Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM PADA ANAK

DISUSUN :

KELOMPOK III

DESIANI (C1814201061)

FEBE MEISKE (C1814201061)

HERDA A SOPUTAN (C1814201073)

MARGARET K Br SILABAN (C1814201080)

NIKEN (C1814201080)

SKOLASTIKA LILI (C1814201095)

YUNITA KUMAYAS (C1814201103)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATANSTELLA MARIS MAKASSAR


PROGRAM S1 KEPERAWATAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan

rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun Asuhan Keperawatan ini tepat

pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Asuhan Keperawatan Penyakit Kejang

Demam Pada Anak Keperawatan ”

Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan ini bisa teratasi dengan baik dan
penulis dapat menyelesaikan dengan baik.

Atas segala bantuan yang diberikan penulis mengucapkan banyak terima kasih dan
penulis memohon maaf atas kekurangan yang dimiliki dalam makalah ini, sehingga
dengan adanya makalah ini dapat menjadi ilmu bagi yang membacanya.

Makassar, 8 - Mei- 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga. Selain
sebagai penerus keturunan, anak pada akhirnya juga sebagai generasi penerus bangsa.
Oleh karena itu tidak satupun orang tua yang menginginkan anaknya jatuh sakit,
lebih-lebih bila anaknya mengalami kejang demam.

Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering


dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab
demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi
saluran pencernaan.

Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan
sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah
menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki
daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi
serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. Untuk itu tenaga perawat/paramedis
dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu
memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang meliputi aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan
serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-
spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah :
Mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari trauma,
mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif, memberikan
informasi kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan
penanganannya.

B. Rumusan Masalah
Untuk Mengetahui Proses penyakit kejang demam pada anak dalam Asuhan
Keperawatan.

C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang kejang demam pada anak.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Kejang Demam


1. Definisi
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang dapat terjadi karena
peningkatan suhu akibat proses ekstranium dengan ciri terjadi antara usia 6 bulan-4
tahun, lamanya kurang dari 15 detik dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam
setelah timbulnya demam (Hidayat, 2018).
Kejang demam atau step/stuip adalah kejang yang disertai demam. Kejang
demam ada dua tipe, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang dapat berhenti sendiri. Lama
kejang sekitar 15 menit dan hanya terjadi sekali selama dalam 12 jam, serta tidak
meninggalkan abnormalitas setelah kejang. Sementara kejang demam kompleks
apabila dijumpai kejang dengan tempo waktu di atas 15 menit, lebih dari dari satu kali
dalam 24 jam, biasanya didapatkan kelainan neurologis sebelum terjadinya kejang
(Yulianingsih, 2017).
Kejang demam (Febrila Convulsion) adalah kejang pada bayi atau anak-anak
yang terjadi akibat demam, tanpa adanya infeksi pada susunan saraf pusat maupun
kelainan saraf lainnya (Utaminingsih, 2015).
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang dapat terjadi karena peningkatan
suhu akibat proses ektranium dan dapat terjadi pada usia 6 bulan-4 tahun, kejang
demam terjadi tanpa adanya infeksi pada susunan saraf pusat maupun kelainan saraf
lainnya.
Kejang juga terbagi menjadi dua tipe, yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks, kejang demam sederhana adalah kejang yang dapat berhenti
sendiri lamanya sekitar 15 menit dan hanya terjadi dalam 12 jam. Sementara kejang
demam kompleks adalah kejang yang terjadi dengan tempo waktu di atas 15 menit
dan lebih dari satu kali dalam 24 jam.
2. Etiologi
Penyebab dari kejang demam belum diketahui secara pasti, tetapi salah satu
penyebab terjadinya kejang demam, yaitu tingginya suhu badan anak, suhu tubuh
anak normalnya berkisar antara 36-37oC. Dinyatakan demam bila temperatur
tubuhnya yang diukur melalui mulut/telinga menunjukan angka 37,8 oC, melalui
rektum/anus 38oC, dan melalui ketiak 37,2oC. Yang perlu diwaspadai para orang tua
adalah toleransi masing-masing anak terhadap demam masih bervariasi. Pada anak
yang toleransinya rendah, maka demam pada suhu tubuh 38oC pun sudah bisa
membuatnya kejang. Sementara pada anak-anak yang toleransinya normal, kejang
baru dialami jika suhu badan mencapai 39oC atau lebih.
Umur anak yang berisiko kejang demam antara 6 bulan hingga 5 tahun. Bayi
yang berumur kurang dari 6 bulan dan anak yang berumur lebih dari 5 tahun jarang
mengalami kejang demam. Kasus tertinggi anak mengalami kejang demam terjadi
pada umur 2 tahun dan menurun di umur 4 tahun. Artinya, serangan kejang demam
akan menurun dengan bertambahnya umur anak. Faktor lain yang yang berpengaruh
adalah jenis kelamin. Risiko serangan kejang demam juga lebih tinggi pada anak laki-
laki daripada anak perempuan, perbandingannya 2 banding 1. Hal ini kemungkinan
disebabkan pada anak perempuan perkembangan otaknya lebih cepat. Anak dengan
riwayat anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam juga disebut-sebut
memiliki kemungkinan besar mendapat serangan kejang demam dibandingkan anak
yang anggota keluarganya tidak memiliki riwayat kejang demam (Yulianingsih,
2017).
Kejang demam cenderung ditemukan dalam satu keluarga, sehingga diduga
melibatkan faktor keturunan (faktor genetik). Kadang kejang yang berhubungan
dengan demam disebabkan oleh penyakit lain, seperti keracunan, meningitis atau
ensefalitis.
Roseola atau infeksi oleh virus herpes manusia juga sering menyebabkan kejang
demam pada anak-anak. Disentri karena shiggela juga sering menyebabkan demam
tinggi dan kejang demam pada anak-anak (Utaminingsih, 2015).
3. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi Otak

