher, lengan tangan, tubuh mendadak melemas
sehingga tampak lunglai.
 Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot
ekstrenitas, leher atau punggung mendadak mengejang,
kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan
dapat mengentul atau mengendang.
 Dengan automatisme.
 Dengan komponen autonom.

b) Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar,
dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, sekali
atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua
umur.
c) Sawan klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi
kejang kelonjot. Dijumpai tertutama sekali pada anak.
d) Sawan tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku, juga terdapat pada anak.
e) Sawan tonik-klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang
terkenala dengan nama grandmal. Serangan dapat diawali
dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan.
Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku.
Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang
otot-otot seluruh badang. Bangkitan ini biasanya berhenti
sendiri. Tarikan nafas menjadi dlam beberapa saat lamanya.
Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut
menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin pula pasien
kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti
pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f) Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun
sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
3. Sawan tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan
bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil atau pernafasan yang mendadak berhenti
sementara.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Anamnesis
Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat,
alkohol, penyakit serebrovaskular lain, dan gangguan
metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat kejang (fokal,
umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang,
riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga,
demam, riwayat persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit
yang sedang diderita.
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran
penglihatan dan pendengaran refleks fisiologis dan
patologi, lateralisasi, papil edema akibat peningkatan
intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem
motorik yaitu parestesia, hipestesia, anestesia.
 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit,
glukosa, fungsi ginjal dengan urin analisis dan
kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan
kultur darah dan
 Imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi
lesi struktural di otak
 EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan
dilakukan secepat mungkin jika pasien mengalami
gangguan mental
 Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan
infeksi CNS atau perdarahan subarachnoid.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis
yang membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik,
prosedur diagnostik, dan penanganan segera. Mungkin dan harus
dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan
status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan
konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama
dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam
(Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).

Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-


aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA
dan kompleks Reseptor-Barbiturat.Berdasarkan penelitian
Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat
kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg
merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang
sebanyak 65 persen.

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase

1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam +
0.15 + 18 56 %
Fenitoin
4. Fenitoin 18 44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan


dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang
panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah
dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen
dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi
pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam
adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan


menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai
20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus
atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang.
Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung
(2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan
Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum
suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah
lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”.
Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin,
karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan
terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih


dari 60 menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 %
kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak
seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren,
atau hipokalsemia persisten.

Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan


serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas
pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan
dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam
mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli
menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara
intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan
kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau
Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak
ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika
berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol penanganannya adalah sebagai berikut:

Stadium I (0-10 menit)


Pada kondisi ini, perbaikan fungsi kardio-respirasi adalah
yang paling utama. Harus dipatikan bahwa jalan napas pasien
tidak terganggu. Dapat pula diberikan oksigen. Jika diperlukan
resusitasi dapat dilakukan
Stadium II (1-60 menit)
Pada stadium ini, perlu dilakukan pemeriksaan status
neurologis dan tanda vital. Selain itu, perlu juga dilakukan
monitoring terhadap status metabolik, analisa gas darah dan
status hematologi. Pemeriksaan EKG jika memungkinan juga perlu
dilakukan .

Selanjutnya dilakukan pemasangan infus dengan NaCl 0,9%. Bila


direncakanan akan digunakan 2 macam obat anti epilepsi, dapat
dipakai 2 jalur infus. Darah sebanyak 50-100 cc perlu diambil
untuk pemeriksaan laboratorium (AGD, glukosa, fungsi ginjal
dan hati, kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap hematologi,
waktu pembekuan dan kadar AED).
Pemberian OAE emergensi berupa:
Diazepam 0,2 mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit IV –>
evaluasi kejang 5 menit–> masih kejang (?) –>ulangi pemberian
diazepam.

Selama penanganan ini, etiologi penyebab kejang harus


dipastikan.

Stadium III (0-60/90 menit)


Jika kejang masih saja berlangsung, dapat diberikan:

Fenitoin IV 15-20 mg/kg dengan kecepatan <50 mg/menit (tekanan


darah dan EKG perlu dimonitor selama pemberian fenitoin). Jika
masih kejang, dapat diberikan fenitoin tambahan 5-10
mg/kgbb. Bila kejang berlanjut, berikan phenobarbital 20
mg/kgbb dengan kecepatan pemberian 50-75 mg/menit (monitor
pernapasan saat permberian phenobarbital). Pemberian
phenobarbital dapat diulang 5-10 mg/kgbb. Pada pemberian
phenobarbital, fasilitas intubasi harus tersedia karena
resikonya dalam menimbulkan depresi napas. Selanjutnya, dapat
dipertimbangkan apakah diperlukan pemberian vasopressor
(dopamin).

