Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK


SEDANG DI RUANG GARDENA RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Handita Diani Ratri, S. Kep
NIM 182311101032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER, 2018
A. Konsep Teori Tentang Penyakit
1. Review Anatomi Fisiologi
Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam
seluruh tubuh manusia terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa.
Jaringan otak sangat rentan dan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui
aliran darah adalah konstan. Metabolisme otak merupakan proses tetap dan
kontinu, tanpa ada masa istirahat. Bila aliran darah terhenti selama 10 detik saja,
maka kesadaran dapat hilang, dan penghentian dalam beberapa menit saja dapat
menimbulkan kerusakan permanen. Hipoglikemia yang berkepanjangan juga
merusak jaringan otak. Aktivitas otak yang tidak pernah berhenti berkaitan dengan
fungsinya yang kritis sebagai pusat terintegrasi dan koordinasi organ-organ
sensorik dan sistem efektor perifer tubuh, dan sebagai pengatur informasi yang
masuk, menyimpan pengalaman, impuls yang keluar dan tingkah laku (Muttaqin,
2008).
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meninges yang melindungi
struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah, dan sekresi cairan, yaitu
cairan serebrospinal yang akan melindungi dari benturan atau goncangan
(Muttaqin, 2008). Meninges terdiri atas dura mater, araknoid mater, dan pia mater.
a. Dura meter adalah lapisan paling luar yang menutupi otak dan meduli
spinalis. Dura meter merupakan serabut berwarna abu-abu yang bersifat
liat, tebal, dan tidak elastis.
b. Araknoidea mater merupakan membran bagian tengah yang tipis dan
lembut yang menyerupai sarang laba-laba. Membran ini berwarna putih
karena tidak di aliri aliran darah.
c. Pia mater adalah membran yang paling dalam berupa dinding tipis dan
transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah
otak.
2. Definisi
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma, baik trauma tumpul maupun trauma
tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak.
Pertimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah apakah otak
telah atau tidak mengalami cedera. Cedera minor dapat menyebabkan kerusakan
otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat
tertentu yang bermakna. Sel-sel otak membutuhkan suplai darah terus-menerus
untuk memperoleh nutrisi. Kerusakan otak bersifat irreversible (permanen dan
tidak dapat pulih). Sel-sel otak yang mati diakibatkan karena aliran darah berhenti
mengalir hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami
regenerasi. Cedera otak serius dapat terjadi, dengan/tanpa fraktur tengkorak,
setelah pukulan atau cedera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi,
dan perdarahan (hemoragik) otak (Batticaca, 2008).
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Secara
anatomi, otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, tulang, dan
tentorium (helm) yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak,
tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar
bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan
banyak lainnya timbul sekunder dari cedera (Muttaqin, 2008). Cedera kepala
berdasar GCS (Glasgow Coma Scale), yang dinilai setelah stabilisasi ABC
diklasifikasikan (Tim Neurotrauma, 2014):
a. Cedera kepala ringan : GCS 14-15
b. Cedera kepala sedang : GCS 9-13
c. Cedera kepala berat : GCS 3-8
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan Skala Koma Glssgow
antara 9-13 dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam serta dapat mengalami fraktur tengkorak. Pasien dengan
trauma kepala mempunyai resiko untuk terjadinya kerusakan otak dan kematian.
Risiko kematian kemungkinan meningkat karena pasien jatuh ke dalam koma
yang lama.

3. Epidemiologi
Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia
produktif, yaitu antara 15-44 tahun (dengan usia rata-rata sekitar 30 tahun) dan
lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Adapun
penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas (49%) dan kemudian di
susul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak-anak) (Satyanegara, 2010).

4. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak. (Muttaqin, 2008). Pada umumnya
cedera kepala merupakan akibat salah satu atau kombinasi dari dua mekanisme
dasar yaitu kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu
objek atau sebaliknya, sedangkan cedera guncangan lanjut yang sering kali
dikenal sebagai cedera akselerasi-deselerasi, merupakan akibat peristiwa
guncangan kepala yanghebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun bukan
karena pukulan (Satyanegara, 2010). Menurut Rosjidi (2007), penyebab cedera
kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

5. Klasifikasi
Cedera kepala merupakan suatu proses yang progresif. Berdasarkan
progresivitasnya, cedera kepala dibagi menjadi 3 yaitu (Satyanegara, 2010):
a. Cedera primer adalah kerusakan yang terjadi pada struktur kepala,
jaringan otak serta pembuluh darah pada saat terjadinya cedera kepala.
Pada tingkat makroskopik dapat dilihat kerusakan jaringan otak.
Sedangkan pada tingkat mikroskopik dapat terjadi kerusakan pada sel-
sel parenkim otak (neuron, akson, sel glia) dan pembuluh darah kecil
(arteriola, venula, dan pembuluh darah kapiler).
b. Cedera sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi
dari kerusakan primer. Secara umum, cedera kepala sekunder meliputi
hematoma intracranial, edema serebri, peningkatan tekanan intrakranial,
edema serebri, dan pada tahap yang lebih lanjut yaitu hidrosefalus dan
infeksi.
c. Secondary brain insult adalah peristiwa sistemik yang terjadi setelah
trauma kepala yang memiliki potensi untuk menambah kerusakan sel
saraf, akson, dan pembuluh darah otak, seperti keadaan hipoksia,
hipotensi, hiperkarbia, hiperpireksia, hiperglikemia, dan kejang.
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala terdiri dari dua
macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak
atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh
massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika
tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan
melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/
tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Terjadi saat adanya goncangan yang mendadak akibat benturan kranial
pada jaringan otak didalam tengkorak. Dampaknya mirip dengan sesuatu
yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan
akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak,
kontusio memar, dan laserasi.
Menurut Rosjidi (2007) dan Tim Neurotrauma (2014), trauma kepala
diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale (
GCS )nya, yaitu:
a. Ringan
1) GCS = 14 – 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
1) GCS = 9 – 13
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1) GCS = 3 – 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.

6. Patofisiologi/patologi
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak akan mudah sekali terkena cedera
dan mengalami kerusakan. Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala..
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi
jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada
tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri.
Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan, yaitu :
a. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
b. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
c. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang
lain dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak,
pergeseran otak dan rotasi otak. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat
terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan
kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam
pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan
dengan daerah benturan.
Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang terjadi,
proses cedera otak dibagi (Japardi, 2002):
a. Proses primer adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan
oleh benturan/proses mekanik yang membentur kepala. Derajat
kerusakan tergantung pada kuatnya benturan dan arahnya, kondisi
kepala yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala.
Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
dalam rongga tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut saraf dan
kematian langsung neuron pada daerah yang terkena.
b. Proses sekunder merupakan tahap lanjutan dari kerusakan primer dan
timbul karena kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan otak
berantai karena berubahnya struktur anatomi maupun fungsional dari
totak, misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi.
7. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak, yaitu (Baughman dan Hackley, 2000):
a. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
b. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut
c. Fraktur pada basal tulang tengkorak seringkali menyebabkan hemargi
dari hidung, faring, atau telinga, dan darah mungkin akan terlihat pada
konjungtiva
d. Ekimosis mungkin terlihat diatas mastoid (tanda Battle)
e. Drainase CSF dapat menyebabkan infeksi serius yaitu meningitis
melalui robekan durameter
f. Caran serebro spinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi
otak atau kontusio
Gejala cedera kepala berdasarkan klasifitasi cedera otak menutut GCS:
a. Gejala cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005) meliputi:
1) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu
atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
b. Gejala cedera kepala sedang menurut Diane C (2002) meliputi:
1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebinggungan atau hahkan koma.
2) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan.
c. Gejala cedera kepala berat menurut Diane C (2002)
1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
2) Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
3) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
4) Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
Soewarti (2012) menyebutkan pada pemeriksaan fisik dapat di temui
beberapa hal sebagai berikut:
a. Jejas di kepala meliputi hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka,
luka tembus dan benda asing
b. Tanda patah dasar tengkorak meliputi ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhea
serta perdarahan di membrane timpani atau laserasi kanalis auditorius
c. Tanda patah tulang wajah meliputi fraktur maxilla (lefort), fraktur rima
orbita dan fraktur mandibular
d. Tanda trauma pada mata meliputi perdarahan konjungtiva, perdarahan
bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
Tanda peningkatan tekanan intrakrainal juga dapat ditemukan pada pasien
COS, tanda gejala peningkatan TIK menurut Weatherspoon (2017) meliputi:
sakit kepala
a. Mual
b. Muntah
c. Peningkatan tekanan darah
d. Kemampuan mental menurun
e. Kebingungan tentang waktu, dan kemudian lokasi dan orang-orang
f. Penglihatan ganda
g. Pupil yang tidak berespon terhadap perubahan cahaya
h. Nafas dangkal
i. Kejang
j. Hilang kesadaran
k. Koma

