Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

STATUS EPILEPTIKUS

1. Definisi
Status epileptikus (aktifitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang
umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah
diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30
menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran. (Muttaqin, Arif.2008)
Menurut WHO (Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan
berbagai macam penyebab yang ditandai serangan kejang berulang yang disebabkan oleh
bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang,
perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di otak.
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).

2. Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
b. Kriptogenik:Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Imptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma
kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.

3. Klasifikasi
Berdasarkan letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan, epilapsi diklasifikasikan
menjadi:
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
dengan gejala motorik, yaitu:
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran. Serangan
parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.
b. Epilepsi umum
1) Petit mal / lena (absence)
a) Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, maka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak
bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama - menit dan biasanya
dijumpai pada anak.
b) Lena tak khas (atipical absence)
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand mal
a) Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
b) Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso.
c) Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku
pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai.
Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
d) Tonik klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan
nama grand mal.
e) Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.

4. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu
sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik
akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas
listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam
membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah,
talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron.
Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel
saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis
(CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang
diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.

5. Fase Serangan Kejang


a. Fase Prodromal
Beberapa jam/hari sebelum serangan kejang. Berupa perubahan alam rasa (mood),
tingkah laku
b. Fase Aura
Merupakan fase awal munculnya serangan. Berupa gangguan perasaan, pendengaran,
penglihatan, halusinasi, reaksi emosi afektif yang tidak menentu.
c. Fase Iktal
Merupakan fase serangan kejang, disertai gangguan muskuloskletal.
Tanda lain : hipertensi, nadi meningkat, cyanosis, tekanan vu meningkat, tonus
spinkter ani meningkat, tubuh rigid-tegang-kaku, dilatasi pupil, stridor, hipersalivasi,
lidah resiko tergigit, kesadaran menurun.
d. Fase Post Iktal
Merupakan fase setelah serangan. Ditandai dengan : confuse lama, lemah, sakit
kepala, nyeri otot, tidur lama, amnesia retrograd, mual, isolasi diri.
6. Manifestasi Klinis
a. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergergerak tak terkontrol;
bicara tidak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat mengalami perubahan
penglihatan, suara, bau atau pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.
b. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak
bertujuan; dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau
peka rangsang yang berlebihan; tidak mengingat periode tersebut ketika sudah
berlalu.
c. Kejang Umum (kejang grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan
perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum)

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme
perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun
proses sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak
rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki
manifestasi klinis infeksi SSP.
b. Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu
otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh
karena berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi.
Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien
dengan kejang epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG
tergantung pada kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan.
c. Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan
pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat suatu
penyakit struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan deficit
neurologis fokal dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman tersebut
tidak disebutkan indikasi dilakukannya pencitraan pada anak dengan SE.
Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan
dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan, namun belum
tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi
perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal
sekunder.

8. Penatalaksanaan Medis
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubu
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA
(Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg
IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang
tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg
per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan
Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat
diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100
mg per menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;
kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.
Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg
per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN STATUS EPILEPTIKUS

1. Pengkajian
a. Pengkajian kondisi/kesan umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
b. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan
berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien.
Bila terjadi penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
c. Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1) Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya.
2) Respon velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
3) Respon nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
4) Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri
ketika dicubit dan ditepuk wajahnya.
d. Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi dengan
segera masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam kehidupan).
Pengkajian berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal
memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
2) Breathing dan ventilasi
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
4) Disability
5) Eksposur

1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal.


Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal :
a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas
b) Distres pernafasan
c) Adanya kemungkinan fraktur cervical
Pada fase iktal, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga
menghalangi jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase
posiktal, biasanya ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan
tersebut
2) Breathing
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus, dan
kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami apneu
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam
keadaan tidak sadar.
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari
epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat
kejadian saat kejang
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera
tambahan akibat kejang
e. Pengkajian sekunder
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat,
tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa
medis.
2) Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual. Kapan klien
mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi
seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah menderita
sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak.
Apakah klien terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang, atau
mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain /
keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai
harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekwensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan,, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan
tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal terjadi
inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia: intake makanan yang tidak adekuat
b.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif
c. Nyeri Akut berhubungan dengan agen injuri biologi
3. Intervensi
Perencanaan
Dx
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
(NOC) (NIC)