b. Fisiologi
Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai
fungsi yang berbeda dan saling mempengaruhi. Satu fungsi saraf terganggu
secara fisiologi akan mempengaruhi terhadap fungsi tubuh yang lain.
Sistem saraf dikelompokan menjadi dua bagian besar yaitu susunan saraf
pusat/Central Nervous System (CNS) dan Susunan Saraf Perifer Peribheral
Nervous Sistem (PPNS). Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medulla
spinalis, sedangkan saraf perifer terdiri atas saraf-saraf yang keluar dari otak (12
pasang) dan saraf-saraf yang keluar dari medulla spinalis (31 pasang). Menurut
fungsinya saraf perifer di bagi atas Saraf Afferent (sensorik) dan Efferent
(motorik). Saraf Afferent (sensorik) menghantarkan informasi dari reseptor-
reseptor khusus yang berada pada organ permukaan atau bagian dalam ke otak.
Saraf efferent (motorik) menyampaikan informasi dari otak dan medulla spinal ke
organ-organ tubuh seperti otot rangka, otot jantung, otot-otot bagian dalam dan
kelenjar-kelenjar. Saraf motorik kemudian di bagi menjadi dua yaitu sistem saraf
somatik dan sistem saraf otonomik, sistem saraf somatik berperan dalam interaksi
antara tubuh dengan lingkungan luar. Serabut sarafnya berada pada sel otot-otot
rangka. Sistem saraf otonomik dibagi atas simpatis dan parasimpatis yang
berperan dalam interaksi dalam lingkungan internal seperti pada otot jantung,
kelenjar.
a) Korteks Serebri
Merupakan lapisan bagian atas dari cerebrum yang tebalnya 2-5 mm
dan tersusun sebagian besar oleh gray matter dan hampir 75% sel bodi
saraf dan dendrit berada pada korteks serebri. Semua aktifitas tubuh di
kendalikan oleh korteks serebri sesuai dengan areanya. Pada korteks
serebri terdapat area-area tertentu yang dipetakan menggunakan angka
oleh Broadmann (1909).
Menurut Broadmann permukaan korteks dapat di bagi menjadi
sebagian besar daerah-daerah artitektural sel-sel. Masing-masing area
mempunyai arti fungsional yang jelas dan spesifik. Misalnya area 4
merupakan area korteks motorik, area 5 dan 7 merupakan area asosiasi
somatosensorik, area 6 korteks area premotorik.
b) Cerebrum
Cerebrum adalah bagian otak yang paling besar, kira-kira 80% dari
berat otak. Cerebrum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh
korpus kallosum yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Baik hemisfer
kanan dan kiri menginterpretasi data sensorik yang masuk, menyimpan
memori, belajar. Namun demikian masing-masing hemisfer mempunyai
dominasi tertentu, seperti pada hemisfer kanan lebih dominan dalam
mengasimilasi pengalamam sensori seperti visual, informasi, aktivitas
musik, seni, menari. Pada hemisfer kiri lebih dominan pada kemampuan
analis, bahasa, bicara, matematik dan berpikir abstrak. Setiap hemisfer
terbagi atas empat lobus yaitu lobus frontal, pariental, temporal dan
oksipital.
Lobus frontal berfungsi sebagai aktivitas motorik, fungsi intektual,
emosi dan fungsi fisik. Pada bagian frontal bagian kiri terdapat area broca
(area 44 dan 45) yang berfungsi sebagai pusat motorik. Kerusakan area
broca dapat mengakibatkan abhasia motorik (ekspresif) yang ditandai
ketidakmampuan pasien untuk mengungkapkan pikiran-pikiran yang