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala
yaitu (Muttaqin, 2008):
a. CT-scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
b. MRI
c. Angiosgrafi serebral (Cerebral Angiography)
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma
d. EEG berkala
e. Foto rontgen, mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang
f. PET, mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
g. Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi: dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subaraknoid
h. Kadar elektrolit, untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intracranial
i. Skrining toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehngga
menyebabkan penurunan kesadaran
j. Analisis Gas Darah (AGD) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam
basa.
9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi
a. Airway dan Breathing
1) Menilai jalan nafas: bersihkan jalan nafas dari debris dan
muntahan; lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris
dengan badan dengan cara memasang collar cervikal, pasang
guedel/mayo bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu
jalan nafas,maka pasien harus diintubasi
2) Untuk cedera kepala sedang dan berat lakukan intubasi
endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO₂.
3) Menilai pernafasan: tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak.
Jika tidak beri O₂ melalui masker O₂. Jika pasien bernafas spontan,
selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi
4) Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi
asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan
pupil yang telah berdilatasi. PCO₂ harus dipertahankan antara 25-
35 mmhg.
b. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada pasien dengan COS. Hipotensi merupakan petunjuk
adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak.
Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah
menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk
mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.
Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan
adanya cedera intraabdomen/dada. Ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah serta pasang EKG. Pasang jalur intravena
yang besar. Berikan larutan koloid, pemberian larutan kristaloid
menimbulkan eksaserbasi edema.
Penatalaksanaan awal cidera kepala dapat dilakukan dengan:
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
g. Pembedahan.
B. Clinical Pathway

Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial

Terputusnya kontinuitas Terputusnya kontinuitas jaringan tulang


jaringan kulit, otot dan
vaskuler
Pajanan pathogen meningkat Kerusakan sel

Perdarahan, Gangguan suplai darah


Resiko infeksi Pelepasan mediator nyeri
hematoma
(histamine, bradikinin,
Hipoksia prostaglandin, serotonin)
Iskemia
Perubahan sirkulasi CSS
Ketidakefektifan
Dihantarkan serabut
perfusi jaringan
Peningkatan TIK Mual-muntah, tipe A dan tipe C
otak
nyeri kepala

Girus medialis lobus temporalis tergeser Medulla spinalis


Resiko kekurangan
volume cairan
Herniasi unkus Sistem aktivasi retikular

Mesenfelon tertekan Thalamus Hipotalamus dan


sistem limbik
Resiko jatuh
Gangguan kesadaran
Otak (korteks
Ansietas somatosensorik)