Stadium IV (30-90 menit)


Bila selama 30-60 menit kejang tidak dapat diatasi, penderita
perlu mendapatkan perawatan di ICU. Pasien diberi propofol
(2mg/kgBB bolus IV) atau midazolam (0,1 mg/kgBB dengan
kecepatan pemberian 4 mg/menit) atau tiopentone (100-250 mg
bolus IV pemberian dalam 2o menit dilanjutkan bolus 50 mg
setiap 2-3 menit), dilanjutkan hingga 12-24 jam setelah
bangkitan klinik atau bangkitan EEG terakhir, lalu lakukan
tapering off. Selama perawatan, perlu dilakukan monitoring
bangkitan EEG, tekanan intrakranial serta memulai pemberian
OAE dosis rumatan.
Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari
penonton yang ingin tahu (pasien yang mempunyai
aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu untuk
mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi
b) Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan
bantalan untuk mencegah cidera dari membentur permukaan
yang keras.
c) Lepaskan pakaian yang ketat
d) Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien
selama kejang.
e) Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan
tinggikan pagar tempat tidur.
f) Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang
diberi bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah
atau pipi tergigit.
g) Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan
spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera
pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
h) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama
kejang karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat
menimbulkan cidera
i) Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi
dengan kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah
jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika
disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan
secret
j) Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi
untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas
paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang
grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau
secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun
harus diorientasikan terhadap lingkungan.
8. PROGNOSIS
Prognosis SE tergantung pada berbagai faktor, termasuk klinis,
durasi bangkitan, usia pasien, dan yang terpenting adalah
gangguan yang mendasari terjadinya bangkitan. Kematian
refraktori SE terbanyak pada lanjut usia.

Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab


yang mendasari status epileptikus. Pasien dengan status
epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat
alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi
komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka
prognosis tergantung dari meningitis tersebut.

9. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit,
nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama:Klien masuk dengan kejang, dan disertai
penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit:Klien yang berhubungan dengan faktor
resiko bio-psiko-spiritual. Kapan klien mulai serangan,
pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor
presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi
yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang
disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi
otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-obat
penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol.
Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain /
keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak
berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu
waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekwensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke
lantai.
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot
bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan
involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Pada post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal)
akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan
lunak
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, peningkatan sekresi mucus
b. Resiko tinggi injuri b.d perubahann kesadaran , kerusakan
kognitif,selama kejang atau kerusakan perlindungan diri.
c. Gangguan harga diri/identitas pribadi berhubungan dengan
stigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tidak terkontrol
ditandai dengan pengungkapan tentang perubahan gaya hidup,
takut penolakan; perasaan negative tentang tubuh
d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses perjalanan
penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

Rencana Intervensi
Dx Perencanaan
No. Tujuan
Keperawatan Intervensi Rasional
1 Pola napas Mempertahan
- a. Anjurkan a. Menurunkan resiko
tidak kan pola klien untuk aspirasi atau masuknya
efektif pernapasan mengosongkan mulut benda asing ke faring
berhubungan efektif dari benda/zat b. Meningkatkan aliran
dengan dengan tertentu/gigi palsu (drainase) secret,
kerusakan jalan napas atau alat lainnya mencegah lidah jatuh
neuromuskul paten jika fase aura sehingga menyumbat
er, terjadi dan untuk jalan napas
peningkatan menghindari rahang c. Untuk memfasilitasi
sekresi mengatup jika usaha bernapas
mucus kejang terjadi d. Mencegah tergigitnya
tanpa ditandai lidah dan memfasilitasi
gejala awal. saat melakukan
b. Letakkan klien penghisapan lender.
pada posisi miring, Jalan napas buatan
permukaan datar, mungkin diindikasikan
miringkan kepala setelah meredanya
selama serangan aktivitas kejang jika
kejang pasien tersebut tidak
c. sadar dan tidak dapat
Tanggalkanpakaian mempertahankan posisi
pada daerahleher, lidah yang aman
dada, dan abdomen e. Menurunkan resiko
d. aspirasi atau asfiksia
Masukkanspatellidah f. Dapat menurunkan
/ jalan napas hipoksia serebral
buatanataugulunganb sebagai akobat dari
endalunaksesuaiindi sirkulasi yang menurun
kasi atau oksigen sekunder
e. terhadap spasme
Lakukanpenghisapans vaskuler selama
esuaiindikasi serangan kejang
f. Berikan tambahan g. Munculnya apneu yang
oksigen/ ventilasi berkepanjangan pada
manual sesuai fase posiktal
kebutuhan pada fase membutuhkan dukungan
posiktal ventilator mekanik
g. Siapkan / bantu
melakukan intubasi
jika ada indikasi