dapat dimengerti dalam bahasa bicara.
Lobus pariental terdapat sensori primer dan korteks. Berfungsi
sebagai proses input sensori, sensasi posisi, sensasi raba, tekan dan
perubahan suhu ringan. Pada lobus pariental terdapat area korteks
somatosensori. Area ini menerima impuls sensorik spesifik dari
hipotalamus. Jika terjadi kerusakan unilateral pada area ini maka pasien
tidak dapat mengenali dan menilai rangsangan raba ringan, dan
menentukan lokasi rasa raba.
Lobus temporal mengandung area auditorius, tempat tujuan sensasi
yang datang dari telinga. Berfungsi sebagai input perasa, pendengaran,
pengecap, penciumam dan proses memori. Pada lobus temporal terdapat
area Brodmann 41 dan 42. Area Brodmann 41 yang merupakan korteks
area pendengaran primer dan area Brodman 42 yang merupakan area
korteks asosiasi pendengaran. Kerusakan pada area ini dapat
mengakibatkan gangguan bicara atau menulis karena ketidakmampuan
menangkap suara dari luar. Pada lobus temporal bagian medial terdapat
hippokampus yang berperan dalam proses memori.
Lobus oksipital mengandung area visual otak, berfungsi sebagai
penerima informasi dan menafsirkan warna, reflek visual. Pada lobus ini
terdapat korteks area penglihatan primer (area Brodmann 17). Impuls
penglihatan akan di hantarkan ke area 17 kemudian akan dihantarkan ke
area Brodmann 18 dan 19 yang merupakan korteks area asosiasi
penglihatan untuk di asosiasikan.
c) Diencephalon
Diencephalon terletak diatas batang otak dan terdiri atas talamus,
hipotalamus, epitalamus dan subtalamus.
Talamus adalah massa sel saraf besar yang berbentuk telur, terletak
pada substansi alba. Talamus berfungsi sebagai stasiun relay dan integrasi
dari medulla spinalis ke korteks serebri dan bagian lain dari otak.
Hipotalamus terletak dibawah talamus, berfungsi dalam
mempertahankan homeostasis seperti pengaturan suhu tubuh, rasa haus,
lapar, respon sistem saraf otonom dan kontrol terhadap sekresi hormon
dalam kelenjar pituitari.
Epitalamus dipercaya berperan dalam pertumbuhan fisik dan
perkembangan seksual.
d) Batang Otak
Batang otak terdiri atas otak tengah mesencephalon, pons dan
medulla oblongata. Batang otak berfungsi pengaturan refleks untuk fungsi
vital tubuh. Otak tengah mempunyai fungsi utama sebagai relay stimulus
pergerakan otot dari dan ke otak. Misalnya kontrol refleks pergerakan
mata akibat adanya stimulus pada nervus kranial III dan IV. Pons
menghubungkan otak tengah dengan medulla oblongata, berfungsi sebagai
pusat-pusat refleks persarafan dan mempengaruhi tingkat karbondioksida,
aktivitas vasomotor. Medulla oblongata didalamnya terdapat pusat refleks
pernapasan, bersin, menelan, batuk, muntah, sekresi saliva dan
vasokontriksi. Saraf kranial IX, X, XI, dan XII keluar dari medulla
oblongata. Pada batang otak terdapat juga sistem retikularis yaitu sistem
sel saraf dan serat penghubungnya dalam otak yang menghubungkan
semua traktus acendens dan decendens dengan semua bagian lain dari
sistem saraf pusat. Sistem ini berfungsi sebagai integrator seluruh sistem
saraf seperti terlihat dalam tidur, kesadaran, regulasi suhu, respirasi dan
metabolisme.