Persepsi nyeri

Nyeri akut
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala sedang, GCS: 9-12) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda
vital. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah
dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien ((Muttaqin, 2008).
a. Keluhan Utama
Biasanya pasien datang ke RS karena terjadinya penurunan kesadaran
akibat trauma pada kepala.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya pasien datang ke RS karena mendapat trauma pada kepala
baik oleh benda tumpul ataupun tajam dengan keluhan pusing atau
sampai terjadi penurunan kesadaran.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada RPD dikaji apakah sebelumnya klien pernah mengalami cedera
kepala, riwayat hipertensi, riwayat DM dan apakah klien mempunyai
alergi obat.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Dikaji apakah ada keluarga yang pernah mengalami kejadian yang sama
dan adakah keluarga yang menderita hipertensi dan DM
e. B1 (Breathing), perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada
gradasi dari perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada
beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik sistem ini akan
didapatkan hasil seperti di bawah ini.
1) Inspeksi didapatkan adanya peningkatan produksi sputum, sesak
nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi nafas.
Pola napas paradoksal dapat terjadi jika otot-otot intercostal tidak
mampu menggerakkan dinding dada.
2) Pada palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga otak.
3) Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada torak/hematoraks.
4) Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi,
stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien
cedera kepala dengan penurunan tinggkat kesadaran koma.
f. B2 (Blood), hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,
nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit terlihat pucat menunjukkan adanya
penurunan kadar haemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan
adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari syok.
g. B3 (Brain)
1) Pengkajian tingkat kesadaran, tingkat keterjagaan klien dan respons
terhadap lingkungan adalah indikator yang paling sensitive untuk
disfungsi sistem pernafasan. Pada keadaan lanjut tingkat keterjagaan
klien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
semikomatosa sampai koma.
2) Pengkajian fungsi serebral
a) Status mental. Observasi penampilan, tingkah laku klien, nlai
gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
b) Fungsi intelektual. Pada klien dengan cedera kepala didapatkan
penurunan dalam memori jangka panjang dan jangka pendek.
c) Lobus frontal. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didaptkan jika trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal kapasitas, memori, atau kerusakan fungsi
intelektual kortikal yang lebih tinggi. Disfungsi ini dapat
ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa dan kurang motivasi.
d) Hemisfer. Cedera hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah
kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap
sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala yang hemisfer kiri,
mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-
hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia dan mudah frustasi.
3) Pengkajian saraf kranial
a) Saraf I (N. Olafktorius), terjadi kerusakan pada bagian ini
menyebabkan klien mengalami gangguan pada fungsi penciuman
(anosmia) unilateral atau bilateral.
b) Saraf II (N. Optikus), hematom palpebral pada klien cedera
kepala akan menurunkan lapang pandang dan mengganggu fungsi
saraf optikus.
c) Saraf III, IV dan VI (N. Okulomotoris, Troklearis, dan
Abdusens), terjadi kerusakan pada bagian rongga orbita
menyebabkan klien akan mengalami gangguan mengangkat
kelopak mata. Pada kasus trauma kepala berat dapat dijumpai
anisokoria.
d) Saraf V (N. Trigeminus), terjadi kerusakan pada bagian ini
menyebabkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah.
e) Saraf VII (N. Fasialis), persepsi pengecapan mengalami