1 Dx I: Setelah dilakukan tindakan NIC: Nutrition Management


keperawatan selama 3x24 jam
Ketidakseimbang a. Kaji status nutrisi dan kebiasaan
diharapkan kebutuhan nutrisi
an nutrisi kurang makan.
pasien adekuat dengan indikator :
dari kebutuhan R: Untuk mengetahui tentang
NOC : Nutritional status : food
tubuh keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien
and Fluid Intake
berhubungan sehingga dapat diberikan tindakan
dengan anoreksia: dan pengaturan diet yang adekuat.
intake makanan Indicator awal akhir b. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet
yang tidak yang telah diprogramkan.
- tidak terjadi 1 5
adekuat c. R: Kepatuhan terhadap diet dapat
penurunan
mencegah komplikasi terjadinya
berat badan
hipoglikemia/ hiperglikemia.
- mual dan 2 5
d. Identifikasi perubahan pola makan.
muntah
R: Mengetahui apakah pasien telah
berkurang
melaksanakan program diet yang
- porsi makan 2 5
ditetapkan.
yang
e. Kerja sama dengan tim kesehatan
disediakan
lain untuk pemberian insulin dan diet
habis
diabetik.
Indicator skala:
R: Pemberian insulin akan
1 Tidak pernah menunjukkan
meningkatkan pemasukan glukosa ke
2 Jarang
dalam jaringan sehingga gula darah
3 Kadang-kadang
menurun,pemberian diet yang sesuai
4 Sering menunjukkan
dapat mempercepat penurunan gula
5 Selalu menunjukkan
darah dan mencegah komplikasi.
2 Dx II: Setelah dilakukan tindakan NIC: Fluid Manajement
Kekurangan keperawatan selama 3x24 jam a. Monitor tanda-tanda dehidrasi
volume cairan diharapkan volume cairan pasien R: Mengetahui kondiasi dan
berhubungan terpenuhi dengan indicator: menentukan langkah selanjutnya.
dengan NOC : Fluid Balance
b. Monitor intake dan output.
kehilangan
R: Mengetahui keseimbangan cairan
volume cairan
indikator awal akhir tubuh.
aktif
c. Berikan cairan sesuai kebutuhan dan
- Klien dapat 1 5
yang dipergunakan.
menjaga
R: Mencegah terjadinya dehidrasi.
keseimbanga
n cairan serta
elektrolit
- Tidak ada 2 5
tanda-tanda
dehidrasi.
Indicator skala:

1. Tidak pernah menunjukkan


2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
3 Dx III: NOC : Pain Control NIC : Pain Management
Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan a. Lakukan pengkajian nyeri secara
berhubungan keperawatan selama 3x24 jam komprehensif (lokasi, karakteristik,
dengan agen diharapkan nyeri dapat teratasi durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
injuri biologi dengan indikator : presipitasi)
R: Mengetahui lokasi, karakteristik,
indikator awal akhir
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
- Melaporkan 1 5 presipitasi nyeri.
nyeri b. Berikan tindakan kenyamanan dasar
berkurang R: Meningkatkan relaksasi dan
- Frekuensi 2 5 membantu memfokuskan kembali
nyeri perhatian.
berkurang c. Dorong penggunaan keterampilan
- Ekspresi 1 5 manajemen nyeri (teknik relaksasi,
wajah rileks sentuhan terapeutik)
R: Memungkinkan pasien
berpartisipasi secara aktif dan
Keterangan skala :
meningkatkan rasa kontrol nyeri
1 = tidak pernah menunjukkan d. Kolaborasikan dengan tim medis
2 = jarang untuk memberikan analgesik sesuai
3 = kadang-kadang dengan indikasi.
4 = sering menunjukkan R: Nyeri adalah komplikasi sering
5 = selalu menunjukkan dari kanker,meskipun respon
individual berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara Siang Klinik
Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007.
2. Penatalaksanaan status epileptikus, Available at : http://owthey.blogspot.com/ diakses 1
April 2011.
3. Darto Saharso,Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
4. Huff, Steven. Status Epilepticus. Available
from: http://emedicine.medscape.com/diakses 3 April 2011
5. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The
treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.
6. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am
2001;48:683-94.

Anda mungkin juga menyukai