4. Faktor Risiko
a. Usia ketika pertama kali terserang kejang demam (kurang dari 15 bulan)
b. Sering mengalami demam
c. Riwayat keluarga yang juga mengalami kejang demam.
Jika kejang terjadi segera setelah demam atau jika suhu tubuh relatif rendah,
maka besar kemungkinannya akan terjadi kembali kejang demam.
Kejang demam bisa membuat orang tua cemas, tetapi sebetulnya tidak
berbahaya. Selama kejang berlangsung, ada kemungkinan bahwa anak akan
mengalami cedera karena terjatuh atau tersedak makanan atau lidahnya sendiri.
Belum bisa dibuktikan bahwa kejang demam bisa menyebabkan kerusakan otak.
Penelitian menunjukan, anak-anak yang pernah mengalami kejang demam memiliki
prestasi dan kecerdasan yang normal.
95-98% dari anak-anak yang pernah mengalami kejang demam, tidak berlanjut
menjadi epilepsi. Tetapi beberapa anak memiliki resiko tinggi menderita epilepsi, jika:
a. Kejang demam berlangsung lama
b. Kejang hanya mengenai bagian tubuh tertentu
c. Kejang demam yang berulang dalam waktu 24 jam
d. Anak menderita cerebral palsy, gangguan pertumbuhan atau kelainan
saraf lainnya (Utaminingsih, 2015).
5. Patofisiologi
Mempertahankan kelangsungan hidup sel atau otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa dan melalui suatu proses oksidasi. Dalam proses oksidasi tersebut diperlukan
oksigen yang disediakan melalui perantara paru-paru, oksigen dari paru-paru ini
diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Suatu sel, khususnya sel otak atau
neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari membran
permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat
lipoid sedangkan membran permukaan luar bersifat ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion
Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali oleh ion Klorida (CT). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar neuron, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-
ATP yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran tadi dapat
berubah karena adanya: perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan
yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik, dan
perubahan patofsiologi dari membran sendiri masih belum jelas tetapi faktor penyakit
atau keturunan berperan utama terjadinya kejang.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada
seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari sirkulasi tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada
seorang anak dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu
singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran tersebut sehingga
mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini sehingga
dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel lain yang ada didekatnya dengan
perantaraan neurotransmitter sehingga terjadilah kejang.
6. Manifestasi Klinis
a. Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara
tiba-tiba)
b. Kejang tonik klonik atau grand mal (kejang yang di sebabkan oleh epilepsi)
c. Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada
anak-anak yang mengalami kejang demam)
d. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang bisanya
berlangsung selama 10-30 detik)
e. Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya
berlangsung selama 1-2 menit)
f. Lidah atau pipinya tergigit
g. Gigi atau rahangnya terkatub rapat
h. Inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadaran)
i. Gangguan pernapasan
j. Apnea (henti napas)
k. Kulit kebiruan.
Setelah mengalami kejang, biasanya:
a. Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur selama 1 jam
atau lebih
b. Terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi)
c. Sakit kepala
d. Mengantuk
e. Linglung (sementara dan sifatnya ringan).
Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka kemungkinan
terjadinya cedera otak atas kejang menahun adalah kecil (Utaminingsih, 2015).
7. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak,
diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium,
pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan pencitraan neurologis. Pemilihan jenis
pemeriksaan penunjang ini ditentukan sesuai dengan kebutuhan.
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang berguna untuk
mencari etiologi dan komplikasi akibat kejang lama. Jenis pemeriksaan yang
dilakukan bergantung pada kondisi klinis pasien. Pemeriksaan yang dianjurkan
pada pasien dengan kejang lama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, darah
perifer lengkap, dan masa protrombin. Pemeriksaan laboratorium tersebut bukan
pemeriksaan rutin pada kejang demam. Jika dicurigai adanya meningitis
bakterialis perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah dan kultur cairan
serebrospinal. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus
herpes simpleks dilakukan pada kasus dengan kecurigaan ensefalitis.
b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai
penurunan kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku
kuduk, kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau
pada kasus yang tidak didapatkan faktor pencetus yang jelas. Pungsi lumbal
ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam setelah pungsi lumbal yang
pertama untuk memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat. Bila
didapatkan kelainan neurologis fokal dan peningkatan tekanan intrakranial,
dianjurkan melakuan CT-Scan kepala terlebih dahulu untuk mencegah resiko
terjadinya herniasi.