perubahan.
f) Saraf VIII (N. Vestibulosokoklearis), pada cedera otak ringan
biasanya tidak didapatkan perubahan fungsi pendengaran.
g) Saraf IX dan X (N. Glosofaringeus dan Vagus), kemampuan
menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
h) Saraf XI (N. Asesorius), bila tidak melibatkan trauma pada leher,
mobilitas klien cukup baik serta tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
i) Saraf XII (N. Hipoglosus), indra pengecapan mengalami
perubahan.
4) Pengkajian sistem sensorik, pada inspeksi umum didapatkan
hemiplegia dan hemiparesis.
a) Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang
b) Kekuatan otot, penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan
otot didapatkan tingkat 0
c) Keseimbangan dan koordinasi, dapat mengalami gangguan karena
hemiparese dan hemiplegia
5) Pengkajian reflex, pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada
tendon, ligamentum pada respon normal.
6) Pengkajian sistem sensorik, dapat terjadi hemihipestesi. Kehilangan
sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan
ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan propriosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh).
h. B4 (Bladder), kaji keadaan urin meliputi warna, jumlah, dan
karaketristik urin, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urin
dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami inkontinensia
urin karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan,
dan ketidakmampuan untuk menggunakan sistem perkemihan karena
kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol
sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,
dilakukan katerasisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia
urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
i. B5 (Bowel), didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu
makan menurun, mual, dan muntah pada fase akut. Mual sampai
muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi
biasanya terjadi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinensia
alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
j. B6 (Bone), disfungsi paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit, warna kebiruan menunjukkan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan membran
mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya haemoglobin atau syok. Warna kemerahan pada kulit
dapat menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk
menilai adanya lesi dan decubitus. Adanya kesulitan untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensoria tau paralise/hemiplegi, mudah
lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut (Domain 12 Kenyamanan, Kelas 1 Kenyamanan
Fisik, Kode 00132)
Definisi pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan
yang muncul akibat kerusakan jaringan actual atau potensial atau
yang digambarkan sebagai kerusakan, awitan yang tiba-tiba atau
lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi.
Batasan karakteristik
a. Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri
untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkannya (missal
neonatal infant pain scale, pain assessment checklist for senior
with limited ability to communicate)
b. Diaphoresis
c. Dilatasi pupil
d. Ekspresi wajah nyeri (missal mata kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus
meringis)
e. Fokus menyempit (missal persepsi waktu, proses berpikir,
interaksi dengan orang dan lingkungan)
f. Fokus pada diri sendiri
g. Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri
(missal skala Wong-Baker Faces, skala analog visual, skala
penilaian numerik)
h. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan
instrument nyeri (missal McGill Pain Questionnaire, Brief
Pain Inventory)
i. Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas (misal
anggota keluarga pemberi asuhan)
j. Perilaku distraksi
k. Perubahan pada parameter fisiologis (misal tekanan darah,
frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan
end-tidal karbon dioksida)
l. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
m. Perubahan selera makan