2 Resiko Mengurangi a. Kaji a. Untuk mengetahui


tinggi resiko karakteristik seberapa besar
injuri b.d injuri pada kejang tingkatan kejang yang
perubahann pasien b. Jauhkan pasien dialami pasien sehingga
kesadaran , dari benda benda pemberian intervensi
kerusakan tajam / berjalan lebih baik
kognitif,se membahayakan bagi b. Benda tajam dapat
lama kejang pasien melukai dan mencederai
atau c. Masukkan spatel fisik pasien
kerusakan lidah / jalan napas c. Dengan meletakkan
perlindunga buatan atau spatel lidah diantara
n diri. gulungan benda rahang atas dan rahang
lunak sesuai bawah, maka resiko
indikasi pasien menggigit
d. Kolaborasi dalam lidahnya tidak terjadi
pemberian obat anti dan jalan nafas pasien
kejang menjadi lebih lancer
d. Obat anti kejang
dapat mengurangi
derajat kejang yang
dialami pasien,
sehingga resiko untuk
cidera pun berkurang
3 Gangguan Mengidentif a. Diskusikan a. Reaksi yang ada
harga ikasi perasaan pasien bervariasi diantara
diri/identi perasaan mengenai individu dan
tas pribadi dan metode diagnostic, pengetahuan/ pengalaman
berhubungan untuk persepsi diri awal dengan keadaan
dengan koping terrhadap penyakitnya akan
stigma dengan penanganan yang mempengaruhi penerimaan
berkenaan persepsi dilakukannya. b. Adanya keluhan
dengan negative b. Anjurkan untuk merasa takut, marah dan
kondisi, pada diri mengungkapkan/ sangat memperhatikan
persepsi sendiri mengekspresikan tentang implikasinya di
tentang perasaannya masaa yang akan datang
tidak c. dapat mempengaruhi
terkontrol Identifikasi/antisi pasien untuk menerima
ditandai pasi kemungkinan keadaanya
dengan reaksi orang pada c. Memberikan
pengungkapa keadaan kesempatan untuk
n tentang penyakitnya. Anjurk berespon pada proses
perubahan an klien untuk pemecahan masalah dan
gaya hidup, tidak merahasiakan memberikan tindakan
takut masalahnya control terhadap
penolakan; d. Gali bersama situasi yang dihadapi
perasaan pasien mengenai d. Memfokuskan pada
negative keberhasilan yang aspek yang positif
tentang telah diperoleh dapat membantu untuk
tubuh atau yang akan menghilangkan perasaan
dicapai selanjutnya dari kegagalan atau
dan kekuatan yang kesadaran terhadap diri
dimilikinya sendiri dan membentuk
e. Tentukan pasien mulai menerima
sikap/kecakapan penangan terhadap
orang terdekat. penyakitnya
Bantu menyadari e. Pandangan negative
perasaan tersebut dari orang terdekat
adalah normal, dapat berpengaruh
sedangkan merasa terhadap perasaan
bersalah dan kemampuan/ harga diri
menyalahkan diri klien dan mengurangi
sendiri tidak ada dukungan yang diterima
gunanya dari orang terdekat
f. Tekankan tersebut yang mempunyai
pentingnya orang resiko membatasi
terdekat untuk penanganan yang optimal
tetap dalam keadaan f. Ansietas dari
tenang selama pemberi asuhan adalah
kejang menjalar dan bila
sampai pada pasien
dapat meningkatkan
persepsi negative
terhadap keadaan
lingkungan/diri sendiri
4 Kurang pengetahuan a. Kaji tingkat a. pendidikan merupakan
pengetahuan keluarga pendidikan keluarga salah satu faktor
keluarga meningkat, klien. penentu tingkat
tentan keluarga b. Kaji tingkat pengetahuan seseorang
proses mengerti pengetahuan b. untuk mengetahui
perjalanan dengan keluarga klien. seberapa jauh informasi
penyakit proses c. Jelaskan pada yang telah mereka
berhubungan penyakit keluarga klien ketahui,sehingga
dengan epilepsy, tentang penyakit pengetahuan yang
kurangnya keluarga kejang demam nantinya akan diberikan
informasi klien tidak melalui penyuluhan. dapat sesuai dengan
bertanya d. Beri kesempatan kebutuhan keluarga
lagi pada keluarga untuk c. untuk meningkatkan
tentang menanyakan hal yang pengetahuan
penyakit, belum dimengerti. d. untuk mengetahui
perawatan e. Libatkan seberapa jauh informasi
dan kondisi keluarga dalam yang sudah dipahami
klien. setiap tindakan e. agar keluarga dapat
pada klien. memberikan penanngan
yang tepat jika suatu-
waktu klien mengalami
kejang berikutnnya.
DAFTAR PUSTAKA

Darto Saharso. 2010. Status Epileptikus. Divisi


Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr.
Soetomo Surabaya.

Huff, Steven. 2013. Status Epilepticus. Available


from: http://emedicine.medscape.com/

Mansjoer, Arif; dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Media


Aesculapius. Jakarta: FKUI.

Kedaruratan pada anak. UKK Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter


Indonesia. Tata Laksana Syok Pada Anak. Manado : Juli 2011

Rekomendasi Tata Laksana Syok berdasarkan Ikatan Dokter Anak


Indonesia No. 004/Rek/PP IDAI/III/2014 http://www. idai.com

Mastrangelo MC. A diagnostic work-up and therapeutic options in


management of pediatric status epilepticus. World J Pediatr.
2012;8:2

Kravljanac R, Jovic N, Djuric M, Jankovic B, Pekmezovic T. Outcome


of status epilepticus in children treated in the intensive care
unit: a study of 302 cases. Epilepsia. 2011; 52(2):358-63

Saz EU, Karapinar B, Ozcetin M, Polat M, Tosun A. Serdaglu G, et al.


Convulsive status epilepticus in children. Seizure. 2011; 20:115-118

Friedman JN. Emergency management of the paediatric patient with


generalized convulsive status epilepticus. Paediatr Child Health.
2011;11:2.

Anda mungkin juga menyukai