The American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa
pemeriksaan pungsi lumbal sangat dianjurkan pada serangan kejang pertama
disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan karena manifestasi klinis
meningitis tidak jelas atau bahkan tidak ada. Pada anak usia 12-18 bulan
dianjurkan melakukan pungsi lumbal, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan
pungsi lumbal dilakukan bila terdapat kecurigaan adanya infeksi intrakranial
(meningitis).
c. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang
epileptiform. Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan, khususnya interiktal
EEG. Beberapa anak tanpa kejang secara klinis ternyata memperlihatkan
gambaran EEG epileptiform, sedangkan anak lain dengan epilepsi berat
mempunyai gambaran interiktal EEG yang normal. Sensitivitas EEG interiktal
bervariasi. Hanya sindrom epilepsi saja yang menunjukan kelainan EEG yang
khas. Abnormalitas, EEG berhubungan dengan manifestasi klinis kejang, dapat
berupa gelombang paku, tajam dengan/atau tanpa gelombang lambat.
Kelainanan dapat bersifat umum, multifokal, atau fokal pada daerah temporal
maupun frontal.
Pemeriksaan EEG segera dalam 24-48 jam setelah kejang atau sleep
deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya
kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya klinis. Gambaran
EEG yang normal atau memperlihatkan kelainan minimal menunjukan
kemungkinan pasien terbebas dari kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan.
d. Pencitraan neurologis
Foto polos kepala memiliki nilai diagnostik kecil meskipun dapat
menunjukan adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan jaringan otak pada
trauma kepala dideteksi dengan CT-Scan kepala. Kelainan gambaran CT-Scan
kepala dapat ditemukan pada pasien kejang dengan riwayat trauma kepala,
pemeriksaan neurologis yang abnormal, perubahan pola kejang, kejang
berulang, riwayat menderita penyakit susunan saraf pusat, kejang fokal, dan
riwayat keganasan.
Magnetic resonance imaging (MRI) superior dibandingkan CT-Scan
dalam mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal
atau daerah yang tertutup struktur tulang misalnya daerah cerebelum atau
batang otak. MRI dipertimbangkan pada anak dengan kejang yang sulit diatasi,
epilepsi lobus temporalis, perkembangan terlambat tanpa adanya kelainan pada
CT-scan, dan adanya lesi ekuivokal pada CT-Scan (Pudjiadi, 2013).
8. Pencegahan
a. Pencegahan kejang demam yang pertama tentu dengan berusaha menurunkan
suhu tubuh apabila anak demam. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
obat penurun panas. Terdapat berbagai macam obat penurun panas, ada yang
diminum ada yang dan dimasukan dubur. Orang tua sebaiknya berkonsultasi
dengan dokter untuk menentukan obat penurun panas yang terbaik.
b. Pemberian kompres hangat (suhu air untuk kompres kira-kira sama dengan
suhu tubuh anak) pada dahi, ketiak, dan lipatan siku juga dapat membantu
menurunkan demam anak.
c. Sebaiknya orang tua memiliki termometer di rumah dan mengukur suhu anak
saat sedang demam. Pengukuran suhu berguna untuk menentukan apakah anak
benar mengalami demam dan pada suhu berapa kejang demam timbul. Jangan
mengukur suhu anak hanya dengan menempelkan punggung tangan dahi. Cara
ini jelas tidak akurat karena sangat dipengaruhi oleh kepekaan dan suhu badan
dari orang yang melakukan (Yulianingsih, 2017).
d. Kejang bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada
sebagian besar kasus, kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah.
Dulu digunakan obat anti kejang sebagian tindakan pencegahan pada anak-
anak yang sering mengalami kejang demam. Tetapi hal ini sekarang sudah
jarang dilakukan. Kepada anak-anak yang cenderung mengalami kejang
demam, pada saat mereka menderita demam, bisa diberikan diazepam (baik
yang melalui mulut maupun melalui rektal) (Utaminingsih, 2015).
9. Penanganan/Pengobatan
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan orang tua sebelum
pertolongan medis datang, yaitu:
a. Jangan panik saat menghadapi anak yang sedang kejang demam. Sikap panik
hanya akan membuat kita tak tahu harus berbuat apa yang mungkin akan
membuat penderitaan anak tambah parah.
b. Jangan gunakan alkohol atau air dingin untuk mengompres anak. Penggunaan
alkohol sangat berpeluang menyebabkan iritasi pada mata dan
intoksikasi/keracunan karena uap alkohol dapat terserap ke kulit atau paru-
paru anak, inhalasi alkohol selama kompres juga bisa menimbulkan
hipoglikemia bahkan koma. Jika mengompres dengan air, otak akan
menyangka bahwa suhu di luar tubuh dingin maka otak akan memerintah
tubuh untuk menaikkan suhunya dengan cara menggigil sehingga
memproduksi panas. Akibatnya suhu tubuh anak bukannya turun, melainkan
tambah panas.
c. Jangan selimuti anak dengan selimut tebal. Selimut dan pakaian tebal serta
tertutup justru akan meningkatkan suhu tubuh dan menghalangi penguapan.
Pakaian ketat atau yang mengikat terlalu kencang sebaiknya dilepas karena
bisa menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
d. Pastikan anak mendapat oksigen yang cukup. Saat anak kejang ditempat yang
sumpek atau sempit, segera bawah anak di tempat yang lebih longgar, agar
anak mendapat oksigen yang cukup.
e. Jika anak kejang disetai muntah atau mengeluarkan cairan dari mulutnya,
segera miringkan posisi kepalanya ke bagian sisi kanan atau kiri sehingga
muntahan dapat mudah mengalir dari mulut anak, hal ini juga dapat membantu
anak agar tidak tersedak.