n. Putus asa
o. Sikap melindungi area nyeri
p. Sikap melindungi tubuh
q. Agens cedera biologis (misal infeksi, iskemia, neoplasma)
r. Agens cedera fisik (misal abses, amputasi, luka bakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur bedah, trauma, olah
raga berlebihan)
s. Agens cedera kimiawi (misal luka bakar, kapsaisin, metilen
klorida, agens mustard)
2. Resiko infeksi(Domain 11 Keamanan/Perlindungan, Kelas 1.
Infeksi, Kode 00004)
Definisi rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme yang
dapat mengganggu kesehatan.
Faktor resiko
a. Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan pathogen
b. Malnutrisi
c. Obesitas
d. Penyakit kronis (misal diabetes mellitus)
e. Prosedur invasive
Pertahanan Tubuh Primer Tidak Adekuat
a. Gangguan integritas kulit
b. Gangguan peristalsis
c. Merokok
d. Pecah ketuban dini
e. Pecah ketuban lambat
f. Penurunan kerja siliaris
g. Perubahan pH sekresi
h. Stasis cairan tubuh
Pertahanan Tubuh Sekunder Tidak Adekuat
a. Imunosupresi
b. Leukopenia
c. Penurunan hemoglobin
d. Supresi respon inflamasi
e. Vaksinasi tidak adekuat
3. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (Domain 4.
Aktivitas/Istirahat, Kelas 4 Respons
Kardiovaskuler/Pulmonal, Kode 00201)
Definisi rentan mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak yang
dapat mengganggu kesehatan
Faktor risiko
a. Agens farmaseutikal
b. Aterosklerosis aortic
c. Baru terjadi infark miokardium
d. Diseksi arteri
e. Embolisme
f. Endocarditis inefektif
g. Fibrilasi atrium
h. Hiperkolesterolemia
i. Hipertensi
j. Kardiomiopati dilatasi
k. Katup prostetik mekanis
l. Koagulasi intravaskuler diseminata
m. Koagulipati (misal anemia sel sabit)
n. Masa protombin abnormal
o. Masa tromboplastin parsial abnormal
p. Miksoma atrium
q. Neoplasma otak
r. Penyalahgunaan zat
s. Segmen ventrikel kiri akinetik
t. Sindrom sick sinus
u. Stenosis carotid
v. Stenosis mitral
w. Terapi trombolitik
x. Tumor otak (misal gangguan serebrovaskular, penyakit
neurologis, trauma, tumor)
4. Resiko kekurangan volume cairan (Domain 2. Nutrisi, Kelas 5.
Hidrasi, Kode 00028)
Definisi kerentanan mengalami penurunan volume cairan
intravascular, interstisial, dan/atau intraselular, yang dapat
mengganggu kesehatan
Faktor risiko
a. Agens farmaseutikal
b. Barier kelebihan cairan
c. Berat badan ekstrem
d. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan
e. Gangguan mekanisme regulasi
f. Kehilangan cairan melalui rute normal
g. Kehilangan volume cairan aktif
h. Kurang pengetahuan tentang kebutuhan cairan
i. Penyimpangan yang mempengaruhi absorpsi cairan
j. Penyimpangan yang mempengaruihi kelebihan cairan
k. Usia ekstrem
5. Ansietas (Domain 9 Koping/Toleransi Stres, Kelas 2 Respons
Koping, Kode 00146)
Definisi perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar
disertai respons otonom (sumber sering kali tidak spesifik atau
tidak diketahui oleh individu); perasaan takut yang disebabkan
oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat
kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya
dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman.
Batasan karakteristik
Perilaku
a. Agitasi
b. Gelisah
c. Gerakan ekstra
d. Insomnia
e. Kontak mata yang buruk
f. Melihat sepintas
g. Mengekspresikan kekhawatiran karena perubahan dalam
peristiwa hidup
h. Penurunan produktivitas
i. Perilaku mengintai
j. Tampak waspada
Afektif
a. Berfokus pada diri sendiri
b. Distress
c. Gelisah
d. Gugup
e. Kesedihan yang mendalam
f. Ketakutan
g. Menggemerutukkan gigi
h. Menyesal
i. Peka
j. Perasaan tidak adekuat
k. Putus asa
l. Ragu
m. Sangat khawatir
n. Senang berlebihan
Fisiologis
a. Gemetar
b. Peningkatan keringat
c. Peningkatan ketegangan
d. Suara bergetar
e. Tremor
f. Tremor tangan
g. Wajah tegang
6. Resiko jatuh (Domain 11. Keamanan/Perlindungan, Kelas 2.
Cedera Fisik, Kode 00155)
Definisi rentan terhadap peningkatan risiko jatuh yang dapat
menyebabkan bahaya fisik dan gangguan kesehatan
Faktor risiko
Dewasa
a. Penggunaan alat bantu (misal walker, kursi roda, tongkat)
b. Prosthesis ekstremitas bawah
c. Riwayat jatuh
d. Tinggal sendiri
e. Usia ≥ 60 tahun
Kognitif
a. Gangguan fungsi kognitif
Fisiologis
a. Anemia
b. Artritis
c. Diare
d. Defisit proprioseptif
e. Gangguan keseimbangan
f. Gangguan mendengar
g. Gangguan mobilitas
h. Gangguan visual
i. Gangguan pada kaki
j. Hipotensi ortostatik
k. Inkontinensia
l. Kesulitan gaya berjalan
m. Mengantuk
n. Neoplasma
o. Neuropati
p. Penurunan kekuatan ekstremitas bawah
q. Penyakit vaskuler
r. Periode pemulihan pasca operasi
s. Perubahan kadar gula darah
t. Sakit akut
u. Pusing saat mengekstensikan leher
3. Perencanaan/Nursing Care Plan
No. Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Paraf
Keperawatan dan
Nama
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam Manajemen Nyeri (1400)
menunjukkan kriteria hasil a. Lakukan pengkajian nyeri
Kontrol nyeri (1605) komprehensif yang meliputi lokasi,
No. Indikator Awal Tujuan karakteristik, durasi, frekuensi,
1 2 3 4 5 kualitas, intensitas, dan faktor
1. Mengenali kapan 2 √ pencetus
nyeri terjadi b. Observasi adanya petunjuk
2. Menggambarkan 2 √
nonverbal mengenai
faktor penyebab
3. Menggunakan 2 √ ketidaknyamanan
tindakan c. Perawatan analgesik bagi pasien
pencegahan dilakukan dengan pemantauan yang
4. Menggunakan 2 √ ketat
tindakan d. Kendalikan faktor lingkungan yang
pengurangan nyeri dapat mempengaruhi respon klien
tanpa analgesik
terhadap ketidaknyamanan
5. Melaporkan nyeri 2 √
e. Anjurkan pasien untuk memonitor
yang terkontrol
Keterangan nyeri dan menangani nyeri dengan
1. Tidak pernah menunjukkan tepat
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan Pemberian analgesik (2210)
5. Secara konsisten menunjukkan a. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan keparahan nyeri
sebelum mengobati
b. Cek adanya riwayat alergi obat
c. Pilih analgesik atau kombinasi
analgesik yang sesuai ketika lebih
dari satu diberikan
d. Berikan analgesik sesuai waktu
paruhnya, terutama pada nyeri yang
berat
e. Cek perintah pengobatan meliputi
obat, dosis dan frekuensi obat
analgesik yang diresepkan
2. Resiko infeksi Selama dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak Kontrol Infeksi (6540)
mengalami infeksi, menunjukkan kriteria hasil: a. Anjurkan pasien mengenai teknik
Keparahan infeksi (0703) cuci tangan dengan tepat
Tujuan b. Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 c. Berikan terapi antibiotic yang sesuai
1. Kemerahan 2 √ d. Anjurkan untuk beristirahat
2. Demam 2 √ e. Ajarkan pasien dan keluarga
3. Nyeri 2 √ mengenai tanda dan gejala infeksi
4. Malaise 2 √
dan kapan harus melaporkannya
5. Hilang nafsu 1 √
makan kepada penyedia perawatan
Keterangan : kesehatan
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
3. Resiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, Pengecekan kulit (3590)
ketidakefektifan menunjukkan kriteria hasil a. Monitor kwarna dan suhu kulit
perfusi jaringan Perfusi jaringan perifer (0406) b. Amati warna, kehangatan, bengkak,
otak Tujuan pulsasi, tekstur, edema dan ulserasi
No Indikator Awal
1 2 3 4 5 pada ekstremitas
1. Tekanan intrakranial 2 √ c. Lakukan langkah-langkah untuk
2. Tekanan darah 2 √ mencegah kerusakan lebih lanjut
sistolik
(misal menjadwalkan reposisi)
3. Tekanan darah 2 √
diastolik d. Monitor kulit dan selaput lender
4. Nilai rata-rata 2 √ terhadap area perubahan warna,
tekanan darah memar dan pecah
5. Hasil serebral 2 √ e. Ajarkan anggota keluarga/pemberi
angiogram asuhan mengenai tanda-tanda
Keterangan : kerusakan kulit dengan tepat
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal
4. Resiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam, Manajemen Cairan (4120)
kekurangan menunjukkan kriteria hasil: a. Distribusikan asupan cairan selama
volume cairan Keseimbangan Cairan (0601) 24 jam
Tujuan b. Monitor tanda-tanda vital pasien
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 c. Dukung pasien dan keluarga untuk
1. Tekanan darah 2 √ membantu dalam pemberian makan
dengan baik
2. Denyut perifer 2 √
d. Berikan penggantian nasogastric
3. Berat badan 2 √ yang diresepkan berdasarkan output
stabil e. Berikan terapi IV, seperti yang
4. Turgor kulit 2 √ ditentukan