f. Agar anak tidak cedera, pindahkan benda-benda keras atau tajam yang berada
dekat anak. Jika anak memasukkan jari ke mulutnya sendiri saat kejang, segera
keluarkan karena saat kejang jari yang masuk ke mulut bisa terbuka.
g. Sebaiknya tidak menahan atau menggendong anak ketika sedang kejang
karena akan memicu terjadinya kondisi yang buruk. Letakkan anak di tempat
yang rata dengan posisi kepala miring.
h. Jangan memberi minuman/makanan segera setelah berhenti kejang apalagi
saat kejang, karena berpeluang membuat anak tersedak. Jika benar-benar telah
sadar, usahakan anak banyak minum dan makan berkuah atau buah-buahan
yang banyak mengandung air. Bisa berupa jus, susu, teh, dan minuman lainnya
agar cairan tubuh menguap akibat suhu tinggi bisa cepat tergantikan.
i. Hati-hati dengan mitos seputar penanganan kejang demam yang ada
dimasyarakat, misalnya memberi kopi dan memasukkan yang dililit kain. Alih-
alih menangani kejang pada anak, malah akan menimbulkan masalah lain.
Memasukkan sendok kedalam mulut bayi bisa berakibat merusak sendi tulang
rahangnya. Sementara itu, kopi bisa dikatakan bisa menurunkan ambang batas
kejang pada anak. Seharusnya anak akan mengalami kejang pada suhu badan
38-39℃, tetapi dengan pemberian kopi pada anak akan mengalami kejang
pada suhu badan 37-38℃ sehingga kopi akan mempercepat terjadinya kejang
dengan suhu badan lebih rendah (Yulianingsih, 2017).
Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5 menit. Bila
kejang tidak berhenti dalam 5 menit, maka kejang cenderung berlangsung
lama. Status epileptikus (SE) adalah kejang lama lebih dari 30 menit atau
kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran diantara kejang. Terdapat dua jenis
status epileptikus, yaitu SE konvulsif (parsial/fokal motorik dan tonik klonik
umum) dan SE non-konvulsif (absans dan parsial kompleks).
Status epileptikus konvulsif pada anak merupakan kegawatan yang
mengancam jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini
tergantung pada penyebab dan lamanya kejang. Makin lama kejang
berlangsung, makin sulit untuk menghentikannya. Tujuan tatalaksana kejang
tonik klonik umum lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan
mencegah terjadinya status epileptikus.
Langkah-Langkah penangganan kejang meliputi:
1) Fase akut: penghentian kejang
1.5 menit:
 Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik.
 Monitor tanda vital, berikan oksigen, pertahankan perfusi oksigen ke
jaringan.
 Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan
umum dan neurologis secara cepat.
 Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal, dan infeksi.
2) 5-10 menit:
 Pemasangan akses intravena.
 Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah perifer lengkap, glukosa,
dan elektrolit.
 Pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara intravena (kecepatan 5
mg/menit), atau dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kgBB (untuk
berat badan <10 kg diberikan 5 mg, bila berat badan >10 kg diberikan
10 mg, dosis maksimal 10 mg/kali).
 Atau dapat diberikan lorazepam 0,05-0,1 mg/kgBB intravena
(maksimal 4 mg). Alternatif lain adalah midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB
intravena. Pemberian diazepam intravena atau rektal dapat diulang 1-2
kali setelah 5-10 menit, lorazepam 0,1 mg/kgBB dapat diulang sekali
setelah 10 menit.
 Jika didapatkan hipoglikemia, berikan cairan dekstrosa 25% 2
ml/kgBB 10-15 menit:
 Cenderung menjadi status konvulsivus.
 Berikan fenitoin 15-20 mg/kgBB intravena diencerkan dengan NaCl
0,9% diberikan dengan kecepatan 25-50 mg/menit.
 Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5-10 mg/kgBB, sampai
maksimum dosis 30 mg/kgBB.
3) Lebih dari 30 menit:
 Pemberian antikonvulsan masa kerja panjang (long acting).
 Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena bolus perlahan-lahan dengan
kecepatan 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis tambahan 5-10
mg/kgBB dengan intraval 10-15 menit.
 Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan meliputi analisis gas
darah, elektrolit, gula darah. Koreksi kelainan yang ada. Awasi tanda-
tanda depresi pernapasan.
 Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke Unit
Perawatan Intensif. Berikan fenobarbital 5-8 mg/kgBB secara bolus
intravena, diikuti rumatan fenobarbital drip dengan dosis 3-5
mg/kgBB/jam.
Penanganan pasien dengan status konvulsivus/epileptikus tidak hanya
bertujuan untuk menghentikan kejang, tetapi juga mencegah terjadinya
komplikasi sistemik yang timbul pasca status konvulsivus, pengenalan dini,
intervensi yang adekuat, dan pencegahan komplikasi penting untuk prognosis
pasien.
Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia terjadi akibat gangguan
ventilasi, sekresi air liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan, serta
peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia mengakibatkan asidosis, yang
selanjutnya menyebabkan penurunan fungsi vertikel jantung, penurunan curah
jantung, hipotensi, dan menganggu fungsi sel dan neuron.
Pada SE terjadi pengeluaran katekolamin dan perangsangan saraf
simpatis menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan
tekanan vena sentral. Edema otak terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, atau
hipotensi. Pada kejang yang tidak dapat teratasi, dapat terjadi hiperpireksia
sehingga dapat terjadi mioglobinuria dan peningkatan keratin fosfokinase
akibat rabdomiolisis (Pudjiadi, 2013).