5. Edema perifer 2 √

Keterangan :
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
5. Ansietas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, Pengurangan Kecemasan (5820)
menunjukkan kriteria hasil a. Gunakan pendekatan yang tenang
Tingkat kecemasan (1211) dan meyakinkan
Tujuan b. Berada di sisi klien untuk
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 meningkatkan rasa aman dan
1. Tidak dapat 1 √ mengurangi ketakuta
beristirahat c. Dorong verbalisasi peraas, persepsi
2. Meremas-remas 2 √
dan ketakutan
tangan
d. Dengarkan klien
3. Perasaan gelisah 1 √
e. Puji/kuatkan perilaku yang baik
4. Mengeluarkan 1 √ secara tepat
perasaan marah Peningkatan koping (5230)
secara a. Gunakan pendekatan yang tenang
berlebihan dan memberikan jaminan
5. Rasa takut yang 2 √
b. Berikan suasana penerimaan
disampaikan
secara lisan c. Evaluasi kemampuan pasien dalam
Keterangan : membuat keputusan
1. Berat d. Dukung kesabaran dalam
2. Cukup berat mengembangkan suatu hubungan
3. Sedang e. Instruksikan pasien untuk
4. Ringan menggunakan teknik relaksasi sesuai
5. Tidak ada dengan kebutuhan
6. Resiko jatuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, Pencegahan jatuh (6490)
menunjukkan kriteria hasil a. Identifikasi kekurangan kognitif atau
Kejadian jatuh (1912) fisik dari pasien yang mungkin
No. Indikator Awal Tujuan meningkatkan potensi jatuh pada
1 2 3 4 5 lingkungan tertentu
1. Jatuh saat berdiri 2 √ b. Indentifikasi perilaku dan faktor
2. Jatuh saat duduk 2 √ yang mempengaruhi risiko jatuh
3. Jatuh saat 2 √ c. Ajarkan pasien untuk beradaptasi
dipindahkan
terhadap modifikasi gaya berjalan
4. Jatuh dari 2 √
tempat tidur yang (telah) disarankan
5. Jatuh saat 2 √ d. Letakkan benda-benda dalam
dipindahkan jangkauan yang mudah bagi pasien
Keterangan : e. Monitor kemampuan untuk
1. 10 dan labih berpindah dari tempat tidur ke kursi
2. 7-9 atau sebaliknya
3. 4-6
4. 1-3
5. Tidak ada
DAFTAR PUSTAKA

Aquilino, Mary Lober, Et al. 2008. Nursing Outcomes Classification. Fifth


Edition. United State of America: Mosby Elsevier

Batticaca, Fransisca C. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Baughman, D.C dan Hackley, J.C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah Buku Saku
dari Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC

Dochterman, Janne McCloskey dan Bulcchek, Gloria M. 2008. Nursing


Interventions Clarifications. Fifth Edition.United State of America: Mosby
Elsevier.

Herdman, T. Heather. 2015. NANDA Internasional Inc. Diagnosa Keperawatan:


Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC

Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. USU: Fakultas


Kedokteran Bagian Bedah

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Rosjidi, C. H. 2007. Asuhan Keperawatan Klien dengan Cedera Kepala.


Yogyakarta: Ardana Media.

Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Sayaraf Satyanegara Edisi IV. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Soertidewi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral.


Jakarta: RS Cipto Mangunkusumo FKUI

Tim Neurotrauma. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak Edisi Kedua.


Surabaya: RSUD dr. Soetomo FKUNAIR.

Weatherspoon, D. 2017. Increased Intracranial Pressure.


https://www.healthline.com/health/increased-intracranial-
pressure#symptoms. [diakses pada 15 November 2018].

Anda mungkin juga menyukai