10. Komplikasi
a. Kerusakan otak dan menjadi epilepsi (ayan)
Kejang demam yang berlangsung singkat, biasanya tidak berbahaya dan tidak
meninggalakan gejala sisa. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari
15 menit) biasanya disertai henti napas. Henti napas menyebabkan kekurangan
oksigen dan jika berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan otak dan
akhirnya dapat memicu epilepsi (ayan).
b. Kejang demam berulang
Kejang demam dapat berulang. Hasil penelitian dari Wirore (2012) menunjukan
bahwa:

1) 41% kasus kejang demam mengalami ulangan.


2) Usia kejang demam pertama kurang dari 12 bulan beresiko 2,7 kali lebih
tinggi mengalami kejang ulang.
3) Riwayat keluarga dengan kejang demam berisiko 3,2 kali lebih tinggi
mengalami kejang demam ulang.
4) Anak kejang demam pada suhu <39oC berisiko 4,4 kali lebih tinggi
mengalami kejang demam ulang.
5) Anak dengan kejang demam kompleks (kejang >15 menit, kejang >1 kali
pada episode demam) berisiko 1,4 kali lebih tinggi untuk mengalami
kejang ulang.
c. Penurunan kecerdasan
Kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) berkaitan dengan kelainan saraf,
sehingga berdampak pada kerusakan otak yang terjadi dapat menyebabkan gangguan
dalam pembelajaran.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
Riwayat demam disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya didapatkan:
Fase iktal: Gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat/menurun, peningkatan
sekresi mukus, peningkatan nadi, sedangkan post iktal dapat ditemukan apnea.
Akibat kejang dapat terjadi fraktur, kerusakan jaringan lunak/gigi cedera selama
kejang. Pada aktivitas dan kekuatan otot terjadi keletihan, kelemahan umum,
perubahan tonus otot/kekuatan otot. Mual, muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang. Di integumen ditemukan: Akral hangat, kulit kemerahan,
demam.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Risiko injuri.
b. Ketidakefektifan pola napas
c. Hipertermia
d. Kurang pengetahuan

3. Intervensi dan Rasional Keperawatan


a. Risiko injuri.
Klasifikasi hasil keperawatan: Pasien terbebas dari injuri.
Kriteria Evaluasi: Tidak terjadi kejang, lidah tidak tergigit, tidak
terjadi fraktur.
Klasifikasi intervensi keperawatan:
a. Penanganan kejang
1) Baringkan di tempat yang rata.
2) Bimbing pergerakan untuk mencegah injuri.
3) Pertahankan jalan napas: Miringkan kepala.
4) Pasang sudip lidah/tong spatel yang telah dibungkus dengan kasa di
antara gigi untuk mencegah lidah tergigit.
5) Buka pakaian yang ketat.
6) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien.
7) Temani pasien saat kejang.
8) Hindari penggunaan menahun.
9) Monitor tanda vital.
b. Pencegahan kejang
1) Atur tempat tidur yang rendah.
2) Pertahankan bantalan yang lunak pada penghalang tempat tidur.
3) Sediakan suction di samping tempat tidur.
4) Beritahu pasien/keluarga tentang faktor pencetus kejang &
antikonvulsan sesuai resep dokter.
5) Instruksikan pada keluarga untuk sedia obat antipiretik &
antikonvulsan sesuai resep dokter
(Purwanti & Maliya, 2008).
b. Ketidakefektifan pola napas
Klasifikasi hasil keperawatan: Pasien dapat bernapas dengan normal.
Kriteria evaluasi: Pasien merasa nyaman tanpa adanya depresi
pernapasan.
Klasifikasi intervensi keperawatan:
a. Penanganan gangguan pola napas.
1) Kaji dan catat status pernapasan.
2) Kaji nyeri setiap tiga jam.
3) Berikan obat nyeri bila di instruksikan.
4) Bantu pasien untuk berada pada posisi yang nyaman yang
memungkinkan ekspansi dada maksimal.
5) Bantu pasien dalam menggunakan spirometer intensif.
6) Berikan oksigen sesuai program.
7) Kaji kembali aktivitas yang di perlukan pasien.
8) Lakukan fisioterapi dada untuk melakukan mobilisasi dan
pembersihan sekresi.
9) Dorong pasien untuk menggunakan spirometer intensif secara
mandiri.
10) Berikan kesempatan pasien beristirahat di antara tindakan.
(Taylor, 2010).
c. Hipertermia
Klasifikasi hasil keperawatan: Suhu tetap normal, komplikasi seperti kejang
dapat di hindari.
Kriteria evaluasi: Keseimbangan cairan tetap stabil.
Klasifikasi intervensi keperawatan:
a. Penanganan Hipertermia.
1) Ukur suhu tubuh pasien setiap 4 jam.
2) Berikan antipiretik, sesuai anjuran.
3) Turunkan panas yang berlebihan dengan melepas selimut dan
pasang kain sebatas pinggang.
4) Pantau dan catat denyut dan irama nadi.
5) Observasi adanya konvusi disorientasi.
6) Tentukan minuman kesukaan pasien.
7) Letakan cairan di sisi tempat tidur pasien.
8) Anjurkan pasien meminum sebanyak mungkin air.
9) Diskusikan faktor-faktor presipitasi pada pasien.
10) Atasi dehidrasi pasien, berikan cairan iv sesuai yang di anjurkan.
(Taylor, 2010).
d. Kurang pengetahuan
Klasifikasi hasil keperawatan: Mengerti proses keperawatan penyakit
Kriteria evaluasi: Dapat memahami penyakit yang di derita
Klasifikasi intervensi keperawatan:
a. Ajarkan tentang proses penyakit:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang proses penyakitnya.
2) Gambarkan tanda dan gejala umum dari penyakit.
3) Identifikasi penyebab yang mungkin terjadi.
4) Berikan informasi pada pasien tentang kondisinya.
b. Ajarkan tentang perawatan dan prosedur tindakan penyakit
1) Diskusikan tentang pilihan terapi dan pengobatan.
2) Diskusikan management kejang.
3) Diskusikan perubahan gaya hidup pada klien untuk mencegah
komplikasi dan mengontrol proses penyakit.
4) Instruksikan pada klien mengenai tanda dan gejala yang harus
segera dilaporkan pada pemberi pelayanan kesehatan.
5) Bila anak demam segera diberi antipiretik, kompres.
6) Intruksikan sedia antipiretik dan antikolvusan di rumah (Purwanti &
Maliya, 2008).
2.2.4 Evaluasi Keperawatan
1. Risiko injuri.
a. Pasien terbebas dari cedera.
b. Pasien mampu mencegah injuri.
c. Pasien menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.
2. Ketidakefektifan pola napas
a. Pasien merasa nyaman tanpa adanya depresi pernapasan.
b. Pasien melaporkan kemampuannya untuk bernapas secara nyaman.
c. Respirasi dalam batas normal.
3. Hipertermi
a. Suhu tubuh pasien dalam batas normal.
b. Keadaan umum pasien baik.
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal.
4. Kurang Pengetahuan
a. Pasien dan keluarga mengatakan mengerti tentang kondisi penyakit.
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur secara benar.
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali tentang apa yang telah
dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA

Nelson.2000. Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.

Hassan Ruspeno, et all. Kejang Demam. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II. Ed.11.
2007. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Sukandar.E.Y.(et all).2009. Iso Farmakoterapi. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan.

Frank J. Domino, MD. The 5-Minute Cinical Consult. Philadelphia: Department of Family
Medicine and Community Health; 2008.

Abdul Latief, et all. Pemeriksaan Neurologis. Diagnosis Fisis pada Anak. Ed.2. 2009. Jakarta:
CV Sagung Seto

Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2007

Anda mungkin juga menyukai